Studi Deskriptif Mengenai Self Esteem Pada Siswa-Siswi yang
Bermasalah Pada Kelas VIII di SMP Negeri 8 Bandung
Descriptive Study of Self Esteem at Troubled Students in Second Grade at 8 Junior High School Bandung
1
Rhima Destriana, 2Makmuroh Sri Rahayu, 3Anditha Nurul Khasanah
1,2Prodi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung, Jl. Tamansari No.1 Bandung 40116
email: [email protected],[email protected], [email protected]
Abstract. 8 Junior High School Bandung is one of junior high schools in Bandung which has accreditation
A. To maintain that accreditation which has been achieved is not easy, especially in the class of 2015. Problematic behaviors are generated by the class of 2015 are as much as 24.3%, dominated by skipping classes and being late for school. The reasons why they are troubled are because they feel uncomfortable in school, unimportant, that they do not deserve to be liked, and unsure with the idea and ability. These things are related to self esteem. According to Coopersmith, self esteem is an evaluation made by individuals and habits of viewing themselves primarily about acceptance or rejection, and an indication of the magnitude of individual confidence in their ability, significance, success and reward. The purpose of this research is to obtain self esteem picture in troubled student in second grade at 8 Junior High School Bandung. The method which is used is descriptive study method. This study is a population study which the total number of subjects are 70 students. The data were collected using self esteem measuring instrument based on Coopersmith theory. From the results of data processing which were obtained, there are 50% of the population or 35 students have low self esteem. Students who entered through the affirmation path and have low self esteem are as much as 75% or 27 students; those who entered through academic path and have low self esteem are 23.35% or 8 students. Thus, the troubled students in second grade who have low self esteem are dominated by students who come from the path of affirmation.
Keywords: Descriptive Study, Self Esteem, and Troubled Students.
Abstrak. SMP Negeri 8 Bandung merupakan salah satu SMP Negeri dengan akreditasi A. Untuk
mempertahankan akreditasi yang telah melekat tersebut tidak mudah, terutama pada angkatan 2015. Perilaku bermasalah yang ditimbulkan angkatan 2015 tersebut sebanyak 24,3%, didominasi oleh perilaku membolos, terlambat datang ke sekolah dan berada diluar kelas saat jam pelajaran berlangsung. Sebab mereka bermasalah karena merasa tidak nyaman disekolah, merasa bukan orang yang penting, tidak pantas disukai, tidak yakin dengan ide dan kemampuannya. Hal-hal tersebut terkait dengan self esteem. Menurut Coopersmith self esteem merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya terutama mengenai sikap menerima atau menolak, dan indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap kemampuannya, keberartian, kesuksesan dan keberhargaan. Tujuan penelitian untuk memperoleh gambaran self esteem pada siswa-siswi yang bermasalah di kelas VIII di SMPN 8 Bandung. Metode yang digunakan adalah metode studi deksriptif. Penelitian ini merupakan penelitian populasi dengan jumlah subjek seluruhnya adalah 70 siswa. Pengambilan data dilakukan menggunakan alat ukur self esteem berdasarkan teori Coopersmith. Dari hasil pengolahan data diperoleh bahwa sebanyak 50 % atau 35 orang memiliki self esteem rendah. Siswa-siswi yang masuk melalui jalur afirmasi dengan self esteem rendah sebanyak 75% atau 27 orang dan yang masuk melalui jalur akademik dengan self esteem rendah sebanyak 23.35% atau 8 orang. Dengan demikian siswa-siswi bermasalah dikelas VIII yang memiliki self esteem rendah di dominasi oleh siswa yang berasal dari jalur afirmasi.
Kata Kunci:Studi Deskriptif, Self Esteem, dan Siswa-siswi Bermasalah.
