• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN 167 ISSN X ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN 167 ISSN X ABSTRAK"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN 1412-565X

P

P

E

E

N

N

G

G

U

U

K

K

U

U

R

R

A

A

N

N

T

T

I

I

N

N

G

G

K

K

A

A

T

T

K

K

E

E

T

T

E

E

R

R

B

B

A

A

C

C

A

A

A

A

N

N

W

W

A

A

C

C

A

A

N

N

A

A

D

D

A

A

L

L

A

A

M

M

L

L

K

K

S

S

M

M

A

A

T

T

A

A

P

P

E

E

L

L

A

A

J

J

A

A

R

R

A

A

N

N

B

B

A

A

H

H

A

A

S

S

A

A

I

I

N

N

D

D

O

O

N

N

E

E

S

S

I

I

A

A

K

K

E

E

L

L

A

A

S

S

4

4

6

6

S

S

D

D

D

D

A

A

N

N

K

K

E

E

T

T

E

E

R

R

P

P

A

A

H

H

A

A

M

M

I

I

A

A

N

N

N

N

Y

Y

A

A

O

O

l

l

e

e

h

h

:

:

N

N

u

u

r

r

l

l

a

a

i

i

l

l

i

i

ABSTRAK

Teks wacana yang selayaknya dibaca oleh anak-anak adalah yang terukur tingkat keterbacaannya.

Terukurnya tingkat keterbacaan sangat penting dalam upaya memahamkan siswa akan isi teks

wacana. Untuk itu, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengukur dan

mengujicobakan teks-teks wacana pada siswa sebelum teks wacana tersebut dimuat dalam LKS.

Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat keterbacaan wacana dalam LKS mata pelajaran

Bahasa Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif

dan kuantitatif. Data kualitatif penelitian diperoleh dari LKS yang diambil sebagai sampel dan

data kuantitatif diperoleh dari hasil tes klos dan pemahaman pada siswa. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa tingkat keterbacaan sebelas teks wacana yang terdapat dalam LKS mata

pelajaran Bahasa Indonesia kelas 4–6 SD berdasarkan formula Fry belum ada teks yang sesuai

dengan masing-masing kelas. Hasil uji tes klos memperlihatkan hasil bahwa empat teks wacana

berada pada kategori sedang dan tujuh teks wacana berada pada kategori sukar. Selanjutnya, hasil

tes pemahaman siswa menunjukkan hasil rata-rata skor 60 untuk kelas 4, 61,33 untuk kelas 5, dan

61,33 untuk kelas 6. Berdasarkan hasil tersebut dilakukanlah perbaikan terhadap teks wacana dan

hasilnya menunjukkan bahwa adanya peningkatan keterbacaan teks wacana. Hasil uji formula Fry

menunjukkan bahwa semua teks wacana telah sesuai untuk masing-masing kelas. Hasil uji tes

klos memperlihatkan hasil bahwa satu teks wacana berada pada kategori mudah dan sepuluh teks

wacana lainnya berada pada kategori sedang. Hasil tes pemahaman juga memperlihatkan hasil

bahwa untuk masing-masing kelas mengalami peningkatan rata-rata skor, yaitu 67,33 untuk kelas

4, untuk kelas 5 rata-rata skornya 74,67, dan 82,00 untuk kelas 6. Rekomendasi berdasarkan hasil

penelitian ini adalah sangat perlu memperhatikan tingkat keterbacaan wacana sebagai salah satu

isi dalam LKS sehingga wacana-wacana yang terdapat dalam LKS sesuai untuk masing-masing

tingkat pembaca. Untuk itu, upaya melihat/mengukur tingkat keterbacaan wacana selayaknya

dilakukan, baik oleh penulis maupun pengguna LKS.

Kata kunci: wacana keterbacaan

PENDAHULUAN

Pemerintah telah mengatur hal yang berkaitan dengan penggunaan buku teks dan buku

penunjang atau pengayaan. Peraturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional No. 11/2005, Pasal 2 Ayat (2) yang di dalamnya dikatakan bahwa ”Selain buku teks

pelajaran sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), guru menggunakan buku panduan pendidik dan

dapat menggunakan buku pengayaan, dan buku referensi dalam proses pembelajaran”. Hal itu

berarti bahwa guru dapat memilih buku-buku pengayaan dan referensi untuk menunjang kegiatan

pembelajarannya, termasuk penggunaan LKS dari penerbit.

LKS mata pelajaran Bahasa Indonesia di dalamnya termuat materi kebahasaan dan materi

kesastraan yang disajikan secara terpadu. Kedua materi tersebut masing-masing diuraikan oleh

penulis LKS melalui beberapa teks wacana. Uraian materi melalui teks wacana dilakukan untuk

memudahkan pemahaman siswa terhadap konsep materi yang akan diajarkan. Untuk itu,

(2)

penyusunan wacana perlu diperhatikan oleh penulis LKS supaya maksud yang ingin dicapai dapat

terwujud.

