Bab III
Penilaian Kondisi
3.1. Latar Belakang Penggunaan Penilaian Kondisi 3.1.1. Pengertian Penilaian Kondisi
Penilaian Kondisi merupakan suatu metode penilaian terhadap suatu obyek yang berdasarkan pada kondisi obyek yang diamati. Penilaian Kondisi berhubungan erat dengan Condition Based Maintenance, dimana obyek yang diamati kondisinya ini kemudian ditentukan tingkat unjuk kerjanya lalu kemudian diberikan maintenance berdasarkan kondisinya tersebut. Secara umum penilaian kondisi memberikan sebuah penilaian kondisi atas fenomena-fenomena yang terjadi dan berpengaruh pada parameter yang terukur pada obyek.
Didalam Penilaian Kondisi terdapat 2 aspek yang terlibat yaitu risk assessment dan monitoring diagnosis [4] . Risk assessment disini berarti penilaian terhadap kemungkinan-kemungkinan resiko yang bisa terjadi pada obyek tersebut. Dalam risk assessment ini kita menentukan kemungkinan-kemungkinan resiko yang terjadi pada obyek serta penyebabnya. Salah satu metode yang digunakan dalam risk assessment adalah FMEA (Failure Mode Effect Analysis), dimana dalam FMEA kita menentukan runtutan dari sebuah resiko yang terjadi secara backtrack ke penyebabnya, sehingga dari sebuah kegagalan yang terjadi (resiko) bisa ditentukan gangguan awal yang menyebabkannya. Aspek lain yang penting dalam penilaian kondisi adalah monitoring diagnosis. Monitoring diagnosis berarti melakukan suatu pemantauan terhadap parameter-parameter yang berpengaruh pada suatu obyek dan kemudian menentukan fenomena apa yang terjadi.
Risk Assessment (FMEA) Penilaian Kondisi
Monitoring Diagnosis
Gambar 4.1 Bagan hubungan penilaian kondisi [4]
3.1.2. Keuntungan Penggunaan Penilaian Kondisi [5]
Secara umum penggunaan Penilaian Kondisi dalam menentukan tingkat unjuk kerja obyek dapat memberikan keuntungan bagi pemilik obyek.
Keuntungan yang didapatkan antara lain :
Dapat mengurangi biaya operasi dan maintenance, karena perubahan metode maintenance, dari pola time-based (secara periodik) menjadi condition-based.
Meningkatkan ketersediaan dan keandalan obyek. Dengan melakukan Penilaian Kondisi maka dapat dilakukan analisis kemungkinan gangguan yang terjadi serta parameter yang terlibat dalam gangguan tersebut sehinggga dapat dilakukan tindakan preventif untuk mencegah hal-hal yang mengarah pada kegagalan (failure). Sehingga hal tersebut dapat meningkatkan keandalan obyek tersebut.
Mengevaluasi umur penggunaan komponen pada obyek. Berdasarkan kondisi sebenarnya yang ada dilapangan maka dapat ditentukan kelayakan suatu komponen untuk tetap digunakan atau harus diganti. Estimasi umur pakai suatu obyek berdasarkan kondisi sebenarnya. Jika
kondisi obyek telah diketahui serta gangguan yang ada di monitor dengan baik maka dapat diestimasikan berapa lama obyek dapat bertahan dalam menghadapi gangguan tersebut.
3.1.3. Penggunaan Penilaian Kondisi Pada Isolasi Trafo
Penilaian Kondisi dapat diterapkan pada isolasi Trafo dengan melakukan penilaian pada parameter terukur pada Isolasi Trafo. Parameter tersebut merupakan Kondisi fisik dan kimia dari isolasi trafo dan fenomena listrik yang terjadi. Parameter yang digunakan yaitu Kadar Air, angka keasaman, tegangan tembus, tagangan antar muka, tan delta, warna, kandungan furan, kondisi TCG, dan kandungan CO2
3.2. Bagian-bagian dari Penilaian Kondisi
Pada Penilaian Kondisi akan terbagi menjadi dua bagian yaitu risk assesment dan monitoring diagnosis . Pada risk assesment akan menganalisis kemungkinan resiko dengan menggunakan FMEA, dan untuk monitoring diagnosis akan dilakukan pengukuran terhadap parameter-parameter yang ada pada isolasi trafo.
