• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Belanja Pemerintah Pusat Terhadap Peningkatan Produksi Padi di Propinsi Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Belanja Pemerintah Pusat Terhadap Peningkatan Produksi Padi di Propinsi Jawa Barat"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH BELANJA PEMERINTAH PUSAT TERHADAP

PENINGKATAN PRODUKSI PADI

DI PROPINSI JAWA BARAT

ATANG TRISNANTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Belanja Pemerintah Pusat Terhadap Peningkatan Produksi Padi di Propinsi Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

Atang Trisnanto

(4)
(5)

RINGKASAN

ATANG TRISNANTO. Pengaruh Belanja Pemerintah Pusat Terhadap Peningkatan Produksi Padi di Propinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh ARIEF DARYANTO dan AGUNG HENDRIADI.

Krisis pangan global akan menjadi masalah serius di masa depan. Peningkatan produksi pangan harus dilakukan oleh setiap negara untuk meningkatkan ketahanan pangan. Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi pangan adalah melalui upaya peningkatan belanja pemerintah yang digunakan untuk membiayai kegiatan program pembangunan seperti infrastruktur irigasi, ketersediaan benih dan pupuk, riset dan teknologi, pembiayaan, dan lain-lain.

Ketepatan dalam alokasi anggaran belanja pemerintah diperlukan agar mampu mendongkrak output pertanian. Hal ini sejalan dengan pendapat Daryanto (2012) yang menyatakan bahwa pertumbuhan pertanian yang berkelanjutan membutuhkan dukungan investasi yang lebih baik dan lebih besar. Selama ini pembangunan pertanian kita tidak ditopang dengan tingkat investasi yang memadai (underinvestment). Bahkan investasi di bidang pertanian yang sangat terbatas tersebut dialokasikan secara tidak benar pula (misinvestment).

Alokasi yang tidak benar (misinvestment) dan alokasi yang tidak memadai (underinvestment) sering terjadi karena lebih memprioritaskan output jangka pendek dibanding output jangka panjang. Investasi pada sarana publik semakin menurun, sedangkan subsidi dan bantuan sosial semakin meningkat. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh belanja pemerintah terhadap peningkatan produksi padi, sehingga dapat diketahui seberapa besar pengaruh belanja pemerintah terhadap produksi padi. Lebih lanjut, penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi jenis program-program yang memberikan pengaruh signifikan terhadap produksi padi, sehingga dapat dimanfaatkan untuk merumuskan kebijakan yang lebih tepat dan efektif.

Dalam penelitian ini, wilayah yang dikaji dibatasi pada wilayah Kabupaten Kota di Propinsi Jawa Barat. Pemilihan Propinsi Jawa Barat sebagai wilayah basis penelitian karena propinsi ini merupakan salah satu basis produksi padi di Indonesia. Wilayah yang masih satu propinsi diharapkan dapat mengurangi heterogenitas data. Untuk belanja pemerintah, dipilih 5 program utama yang bersumber dari anggaran Kementerian Pertanian, yaitu subsidi pupuk, bantuan benih unggul, perbaikan irigasi tersier, sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu (SL-PTT), dan bantuan permodalan pengembangan usaha agribisnis pedesaan (PUAP). Anggaran investasi Pemerintah Daerah dan swasta tidak dimasukkan dengan pertimbangan bahwa rata-rata anggaran daerah untuk sektor pertanian relatif kecil dan sangat beragam antar daerah. Sedangkan investasi swasta sebagian besar dialokasikan untuk sektor perkebunan dan sangat kecil yang digerakkan dalam budi daya padi.

(6)

terpadu sebagai variabel bebas yang semuanya dinyatakan dalam satuan ribu rupiah. Pemilihan variabel independen tersebut berdasarkan atas program-program utama masing-masing eselon I Kementerian Pertanian yang nilai anggarannya besar. Nilai dari setiap variabel independen adalah nilai riil yang sudah disesuaikan dengan nilai nominal pada masing-masing tahun melalui perhitungan indeks harga konsumen di wilayah Propinsi Jawa Barat dengan harga riil pada tahun 2007 sebagai basis perhitungan.

Metode analisis menggunakan model estimasi data panel statis. Hasil studi menunjukkan bahwa metode estimasi GLS (generalized least square) dengan variabel dummy tahun sebagai model estimasi terbaik. Secara total, belanja pemerintah yang diinvestasikan dalam bentuk program subsidi pupuk, bantuan benih unggul, rehabilitasi irigasi tersier, sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu, dan bantuan modal pengembangan usaha agribisnis pedesaan memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan produksi padi di Propinsi Jawa Barat.

Dalam jangka pendek (short run),belanja pemerintah dalam bentuk subsidi pupuk dan bantuan benih unggul memberikan pengaruh yang signifikan terhadap produksi padi di Propinsi Jawa Barat pada taraf nyata 5%, sedangkan rehabilitasi irigasi tersier berpengaruh nyata pada taraf 15%. Pada taraf nyata 5%, penambahan 1% anggaran pupuk, ceteris paribus, akan meningkatkan produksi padi sebesar 0.056% dan peningkatan 1% anggaran benih unggul, ceteris paribus, akan meningkatkan produksi padi sebesar 0.38%. Pada taraf nyata 15%, penambahan anggaran rehabilitasi irigasi tersier sebesar 1%, ceteris paribus, akan meningkatkan produksi padi sebesar 0.206%.

Pupuk dan benih merupakan input langsung dalam budi daya usaha padi sehingga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap produksi. Rehabilitasi irigasi tersier belum dapat menambah luas tanam dan luas panen secara signifikan karena sifatnya yang sangat mikro dan perbaikan saluran yang sudah ada. Di sisi lain, rehabilitasi irigasi tersier memerlukan waktu jeda dalam mempengaruhi produksi pangan karena pembangunannya yang dikerjakan pada tengah atau akhir tahun anggaran.

Dalam jangka pendek (short run), belanja pemerintah dalam bentuk bantuan permodalan dan sekolah lapang tidak berpengaruh nyata terhadap produksi padi di Jawa Barat, baik pada taraf nyata 5% maupun 15%. Hal ini terjadi karena bantuan permodalan PUAP hanya menyentuh sejumlah kecil petani dan tidak secara massal seperti halnya subsidi pupuk. Demikian juga dengan sekolah lapang yang hanya fokus pada areal laboratorium lapang yang luasnya 1 ha dari total 25 ha SL-PTT. Di sisi lain, program SL-PTT hanya meliputi lebih kurang 25% dari total luas tanam padi. Pada kondisi inilah, fenomena tentang

misinvestment terjadi. Untuk itu, anggaran yang dialokasikan pada kedua program ini dapat direlokasi untuk program lain yang lebih signifikan. Program subsidi pupuk, bantuan benih unggul, dan rehabilitasi irigasi tersier memiliki hubungan positif terhadap peningkatan produksi padi di Propinsi Jawa Barat dan dapat dijadikan perbaikan rumusan program dan kebijakan peningkatan produksi padi di Propinsi Jawa Barat.

(7)

SUMMARY

ATANG TRISNANTO. Impact of Central Government Expenditures to The Increase of Rice Production in West Java Province. Supervised by ARIEF DARYANTO and AGUNG HENDRIADI.

Global food crisis is being a serious problem in the future. The increase of food production shall be done by each country in order to improve the food security. One of the efforts to increase the food production is by increasing the government expenditures that is used for financing production activities or programs among others irrigation infrastructures, supply of seed and fertilizer, research and technology, agriculture financing and others.

Accuracy in this Government budget allocation is required in order able to raise the output. This matter is in line with Daryanto’s opinion (2012), which states that the sustainable growth of agriculture requires better and larger investment supports. In this present, our agriculture development has inappropriate supports (underinvestment). Moreover, the limited investment itself was allocated improperly (misinvestment).

The improper allocation (misinvestment) and inappropriate allocation (underinvestment) frequently occur due to take more priority in short-term output than the long-term output. Proportion between investment in public facilities and model of subsidy and social assistance is continuously improved. For such case, this study aims to analyze the impact of government expenditures to the increase of rice production. Upon this study is hoped able to know how much big the impact of government expenditures to the increase of rice production. In addition, it is to identify what kinds of programs that significantly provide the impact to rice production, therefore it is able to be used to formulate the more effective and efficient policies.

In this study, the researched area is limited in Regencies and Municipalities in West Java Province. West Java Province is one of the rice production bases in Indonesia. This one province area is hoped able to reduce the varied data. For the government expenditures, it is selected for 5 main programs, which derives from the budget of the Ministry of Agriculture, namely subsidy of fertilizer, superior seed assistance, tertiary irrigation rehabilitation, field school for integrated plant management (SL-PTT), and capital assistance for village agribusiness development (PUAP). The budget of Regional Government and private investments excluded considering that the regional budget in average for the agriculture sector is relatively small amount and it is too varied among the regions. While private investment mostly are allocated for plantation sector and it is too small amount for mobilizing the rice cultivation.