Teks wacana yang baik adalah teks wacana yang terbaca oleh pembaca. Keterbacaan sebuah

wacana dapat dipengaruhi oleh susunan kalimat dan kata-kata sulit. Aji (2008) menyebutkan

bahwa tingkat keterbacaan sebuah teks disebabkan oleh susunan kalimat, kepadatan kata dalam

kalimat, dan kata-kata sulit yang terdapat dalam wacana tersebut. Jadi, aspek kebahasaan sangat

menunjang keterbacaan sebuah wacana.

Tingkat keterbacaan sebuah wacana akan memberi dampak pada tingkat kemampuan

membaca dan pemahaman terhadap bacaan. Wainwrigh (2007:41) mengatakan bahwa kecepatan

membaca jelas mengacu pada kecepatan memahami bacaan jika pemahaman agak

membingungkan akan mengacu pada kualitas pemahaman bacaan secara keseluruhannya.

Kebingungan memahami bacaan dapat disebabkan oleh susunan kalimat yang tidak tepat atau pun

pemilihan diksi yang tidak tepat atau ketidaksesuaian tingkat keterbacaan dengan usia pembaca.

Tampubolon (2008:213) menyebutkan bahwa readability ialah sesuai tidaknya suatu bacaan bagi

pembaca tertentu dilihat dari segi kesulitan struktur bacaan dari bacaan.

Tingkat keterbacaan wacana dapat diperoleh dari hasil uji berdasarkan formula keterbacaan

dan dapat pula dapat diperoleh dari hasil tes keterbacaan terhadap sejumlah pembaca dalam

bentuk tes kemampuan memahami bacaan. Tes itu menguji apa yang disebutkan oleh Bernhardt

(dalam Kusmana, 2008) sebagai ’enam faktor heuristik dalam pemahaman isi bacaan’. Tiga faktor

berkaitan dengan teks (text driven), yaitu pengenalan kata, proses dekoding fonem-grafem, dan

pengenalan sintaksis kalimat. Tiga faktor lain berhubungan dengan pengetahuan pembaca

(knowledge driven), yaitu intratextual perception, metacognition, dan prior knowledge. Sifat

ketiga faktor terakhir itu tersembunyi (tersirat).

Hasil studi keterbacaan yang dilakukan oleh tim pusat perbukuan tahun 2003-2004

menyimpulkan bahwa ciri-ciri penting dari suatu buku teks pelajaran untuk sekolah dasar yang

memiliki keterbacaan tinggi dapat dilihat dari penggunaan aspek wacana, paragraf, kalimat,

pilihan kata, dan pertanyaan atau latihan-latihan dalam buku teks pelajaran (Kusmana, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian seperti yang telah disebutkan di atas, penelitian terhadap

wacana dalam LKS mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas 4–6 SD belum ada yang melakukan.

Padahal, untuk tingkat SD tingkat keterbacaan tersebut sangat perlu dilihat/diukur. Peneliti

memfokuskan penelitian pada tingkat keterbacaan wacana dalam LKS mata pelajaran Bahasa

Indonesia kelas 4–6 SD. Penelitian ini berusaha mendeskripsiksan dan menganalisis aspek

kebahasaan, serta kekoherensian, dan kekohesian wacana dalam LKS mata pelajaran Bahasa

Indonesia kelas 4–6 SD.

LANDASAN TEORETIS

Landasan teoretis ini mengupas bagian teori yang menjadi fondasi dalam penelitian ini. Hal

ini diperlukan supaya hasil penelitian benar-benar memiliki dasar pijakan.

(3)

ISSN 1412-565X

1. Wacana sebagai Isi LKS dan Unsur-Unsurnya

Setiap LKS di dalamnya tentu terdapat wacana-wacana yang mesti dibaca oleh siswa karena

wacana-wacana tersebut mengandung informasi, baik perintah maupun pemberitahuan. Informasi

itulah yang menuntun pembacanya untuk melakukan sesuatu atau mendapatkan sesuatu. Untuk

itu, wacana sebagai isi LKS harus dipahami secara lebih mendalam.