3.2.1. Risk Assesment
Risk Assesment dilakukan dengan menggunakan metode FMEA (Failure Mode Effect Analysis). Dengan menggunakan FMEA, kita dapat melakukan analisis dengan cara mencari hubungan antara kegagalan dan faktor penyebab-penyebabnya. Faktor penyebabnya akan diurai menjadi bagian yang lebih kecil lagi sehingga dapat ditemukan parameter yang terkait dalam memicu kegagalan yang terjadi.
Berikut ini adalah diagram pemetaan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat unjuk kerja isolasi trafo.
Gambar 4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat unjuk kerja isolasi trafo [6]
Dari diagram diatas dapat dilihat faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kerja isolasi trafo, yaitu ;
Kadar Air (H2O) Temperatur Kandungan Furan Angka Keasaman Kandungan CO2 Kandungan CO
Dengan melakukan analisis keterkaitan antara parameter-parameter tersebut, maka akan dapat dilakukan analisis penyebab terjadinya kegagalan
isolasi trafo. Selanjutnya pengaruh masing-masing parameter akan dijadikan sebagai acuan dalam menentukan faktor pembobotan .
3.2.2. Monitoring Diagnosis pada isolasi Trafo
Monitoring diagnosis yang dilakukan pada Isolasi meliputi pengamatan pada parameter. Dari pengamatan tersebut akan ditentukan karakteristik yang dapat dimonitor sehingga dapat diperoleh informasi-informasi pada parameter yang kita ukur.
Salah satu metode diagnosis yang dilakukan untuk mengetahui kondisi isolasi trafo yaitu dengan melakukan analisis gas terlarut dalam minyak (Dissolved Gas Analysis, DGA) . Dengan menggunakan kromatografi gas maka spesies dan konsentrasi gas dalam minyak dapat diketahui. Selanjutnya dari spesies dan konsentrasi gas tersebut diinterpretasikan kondisi isolasi trafo.
3.3. Faktor-faktor yang ditentukan dalam Penilaian Kondisi
Pengolahan data hasil pengukuran pada monitoring diagnosis dilakukan dengan penentuan nilai batas (boundary value) dan penentuan faktor pembobotan (weighting factor) .
3.3.1. Penentuan Nilai Batas (Boundary Values)
Penentuan nilai batas bertujuan untuk membedakan kondisi isolasi trafo. Nilai batas akan yang ditetapkan akan menjadi sebuah pembeda antara level kondisi yang satu dengan yang lainnya.
Dalam menetapkan nilai batas yang akan digunakan, kita dapat menggunakan standard internasional ataupun melalui pengolahan data statistik . Dalam hal ini, penulis menggunakan standar internasional sebagai batasan.
Berikut adalah standar internasional untuk beberapa parameter isolasi trafo Kadar Air (water content)
Tabel 4.1 Standar IEC 60442 & SD Myers untuk kandungan air Pada temperatur 20oC
good fair poor
< 5 ppm 5 -10 ppm >10 ppm
Angka Keasamaan ( Neutralizing Number)
Banyaknya KOH (dalam mg) yang dibutuhkan untuk menetralkan setiap gram isolasi cair.