(8)

variables is based on each main programs in echelon I of the Ministry of Agriculture that has large budget value.

The value of each independent variable is the real value that has been adjusted with the nominal value is respective year through the calculation of consumer price index in West Java Province, in which the real price in 2007 to be the calculation base.

The analysis methods applies the estimation model of static panel data. The result of study shows that the estimation model of GLS (generalized least square) with dummy variables as the best estimation model. The government expenditures invested in the form of program such as subsidy of fertilizer, superior seed assistance, tertiary irrigation rehabilitation, field school for integrated plant management, and capital assistance for village agribusiness development provide the positive impact to the increase of rice production in West Java Province.

In the short-term (short run), the government expenditures in the form of subsidy of fertilizer and superior seed assistance provide significant impact to rice production in West Java Province at 5% level of significance, while tertiary irrigation rehabilitation has significant impact at 15% level of significance. At the significant level of 5%, increase of 1% fertilizer budget, ceteris paribus, will increase the rice production at 0.056% and increase of 1% of superior seed budget, ceteris paribus, will increase the rice production at 0.38%. At the significant level of 15%, increase of tertiary irrigation rehabilitation budget 1%, ceteris paribus, will increase the rice production at 0.206%.

Fertilizer and seed are direct input in rice business cultivation, therefore it provides significant impact to the production. For tertiary irrigation is incapable to enlarge the planting and harvest significantly because it has too micro characteristic. In the other sides, tertiary irrigation rehabilitation needs interval time in influencing the food production.

In the short-term (short run), the government expenditures in the form of capital assistance and field school has no impact to the rice production in West Java, either in the significant level 5% as well as 15%. This matter is because the capital assistance of PUAP just reach small amount of farmers and it is not massive as the subsidy of fertilizer. Moreover, the field school that is focusing to field laboratory area that covers at the extent of 1 ha from totally 25 ha SL-PTT. In other sides, the program of SL-PTT just consists of less than 25% of the total rice planting area.

The program of fertilizer subsidy, superior seed assistance, tertiary irrigation rehabilitation has positive correlation to the increase of rice production in West Java Province and it can be the improvement of program formulation and the policy for increasing rice production in West Java Province.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

PENGARUH BELANJA PEMERINTAH PUSAT TERHADAP

PENINGKATAN PRODUKSI PADI

DI PROPINSI JAWA BARAT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(12)
(13)

Judul Tesis : Pengaruh Belanja Pemerintah Pusat Terhadap Peningkatan Produksi Padi di Propinsi Jawa Barat

Nama : Atang Trisnanto NIM : H151100154

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Arief Daryanto, MEc Ketua

Dr Ir Agung Hendriadi, MEng Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi

Dr Ir Nunung Nuryartono, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 8 September 2014

(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah hubungan antara belanja pemerintah dengan produksi padi, dengan judul Pengaruh Belanja Pemerintah Pusat Terhadap Peningkatan Produksi Padi di Propinsi Jawa Barat.

Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Arief Daryanto, MEc dan Bapak Dr Ir Agung Hendriadi, MEng yang telah berkenan membimbing penulis secara penuh dan sangat baik di sela kesibukan beliau berdua yang sangat tinggi. Terima kasih turut penulis sampaikan kepada Dr Ir Nunung Nuryartono sebagai Ketua Program Studi yang banyak memberikan dukungan selama studi, serta Kementerian Pertanian yang telah membantu menyediakan data yang diperlukan. Ungkapan terima kasih dan rasa cinta yang mendalam penulis sampaikan kepada ayah, almarhumah ibu, istri dan putera puteri tercinta, serta seluruh keluarga, atas segala doa, dukungan, dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014

(16)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... ii

1. PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan Penelitian ... 6

Manfaat Penelitian ... 7

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

Landasan Teori ... 7

Penelitian Terdahulu ... 14

3. METODE ... 26

Kerangka Pemikiran Penelitian ... 26

Jenis dan Sumber Data ... 28

Analisis Deskriptif ... 29

Prosedur dan Analisis Model Regresi ... 29

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

Analisis Deskriptif ... 38

Analisis Model Regresi ... 43

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 55

Kesimpulan... 55

Saran ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 56

LAMPIRAN ... 61

(17)

DAFTAR TABEL

Jumlah produksi padi Indonesia tahun 2008-2013 ... 4

Anggaran sub sektor tanaman pangan tahun 2008-2013 ... 5

Hasil penelitian terdahulu mengenai pengaruh belanja pemerintah terhadap produksi pangan dan out put pertanian ... 18

Beberapa hasil penelitian tentang pengaruh faktor produksi padi di Indonesia ... 22

Luas lahan sawah berdasarkan jenis pengairan di Propinsi Jawa Barat ... 37

Jumlah produksi padi Propinsi Jawa Barat ... 38

Luas tanam padi sawah Propinsi Jawa Barat (2008-2012) ... 40

Luas panen padi sawah Propinsi Jawa Barat (2008-2012) ... 41

Hasil uji model data panel statis ... 44

Hasil uji model data panel statis dengan dummy variabel ... 45

Hasil operasi software Stata 12 dengan model GLS dummy tahun ... 46

DAFTAR GAMBAR

Anggaran Kementerian Pertanian ... 2

Kerangka pemikiran penelitian ... 27

Peta jenis tanah di Jawa Barat ... 37

Produksi padi Propinsi Jawa Barat ... 38

Belanja pemerintah pusat sub sektor tanaman padi dan produksi padi di 20 Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat ... 39

Tren produksi padi, belanja irigasi, belanja PUAP, belanja SL-PTT di 20 Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat ... 42

Tren produksi padi, belanja pupuk, dan belanja benih di 20 Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat ... 43

DAFTAR LAMPIRAN

Produksi padi di 20 Kab/Kota Propinsi Jawa Barat ... 61

Grafik hubungan produksi padi dan belanja benih di 20 Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat tahun 2007-2013 ... 62

Grafik hubungan produksi padi dan belanja subsidi pupuk di 20 Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat tahun 2007-2013 ... 63

Grafik hubungan produksi padi dan belanja rehabilitasi irigasi tersier di 20 Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat tahun 2007-2013 ... 64

Grafik hubungan produksi padi dan belanja permodalan PUAP di 20 Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat tahun 2007-2013 ... 65

Grafik hubungan produksi padi dan belanja sekolah lapang di 20 Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat tahun 2007-2013 ... 66

Hasil pendugaan model PLS (pooled least square) ... 67

Hasil pendugaan model FEM (fixed effect models) ... 68

(18)

Hasil uji pemilihan model ... 69

Hasil pendugaan model PLS (pooled least square)dengan dummy tahun ... 70

Hasil pendugaan model FEM (fixed effect models) dengan dummy tahun ... 71

Hasil pendugaan model REM (random effect models) dengan dummy tahun ... 72

Hasil pendugaan model REM hubungan antara produksi padi dan total belanja pemerintah ... 73

(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Krisis pangan global akan menjadi masalah serius dunia di masa depan. Bumi tidak berubah, sedangkan populasi manusia terus bertambah. Berdasarkan statistik FAO (Food and Agriculture Organization) di 102 negara berkembang, terdapat lebih dari 1.1 milyar orang kelaparan pada tahun 2011 dan grafiknya terus meningkat setiap tahun. Kekhawatiran akan munculnya krisis pangan global sangat beralasan. Irawan (2010) menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan krisis pangan global. Pertama, perubahan iklim menyebabkan peluang terjadinya gagal panen yang masif di berbagai belahan dunia. Kedua, menyusutnya lahan pertanian di berbagai negara. Ketiga, fenomena proteksionisme yang makin meningkat akan menyebabkan negara produsen pangan tidak menjual produk pangan ke negara lain dengan alasan untuk memperkuat cadangan pangan. Keempat, adanya kebijakan inovasi bahan bakar tak terbarukan sehingga memacu pertumbuhan industri biofuel.

Untuk Indonesia, jumlah penduduk nasional saat ini telah mencapai 245 juta orang dengan pertumbuhan sebesar 1.49% per tahun. Pada tahun 2025, diperkirakan jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 300 juta orang. Dengan pertumbuhan populasi tersebut, kebutuhan akan pangan dipastikan meningkat. Di sisi lain, pertambahan penduduk juga akan mengurangi ketersediaan lahan pertanian akibat konversi ke perumahan, jalan, industri, sarana publik, dan berbagai kepentingan lain diluar sektor pertanian.