Istilah wacana digunakan tidak hanya untuk percakapan atau obrolan, tetapi juga untuk

pembicaraan di muka umum, tulisan, serta upaya-upaya formal seperti laporan ilmiah dan

sandiwara atau lakon. Wacana mencakup keempat tujuan penggunaan bahasa, yaitu (1) ekspresi

diri sendiri; (2) eksposisi; (3) sastra; (4) Persuasi (Landsteen dalam Tarigan, 1993:23)

Carlson (dalam Tarigan 1993:24) menyebutkan bahwa wacana tidak hanya terdiri atas

untaian ujaran atau kalimat yang secara gramatikal yang teratur rapi, sedangkan Stubbs (dalam

Tarigan, 1993:25) menyatakan bahwa wacana adalah organisasi bahasa di atas klausa; dengan

kata lain suatu rasa kepaduan atau rasa kohesi bagi penyimak atau pembaca. Kohesi atau

kepaduan itu sendiri harus muncul dari cara pengutaraan wacana itu. Selanjutnya, Kridalaksana

(1984: 208) menyatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang realisasinya dalam

bentuk karangan utuh dapat berupa paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat lengkap.

Bermacam definisi wacana dapat ditemukan dalam medan atau suasana tertentu. Namun,

setiap pernyataan tentang wacana memiliki satu kesamaan yang berprinsip, yaitu suatu perihal

yang disampaikan secara utuh. Upaya penyampaian secara utuh dapat melalui berbagai bentuk, di

antaranya dapat melalui tulisan atau pun lisan yang dirangkai dalam bentuk kata, kalimat, atau

pun paragraf. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa wacana adalah

serangkaian kata atau kalimat yang membentuk suatu satuan bahasa yang utuh sehingga memuat

informasi yang lengkap.

Selanjutnya, untuk jenis wacana Tarigan (1993: 51) mengklasifikasikan wacana dengan

berbagai cara, antara lain: (1) berdasarkan tertulis tidaknya wacana (wacana lisan dan tulisan); (2)

berdasarkan langsung atau tidaknya pengungkapan wacana (wacana langsung dan tidak

langsung); (3) berdasarkan cara penuturan wacana (wacana pembeberan dan penuturan); (4)

berdasarkan bentuknya (wacana prosa, puisi, dan drama).

Secara umum peneliti membedakan wacana atas dua macam, yaitu wacana tulis dan wacana

lisan. Ini sejalan dengan pendapat Djajasudarma dan Tarigan bahwa secara realita atau secara

tertulis tidaknya wacana dibedakan atas dua jenis. Peneliti menyebut secara umum karena

substansi dari jenis-jenis wacana yang lain juga terangkum dalam dua pernyataan umum tersebut,

yaitu tertulis dan lisan. Wacana tulis adalah wacana yang disampaikan melalui tulisan, sedangkan

wacana lisan adalah wacana yang disampaikan melalui lisan. Dalam pembahasan ini, peneliti

menekankan pada wacana tulis karena kajian yang dikaji pada penelitian ini adalah wacana tulis.

Sebagai pemberi informasi yang utuh sebuah wacana pastinya tersusun atas berbagai unsur

yang dapat menjadikan wacana itu utuh dan mudah dipahami. Unsur terkecil dari sebuah wacana

adalah adanya kata. Selain itu, unsur-unsur yang lain juga ada seperti kalimat, paragraf, kohesi

dan koherensi.

(4)

2. Keterbacaan dan Keterpahamian Wacana

Sebuah wacana yang baik adalah yang terbaca dan terpahami oleh pembaca. Pembaca

terbagi dalam berbagai level bergantung pada kemampuan membacanya. Pada hakikatnya

membaca adalah proses berpikir. Thorndike (dalam Yunus, 2010) menyebutkan bahwa reading as

thinking and reading as reasoning. Artinya, ketika seseorang sedang membaca pada hakikatnya ia

sedang berpikir dan bernalar.

Dalam proses membaca terdapat dua komponen utama yang bekerja secara dominan, yakni

(a) kerja mata untuk melihat lambang-lambang grafis, dan (b) kerja otak untuk memahami dan

memaknai lambang-lambang grafis tadi menjadi sebuah informasi yang utuh dan lengkap.

Kemampuan fisik berupa kemampuan mata melihat lambang, yang disebut kemampuan visual,

sedangkan kemampuan psikis yang melibatkan kemampuan berpikir dan bernalar, yang disebut

kemampuan kognisi (Mulyati, 2003).

Penentuan jenis teks wacana sesuai dengan pembacanya merupakan hal yang tidak mudah.

Untuk itu, dibutuhkan adanya pengetahuan bagi penulis wacana untuk menyelaraskan kosakata

ketika menyususn wacana sehingga sesuai dengan taraf perkembangan bahasa anak. Dengan

demikian, unsur-unsur ketidaktepatan pemilihan kosakata dapat dihindari. Penggunaan kalimat

yang terlalu panjang pun dapat terkurangi.

Wacana yang diharapkan dalam setiap tulisan adalah wacana yang terbaca oleh pembaca.