Tabel 4.2 Standar IEC 60442 & SD Myers untuk Angka Keasaman
good fair poor
< 0,1 mg 0,1 - 0,15 mg >0,15 mg
Tegangan Tembus (Breakdown voltage) IEC 60442 & SD Myers
Tabel 4.3 Standar IEC 60442 & SD Myers untuk Tegangan Tembus
good fair poor
> 60 kV 50 -60 kV <50 kV
Warna
Nilai standar berdasarkan metode pengujian ASTM D-1500 adalah <3,5. Tegangan antar muka (Interfacial Tension)
Tabel 4.4 Standar IEC 60442 & SD Myers untuk Tegangan antar muka
good fair poor
Tan Delta
Tabel 4.5 Standar IEC 60442 & SD Myers Tan Delta pada 25oC
good fair poor
< 0,1 0,1 – 0,3 > 0,3
Kandungan Furan
Standar yang digunakan adalah sebagai berikut ;
Tabel 4.6 Standar Kandungan Furan Jenis 2FAL (2 Furaldehid)
Transformer 2FAL (ppb) Estimated Degree Polymerization (DP) Estimated Percentage of Life Interpretation 58 800 100 130 700 90 292 600 79
Normal Aging Rate
654 500 66 1464 400 50 1720 380 46 2021 360 42
Accelerated Aging Rate
2374 340 38 2789 320 33 3277 300 29
Excessive Aging Danger Zone
3851 280 24 4524 260 19
High Risk of Failure
5315 240 13 6245 220 7 7337 200 0
End of Expected Life of paper Paper Insulation and of the trafo
Kondisi Total Combustible Gas (TCG)
Kandungan CO2
Tabel 4.7 Standar IEEE C57.104.1991 untuk kandungan CO2
Condition Interpretation CO2 (ppm)
Condition 1 Normal 0 - 2500
Condition 2 Modest Concern 2500-4000 Condition 3 Major Concern 4001-10000 Condition 4 Imminent Risk >10000
Setelah menentukan nilai batas, maka dapat ditentukan nilai batas antara kondisi yang satu dengan yang lainnya. Penulis membagi kondisi ini menjadi tiga bagian kondisi yaitu ;
Kondisi 1 menunjukkan bahwa nilai parameter dari suatu isolasi trafo berada pada kondisi buruk atau tidak layak
Kondisi 6 merupakan kondisi pertengahan. Pada Kondisi ini nilai parameter berada pada kondisi minimum untuk layak beroperasi.
Kondisi 9 menunjukkan nilai parameter dari isolasi trafo berada pada level yang baik atau sangat layak.
Berdasarkan Standar yang digunakan dan level kondisi yang ditetapkan, maka dapat ditetapkan nilai batas (boundary values) yang akan digunakan. Berikut adalah nilai batas parameter isolasi Trafountuk kondisi 1, 6, dan 9 ;
Tabel 4.8 Boundary Values untuk tiap parameter
Nilai Batas Parameter
Kondisi 1 Kondisi 6 Kondisi 9 Kadar Air (ppm) > 10 5 -10 < 5 Angka Keasaman (mg KOH) > 0,15 0,1-0,15 < 0,1 Tegangan Tembus (kV) < 50 50-60 > 60 Tegangan Antar Muka (mN/m) < 22 22-28 > 28 Tan Delta pada 25o C > 0,3 0,1-0,3 < 0,1
Warna > 3,5 1,5-3,5 < 1,5
Furan (ppb) > 3500 500-3500 < 500 TCG (ppm) > 1921 721- 1921 < 721 Kandungan CO2(ppm) > 10000 2500-10000 < 2500
3.3.2. Penentuan Faktor Pembobotan
Dalam menentukan Faktor pembobotan untuk setiap parameter tingkat unjuk kerja isolasi trafo, penulis menggunakan metode Analytic Hierarchy Process (AHP).
4.3.2.1. Penentuan Key Performance Indicator (KPI)
KPI yang digunakan sebagai parameter tingkat unjuk kerja isolasi trafo adalah sebagai berikut ;
Kadar Air (ppm)
Angka Kesaman (mg KOH) Tegangan Tembus (kV) Tegangan antar muka (mN/m) Tan Delta pada 25oC
Warna Furan (ppb) Kondisi TCG
Kandungan CO2 (ppm)
Selanjutnya Parameter tersebut merupakan Indikator yang akan dijadikan sebagai penentu dalam penilaian kondisi isolasi.
