REFERAT
PENATALAKSANAAN HIPOKALEMIA
Oleh: Sartika Riyandhini 030.08.219 Pembimbing: Dr. James Towoliu, Sp.PDKEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DR. MINTOHARDJO
JAKARTA 2012
LEMBAR PENGESAHAN
Nama : Sartika Riyandhini
NIM : 030.08.219
Judul Referat : Penatalaksanaan Hipokalemia
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing Dr. James Towoliu, Sp.PD pada :
Hari :
Tanggal :
Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo
Jakarta, Oktober 2012
Dr. James Towoliu, Sp.PD
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Yang Maha Esa, atas Rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ”Penatalaksanaan Hipokalemia”.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. James Towoliu, Sp.PD selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini, serta kepada dokter-dokter pembimbing lainnya di Bagian Penyakit Dalam RSAL dr. Mintohardjo. Tujuan dari pembuatan referat ini selain untuk menambah wawasan bagi penulis dan pembacanya, juga ditujukan untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam.
Penulis sangat berharap bahwa referat ini dapat menambah wawasan mengenai penatalaksanaan hipokalemia.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu penulis sangat berharap adanya masukan, kritik maupun saran yang membangun.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga tugas ini dapat memberikan tambahan informasi bagi kita semua.
Jakarta, Oktober 2012 Penulis,
Sartika Riyandhini
COVER 1
LEMBAR PENGESAHAN 2
KATA PENGANTAR 3
DAFTAR ISI 4
BAB I PENDAHULUAN 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi 6
B. Etiologi 6
C. Patofisiologi Keseimbangan Elektrolit 8
D. Implikasi Klinik pada Pasien Penyakit Jantung 9
E. Derajat Hipokalemia 10
F. Gejala Klinis Hipokalemia 10
G. Diagnosis 11
H. Penatalaksanaan 11
I. Prognosis 13
BAB III KESIMPULAN 14
BAB IV DAFTAR PUSTAKA 15
BAB I PENDAHULUAN
Kalium adalah penting untuk fungsi normal dari otot, jantung, dan saraf. Hal ini memainkan peran penting dalam mengontrol aktivitas otot polos, otot rangka, serta otot jantung. Hal ini juga penting untuk transmisi normal sinyal listrik seluruh sistem saraf dalam tubuh. Kadar normal kalium sangat penting untuk menjaga irama jantung normal listrik.
Hipokalemia adalah ketidakseimbangan elektrolit dan diindikasikan oleh tingkat rendah kalium dalam darah. Nilai dewasa normal untuk kalium 3,5-5,3 mEq / L.
Walaupun kadar kalium dalam serum hanya sebesar 2% dari kalium total tubuh dan pada banyak kasus tidak mencerminkan status kalium tubuh; hipokalemia perlu dipahami karena semua intervensi medis untuk mengatasi hipokalemia berpatokan pada kadar kalium serum. 1
Kalium biasanya dapat dengan mudah digantikan dengan mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung kalium atau dengan mengkonsumsi garam kalium per oral. Kalium dapat mengiritasi saluran pencernaan, sehingga diberikan dalam dosis kecil, beberapa kali sehari.
Studi lebih lanjut di Amerika Serikat angka kejadian hipokalemia pasien rawat inap adalah 20%, walaupun hanya 4-5 % dari pasien hipokalemia tersebut yang gejala klinisnya terlihat. Pada hipokalemia yang ringan ( Serum K+ : 3,0 – 3,5) gejala klinisnya asimptomatik.
Namun, pada hipokalemia yang berat (serum kalium sangat rendah) bisa sangat berbahaya, apalagi pada pasien jantung.2
BAB II PEMBAHASAN
Hipokalemia adalah suatu keadaan dimana konsentrasi kalium dalam darah dibawah 3.5 mEq/L yang disebabkan oleh berkurangnya jumlah kalium total di tubuh atau adanya gangguan perpindahan ion kalium ke sel-sel. Penyebab yang umum adalah karena kehilangan kalium yang berlebihan dari ginjal atau jalur gastrointestinal.1
B. Etiologi
Penyebab Hipokalemia diantaranya ialah:
1. Deplesi Kalium
Hipokalemia juga bisa merupakan manifestasi dari deplesi cadangan kalium tubuh. Dalam keadaan normal, kalium total tubuh diperkirakan 50 mEq/kgBB dan kalium plasma 3,5--5 mEq/L. Asupan K+ yang sangat kurang dalam diet menghasilkan
deplesi cadangan kalium tubuh. Walaupun ginjal memberi tanggapan yang sesuai dengan mengurangi ekskresi K+, melalui mekanisme regulasi ini hanya cukup untuk
mencegah terjadinya deplesi kalium berat. Pada umumnya, jika asupan kalium yang berkurang, derajat deplesi kalium bersifat moderat. Berkurangnya asupan sampai <10 mEq/hari menghasilkan defisit kumulatif sebesar 250 s.d. 300 mEq (kira-kira 7-8% kalium total tubuh) dalam 7—10 hari4. Setelah periode tersebut, kehilangan lebih
lanjut dari ginjal minimal. Orang dewasa muda bisa mengkonsumsi sampai 85 mmol kalium per hari, sedangkan lansia yang tinggal sendirian atau lemah mungkin tidak mendapat cukup kalium dalam diet mereka3.