Keterbacaan wacana memberikan hasil yang baik bagi pembaca karena pembaca mendapatkan

sebuah bacaan yang dapat dibaca dan dipahaminya. Rusyana (dalam Wahab, 2010)

menjelaskan

bahwa keterbacaan dapat dibedakan menjadi tiga aspek, yaitu menyangkut pemahaman, kecepatan

membaca, dan minat. Faktor penyebab kepahaman, kemudahan, dan kemenarikan isi secara

umum terdiri atas bahasa dan rupa. Perpaduan kedua faktor tersebut menentukan tingkat

keterbacaan. Suryadi (2007) menyebutkan bahwa faktor bahasa menyangkut pilihan kata, bangun

kalimat, susunan paragraf, dan unsur tata bahasa yang lain.

Pada pembahasan ini, peneliti memilih formula Fry untuk mengukur keterbacaan wacana

dalam LKS. Pemilihan formula Fry karena formula ini sering dan banyak digunakan. Penentuan

tingkat keterbacaan wacana menurut formula ini adalah dengan pertimbangan panjang pendeknya

kata dan tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh banyaknya jumlah suku kata pembentuk

kalimat. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Uteredowo (2007) bahwa jumlah kata untuk

siswa kelas 1–6 SD seperti terlihat pada tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.1

Jumlah Kosakata dalam Teks Wacana untuk Kelas 1–6 SD

Kelas Jumlah kata

1 25 – 75 2 75 – 125 3 125 – 175 4 175 – 225 5 225 – 275 6 275 – 325

(5)

ISSN 1412-565X

(1) Formula Fry (Grafik Fry)

Grafik keterbacaan yang diperkenalkan Edward Fry ini merupakan formula menentukan

tingkat wacana yang mempertimbangkan panjang pendeknya kata dan tingkat kesulitan kata yang

ditandai oleh jumlah (banyak-sedikitnya) suku kata yang membentuk setiap kalimat. Pengukuran

dengan Fry mengikuti prosedur seperti yang disebutkan oleh Subyantoro (dalam Hidayati,

2005:24) yaitu dengan (a) menghitung jumlah kalimat dalam 100 kata dengan skor satu digit

dibelakang koma, (b) menghitung jumlah suku kata dari 100 kata, (c) mengalikan hasil

perhitungan suku kata dengan angka 0,6, (d) untuk teks pendek (jumlah katanya kurang dari

seratus kata harus diperbanyak jumlah kalimat dan suku kata dengan angka-angka yang ada dalam

daftar konversi, (e) mencocokkan rumus jumlah kalimat dan jumlah suku kata per seratus tersebut

dalam grafik, (g) menetapkan tingkat keterbacaan teks.

Tingkat keterbacaan berdasarkan grafik Fry bersifat perkiraan. Penyimpangan mungkin

terjadi baik ke atas maupun ke bawah (-1 atau +1). Untuk membaca grafik dapat dilakukan

dengan melihat kolom tegak lurus menunjukkan jumlah suku kata per seratus kata dan baris

mendatar menunjukkan jumlah kalimat per seratus kata.

Grafik Fry

Gambar 1: Grafik Fry (Akhmad dan Yeti dalam Sulistyorini, 2006: 28)

(2) Tes Klos

Tes klos digunakan untuk mengukur kemampuan membaca. Teknik tes klos ialah prosedur

peraturan yang dapat digunakan dalam peringkat pembahasan isi serta struktur yang dikemukakan

dalam kalimat, makna, dan keterbacaan. Teknik ini dapat digunakan sebagai alat pengukur tingkat

keterbacaan teks bacaan/wacana. Dengan sistem pengukuran itu kita dapat menyeleksi

(6)

wacana-wacana agar diperoleh wacana-wacana yang benar-benar sangkil (Damaianti, 1991). Tes ini juga dapat

diigunakan sebagai sumber informasi mengenai kemampuan pemahaman bacaan seseorang.

Strategi tes klos dilakukan dengan pelesapan/penghapusan kata pada sebuah teks wacana,

yaitu dengan:

1) melihat dari jumlah kata ke-n (dipilih pada jarak yang tetap, variasi penghapusan, mulai

dari tiap kata ke-5 s.d. kata ke-10 (Farr dan Rossser, 1979)

2) melihat dari pemilihan kata secara selektif atau secara random, John (1977) menghapus

setiap kata sifat yang ke-10, Rhodes (1972) menghilangkan kata kerja yang ke-10.

Penghapusan secara random dilakukan tanpa melihat hubungan kontekstual atau jenis kata

tertentu (Jongsma, 1980).

Setelah proses penerapan teknik klos dilakukan, proses selanjutnya adalah penilaian teknik

klos. Penilaian teknik klos dilakukan dengan melihat hasil persentase. Rankin dan Culhane (dalam

Damaianti, 1991) menetapkan bahwa sebuah teks wacana dikatakan mudah apabila persentase

skor tes mencapai > 60%, teks wacana dikatakan sedang apabila persentase skor tes antara 41%–

60%, dan teks wacana dikatakan sukar apabila skor tesnya < 40%.

