• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketepatan Diagnosis Dermatofitosis oleh Dokter: Perbandingan dengan Diagnosis yang Dikonfirmasi Pemeriksaan KOH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ketepatan Diagnosis Dermatofitosis oleh Dokter: Perbandingan dengan Diagnosis yang Dikonfirmasi Pemeriksaan KOH"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Ketepatan Diagnosis Dermatofitosis

oleh Dokter:

Perbandingan dengan Diagnosis yang

Dikonfirmasi Pemeriksaan KOH

Anjas Asmara, Kusmarinah Bramono, Siti Aisah Boediardja

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakulas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Abstrak

Pendahuluan: Dermatofitosis khususnya tinea korporis dan/atau kruris termasuk kasus penyakit kulit yang sering dijumpai dokter umum (dokter) dalam praktek sehari-hari. Meskipun demikian, hasil penelitian di luar negeri menunjukkan dokter masih sering melakukan kesalahan dalam menegakkan diagnosis kasus dermatofitosis. Hal ini antara lain disebabkan diagnosis kasus dermatofitosis umumnya ditegakkan hanya berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan KOH sebagai pembantu dalam menegakkan diagnosis sering terlewatkan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tingkat ketepatan diagnosis klinis dokter pada kasus tinea korporis dan/ atau kruris dengan cara membandingkannya dengan diagnosis yang didasarkan pada hasil pemeriksaan KOH.

Metode: Sebanyak 101 subyek penelitian dirujuk oleh 5 orang dokter yang bertugas di puskesmas dan rumah sakit di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Hasil penelitian menunjukkan nilai sensitivitas diagnosis klinis dokter sebesar 77,1%, spesifisitas 54,5%, nilai duga positif 47,4%, dan nilai duga negatif 81,8%. Disensitas tersebut menujukkan bahwa gambaran klinis tidak cukup baik untuk digunakan sebagai dasar menegakkan diagnosis tinea korporis dan atau kruris, dan pemeriksaan KOH perlu dilakukan untuk membantu menegakkan kasus yang dicurigai dermatofitosis. J Indon Med Assoc:2013;63:259-64.

Kata kunci: tinea korporis, tinea kruris, ketepatan diagnosis, dokter, KOH

Korespondensi: Kusmarinah Bramono

(2)

Diagnostic Accuracy of Dermatophytosis by General Practitioner: Comparation with KOH Preparation Based Diagnosis

Anjas Asmara, Kusmarinah Bramono, Siti Aisah Boediardja

Department of Dermato-venereology, Medical Faculty, University of Indonesia, Jakarta Abstract

Introduction: Tinea corporis and cruris are commonly encountered by general practitioners

(GP). However, several studies showed that dermatophytosis are still among skin diseases that often misdiagnosed by GP. The reason is that the diagnosis mainly based on clinical features, and KOH examination to confirm the diagnosis is often overlooked. The aim of this study is to determine the accuracy of clinical diagnosis of tinea corporis and cruris cases by GP, compared with diagnosis confirmed by KOH examination.

Methods: One hundred and one patients were referred by GP from Barito Utara Regency,Central

Borneo. The result of the study showed the sensitivity of clinical diagnosis by GP was 77,1%, its specificity 54,5%, positive predictive value 47,4%, and negative predictive value 81,8%. It can be concluded that diagnosis of dermatophytosis based only on clinical signs and symptoms is doubt-ful, and KOH examination should be done to confirm the diagnosis. J Indon Med

Assoc:2013;63:259-64.

Keywords: tinea corporis, tinea cruris, diagnostic accuracy, general practitioners, KOH

exami-nation.