2. Disfungsi Ginjal
Ginjal tidak dapat bekerja dengan baik karena suatu kondisi yang disebut Asidosis Tubular Ginjal (RTA). Ginjal akan mengeluarkan terlalu banyak kalium. Obat yang menyebabkan RTA termasuk Cisplatin dan Amfoterisin B.
3. Kehilangan K+ Melalui Jalur Ekstra-renal
Kehilangan melalui feses (diare) dan keringat bisa terjadi bermakna. Pencahar dapat menyebabkan kehilangan kalium berlebihan dari tinja. Ini perlu dicurigai pada pasien-pasien yang ingin menurunkan berat badan. Beberapa keadaan lain yang bisa
mengakibatkan deplesi kalium adalah drainase lambung (suction), muntah-muntah, fistula, dan transfusi eritrosit.
4. Kehilangan K+ Melalui Ginjal
Diuretik boros kalium dan aldosteron merupakan dua faktor yang bisa menguras cadangan kalium tubuh. Tiazid dan furosemid adalah dua diuretik yang terbanyak dilaporkan menyebabkan hipokalemia.
Obat-obat lain yang bisa menyebabkan hipokalemia dirangkum dalam tabel:
5. Endokrin atau Hormonal
Aldosteron adalah hormon yang mengatur kadar potasium. Penyakit tertentu dari sistem endokrin, seperti aldosteronisme, atau sindrom Cushing, dapat menyebabkan kehilangan kalium. 3
C. Patofisiologi Keseimbangan Elektrolit Perpindahan Trans Selular
Hipokalemia bisa terjadi tanpa perubahan cadangan kalium sel. Ini disebabkan faktor-faktor yang merangsang berpindahnya kalium dari intravaskular ke intraseluler, antara lain beban glukosa, insulin, obat adrenergik, bikarbonat, dsb. Insulin dan obat katekolamin simpatomimetik diketahui merangsang influks kalium ke dalam sel otot. Sedangkan aldosteron merangsang pompa Na+/K+ ATP ase yang
berfungsi sebagai antiport di tubulus ginjal. Efek perangsangan ini adalah retensi natrium dan sekresi kalium 1.
Pasien asma yang dinebulisasi dengan albuterol akan mengalami penurunan kadar K serum sebesar 0,2—0,4 mmol/L2,3, sedangkan dosis kedua yang diberikan dalam waktu satu jam akan mengurangi sampai 1 mmol/L3. Ritodrin dan terbutalin, yakni
obat penghambat kontraksi uterus bisa menurunkan kalium serum sampai serendah 2,5 mmol per liter setelah pemberian intravena selama 6 jam.
Teofilin dan kafein bukan merupakan obat simpatomimetik, tetapi bisa merangsang pelepasan amina simpatomimetik serta meningkatkan aktivitas Na+/K+
ATP ase. Hipokalemia berat hampir selalu merupakan gambaran khas dari keracunan akut teofilin. Kafein dalam beberapa cangkir kopi bisa menurunkan kalium serum sebesar 0,4 mmol/L. Karena insulin mendorong kalium ke dalam sel, pemberian hormon ini selalu menyebabkan penurunan sementara dari kalium serum. Namun, ini jarang merupakan masalah klinik, kecuali pada kasus overdosis insulin atau selama penatalaksanaan ketoasidosis diabetes.
D. Implikasi Klinik pada Pasien Penyakit Jantung 4
Tidak mengherankan bahwa deplesi kalium sering terlihat pada pasien dengan CHF. Ini membuat semakin bertambah bukti yang memberi kesan bahwa peningkatan asupan kalium bisa menurunkan tekanan darah dan mengurangi risiko stroke. Hipokalemia terjadi pada pasien hipertensi non-komplikasi yang diberi diuretik, namun tidak sesering pada pasien gagal jantung bendungan, sindrom nefrotik, atau sirosis hati. Efek proteksi kalium terhadap tekanan darah juga dapat mengurangi risiko stroke.