2.1 Keterpahamian Wacana

Setiap informasi yang disampaikan baik secara lisan maupun tulisan dituntut adanya

pemahaman sehingga informasi tersebut bermanfaat. Kemampuan memahami wacana bukan

hanya sekadar kemampuan mengambil dan memetik makna bacaan dari materi cetak, melainkan

juga menyusun konteks yang tersedia guna membentuk makna pernyataan tersebut,

mengimplisitkan tentang peran, skemata, dalam proses membaca, latar belakang pengetahuan, dan

pengalaman pembaca akan memberi warna terhadap kualitas pemahaman bacaan. Menurut Smit

(dalam Wahab, 2010:37) pemahaman bacaan mengandung proses menghubungkan bahan tertulis

dengan apa yang telah diketahui dan ingin diketahui pembaca.

Pemahaman adalah suatu proses mental sebagai perwujudan dari aktivitas kognisi yang

tidak bisa dilihat. Produk dari pemahaman adalah perilaku yang dihasilkan setelah proses

pemahaman terjadi (Mulyati dalam Wahab, 2010: 38). Perlu diketahui bahwa pemahaman akan

ada apabila pembaca memiliki sarana pemahaman, seperti mengenal bacaan/wacana, memahami

kata-kata, kalimat, dan mampu menghubungkan ide-ide yang terdapat dalam bacaan dengan

pengetahuan yang telah dimilikinya.

Moeliono & Dardjowidjojo (dalam Djajasudarma (2006: 27) menyebutkan bahwa wacana

dibentuk oleh berbagai unsur seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik,

serta peristiwa, bentuk amanat, kode, dan saluran.

Kepahaman terhadap teks wacana dapat diukur dari kemampuan ranah kognitif. Ranah

kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri atas enam aspek, yakni

(7)

ISSN 1412-565X

pengetahuan/ingatan, pemahaman (kognitif tingkat rendah), aplikasi, analisis, sintesis, dan

evaluasi (termasuk kognitif tingkat tinggi).

METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian ini adalah metode dekriptif kualitatif dan kuantitatif. Data yang didapat

dari dokumen akan dianalisis dan dideskripsikan secara kualitatif. Penelitian tingkat keterbacaan

wacana dalam LKS mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas 4–6 SD dilakukan melalui 3 sudut

pandang yang berbeda. Pertama, analisis aspek kebahasaan yang meliputi (pilihan kata, kebakuan

kata, keefektifan kalimat, dan penerapan EYD). Kedua, analisis wacana dari aspek kekoherensian

dan kekohesiannya. Ketiga, penggolongan wacana dan penggolongan siswa yang diperoleh

melalui tes klos dan pilihan ganda.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian yang didapat adalah mencakup hasil pengujian data awal dan hasil pengujian

data kedua. Melalui hasil uji data awal dan kedua tersebut didapati jawaban untuk setiap rumusan

masalah yang telah ditetapkan, yaitu (1) profil wacana berdasarkana aspek kebahasaan, (2) profil

wacana berdasarkan aspek koherensi dan kohesi, (3) tingkat kesesuaian keterbacaan teks wacana, (4)

tingkat kepahaman siswa terhadap teks wacana, (5) hasil perbaikan teks wacana, (6) perbandingan

tingkat keterbacaan setelah perbaikan, dan (7) perbandingan tingkat kepahaman siswa setelah teks

diperbaiki. Data awal ini diuji keterbacaannya dengan menggunakan formula Fry dan tes klos,

sedangkan pengujian tingkat keterpahamiannya menggunakan tes pilihan berganda. Hasil uji

pertama menunjukkan bahwa profil wacana berdasarkan aspek kebahasaan termasuk kategori

baik. Tingkat kesesuaian teks menunjukkan bahwa belum ada satu teks pun yang cocok untuk

masing-masing kelas. Tingkat kepahaman siswa termasuk kategori cukup. Hasil perbaikan

memperlihatkan adanya perbedaan hasil. Perbandingan tingkat keterbacaan dan kepahaman

setelah teks diperbaiki dapat dilihat dari hasil uji kedua pada table di bawah ini.

Tabel

Perbandingan HTPG TWAK4–TWAK6 dan HTPG TWHPK4–TWHPK6

No. Kelas Wacana UF1 UF2 UTK1 UTK2 RUPG1 RUPG2

1. IV Koperasi Sekolah 6 kalimat, 171 suku kata (5/6) 7,7 kalimat, 162,6 suku kata (3/4) 38,33% (Sukar) 45,33% (sedang) 60 67,33 2. Halilintar dan Petir 11,75 Kalimat, 147,6 suku kata (1/2) 7,58 kalimat, 151,8 suku kata (3/4) 44,44% (sedang) 52,8% (sedang) 3.