A. Pendahuluan
SMP Negeri 8 Bandung merupakan salah satu Sekolah Menengah Pertama Negeri terbaik di kota Bandung dan memiliki akreditasi “A”. Dalam penerimaan siswa baru, SMP Negeri 8 memiliki 4 jalur masuk yaitu jalur akademis, jalur KP4, jalur prestasi, dan jalur afirmasi. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari sekolah, pada tahun 2015 terdapat perubahan kebijakan perwal (peraturan walikota). Perubahan
kebijakan perwal tersebut terkait dengan penambahan kuota bagi calon siswa yang masuk melalui jalur afirmasi atau SKTM. Pada tahun 2015, jalur prestasi memiliki kuota sebanyak 5%, jalur KP4 atau guru memiliki kuota sebanyak 5%, jalur akademis memiliki kuota sebanyak 43% dan jalur afirmasi atau SKTM memiliki kuota sebanyak 47%.
SMP Negeri 8 Bandung memiliki visi yang dimana itu merupakan harapan atau cita – cita yang hendak diwujudkan oleh seluruh warga sekolah. Visi yang dimiliki oleh SMP Negeri 8 Bandung yaitu (a) berprestasi dalam akademik dan non akademik; (b) unggul dalam perolehan ujian nasional dan mendapat peringkat terbaik 1 di kota Bandung; (c) memelihara kerjasama dan kebersamaan; (d) memiliki kesetiakawanan yang tinggi antar warga sekolah ;dan (e) terciptanya pelaksanaan pendidikan berkualitas sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Namun pada kenyataannya dalam menjalankan visi yang telah dibuat tersebut tidak mudah, terutama pada angkatan 2015.
Guru BK menjelaskan bahwa dengan berubahnya kebijakan perwal (peraturan walikota) tersebut terjadi peningkatan jumlah siswa yang bermasalah. Banyak siswa yang bermasalah ini diperkirakan karena banyaknya jumlah siswa afirmasi yang diterima disekolah tersebut dibandingkan dengan tahun sebelum dan sesudahnya. Namun berdasarkan data yang diperoleh dari sekolah menunjukkan bahwa siswa yang bermasalah berasal dari siswa yang diterima baik dari jalur afirmasi maupun non afirmasi.
Menurut guru BK perilaku bermasalah yang ditimbulkan oleh siswa-siswi tersebut sebanyak 24,3%, didominasi oleh perilaku membolos, terlambat datang ke sekolah dan berada diluar kelas saat jam pelajaran tertentu sedang berlangsung. Siswa-siswi yang melakukan perilaku membolos, datang terlambat kesekolah dan berada diluar kelas saat jam pelajaran sedang berlangsung itu dilakukannya secara perorangan.
Dorothy H Keiter (dalam Kartini Kartono, 1985:77) mengatakan bahwa sebab siswa membolos adalah karena siswa takut akan kegagalan dan merasa ditolak. Takut akan gagal yaitu siswa yakin bahwa ia pasti tidak akan berhasil di sekolah. Ia merasa gagal, malu, tidak berharga, dan dicemooh sebagai akibat kegagalannya tersebut, perasaan ditolak dan tidak dihargai. Sehingga siswa tidak ingin berada di sekolah dan akhirnya siswa membolos.
Penyebab siswa berperilaku membolos yang dikemukakan oleh Dorothy H Keiter (dalam Kartini Kartono, 1985:77) sesuai dengan informasi yang didapatkan dari hasil wawancara yang dilakukan kepada beberapa siswa. Sebab mereka membolos karena lingkungan sekolah yang dirasa tidak nyaman dan kurangnya penerimaan dari teman sebaya. Mereka tidak berani untuk memulai perkenalan terlebih dahulu. Adanya pengalaman dimana siswa tersebut menjadi tidak disukai oleh temannya karena dinilai mengganggu dan mendapatkan penolakan dari temannya. Dari pengalaman tersebut menyebabkan siswa merasa dirinya ditolak, malu dan tidak disukai oleh teman-temannya.
Ketika mereka mencoba untuk ikut bergabung dikelas, mereka merasa respon yang diberikan teman-temannya menyebabkan mereka merasa tidak di acuhkan, tidak dianggap kehadirannya dan tidak dipedulikan. Sehingga mereka lebih memilih untuk diam dan memendam apa yang dirasakannya. Mereka merasa teman-teman dikelasnya tidak memberikan banyak perhatian padanya dan tidak memahami perasaannya.