Deplesi kalium telah dikaitkan dalam patogenesis dan menetapnya hipertensi esensial. Sering terjadi salah tafsir tentang terapi ACE-inhibitor (misal Kaptopril). Karena obat ini meningkatkan retensi kalium, dokter enggan menambah kalium atau diuretik hemat kalium pada terapi ACE-inhibitor. Pada banyak kasus gagal jantung bendungan yang diterapi dengan ACE-inhibitor, dosis obat tersebut tidak cukup untuk memberi perlindungan terhadap kehilangan kalium.
Potensi digoksin untuk menyebabkan komplikasi aritmia jantung bertambah jika ada hipokalemia pada pasien gagal jantung. Pada pasien ini dianjurkan untuk mempertahankan kadar kalium dalam kisaran 4,5-5 mmol/L. Nolan dkk. mendapatkan kadar kalium serum yang rendah berkaitan dengan kematian kardiak mendadak di dalam uji klinik terhadap 433 pasien di UK.
Hipokalemia ringan bisa meningkatkan kecenderungan aritmia jantung pada pasien iskemia jantung, gagal jantung, atau hipertrofi ventrikel kanan. Implikasinya, seharusnya internist lebih "care" terhadap berbagai konsekuensi hipokalemia. Asupan kalium harus dipikirkan untuk ditambah jika kadar serum antara 3,5--4 mmol/L. Jadi, tidak menunggu sampai kadar < 3,5 mmol/L.
E. Derajat Hipokalemia
Hipokalemia moderat didefinisikan sebagai kadar serum antara 2,5--3 mEq/L, sedangkan hipokalemia berat didefinisikan sebagai kadar serum < 2,5 mEq/L. Hipokalemia yang < 2 mEq/L biasanya sudah disertai kelainan jantung dan mengancam jiwa.
F. Gejala Klinis Hipokalemia5
a CNS dan neuromuskular
Lelah, tidak enak badan, reflek tendon dalam menghilang. b Pernapasan
Otot-otot pernapasan lemah, napas dangkal (lanjut) c Saluran cerna
Menurunnya motilitas usus besar, anoreksia, mual muntah. d Kardiovaskuler
Hipotensi postural, disritmia, perubahan pada EKG. e Ginjal
Poliuria,nokturia. G. Diagnosis
Untuk memastikan hipokalemia, akan dilakukan serangkaian pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang, seperti kadar K dalam serum kurang dari 3.5 mEq/L, kadar K, Na, Cl dalam urin 24 jam, kadar Mg dalam serum, analisis gas darah, dan terdapat gelombang U pada elektrokardiografi (EKG).9
H. Penatalaksanaan Hipokalemia
Untuk bisa memperkirakan jumlah kalium pengganti yang bisa diberikan, perlu disingkirkan dulu faktor-faktor selain deplesi kalium yang bisa menyebabkan hipokalemia, misalnya insulin dan obat-obatan. Status asam-basa mempengaruhi kadar kalium serum.
Koreksi dilakukan berdasarkan kadar kalium, yaitu:
1. Kalium 2,5 – 3,5 mEq/LBerikan 75 mEq/kgBB per oral per hari dibagi tiga dosis. 2. Kalium <2,5 mEq/L
Ada 2 cara, berikan secara drip intravena dengan dosis:
a. [(3,5 – kadar K+ terukur) x BB(kg) x 0,4] + 2 mEq/kgBB/24 jam, dalam 4 jam
pertama.
[(3,5 – kadar K+ terukur) x BB(kg) x 0,4] + (1/6 x 2 mE/ kgBB/24jam), dalam
20 jam berikutnya.
a. Jumlah Kalium
Walaupun perhitungan jumlah kalium yang dibutuhkan untuk mengganti kehilangan tidak rumit, tidak ada rumus baku untuk menghitung jumlah kalium yang dibutuhkan pasien. Namun, 40—100 mmol K+ suplemen biasa diberikan pada
hipokalemia moderat dan berat.
Pada hipokalemia ringan (kalium 3—3,5 mEq/L) diberikan KCl oral 20 mmol per hari dan pasien dianjurkan banyak makan makanan yang mengandung kalium. KCL oral kurang ditoleransi pasien karena iritasi lambung. Makanan yang mengandung kalium cukup banyak dan menyediakan 60 mmol kalium 6.
b. Kecepatan Pemberian Kalium Intravena
Kecepatan pemberian tidak boleh dikacaukan dengan dosis. Jika kadar serum > 2 mEq/L, maka kecepatan lazim pemberian kalium adalah 10 mEq/jam dan maksimal 20 mEq/jam untuk mencegah terjadinya hiperkalemia. Pada anak, 0,5—1 mEq/kg/dosis dalam 1 jam. Dosis tidak boleh melebihi dosis maksimum dewasa.
Pada kadar < 2 mEq/L, bisa diberikan kecepatan 40 mEq/jam melalui vena sentral dan monitoring ketat di ICU. Untuk koreksi cepat ini, KCl tidak boleh dilarutkan dalam larutan dekstrosa karena justru mencetuskan hipokalemia lebih berat.
c. Koreksi Hipokalemia Perioperatif 8
• KCL biasa digunakan untuk menggantikan defisiensi K+, karena juga biasa
disertai defisiensi Cl-.
