• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI PERBANDINGAN PSYCHOMOTOR VIGILANCE TASK (PVT) DAN FLICKER SEBAGAI ALAT UJI TINGKAT KEWASPADAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI PERBANDINGAN PSYCHOMOTOR VIGILANCE TASK (PVT) DAN FLICKER SEBAGAI ALAT UJI TINGKAT KEWASPADAAN"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

Perjanjian No: III/LPPM/2017-01/15-P

STUDI PERBANDINGAN PSYCHOMOTOR VIGILANCE TASK

(PVT) DAN FLICKER SEBAGAI ALAT UJI TINGKAT

KEWASPADAAN

Disusun Oleh: Daniel Siswanto, ST., MT Dr. Thedy Yogasara, ST., M.EngSc.

Tjioe Vincent Louis Sutjitro Levin

Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat

Universitas Katolik Parahyangan

(2)

1

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 1

ABSTRAK 3

BAB I PENDAHULUAN 5

I.1 Latar Belakang Penelitian 5

I.2 Urgensi Penelitian 8

I.3 Rencana Temuan/Inovasi dan

Penerapannya dalam IPTEK-SOSBUD 8

I.4 Tujuan Penelitian 9

I.5 Target Luaran 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10

II.1 Definisi Kelelahan 10

II.2 Kelelahan dan Kantuk 12

II.3 Penyebab Kelelahan 13

II.4 Pengukuran Kelelahan 15

II.5 Psychomotor Vigilance Task (PVT) 17

II.6 Uji Flicker 18

II.7 State of The Art Penelitian 19

II.8 Peta Jalan (Road Map) Penelitian 21

BAB III METODE PENELITIAN 23

BAB IV JADWAL PELAKSANAAN 28

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 29

V.1 Perbandingan PVT dan Flicker

(3)

2

V.2 Perbandingan Parameter PVT dan Flicker 31 V.3 Penentuan Nilai Acuan Parameter Uji

Tingkat Kewaspadaan 40

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 45

VI.1 Kesimpulan 45

VI.2 Saran 46

DAFTAR PUSTAKA 47

(4)

3

ABSTRAK

Kelelahan adalah salah satu faktor utama yang menyebabkan manusia mengalami penurunan performansi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja. Beberapa faktor yang telah diidentifikasi menjadi penyebab dari kelelahan adalah faktor terkait tidur, irama sirkadian dan faktor pekerjaan. Kelelahan menyebabkan penurunan kewaspadaan yang sangat diperlukan terutama dalam mengemudi. Untuk meminimasi risiko terjadinya kecelakaan selama mengemudi maka sebaiknya sebelum mulai mengemudi dilakukan pengujian untuk menilai tingkat kewaspadaan pengemudi apakah berada pada tingkat yang cukup aman untuk mengemudi (fitness-for-duty test).

Dua alat ukur yang sering digunakan dalam pengujian fitness-for-duty adalah

Psychomotor Vigilance Task (PVT) dan Flicker Test. PVT dinyatakan sebagai gold standard dalam mengukur kelelahan sedangkan Flicker Test dianggap

mampu menggantikan PVT karena lebih akurat. Namun belum ada penelitian yang membandingkan parameter dari kedua alat ini. Selain itu juga belum ada acuan nilai parameter kedua alat tersebut yang dapat dijadikan dasar untuk mengevaluasi tingkat kewaspadaan seseorang. Berdasarkan hal tersebut maka pada penelitian ini akan dilakukan studi perbandingan antara kedua alat uji tersebut.

Penelitian ini diawali dengan membandingkan keandalan parameter kedua alat ukur tersebut dengan Intraclass Correlation Coefficients (ICC 2,1) yang melibatkan 8 orang partisipan selama 4 hari pengukuran. Parameter PVT adalah 1/RT (RT = Reaction Time) dan number of lapses, sedangkan parameter Flicker adalah Critical Flicker Fusion Frequency (CFFF). Selanjutnya dilakukan pengambilan data durasi tidur dan kualitas (efisiensi) tidur dengan Fitbit, Body

Mass Index (BMI) serta temperatur tubuh dari 32 partisipan. Pengukuran

kecepatan reaksi dengan PVT dilakukan selama 5 menit sedangkan Flicker test dilakukan selama 1 menit. Selama pengukuran dengan kedua alat tersebut, dilakukan juga pengambilan data gelombang otak partisipan dengan EEG. Data gelombang otak partisipan (alfa, beta, dan teta) diolah menjadi rasio tingkat kantuk dengan MATLAB R2009A.