Kondisi tersebut harus diantisipasi melalui upaya peningkatan produksi pangan yang jauh lebih serius dari apa yang telah dilakukan selama ini. Kebijakan pangan yang dicerminkan melalui kebijakan UU No 18 tahun 2012 tentang Pangan menugaskan tercapainya Ketahanan Pangan Nasional. Ketahanan Pangan dapat dikatakan tercapai apabila telah terpenuhinya pangan bagi negara dan perseorangan melalui tersedianya pangan yang cukup (jumlah dan mutu), beragam, bergizi, aman, seimbang, dan tidak bertentangan dengan keyakinan dan agama masyarakat.

Pemenuhan kebutuhan pangan secara jumlah saja sangatlah tidak mudah, apalagi menyediakan pangan dari sisi kuantitas, kualitas, dan kandungan gizinya secara sekaligus. Dengan demikian, upaya pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri yang dilakukan melalui pembangunan pertanian pada masa mendatang akan mengalami banyak tantangan yang semakin kompleks dibanding pertanian saat ini dan era sebelumnya.

(20)

Anggaran (Ribu Rupiah)

Tahun

Kebijakan yang sama juga dilakukan oleh Pemerintah setelah era reformasi. Hal ini bisa dilihat dari langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mencanangkan program Revitalisasi Pertanian pada tanggal 11 Juni 2005 dengan program utama berupa peningkatan ketahanan pangan, pengembangan agribisnis, dan peningkatan kesejahteraan petani. Penghargaan kembali diberikan FAO kepada Pemerintah Indonesia pada tahun 2013 atas keberhasilan menaikkan

trend produksi pangan dan percepatan pencapaian unsur Millenium Development Goals, yaitu pengurangan angka kelaparan sebelum 2015.

Kebijakan pangan pada era Kabinet Indonesia Bersatu II periode 2009-2014 dipertegas lagi melalui program pencapaian surplus 10 juta ton beras pada akhir tahun 2014. Selain beras, Pemerintah juga membuat target swasembada untuk komoditas jagung, kedelai, gula, dan daging sapi. Sasaran dan target tersebut diikuti dukungan kebijakan fiskal berupa kecenderungan penambahan jumlah anggaran belanja pemerintah Kementerian Pertanian dibanding periode 2004-2009 (Gambar 1). Penambahan jumlah belanja pemerintah diharapkan dapat meningkatkan produksi pangan dan output pertanian. Namun, sejauh mana implikasi kenaikan belanja pemerintah terhadap sasaran dan target pembangunan yang telah ditetapkan masih perlu dilakukan uji ilmiah lanjut yang lebih mendalam.

Gambar 1. Anggaran Kementerian Pertanian (2004-2014) Sumber : Biro Perencanaan Kementan (2014)

(21)

Hal ini sejalan dengan pendapat Daryanto (2012) yang menyatakan bahwa pertumbuhan pertanian yang berkelanjutan membutuhkan dukungan investasi yang lebih baik dan lebih besar. Selama ini pembangunan pertanian kita tidak ditopang dengan tingkat investasi yang memadai (underinvestment). Bahkan investasi di bidang pertanian yang sangat terbatas tersebut dialokasikan secara tidak benar pula (misinvestment).

Fuglie (2004) melakukan penelitian tentang faktor penentu pertumbuhan sektor pertanian di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1960 sampai dengan tahun 2000. Menurutnya, produktivitas pertanian mengalami peningkatan pada kurun waktu 1970-1980 dan trendnya mendatar mulai awal tahun 1990, dimana sebagian besar pertumbuhan pada masa 1970-1980 tersebut disebabkan oleh peningkatan input produksi berupa lahan dan tenaga kerja. Stagnasi produktivitas di awal tahun 1990 disebabkan oleh rendahnya investasi publik maupun individu seperti penelitian, infrastruktur pedesaan, dan irigasi.

Alokasi yang tidak benar (misinvestment) dan alokasi yang tidak memadai (underinvestment) seperti hasil penelitian Fuglie (2004) tersebut sering terjadi karena pertimbangan situasi politik ataupun pemenuhan target jangka pendek (siklus 5 tahun pemerintahan). Proporsi antara investasi pada sarana publik dengan pola subsidi dan bantuan sosial yang semakin timpang selama ini menunjukkan adanya target short run yang lebih diutamakan. Padahal, investasi pada sarana publik pada jangka panjang justru lebih tepat karena pada umumnya memiliki return of investment (ROI) yang lebih tinggi dibanding program-program populis seperti subsidi dan bantuan sosial.

Berdasarkan uraian di atas, perlu kajian untuk mengetahui sejauh mana efektivitas pengaruh belanja pemerintah terhadap peningkatan produksi padi. Pengetahuan ini penting sebagai dasar pengambilan kebijakan fiskal agar alokasi belanja pemerintah dapat dialokasikan terhadap program-program yang tepat dan memberikan pengaruh nyata terhadap sasaran dan target produksi pangan yang telah ditetapkan.

Perumusan Masalah Penelitian

(22)

menjadi semakin terabaikan, terutama jika dilihat dari kecilnya jumlah investasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah (underinvestment).

Investasi Pemerintah yang relatif kecil pada sektor pertanian diharapkan dapat membiayai berbagai program, terutama pada program peningkatan produksi pangan. Dari sekian banyak program yang dibiayai oleh belanja pemerintah, belum tentu semuanya efektif berpengaruh terhadap target dan sasaran yang ditetapkan. Semua pihak tentu berharap agar investasi yang kecil dapat secara optimal berpengaruh terhadap target pembangunan, bukan sebaliknya, terjadi ketidaktepatan dalam penempatan belanja pemerintah (misinvetsment). Untuk itu, diperlukan kajian mengenai besarnya pengaruh masing-masing program terhadap sasaran dan target pembangunan pertanian.

Salah satu hal yang menarik untuk dicermati terkait ketepatan dan efektivitas investasi pemerintah adalah hubungan antara belanja pemerintah dengan peningkatan produksi padi. Selain faktor produksi yang dimiliki oleh unit usaha budi daya padi (lahan, tenaga kerja, kapital) setiap petani, diperlukan dukungan yang nyata dari Pemerintah guna meningkatkan produksi pangan. Dukungan nyata dari Pemerintah pada dasarnya untuk menjamin ketersediaan input produksi (faktor produksi) utama yang dijalankan oleh unit usaha budi daya padi, baik melalui regulasi, dukungan infrastruktur, maupun pembiayaan pengadaan input produksi.

Untuk mendukung peningkatan produksi pangan, terutama padi, Pemerintah membuat kebijakan fiskal berupa penambahan anggaran belanja sub sektor tanaman pangan. Anggaran tersebut sebagian besar dialokasikan untuk membiayai belanja penyediaan faktor produksi usaha tani, terutama input produksi seperti penyediaan pupuk, benih unggul, pembangunan sarana prasarana pertanian, penanganan organisme pengganggu tanaman, bantuan permodalan, dan penerapan teknologi.

Pada kurun waktu 2008-2013, terdapat perbedaan tren kenaikan ataupun penurunan produksi padi dan belanja pemerintah sub sektor tanaman pangan. Tabel 1 memperlihatkan bahwa produksi padi Indonesia tidak selalu naik setiap tahun. Pada tahun 2011, produksi padi nasional lebih rendah dibanding tahun 2010. Hal ini berkebalikan dengan jumlah anggaran sub sektor tanaman pangan yang mengalami kenaikan sekitar 300% pada tahun 2011 dibandingkan tahun 2010 (Tabel 2).

Tabel 1. Jumlah produksi padi Indonesia tahun 2008 - 2013

(23)

Dari Tabel 1 dan Tabel 2 dapat dilihat bahwa persentase kenaikan atau penurunan belanja pemerintah tidak sama dengan persentase kenaikan atau penurunan produksi padi. Sebagai contoh, produksi padi pada tahun 2010 mengalami kenaikan sebesar 3.21%, sedangkan belanja pemerintah justru mengalami penurunan sebesar 11.06%. Pada tahun 2011, jumlah belanja pemerintah hampir tiga kali lipat dibanding jumlah belanja tahun 2010, sedangkan jumlah produksi padi justru menurun sebesar 1.6%. Pada tahun 2012, belanja pemerintah mengalami kenaikan sebesar 59.28% dan produksi padi naik sebesar 5.61%. Pada tahun 2013, produksi padi mengalami kenaikan sebesar 3.21%, sedangkan belanja pemerintah justru mengalami penurunan sebesar 30.6%.