4.3.2.2. Penentuan Nilai Prioritas KPI
Untuk menentukan Nilai Prioritas KPI maka harus dilakukan analisis keterkaitan parameter sebagai penyebab kegagalan isolasi. Kesembilan parameter tersebut kemudian diklasifikasikan menjadi tiga bagian. Bagian pertama yaitu sebagai parameter utama yaitu Tan Delta dan Kandungan Furan .Nilai Tan delta berbanding lurus dengan disipasi energi dalam bentuk panas pada material isolasi.
bahwa dalam minyak terdapat kerusakan atau kandungan kontaminan baik berupa uap air, karbon,maupun kontaminan penggangu lainnya. Karena itu nilai tan delta minyak trafo dapat menentukan unjuk kerjanya karena dapat dijadikan parameter untuk mengevaluasi efesiensi dielektrik serta menilai kerusakan dielektrik karena penggunaan yang cukup lama, selain itu pengujian tan delta pada minyak trafo dapat menentukan apakah zat kontaminan masih dalam batas yang diperbolehkan atau tidak. Untuk Kandungan Furan, dalam hal ini yang diukur adalah Kandungan 2–Furfural (2FAL),merupakan senyawa kimia yang dihasilkan pada saat dekomposisi isolasi kertas akibat pemanasan berlebih. Dari jumlah kandungan Furan dapat dilakukan perkiraan usia trafo. Sebagai alasan menempatkan Kandungan Furan sebagai parameter utama yaitu karena merupakan indikator dekomposisi isolasi kertas. Isolasi kertas memiliki sifat recovery yang sangat rendah sehingga sekali mengalami tembus maka sudah tidak dapat dipergunakan lagi.
Bagian Kedua yaitu Kadar Air dan Angka Keasaman. Air pada Trafo dapat berasal dari udara saat trafo dibuka untuk keperluan inspeksi apabila terjadi kebocoran maka uap air akan masuk ke dalam trafo karena perbedaan tekanan parsial uap air. Asam terbentuk dari hasil oksidasi minyak trafo. Selanjutnya Asam dan Air beperan dalam dekomposisi isolasi kertas.
Dan bagian yang terakhir, yaitu tegangan tembus, tegangan antar muka, warna, kondisi TCG, dan kandungan CO2. Keempat parameter tersebut bukan merupakan penyebab awal kegagalan isolasi melainkan sebagai akibat dari menurunnya kondisi isolasi. Secara umum proses oksidasi minyak trafo menghasilkan air , asam, sludge, dan gas. Tingginya kadar asam akan mengakibatkan penurunan tegangan antar muka. Tingginya kadar air akan menyebabkan penurunan tegangan tembus. Pemburukan warna minyak terjadi karena tingginya kontaminan pada minyak salah satunya adalah karbon.
Selanjutnya akan dilakukan pembandingan antar parameter. Hasil perbandingan relatif antar parameter kemudian akan dijadikan matriks pairwise comparison.
Tabel 4.9 Tabel pairwise comparison
K A AK TT TAM Tan Delta Warna Furan TCG CO2
Kadar air ( KA) 1 2 5 5 0.3333 5 0.3333 3 5 Angka Keasaman (AK) 0.5 1 4 4 0.2 4 0.2 2 4 Tegangan Tembus (TT) 0.2 0.25 1 3 0.2 3 0.2 0.3333 3 Tegangan Antar Muka (TAM) 0.2 0.25 0.3333 1 0.1428 1 0.1428 0.2 1 Tan Delta 3 5 5 7 1 7 0.5 5 7 Warna 0.2 0.25 0.3333 1 0.1428 1 0.1428 0.2 1 Furan 3 5 5 7 2 7 1 5 7 TCG 0.3333 0.5 3 5 0.2 5 0.2 1 5 Kandungan CO2 0.2 0.25 0.3333 1 0.1428 1 0.1428 0.2 1
Dari Tabel pairwise comparison tersebut , kemudian diperoleh matriks pairwise comparison sebagai berikut ;
[A] = 1.0000 2.0000 5.0000 5.0000 0.3333 5.0000 0.3333 3.0000 5.0000 0.5000 1.0000 4.0000 4.0000 0.2000 4.0000 0.2000 2.0000 4.0000 0.2000 0.2500 1.0000 3.0000 0.2000 3.0000 0.2000 0.3333 3.0000 0.2000 0.2500 0.3333 1.0000 0.1429 1.0000 0.1429 0.2000 1.0000 3.0000 5.0000 5.0000 7.0000 1.0000 7.0000 0.5000 5.0000 7.0000 0.2000 0.2500 0.3333 1.0000 0.1429 1.0000 0.1429 0.2000 1.0000 3.0000 5.0000 5.0000 7.0000 2.0000 7.0000 1.0000 5.0000 7.0000 0.3333 0.5000 3.0000 5.0000 0.2000 5.0000 0.2000 1.0000 5.0000 0.2000 0.2500 0.3333 1.0000 0.1429 1.0000 0.1429 0.2000 1.0000 ⎛ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎜⎜ ⎝ ⎠ ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎟⎟ 4.3.2.3. Menentukan faktor pembobotan dengan vektor eigen
Dengan menggunakan prosedur sesuai pada 3.3.1, maka faktor pembobotan didapatkan setelah melakukan iterasi vektor eigen sampai pada iterasi ke empat.
