• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut data dari Pemerintah Propinsi Jawa Barat (2014), secara geografis Jawa Barat terletak di antara 5°50’ - 7°50’ Lintang Selatan dan 104 °48’ - 108° 48’ Bujur Timur, dengan batas-batas wilayah:

Sebelah Utara, dengan Laut Jawa dan DKI Jakarta ; Sebelah Timur, dengan Provinsi Jawa Tengah ; Sebelah Selatan, dengan Samudra Indonesia ; Sebelah Barat, dengan Provinsi Banten.

Provinsi Jawa Barat memiliki kondisi alam dengan struktur geologi yang kompleks dengan wilayah pegunungan berada di bagian tengah dan selatan serta dataran rendah di wilayah utara. Memiliki kawasan hutan dengan fungsi hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi yang proporsinya mencapai 22.10% dari luas Jawa Barat; curah hujan berkisar antara 2 000 - 4 000 mm/th dengan tingkat intensitas hujan tinggi; memiliki 40 Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan

debit air permukaan 81 milyar m3/tahun dan air tanah 150 juta m3/tahun. Dengan curah hujan yang cukup tinggi tersebut, Jawa Barat termasuk wilayah yang dapat melakukan pertanaman padi rata-rata 2-3 kali setiap tahun. Berdasarkan atas jenis pengairan, lahan pertanian di Jawa Barat dikelompokkan menjadi 7 jenis lahan seperti tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5. Luas lahan sawah berdasarkan jenis pengairan di Propinsi Jawa Barat

Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Barat (2014)

Jika dilihat dari jenis tanah, berikut gambar sebaran jenis tanah di Propinsi Jawa Barat.

Gambar 3. Peta jenis tanah di Jawa Barat

Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Barat (2014) Secara administratif pemerintahan, wilayah Jawa Barat terbagi kedalam 26 kabupaten/kota, meliputi 17 kabupaten yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten

No Jenis Pengairan Luas (Ha) Persentase (%)

1. Irigasi Teknis 383 159 41.190

2. Irigasi ½ Teknis 120 470 12.950

3. PU 96 059 10.330

4. Irigasi Sederhana Non PU 158 942 17.090

5. Tadah Hujan 169 485 18.220

6. Pasang Surut 50 0.010

Subang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bandung Barat dan 9 kota yaitu Kota Bogor, Kota Sukabumi, Kota Bandung, Kota Cirebon, Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Cimahi, Kota Tasikmalaya, dan Kota Banjar serta terdiri dari 626 kecamatan, 641 kelurahan, dan 5.321 desa.

Analisis Deskriptif

Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi padi nasional. Sebagai salah satu sentra produsen padi, keberadaan Jawa Barat sebagai wilayah pengembangan sektor pertanian sangat strategis dalam upaya pencapaian ketahanan pangan. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa produksi padi di Propinsi Jawa Barat (26 Kabupaten/Kota) mengalami penurunan pada tahun 2006, kemudian berturut-turut meningkat pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2010, dan kembali turun pada tahun 2011 dan 2012. Selanjutnya, produksi padi Propinsi Jawa Barat kembali meningkat pada tahun 2013 dan merupakan produksi tertinggi dan produksi padi terendah dihasilkan pada tahun 2007selama kurun waktu tahun 2005-2013.

Tabel 6. Jumlah produksi padi di 20 Kab/Kota di Propinsi Jawa Barat Produksi Padi

(juta ton)

Tahun

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Jawa Barat 9.79 9.42 9.91 10.11 11.32 11.74 11.63 11.27 Sumber : Kementerian Pertanian (2014)

Jika dilihat secara trend, produksi padi di 20 Kabupaten/Kota di wilayah Jawa Barat ini secara konstan mengalami kenaikan dari mulai tahun 2007 sampai dengan tahun 2010, selanjutnya turun pada tahun 2011 sampai dengan tahun 2012, dan kembali naik pada tahun 2013. Hal ini sama dengan trend produksi padi total seluruh Propinsi Jawa Barat seperti tersaji pada Gambar 4. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa secara rata-rata, jumlah produksi padi di 6 wilayah Kota yang lain memiliki tren yang sama.

