• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Pemilihan Umum

Pengisian lembaga perwakilan dalam praktek ketatanegaraan lazimnya dilaksanakan melalui Pemilihan Umum.Pasca perubahan amandemen UUD 1945, semua anggota lembaga perwakilan dan bahkan presiden serta Kepala Daerah dipilih dengan mekanisme Pemilihan Umum.Pemilihan umum menjadi agenda yang diselenggarakan secara berkala di Indonesia.

Ibnu Tricahyo (2009:6), mendefinisikan Pemilihan Umum sebagai berikut:”Secara universal Pemilihan Umum adalah instrumen mewujudkan kedaulatan rakyat yang bermaksud membentuk pemerintahan yang absah serta sarana mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan rakyat”.

Definisi di atas menjelaskan bahwa pemilihan umum merupakan instrumen untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, membentuk pemerintahan yang sah serta sebagai sarana mengartikulasi aspirasi dan kepentingan rakyat.Negara Indonesia mengikutsertakan rakyatnya dalam rangka penyelenggaraan negara.Kedaulatan rakyat dijalankan oleh wakil rakyat yang duduk dalam parlemen dengan sistem perwakilan (representative democracy) atau demokrasi tidak langsung (indirect democracy). Wakil-wakil rakyat ditentukan sendiri oleh rakyat melalui

(2)

9

Pemilu (general election) secara berkala agar dapat memperjuangkan aspirasi rakyat.

Soedarsono (2005:1)mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pemilihan umum adalah syarat minimal bagi adanya demokrasi dan diselenggarakan dengan tujuan memilih wakil rakyat, wakil daerah, presiden untuk membentuk pemerintahan demokratis”.

Penjelasan di atas menyebutkan bahwa pemilihan umum merupakan syarat minimal adanya demokrasi yang bertujuan memilih wakil-wakil rakyat, wakil daerah, presiden untuk membentuk pemerintahan demokratis.Kedaulatan rakyat dijalankan oleh wakil-wakil rakyat yang duduk di dalam lembaga perwakilan.Kedaulatan rakyat atas penyelenggaraan pemerintahan dijalankan oleh presiden dan Kepala Daerah yang juga dipilih secara langsung. Anggota legislatif maupun Presiden dan Kepala Daerah karena telah dipilih secara langsung, maka semuanya merupakan wakil-wakil rakyat yang menjalankan fungsi kekuasaan masing-masing. Kedudukan dan fungsi wakil rakyat dalam siklus ketatanegaraan yang begitu penting dan agar wakil-wakil rakyat benar-benar bertindak atas nama rakyat, maka wakil rakyat tersebut harus ditentukan sendiri olehrakyat, yaitu melalui pemilihan umum.

Menurut Jimly Asshidiqqie (2006:169-171)pentingnya penyelenggaraan Pemilihan Umum secara berkala tersebut dikarenakan beberapa sebab diantaranya sebagai berikut:

a. pendapat atau aspirasi rakyat cenderung berubah dari waktu ke waktu; b. kondisi kehidupan masyarakat yang dapat juga berubah;

(3)

10

c. pertambahan penduduk dan rakyat dewasa yang dapat menggunakan hak pilihnya;

d. guna menjamin regulasi kepemimpinan baik dalam cabang eksekutif dan legislatif.

Berdasarkan pernyataan di atas bahwa beberapa sebab pentingnya pemilihan umum diantaranya adalah aspirasi rakyat cenderung berubah, kondisi kehidupan rakyat berubah, pertambahan penduduk dan regulasi kepemimpinan.Pemilihan umum menjadi sarana untuk menyalurkan aspirasi rakyat. Kondisi kehidupan rakyat yang cenderung berubah memerlukan adanya mekanisme yang mewadahi dan mengaturnya yaitu melalui proses pemilihan umum. Setiap penduduk dan rakyat Indonesia yang telah dewasa memiliki hak untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum. Regulasi kepemimpinan baik cabang eksekutif maupun legislatif akan terlaksana secara berkala dengan adanya pemilihan umum.