Sehingga diperoleh Matriks vektor eigen sebagai berikut ; [E] = 0.1425 0.0963 0.0477 0.0247 0.2572 0.0247 0.2993 0.0830 0.0247 ⎛ ⎞ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎝ ⎠
4.3.2.4. Pehitungan Rasio Konsistensi
Perhitungan Rasio Konsistensi bertujuan untuk mengetahui konsistensi pada nilai pembobotan yang kita dapatkan.
Langkah-langkah yang dilakukan untuk perhitungan Rasio Konsistensi ; 1. Vektor Jumlah Tertimbang (weigthed sum vector)
Berdasarkan persamaan (3.1), maka diperoleh matriks Vektor Jumlah Tertimbang (VJT) ; [VJT] = 1.3782 0.9317 0.4612 0.2386 2.4876 0.2386 2.8944 0.8031 0.2386 ⎛ ⎞ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎝ ⎠ 2. Vektor Konsistensi
[VK] = 9.6715 9.6749 9.6687 9.6599 9.6718 9.6599 9.6705 9.6759 9.6599 ⎛ ⎞ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎝ ⎠
3. λ dan Indeks Konsistensi
Berdasarkan persamaan (3.3), maka diperoleh λ ;
9,6715+9,6749+9,6687+9,6599+9,6718+9,6599+9,6705+9,6759+9,6599 9
λ=
9,6682
λ=
Dan untuk menghitung Indeks Konsistensi (IK) digunakan persamaan (3.4) ; 9,6682 - 9 9 1 IK= − 0,0835 IK= 4. Rasio Konsistensi
Untuk memperoleh nilai Indeks Random (IR) pada sembilan buah KPI, maka dilakukan interpolasi kubik pada data tabel 3.2 .Dengan menggunakan interpolasi kubik maka akan diperoleh Indeks Random (IR) sebesar 1,61. Selanjutnya Rasio Konsistensi dapat ditentukan dengan
0,0518 = 5,18 % RK=
Rasio Konsistensi dari hasil pembobotan sebesar 5,18 %. Berdasarkan Teori AHP pada bab sebelumya, bahwa pembobotan dapat dikatakan bersifat konsisten jika Rasio Konsistensi kurang dari 10 %. Dengan nilai tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penentuan faktor pembobotan yang dilakukan adalah konsisten sehingga dapat digunakan sebagai faktor pembobotan dalam untuk penentuan tingkat unjuk kerja isolasi trafo.
Berikut adalah faktor pembobotan untuk tiap parameter ; Tabel 4.10 Faktor Pembobotan
No Parameter Faktor pembobotan
1 Kadar air ( KA) 0,1425
2 Angka Keasaman (AK) 0,0963 3 Tegangan Tembus (TT) 0,0477 4 Tegangan Antar Muka (TAM) 0,0247
5 Tan Delta 0,2572
6 Warna 0,0247
7 Furan 0,2993
8 TCG 0,0830
9 Kandungan CO2 0,0247
Faktor pembobotan dikombinasikan dengan level kondisi pada penentuan nilai batas (boundary values). Setiap parameter pada level kondisi tertentu (kondisi 1, 6 atau 9) akan dikalikan dengan faktor pembobotan (sesuai dengan parameternya), untuk kemudian dijumlahkan dengan hasil dari parameter lain. Skor dari penjumlahan tersebut yang menjadi nilai akhir dari penilaian kondisi yang dilakukan. Pembahasan lebih detail mengenai hal ini akan dilakukan pada bab selanjutnya.