Hasil wawancara juga menjelaskan bahwa mereka mengalami terlambat datang ke sekolah dan berada diluar kelas saat jam pelajaran tertentu berlangsung, hal ini
disebabkan mereka menghindari mata pelajaran pertama maupun mata pelajaran lain yang gurunya menggunakan sistem mengajar dengan berdiskusi dan tanya jawab. Ketika mereka ditunjuk guru untuk bertanya ataupun menjawab, mereka merasa malu karena tidak tahu harus bertanya mengenai apa dan takut jika jawaban yang diberikan tersebut salah. Adanya pengalaman yang pernah dialami siswa saat ditunjuk oleh guru dan mereka tidak dapat menjawabnya maka guru tersebut akan menegur dan mendesak siswanya untuk menjawab pertanyaan yang diajukin. Bagi siswa hal tersebut merupakan sebuah paksaan yang membuat mereka merasa dipojokkan.
Dalam kegiatan berdiskusi, siswa-siswi bermasalah tersebut merasa tidak mampu untuk dapat mengeluarkan pendapat. Mereka merasa takut jika pendapat yang diberikan dinilai salah sehingga menyebabkan teman-teman menyalahkan dirinya, merasa malu untuk mengeluarkan pendapatnya karena takut ditertawakan, dan merasa pendapatnya mungkin tidak lebih baik dari pada teman-temannya yang lain. Hal-hal ini disebabkan oleh pengalaman siswa dimana mereka pernah ditertawakan dan disalahkan oleh teman-teman kelas karena saran yang diberikan dianggap salah.
Berdasarkan penjelasan dari guru-guru pengajar bahwa siswa-siswi yang bermasalah tersebut merupakan siswi yang pasif dikelasnya. Respon dari siswa-siswi yang bermasalah tersebut tidak sesuai dengan harapan sekolah untuk dapat menyelenggarakan proses pembelajaran secara efektif dan bermutu. Selain itu diperkuat oleh pernyataan dari guru-guru pengajar bahwa angkatan 2015 secara nilai akademik pun masih lebih rendah dibandingkan dengan angkatan 2014 dan 2016. Para guru khawatir jika siswa-siswinya tersebut tidak paham dengan mata pelajaran yang telah di ajarkan, akan berdampak pada nilai-nilai di Ujian Nasional dan jika nilai-nilai mereka rendah, menyebabkan prestasi sekolah menjadi menurun.
Berdasarkan hasil dari keseluruhan wawancara yang telah dilakukan tersebut memperlihatkan bahwa perilaku yang ditunjukkan oleh siswa-siswi SMP Negeri 8 Bandung tersebut terkait dengan self esteem. Menurut Coopersmith (1967: 4-5) self esteem merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya terutama mengenai sikap menerima atau menolak, dan indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap kemampuannya, keberartian, kesuksesan dan keberhargaan. Self esteem terbentuk dari hasil evaluasi subyektif remaja atas umpan balik yang dia terima dari figur attachment serta perbandingan dengan standar atau nilai kelompok.
Kinder dkk. (1995) menemukan bahwa penyebab utama pembolosan adalah faktor pribadi, keluarga dan masyarakat. Salah satu dari faktor pribadi tersebut adalah kurangnya harga diri. Penelitian yang dilakukan oleh Reid (dalam Reid, 2008) menunjukkan bahwa konsep diri akademis yang rendah (seperti yang diukur oleh Skala Brookover) dan tingkat harga diri umum yang lebih rendah daripada orang biasa (menggunakan Skala Coopersmith) juga merupakan aspek kunci tentang ketidakhadiran di sekolah.
Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan diatas, peneliti tertarik untuk meneliti gambaran mengenai self esteem pada siswa-siswi yang bermasalah di kelas VIII di SMP Negeri 8 Bandung. Tujuan dalam penelitian ini diharapkan dapat memperoleh data empirik mengenai faktor-faktor lain yang berperan dalam perkembangan self esteem pada siswa-siswi yang bermasalah di kelas VIII di SMPN 8 Bandung.