Tabel 2. Anggaran sub sektor tanaman pangan tahun 2008-2013

Tahun Anggaran (dalam milyar rupiah)

2008 2009 2010 2011 2012 2013 Sub Sektor Tanaman Pangan 1 099 1 003 892 2 839 4 522 3 138 Sumber : Biro Perencanaan Kementan (2014)

Berdasarkan tren angka belanja pemerintah sub sektor tanaman pangan dan produksi padi kurun waktu tahun 2008-2013 tersebut, muncul pertanyaan mengenai pengaruh belanja pemerintah terhadap produksi padi. Apakah belanja pemerintah memberikan pengaruh terhadap peningkatan produksi padi? Belanja pemerintah dalam bentuk program apa sajakah yang berpengaruh positif terhadap peningkatan produksi padi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, diperlukan kajian akademik mengenai seberapa besar hubungan antara belanja pemerintah dengan produksi padi melalui analisis deskriptif dan analisis model ekonometrika. Hasil penelitian tersebut diharapkan dapat menjawab mengenai sejauhmana ketepatan investasi pemerintah. Apakah investasi yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah telah sesuai, atau sebaliknya, terdapat kesalahan investasi (misinvestment) yang pada akhirnya tidak berpengaruh signifikan terhadap produksi padi. Jawaban tersebut penting agar di masa depan tidak terjadi lagi kesalahan investasi (misinvestment). Dengan mengetahui faktor-faktor atau program yang memiliki pengaruh siginfikan dan positif terhadap produksi padi, Pemerintah dapat merumuskan kebijakan yang benar-benar berpengaruh terhadap produksi padi di masa mendatang.

(24)

Anggaran subsidi pupuk diberikan dalam bentuk subsidi harga yang dibayarkan terhadap produsen pupuk, sehingga petani membeli pupuk dengan harga yang telah disubsidi. Program bantuan benih unggul diberikan dalam bentuk barang, yaitu petani menerima benih unggul yang disediakan oleh BUMN (badan usaha milik negara) yang telah ditunjuk oleh Pemerintah atau perusahaan benih pemenang tender. Rehabilitasi irigasi tersier dilakukan dengan memperbaiki saluran irigasi di lahan sawah milik petani untuk mengurangi kebocoran dan kerusakan saluran. Perbaikan tersebut dilakukan langsung secara swakarya oleh kelompok tani dengan pembiayaan dari Pemerintah Pusat.

Untuk program bantuan permodalan PUAP, setiap gabungan kelompok tani di setiap desa (satu desa satu gapoktan) menerima bantuan modal sebesar Rp 100 juta sebagai modal awal lembaga keuangan mikro agribisnis yang dapat digunakan oleh anggota untuk pembiayaan budi daya usaha tani. Sedangkan program SL-PTT, Pemerintah memberikan anggaran kepada satu paket SL-PTT untuk melakukan kegiatan pembelajaran dan pelatihan, serta penyuluhan terkait diseminasi teknologi dalam hamparan 25 Ha sawah untuk setiap paket SL-PTT. Anggaran bantuan pupuk dan benih unggul untuk 1 Ha laboratorium lapang (LL) dalam paket SL-PTT tidak dimasukkan karena dikhawatirkan tumpang tindih dengan variabel subsidi pupuk dan bantuan benih unggul sebagai variabel tersendiri.

Dalam penelitian ini, anggaran investasi Pemerintah Daerah tidak dimasukkan sebagai variabel belanja pemerintah dengan pertimbangan bahwa rata-rata anggaran daerah untuk sektor pertanian relatif kecil dan sangat beragam antar daerah. Sedangkan investasi swasta tidak dimasukkan sebagai variabel investasi publik karena sebagian besar investasi swasta lebih banyak dialokasikan untuk sektor perkebunan dan sangat kecil yang digerakkan dalam budi daya padi. Selain itu, data mengenai jumlah investasi Pemerintah Daerah dan swasta untuk sub sektor tanaman pangan padi juga belum tersedia per Kabupaten/Kota.

Berdasarkan uraian diatas, permasalahan yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaruh peningkatan belanja pemerintah terhadap peningkatan produksi padi di Propinsi Jawa Barat?

2. Belanja pemerintah dalam bentuk program apa sajakah yang berpengaruh nyata terhadap peningkatan produksi padi di Propinsi Jawa Barat?

3. Bagaimana bentuk program dan kebijakan belanja pemerintah yang tepat untuk menaikkan produksi padi di Propinsi Jawa Barat?

Tujuan Penelitian

Dari uraian diatas, maksud dan tujuan penelitian ini diarahkan untuk : 1. Menganalisis pengaruh peningkatan belanja pemerintah terhadap peningkatan

produksi padi di Propinsi Jawa Barat.

2. Mengidentifikasi bentuk belanja pemerintah yang berpengaruh nyata terhadap peningkatan produksi padi di Propinsi Jawa Barat.

(25)

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan jawaban atas hubungan belanja pemerintah dengan produksi padi. Jawaban atas bentuk-bentuk belanja pemerintah yang berpengaruh signifikan dan tidak signifikan terhadap produksi padi dapat membantu Pemerintah merumuskan kebijakan yang tepat di masa depan. Alokasi belanja pemerintah untuk program yang tidak signifikan berpengaruh positif terhadap produksi padi, dapat direalokasi kepada program-program lain yang lebih berpengaruh. Sehingga, alokasi belanja pemerintah yang kecil di sektor pertanian diharapkan tidak semakin parah dengan adanya kesalahan investasi (misinvestment). Dengan demikian, penelitian ini bermanfaat untuk mengurangi kesalahan investasi pemerintah, khususnya dalam program peningkatan produksi padi, dan berperan dalam perumusan kebijakan belanja pemerintah yang lebih tepat di masa mendatang.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Landasan Teori

Konsep Ketahanan Pangan

Paradigma ketahanan pangan di launching pertama kali secara internasional oleh FAO pada tahun 1996. Suatu negara, wilayah atau daerah dinyatakan memiliki ketahanan pangan jika memenuhi tiga prasyarat, yaitu aspek ketersediaan (availability) dimana suplai pangan dalam suatu negara memenuhi kebutuhan atau permintaan domestiknya, kedua, accessibility (aksesibilitas), jika penduduk negara tersebut memiliki akses pangan yang tinggi terhadap pangan. Ketiga aspek kontinuitas, dimana akses pangan tersebut terjadi sepanjang waktu, bukan hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Artinya dalam aspek yang terakhir ini kemampuan suatu negara atau wilayah mengelola stok dan logistik pangan antar waktu menjadi faktor kunci yang menentukan ketahanan pangan suatu negara atau wilayah tersebut (Irawan 2006).

Ketahanan pangan memiliki definisi yang sangat bervariasi dalam tiap konteks, waktu dan tempat, namun umumnya mengacu pada definisi Bank Dunia dan Maxwell 40 dan Frankenberger yaitu akses semua orang setiap saat pada pangan yang cukup untuk hidup sehat (Maleha dan Sutanto 2006). Di Indonesia, definisi dan konsep ketahanan pangan terdapat pada Undang-Undang Pangan No. 7 Tahun 1996, yang menyatakan bahwa ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

(26)

atas, ketersediaan pangan secara kontinu, baik dari jumlah, mutu, dan sisi keamanan pangan pada masing-masing rumah tangga merupakan fondasi utama tercapainya ketahanan pangan nasional di Indonesia.

Peran Pemerintah dalam Kebijakan Pembangunan Pertanian

Menurut Todaro (2000) dalam Suindyah (2011), pembangunan merupakan suatu proses perbaikan yang dilakukan secara terus menerus (berkesinambungan) pada suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara keseluruhan untuk mencapai sebuah kehidupan yang lebih baik. Dan salah satu komponen dasar sebagai basis pembangunan adalah makanan sebagai kebutuhan dasar manusia secara fisik. Pencapaian ketahanan pangan nasional merupakan program strategis dan mendesak dari sebuah negara. Untuk itu, Pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam menyusun strategi, program, dan langkah-langkah kerja untuk mencapai ketahanan pangan nasional.

Mubyarto (1989) mengungkapkan bahwa kebijakan pertanian merupakan bagian dari kebijakan ekonomi yang menyangkut kepentingan sektor pertanian. Kebijakan pertanian adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang, dan akan dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Adapun tujuan umum kebijakan pertanian Indonesia adalah memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi lebih produktif, produksi, dan efisiensi produksi naik dan akibatnya tingkat penghidupan petani yang lebih tinggi dan kesejahteraan yang lebih sempurna.