Asas pemilu menurut UU No.23 tahun 2003, tentang Pemilihan Presiden dan WakilPresiden meliputi :

a. Langsung

Artinya rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikansuaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya tanpa perantara. b. Umum

Artinya semua warga negara yang telah berusia 17 tahun atau telah menikah berhak untuk ikut memilih dan telah berusia 21 tahun berhak dipilih dengan tanpa ada diskriminasi.

(4)

11 c. Bebas

Artinya rakyat pemilih berhak memilih menurut hati nuraninya tanpa ada pengaruh, tekanan, atau paksaan dari siapa pun/dengan apa pun.

d. Rahasia

Artinya rakyat pemilih dijamin oleh peraturan tidak akan diketahui oleh pihak siapa pun dan dengan jalan apa pun siapa yang dipilihnya atau kepada siapa suaranya diberikan.

b. Jujur

Dalam penyelenggaraan pemilu, penyelenggara pelaksana, perintah dan partai politik peserta pemilu, pengawas dan pemantau pemilu, termasuk pemilih, serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung, harus bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Adil

Dalam penyelenggaraan pemilu setiap pemilihan dan partai politik peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama serta bebas dari kecurangan pihak manapun.

Menurut Austin Ranney (1996:40) ada delapan kriteria pokok sebuah pemilu yang demokratis meliputi:

a. Adanya hak pilih umum (aktif dan pasif)

Dalam pemilu eksekutif maupun legislatif karena setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama dalam ruang publik untuk memilih dan dipilih. Hak pilih aktif adalah hak warga negara yang sudah memenuhi syarat untuk memilih wakilnya di DPR, DPD, DPRD,

(5)

12

Presiden-Wapres, dan Kepala Daerah-Wakada yaitu berusia 17 tahun atau sudah/ pernah menikah, tidak terganggu ingatannya, tidak dicabut hak pilihnya, tidak sedang menjalani hukum pidana penjara, terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Adapun yang di maksud hak pilih pasif adalah hak warga negara yang sudah memenuhi syarat untuk dipilih menjadi anggota DPR dan DPRD.

b. Kesetaraan bobot suara

Adanya keharusan jaminan bahwa suara tiap-tiap pemilih diberi bobot yang sama maksudnya dalam pemilu tersebut semua pemilih bobot persentase perorangnya itu sama tanpa memikirkan jabatan dan kedudukan.

c. Tersedianya pilihan kandidat dari latarbelakang ideologis yang berbeda Maksud dari kriteria ini adalah tersedianya pemilihan yang nyata dan kelihatan perbedaannya dengan pilihan-pilihan yang lain dimana hakikatnya memang mengharuskan pilihan lebih dari satu, kemudian pilihan tersebut bisa sangat sederhana seperti perbedaan antara dua orang atau lebih calon atau perbedaan dan yang lebih rumit antara dua atau lebih garis politik/program kerja yang berlainan sampai ke perbedaan antara dua atau lebih idiologi. Dalam pemilu pastinya ada beberapa partai yang mempunyai dasar ideologi yang berbeda, dan kandidat yang diusung partai tersebut pasti akan mengikuti aturan yang sudah ditetapkan dalam partainya. Inilah yang kemudian menjadikan pemilu itu tidak

(6)

13

hanya kompetisi antar partai dan kandidat saja, tapi disana juga ada kompetisi politik dan ideologi.

d. Kebebasan bagi rakyat untuk mencalonkan figur-figur tertentu yang dipandang mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan.

Kebebasan memilih memang datangnya dari rakyat sendiri sehingga prinsip kebebasan juga mengandung arti pentingnya kebebasan berorganisasi. Dari organisasi-organisasi itulah kelompok rakyat berinteraksi untuk mengajukan alternatif yang terbaik untuk mewujudkan kesejahteraan bangsanya. Intinya di dalam kebebasan berorganisasi terkandung prinsip kebebasan mengangkat calon wakil rakyat dimana dengan cara tersebut kandidat-kandidat yang mempunyai arti penting dapat dijamin dalam pemilu.

e. Persamaan hak kampanye

Pemilu merupakan sarana untuk menarik massa sebanyak mungkin, dimana para calon memperkenal diri dan mensosialisasikan program kerja mereka. Maka dari itu semua calon diberi persamaan hak atau kesempatan yang sama untuk melakukan kampanye, karena dalam kampanye juga disyaratkan adanya kebebasan komunikasi dan keterbukaan informasi.

f. Kebebasan dalam memberikan suara

Pemilih dapat menentukan pilihannya secara bebas artinya setiap warga negara yang memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun, dan dalam melaksanakan haknya setiap warga

(7)

14

negara dijamin keamanannya sehingga dapat memilih sesuai hati nurani dan kepentingannya.

g. Kejujuran dalam penghitungan suara

Kejujuran dan keterbukaan sangatlah diperlukan dalam proses penghitungan suara, karena keseluruhan dari proses pemilu akan sia-sia jika tidak ada kejujuran di dalamnya, dan kecurangan dalam perhitungan suara akan berakibat sangat fatal, yaitu gagalnya upaya yang dilakukan oleh rakyat untuk menjadikan wakilnya masuk kedalam badaan perwakilan rakyat.

h. Penyelenggaraan secara periodik

Seorang penguasa tidak boleh bersikap sesuka hati dalam menentukan waktu penyeleanggaraan pemilu, dalam arti penyelenggaraan pemilu tidak boleh diajukan atau diundur atas kehendaknya sendiri. Dimana pada umunya pemilu diselenggarakan dalam periode waktu lima tahun sekali oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Pendapat mengenai kriteria pemilu demokratis ini memang sudah semestinya diterapkan dalam setiap pemilu, karena dengan adanya unsur-unsur tersebut dalam pemilu pastinya akan tercipta pemilu yang demokratis. Dan ini juga merupakan kewajiban bagi penyelenggara pemilu agar benar-benar memahami kriteria-kriteria tersebut. Dengan ditegakkannya kejujuran dan keadilan dalam pemilu, maka bukan tidak mungkin akan menghasilkan pemimpin yang amanah dan terciptanya keorganisasian mahasiswa yang demokratis.

(8)

15 2.1.2. Pilkada

Pilkada merupakan salah satu kegiatan politik yang merupakan implementasi hak kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpin untuk masa 5 tahun mendatang.Melalui Pilkada terjadi pergantian pemegang kekuasaan secara teratur, damai dan berkualitas. Menurut Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pemilihan kepala daerah adalah sarana pelaksana kedaulatan rakyat di wilayah propinsi dan/atau Kabupaten/Kota berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Pilkada juga merupakan terobosan baru dalam sistem politik Indonesia, khususnya untuk level pemerintahan lokal. Sebelum Pilkada, kepala daerah dipilih melaui sebuah proses politik yang tidak dapat disebut Pemilu, karena tidak melibatkan rakyat pemilih. Menurut Zuhro, dkk (2009:48)mengatakan bahwa Pilkada merupakan momentum untuk melakukan suksesi kepemimpinan lokal sebagai wujud implementasi demokrasi yang partisipatif.

Pilkada merupakan pemilihan yang diselenggarakan di daerah otonom yang merupakan perintah dari perubahan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Menururt Irtanto (2008:159) yang dimaksud Pilkada adalah suatu proses politik untuk memilih kepala daerah secara langsung. Terselenggaranya Pilkada merupakan amanat pasal 56 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa: Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Berdasarkan landasan hukum di

(9)

16

atas, Pilkada merupakan kegiatan pemilihan umum yang bertujuan memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk daerah otonom tertentu, yang diharapkan mampu mewujudkan sistem politik yang lebih stabil dan berkualitas, karena terjadi proses pendewasaan pemilih, partai politik, penyelenggara dan media massa.

Lebih lanjut Sanit (1985: 157) mengatakan proses pelaksanaan Pemilu berpengaruh langsung kepada pembentukan budaya politik, sebab tingkah laku para kontestan dan penyelenggara Pemilu langsung dihayati oleh anggota masyarakat yang mengetahuinya, baik pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan, maupun melalui informasi. Selanjutnya sistem ini mengatur beberapa hal berikut ini yaitu jurus pencalonan kandidat, jurus pencoblosan suara, besar/bobot daerah pemilihan, lingkup daerah pemilihan dan jurus pengambilan keputusan.

Ditambahkan Rahman (2001: 170) bahwa sistem pemilihan, walaupun terlihat hanya suatu mekanisme untuk menentukan komposisi pemerintah selama beberapa tahun kemudian, namun sesungguhnya merupakan sarana utama bagi partisipasi politik para individu dalam masyarakat yang luas, komplek dan modern, boleh jadi pemilu merupakan kunci untuk menentukan suatu sistem yang demokratis.

Oleh karena itu Pilkada sebagai salah satu proses demokrasi yang ada dalam sistem politik Indonesia, memiliki signifikansi yang tinggi dalam pembangunan politik Indonesia di masa mendatang serta dalam menciptakan

(10)

17

keseimbangan antara politik lokal dan pusat, dapat memperkuat otonomi daerah dalam prinsip negara kesatuan.

Untuk dapat melaksanakan amanat UU No.32 Tahun 2004, pasal 57 menyerahkan pelaksana Pilkada kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai berikut: (1) Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggungjawab kepada DPRD. (2) Dalam melaksanakan tugasnya, KPUD menyampaikan laporan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada DPRD.

Berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)Nomor

47/81/PHPU.A/VII/2009 mengabulkan permohonan agar KPUD tidak bertanggungjawab kepada DPRD sebab akan menimbulkan ketidak independenan KPUD dalam penyelenggaraan pemilu. KPUD bertanggungjawab kepada publik dan kepada DPRD hanya menyampaikan laporan pelaksanaan tugas. Dengan banyaknya kasus dalam Pilkada, maka perlu adanya peningkatan kualitas pemilu dengan memperhatikan beberapa hal berikut( Irtanto 2008: 161).

1. Perhatikan iklim demokratisasi, harus dimulai dari partai politik (terutama) yang memenuhi ketentuan Perundang-undangan dalam proses penjaringan, penyaringan dan penetapan calon kepala daerah. Partai politik harus memiliki sistern dan mekanisme rekruitment calon kepala daerah yang demokratis. 2. Peraturan Perundang-undangan yang dibuat, benar-benar mencerminkan

demokratisasi itu sendiri dan tidak anarkhi.

3. Sistem dan mekanisme kerja masing-masing lembaga yang terkait dengan penyelenggaraan Pilkada tidak tumpang tindih dan kontaminatif

(11)

18

4. Pemerintah harus benar-benar independen dan tidak melakukan intervensi dalam bentuk apa pun.

5. Kedewasaan dan kematangan politik masyarakat senantiasa tumbuh dan berkembang melalui pendidikan politik.

Dari hal tersebut di atas, terlihat bahwa keberhasilan penyelenggaraan Pilkada tidak hanya bergantung pada profesionalisme KPUD, melainkan juga keterlibatan aktif masyarakat dan independensi terhadap pemerintah.

Sebagaimana sebuah proses Pemilu, Pilkada merupakan bagian dari sebuah kebijakan nasional yang diharapkan mampu memperkuat sistem politik Indonesia. Oleh karena itu Pilkada memiliki manfaat yang penting. Mubarok (dalam Irtanto 2008: 161- 162) menyebutkan ada beberapa manfaat Pilkada sebagai berikut:

1. Kongkritisasi demokrasi, yaitu proses pilkada akan memenuhi kaidah proses demokratisasi di dua level struktural dan kultural. Di level struktural lebih beradab karena melibatkan partisipasi publik yang makin luas. Kaidah 50 plus satu adalah angka ril dan mutlak merupakan cerminan dan representasi suara rakyat. Di level kultural proses pilkada ditengarai akan memberi keleluasaan bagi merembesnya nilai-nilai transparansi, independensi dan kejujuran. 2. Ada kemungkinan kekerasan terhadap proses dan data terkurangi. 3. Terkuranginya mekanisme politik uang.

Menambahkan manfaat positif yang telah disampaikan Mubarok, Afiti (dalam Irtanto ,2008: 163) memberikan manfaat lainnya adalah lahirnya

(12)

19

pemimpin yang mengenal konteks lokal dan bertanggungjawab kepada rakyat, dengan asumsi bahwa rakyat akan memilih orang yang mereka kenal dengan baik. Sementara itu Huda (dalam Irtanto 2008: 162) menambahkan dua keuntungan positif yaitu Pilkada langsung memberi kesempatan yang luas untuk terpilihnya kepala daerah yang sesuai dengan kehendak mayoritas rakyat dan stabilitas pemerintahan lebih terjaga berhubung kepala daerah tidak mudah dijatuhkan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, Pilkada memiliki peranan yang strategis untuk mengimplementasikan kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin, sehingga akan lebih bertanggungjawab kepada rakyat dibandingkan kepada partai politiknya.

2.1.3. Sistem Noken

2.1.3.1. Pengertian Sistem Noken

Pengertian Noken menurut Surat Keputusan KPU Provinsi Papua Nomor: 01/Kpts/KPU Prov.030/2013 bahwa Noken adalah sejenis kantong/tas yang dibuat dari anyaman kulit anggrek atau pintalan kulit kayu maupun pintalan benang yang digunakan sebagian masyarakat di Papua sebagai:

1. Tempat untuk membawa hasil pertanian/perkebunan

2. Tempat ayunan dan atau gendongan untuk balita pada sebagian etnis anggota masyarakat di pedalaman Papua

3. Tempat untuk mengisi surat-surat penting dan atau

4. Tempat untuk keperluan lain sesuai dengan kebiasaan anggota masyarakat tertentu disebagian masyarakat pedalaman yang dapat dijadikan sebagai

(13)

20

pemberian berupa tali asih, kenang-kenangan dan lambang persaudaraa/kekerabatan.

5. Pada pemilu legislatif, pemilu presiden dan dan pemilu Kepada Daerah, noken juga digunakan sebagai pengganti kotak suara untuk memilih Calon Kepala Daerah, Presiden, Wakil Presiden serta wakil-wakil dalam anggota legislatif ditingkat Daerah maupun Pusat. Pemilihan dilakukan atas dasar kesepakatan bersama sekelompok orang yang dipimpin oleh tokoh masyarakat setempat dengan meminta surat suara sesuai dengan jumlah orang yang ada untuk dimasukan didalam noken kepada pasangan calon siapa suara diberikan.

Karena keunikannya yang dibawa dengan kepala, noken ini di daftarkan ke UNESCOsebagai salah satu hasil karya tradisional dan warisan kebudayaan dunia dan pada 4 Desember 2012, noken khas masyarakat Papua ditetapkan sebagai warisan kebudayaan tak benda UNESCO. Pengakuan UNESCO ini akan mendorong upaya melindungi dan mengembangkan warisan budaya Noken, yang dimiliki oleh lebih dari 250 suku bangsa di Provinsi Papua dan Papua Barat.

Bagi orang Papua, Noken dimaknai sebagai simbol kehidupan yang baik, perdamaian dan kesuburan. Karena itu, kantong (tas) yang dijalin dari kulit kayu ini punya kedudukan penting dalam struktur budaya orang Papua. Tidak sembarang orang dapat menjalin kulit kayu menjadi noken. Hanya perempuan Papua yang boleh membuat noken, dan perempuan Papua yang belum bisa menjalin kulit kayu menjadi noken sering dianggap belum dewasa dan belum layak menikah. Namun saat ini banyak perempuan Papua yang sudah tidak

(14)

21

mahir lagi membuat noken karena berbagai alasan, dan kemahiran menjalin kulit kayu menjadi noken tidak lagi dijadikan syarat ukuran kedewasaan perempuan Papua untuk dinikahi. Sementara laki-laki, secara adat tidak diperbolehkan sama sekali membuat noken karena noken dianggap sebagai sumber kesuburan kandungan seorang perempuan.

2.1.3.2.Teknis Pemilihan Sistem Noken

Semua pemilih yang mendapat kartu pemilih datang ke TPS.Didepan bilik disiapkan noken kosong.Jumlah noken yang digantung disesuaikan dengan jumlah pasangan calon kepala daerah. Setelah dipastikan semua pemilih dari kampung yang bersangkutan hadir di TPS, selanjutnya KPPS mengumumkan kepada pemilih (warga) bahwa bagi pemilih yang mau memilih kandidat, baris di depan noken nomor urut satu. Begitupun seterusnya. Setelah pemilih berbaris / duduk didepan noken maka KPPS langsung menghitung jumlah orang yang berbaris di depan noken, kalau misalnya 3 orang saja maka hasil perolehannya adalah 3 suara. Kalau misalnya semua Pemilih dari TPS / Kampung yang bersangkutan baris di depan noken nomor urut dua maka semua suara dari TPS / kampung yang bersangkutan “bulat”untuk nomor urut dua. Setelah itu KPPS langsung buat berita acara dan sertifikasi hasil perhitungan suara yang ditandatangani oleh KPPS dan partai politik untuk Pemilu.

(15)

22 2.1.3.3.Keabsaan Sistem Noken

Sistem Noken dianggap sah jika, Noken digantungkan di kayu dan berada dalam area TPS, pemilih yang hak suaranya dimasukkan dalam noken sebagai pengganti kotak suara harus datang ke lokasi TPS tempat dia berdomisili, dan tak bisa diwakilkan orang lain. Seusai pemungutan suara harus dibuka dan dihitung ditempat itu dan surat suara itu harus dicoblos, tidak langsung dibawa seperti pilkada sebelum-sebelumnya.

Sistem Noken merupakan bagian dari kearifan lokal dalam demokrasi kemasyarakatan. Mahkamah Konstitusi (MK) pun mengakui dan mengesahkan dengan alasan Sistem Noken menganut sistem pemilihan Langsung, Umum, Bebas dan Terbuka (LUBET), sesuai dengan Keputusan MK Nomor: 47-48/PHPU.A-VI/2009 yang sesuai dengan pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, "Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang Undang (Sodik, Ahmad, 2009.7).

2.1.3.4.Kepala Suku (Big Man)

Konsep pria berwibawa atau Big Man yang digunakan oleh para ahli antropologi untuk menamakan para pemimpin politik tradisional di daerah-daerah kebudayaan Oseania, khususnya di Melanesia, sesungguhnya berasal dari terjemahan bebas terhadap istilah-istilah lokal yang digunakan oleh penduduk setempat untuk menamakan orang-orang penting dalam masyarakatnya sendiri. Karangan yang membahas sejarah pemakaian konsep tersebut, di tulis oleh L.

(16)

23

Lindstrom (1981:900-905), menunjukkan bahwa sejarah perkembangan kata Big Man dari bahasa sehari-hari menjadi konsep ilmiah mengalami suatu proses yang lama. Selama abad ke-19 dan sampai pertengahan abad ke-20, para peneliti di daerah kepulauan Melanesia selalu menggunakan konsep chief, penghulu atau kepala suku, untuk menamakan para pemimpin pada masyarakat yang mereka deskripsikan.

Konsep Big Man atau pria berwibawa, digunakan untuk satu bentuk tipe kepemimpinan politik yang diciri oleh kewibawaan (authority) atas dasar kemampuan pribadi seseorang untuk mengalokasi dan merealokasi sumber – sumber daya yang penting untuk umum (Sahlins 1963; Claessen 1984 dalam Van Bakel et al; 1986:1). Sifat pencapaian demikian menyebabkan adanya pendapat bahwa ciri terpenting dari seseorang yang menjadi Big Man adalah seseorang yang dengan kecakapannya memanipulasi orang-orang dengan sifat pencapaian (achievement) system ini merupakan ciri ketidak stabilannya, seperti yang selalu dikhawatirkan apakah berasal dari dalam atau luar (Van Bakel et al. 1986:3). Implikasi ketidakstabilan system yang didasarkan pada prinsip pencapaian ini yang dikemukakan oleh Van Bakel et al. ialah terbukanya kesempatan yang samabagi setiap anggota masyarakat, terutama kaum pria yang sudah dewasa menurut ukuran masyarakat yang bersangkutan, untuk bersaing merebut kedudukan pemimpin. Pria berwibawa merupakan mikrokosmos dari masyarakatnya dan oleh karena itu status pria berwibawa menjadi pokok perhatian dari setiap orang dalam masyarakat.

(17)

24

Menurut A. Stratheren (1979:214) ada dua arena yang digunakan untuk merebut kedudukan pria berwibawa.Dua arena itu adalah hubungan intern dan hubungan ekstern.Hal yang dimaksudkan dengan hubungan interen adalah usaha seseorang untuk memperoleh dan meningkatkan pengaruh serta keunggulannya di dalam klen sendiri.Sedangkan hubungan ekstern diartikan sebagai keberhasilan seseorang untuk menjalani hubungan dengan pihak-pihak luar yang terdiri dari sekutu, bekas musuh dan hubungan antara pria berwibawa.Pada umumnya individu – individu yang berhasil di dua arena tersebut diakui sebagai pria berwibawa utama dan yang dapat menduduki posisi superior untuk bertahun-tahun lamanya.

Istilah Big Man yang cukup familier dikalangan masyarakat Indonesia dan lebih khusus Papua adalah kepala Suku. Kepala Suku menurut Surat Keputusan KPU Provinsi Papua Nomor: 01/Kpts/KPU Prov.030/2013 adalah orang yang jadi pemimpin disatu tempat.

2.2. Penelitian Penelitian yang Relevan

Penelitian mengenai pemilihan umum Sistem Noken sudah banyak dipublikasikan dalam bentuk buku maupun artikel dimedia cetak maupun elektronik, misalnya buku tentang “Sistem Noken Demokratiskah?” karangan Pieter Ell dan Theo Kosay, selain itu berita harian kompas edisi 18 november 2015 tentang ”Noken dan Demokrasi”, dan sebagainya, namun berdasarkan kajian literatur hanya sedikit yang dikaji dan dipublikasi dalam bentuk jurnal

(18)

25

terakreditasi maupun hasil skripsi dan tesis. Beberapa yang berhasil dihimpun, antara lain:

Penelitian, Methodius Kossay (2014:35) Tentang Pemilu Sistem Noken Dalam Demokrasi Indonesia(Studi kasus di Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua). Penelitiannya fokus pada “Bagaimana Sistem Noken diterapkan dalam Penyelenggaraan Pemilu di Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua” dan mengkaji “Sistem Noken dalam Pemilu di Indonesia sesuai dengan asas-asas Penyelenggaraan Pemilu atau belum”? Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa Penerapan Sistem noken dalam penyelenggaraan pemilu di Kabupaten Jayawijaya Propinsi Papua menggunakan dua sistem dalam pemilihan umum yaitu sistem Big Man dan sistem gantung atau noken gantung. Sistem big man dilakukan dengan cara semua pemberian suara diserahkan kepada ketua adat atau kepala suku sedangkan sistem gantung atau noken gantung yaitu bahwa masyarakat datang sendiri ketempat TPS, melihat dan memasukan surat suara ke kantong partai yang sebelumnya sudah disepakati.

Lebih lanjut penelitian menemukan bahwa kedua sistem ini diletakan dengan penyelenggaraan pemilu di Indonesia bertentangan dengan asas-asas pemilu yaitu asas langsung, umum, bebas dan rahasia (LUBER). Sistem big man yang bertentangan dengan asas-asas pemilu yaitu asas langsung dan rahasia. Asas langsung dalam sistem big man yang dimaksud adalah bahwa sistem big man tidak memberikan kebebasan kepada setiap masyarakat untuk melakukan pemilihan secara langsung melainkan memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada seorang kepala suku untuk

(19)

26

mewakili suaranya dalam mencoblos surat suara di TPS atas kesepakatan bersama. Sedangkan asas rahasia adalah siapapun yang dipilih oleh pemilih adalah rahasia yang hanya dia yang tahu, tetapi dalam sistem Big Mantidak mengenal asas rahasia karena masyarakat adat dalam memilih pemimpin harus secara terbuka dan transparan, tidak ada kerahasiaan dalam memilih pemimpin karena untuk kepentingan bersama. Demikian halnya juga dengan sistem gantung atau noken gantung. Sistem noken gantung bertentangan juga dengan asas-asas dalam pemilu yaitu asas rahasia. Asas rahasia yang dimaksudkan dalam sistem gantung adalah bahwa siapapun yang di pilih oleh pemilih adalah rahasia yang hanya dia yang tahu, tetapi dalam Sistem Noken gantung semua pemilih datang bersama dan menyaksikan serta melihat untuk memasukan surat suara yang dicoblos di noken yang sudah digantungkan sesuai kesepakatan.

Penelitian Hadi, Sofyan (2013:37) Tentang Pengakuan Model Noken Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Pilkada Lanny Jaya Papua Dan Implementasinya Terhadap Sistem Pemilu Di Indonesia. Penelitian ini disimpulkan bahwa Model pemilihan ini mendapat pengakuan secara implisit dan diakomodasi Hakim Mahkamah Konstitusi berdasarkan putusan Nomor 85/PHPU.D-IX/2011. Dari kajian yuridis normatif, dengan pendekatan penelitian melalui perundang-undangan (Statute Approach), dan pendekatan kasus (Case Approach), ditafsirkan bahwa pengakuan Mahkamah Konstitusi dalam mengakomodasi Pilkada secara adat, berdasarkan interpretasi, dengan pertimbangan yurisprudensi, konstitusi, dan nilai-nilai budaya.

(20)

27

Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam perspektif Teori Hukum Murni (Pure Theory of Law), secara substansial melihat yurisprudensi, Konstitusi, dan nilai-nilai budaya sebagai hubungan secara hirarki antara norma dasar, norma umum dan norma individual. Implikasi sebagai akibat hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi adalah pengakuan secara yuridis formal mekanisme secara adat (model noken) ke dalam sistem pemilu di Indonesia.

Penelitian Delianoor, NA (2015:27) tentang Evaluasi Politik Hukum Penyelenggaraan Pilkada Langsung Di Papua. Berdasarkan hasil kajiannya menyimpulkan bahwa Sistem Noken yang merupakan ciri khas dalam proses pelaksanaan pilkada di Papua belum mendapatkan legalisasi dari Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian Sistem Noken memerlukan pengaturan khusus minimal dalam Perdasus, syukur-sukur terakomodasi sebagai salah satu materi muatan dalam Undang-Undang Tentang Pilkada.

Dengan demikian Penelitian yang akan dilakukan tentang Kajian Sistem Noken Dalam Pilkada di Distrik Bomela Kabupaten Yahukimo provinsi Papua memiliki kesamaan dalam substansi atau objek penelitian yaitu Sistem Noken dalam pemilihan umum. Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini terletak pada peran Big Man dalam Sistem Noken dan kendala yang dihadapi dalam pemilihan Sistem Noken dan cara mengatasinya. Sedikit akan mengkaji dari sisi antropologi tentang Big Man, sehingga dapat ditarik benang merah nantinya bahwa apakah keputusan Big Man dalam menentukan hak politiknya sesuai dengan hati nurani atau sebaliknya.

(21)

28 2.3. Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir dari penelitian ini adalah mengkaji bagaimana pelaksanaan pilkada dengan Sistem Noken, dengan lingkup kajian fokus pada dasar hukum penyelenggaraan pemilihan dengan Sistem Noken, mekanisme pemilihan dengan Sistem Noken, peran penyelenggara (KPU, KPPS, TPS, dan Panwas), peran Bigman dalam pengambilan keputusan, mekanisme dalam penentuan bakal calon yang dipilih, kendala yang dihadapi dalam pemilihan, kekuatan dan kelemahan dalam penyelenggaraan Sistem Noken. Untuk lebih jelasnya dapat digambarkan seperti berikut.

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka berpikir.

Referensi

Dokumen terkait

Laporan pelaksanaan proyek yang telah selesai dan ditampilkan di triwulan ini yaitu proyek Domestic Gas Development Project dari sumber pinjaman Bank Dunia, Vocational

(1) Daerah ekonomi maju dan daerah ekonomi kurang maju sebagaimana dimaksud dalam Pasal.. Indeks Potensi dan Kemajuan Daerah dari daerah

Klasifikasi adalah salah satu tugas yang penting dalam data mining, dalam klasifikasi sebuah pengklasifikasi dibuat dari sekumpulan data latih dengan kelas yang telah di

Dengan mengacu kepada hasil pengolahan data dan pembahasan pada Bab 4, hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, pertama effort expectancy ditemukan memiliki

Menurut Wahyuni (1994) dalam penelitiannya yang berjudul “Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Partisipasi Ibu Balita dalam Kegiatan Penimbangan di Posyandu Desa

In this paper, we propose a simple technique to improve the functionality of the traditional ESR by the implementation of a ramp current to produce ramp

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan dengan pemberian dosis pupuk hayati cair (ultra gen) tidak berpengaruh nyata terhadap semua parameter

Beasiswa merupakan pemberian berupa bantuan keuangan maupun pendidikan yang diberikan perorangan, mahasiswa atau pelajar yang digunakan demi keberlangsungan