B. Landasan Teori
Penilaian diri atau yang lebih dikenal dengan self esteem menurut Coopersmith (1967: 4-5) merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya terutama mengenai sikap menerima atau menolak, dan indikasi besarnya
kepercayaan individu terhadap kemampuannya, keberartian, kesuksesan dan keberhargaan. Secara singkat self esteem adalah “personal judgment” mengenai perasaan berharga atau berarti yang di ekspresikan dalam sikap-sikap individu terhadap dirinya. Ini adalah pengalaman subyektif yang disampaikan individu kepada orang lain melalui laporan lisan dan perilaku ekspresif lainnya. Menurut Coopersmith terdapat empat aspek dari self esteem, yaitu :
1. Significance (Penerimaan)
Kesuksesan dalam area significance diukur oleh penerimaan kepedulian, perhatian dan kasih sayang dari orang lain.
2. Power (Kekuatan)
Kesuksesan dalam area power diukur oleh kemampuan individu untuk mempengaruhi jalannya tindakan dengan mengendalikan tingkah lakunya sendiri dan perilaku orang lain.
3. Competence (Kompetensi)
Kesuksesan dalam area competence diukur oleh keberhasilan dalam mencapai prestasi sesuai tuntutan, baik tujuan atau cita‐cita, baik secara pribadi maupun yang berasal dari lingkungan sosial.
4. Virtue (Kebajikan)
Kesuksesan dalam area virtue diukur oleh ketaatan untuk mengikuti standar moral, etika dan agama.
Tingkat self esteem satu individu dengan individu lainnya berbeda, tergantung sejauh mana individu menganggap dan menilai dirinya berharga serta berpikir tentang orang lain dan lingkungannya. Coopersmith (1967:238) mengulas karakteristik umum yang tampak pada individu dengan berbagai tingkat self esteem yaitu sebagai berikut :
1. Tingkat Self esteem tinggi
Individu dengan self esteem tinggi lebih independen dalam mempengaruhi situasi, memiliki karakter yang konsisten dalam merespon sesuatu. Gambaran dirinya akan menjelaskan bahwa dia adalah seorang yang bernilai dan penting, mempunyai kemampuan yang sebaik individu lain seusianya. Mereka memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dikarenakan adanya pengakuan orang-orang terhadap cara pandang dan pendapat yang ia miliki (Coopersmith, 1967:47). Selain itu, mereka juga percaya diri dengan pandangan dan keputusan yang mereka buat.
2. Tingkat Self esteem rendah
Individu dengan self esteem rendah adalah individu yang hilang kepercayaan dirinya dan tidak mampu menilai kemampuan dan atribut-atribut dalam dirinya (Coopersmith, 1967:71). Mereka merasa bahwa mereka bukan orang yang penting dan pantas disukai. Mereka tidak yakin dengan ide dan kemampuannya, dan ada kemungkinan bahwa ide-ide dan hasil pekerjaan orang lain lebih baik daripada ide-ide dan hasil pekerjaan mereka sendiri. Individu dengan harga diri yang rendah memiliki perasaan ditolak, ragu-ragu, dan tidak berharga. Individu dengan harga diri yang rendah, dibesarkan dalam kondisi penolakan, ketidakpastian, dan rasa tidak hormat, percaya bahwa mereka tidak berdaya dan tanpa sumber daya atau jalan lain. Mereka merasa terisolasi, tidak dicintai, tidak mampu mengekspresikan dan membela diri, dan terlalu lemah untuk menghadapi dan mengatasi kekurangan mereka. Terlalu immobilisasi untuk mengambil tindakan, mereka cenderung menarik diri dan bersikap pasif (Coopersmith, 1967:250).