Pemerintah memiliki kekuasaan atas sumber daya alam, kebijakan, dan sumber daya kapital yang dapat digunakan untuk melaksanakan pembangunan. Peran Pemerintah dapat diklasifikasikan menjadi empat macam (Dumairy 1999) yaitu :

a. Peranan alokasi, yakni peranan Pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi yang ada agar pemanfaatannya bisa optimal dan mendukung efisiensi produksi. Pemerintah harus merencanakan peraturan dan mengatur penggunaan sumber daya ekonomi yang ada agar teralokasi secara efisien. b. Peranan distributif, yakni peranan Pemerintah dalam mendistribusikan

sumberdaya, kesempatan, dan hasil-hasil ekonomi secara adil dan wajar. Pemilikan sumber daya dan kesempatan ekonomi seringkali tidak setara, baik di antara wilayah-wilayah negara yang bersangkutan maupun diantara sektor-sektor ekonomi yang ada. Begitu pula dengan kecenderungan pembagian hasil-hasilnya.

c. Peran stabilitatif, yakni peran Pemerintah dalam memelihara stabilitas perekonomian dan memulihkannya jika berada dalam keadaaan disekuilibrium.

d. Peran dinamisatif, yakni peranan Pemerintah dalam menggerakkan proses pembangunan ekonomi agar lebih cepat tumbuh, berkembang dan maju. Peran ini diwujudkan dalam bentuk perintisan kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu.

(27)

Rindayati et al. (2007) menyebutkan bahwa Pemerintah memiliki 15% - 20% kendali terhadap produk domestik bruto (PDB), dan salah satu instrumen Pemerintah untuk menaikkan PDB adalah dengan mengeluarkan kebijakan fiskal berupa penambahan belanja pemerintah dan pengaturan pajak. Dalam sektor pertanian tanaman pangan, peningkatan belanja pemerintah dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sektor pertanian melalui upaya peningkatan produksi pangan dan pendapatan petani.

Program Pembangunan Pertanian Sub Sektor Produksi Padi

Biro Perencanaan Kementan (2014) menyebutkan bahwa Kementerian Pertanian RI melaksanakan program peningkatan produksi padi dengan pendekatan konsep agribisnis, yaitu sub sistem hulu, sub sistem budidaya, dan sub sistem pasca panen. Sedangkan untuk sub sistem jasa dan sub sistem pemasaran hanya mendapat bagian kecil dari seluruh anggaran yang ada.

Program pembangunan pertanian tahun 2009-2013 untuk peningkatan produksi di lini sub sektor hulu antara lain program pencetakan sawah baru, pembuatan embung, perbaikan sistem irigasi tersier, pembuatan jalan usaha tani, pemuliaan varietas benih unggul padi, PUAP (pengembangan usaha agribisnis pedesaan), dan bantuan langsung benih unggul. Untuk sub sektor budidaya, program yang dijalankan antara lain program SL-PTT (sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu), SL-PHT (sekolah lapang pengendalian hama terpadu), pencegahan dan pemberantasan OPT (organisme pengganggu tanaman), subsidi pupuk anorganik, penyuluhan, dan bantuan langsung pupuk organik. Pada sub sektor pasca panen, dilaksanakan program bantuan alat panen (power tresher, combine harvester) dan bantuan alat penggilingan padi (rice milling unit). Sedangkan program lainnya diluar konsep agribisnis adalah bantuan gagal panen dan uji coba asuransi pertanian.

Pada tahun 2007-2009 terdapat program yang tidak dilaksanakan pada tahun 2009-2011, antara lain pemberian bantuan terpal, bantuan modal pembelian gabah, dan sistem pembiayaan pertanian. Sedangkan program tahun 2009-2013 yang tidak diluncurkan pada tahun 2007-2009 antara lain program bantuan langsung pupuk organik, bantuan mesin panen combine harvester, bantuan alat penggilingan padi, bantuan gagal panen, dan uji coba asuransi pertanian. Bentuk-bentuk program di atas yang dilaksanakan dengan pengeluaran belanja pemerintah diharapkan dapat meningkatkan produksi pangan dan GDP sektor pertanian tanaman pangan.

Faktor-faktor Produksi Usaha Tani Padi

Ada tiga macam fungsi produksi yang sering digunakan, yaitu fungsi produksi linier, kuadratik, dan eksponensial (Cobb-Douglas). Fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan fungsi produksi yang cukup baik digunakan dalam bidang pertanian dan industri dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut (Soekartawi 1994) :

(28)

Untuk pengaplikasian ordinary least square maka persamaan 1.1 diubah menjadi bentuk linier berganda, dengan cara melogaritmakan persamaan tersebut seperti persamaan berikut :

Log Y = log a + b1 logX1 + b2 logX2+ … + bn logXn + e ………… (1.2)

Dimana :

Y = variabel yang dijelaskan, X = variabel yang menjelaskan, B = koefisien regresi,

e = error/kesalahan, a = konstanta/intercept

Keunggulan fungsi Cobb-Douglas ini adalah pangkat dari fungsi atau koefisien βi (I = 1,2,3, …, n) merupakan elastisitas produksi (Ep) yang dapat digunakan secara langsung dan penjumlahan dari koefisien dapat menduga bentuk skala uasaha (return to scale) atau tingkat efisiensi penggunaan faktor – faktor produksi.

Hasil penelitian Djauhari (1999) yang menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas menyebutkan bahwa tiga variabel utama penentu produksi padi di Jawa Barat adalah luas lahan, tenaga kerja, dan kapital. Fungsi produksi yang dihasilkan adalah : LnY = 0.69609 + 0.6968 LnX1 + 0.1778 LnX2 + 0.0639 LnX3; dimana Y merupakan total produksi padi, X1 adalah luas lahan, X2 adalah tenaga kerja, dan X3 adalah kapital.

Hasil tersebut diperkuat oleh Hermanto (2012) dalam studinya mengenai analisis fungsi produksi usaha tani padi sawah dan pengaruhnya terhadap PDRB di Kabupaten Deli Serdang. Berdasarkan metode penduga Cobb Douglas, faktor usaha produksi padi yang berpengaruh positif terhadap produksi padi di Kabupaten Deli Serdang adalah luas lahan, benih, pupuk, dan tenaga kerja. Semakin luas unit pengelolaan lahan, semakin tinggi efisiensi dan produktivitas. Rata-rata hasil produktivitas untuk lahan luas (rata-rata 1.5 ha) adalah sebesar adalah sebesar 46.8 kw/ha, sedangkan rata-rata produktivitas lahan sempit (rata-rata 0.35 ha) sebesar 45.8 kw/ha.

Selain faktor luas lahan dan tenaga kerja, faktor kapital yang digunakan petani untuk menyediakan variabel input produksi usaha tani padi sawah juga berperan signifikan dalam penentuan total produksi padi. Variabel input tersebut diantaranya adalah penyediaan benih unggul, alat mekanisasi pertanian, pupuk, pemberantasan organisme pengganggu tanaman, dan beberapa variabel yang lain.

Terkait dengan input produksi padi, Pemerintah di berbagai negara memiliki kebijakan yang beragam. Sebagian besar negara membuat kebijakan subsidi untuk input utama seperti pupuk. Namun, berbagai kebijakan yang diambil oleh setiap negara hampir dipastikan disusun dalam rangka pemenuhan input utama produksi. Karena, ketersediaan input produksi yang dapat digunakan petani dalam usaha budi daya padi merupakan faktor yang sangat berperan dalam menentukan produksi padi.

(29)

ketersediaan air irigasi, alat pengolah lahan, benih unggul, penerapan tekhnologi, penggunaan pupuk berimbang, pestisida, permodalan, penyuluhan, alat pengurang tingkat losses, dan lain-lain.

Berdasarkan faktor produksi yang dilaksanakan melalui program-program Kementerian Pertanian, faktor produksi yang akan dikaji lebih mendalam dalam penelitian ini adalah belanja pemerintah untuk penyediaan pupuk bersubsidi, bantuan benih unggul, bantuan modal, sekolah lapang, dan infrastruktur pertanian (irigasi tersier dan jalan usaha tani).

(1) Pupuk

Pupuk merupakan salah satu unsur terpenting dalam peningkatan kesuburan tanah karena mengandung komposisi unsur kimia yang diperlukan oleh pertumbuhan tanaman (Litbang Pertanian 2002).

Peran pupuk yang begitu penting dalam pertumbuhan tanaman membuat Pemerintah mengambil kebijakan pupuk bersubsidi. Kapindo (2011) dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa pengadaan pupuk bersubsidi akan meningkatkan efisiensi usaha tani, yaitu berimplikasi pada peningkatan pemanfaatan lahan dan penggunaan benih yang secara sinergis berpengaruh terhadap peningkatan produksi pertanian. Kemudian, peningkatan produksi dengan biaya yang disubsidi dan harga output yang stabil menyebabkan pendapatan petani meningkat. Kedua hal tersebut akan mempengaruhi aspek ketersediaan dan aksesibilitas, sehingga akan mempengaruhi status ketahanan pangan.

(2) Benih Unggul

Balitbangtan (2008) menyebutkan bahwa benih merupakan sarana produksi yang membawa sifat-sifat varietas tanaman sehingga berperan penting dalam menentukan tingkat hasil yang akan diperoleh. Varietas unggul padi umumnya dirakit untuk memiliki sifat-sifat yang menguntungkan, antara lain: (1) daya hasil tinggi, (2) tahan terhadap hama dan penyakit, (3) umur genjah, dan (4) mutu hasil panen sesuai dengan keinginan konsumen. Mutu benih meliputi mutu genetik, mutu fisik, dan mutu fisiologis. Ciri–ciri benih bermutu adalah varietasnya asli, benih bernas dan seragam, bersih (tidak tercampur dengan biji gulma atau biji tanaman lain), daya berkecambah dan vigor tinggi, dan sehat (tidak terinfeksi oleh jamur atau serangan).

(30)

Keuntungan menggunakan benih padi bermutu tinggi antara lain benih tumbuh dengan cepat dan serempak, bila disemaikan mampu menghasilkan bibit yang vigorous (tegar) dan sehat, ketika ditanam-pindah, bibit dapat tumbuh lebih cepat, pertanaman lebih serempak dan populasi tanaman optimum sehingga mendapatkan hasil yang baik. Untuk mendapatkan benih padi unggul yang bermutu, perlu diketahui ciri-ciri benih unggul yaitu varietasnya asli, benih bernas dan seragam, bersih (tidak tercampur dengan biji gulma atau biji tanaman lain), daya berkecambah dan vigor tinggi sehingga dapat tumbuh baik jika ditanam di sawah, dan tidak terinfeksi oleh jamur atau serangan hama (Satoto et al. 2008).

(3) Permodalan

Modal yang biasanya disebut dengan kapital merupakan faktor penting dalam usaha tani. Kapital diperlukan untuk menyediakan input sarana produksi pertanian. Semakin besar kapital yang dimiliki, semakin besar peluang untuk berusaha tani secara optimal. Kapital atau modal dalam sektor pertanian di Indonesia masih menjadi permasalahan yang cukup pelik. Hal ini mengingat hampir sebagian besar petani Indonesia adalah petani kecil yang terbatas akses permodalannya. Untuk itu, Pemerintah dalam berbagai kebijakannya beberapakali mengeluarkan program permodalan di sektor pertanian.

Bentuk program bantuan penguatan modal yang diperuntukkan bagi petani pertama kali diperkenalkan pada Tahun 1964 dengan nama Bimbingan Masal (BIMAS). Tujuan dicanangkannya program tersebut adalah untuk meningkatkan produksi, meningkatkan penggunaan teknologi baru dalam usahatani dan peningkatan produksi pangan secara nasional. Dalam perjalanannya, program BIMAS dan kelembagaan kredit petani mengalami banyak perubahan dan modifikasi yang disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan kebijakan (Hasan 1979 dalam Lubis 2005).

Pada Tahun 1985 kredit BIMAS dihentikan dan diganti dengan Kredit Usaha Tani (KUT) sebagai penyempurnaan dari sistem kredit massal BIMAS, dimana pola penyaluran yang digunakan pada saat itu adalah melalui KUD. Selanjutnya perkembangan bentuk program bantuan penguatan modal dari pemerintah lainnya adalah Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Program KKP diperkenalkan oleh Pemerintah pada Bulan Oktober 2000 sebagai pengganti KUT. Program KKP merupakan bentuk fasilitasi modal untuk usahatani tanaman pangan (padi dan palawija), tebu, peternakan, perikanan dan pengadaan pangan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional dan pendapatan petani.

Kredit pertanian memiliki peran yang penting dalam pembangunan sektor pertanian. Pentingnya perananan kredit disebabkan oleh kenyataan bahwa secara relatif modal merupakan faktor produksi non alami yang persediaannya masih sangat terbatas terutama di Negara yang sedang berkembang. Ashari (2009) menyatakan bahwa kredit berperan untuk memperlancar pembangunan pertanian, antara lain karena :

a. Membantu petani kecil dalam mengatasi keterbatasan modal dengan bunga relatif ringan.

(31)

c. Mekanisme transfer pendapatan untuk mendorong pemerataan. d. Insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi pertanian.

Pada tahun 2008 pemerintah melalui Departemen Pertanian RI mencanangkan program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) yang memberikan bantuan modal usaha sebesar Rp 100 juta untuk setiap gabungan kelompok tani. Program ini terus dilanjutkan dan dikembangkan oleh Kementerian Pertanian RI sejak tahun 2009 sampai tahun 2013 yang lebih menitikberatkan pada upaya pembentukan lembaga keuangan mikro pertanian (Biro Perencanaan Kementan, 2014).

(4) Rehabilitasi Infrastruktur Irigasi Pertanian

Infrastruktur merupakan suatu sarana (fisik) pendukung agar pembangunan ekonomi suatu negara dapat terwujud. Perekonomian yang terintegrasi membutuhkan pembangunan infrastruktur. Peningkatan sarana perhubungan seperti jalan dan jembatan berimplikasi pada semakin murahnya biaya distribusi, dan mempercepat distribusi, sehingga akses masyarakat terhadap pangan menjadi lebih mudah dan cepat (Kwik 2002).

Peningkatan sarana irigasi juga dapat meningkatkan produksi dan menjadi insentif bagi petani. Sarana irigasi pertanian yang lazim terdapat di Indonesia adalah waduk, dam, parit, embung, dan air artesis. Pembangunan irigasi yang bertujuan untuk menyediakan air bagi hamparan sawah merupakan program utama yang sangat penting bagi produksi padi karena padi merupakan salah satu jenis tanaman yang sangat membutuhkan ketersediaan air dalam pertumbuhannya. Padi merupakan tanaman yang sangat sensitif terhadap kekurangan air. Kekeringan mempengaruhi morfologi, fisiologi, dan aktivitas pada tingkat molekular padi. Akibatnya, terjadi penundaan pembungaan dan penurunan kapasitas fotosintesis karena menutupnya stomata, pembatasan metabolisme, dan rusaknya kloroplas (Farooq et al. 2009). Menurut Yoshida (2008) dalam Suhendar (2010), tanaman padi membutuhkan air sebanyak 180-300 mm/bulan agar dapat tumbuh dengan baik.

Keperluan ketersediaan air yang dapat dipenuhi melalui infrastruktur irigasi yang baik untuk masa pertumbuhan tanaman padi dibuktikan dengan menurunnya produksi berbagai jenis varietas padi pada saat kekurangan air. Menurut Sulistyono et al. (2012), padi merupakan tanaman yang sangat sensitif terhadap stress atau cekaman air. Cekaman air bisa berupa kelebihan atau kekurangan air. Kelebihan air berupa cekaman banjir, sedangkan kekurangan air berupa cekaman kekeringan. Cekaman kekeringan menyebabkan penurunan produksi sebesar 32.44%, 41.52%, dan 48.87% berturut-turut pada frekuensi irigasi 8, 12, dan 16 hari sekali.

(32)

(5) Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT)

Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi pangan, terutama padi, adalah dengan cara meningkatkan produktivitas melalui penerapan teknologi secara intensif. Berbagai hasil penelitian menunjukkan adanya temuan teknologi budidaya tani yang dapat meningkatkan hasil produksi padi per satuan hektar. Untuk itulah, penerapan teknologi merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan produksi pangan.

Dalam rangka peningkatan produksi padi, Pemerintah telah melakukan upaya peningkatan produksi beras nasional (P2BN) dengan salah satu kegiatan utamanya adalah transfer teknologi melalui Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). Program ini telah dikembangkan oleh Kementerian Pertanian sejak tahun 2006 hingga Kabinet Indonesia Bersatu kedua (Biro Perencanaan Kementan 2014).

SL-PTT adalah bentuk sekolah yang proses belajar mengajarnya dilakukan di lapangan. Hamparan sawah milik petani peserta penerapan program PTT (pengelolaan tanaman terpadu) adalah hamparan SL-PTT, dan laboratorium lapang tempat praktek sekolah lapang disebut LL (laboratorium lapang). Konsep PTT merupakan pendekatan dalam pengelolaan lahan, air, tanaman, organisme pengganggu tanaman, dan iklim secara terpadu yang dilakukan berdasarkan strategi intensifikasi untuk meningkatkan produktivitas tanaman. Komponen teknologi dasar yang digunakan adalah penggunaan varietas benih unggul, pemupukan efisien melalui bagan warna daun dan perangkat uji tanah sawah, pengelolaan tanaman yang meliputi populasi dan cara tanam (jajar legowo), pemanfaatan bahan organik, irigasi berselang, penanganan panen dan pasca panen (Balitbangtan 2013).

Menurut Arfan (2012), konsep PTT yang digulirkan oleh Kementerian Pertanian bukan merupakan bentuk paket teknologi, melainkan konsep pendekatan pengelolaan produktivitas padi secara berkelanjutan dengan memperhatikan keberagaman lingkungan pertanaman dan kondisi petani, sehingga penerapan teknologi dan program PTT di suatu tempat mungkin sekali berbeda dengan lokasi lainnya.

Penelitian Terdahulu

Rindayati et al. (2007) melakukan studi mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal daerah dan ketahanan pangan di wilayah Propinsi Jawa Barat. Studi yang menggunakan data panel yang terdiri dari 13 cross section

(33)

signifikan bernilai positif terhadap produksi gabah, hal ini menunjukkan bahwa pada masa desentralisasi fiskal, produksi gabah relatif lebih besar.

Dari hasil tersebut setidaknya dapat memberikan gambaran awal mengenai alasan menurunnya produksi padi nasional tahun 2011 dibanding tahun 2010, meskipun anggaran pembangunan pertanian mengalami peningkatan pada kurun waktu yang sama. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi produksi padi perlu diidentifikasi secara tepat agar skema penyaluran dan pembelanjaan anggaran dapat menjadi daya ungkit peningkatan produksi padi.

Penelitian mengenai dampak penggunaan belanja pemerintah terhadap produksi pangan, pertumbuhan GDP pertanian, ataupun peningkatan pendapatan petani telah dilakukan di berbagai negara. Beberapa studi mengenai pengaruh belanja pemerintah terhadap out put sektor pertanian di Indonesia dilaksanakan oleh Fuglie (2004), Dirgantoro et al. (2009), dan Armas et al. (2010). Fuglie (2004) mengidentifikasi faktor penentu pertumbuhan sektor pertanian dalam kurun waktu 1960 sampai dengan tahun 2000. Menurutnya, produktivitas pertanian mengalami peningkatan pada kurun waktu 1970-1980 dan trendnya mendatar mulai awal tahun 1990, dimana sebagian besar pertumbuhan tersebut disebabkan oleh peningkatan input produksi berupa lahan dan tenaga kerja. Stagnasi produktivitas di awal tahun 1990 disebabkan oleh rendahnya investasi publik maupun individu seperti penelitian, infrastruktur pedesaan, dan irigasi.

Dari hasil laporan riset Dirgantoro et al. (2009) pada Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Jawa Barat, peningkatan pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian dalam bentuk belanja rutin dan pembangunan irigasi berdampak positif terhadap PDRB (produk domestik regional bruto) pertanian dan rasio ekonomi, tetapi berdampak negatif terhadap PDRB non pertanian dan total PDRB. Penelitian tersebut menggunakan metode persamaan simultan (32 persamaan struktural dan 15 persamaan identitas). Selain dampak belanja pemerintah dan irigasi, juga disimpulkan bahwa penurunan kontribusi sektor pertanian menyebabkan peningkatan kontribusi sektor industry, namun tidak dengan sektor lainnya.

Studi tentang pengaruh belanja pemerintah terhadap GDP sektor pertanian dilakukan oleh Armas et al. (2010). Hasil studi dengan menggunakan metode estimasi ordinary least squares (OLS) dan generalized method of moments (GMM) ini menyebutkan bahwa belanja pemerintah untuk sektor pertanian naik rata-rata 12 persen per tahun dalam kurun waktu tahun 2001-2009. Bentuk belanja pemerintah untuk fasilitas umum seperti irigasi berperan nyata dalam meningkatkan angka pertumbuhan GDP sektor pertanian. Sebaliknya, bentuk belanja dalam hal subsidi pupuk justru berperan negatif terhadap angka pertumbuhan GDP sektor pertanian.

(34)

Pada studi mengenai analisis faktor penentu produksi pertanian di berbagai negara, Mundlak et al. (1997) menyimpulkan bahwa faktor kapital sangat berpengaruh nyata terhadap produksi pertanian. Hasil studi ini merekomendasikan agar setiap Pemerintah di berbagai negara untuk meningkatkan alokasi modal yang digunakan untuk pengembangan dan penerapan teknologi serta pembiayaan faktor-faktor produksi lainnya agar produksi pertanian mengalami peningkatan. Olajide et al. (2012) melakukan kajian mengenai hubungan antara pembangunan sektor pertanian dengan pertumbuhan ekonomi di Nigeria. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa output sektor pertanian dan GDP Nigeria dengan

time series sebanyak 40 tahun pada kurun waktu 1970-2010. Hasil dari regresi linier sederhana, terdapat hubungan yang positif antara GDP dan output sektor pertanian. Pada taraf nyata 5%, peningkatan output sektor pertanian, ceteris paribus, meningkatkan GDP total sebesar 0.344%. Hal tersebut menunjukkan bahwa peran sektor pertanian sangat penting terhadap GDP Nigeria sehingga Pemerintah perlu memberikan insentif khusus kepada petani melalui permodalan, infrastruktur irigasi, jalan, dan listrik.

Akintunde et al. (2013) meneliti pengaruh belanja pemerintah dan kebijakan moneter terhadap GDP sektor pertanian di Nigeria. Data yang digunakan terdiri dari data belanja pemerintah pada sektor pertanian, skim jaminan kredit pertanian, suku bunga kredit, dan GDP sektor pertanian pada kurun waktu tahun 1980-2012. Model pendugaan menggunakan analisis ordinary least square dan memasukkan variabel lag dari beberapa variabel dependen maupun variabel independen. Dari hasil analisis ekonometrika, belanja pemerintah yang dinotasikan sebagai belanja pemerintah dua tahun sebelumnya (t-2) berpengaruh negatif terhadap GDP sektor pertanian tahun berjalan. Sedangkan belanja pemerintah satu tahun sebelumnya (t-1) tidak berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5%. Tingkat suku bunga yang tinggi juga berpengaruh negatif terhadap GDP sektor pertanian. Hanya variabel skim jaminan kredit pertanian satu tahun sebelumnya (t-1) dan GDP pertanian satu tahun sebelumnya (t-1) yang signifikan berpengaruh positif terhadap GDP pertanian tahun berjalan. Skim kredit pertanian satu tahun sebelumnya (t-1) memiliki elastisitas marjinal sebesar 0.4 dan GDP pertanian satu tahun sebelumnya (t-1) sebesar 0.1604.

Hussain (2012) meneliti pengaruh input utama budi daya padi (pinjaman kredit, penggunaan pupuk, ketersediaan air, dan area budi daya sawah) terhadap produksi beras di Pakistan pada kurun waktu tahun 1988-2010. Dengan menggunakan analisis regresi linear logaritma Cobb Douglass dan data time series

1989 sampai dengan tahun 2010, didapatkan hasil bahwa wilayah budi daya sawah dan ketersediaan air memiliki dampak yang positif dan sangat signifikan terhadap produksi beras. Hasil regresi menunjukkan bahwa wilayah budi daya sawah memiliki marjinal elastisitas sebesar 1.64 dan ketersediaan air memiliki marjinal elastisitas sebesar 0.87. sedangkan dua variabel yang lain, yaitu penggunaan pupuk dan pinjaman kredit tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap produksi beras di Pakistan.

(35)

investasi riset dengan investasi faktor produksi. Hasil analisis menyimpulkan bahwa belanja pemerintah dalam riset dan perbaikan jalan pedesaan memiliki pengaruh yang signifikan pada taraf nyata 5%, sedangkan belanja pemerintah untuk irigasi berpengaruh signifikan pada taraf nyata 10%. Ketiga variabel tersebut memiliki pengaruh positif terhadap produktivitas pertanian. Koefisien korelasi irigasi sebesar 0.31 dan koefisien korelasi jalan pedesaan sebesar 0.13. Dalam jangka panjang, belanja pemerintah untuk riset memiliki elastisitas sebesar 0.24, artinya setiap penambahan 1% anggaran riset akan meningkatkan produktivitas pertanian sebesar 0.24%. Belanja pemerintah untuk riset juga memiliki nilai internal rate of return sebesar 27%. Dari hasil uji Granger Casuality, dapat disimpulkan bahwa riset memberikan pengaruh positif yang signifikan terhadap total faktor produksi, dan total faktor produksi tidak berpengaruh terhadap riset.

Khusus mengenai subsidi, Ramli et al. (2012) melakukan kajian menggunakan sistem model dinamik untuk mengetahui dampak subsidi pupuk terhadap produksi padi di Malaysia. Hasil simulasi model dinamik menunjukkan bahwa subsidi pupuk memberikan pengaruh yang signifikan terhadap produksi padi dan industry perberasan. Subsidi pupuk meningkatkan hasil panen dan secara langsung meningkatkan produksi padi di Malaysia. Pencabutan subsidi pupuk akan menurunkan produksi padi.

Penelitian mengenai pengaruh subsidi, termasuk subsidi pupuk juga dilakukan di India. Kaur dan Sharma (2012) melakukan kajian tentang hubungan subsidi pertanian dengan produksi pangan di India pada periode tahun 1980 sampai dengan tahun 2007. Subsidi pertanian yang diteliti adalah subsidi pupuk dan pembangunan irigasi. Melalui pendekatan analisis deskriptif, pada level nasional, jumlah total subsidi untuk pupuk dan irigasi meningkat secara tajam dari tahun ke tahun. Sedangkan produktivitas pangan gandum juga mengalami peningkatan selama kurun waktu 1980-2007, kecuali pada tahun 1996-1997. Rata-rata subsidi per hektar pada tahun 1980-1981 sebesar 1 362.59 rupee dan naik menjadi 14 134.59 rupee pada tahun 1990-1991 serta 17 595.59 rupee pada tahun 2001. Di sisi lain, produktivitas pangan per hektar naik sebesar 44.63% pada tahun 1990-1991 dibanding tahun 1980-1981, turun sebesar 17.99% pada tahun 1996-1997, dan kembali naik sebesar 13.28% pada tahun 2006-2007. Secara umum, subsidi cukup berpengaruh terhadap produksi pangan, kecuali pada tahun 1996-1997. Bagi India, subsidi pupuk merupakan subsidi pembangunan yang menyebabkan peningkatan penggunaan pupuk dan peningkatan produksi. Pemerintah India mencabut subsidi pupuk pada tahun 2003 dan akhirnya menyebabkan penurunan produksi pangan. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar petani India belum mampu membeli pupuk dengan harga non subsidi.

(36)

meningkatkan produktivitas pertanian sebesar 0.236%. Untuk variabel teknologi, marjinal elastisitasnya sebesar 0.910, artinya peningkatan anggaran untuk teknologi sebesar 1% akan meningkatkan produktivitas pertanian sebesar 0.91%.

Mengenai kredit pertanian, Das et al. (2009) khusus meneliti mengenai kredit pertanian di India. Dalam studinya, peran kredit langsung dan tidak langsung sektor pertanian di India terhadap GDP pertanian selama kurun waktu 2001-2006 di 20 propinsi dianalisis menggunakan model penduga panel data dinamis. Hasil analisis menunjukkan bahwa kredit langsung pertanian memiliki pengaruh positif dan signifikan secara statistik dalam jangka waktu pendek. Sedangkan kredit tidak langsung pertanian memiliki pengaruh yang signifikan dan berkorelasi positif terhadap GDP pertanian, namun dengan lag satu tahun. Selain berbagai penelitian tersebut, hasil penelitian terdahulu yang lain tentang pengaruh belanja pemerintah terhadap produksi dan out put pertanian tersaji pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil penelitian terdahulu mengenai hubungan pengeluaran pemerintah

(37)

Lanjutan Tabel 3. Hasil penelitian terdahulu mengenai hubungan pengeluaran pemerintah terhadap produksi pangan dan output pertanian Nama Peneliti Judul Penelitian Metode yang

(38)

Lanjutan Tabel 3. Hasil penelitian terdahulu mengenai hubungan pengeluaran pemerintah terhadap produksi pangan dan output pertanian Nama Peneliti Judul Penelitian Metode yang

(39)

Selain belanja pemerintah yang diduga berpengaruh terhadap produksi padi melalui penyediaan input produksi, berbagai penelitian yang mengkaji langsung pengaruh faktor produksi juga dilakukan di berbagai tempat di Indonesia. Penelitian tentang pengaruh pupuk terhadap produksi padi di Jawa Tengah dikemukakan oleh Triyanto (2006), yang menyebutkan bahwa variabel pupuk secara statistik tidak signifikan mempengaruhi produksi padi, namun mempunyai nilai yang positif. Koefisien variabel pupuk sebesar 0.017 (inelastis), artinya bila ada penambahan pupuk secara agregat sebesar 1% maka ada kecenderungan bahwa produksi padi dapat ditingkatkan sebesar 0.017%. Kecilnya pengaruh penggunaan pupuk terhadap produksi padi di Jawa Tengah ini sulit untuk dijelaskan. Diduga ada tiga kemungkinan yang menjadi penyebabnya, pertama karena kecilnya penggunaan pupuk, kedua besarnya penggunaan pupuk terutama Urea dan ketiga kemungkinan kurang sesuainya komposisi penggunaan pupuk di Jawa Tengah.

Kesimpulan berbeda dikemukakan oleh hasil penelitian Kasiyati (2004) yang menyimpulkan bahwa kebijakan subsidi harga pupuk yang dilakukan pemerintah melalui Pengadaan Pupuk Bersubsidi di Jawa Tengah menyebabkan seluruh sektor dalam perekonomian Jawa Tengah dapat menambah outputnya. Sianipar et al. (2009) melakukan penelitian mengenai fungsi produksi padi di Kabupaten Manokwari dengan menggunakan Fungsi Cobb Douglas yang diestimasi dengan Ordinary Least Square. Dari tujuh variabel (luas lahan, benih, tenaga kerja luar, tenaga kerja rumah tangga petani, pupuk urea, pupuk NPK, dan pupuk NPC) yang diduga mempengaruhi produksi padi, lima variabel berpengaruh positif terhadap produksi dan signifikan secara statistik pada taraf nyata 5%. Variabel yang berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5% namun berkorelasi negatif dengan produksi padi adalah variabel tenaga kerja rumah tangga petani. Hal tersebut terjadi karena jumlah tenaga kerja per rumah tangga petani sangat sedikit, yaitu rata-rata dua orang. Sedangkan variabel yang tidak berpengaruh signifikan adalah luas lahan akibat sempitnya rata-rata kepemilikan lahan masing-masing rumah tangga petani sehingga tidak terlihat pengaruhnya terhadap perubahan produksi padi. Sedangkan lima variabel yang lain berpengaruh positif dengan koefisien benih sebesar 0.13341, tenaga kerja luar keluarga naik sebesar 0.11861, pupuk urea sebesar 0.40141, pupuk NPK sebesar 0.025245, dan pupuk PPC sebesar 0.028250.

(40)

Tabel 4. Beberapa hasil penelitian tentang pengaruh faktor produksi padi di Indonesia

(41)

Lanjutan Tabel 4. Beberapa hasil penelitian tentang pengaruh faktor produksi padi di Indonesia

Nama Peneliti Judul Penelitian Metode yang Digunakan

Gambar

Grafik hubungan produksi padi dan belanja benih di
Gambar 1. Anggaran Kementerian Pertanian (2004-2014)
Tabel 1. Jumlah produksi padi Indonesia tahun 2008 - 2013
Tabel 3. Hasil penelitian terdahulu mengenai hubungan pengeluaran pemerintah
+7

Referensi

Dokumen terkait

(3) Apabila kepala daerah dan wakil kepala daerah diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), dan Pasal 32 ayat (5), Presiden

ABSTRAK - Tingkat kelulusan mahasiswa merupakan hal sangat penting untuk prestise suatu perguruan tinggi, tingkat kelulusan mahasiswa juga berpengaruh terhadap nilai akreditasi

pengumpulan data serta instrument yang gunakan Pengamatan di kelas dibantu oleh observer yang duduk di belakang untuk mengamati proses pembelajaran, sementara peneliti

 Akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku kata dari deret kata ditulis dengan huruf awal huruf kapital: Akabri, Iwapi  Akronim yang bukan

Hukum wars menurut hukum adat Bal telah membuat anak perempuan sebaga ahl wars. Hal n adalah perubahan mendasar dalam hukum adat Bal yang lebh memperhatkan gars

Menunjukkan bahwa penambahan mikrobia tidak mempengaruhi peningkatan kandungan lemak kasar trembesi secara nyata, tetapi penambahan mikrobia dalam fermentasi buah

darah yang bersirkulasi, jaringan limfoid, darah yang bersirkulasi, jaringan limfoid, serta organ-organ yang merespon.. serta organ-organ yang merespon material

Adapun tujuan penelitian adalah mendeskripsikan peningkatan keterampilan berpikir analisis siswa SMP dalam menyelesaikan soal IPA terpadu melalui pembelajaran IPA