• Jika penyebabnya diare kronik, KHCO3 atau kalium sitrat mungkin lebih sesuai.
• Terapi oral dengan garam kalium sesuai jika ada waktu untuk koreksi dan tidak ada gejala klinik.
• Penggantian 40—60 mmol K+ menghasilkan kenaikan 1—1,5 mmol/L dalam K+
serum, tetapi ini sifatnya sementara karena K+ akan berpindah kembali ke dalam
sel. Pemantauan teratur dari K+ serum diperlukan untuk memastikan bahwa defisit
d. Kalium iv
• KCl sebaiknya diberikan iv jika pasien tidak bisa makan dan mengalami hipokalemia berat.
• Secara umum, jangan tambahkan KCl ke dalam botol infus. Gunakan sediaan siap-pakai dari pabrik. Pada koreksi hipokalemia berat (< 2 mmol/L), sebaiknya gunakan NaCl, bukan dekstrosa. Pemberian dekstrosa bisa menyebabkan penurunan sementara K+ serum sebesar 0,2—1,4 mmol/L karena stimulasi
pelepasan insulin oleh glukosa.10
• Infus yang mengandung KCl 0,3% dan NaCl 0,9% menyediakan 40 mmol K+ /L.
Ini harus menjadi standar dalam cairan pengganti K+.
• Volume besar dari normal saline bisa menyebabkan kelebihan beban cairan. Jika ada aritmia jantung, dibutuhkan larutan K+ yang lebih pekat diberikan melalui
vena sentral dengan pemantauan EKG. Pemantauan teratur sangat penting. Pikirkan masak-masak sebelum memberikan > 20 mmol K+/jam.
• Konsentrasi K+ > 60 mmol/L sebaiknya dihindari melalui vena perifer, karena
cenderung menyebabkan nyeri dan sklerosis vena. e. Diet Kalium
Diet yang mengandung cukup kalium pada orang dewasa rata-rata 50-100 mEq/hari (contoh makanan yang tinggi kalium termasuk kismis, pisang, aprikot, jeruk, advokat, kacang-kacangan, dan kentang).
I. Prognosis
Dengan mengkonsumsi suplemen kalium biasanya dapat mengkoreksi hipokalemia. Pada hipokalemia berat, tanpa penatalaksanaan yang tepat, penurunan kadar kalium secara drastis dapat menyebabkan masalah jantung yang serius yang dapat berakibat fatal. 7
BAB III KESIMPULAN
Hipokalemia merupakan kelainan elektrolit yang cukup sering dijumpai dalam praktik klinik, dan bisa mengenai pasien dewasa dan anak. Berbagai faktor penyebab
yang perlu ditakuti oleh para klinisi, seandainya diketahui kecepatan pemberian yang aman untuk setiap derajat hipokalemia. Pemberian kalium perlu dipertimbangkan pada pasien-pasien penyakit jantung, hipertensi, stroke, atau pada keadaan-keadaan yang cenderung menyebabkan deplesi kalium.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Zwanger M. Hypokalemia. Available at:
2. Sriwaty A. Prevalensi dan Distribusi Gangguan Elektrolit Pada Lanjut Usia. Available at: http://eprints.undip.ac.id/22684/1/Sriwaty.pdf. Accessed on October 2nd 2012.
3. Daryadi. Hiperkalemia dan Hipokalemia. Available at:
http://nsyadi.blogspot.com/2011/12/hiperkalemia-dan-hipokalemia.html. Accessed on October 3rd 2012.
4. Cohn JN, Kowey PR, Whelton PK, Prisant LM. New Guidelines for potassium
Replacement in Clinical Practice. Arch Intern Med 2000;160:2429-2436.
5. Price & Wilson. Gangguan Cairan & Elektrolit. Patofisiologi Vol.1. 6th ed.
Jakarta: EGC; 2006; p. 344.
6. Halperin ML, Goldstein MB. Fluid Electrolyte and Acid-Base Physiology. A problem-based approach. WB Saunders Co. 2nd ed., p 358
7. David C. Hypokalemia. Available at:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000479.htm. Accessed on
October 3rd 2012.
8. AJ Nicholls & IH Wilson. Perioperative Medicine : managing surgical patients
with medical problems. OXFORD University Press; 2000.
9. Gennari F.J. Hypokalemia: Current Concept. The New England Journal of Medicine 1998 Aug 13;339(7): 451-458.
10.Salah E. Gariballa, Thompson G. Robinson and Martin D. Fotherby.
Hypokalemia and Potassium Excretion. Journal of the American Geriatrics