esteem yaitu : 1. Kelas Sosial
Kelas sosial merupakan aspek yang berhubungan dengan status sosial ekonomi. Coopersmith (1967) membagi sistem kelas menjadi tiga kategori yaitu :
a. Orang tua yang berasal dari kelas menengah ke atas biasanya pernah mengenyam pendidikan perguruan tinggi dan memiliki pendapatan di atas rata – rata dan pekerjaan biasanya pekerjaan yang bersifat professional, manajerial dan biasanya mereka tinggal di pemukiman elit. Keadaan seperti ini mempengaruhi terbentuknya self esteem yang tinggi pada anak. Anak akan merasa bangga dan merasa dirinya berharga karena kebutuhannya selalu terpenuhi dan bisa menikmati fasilitas yang dimiliki orang tuanya.
b. Para orang tua yang berasal dari kelas menengah biasanya memiliki latar belakang pendidikan menengah atas, memiliki pendapatan yang menengah pula dan pekerjaan yang biasanya pada area rendah, administrasi dan pekerjaan semi professional yang mengandalkan keahlian. Anak yang berasa dari kelas menengah memiliki self esteem menengah pula. Hal ini disebabkan orang tua dapat memberikan kebutuhan anak yang secukupnya.
c. Para ayah yang berasal dari kelas bawah atau kelas pekerja untuk beberapa orang biasanya memiliki latar belakang pendidikan SMA ke bawah, memiliki pendapatan di bawah rata – rata dan pekerjaan mereka biasanya masuk dalam sektor produksi barang dan layanan. Anak yang berasal dari kelas sosial bawah merasa bahwa dirinya tidak berharga dibanding teman – teman yang lain. Hal ini disebabkan karena orang tua tidak memperoleh pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya yang dianggap paling perlu dalam kehidupannya.
2. Agama
Agama sebagai kepercayaan ritual terorganisasi secara sosial dan diberlakukan oleh anggota suatu masyarakat. Setiap agama memiliki jumlah pemeluk dan nilai – nilai yang berbeda dengan agama lainnya dan kesemuanya itu dapat berpengaruh pada self esteem seseorang. Anak yang berasal dari agama yang dianut oleh mayoritas anggota masyarakat akan mempunyai pengaruh yang berbeda dengan mereka yang agamanya dianut oleh minoritas. Seseorang yang berasal dari agama yang mayoritas akan memberikan perasaan bangga, perasaan lebih dari agama minoritas. Perasaan bangga ini akan membuat individu memiliki self esteem yang tinggi.
3. Riwayat Pekerjaan Orang tua
Anak yang berasal dari orang tua yang mempunyai pekerjaan tetap seperti tenaga professional, direktur suatu perusahaan, atau memiliki kedudukan penting dalam suatu lembaga tertentu merasa bangga dan merasa dirinya sebagai orang yang berharga. Keadaan seperti ini menyebabkan terbentuknya self esteem yang tinggi, sedangkan anak yang berasal dari orang tua yang tidak memiliki pekerjaan yang tidak tetap, seperti kuli, penggarap lahan milik orang dan atau pernah dipecat dalam suatu pekerjaan, berdampak negatif terhadap anak. Anak merasa malu dan tidak memiliki rasa percaya diri. Dalam keadaan seperti ini, anak mengalami self esteem yang rendah
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Gambaran Self Esteem pada Siswa-Siswi yang Bermasalah di kelas VIII di SMP Negeri 8 Bandung
Tabel 1. Self Esteem pada Siswa-Siswi yang Bermasalah
Kategori Frekuensi Persentase
Tinggi 35 50%
Rendah 35 50%
Total 70 100%
Berdasarkan hasil perhitungan statistik pada tabel 1, maka didapatkan data bahwa dari total 70 siswa-siswi yang bermasalah di kelas VIII sebanyak 35 atau 50% siswa-siswi yang bermasalah tersebut memiliki self esteem yang rendah. Sehingga dapat dikatakan bahwa siswa-siswi yang bermasalah tersebut menilai dirinya sebagai individu yang tidak percaya diri, tidak mampu menilai kemampuan diri dan atribut-atribut yang ada didalam dirinya.
Mereka merasa bahwa mereka bukan orang yang penting dan pantas disukai. Hal tersebut terlihat dari siswa-siswi yang malu dan takut untuk memulai perkenalan dengan orang baru karena mereka merasa jika mereka yang memulai perkenalan terlebih dahulu mungkin saja orang tersebut akan menjadi tidak menyukai mereka.