Air Juga Hidup 10,85 kalimat, 130,8 suku kata 7,8 kalimat, 156,6 suku kata 41,33% (sedang) 45,6% (sedang)

(8)

No. Kelas Wacana UF1 UF2 UTK1 UTK2 RUPG1 RUPG2 (2/3) (3/4) 4. V Jadwal Penerbangan dari Bandara Ahmad Yani Semarang 4,8 kalimat, 133,2 suku kata (6/7) 6,2 kalimat, 139 suku kata (5/6) 36,11% (sukar) 64% (mudah) 61,33 74,67 5. Kanker Paru Anak 6,3 kalimat, 138 suku kata (5/6) 6,3 kalimat, 159 suku kata (5/6) 41,96% (sedang) 44% (sedang) 6. Akibat Penebangan Pohon, 2.100 Mata Air Mengering 7,83 kalimat, 140,4 suku kata (3/4) 6,5 kalimat, 136,8 suku kata 95/6) 22,25% (sukar) 45,86% (sedang) 7. 75 Persen Asap Rokok Ditampung Perokok Pasif 4,5 kalimat, 139,5 suku kata (7/8) 6,18 kalimat, 147,6 suku kata (5/6) 40% (sukar) 41,6% (sedang) 8. VI Masyarakat 3Badui Menitipkan Hutan 5,2 kalimat, 153,6 suku kata (6/7) 6 kalimat, 144 suku kata (5/6) 48,33% (sedang) 55,46% (sedang) 61,33 82,00 9. Mari, Hijaukan Lingkungan! 4,55 kalimat, 155,4 suku kata (7/8) 6,37 kalimat, 153 suku kata (5/6) 40% (sukar) 53,33% (sedang)

10. Flu Babi Perlu Diwaspadai 8,48 kalimat, 138,6 suku kata (2/3) 6,2 kalimat, 129,6 suku kata (5/6) 37,64% (sukar) 51,2% (sedang) 11. Tragedi Bom: MU juga Kecewa Batal ke Jakarta 5,75 kalimat, 134,5 suku kata (6/7) 5,28 kalimat, 129,6 suku kata (6/7) 26,66% (sukar) 50,14% (sedang) Keterangan

UF1 = Uji Fry Pertama UF2 = Uji Fry Kedua UTK1 = Uji Tes Klos Pertama UTK2 = Uji Tes Klos Kedua RUPG1 = Rata-rata Uji Pilihan Ganda Pertama RUPG2 = Rata-rata Uji Pilihan Ganda Kedua

Temuan

Hasil penelitian dan hasil analisis data bahwa ada satu teks wacana yang menunjukkan tidak

adanya perbedaan rerata hasil uji setelah teks wacana diperbaiki. Teks wacana tersebut adalah teks

wacana untuk kelas 4 yang judulnya “Koperasi Sekolah”. Sepuluh teks lainnya menunjukkan

adanya perbedaan rerata hasil uji setelah teks wacana diperbaiki. Tidak terdapatnya perbedaan

(9)

ISSN 1412-565X

rerata hasil uji untuk teks wacana “Koperasi Sekolah” setelah diperbaiki adalah karena

keterbatasan peneliti dalam memperbaiki teks. Untuk itu, sangat diperlukan kehati-hatian dan

ketelitian dalam menulis sebuah teks wacana supaya dapat terbaca oleh anak-anak sesuai

tingkatan kelas anak.

Berdasarkan hasil yang didapat dari analisis terhadap sebelas teks wacana dengan satu teks

yang tidak memiliki perbedaan rerata, sedangkan sepuluh teks wacana lainnya memiliki

perbedaan rerata dapatlah disebutkan untuk teks wacana tersebut bahwa tes klos dapat sejalan

dengan tes pemahaman. Artinya, ketika tes klos berhasil menunjukkan perbedaan tingkat

keterbacaan, tes pemahaman (pilihan ganda) juga menunjukkan perbedaan rerata. Begitu pula

sebaliknya, ketika tes klos tidak menunjukkan adanya perbedaan rerata, tes pemahaman (tes

pilihan ganda) juga menunjukkan hal yang sama.

Hasil uji Fry pada teks wacana awal memperlihatkan bahwa kesebelas teks wacana yang

terdapat dalam LKS belum sesuai untuk masing-masing kelas. Hasil tes klos dan pilihan ganda

juga masih pada kategori cukup. Namun, setelah teks wacana diperbaiki hasil uji Fry

menunjukkan kesebelas teks wacana telah sesuai untuk masing-masing kelas. Hasil tes klos serta

pilihan ganda pun menunjukkan adanya perbedaan. Uji Fry dapat digunakan untuk memprediksi

kesesuaian teks wacana untuk masing-masing kelas.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Dari hasil penelitian dan analisis terhadap hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal

sebagai berikut.