Hal ini berbeda dengan tren alokasi anggaran belanja pemerintah (irigasi tersier, bantuan modal, subsidi pupuk, sekolah lapang, dan bantuan benih). Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa jumlah belanja pemerintah secara konstan mengalami kenaikan dari mulai tahun 2007 sampai dengan tahun 2009, selanjutnya turun pada tahun 2010, dan mengalami kenaikan signifikan pada tahun 2011 dan 2012. Pada tahun 2013, kembali terjadi penurunan belanja pemerintah. Hal yang kontradiktif antara kenaikan dan penurunan anggaran dengan produksi padi terjadi pada 2010, 2011, 2012, dan tahun 2013.

Pada tahun 2010, terjadi penurunan belanja pemerintah dibanding tahun 2009, namun produksi padi secara total naik dari 11.3 juta ton menjadi 11.7 juta ton. Demikian juga pada tahun 2011, pada saat belanja pemerintah dinaikkan menjadi Rp. 2.3 triliun (naik sebesar Rp. 1.17 triliun) dibanding tahun 2010, justru terjadi penurunan padi sebesar hampir 100 ribu ton. Pada tahun 2012, anggaran kembali mengalami kenaikan sebesar Rp. 1.16 triliun dibanding tahun 2009, namun produksi turun hampir 500 ribu ton dibanding tahun 2009. Pada tahun 2013, belanja pemerintah mengalami penurunan sebesar Rp. 570 miliar dibanding tahun 2012, namun produksi padi mengalami kenaikan sebesar 750 ribu ton pada tahun 2013. Hal yang kontradiktif antara produksi padi dan jumlah belanja pemerintah pusat di 20 Kabupaten/Kota pada 4 tahun yang berbeda ini menarik untuk di analisis penyebabnya.

Gambar 5. Belanja pemerintah pusat sub sektor tanaman padi dan produksi padi di 20 Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat

Sumber : Diolah dari data Kementerian Pertanian RI (2014)

Dari Gambar 5 dapat dilihat perbedaan tren kenaikan maupun penurunan garis grafik. Apabila dilihat secara deskriptif, sulit untuk menemukan jawaban

yang tepat mengenai hubungan antara belanja pemerintah terhadap produksi padi di 20 Kabupaten/Kota Propinsi Jawa Barat.

Jika dilihat dari evaluasi pencapaian pembangunan pertanian akhir tahun 2010, penurunan produksi padi selama tahun 2010 untuk level nasional terjadi karena musim kemarau yang cukup panjang akibat adanya perubahan iklim. Namun, produksi padi untuk wilayah Jawa Barat tetap mengalami kenaikan produksi karena kemarau yang cukup panjang tidak merubah pola tanam padi yang memang dibiarkan bera pada bulan Juni sampai dengan Oktober. Artinya, terjadi kemarau panjang atau tidak, tidak merubah kebiasaan petani Jawa Barat yang memang membiarkan lahan sawah mereka menganggur pada bulan Mei-September. Hal ini berbeda dengan kebiasaan petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang tetap mengelola lahan sawah mereka apabila terdapat air walaupun masuk dalam musim kemarau Mei – Oktober.

Tabel 7. Luas tanam padi sawah Propinsi Jawa Barat (2008-2012)

No Kab/Kota Luas Panen (Ha)

2008 2009 2010 2011 20121 1 Bogor 85 208 85 705 89 694 86 821 87 093 2 Sukabumi 127 815 130 921 136 600 115 916 136 302 3 Cianjur 124 692 133 015 145 214 128 654 138 799 4 Bandung 81 378 67 525 79 339 71 757 78 969 5 Garut 110 514 115 911 127 116 131 339 133 804 6 Tasikmalaya 112 360 118 942 138 520 134 865 117 986 7 Ciamis 105 467 109 814 124 373 119 041 106 155 8 Kuningan 57 533 60 120 65 875 62 656 58 172 9 Cirebon 83 546 88 285 92 042 91 321 81 814 10 Majalengka 96 501 98 953 105 524 100 627 103 845 11 Sumedang 71 112 72 924 75 707 75 588 72 491 12 Indramayu 215 343 227 232 230 573 224 688 218 430 13 Subang 174 378 190 562 179 820 179 820 170 963 14 Purwakarta 37 139 37 549 39 003 39 003 34 158 15 Karawang 191 806 193 442 196 598 196 598 193 674 16 Bekasi 109 351 111 670 109 290 101 349 97 303 17 Bandung Barat 17 794 37 572 42 702 35 513 37 239 18 Kota Bogor 1 210 1 364 1 500 1 605 1 365 19 Kota Sukabumi 3 811 3 636 4 029 3 766 3 555 20 Kota Bandung 3 249 2 448 1 725 1 710 1 315 21 Kota Cirebon 565 697 762 662 439 22 Kota Bekasi 703 737 811 897 834 23 Kota Depok 911 733 866 876 688 24 Kota Cimahi 699 643 619 595 548 25 Kota Tasik 13 372 15 010 15 805 14 146 13 187 26 Kota Banjar 6 493 6 428 8 615 7 015 6 686 Jumlah 1 832 960 1 911 839 2 012 723 1 921 739 1 898 814

Sumber : Dinas Pertanian Jawa Barat (2014)

Berdasarkan hasil evaluasi produksi padi selama tahun 2011 secara nasional, terjadi penurunan produksi akibat curah hujan cukup tinggi sepanjang tahun dan mengakibatkan meningkatnya serangan hama khususnya hama wereng. Kondisi ini juga dialami oleh Propinsi Jawa Barat yang relatif cukup basah,

sehingga terjadi penurunan produksi padi meskipun telah terjadi kenaikan anggaran di tahun 2011. Kondisi iklim yang basah membuat serangan OPT, khususnya hama wereng meningkat dan menyebabkan hasil panen menurun.

Untuk tahun 2012, penurunan produksi padi di wilayah Propinsi Jawa Barat tidak bisa disamakan dengan kondisi produksi padi secara nasional. Produksi padi secara nasional meningkat di tahun 2012. Pengalaman serangan hama bisa jadi membuat sebagian kecil petani tidak segera menggarap lahan sawah mereka. Sementara di kalangan petani Jawa Timur dan Jawa Tengah, dengan kondisi kultural yang terkenal dengan keuletan dan kerja kerasnya, para petani tetap berusaha untuk menggarap lahan apabila tersedia air irigasi yang cukup, apapun kondisinya.

Hal itulah yang bisa jadi membuat luas tanam dan sekaligus luas panen padi di Propinsi Jawa Barat tidak sebesar di tahun-tahun sebelumnya. Hal ini nampak pada Tabel 7 dan Tabel 8. Penurunan luas tanam dan panen mengakibatkan produksi padi tahun 2012 di Propinsi Jawa Barat mengalami penurunan dibanding tahun 2011.

Tabel 8. Luas panen padi sawah Propinsi Jawa Barat (2008 – 2012)

No Kab/Kota Luas panen (Ha)

2008 2009 2010 2011 2012 1 Bogor 81 415 82 697 88 900 82 717 83 935 2 Sukabumi 113 211 124 284 126 982 116 041 129 635 3 Cianjur 120 268 127 527 136 159 125 100 133 292 4 Bandung 64 123 68 741 73 012 68 464 69 217 5 Garut 106 336 110 845 121 786 125 609 127 990 6 Tasikmalaya 103 119 111 494 131 989 127 602 112 135 7 Ciamis 96 531 105 464 114 833 114 313 99 063 8 Kuningan 53 424 57 967 63 169 60 037 55 200 9 Cirebon 73 007 85 538 88 664 84 619 72 058 10 Majalengka 89 026 94 960 101 108 96 755 99 461 11 Sumedang 66 676 69 362 71 965 72 237 69 279 12 Indramayu 179 330 218 392 224 307 218 439 202 209 13 Subang 167 539 182 200 166 674 175 173 166 558 14 Purwakarta 35 062 36 059 37 610 33 792 33 112 15 Karawang 180 930 179 251 184 627 186 366 182 863 16 Bekasi 101 513 104 823 100 446 98 427 92 976 17 Bandung Barat 30 600 35 877 40 211 34 462 36 250 18 Kota Bogor 1 273 1 269 1 446 1 565 1 293 19 Kota Sukabumi 3 495 3 625 3 539 3 603 3 414 20 Kota Bandung 2 244 1 810 1 492 984 2 154 21 Kota Cirebon 464 624 729 630 363 22 Kota Bekasi 1 798 913 965 817 692 23 Kota Depok 753 788 817 857 592 24 Kota Cimahi 668 504 619 554 521 25 Kota Tasik 11 829 14 222 15 012 13 250 12 460 26 Kota Banjar 6 260 6 110 7 913 6 792 6 232 Jumlah 1 650 894 1 825 346 1 904 974 1 849 205 1 792 955

Jika merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Djauhari (1999) dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas, menyebutkan bahwa tiga variabel utama penentu produksi padi di Jawa Barat adalah luas lahan, tenaga kerja, dan kapital, maka penurunan produksi pada tahun 2011 dan 2012 dapat dimaklumi karena pada tahun tersebut terjadi penurunan luas tanam dan luas panen padi. Sedangkan faktor luas lahan merupakan faktor penentu produksi.

Dari uraian sebelumnya dan berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat bahwa peningkatan belanja pemerintah yang dikeluarkan dalam kurun waktu tahun 2007 sampai dengan tahun 2013 tidak menjamin terjadinya peningkatan luas tanam, karena peningkatan luas tanam dipengaruhi oleh banyak faktor seperti ketercukupan air, kondisi iklim, dan ketersediaan tenaga kerja.

Hal ini sejalan dengan hasil studi Ekaputri (2008) yang menyimpulkan bahwa faktor yang sangat signifikan dalam menentukan produksi padi di Kalimantan Timur adalah luas tanam. Hasil tersebut juga diperkuat oleh Hermanto (2012) dalam studinya mengenai analisis fungsi produksi usaha tani padi sawah dan pengaruhnya terhadap PDRB di Kabupaten Deli Serdang. Berdasarkan metode penduga Cobb Douglas, faktor usaha produksi padi yang berpengaruh positif terhadap produksi padi di Kabupaten Deli Serdang adalah luas lahan, benih, pupuk, dan tenaga kerja. Semakin luas unit pengelolaan lahan, semakin tinggi efisiensi dan produktivitas. Rata-rata hasil produktivitas untuk lahan luas (rata-rata 1.5 ha) adalah sebesar adalah sebesar 46.8 kw/ha, sedangkan rata-rata produktivitas lahan sempit (rata-rata 0.35 ha) sebesar 45.8 kw/ha.

Jika dilihat hubungan antara produksi padi dengan masing-masing jenis belanja pemerintah, dari Gambar 6 dan Gambar 7 nampak bahwa tren produksi padi linier dengan tren masing-masing belanja pemerintah pada kurun waktu tahun 2007-2010. Pada Gambar 6, dapat dilihat bahwa ketiga jenis belanja pemerintah (sekolah lapang SL-PTT, permodalan PUAP, dan irigasi) memiliki tren yang sama. Pada tahun 2011-2012, ketiga jenis belanja pemerintah mengalami peningkatan yang cukup besar, sedangkan produksi padi justru mengalami penurunan.

Gambar 6. Tren produksi padi, belanja irigasi, belanja PUAP, belanja SL-PTT di 20 kab/kota di Propinsi Jawa Barat

Dari grafik tersebut dapat disimpulkan bahwa pada kurun waktu 2011-2012, belanja pemerintah dalam bentuk sekolah lapang SL-PTT, permodalan PUAP, dan irigasi tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap produksi padi. Yang berpengaruh signifikan adalah luas tanam dan luas panen seperti diuraikan pada pembahasan sebelumnya. Hal ini menjadikan ketiga jenis belanja tersebut tidak efektif dan efisien dalam mempengaruhi produksi padi pada kurun waktu tahun 2011-2012.

Gambar 7. Tren produksi padi, belanja subsidi pupuk, dan belanja benih unggul di 20 Kab/Kota di Propinsi Jawa Barat

Hal yang menarik justru dapat dilihat pada Gambar 7. Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa tren produksi padi linier dengan variabel belanja benih selama kurun waktu tahun 2007-2013. Sedangkan untuk tren produksi padi dan belanja pupuk tidak linier hanya pada tahun 2012. Sedangkan tahun yang lainnya, semua memiliki hubungan yang linier. Variabel pupuk dan benih merupakan input langsung produksi padi. Dengan demikian, semakin luas areal tanam padi, maka semakin bertambah kebutuhan terhadap penggunaan benih dan pupuk. Hal ini masih sejalan dengan pembahasan sebelumnya bahwa luas tanam menjadi faktor penting. Sehingga, merupakan hal yang logis apabila ada hubungan linier antara produksi padi dengan benih dan pupuk pada Gambar 7 karena luas tanam akan berbanding lurus dengan jumlah kebutuhan penggunaan benih unggul dan pupuk anorganik.

Analisis Model Data Panel

Secara deskriptif, hubungan antara Belanja pemerintah terhadap produksi padi di 20 Kabupaten/Kota Propinsi Jawa Barat tidak menunjukkan hubungan yang selalu linier, karena pada beberapa tahun yang sama, terjadi kontradiksi trend antar kedua variabel tersebut. Untuk itu, diperlukan pendugaan melalui

model ekonometrik untuk dapat menjawab hubungan antar kedua variabel produksi padi dan belanja pemerintah secara lebih tepat.

Untuk mendapatkan estimasi atau pendugaan yang lebih valid, maka diperlukan pendugaan model melalui pendekatan data panel statis. Model penduga data panel statis yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga model, yaitu

Pool Least Square, Random Effect Model, dan Fixed Effect Model. Dari model penduga analisis hubungan antara produksi padi dan belanja pemerintah, didapatkan bahwa belanja pemerintah berpengaruh positif dan signifikan secara statistik pada taraf nyata 1%, dengan persamaan sebagai berikut :

Yit = 446690.2 + 0.0016157Xit + εit Dimana :

t = waktu; i = cluster

X= belanja pemerintah; Y= produksi padi

Kesimpulan tersebut senada dengan hasil penelitian Ele et al. (2014) yang menyatakan bahwa pengaruh belanja pemerintah sangat signifikan terhadap pertumbuhan hasil pertanian di Nigeria. Hasil tersebut diperkuat oleh Bingxin dan Fan (2009) yang menyimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah dalam pembangunan irigasi dan penyediaan pupuk memberikan dampak positif terhadap produksi padi di Cambodia.

Setelah menganalisis hubungan antara total belanja pemerintah dengan produksi padi, kemudian dilanjutkan analisis hubungan antara masing-masing jenis belanja pemerintah dengan produksi padi di Jawa Barat. Dari hasil analisis data panel menggunakan software Stata 12, didapatkan model persamaan Fixed Effect Model, Between Effect (PLS), dan Random Effect Model dengan hasil statistik yang tersaji pada Tabel 9. Berdasarkan atas uji Chow, LM, dan Hausman, model FEM merupakan model penduga terbaik. Namun, dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa dari hasil pendugaan melalui model FEM, hanya terdapat satu variabel independen yang signifikan terhadap variabel dependen, yaitu variabel pupuk. Sedangkan keempat variabel yang lain, yaitu irigasi tersier, bantuan permodalan, bantuan benih unggul, dan sekolah lapang tidak berpengaruh signifikan terhadap produksi padi. Dari model estimasi, hasil ini kurang menjawab permasalahan. Tabel 9. Hasil uji model data panel statis

Variabel Independen Koefisien PLS FEM REM Rehab. Irigasi 0.0010237 -0.0003661 -0.006321 Bantuan Modal 0.0149943 0.0022073 0.0092468 Sekolah Lapang -0.0296201 -0.0392176 -0.0280041 Pupuk 0.004386* 0.001598* 0.002805* Benih Unggul 0.072949* 0.0206337 0.045441* Constanta 77659.02 444801.8* 276281.8* R-sq 0.7539 0.7311 0.7521

Untuk itu, dilakukan model estimasi yang lain dengan memasukkan

dummy variabel waktu. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa terjadi efek error yang disebabkan oleh waktu dan menambah galat pada model yang dihasilkan. Dengan demikian, model persamaan dasar data panelnya adalah sebagai berikut :

Yit = α + βXit + ϴDtit+ εit ; t = 1, 2, …… t Dimana : t = waktu; i = cluster X = variabel independen Y = variabel dependen D = dummy variable tahun

Dari uji pemilihan model, didapatkan model penduga terbaik adalah model FEM dengan dummy variable tahun. Selanjutnya diuji dengan asumsi klasik statistik seperti uji heteroskedastisitas, multikolinearitas, dan uji autokorelasi. Hasilnya, terdapat heteroskedastisitas dan tidak terjadi autokorelasi. Untuk itu, model FEM dengan dummy variable tahun selanjutnya diduga dengan

Generalized Least Square dan didapatkan hasil dengan model terbaik seperti pada Tabel 10 dan 11.

Tabel 10. Hasil uji model data panel statis dengan dummy variabel

Variabel Independen Koefisien PLS FEM REM GLS Rehab. Irigasi 0.020629 -0.000132 -0.001146 0.0206** Bantuan Modal 0.041497 0.013677 0.051354 0.041497 Sekolah Lapang 0.001556 -0.037707 -0.023443 0.015596 Pupuk 0.00565* 0.00273* 0.00478* 0.05647* Benih Unggul 0.38048* 0.007632 0.02853* 0.03805* Constanta 142561.1* 387679* 231286* 142561* R-sq 0.8475 0.7902 0.8419 0.8523

Keterangan : * signifikan pada taraf nyata 5% ** signifikan pada taraf nyata 15%

Dengan model estimasi GLS dengan dummy variable tahun, model tidak terdapat autokorelasi dan terjadi homoskedastis. Model juga bisa diterima untuk menduga hubungan dependen dan independen variabel karena F hitung nya sangat signifikan (lihat Tabel 11). Dengan demikian, model ini memenuhi sifat BLUES. Pada model tersebut, variabel pupuk dan benih berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5%, sedangkan irigasi tersier berpengaruh nyata pada taraf nyata 15%. Koefisien variabel pupuk sebesar 0.056, variabel benih sebesar 0.38 dan variabel rehabilitasi irigasi tersier sebesar 0.206. Semua variabel independen juga memiliki koefisien positif terhadap produksi padi. Namun, variabel bantuan permodalan PUAP dan sekolah lapang tidak berpengaruh signifikan secara statistik, baik pada taraf nyata 5% maupun pada taraf nyata 15%.

Tabel 11. Hasil operasi software Stata 12 dengan model GLS dummy tahun

Cross-sectional time-series FGLS regression Coefficients : generalized least square Panels : homoskedastic Correlations : no autocorrelation Long likelihood = -1854.147 Number of obs = 140 Number of groups = 20 Time periods = 7 Wald chi2 (11) = 778.27 Prob > chi2 = 0.0000

Produksi padi Coef Std.err z P > |z| 95% Conf. Interval IrigasiTersier BantuanModal SekolahLapang Pupuk BenihUnggul .0206294 .0041947 .0015596 .0056469 .0380481 .013172 .0085727 .0362152 .000473 .0173251 1.57 0.48 0.04 11.94 2.20 0.117 0.628 0.966 0.000 0.028 -.0051872 -.0126525 -.0694209 .0047198 .0040915 .046446 .020952 .0725401 .006574 .0720046 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 15980.4 -31478.9 6784.297 -268244.3 -323434.6 -117453.7 45830.23 50320.84 46242.6 50194.14 52252.44 47107.54 0.35 -0.63 0.15 -5.34 -6.19 -2.49 0.727 0.532 0.883 0.000 0.000 0.013 -73845.19 -130105.9 -83849.54 -366623 -425847.5 -209782.8 105806 67148.14 97418.13 -169865.5 -221021.7 -25124.61 _Cons 142561.1 37326.17 3.82 0.000 69403.14 215719

Berdasarkan hasil estimasi model GLS dengan dummy variabel tahun, maka persamaan model estimasi terbaik yang didapatkan adalah :

Yit = 142561 + 0.056Pupukit + 0.38Benihit + 0.206Irigasiit + 0.04Modalit + 0.015Sekolahit + 15890D2008it - 31478D2009it + 6784D2010it - 286244D2011it - 323434D2012it - 117453D2013it +

ε

it

Dari model tersebut dapat disimpulkan bahwa penambahan 1% anggaran pupuk, ceteris paribus, akan meningkatkan produksi padi sebesar 0.056%. Peningkatan 1% anggaran benih unggul, ceteris paribus, akan meningkatkan produksi padi sebesar 0.38%. Pada taraf nyata 15%, penambahan anggaran pembangunan irigasi tersier sebesar 1%, ceteris paribus, akan meningkatkan produksi padi sebesar 0.206%. Hal ini menunjukkan bahwa belanja pemerintah dalam bentuk subsidi pupuk, bantuan benih unggul, dan pembagunan irigasi tersier masing-masing berpengaruh terhadap peningkatan produksi padi pada taraf nyata 5%, 5%, dan 15%. Pengaruh nyata variabel pupuk, benih unggul, dan irigasi senada dengan berbagai hasil penelitian lainnya, baik untuk kasus Indonesia maupun di negara lain.

Kusnadi (2011) mendapatkan kesimpulan bahwa variabel-variabel yang nyata berpengaruh terhadap produksi padi di lima sentra propinsi Indonesia pada taraf nyata 10% adalah lahan, bibit, pupuk N, pupuk P, dan tenaga kerja. Pengaruh belanja pemerintah dalam penelitian Udoh (2011) juga memberikan dampak positif yang signifikan terhadap produksi pertanian. Pada studi mengenai analisis faktor penentu produksi pertanian di berbagai negara, Mundlak et al. (1997) menyimpulkan bahwa faktor kapital sangat berpengaruh nyata terhadap produksi pertanian. Hasil studi merekomendasikan agar setiap Pemerintah di berbagai negara untuk meningkatkan alokasi modal yang digunakan untuk pengembangan

dan penerapan teknologi serta pembiayaan faktor-faktor produksi lainnya agar produksi pertanian mengalami peningkatan.

Nadeem et al. (2013) memiliki kesimpulan yang sama dalam penelitian yang menganalisis hubungan antara investasi pemerintah di sektor pertanian dengan produktivitas pertanian. Hasil analisis menyimpulkan bahwa belanja pemerintah dalam riset dan perbaikan jalan pedesaan memiliki pengaruh yang signifikan pada taraf nyata 5%, sedangkan belanja pemerintah untuk irigasi berpengaruh signifikan pada taraf nyata 10%. Ketiga variabel tersebut memiliki pengaruh positif terhadap produktivitas pertanian. Koefisien korelasi irigasi sebesar 0.31 dan koefisien korelasi jalan pedesaan sebesar 0.13.

Pengaruh yang signifikan dari belanja subsidi pupuk, bantuan benih unggul, dan rehabilitasi irigasi tersier dikarenakan ketiga variabel ini merupakan input langsung pada budi daya padi. Rehabilitasi irigasi tersier dapat memperbaiki pasokan ketersediaan air sehingga membantu proses pertumbuhan tanaman, seperti hasil penelitian Sulistyono et al. (2012) yang menyebutkan padi merupakan tanaman yang sangat sensitif terhadap stress atau cekaman air. Cekaman kekeringan menyebabkan penurunan produksi sebesar 32.44%, 41.52%, dan 48.87% berturut-turut pada frekuensi irigasi 8, 12, dan 16 hari sekali. Namun, pengaruh irigasi secara statistik baru berpengaruh signifikan pada taraf nyata diatas 10%, sesuai dengan hasil penelitian Mundlak et al. (2002) Pada kurun waktu tahun 1971-1995, penggunaan benih unggul dan irigasi berpengaruh siginifikan pada taraf nyata 10% terhadap GDP pertanian Thailand.

Variabel pupuk dan benih secara signifikan berpengaruh positif terhadap produksi padi karena kedua variabel tersebut merupakan input langsung pada proses produksi padi. Pupuk merupakan salah satu unsur terpenting dalam peningkatan kesuburan tanah karena mengandung komposisi unsur kimia yang diperlukan oleh pertumbuhan tanaman (Litbang Pertanian 2002). Demikian juga dengan peran benih terhadap produksi. Balitbangtan (2008) menyebutkan bahwa benih merupakan sarana produksi yang membawa sifat-sifat varietas tanaman sehingga berperan penting dalam menentukan tingkat hasil yang akan diperoleh. Penggunaan kedua variabel ini dalam budi daya padi dapat meningkatkan produksi padi.

Hal yang menarik adalah besarnya nilai marginal elastisitas benih lebih besar dibanding pupuk, yaitu sebesar 0.38 berbanding 0.056. Artinya, dengan jumlah anggaran yang sama, pengaruh benih terhadap peningkatan produksi padi lebih besar dibanding pengaruh pupuk. Fakta ini bisa dilihat dari beberapa penyebab di lapangan. Pertama, penggunaan benih unggul belum begitu massal seperti halnya pupuk anorganik. Petani masih banyak yang belum menggunakan benih unggul, sehingga pada saat melakukan pertanaman dengan varietas unggul akan menghasilkan produksi yang lebih tinggi. Sedangkan untuk penggunaan pupuk, hapir semua petani di Indonesia menggunakan pupuk anorganik sehingga perubahan penggunaan tidak terlalu besar berpengaruh terhadap produksi dibanding penggunaan benih unggul. Kedua, benih unggul memberikan hasil yang signifikan dibanding benih biasa. Sehingga penggunaan benih unggul memiliki marginal elastisitas yang besar. Sedangkan pupuk, dengan kondisi lahan yang sudah jenuh unsur hara, kurang responsif terhadap perubahan penggunaan pupuk anorganik. Ketiga, faktor ketepatan penggunaan. Bantuan benih unggul setidaknya akan digunakan petani untuk menanam padi di lahan yang mereka miliki. Sangat

sedikit benih unggul yang digunakan untuk kepentingan lain. Sedangkan pupuk anorganik sangat memungkinkan terjadinya ketidaktepatan penggunaan. Komoditas pertanian yang memerlukan penggunaan pupuk tidak hanya komoditas padi, tapi juga komoditas yang lain seperti jagung, kedele, dan perkebunan. Sehingga, penggunaan pupuk subsidi yang bocor ke komoditas perkebunan secara kuantitas akan berpengaruh terhadap nilai marginal elastisitasnya.

Dari berbagai uraian tersebut, besarnya koefisien masing-masing variabel dapat dijadikan pertimbangan untuk perumusan alokasi belanja pemerintah. Alokasi yang lebih besar terhadap variabel yang koefisiennya lebih besar akan semakin efektif dalam mencapai target yang ditentukan. Hal ini dapat menghindari kesalahan investasi (misinvestment) maupun rendahnya investasi

Dokumen terkait