Dalam kegiatan belajar mengajar dikelas, siswa-siswi tersebut merespon secara pasif. Banyak dari mereka yang merasa malu bertanya dan takut salah menjawab ketika ditunjuk oleh gurunya. Ketika mendapatkan teguran dan desakan, mereka tidak dapat melakukan tindakan apapun untuk membela dirinya. Menurut Coopersmith (1967:250) individu dengan harga diri yang rendah, mereka dalam kondisi tidak berdaya dan tanpa sumber daya atau jalan lain. Mereka merasa tidak mampu mengekspresikan dan membela diri, dan terlalu lemah untuk menghadapi dan mengatasi kekurangan mereka.
Pada saat diskusi kelompok kemudian mereka diminta untuk berbicara didepan teman-temannya, mereka akan lebih memilih diam. Mereka merasa tidak mampu untuk mengungkapkan ide/gagasan/pendapatnya. Hal tersebut dikarenakan mereka takut jika pendapatnya tersebut salah dan merasa jika dirinya tidak lebih baik dari teman-teman yang lain. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Coopersmith (1967:47) yang mengatakan bahwa orang yang dengan self esteem rendah itu mereka tidak yakin dengan ide dan kemampuannya, dan mereka merasa bahwa ide – ide dan hasil pekerjaan orang lain lebih baik daripada ide – ide dan hasil pekerjaan mereka sendiri.
Data Demografi
Tabel 2. Data Demografi
Jalur Masuk Frekuensi
Afirmasi 36 siswa
Akademik 34 siswa
Tabel 3. Self Esteem pada Siswa-siswi yang Masuk Melalui Jalur Afirmasi
Kategori Frekuensi Persentase
Tinggi 9 25%
Rendah 27 75%
Total 36 100%
Tabel 4. Self Esteem pada Siswa-siswi yang Masuk Melalui Jalur Akademik
Kategori Frekuensi Persentase
Tinggi 26 76.47%
Rendah 8 23.53%
Total 34 100%
Dari data yang diperoleh, ditemukan bahwa terdapat 136 siswa - siswi di kelas VIII yang masuk melalui jalur afirmasi, dimana sebanyak 36 siswa termasuk kedalam siswa-siswi yang bermasalah. Berdasarkan hasil perhitungan statistik pada tabel 3, didapatkan bahwa 27 siswa atau 75% memiliki self esteem yang rendah dan 9 siswa lainnya atau 25% memiliki self esteem yang tinggi.
Siswa-siswi yang masuk melalui jalur afirmasi merupakan siswa-siswa yang menggunakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Jalur afirmasi hanya diperuntukkan bagi siswa yang keluarganya tidak mampu membiayai anaknya untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Sehingga dengan kata lain siswa yang masuk melalui jalur afirmasi ialah siswa yang keluarganya memiliki status ekonomi menengah kebawah.
Kemudian terdapat 152 siswa-siswi di kelas VIII yang masuk melalui jalur non afirmasi (jalur akademik, jalur prestasi dan jalur KP4) dimana sebanyak 34 siswa termasuk kedalam siswa-siswi yang bermasalah. Dari hasil perhitungan statistik pada tabel 4, didapatkan data bahwa 8 siswa atau 23.53% memiliki self esteem yang rendah dan 26 siswa lainnya atau 76.47% memiliki self esteem yang tinggi.
Siswa-siswi yang masuk melalui jalur akademik merupakan siswa-siswi yang menggunakan Nilai Ebtanas Murni (NEM). Berbeda dengan siswa-siswi yang masuk melalui jalur afirmasi, siswa-siswi yang masuk melalui jalur non afirmasi memiliki keluarga yang status ekonominya menengah keatas.