(1) Profil keterbacaan wacana dalam LKS mata pelajaran Bahasa Indonesia dilihat dari aspek

pilihan kata, kata baku, keefektifan kalimat, dan penerapan EYD memperlihatkan bahwa

profil teks wacana dalam LKS mata pelajaran Bahasa Indonesia berada pada kategori baik

dengan angka persentase sebesar 75,28%.

(2) Profil keterbacaan wacana dalam LKS mata pelajaran Bahasa Indonesia dilihat dari

koherensi teks wacana tersebut koheren dan dari segi kohesi teks wacana tersebut telah tepat.

(3) Tingkat kesesuaian keterbacaan wacana dalam LKS mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas

4–6 SD memperlihatkan hasil bahwa kesebelas teks wacana belum sesuai untuk

masing-masing kelas.

(4) Tingkat kepahaman siswa terhadap teks wacana dalam LKS mata pelajaran Bahasa Indonesia

memperlihatkan hasil bahwa siswa cukup paham, tetapi belum termasuk kategori tinggi.

(5) Perbaikan yang dilakukan terhadap teks wacana dalam LKS mata pelajaran Bahasa Indonesia

kelas 4–6 SD memberikan hasil yang lebih baik.

(6) Perbandingan tingkat keterbacaan setelah dilakukan perbaikan memperlihatkan hasil adanya

peningkatan secara berturut-turut seperti berikut. teks wacana kelas empat sebelum perbaikan

persentasenya (38,33%, 44,44%, dan 41,33%) setelah perbaikan (45,33%, 52,28%, dan

45,6%). Teks wacana kelas lima sebelum perbaikan (36,11%, 41,96%, 22,25%, dan 40%)

setelah perbaikan (64%, 44%, 45,86%, dan 41,96%). Teks wacana kelas enam sebelum

(10)

perbaikan (48,33%, 40%, 37,64%, dan 26,66%) setelah perbaikan (55,46%, 53,33%, 51,2%,

dan 50,14%.

(7) Perbandingan tingkat pemahaman siswa setelah dilakukan perbaikan memperlihatkan adanya

peningkatan rata-rata skor secara berturut-turut seperti berikut. Kelas empat 60,00 < 67,33,

kelas lima 61,33 < 74,67, dan kelas enam 61,33 < 82,00.

Berdasarkan tujuh pernyataan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa kesebelas teks wacana

tersebut dapat dipergunakan untuk siswa sesuai dengan penentuan kelas pada LKS setelah

diperbaiki beberapa aspek. Penentuan kesesuaian teks dengan level keterbacaan pada

masing-masing kelas dapat dilakukan melalui uji Fry.

Rekomendasi

Inilah beberapa rekomendasi yang diusulkan berdasarkan hasil penelitian.

(1)

LKS sebagai media belajar anak selayaknya dapat dimanfaatkan oleh guru dengan sebaik

mungkin sehingga anak-anak bersemangat dalam belajar. Salah satu upaya pemanfaatan

dengan baik adalah dengan memilih LKS yang teks-teks wacana di dalamnya memiliki

kesesuaian dengan jenjang tingkatan kelas anak.

(2)

Wacana yang di dalamnya mengandung informasi penting yang dapat diserap oleh

anak-anak melalui kegiatan membaca sangat perlu mendapat dukungan dari pendidik untuk

melihat kesesuaian teks wacana pada jenjang tingkatan kelas anak. Upaya yang termasuk

penting dilakukan oleh guru supaya anak-anak mendapatkan teks wacana yang bermanfaat

bagi mereka adalah melakukan upaya uji coba teks-teks wacana dalam LKS pada anak

sebelum LKS digunakan.

(3)

Anak-anak dapat belajar dari berbagai media, termasuk media buatan guru sendiri sehingga

guru tidak perlu merasa tidak nyaman ketika mengembangkan usaha pemanfaatan media

buatan sendiri. Salah satu media buatan guru adalah menyusun LKS. LKS yang disusun

oleh seorang guru akan lebih mudah dipahami oleh anak-anak karena guru isi LKS dapat

disesuaikan dengan tingkatan kelas anak dan tingkat perkembangan bahasa anak. Guru

dapat menyusun teks wacana dalam LKS buatannya dengan bahasa-bahasa sederhana dan

tema-tema yang dikaitkan langsung dengan kehidupan anak.

(4)

Setiap manusia tentu berharap kemampuan menulisnya dapat meningkat dan berkembang.