Pendahuluan

Penyakit kulit merupakan kasus yang sering ditemui oleh seorang dokter dalam praktik sehari-hari. Sebuah data kesehatan di Australia menunjukkan 17% kunjungan ke praktek dokter (general practitioner) merupakan kasus penyakit kulit.1 Sebuah survei di Amerika yang dilakukan

pada tahun 1984 menunjukkan bahwa 31% kunjungan ke layanan kesehatan primer merupakan kasus penyakit kulit.2

Dermatofitosis atau tinea, di antaranya tinea korporis dan/atau tinea kruris, termasuk kasus penyakit kulit yang sering dijumpai dokter dalam praktik sehari-hari di Indone-sia.3-5 Meskipun demikian, hasil penelitian yang dilakukan di

luar negeri, menunjukkan bahwa dokter masih sering melakukan kesalahan diagnosis kasus dermatofitosis. Hingga saat ini dalam praktek dokter sehari-hari termasuk di puskesmas, diagnosis kasus dermatofitosis umumnya ditegakkan hanya berdasarkan gambaran klinis, sedangkan pemeriksaan laboratorium pembantu diagnosis dengan sediaan langsung KOH belum secara rutin digunakan untuk memastikan diagnosis.6,7

Pada umumnya tinea korporis dan kruris dapat mem-berikan gambaran klinis yang khas, sehingga diagnosis secara klinis dapat langsung ditegakkan. Namun beberapa penelitian menunjukkan diagnosis kelainan kulit yang hanya didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisis seringkali keliru.8,9 Beberapa kelainan kulit antara lain psoriasis,

derma-titis seboroik, kandidosis kutis, eritrasma, liken simpleks

kronik, hand dermatitis, eritema anulare sentrifugum, granu-loma anulare, dan dermatitis numularis merupakan diagnosis banding yang seringkali salah didiagnosis sebagai tinea.10-19

Berdasarkan hal tersebut, para ahli merekomendasikan agar pemeriksaan KOH dilakukan untuk membantu diagnosis berbagai kelainan kulit papuloskuamosa.8

Tingkat kesalahan diagnosis kasus dermatofitosis dapat diperbaiki dengan melakukan pemeriksaan KOH. De Kock20

membuktikan bahwa pemeriksaan KOH yang dilakukan langsung oleh dokter dapat meningkatkan ketepatan diag-nosis dermatomikosis superfisial. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, De Kock merekomendasikan bahwa pemeriksaan KOH perlu dilakukan oleh dokter pada kasus yang dicurigai dermatomikosis superfisial, termasuk dermatofitosis/tinea.20

Meskipun di luar negeri telah dilakukan beberapa penelitian mengenai tingkat ketepatan diagnosis dokter dalam kasus dermatologi termasuk dermatofitosis, namun hingga saat ini di Indonesia belum ada penelitian serupa, sehingga peneliti merasa perlu untuk melakukannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat ketepatan diagnosis dokter pada kasus dermatofitosis khususnya tinea korporis dan/atau tinea kruris dengan cara membandingkannya dengan diagnosis berdasarkan pemeriksaan KOH, sehingga didapatkan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif (NDP), dan nilai duga negatif (NDN).

(3)

Metode

Penelitian ini merupakan uji diagnosis dengan meng-gunakan rancangan studi potong lintang. Penelitian dilakukan untuk mengetahui tingkat ketepatan diagnosis klinis dokter pada kasus tinea korporis dan kruris yang dibandingkan dengan diagnosis yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan KOH. Tingkat ketepatan diagnosis dokter dinilai berdasarkan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, dan nilai duga negatif.

Pengambilan data yang meliputi anamnesis, peme-riksaan fisis, dan pengambilan sampel kerokan kulit dilakukan di RSUD Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Pemeriksaan mikroskopik sampel kerokan kulit dengan KOH 20% dilakukan di Laboratorium Mikologi Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUPN Dr. Cipto Mangun-kusumo Jakarta. Penelitian dilakukan bulan Oktober 2011 sampai Maret 2012.

Lima orang dokter yang bertugas di wilayah Kabupaten Barito Utara diminta kesediaannya untuk merujuk pasien dengan berbagai kasus penyakit kulit kepada peneliti yang bertugas di poliklinik RSUD Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara. Kasus yang dievaluasi dalam penelitian ini terdiri atas berbagai diagnosis banding tinea korporis dan/atau tinea kruris yang menjadi kompetensi dokter untuk mampu menanganinya secara mandiri berdasarkan Buku Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) Tahun 2006, di antaranya adalah dermatitis seboroik (DS), dermatitis atopik (DA), kandidosis kutis, eritrasma, dermatitis numularis, pitiriasis rosea, dan liken simpleks kronik.21

Pasien rujukan dokter kepada peneliti yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan dijadikan sebagai subjek penelitian (SP). Dalam penelitian ini, kriteria penerimaan ditetapkan sebagai berikut; (1) pasien rujukan dokter puskesmas atau dokter RSUD Muara Teweh dengan diag-nosis tinea korporis dan/atau kruris atau dermatosis lain yang merupakan diagnosis banding tinea korporis atau kruris, (2) bersedia ikut serta dalam penelitian dan menandatangani formulir persetujuan. Sedangkan kriteria penolakan meliputi (1) pasien yang telah mendapatkan pengobatan dengan obat antijamur topikal dalam seminggu terakhir dan/atau antijamur sistemik dalam sebulan terakhir sebelum berobat ke puskesmas atau dokter perujuk dan (2) bila diagnosis kerja tidak tercantum dalam surat rujukan dokter. Sejumlah mini-mal 98 subyek diperlukan untuk penelitian ini guna mendapat kemaknaan statistik dengan nilai a 0.05 dan d 0,08.

Diagnosis klinis kasus yang dirujuk tanpa pemeriksaan KOH dibandingkan dengan diagnosis yang telah di-konfirmasi dengan pemeriksaan KOH akan dihitung nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif (NDP), dan nilai duga negatif (NDN). Data dianalisis dengan bantuan komputer menggunakan statistical programme for social

sciences (SPSS) 11.5. Digunakan statistik deskriptif dan data disajikan dalam bentuk teks dan tabel. Tingkat ketepatan diagnosis dinilai dengan membuat tabel 2x2 untuk

menghitung nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif (NDP), dan nilai duga negatif (NDN).

Penelitian ini telah lulus kaji etik oleh Komite Etik Penelitian Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas In-donesia - RS Cipto Mangunkusumo. Surat persetujuan mengikuti penelitian telah diberikan dan ditandatangani oleh dokter maupun subjek penelitian (SP) yang terlibat dalam penelitian.

Hasil

Sebanyak 5 orang dokter mengirimkan 106 pasien rujukan kepada peneliti, di antaranya terdapat 101 yang memenuhi kriteria penerimaan sebagai SP. Subjek Penelitian termuda berusia 8 bulan, dan tertua berusia 70 tahun, dengan rerata usia 33,46 tahun (simpang baku + 15,22 tahun).

Berdasarkan diagnosis yang dikonfirmasi pemeriksaan KOH, ditemukan dermatofitosis sebanyak 35 orang dari 101 SP (34,7%). Tinea korporis merupakan jenis dermatofitosis yang paling banyak ditemukan, mengenai 19 dari 35 orang SP dengan dermatofitosis (54,3%). Jenis dermatofitosis lain yang ditemukan adalah tinea kruris sebanyak 5 orang (14,3%), dan tipe campuran sebanyak 11 orang (31,4%) dari 35 orang SP dengan dermatofitosis.

Kasus non-dermatofitosis ditemukan pada 66 orang SP (65,3%), dengan jenis terbanyak adalah LSK yang ditemukan pada 27 dari 66 orang SP (26,5%). Selain LSK, kasus dermato-sis lain yang ditemukan adalah dermatitis seboroik, kandidosis kutis, dermatitis numularis, dermatitis atopik, pitiriasis rosea, skabies, dermatitis kontak iritan, dan psoria-sis.

Pada tabel 1 dapat dilihat, di antara 101 SP, dokter membuat diagnosis klinis dermatofitosis pada 57 SP dan 44 SP sisanya didiagnosis mengalami kasus non-dermatofitosis. Sementara hasil pemeriksaan KOH menunjukkan kasus dermatofitosis hanya ditemukan pada 35 SP (tinea korporis dan/atau tinea kruris) dan sebanyak 66 SP mengalami kasus dermatofitosis. Sebagai catatan di antara 66 kasus non-dermatofitosis tersebut, terdapat dua kasus yang memiliki karakteristik klinis sesuai dengan dermatofitosis namun karena pemeriksaan KOH menunjukkan hasil negatif, kedua kasus tersebut tetap digolongkan sebagai kasus

non-Tabel 1. Diagnosis Klinis Dokter Dibandingkan dengan Diagno-sis berdasarkan pemeriksaan KOH (n=101)

Diagnosis berdasar- Total kan KOH

Dermato- fitosis Dermato (KOH +) fitosis

(KOH -)

Diagnosis dokter Dermatofitosis 2 7 3 0 57 Non-dermatofitosis 8 3 6 44

(4)

dermatofitosis. Berdasarkan perhitungan dengan menggu-nakan program SPSS 11.5 didapatkan nilai sensitivitas 77,1%, spesifisitas 54,5%, NDP 47,4%, dan NDN 81,8%. Nilai sensitivitas, spesifisitas, NDN, dan NDP yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa gambaran klinis saja tidak cukup untuk digunakan sebagai dasar menegakkan diagno-sis kasus tinea korporis dan atau kruris.

Tabel 2 menunjukkan kesalahan diagnosis klinis yang dibuat dokter, baik pada kasus yang dianggap sebagai dermatofitosis maupun non-dermatofitosis. Dalam hal ini di-agnosis klinis dokter dibandingkan dengan didi-agnosis berdasarkan batasan operasional yang dibuat peneliti sesuai landasan teori dan diagnosis berdasarkan hasil pemeriksaan KOH. Sebagai catatan, pada penelitian ini ditemukan bahwa dokter perujuk mempunyai pengertian yang keliru mengenai definisi tinea pedis dan manum, antara lain mendiagnosis lesi tinea pada punggung kaki atau tangan sebagai tinea pedis atau manum. Namun sesuai batasan operasional, kasus rujukan yang seharusnya didiagnosis sebagai tinea korporis tersebut tetap dimasukkan dalam hasil penelitian.

Diskusi

Pada penelitian ini dari 101 kasus yang didiagnosis klinis sebagai tinea kruris dan/atau tinea korporis didapatkan nilai sensitivitas sebesar 77,1%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan dokter dapat mendiagnosis dengan tepat suatu kasus dermatofitosis adalah sebesar 77,1%. Sementara nilai spesifisitas sebesar 54,5% menunjukkan bahwa bila hasil pemeriksaan KOH-nya negatif, kemungkinan seorang dokter tidak mendiagnosis dermatofitosis adalah 54,5%. Nilai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah (<80%), me-nunjukkan gambaran klinis tidak cukup untuk digunakan

Tabel 2. Kesesuaian Diagnosis Klinis Dokter Perujuk dengan Batasan Operasional dan Hasil KOH pada Penelitian di Kabupaten Barito Utara Tahun 2012 (n=101)

Kesesuaian dengan batasan Hasil KOH operasional

Diagnosis dokter perujuk n Sesuai Tidak sesuai Positif (+) Negatif (-)

Dermatofitosis 1 1 0 0 1 Tinea fasialis 1 2 9 3 9 3 Tinea korporis 3 2 1 0 3 Tinea manus 2 0 1 2 8 1 0 1 0 Tinea kruris 7 2 5 1 6 Tinea pedis 5 5 0 5 0

Tinea kruris et korporis 9 3 6 2 7

Tinea 5 7 3 4 2 3 2 7 3 0

Jumlah

Non-dermatofitosis 1 9 1 7 2 4 1 5

Liken simpleks kronik 2 1 1 7 4 4 1 7

Dermatitis 1 1 0 0 1 Dermatitis seboroik 2 2 0 0 2 Dermatitis atopik 1 1 0 0 1 Dermatitis kontak 4 4 3 8 6 8 3 6 Jumlah Total 101 7 2 2 9 3 5 6 6

sebagai dasar dalam menegakkan diagnosis tinea korporis dan atau kruris, sebab syarat suatu uji diagnosis dianggap baik adalah bila memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.22

Nilai duga positif (NDP) sebesar 47,4% pada penelitian ini menunjukkan, bila seorang SP didiagnosis dermatofitosis oleh dokter, maka kemungkinan SP tersebut benar-benar mengalami dermatofitosis adalah sebesar 47,4%. Artinya, kemungkinan suatu diagnosis dermatofitosis yang dibuat dokter merupakan diagnosis yang benar hanya sebesar 48,3%, atau lebih dari setengah diagnosis dermatofitosis yang dibuat dokter merupakan diagnosis yang salah.

Nilai duga negatif sebesar 81,8% menunjukkan bahwa pada SP yang didiagnosis bukan dermatofitosis oleh dokter, maka kemungkinan bahwa SP tersebut tidak mengalami dermatofitosis adalah sebesar 81,8%, atau dapat disampaikan bahwa pada kasus yang didiagnosis sebagai non-dermatofitosis oleh dokter, maka kemungkinan diagnosis tersebut benar adalah sebesar 81,8%.

Nilai sensitivitas, spesifisitas, NDP, dan NDN yang diperoleh dalam penelitian ini memiliki pola hampir sama dengan hasil penelitian oleh Lousbergh, Buntinx, dan Pierard yaitu dengan nilai sensitivitas dan NDN yang cukup baik, namun nilai spesifisitas dan NDP-nya rendah. Perbedaanya, pada penelitian tersebut yang digunakan sebagai pembanding adalah pemeriksaan kultur.10 Nilai sensitivitas, spesifisitas,

NDP, dan NDN dalam penelitian ini menunjukkan bahwa di-agnosis dermatofitosis/tinea yang ditegakkan dokter dengan hanya berdasarkan gambaran klinis tidak selalu tepat, bahkan lebih dari separuh diagnosis tersebut cenderung salah.

Tabel 2 menunjukkan kesalahan diagnosis klinis yang dibuat dokter, baik pada kasus yang dianggap sebagai

(5)

dermatofitosis maupun non-dermatofitosis. Terdapat 57 kasus yang didiagnosis dokter sebagai dermatofitosis, namun 30 (51,7%) di antaranya menunjukkan hasil negatif pada pemeriksaan KOH. Artinya lebih dari setengah kasus telah salah didiagnosis sebagai dermatofitosis oleh dokter. Kesalahan paling sering terjadi pada kasus yang dianggap sebagai tinea kruris. Di antara 20 kasus yang didiagnosis secara klinis sebagai tinea kruris, terdapat 10 (50%) kasus yang salah didiagnosis oleh dokter. Dalam hal tersebut, dokter mendiagnosis kasus dermatitis seboroik atau dermatitis intertriginosa sebagai tinea kruris.

Sebagai catatan, di antara 10 kasus tersebut terdapat 2 kasus yang secara klinis memiliki gambaran khas dermatofitosis berupa plak hiperpigmentasi dengan tepi aktif dan central clearing, namun pada pemeriksaan KOH tidak ditemukan elemen jamur. Hal tersebut menurut peneliti disebabkan sensitivitas KOH tidak mencapai 100% sehingga disimpulkan hasil pemeriksaan KOH pada kedua kasus tersebut adalah negatif semu.9,23 Respons yang baik terhadap

pemberian terapi dengan obat antijamur topikal/oral membuktikan bahwa kedua kasus tersebut adalah dermatofitosis/tinea.

Pada 44 kasus yang dianggap non-dermatofitosis, secara umum dokter lebih baik dalam menegakkan diagnosis dan hanya membuat sedikit kesalahan, yaitu pada beberapa kasus yang didiagnosis liken simpleks kronik dan dermatitis. Terdapat 8 (18,2%) kasus yang salah didiagnosis sebagai dermatitis, sementara hasil positif pada pemeriksaan KOH membuktikan adanya infeksi jamur dermatofita.

Perlu diperhatikan bahwa, meskipun tingkat kesalahan diagnosis klinis dokter pada kasus non-dermatofitosis cukup rendah, namun pada penelitian ini ditemukan bahwa diagno-sis klinis yang dibuat dokter pada berbagai kasus non-dermatofitosis masih menggunakan istilah yang kurang tepat, antara lain:

1. Istilah “dermatitis” digunakan dokter pada beberapa

kasus yang secara klinis sesuai dengan dermatitis kontak, dermatitis atopik, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, dan psoriasis vulgaris.

2. Istilah “tinea” digunakan pada satu kasus yang secara klinis merupakan tinea korporis dengan lesi pada tungkai.

3. Istilah “tinea pedis” digunakan oleh dokter pada

beberapa kasus yang yang secara klinis merupakan tinea korporis dengan lesi pada punggung kaki.

Hasil lain pada penelitian ini yaitu ditemukan tingkat kesesuaian diagnosis klinis dokter bila dibandingkan dengan diagnosis berdasarkan pemeriksaan KOH adalah sebesar 62.4%. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan survei yang dilakukan oleh Basarab, Munn dan Jones (1995) yang meneliti tingkat ketepatan diagnosis yang dibuat oleh dokter terhadap pasien yang dirujuk kepada dokter spesialis kulit. Pada survei tersebut didapatkan tingkat ketepatan diagno-sis dokter hanya sebesar 47%.24 Perbedaan tersebut menurut

peneliti disebabkan pada penelitian ini kasus yang diikutkan dibatasi pada kasus yang merupakan kompetensi dokter untuk menanganinya hingga pemberian terapi.

Kesimpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa gambaran klinis tidak cukup untuk digunakan sebagai dasar menegakkan diagnosis kasus penyakit kulit yang diduga sebagai dermatofitosis/tinea, khususnya tinea korporis dan atau kruris. Untuk mencegah terjadinya kesalahan diagno-sis, pemeriksaan KOH seharusnya dilakukan secara rutin untuk membantu menegakkan diagnosis kasus yang diduga sebagai dermatofitosis.

Daftar Pustaka

1. General Practice Statistics and Classification Unit. General Prac-tice Activity in Australia 2001–02. AIHW Cat. No. GEP-10. [Cited 26 Jan 2011]. Available from: http://www.aihw.gov.au/pub-lications/gep/gpaa01-02/index.html#s00.

2. Tunnessen WW. A survey of skin disorders seen in general and dermatology clinics. Pediatric Dermatol. 1984;1:219-22. 3. Bramono K, Menaldi SL, Widaty S, Hernani Ch. Prevalensi

penyakit kulit, faktor risiko dermatomikosis serta sebaran jenis dermatofitosis dan spesies penyebab: survey di daerah rural dataran rendah Jawa Barat. Media Dermatolo-Venereologica In-donesia. 2008;35(1):2-7.

4. Chandra J. Karakteristik klinis, sosial, dan lingkungan pasien dermatomikosis superfisial di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat dan Divisi Mikologi Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta [Thesis]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2012. 5. Amiruddin MD, Amin S, Ilyas FS. Tinjauan mengenai infeksi

jamur superfisial di Indonesia. MDVI. 2001;28(2):228-31S. 6. Pariser RJ, Pariser DM. Primary care physicians’ errors in

han-dling cutaneous disorders: a prospective survey. J Am Acad Dernatol. 1987;17:239-245.

7. Al-Fayez H, Mukhtar S, Mohammed S. Diagnostic agreement between primary care physician and dermatologist and reason for reverral to skin clinic. Bahrain Medical Bulletin. 2006;26(2):1-5.

8. Thomas B. Clear choices in managing epidermal tinea infec-tions. The Journal of Family Practice. 2003; 52(11): 850-62. 9. Lousbergh D, Buntinx F, Pierard G. Diagnosing dermatomycosis

in general practitioner. The Journal of Family Practice. 2009; 16:611-5.

10. Verma S, Heffernan MP. Superficial fungal infection: dermato-phytosis, onychomycosis, tinea nigra, piedra. In: Wolff K, Gold-smith LA, Katz SI, Gillchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed. New York:

McGraw-Hill Companies; 2008. p. 1807-21.

11. Leung DYM, Eichenfield LF, Boguniewicz M. Atopic Dermatitis. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gillchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medi-cine. 7th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2008. p.

146-58.

12. Friedmann PS, Arden-Jones MR, Holden CA. Atopic dermatitis. In: Burns T, Breatnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. Blackwell Publishing; 2010. p. 231-51.

13. Plewig G, Jansen T. Seborrheic dermatitis. In: Wolff K, Gold-smith LA, Katz SI, Gillchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed. New York:

(6)

14. Djuanda A. Dermatosis eritroskuamosa. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2005. p. 189-203.

15. Budimulja U. Eritrasma. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 4th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;

2005. p. 334-5.

16. Burgin, S. Nummular eczema and lichen simplex chronicus/ pru-rigo nodularis. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gillchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill Companies;

2008. p. 158-62.

17. Berth-Jones J. Eczema, Lichenification, Prurigo, and Erythro-derma. Dalam: Burns T, Breatnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s textbook of dermatology. Blackwell Publishing; 2010. p. 23.1-51.

18. Aoyama H, Tanaka M, Hara M, Tabata N, Tagami H. Nummular eczema: An addition of senile xerosis and unique cutaneous reac-tivities to environmental aeroallergens. Dermatology. 1999; 199(2):135-9

19. Blauvelt A. Pityriasis Rosea. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gillchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s

dermatology in general medicine. New York: McGraw-Hill Com-panies; 2008. p. 362-6.

20. De Kock CA, Sampers GHMA, Knottnerus JA. Diagnosis and management of cases of suspected dermatomycosis in the Neth-erlands: influence of general practice based potassium hydroxide testing. Br J Gen Pract. 1995;45:349-51.

21. Konsil Kedokteran Indonesia. Buku standar kompetensi dokter. 1st ed. Jakarta; 2006 [cited 2011 Jan 26]. Available from: http:/

/inamc.or.id/download/Standar%20Kompetensi%20Dokter.pdf 22. Pusponegoro HD, Wirya WIGN, Pudjiadi AH, Bisanto J,

Zulkarnain SZ. Uji diagnostik. In: Sastroasmoro S, Ismaiel S, editors. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. 3rd ed. Jakarta:

Sagung Seto; 2008. p. 193-215.

23. Budimulja U. Penyelidikan dermatophytosis di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo [Dissertation]. Jakarta: Universitas Indo-nesia; 1980.

24. Basarab T, Munn SE, Jones RR. Diagnostic accuracy and appro-priateness of general practitioner referrals to a dermatology out patient clinic. Br J Dermatol. 1996;135:70-3.

Gambar

Tabel 1. Diagnosis Klinis Dokter Dibandingkan dengan Diagno- Diagno-sis berdasarkan pemeriksaan KOH (n=101)
Tabel 2 menunjukkan kesalahan diagnosis klinis yang dibuat dokter, baik pada kasus yang dianggap sebagai dermatofitosis maupun non-dermatofitosis

Referensi

Dokumen terkait

a) Konisasi adalah operasi yang dilakukan dengan cara mengangkat sebagian mulut rahim dan dilakukan pada stadium dini kanker serviks, termasuk menjadi bagian dari

Semua prinsip ini harus dikomunikasikan dalam format dan bahasa yang dipahami oleh subyek data, yang tidak boleh dalam keadaan yang tidak berdaya pada saat memberikan persetujuan

Kesimpulan daripada kajian literatur di atas, maka dapatlah dirumus bahawa keadaan ekonomi masyarakat orang asli masih lagi berada pada tahap yang rendah yang mana

Executive housekeep : yang memiliki tugas dan tanggung jawab menyiapkan kamar bagi para tamu yang akan menginap di dalam hotel serta membersihkannya selama tamu menginap

Pada tabel 4, Ini terdapat actor admin sebagai penguji system dan terdapat 7 tahapan pengujian dalam black box ini dari melakukan aksi login sebagai admin, melihat data

Sahabat MQ/ Mantan Dirjen Pajak -Hadi Poernomo akhirnya terpilih sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan-BPK periode 2009-2014// Dalam hal tersebut juga

Perihal : Pengumuman Pemenang Kegiatan Kegiatan Peningkatan Pelayanan Publik Dalam Bidang Kependudukan Belanja Cetak Blangko Kutipan Akta dan Buku Register di.. T E M P

UNIT LAYANAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH KABUPATEN KLATEN POKJA PENGADAAN JASA KONSULTANSI DAN JASA LAINNYA.. Klaten, 26 Oktober 2011 Nomor : 027/06.J.ULP/120