Dengan demikian dari data tersebut menunjukkan bahwa siswa-siswi bermasalah yang masuk melalui jalur afirmasi lebih banyak yang memiliki self esteem rendah dibandingkan dengan yang masuk melalui jalur akademik. Hal tersebut sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Coopersmith (1967), disebabkan karena orang tua yang berasal dari kelas menengah ke atas biasanya pernah mengenyam pendidikan perguruan tinggi dan memiliki pendapatan di atas rata- rata dan pekerjaan biasanya pekerjaan yang bersifat professional, manajerial dan biasanya mereka tinggal di pemukiman elit. Keadaan seperti ini mempengaruhi terbentuknya self esteem yang tinggi pada anak. Anak akan merasa bangga dan merasa dirinya berharga karena kebutuhannya selalu terpenuhi dan bisa menikmati fasilitas yang dimiliki orang tuanya( Coopersmith, 1967).
Sedangkan para orang tua yang berasal dari kelas bawah atau kelas pekerja untuk beberapa orang biasanya memiliki latar belakang pendidikan SMA ke bawah, memiliki pendapatan di bawah rata-rata dan pekerjaan mereka biasanya masuk dalam sektor produksi barang dan layanan. Anak yang berasal dari kelas sosial bawah merasa bahwa dirinya tidak berharga dibanding teman-teman yang lain. Hal ini disebabkan karena orang tua tidak memperoleh pendapatan yang cukup untuk memenuhi
kebutuhannya yang dianggap paling perlu dalam kehidupannya (Coopersmith, 1967). Dengan tidak terpenuhinya kebutuhan yang mereka perlukan membuat siswa-siswi tersebut merasa tidak setara dengan teman sebaya yang lainnya.
D. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengolahan data dan pembahasan yang telah dilakukan, maka simpulan yang didapat sebagai berikut:
1. Hasil perhitungan yang dilakukan menunjukkan bahwa sebanyak 50% atau 35 siswa-siswi yang bermasalah di kelas VIII di SMP Negeri 8 Bandung memiliki self esteem yang rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa siswa-siswi yang bermasalah menilai dirinya secara negatif. Mereka merasa bukan orang yang penting dan pantas disukai, tidak yakin dengan ide dan kemampuannya dan hasil pekerjaan mereka sendiri.
2. Self esteem rendah lebih banyak ditemukan pada siswa-siswi bermasalah yang masuk melalui jalur afirmasi yaitu sebanyak 75% atau 27 siswa. Sedangkan pada siswa-siswi bermasalah yang masuk melalui jalur akademik memiliki self esteem yang rendah sebanyak 23.35% atau 8 siswa.
E. Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan yang telah dijelaskan diatas, maka saran yang diajukan peneliti adalah :
1. Ternyata masih banyak siswa-siswi yang memiliki self esteem rendah oleh karena itu perlu mendapatkan perhatian agar dapat tertangani dengan cara mengaktifkan ekstrakulikuler yang sudah di ambil oleh siswa. Dengan dibantu oleh wali kelas, guru BK dan Pembina ekstrakulikuler. Sehingga siswa-siswi menjadi aktif bekerjasama dalam kegiatan dan diharapkan melalui aktifitas ekstrakulikuler tersebut dapat menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi siswa sehingga secara perlahan meningkatkan self esteem.
2. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa terdapat siswa-siswi yang memiliki self esteem yang tinggi namun bermasalah. Oleh karena itu saran bagi penelitian selanjutnya untuk meneliti faktor-faktor lain selain self esteem yang berhubungan dengan siswa-siswi bermasalah.
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. (2007). Manajemen penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
_________________(2013). Prosedur penelitian: suatu pendekatan praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Coopersmith, Stanley. (1967). The antecedents of self esteem. San Fransisco: Freeman Press.
Kartini Kartono. (1985). Peranan Keluarga Memandu Anak. Jakarta: CV. Rajawali. Kinder, K., Harland, J., Wilkin, A., & Wakefield, A. (1995), Three to Remember:
Strategies for Disaffected Pupils, Slough: NFER.
Noor, Hasanuddin. (2009). Psikometri, aplikasi dalam menyusun instrumen pengukuran perilaku (cetakan ke-4). Bandung : Fakultas Psikologi Unisba.
Reid, K. 2008. The causes of non-attendance: an empirical study. Educational Review. Vol 60, No 4, 345-357.