Setiap penulis juga akan berusaha melihat setiap sisi kehidupan yang dapat diangkat

menjadi tulisan dengan bahasa sederhana untuk berbagai karyanya. Salah satu karya yang

sering digunakan di dunia pendidikan adalah LKS. Hasil LKS tersebut selayaknya

benar-benar terukur tingkat keterbacaannya untuk itu LKS yang diterbitkan oleh penerbit dapat

diujicobakan tingkat keterbacaan oleh penulis sebelum LKS diterbitkan.

DAFTAR PUSTAKA

Aji, N. (2008). Jejak Manusia. [Online]. Tersedia: http://Kiftiya.Blogspot.Com/2008

/07/keterbacaan-readability.html [8 Oktober 2010]

(11)

ISSN 1412-565X

Damaianti, V. S. (1991). Teknik Klos sebagai Alat Ukur dalam Menentukan Kesangkilan Wacana

Bahasa Indonesia. Skripsi pada FPBS IKIP Bandung: tidak diterbitkan.

Djajasudarma, T. F. (2006). Wacana Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung: Refika

Aditama.

Farr, R. & Roser, N. (1979). Teaching A Child to Read. New York: Harcourt Brace Jovanovich.

Hidayati, N. (2005). Analisis Buku Biologi SMA Kelas X Semester I Berdasarkan Kurikulum 2004

yang Banyak Digunakan di SMA Negeri Kabupaten Banteng. Semarang: UNNES PRESS.

Jongsma, E. A. (1980). Close Instruction Research: A Second Look. Delware: IRA.

Kridalaksana, H. (1984). Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.

Kusmana,

S.

(2008).

Keterbacaan

Buku

Teks

Pelajaran.

Jurnal.

[Online].

Tersedia:http://suherlicentre.blogspot.com/2008/10/bahasa-indonesia-dalam-kajian.html [13

Desember 2010].

Mulyati, Y. (2003). Kecepatan Efektif Membaca: Apa, Mengapa, dan Bagaimana [Online].

Tersedia;

http://file.upi.edu/Direktori/

FPBS/JURPEND.

BHS.

DAN

SASTRA

INDONESIA/196008091986012 YETI MULYATI/KECEPATAN EFEKTIF MEMBACA

MMAS 2003.pdf, [8 Oktober2010]

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 11/2005 tentang Buku Teks Pelajaran, Pasal 2 Ayat

(1) dan Ayat (1).

Suryadi, A. (2007). “Tingkat Keterbacaan Wacana Sains dengan Teknik Klos”. Jurnal

Sosioteknologi. 10, (6), 196-199. [Online]. Tersedia:

http://www.fsrd.itb.ac.id/wp-content/uploads/2007/11/PakAmas.pdf [16 Desember 2010].

Tampubolon. (2008). Kemampuan Membaca: Teknik Membaca Efektif dan Efisien. Bandung:

Angkasa.

Tarigan, H. G. (1993). Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa.

Utorodewo, F. N. (2007). Tinjauan Buku Teks Pelajaran Bahasa Indonesia. Jurnal [Online].

Tersedia:

http://johnherf.wordpress.com/2007/02/06/tinjauan-buku-teks-pelajaran-bahasa-indonesia/ [10 Oktober 2010]

Wahab, J. (2010). Peningkatan Kemampuan Membaca Pemahaman Teks Bacaan Melalui

Investigasi Kelompok (Group Investigation). Tesis Magister pada SPs UPI Bandung: tidak

diterbitkan.

Wainwright, G. (2007). Speed Reading Better Recalling. Jakarta: PT. Gramedia.

Yusuf L. N. S. (2009). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya

BIODATA SINGKAT

Penulis adalah Mahasiswa S2 PROGRAM Studi Pendidikan Dasar Sekolah Pascasarjana

Universitas Pendidikan Indonesia Bandung

Gambar

Grafik  keterbacaan  yang  diperkenalkan  Edward  Fry  ini  merupakan  formula  menentukan  tingkat wacana yang mempertimbangkan panjang pendeknya kata dan tingkat kesulitan kata yang  ditandai oleh jumlah (banyak-sedikitnya) suku kata yang membentuk setia

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi yang berjudul “ EFEKTIVITAS PENCUCIAN DAN PENYEMPROTAN BEBERAPA CAIRAN PENCUCI TERHADAP UMUR SIMPAN BUAH TOMAT

Although many types of energy sources are used, but the main source of electrical energy supply Indonesia still rely on fossil fuels are limited and we also have

Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat dengan judul pengaruh kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar pada siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri Ketawanggede Malang

[r]

Untuk itu guru perlu menyediakan sumber belajar yang khusus dibuat untuk suatu materi tertentu yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik agar peserta didik lebih

Penelitian ini menemukan pola perkembangan morfologi desa pada saat ini memiliki konsep yang masih berpegang teguh pada awig-awig desa, akan tetapi pola pertumbuhan

Dengan mengucap Alhamdulillahirobbil’lamin, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, nikmat, taufiq, hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis