• Tidak ada hasil yang ditemukan

Landasan Teori Konsep Ketahanan Pangan

Paradigma ketahanan pangan di launching pertama kali secara internasional oleh FAO pada tahun 1996. Suatu negara, wilayah atau daerah dinyatakan memiliki ketahanan pangan jika memenuhi tiga prasyarat, yaitu aspek ketersediaan (availability) dimana suplai pangan dalam suatu negara memenuhi kebutuhan atau permintaan domestiknya, kedua, accessibility (aksesibilitas), jika penduduk negara tersebut memiliki akses pangan yang tinggi terhadap pangan. Ketiga aspek kontinuitas, dimana akses pangan tersebut terjadi sepanjang waktu, bukan hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Artinya dalam aspek yang terakhir ini kemampuan suatu negara atau wilayah mengelola stok dan logistik pangan antar waktu menjadi faktor kunci yang menentukan ketahanan pangan suatu negara atau wilayah tersebut (Irawan 2006).

Ketahanan pangan memiliki definisi yang sangat bervariasi dalam tiap konteks, waktu dan tempat, namun umumnya mengacu pada definisi Bank Dunia dan Maxwell 40 dan Frankenberger yaitu akses semua orang setiap saat pada pangan yang cukup untuk hidup sehat (Maleha dan Sutanto 2006). Di Indonesia, definisi dan konsep ketahanan pangan terdapat pada Undang-Undang Pangan No. 7 Tahun 1996, yang menyatakan bahwa ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

Konsep tersebut diperbarui dengan disahkannya UU No 18 tahun 2012 tentang Pangan. Menurut UU tersebut, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara dan perseorangan melalui tersedianya pangan yang cukup (jumlah dan mutu), beragam, bergizi, aman, seimbang, dan tidak bertentangan dengan keyakinan dan agama masyarakat. Dari berbagai uraian di

atas, ketersediaan pangan secara kontinu, baik dari jumlah, mutu, dan sisi keamanan pangan pada masing-masing rumah tangga merupakan fondasi utama tercapainya ketahanan pangan nasional di Indonesia.

Peran Pemerintah dalam Kebijakan Pembangunan Pertanian

Menurut Todaro (2000) dalam Suindyah (2011), pembangunan merupakan suatu proses perbaikan yang dilakukan secara terus menerus (berkesinambungan) pada suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara keseluruhan untuk mencapai sebuah kehidupan yang lebih baik. Dan salah satu komponen dasar sebagai basis pembangunan adalah makanan sebagai kebutuhan dasar manusia secara fisik. Pencapaian ketahanan pangan nasional merupakan program strategis dan mendesak dari sebuah negara. Untuk itu, Pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam menyusun strategi, program, dan langkah-langkah kerja untuk mencapai ketahanan pangan nasional.

Mubyarto (1989) mengungkapkan bahwa kebijakan pertanian merupakan bagian dari kebijakan ekonomi yang menyangkut kepentingan sektor pertanian. Kebijakan pertanian adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang, dan akan dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Adapun tujuan umum kebijakan pertanian Indonesia adalah memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi lebih produktif, produksi, dan efisiensi produksi naik dan akibatnya tingkat penghidupan petani yang lebih tinggi dan kesejahteraan yang lebih sempurna.

Pemerintah memiliki kekuasaan atas sumber daya alam, kebijakan, dan sumber daya kapital yang dapat digunakan untuk melaksanakan pembangunan. Peran Pemerintah dapat diklasifikasikan menjadi empat macam (Dumairy 1999) yaitu :

a. Peranan alokasi, yakni peranan Pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi yang ada agar pemanfaatannya bisa optimal dan mendukung efisiensi produksi. Pemerintah harus merencanakan peraturan dan mengatur penggunaan sumber daya ekonomi yang ada agar teralokasi secara efisien. b. Peranan distributif, yakni peranan Pemerintah dalam mendistribusikan

sumberdaya, kesempatan, dan hasil-hasil ekonomi secara adil dan wajar. Pemilikan sumber daya dan kesempatan ekonomi seringkali tidak setara, baik di antara wilayah-wilayah negara yang bersangkutan maupun diantara sektor-sektor ekonomi yang ada. Begitu pula dengan kecenderungan pembagian hasil-hasilnya.

c. Peran stabilitatif, yakni peran Pemerintah dalam memelihara stabilitas perekonomian dan memulihkannya jika berada dalam keadaaan disekuilibrium.

d. Peran dinamisatif, yakni peranan Pemerintah dalam menggerakkan proses pembangunan ekonomi agar lebih cepat tumbuh, berkembang dan maju. Peran ini diwujudkan dalam bentuk perintisan kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu.

Optimalisasi dari pelaksanaan empat peran Pemerintah tersebut sangat menentukan keberhasilan ekonomi suatu Negara. Untuk itu, ketepatan pengambilan kebijakan Pemerintah dalam melaksanakan empat peran utama tersebut merupakan hal yang sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan.

Rindayati et al. (2007) menyebutkan bahwa Pemerintah memiliki 15% - 20% kendali terhadap produk domestik bruto (PDB), dan salah satu instrumen Pemerintah untuk menaikkan PDB adalah dengan mengeluarkan kebijakan fiskal berupa penambahan belanja pemerintah dan pengaturan pajak. Dalam sektor pertanian tanaman pangan, peningkatan belanja pemerintah dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sektor pertanian melalui upaya peningkatan produksi pangan dan pendapatan petani.

Program Pembangunan Pertanian Sub Sektor Produksi Padi

Biro Perencanaan Kementan (2014) menyebutkan bahwa Kementerian Pertanian RI melaksanakan program peningkatan produksi padi dengan pendekatan konsep agribisnis, yaitu sub sistem hulu, sub sistem budidaya, dan sub sistem pasca panen. Sedangkan untuk sub sistem jasa dan sub sistem pemasaran hanya mendapat bagian kecil dari seluruh anggaran yang ada.

Program pembangunan pertanian tahun 2009-2013 untuk peningkatan produksi di lini sub sektor hulu antara lain program pencetakan sawah baru, pembuatan embung, perbaikan sistem irigasi tersier, pembuatan jalan usaha tani, pemuliaan varietas benih unggul padi, PUAP (pengembangan usaha agribisnis pedesaan), dan bantuan langsung benih unggul. Untuk sub sektor budidaya, program yang dijalankan antara lain program SL-PTT (sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu), SL-PHT (sekolah lapang pengendalian hama terpadu), pencegahan dan pemberantasan OPT (organisme pengganggu tanaman), subsidi pupuk anorganik, penyuluhan, dan bantuan langsung pupuk organik. Pada sub sektor pasca panen, dilaksanakan program bantuan alat panen (power tresher, combine harvester) dan bantuan alat penggilingan padi (rice milling unit). Sedangkan program lainnya diluar konsep agribisnis adalah bantuan gagal panen dan uji coba asuransi pertanian.

Pada tahun 2007-2009 terdapat program yang tidak dilaksanakan pada tahun 2009-2011, antara lain pemberian bantuan terpal, bantuan modal pembelian gabah, dan sistem pembiayaan pertanian. Sedangkan program tahun 2009-2013 yang tidak diluncurkan pada tahun 2007-2009 antara lain program bantuan langsung pupuk organik, bantuan mesin panen combine harvester, bantuan alat penggilingan padi, bantuan gagal panen, dan uji coba asuransi pertanian. Bentuk-bentuk program di atas yang dilaksanakan dengan pengeluaran belanja pemerintah diharapkan dapat meningkatkan produksi pangan dan GDP sektor pertanian tanaman pangan.

Faktor-faktor Produksi Usaha Tani Padi

Ada tiga macam fungsi produksi yang sering digunakan, yaitu fungsi produksi linier, kuadratik, dan eksponensial (Cobb-Douglas). Fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan fungsi produksi yang cukup baik digunakan dalam bidang pertanian dan industri dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut (Soekartawi 1994) :

Untuk pengaplikasian ordinary least square maka persamaan 1.1 diubah menjadi bentuk linier berganda, dengan cara melogaritmakan persamaan tersebut seperti persamaan berikut :

Log Y = log a + b1 logX1 + b2 logX2+ … + bn logXn + e ………… (1.2) Dimana :

Y = variabel yang dijelaskan, X = variabel yang menjelaskan, B = koefisien regresi,

e = error/kesalahan, a = konstanta/intercept

Keunggulan fungsi Cobb-Douglas ini adalah pangkat dari fungsi atau koefisien βi (I = 1,2,3, …, n) merupakan elastisitas produksi (Ep) yang dapat digunakan secara langsung dan penjumlahan dari koefisien dapat menduga bentuk skala uasaha (return to scale) atau tingkat efisiensi penggunaan faktor – faktor produksi.

Hasil penelitian Djauhari (1999) yang menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas menyebutkan bahwa tiga variabel utama penentu produksi padi di Jawa Barat adalah luas lahan, tenaga kerja, dan kapital. Fungsi produksi yang dihasilkan adalah : LnY = 0.69609 + 0.6968 LnX1 + 0.1778 LnX2 + 0.0639 LnX3; dimana Y merupakan total produksi padi, X1 adalah luas lahan, X2 adalah tenaga kerja, dan X3 adalah kapital.

Hasil tersebut diperkuat oleh Hermanto (2012) dalam studinya mengenai analisis fungsi produksi usaha tani padi sawah dan pengaruhnya terhadap PDRB di Kabupaten Deli Serdang. Berdasarkan metode penduga Cobb Douglas, faktor usaha produksi padi yang berpengaruh positif terhadap produksi padi di Kabupaten Deli Serdang adalah luas lahan, benih, pupuk, dan tenaga kerja. Semakin luas unit pengelolaan lahan, semakin tinggi efisiensi dan produktivitas. Rata-rata hasil produktivitas untuk lahan luas (rata-rata 1.5 ha) adalah sebesar adalah sebesar 46.8 kw/ha, sedangkan rata-rata produktivitas lahan sempit (rata-rata 0.35 ha) sebesar 45.8 kw/ha.

Selain faktor luas lahan dan tenaga kerja, faktor kapital yang digunakan petani untuk menyediakan variabel input produksi usaha tani padi sawah juga berperan signifikan dalam penentuan total produksi padi. Variabel input tersebut diantaranya adalah penyediaan benih unggul, alat mekanisasi pertanian, pupuk, pemberantasan organisme pengganggu tanaman, dan beberapa variabel yang lain.

Terkait dengan input produksi padi, Pemerintah di berbagai negara memiliki kebijakan yang beragam. Sebagian besar negara membuat kebijakan subsidi untuk input utama seperti pupuk. Namun, berbagai kebijakan yang diambil oleh setiap negara hampir dipastikan disusun dalam rangka pemenuhan input utama produksi. Karena, ketersediaan input produksi yang dapat digunakan petani dalam usaha budi daya padi merupakan faktor yang sangat berperan dalam menentukan produksi padi.

Untuk Indonesia, faktor-faktor produksi padi dalam skema belanja pemerintah dikelompokkan dalam program sub hulu, sub budidaya, dan sub pasca panen. Program tersebut cukup banyak antara lain peningkatan kualitas lahan,

ketersediaan air irigasi, alat pengolah lahan, benih unggul, penerapan tekhnologi, penggunaan pupuk berimbang, pestisida, permodalan, penyuluhan, alat pengurang tingkat losses, dan lain-lain.

Berdasarkan faktor produksi yang dilaksanakan melalui program-program Kementerian Pertanian, faktor produksi yang akan dikaji lebih mendalam dalam penelitian ini adalah belanja pemerintah untuk penyediaan pupuk bersubsidi, bantuan benih unggul, bantuan modal, sekolah lapang, dan infrastruktur pertanian (irigasi tersier dan jalan usaha tani).

(1) Pupuk

Pupuk merupakan salah satu unsur terpenting dalam peningkatan kesuburan tanah karena mengandung komposisi unsur kimia yang diperlukan oleh pertumbuhan tanaman (Litbang Pertanian 2002).

Peran pupuk yang begitu penting dalam pertumbuhan tanaman membuat Pemerintah mengambil kebijakan pupuk bersubsidi. Kapindo (2011) dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa pengadaan pupuk bersubsidi akan meningkatkan efisiensi usaha tani, yaitu berimplikasi pada peningkatan pemanfaatan lahan dan penggunaan benih yang secara sinergis berpengaruh terhadap peningkatan produksi pertanian. Kemudian, peningkatan produksi dengan biaya yang disubsidi dan harga output yang stabil menyebabkan pendapatan petani meningkat. Kedua hal tersebut akan mempengaruhi aspek ketersediaan dan aksesibilitas, sehingga akan mempengaruhi status ketahanan pangan.

(2) Benih Unggul

Balitbangtan (2008) menyebutkan bahwa benih merupakan sarana produksi yang membawa sifat-sifat varietas tanaman sehingga berperan penting dalam menentukan tingkat hasil yang akan diperoleh. Varietas unggul padi umumnya dirakit untuk memiliki sifat-sifat yang menguntungkan, antara lain: (1) daya hasil tinggi, (2) tahan terhadap hama dan penyakit, (3) umur genjah, dan (4) mutu hasil panen sesuai dengan keinginan konsumen. Mutu benih meliputi mutu genetik, mutu fisik, dan mutu fisiologis. Ciri–ciri benih bermutu adalah varietasnya asli, benih bernas dan seragam, bersih (tidak tercampur dengan biji gulma atau biji tanaman lain), daya berkecambah dan vigor tinggi, dan sehat (tidak terinfeksi oleh jamur atau serangan).

Berdasarkan fungsi dan cara produksi, benih terdiri atas benih inti (nucleous seed), benih sumber, dan benih sebar. Benih inti adalah benih awal yang penyediaannya berdasarkan proses pemuliaan dan/ atau perakitan suatu varietas tanaman oleh pemulia pada lembaga penyelenggara pemuliaan (Balai Penelitian Komoditas). Benih inti merupakan benih yang digunakan untuk perbanyakan atau menghasilkan benih penjenis (breeder seed/BS). Benih sumber terdiri alas tiga kelas, yaitu benih penjenis (breeder seed/BS), benih dasar (foundation seed/FS/BD), dan benih pokok (stock seed/SS/BP). Benih penjenis merupakan perbanyakan dari benih inti, yang selanjutnya akan digunakan untuk perbanyakan benih kelas-kelas selanjutnya, yaitu benih dasar dan benih pokok. Benih sebar (extension seed/ES/BR) disebut benih komersial karena merupakan benih turunan dari benih pokok, yang ditanam oleh petani untuk tujuan konsumsi (Samaullah 2007).

Keuntungan menggunakan benih padi bermutu tinggi antara lain benih tumbuh dengan cepat dan serempak, bila disemaikan mampu menghasilkan bibit yang vigorous (tegar) dan sehat, ketika ditanam-pindah, bibit dapat tumbuh lebih cepat, pertanaman lebih serempak dan populasi tanaman optimum sehingga mendapatkan hasil yang baik. Untuk mendapatkan benih padi unggul yang bermutu, perlu diketahui ciri-ciri benih unggul yaitu varietasnya asli, benih bernas dan seragam, bersih (tidak tercampur dengan biji gulma atau biji tanaman lain), daya berkecambah dan vigor tinggi sehingga dapat tumbuh baik jika ditanam di sawah, dan tidak terinfeksi oleh jamur atau serangan hama (Satoto et al. 2008).

(3) Permodalan

Modal yang biasanya disebut dengan kapital merupakan faktor penting dalam usaha tani. Kapital diperlukan untuk menyediakan input sarana produksi pertanian. Semakin besar kapital yang dimiliki, semakin besar peluang untuk berusaha tani secara optimal. Kapital atau modal dalam sektor pertanian di Indonesia masih menjadi permasalahan yang cukup pelik. Hal ini mengingat hampir sebagian besar petani Indonesia adalah petani kecil yang terbatas akses permodalannya. Untuk itu, Pemerintah dalam berbagai kebijakannya beberapakali mengeluarkan program permodalan di sektor pertanian.

Bentuk program bantuan penguatan modal yang diperuntukkan bagi petani pertama kali diperkenalkan pada Tahun 1964 dengan nama Bimbingan Masal (BIMAS). Tujuan dicanangkannya program tersebut adalah untuk meningkatkan produksi, meningkatkan penggunaan teknologi baru dalam usahatani dan peningkatan produksi pangan secara nasional. Dalam perjalanannya, program BIMAS dan kelembagaan kredit petani mengalami banyak perubahan dan modifikasi yang disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan kebijakan (Hasan 1979 dalam Lubis 2005).

Pada Tahun 1985 kredit BIMAS dihentikan dan diganti dengan Kredit Usaha Tani (KUT) sebagai penyempurnaan dari sistem kredit massal BIMAS, dimana pola penyaluran yang digunakan pada saat itu adalah melalui KUD. Selanjutnya perkembangan bentuk program bantuan penguatan modal dari pemerintah lainnya adalah Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Program KKP diperkenalkan oleh Pemerintah pada Bulan Oktober 2000 sebagai pengganti KUT. Program KKP merupakan bentuk fasilitasi modal untuk usahatani tanaman pangan (padi dan palawija), tebu, peternakan, perikanan dan pengadaan pangan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional dan pendapatan petani.

Kredit pertanian memiliki peran yang penting dalam pembangunan sektor pertanian. Pentingnya perananan kredit disebabkan oleh kenyataan bahwa secara relatif modal merupakan faktor produksi non alami yang persediaannya masih sangat terbatas terutama di Negara yang sedang berkembang. Ashari (2009) menyatakan bahwa kredit berperan untuk memperlancar pembangunan pertanian, antara lain karena :

a. Membantu petani kecil dalam mengatasi keterbatasan modal dengan bunga relatif ringan.

b. Mengurangi ketergantungan petani pada pedagang perantara dan pelepas uang sehingga bisa berperan dalam memperbaiki struktur dan pola pemasaran hasil pertanian.

c. Mekanisme transfer pendapatan untuk mendorong pemerataan. d. Insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi pertanian.

Pada tahun 2008 pemerintah melalui Departemen Pertanian RI mencanangkan program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) yang memberikan bantuan modal usaha sebesar Rp 100 juta untuk setiap gabungan kelompok tani. Program ini terus dilanjutkan dan dikembangkan oleh Kementerian Pertanian RI sejak tahun 2009 sampai tahun 2013 yang lebih menitikberatkan pada upaya pembentukan lembaga keuangan mikro pertanian (Biro Perencanaan Kementan, 2014).

(4) Rehabilitasi Infrastruktur Irigasi Pertanian

Infrastruktur merupakan suatu sarana (fisik) pendukung agar pembangunan ekonomi suatu negara dapat terwujud. Perekonomian yang terintegrasi membutuhkan pembangunan infrastruktur. Peningkatan sarana perhubungan seperti jalan dan jembatan berimplikasi pada semakin murahnya biaya distribusi, dan mempercepat distribusi, sehingga akses masyarakat terhadap pangan menjadi lebih mudah dan cepat (Kwik 2002).

Peningkatan sarana irigasi juga dapat meningkatkan produksi dan menjadi insentif bagi petani. Sarana irigasi pertanian yang lazim terdapat di Indonesia adalah waduk, dam, parit, embung, dan air artesis. Pembangunan irigasi yang bertujuan untuk menyediakan air bagi hamparan sawah merupakan program utama yang sangat penting bagi produksi padi karena padi merupakan salah satu jenis tanaman yang sangat membutuhkan ketersediaan air dalam pertumbuhannya. Padi merupakan tanaman yang sangat sensitif terhadap kekurangan air. Kekeringan mempengaruhi morfologi, fisiologi, dan aktivitas pada tingkat molekular padi. Akibatnya, terjadi penundaan pembungaan dan penurunan kapasitas fotosintesis karena menutupnya stomata, pembatasan metabolisme, dan rusaknya kloroplas (Farooq et al. 2009). Menurut Yoshida (2008) dalam Suhendar (2010), tanaman padi membutuhkan air sebanyak 180-300 mm/bulan agar dapat tumbuh dengan baik.

Keperluan ketersediaan air yang dapat dipenuhi melalui infrastruktur irigasi yang baik untuk masa pertumbuhan tanaman padi dibuktikan dengan menurunnya produksi berbagai jenis varietas padi pada saat kekurangan air. Menurut Sulistyono et al. (2012), padi merupakan tanaman yang sangat sensitif terhadap stress atau cekaman air. Cekaman air bisa berupa kelebihan atau kekurangan air. Kelebihan air berupa cekaman banjir, sedangkan kekurangan air berupa cekaman kekeringan. Cekaman kekeringan menyebabkan penurunan produksi sebesar 32.44%, 41.52%, dan 48.87% berturut-turut pada frekuensi irigasi 8, 12, dan 16 hari sekali.

Ketersediaan air bagi tanaman padi di beberapa daerah di Indonesia dilakukan melalui pembangunan embung. Pada penelitian yang menguji pengaruh pembangunan embung terhadap produksi padi, Suharyanto et al. (2008) menyimpulkan bahwa dampak embung terhadap produksi padi terlihat di daerah hulu, dengan peningkatan sebesar 6% sehingga berdampak pada peningkatan pendapatan sebesar 12%. Demikian pula di daerah hulu produksi padi meningkat dari 3,93 t/ha menjadi 4,87 t/ha, sedangkan di daerah tengah dan hilir, pembangunan embung tidak memberikan pengaruh yang signifikan.

(5) Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT)

Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi pangan, terutama padi, adalah dengan cara meningkatkan produktivitas melalui penerapan teknologi secara intensif. Berbagai hasil penelitian menunjukkan adanya temuan teknologi budidaya tani yang dapat meningkatkan hasil produksi padi per satuan hektar. Untuk itulah, penerapan teknologi merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan produksi pangan.

Dalam rangka peningkatan produksi padi, Pemerintah telah melakukan upaya peningkatan produksi beras nasional (P2BN) dengan salah satu kegiatan utamanya adalah transfer teknologi melalui Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). Program ini telah dikembangkan oleh Kementerian Pertanian sejak tahun 2006 hingga Kabinet Indonesia Bersatu kedua (Biro Perencanaan Kementan 2014).

SL-PTT adalah bentuk sekolah yang proses belajar mengajarnya dilakukan di lapangan. Hamparan sawah milik petani peserta penerapan program PTT (pengelolaan tanaman terpadu) adalah hamparan SL-PTT, dan laboratorium lapang tempat praktek sekolah lapang disebut LL (laboratorium lapang). Konsep PTT merupakan pendekatan dalam pengelolaan lahan, air, tanaman, organisme pengganggu tanaman, dan iklim secara terpadu yang dilakukan berdasarkan strategi intensifikasi untuk meningkatkan produktivitas tanaman. Komponen teknologi dasar yang digunakan adalah penggunaan varietas benih unggul, pemupukan efisien melalui bagan warna daun dan perangkat uji tanah sawah, pengelolaan tanaman yang meliputi populasi dan cara tanam (jajar legowo), pemanfaatan bahan organik, irigasi berselang, penanganan panen dan pasca panen (Balitbangtan 2013).

Menurut Arfan (2012), konsep PTT yang digulirkan oleh Kementerian Pertanian bukan merupakan bentuk paket teknologi, melainkan konsep pendekatan pengelolaan produktivitas padi secara berkelanjutan dengan memperhatikan keberagaman lingkungan pertanaman dan kondisi petani, sehingga penerapan teknologi dan program PTT di suatu tempat mungkin sekali berbeda dengan lokasi lainnya.

Penelitian Terdahulu

Rindayati et al. (2007) melakukan studi mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal daerah dan ketahanan pangan di wilayah Propinsi Jawa Barat. Studi yang menggunakan data panel yang terdiri dari 13 cross section

(kabupaten) dan time series 1995-2005 dianalisis melalui metode persamaan simultan 2SLS (two stage least square) dan menunjukkan bahwa DAU (dana alokasi umum) menyumbang 68% dari pendapatan daerah, sedangkan belanja rutin menjadi belanja terbesar (77%) dari total belanja daerah. Terkait variabel yang berpengaruh terhadap produksi gabah, faktor yang signifikan mempengaruhi produksi gabah adalah harga gabah, jumlah penggunaan pupuk, penyerapan tenaga kerja sektor pertanian, dummy desentralisasi fiskal dan produksi gabah tahun sebelumnya. Anggaran pengeluaran sektor pertanian tidak signifikan mempengaruhi produksi gabah. Produksi gabah lebih dominan dipengaruhi secara langsung penggunaan input pupuk dan tenaga kerja. Dummy desentralisasi fiskal

signifikan bernilai positif terhadap produksi gabah, hal ini menunjukkan bahwa pada masa desentralisasi fiskal, produksi gabah relatif lebih besar.

Dari hasil tersebut setidaknya dapat memberikan gambaran awal mengenai alasan menurunnya produksi padi nasional tahun 2011 dibanding tahun 2010, meskipun anggaran pembangunan pertanian mengalami peningkatan pada kurun waktu yang sama. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi produksi padi perlu diidentifikasi secara tepat agar skema penyaluran dan pembelanjaan anggaran dapat menjadi daya ungkit peningkatan produksi padi.

Penelitian mengenai dampak penggunaan belanja pemerintah terhadap produksi pangan, pertumbuhan GDP pertanian, ataupun peningkatan pendapatan petani telah dilakukan di berbagai negara. Beberapa studi mengenai pengaruh belanja pemerintah terhadap out put sektor pertanian di Indonesia dilaksanakan oleh Fuglie (2004), Dirgantoro et al. (2009), dan Armas et al. (2010). Fuglie (2004) mengidentifikasi faktor penentu pertumbuhan sektor pertanian dalam kurun waktu 1960 sampai dengan tahun 2000. Menurutnya, produktivitas pertanian mengalami peningkatan pada kurun waktu 1970-1980 dan trendnya mendatar mulai awal tahun 1990, dimana sebagian besar pertumbuhan tersebut disebabkan oleh peningkatan input produksi berupa lahan dan tenaga kerja. Stagnasi produktivitas di awal tahun 1990 disebabkan oleh rendahnya investasi publik maupun individu seperti penelitian, infrastruktur pedesaan, dan irigasi.

Dari hasil laporan riset Dirgantoro et al. (2009) pada Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Jawa Barat, peningkatan pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian dalam bentuk belanja rutin dan pembangunan irigasi berdampak positif terhadap PDRB (produk domestik regional bruto) pertanian dan rasio ekonomi, tetapi berdampak negatif terhadap PDRB non pertanian dan total PDRB. Penelitian tersebut menggunakan metode persamaan simultan (32 persamaan struktural dan 15 persamaan identitas). Selain dampak belanja pemerintah dan irigasi, juga disimpulkan bahwa penurunan kontribusi sektor pertanian menyebabkan peningkatan kontribusi sektor industry, namun tidak dengan sektor lainnya.

Studi tentang pengaruh belanja pemerintah terhadap GDP sektor pertanian dilakukan oleh Armas et al. (2010). Hasil studi dengan menggunakan metode

Dokumen terkait