Dari uji keandalan, parameter 1/RT memiliki keandalan paling tinggi (0767; baik) dibandingkan parameter CFFF (0,598; sedang) dan number of lapses (0,219; buruk). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa hanya durasi tidur yang memiliki korelasi kuat dengan parameter 1/RT (0,622) dan CFFF (0,708) serta berkorelasi cukup kuat dengan number of lapses (-0,483). Uji korelasi 1/RT,

number of lapses, dan CFFF dengan rasio tingkat kantuk dari bagian frontal lobe

menunjukkan nilai yang hampir sama yaitu berturut-turut -0,363; 0,363; -0,386 dan termasuk kategori cukup kuat, sehingga ketiga parameter tersebut dinilai sama baiknya dalam mendeteksi tingkat kelelahan (kantuk). Berdasarkan hasil uji keandalan dan korelasi durasi tidur dengan parameter-parameter tersebut maka

(5)

4

dibuatlah persamaan regresi untuk menentukan nilai acuan (baseline). Persamaan regresi untuk 1/RT, number of lapses dan CFFF berturut-turut adalah: 1/RT = 1,696 + (0,002 x Durasi Tidur); Number of lapses = 10,128 – (0,016 x Durasi Tidur); CFFF = 25,28 + (0,0579 x Durasi Tidur).

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa 1/RT dan CFFF sama baiknya dalam mendeteksi kelelahan yang ditandai dengan penurunan kewaspadaan akibat kurangnya durasi tidur. Namun demikian, 1/RT memiliki tingkat keandalan yang sedikit lebih baik. Untuk parameter number of lapses sebaiknya tidak digunakan karena memiliki keandalan yang buruk. Secara umum, alat PVT dan Flicker sama baiknya dalam menguji kewaspadaan berdasarkan indikator kecepatan reaksi.

Kata kunci: kelelahan, tingkat kewaspadaan, fitness-for-duty test, PVT, Flicker

(6)

5

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Penelitian

Kelelahan telah dinyatakan sebagai salah satu faktor utama penyebab kecelakaan di berbagai negara. Di Inggris (UK), 16-23% kecelakaan jalan raya dikaitkan dengan kelelahan pengemudi (Horne dan Reyner, 1995). Penelitian lain menyebutkan 20-30% kematian di jalan raya New South Wales, Australia, disebabkan oleh kelelahan (Lal dan Craig, 2001). Dawson dkk. (2014) bahkan mengestimasi hingga 60% kecelakaan kendaraan berat di jalan raya disebabkan karena kelelahan. Di Indonesia, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat tahun 2013 disebutkan bahwa kelelahan pengemudi menjadi penyebab lebih dari 25% total kecelakaan yang terjadi (Nurtjahyo dkk., 2014). Kecelakaan tersebut disebabkan oleh pengemudi yang mengantuk akibat kelelahan (Patmadjaja, 1999).

Kelelahan menyebabkan pengemudi lambat dalam bereaksi dan mungkin melewatkan informasi yang diperlukannya dari lingkungan (Dinges dkk., 1997 dalam Williamson, 2002). Pada kondisi mengemudi jangka panjang, mayoritas pengemudi melaporkan terjadinya perlambatan reaksi, buruknya performansi saat mengubah kecepatan dan kemudi serta terlalu lambat dalam mengemudi ketika lelah (Williamson dkk., 1992; Williamson, 2002). Menurut Desai dan Haque (2006), ada dua hal yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas, yaitu drowsiness (kantuk) dan inattention (kehilangan kewaspadaan). Kedua hal tersebut diakibatkan oleh kondisi tubuh yang memerlukan tidur saat kelelahan, kondisi psikologis, kondisi fisiologis tubuh dan kondisi pekerjaan yang monoton. Beberapa penelitian tentang kelelahan dalam mengemudi juga semakin memperkuat peran kelelahan pengemudi sebagai penyebab utama kecelakaan di jalan raya (Baulk dkk., 2008; Hanowski dkk., 2003; Sang dan Li, 2012; Smolensky dkk., 2011).

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meminimasi risiko terjadinya kecelakaan tersebut adalah mendeteksi sedini mungkin kondisi pengemudi

(7)

6

sebelum memulai perjalanannya. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pengujian kebugaran kerja pengemudi (fitness-for-duty test). Kebugaran kerja terkait dengan kondisi fisik dan mental seseorang yang membuatnya mampu bekerja tanpa membahayakan keselamatan dan kesehatan dirinya sendiri, rekan kerjanya, properti kerja atau masyarakat umum (Kohanna, 2013). Pengujian kebugaran kerja ditujukan untuk memastikan seluruh pekerja bugar untuk bekerja secara efektif dan tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain (Palmer dan Brown, 2013). Dalam konteks mengemudi, pengujian kebugaran kerja digunakan untuk menilai apakah operator memiliki keterjagaan atau kapasitas untuk melakukan pekerjaannya sebelum pekerjaan tersebut dimulai (Balkin dkk, 2011). Umumnya, pengujian ini menilai performansi melalui pengujian kewaspadaan (vigilance) atau koordinasi tangan dan mata (hand-eye coordination). Menurut Dorian dkk. (2007), vigilance atau tingkat kewaspadaan merupakan derajat kesiapan seseorang dalam memberikan tanggapan terhadap suatu rangsangan. Tingkat kewaspadaan akan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kelelahan, tingkat kantuk dan keadaan monoton (Desai dan Haque, 2006).

Pengujian tingkat kewaspadaan merupakan cara yang sangat baik untuk membedakan apakah seorang pengemudi bugar (fit) atau tidak bugar (unfit) sebelum memulai pekerjaannya (De Valck dkk., 2015). Penurunan tingkat kewaspadaan akan berakibat pada menurunnya kecepatan reaksi (Mathis dan Hess, 2009) sehingga dapat menyebabkan kesalahan (error) yang berujung pada kecelakaan. Kecepatan reaksi terkait dengan performansi psikomotorik yang mengacu pada koordinasi antara respon fisik dan mental. Performansi psikomotorik ini sangat dibutuhkan dalam mengemudi dan sangat dipengaruhi oleh kelelahan (Williamson dkk., 2011). Dua alat yang mampu mengukur kemampuan psikomotorik adalah Psychomotor Vigilance Task (PVT) dan Flicker

Test.

PVT telah lama dianggap sebagai gold standard dalam mengukur performansi psikomotorik serta dinyatakan sensitif terhadap perubahan kondisi akibat kekurangan tidur dan gangguan irama sirkadian (Van Dongen dkk., 2003). PVT akan menampilkan obyek rangsangan yang harus direspon oleh subyek yang

(8)

7

diukur dengan menekan tombol reaksi secepat mungkin. Hasilnya waktu reaksinya kemudian dicatat dalam beberapa parameter yaitu rata-rata waktu reaksi (mean reaction time), waktu reaksi maksimum, waktu reaksi minimum, lapses (reaksi lebih dari 500ms), dsb (Ting dkk., 2008; Loh dkk., 2004). Waktu reaksi yang semakin besar menunjukkan kemampuan individu yang semakin lambat dalam menanggapi rangsangan dan hal ini mengindikasikan penurunan kewaspadaan akibat kelelahan.

Selain PVT, Flicker Test juga dianggap mampu mengevaluasi performansi psikomotorik yang terkait dengan kewaspadaan. Flicker test menggunakan kedipan lampu pada frekuensi tertentu yang makin lama akan makin meningkat frekuensinya sehingga terlihat seperti lampu yang menyala secara kontinu. Frekuensi kedipan lampu itu disebut dengan Critical Flicker Fusion Frequency (CFFF) dengan satuan Hertz (Hz). Nilai CFFF digunakan untuk mengukur efisiensi fungsi sistem saraf pusat berdasarkan respon terhadap kedipan lampu yang ditangkap oleh bagian sistem penggerak di cerebral cortex (Kroemer dan Grandjean, 2000). Ketika kemampuan mata dalam membedakan kedipan mulai menurun, maka pada saat itu terindikasi adanya penurunan kinerja sistem saraf pusat akibat kelelahan (Saito, 1999). Individu yang memiliki nilai CFFF lebih rendah dinyatakan mengalami kelelahan (Kulinski dkk., 2014) yang ditandai dengan penurunan kewaspadaan.

Kedua alat uji kewaspadaan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Keduanya memang dianggap mampu mendeteksi kelelahan yang ditunjukkan dari penurunan kewaspadaan. Namun belum ada penelitian yang membandingkan bagaimana performansi sesungguhnya dari kedua alat tersebut pada kasus yang sama. Selain itu belum ada acuan (nilai standar) dari parameter-parameter alat uji tersebut yang dapat dijadikan dasar untuk mengevaluasi tingkat kewaspadaan seseorang. Dari hal tersebut maka pada penelitian ini akan dilakukan studi perbandingan kedua alat uji tersebut secara teoritis dan empiris. Perbandingan secara teoritis akan dilakukan melalui studi literatur sedangkan perbandingan secara empiris akan dilakukan melalui pengumpulan data di laboratorium. Perbandingan juga akan dilakukan pada semua parameter kedua alat uji tersebut.

(9)

8

Selain itu akan dihasilkan juga nilai acuan yang dapat dijadikan dasar untuk mengevaluasi tingkat kewaspadaan seseorang berdasarkan hasil uji dengan kedua alat uji tersebut.

I.2 Urgensi Penelitian

Usaha penanganan kelelahan menjadi hal yang sangat penting dalam meminimasi risiko terjadinya kecelakaan kerja. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan pengujian kebugaran kerja (fitness-for-duty test) sebelum pengemudi melakukan pekerjaannya. Dua alat uji yang dapat digunakan adalah Psychomotor Vigilance Test (PVT) dan Flicker Test. Keduanya dipakai untuk mengevaluasi tingkat kewaspadaan dari indikator waktu (kecepatan) reaksi yang merupakan kemampuan penting dalam mengemudi (De Valck dkk., 2015).

Namun belum ada penelitian yang membandingkan kedua alat uji tersebut secara teoritis dan empiris. Perbandingan ini diperlukan agar dapat diketahui alat uji manakah yang lebih sensitif dalam mengukur perubahan tingkat kewaspadaan akibat kelelahan. Selain itu juga belum ada suatu nilai acuan dari parameter-parameter kedua alat uji tersebut yang dapat digunakan sebagai dasar dalam mengevaluasi tingkat kewaspadaan seseorang. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini penting untuk dilakukan sehingga dapat direkomendasikan manakah alat uji yang sebaiknya digunakan atau apakah kedua alat uji tersebut dapat dikombinasikan penggunaannya.

I.3 Rencana Temuan/Inovasi dan Penerapannya dalam IPTEK-SOSBUD

Hasil penelitian yang direncanakan adalah perbandingan PVT dan Flicker Test secara teoritis dan empiris melalui studi literatur dan pengumpulan data di laboratorium. Analisis perbandingan ini nantinya dapat dijadikan dasar dalam pemilihan alat uji yang lebih tepat digunakan dalam mengukur tingkat kewaspadaan seseorang. Temuan lain berupa suatu nilai acuan dalam mengevaluasi tingkat kewaspadaan pengemudi sebelum memulai pekerjaannya. Hasil penelitian ini akan sangat berguna dalam meminimasi risiko kecelakaan kerja akibat kelelahan.

(10)

9

I.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menghasilkan analisis perbandingan antara PVT dan Flicker Test secara teoritis (studi literatur) dan empiris (eksperimen laboratorium) agar dihasilkan rekomendasi alat mana yang lebih baik dipakai untuk menguji tingkat kewaspadaan.

2. Menghasilkan analisis perbandingan parameter-parameter hasil uji kedua alat tersebut sehingga dapat direkomendasikan manakah parameter yang lebih sensitif dalam mengukur perubahan tingkat kewaspadaan.

3. Menghasilkan nilai acuan dari parameter-parameter kedua alat uji tersebut yang dapat dijadikan dasar untuk mengevaluasi tingkat kewaspadaan seseorang sebelum memulai pekerjaannnya

(fitness-for-duty test).

I.5 Target Luaran

Target luaran dari penelitian ini adalah publikasi pada jurnal internasional terindeks scopus atau pada jurnal nasional terakreditasi.

(11)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Kelelahan

Hingga saat ini belum ada satu definisi kelelahan yang disepakati semua peneliti. Ada yang mendefinisikan kelelahan berdasarkan faktor yang berpengaruh, berdasarkan dampaknya, atau pada proses terjadinya. Tiap penelitian akan mengacu pada sebuah definisi yang sesuai dengan konteks penelitian tersebut. Williamson dkk.(2011) dalam penelitiannya mendefinisikan kelelahan sebagai “a biological drive for recuperative rest” atau dorongan biologis uantuk memulihkan kondisi. Dengan definisi ini, kelelahan akan timbul jika tubuh membutuhkan istirahat. Kata “rest” disini tidak selalu berupa tidur namun juga dapat berupa bentuk istirahat yang lain. Definisi Williamson dkk. (2001) ini lebih menekankan pada dampak namun belum menjelaskan bagaimana proses kelelahan itu terjadi. Definisi berbeda disebutkan oleh Dawson dkk. (2014) yang mendefinisikan kelelahan sebagai kantuk yang dihasilkan dari proses neurobiologis yang mengatur tidur dan irama sirkadian atau dorongan untuk tidur. Kantuk ini disebabkan oleh kondisi tidur sebelumnya (prior sleep), kondisi terjaga sebelumnya (prior wake) dan saat hari (time of day) atau irama sirkadian. Seseorang yang tidur kurang dari 5 jam semalam atau kurang dari 6 jam selama beberapa malam akan mengalami penurunan performansi dalam pelacakan (tracking), kewaspadaan (vigilance) dan waktu reaksi (reaction time). Kondisi lelah akan mengalami peningkatan sejak seseorang bangun tidur. Keterjagaan terus menerus selama 17 jam setelah tidur malam yang cukup juga akan menurunkan performansi. Hal ini diperbandingkan dengan konsentrasi alkohol dalam darah sebesar 0,05% (Gambar II.1). Kondisi kelelahan dan keterjagaan juga dipengaruhi oleh irama sirkadian selama 24 jam. Tingkat kelelahan tertinggi lebih mungkin dialami pada saat subuh (pukul 02.00 – 06.00) dan sedikit lebih rendah pada siang hari (pukul 13.00 – 16.00) (Dawson dkk., 2014).

Definisi terbaru menyatakan kelelahan sebagai kondisi psiko-fisiologis (psychophysiological) suboptimal (tidak optimal) karena pengerahan tenaga

(12)

11

(exertion) yang tingkat dan karakter dimensinya tergantung bentuk, dinamika dan konteks pengerahan tenaga tersebut. Konteks pengerahan tenaga digambarkan sebagai performansi individu, sejarah istirahat dan tidur, pengaruh sirkadian, faktor psikososial kerja dan kehidupan di rumah, sifat individu, diet, kesehatan, kebugaran dan kondisi individu lainnya, serta kondisi lingkungan (Phillips, 2015). Dalam definisi ini, Phillips (2015) memasukkan faktor yang dapat mempengaruhi kelelahan dan dampaknya.

Gambar II.1 Performansi saat kondisi keterjagaan terus menerus dalam rata-rata performansi relatif dan persentase konsentrasi alkohol dalam darah (Dawson dan Reid, 1997)

Kelelahan juga didefinisikan sebagai “a feeling of strain or exhaustion” yang diartikan sebagai perasaan tegang atau penat. Kelelahan yang dimaksud ini meliputi kelelahan fisiologis dan kelelahan patologis (Shahid dkk., 2010). Kelelahan fisiologis atau kelelahan normal disebabkan oleh aktivitas sehari-hari yang berlangsung singkat dan biasanya dipulihkan dengan istirahat. Kelelahan patologis berkaitan dengan gangguan kesehatan atau emosi atau karena pengobatan suatu penyakit dan biasanya bersifat lebih kronis (Shahid dkk., 2010). Penelitian lain mendefinisikan kelelahan sebagai pelemahan fungsi fisik dan mental yang terlihat dari kantuk yang berlebihan, penurunan kemampuan fisik dan mental, suasana hati yang tertekan dan hilangnya motivasi (Moore-Ede, 2009).

(13)

12

II.2 Kelelahan dan Kantuk

Istilah kelelahan dan kantuk sering digunakan secara bersamaan. Beberapa literatur menggambarkan persamaan dan perbedaan antara kedua istilah tersebut. Menurut Williamson dkk. (2011) dan Dawson dkk. (2014), kantuk (sleepiness) adalah bagian dari kelelahan. Dalam modelnya (Gambar II.2), Williamson dkk. (2011) menyatakan kantuk sebagai salah satu bentuk kelelahan selain kelelahan fisik (otot) dan mental. Bentuk kelelahan akan sangat bergantung dari penyebab kelelahan tersebut. Menurut Dawson dkk. (2014) kelelahan adalah kantuk yang muncul akibat masalah tidur dan irama sirkadian. Disini jelas langsung dinyatakan bahwa kantuk sama dengan kelelahan. Memang pada akhirnya setiap penelitian akan bisa jadi menggunakan definisi yang agak berbeda satu dengan yang lain. Hal ini disebabkan oleh belum adanya kesepakatan tentang definisi tunggal dari kelelahan. Fatigue Fatigue Time of day Time/s awake Task-related factors Sleepiness Impaired Performance Capabilities “Accident” Rest Sleep (Safe recovery) “Fatigue is biological drive for recuperative rest”

Gambar II.2 Model konseptual kelelahan dan kecelakaan (Williamson dkk., 2011)

Kelelahan terkait dengan kekacauan/gangguan fisik dan psikiatrik dan bisa merupakan efek samping dari pengobatan (Shahid dkk., 2010). Kelelahan seperti ini dapat disebabkan oleh penyebab fisik, fisiologis dan psikologis. Shahid dkk. (2010) bahkan membagi kelelahan menjadi kelelahan fisiologis dan kelelahan

(14)

13

patologis. Kelelahan fisiologis (kelelahan normal) disebabkan oleh aktivitas sehari-hari dan dapat diatasi dengan istirahat. Kelelahan patologis disebabkan oleh masalah kesehatan atau emosional, atau karena usaha pengobatan, dan sifatnya lebih kronis.

Pandangan berbeda dikemukakan oleh Philip dkk. (2005), yang menyatakan adanya perbedaan antara kelelahan dan kantuk (sleepiness). Kantuklah yang ditengarai mempengaruhi kinerja pengemudi dan bukan kelelahan, sedangkan kombinasi kantuk dan kelelahan mempengaruhi waktu reaksi pengemudi. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Shen dkk. (2006) dan Shahid dkk. (2010) yang mendefinisikan kantuk sebagai tendensi untuk tertidur, sementara kelelahan didefinisikan sebagai perasaan tertekan atau sangat penat (exhausted) (Shen dkk., 2006; Shahid dkk., 2010). Meskipun kelelahan memiliki gejala dan definisi yang berbeda dengan kantuk, namun pada dasarnya terdapat kesepakatan bahwa salah satu faktor penyebab kelelahan adalah kantuk, sehingga kelelahan tidak dapat dipisahkan dari kantuk.

Pada penelitian ini, kantuk menjadi salah satu indikator kelelahan. Kantuk didefinisikan sebagai manifestasi kelelahan yang ditandai dengan kecenderungan untuk jatuh tertidur dan menyebabkan penurunan performansi. Kantuk menjadi suatu tanda kelelahan yang lebih mudah dikenali, dapat dilihat secara langsung dan sudah ada alat ukurnya. Kantuk bisa diukur secara subyektif, misalnya dengan KSS (Karolinska Sleepiness Scale) atau secara obyektif, misalnya dengan EEG (Electroenchepalograph). Selain kantuk, penurunan performansi juga dapat menjadi indikator terjadinya kelelahan. Dalam konteks mengemudi, penurunan performansi dapat dilihat dari perlambatan waktu reaksi, kesalahan dalam pengambilan keputusan (misalnya membaca sinyal), mempertahankan jalur, dan sebagainya.

II.3 Penyebab Kelelahan

Kelelahan merupakan suatu fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh banyak sekali faktor (Baulk dkk., 2008). Dengan banyaknya faktor penyebab

(15)

14

kelelahan tersebut membuat berbagai penelitian tentang kelelahan berfokus pada penyelidikan faktor-faktor utama penyebab kelelahan.

Menurut Moore-Ede (2009) penyebab kelelahan dapat berupa :

1. Kehilangan tidur (sleep deprivation). Kelelahan ini muncul sebagai akibat dari waktu terjaga yang terlalu lama (acute sleep deprivation), durasi dan/atau kualitas tidur yang buruk (partial sleep deprivation) serta akumulasi dari durasi tidur yang pendek atau gangguan tidur selama berhari-hari, misalnya akibat durasi kerja yang berkepanjangan atau kerja di shift malam (chronic

sleep deprivation)

2. Gangguan (penyimpangan) tidur. Kelelahan karena sebab ini muncul dalam bentuk kantuk yang berlebihan sepanjang hari. Gangguan (penyimpangan) tidur yang dimaksud diantaranya obstructive sleep apnea, restless legs

syndrome, narcolepsy, dan lain-lain.

3. Penyakit. Saat seseorang menderita penyakit (dari flu hingga kanker) maka sistem metabolismenya akan terganggu sehingga dapat menyebabkan kelelahan. Beberapa metode untuk mengukur kelelahan dari penderita kanker diantaranya Functional Assessment of Cancer Therapy, Brief Fatigue Scale,

Fatigue Symptom Inventory, dan lain-lain.

4. Efek samping pengobatan (terapi). Kelelahan ini muncul sebagai efek samping pengobatan atau terapi yang harus dijalani seseorang untuk menyembuhkan penyakitnya.

5. Beban fisik atau mental yang berat. Kelelahan muncul sebagai akibat dari durasi kerja yang panjang dan melibatkan aktivitas fisik yang berat, ketegangan yang terus menerus, atau beban mental yang tinggi (misalnya saat menghadapi ujian). Saat munculnya kelelahan ini bisa saat aktivitas terjadi atau sesudahnya.

6. Penggunaan obat-obatan terlarang. Kelelahan ini muncul setelah penggunaan obat-obatan terlarang yang membuat orang mabuk.

Kelelahan dapat disebabkan oleh faktor fisik, fisiologis dan psikologis dan seringnya muncul dalam bentuk perasaan letih (tiredness) dan penat (exhaustion) (Shahid dkk., 2010). Manifestasi kelelahan dapat berupa kelelahan fisik maupun

(16)

15

kelelahan mental (Brown, 1994). Kelelahan yang muncul pada saat seseorang bekerja akan menyebabkan kecenderungan untuk melakukan kesalahan (error) dan yang ujungnya dapat mengakibatkan kecelakaan kerja. Menurunnya tingkat kewaspadaan akibat kelelahan juga akan mengakibatkan respon yang lambat dan hal ini diidentifikasi oleh Mitler dkk. (1988) sebagai penyebab dari berbagai kecelakaan kerja. Orang yang lelah akan enggan bekerja dan efisiensinya menurun.

Menurut Dawson dkk. (2014) pengembangan teknologi untuk mendeteksi dan mengatasi kelelahan kerja sebaiknya memperhatikan tiga faktor utama yaitu tidur sebelumnya (prior sleep), keterjagaan sebelumnya (prior wake) dan irama sirkadian (time of day). Williamson dkk. (2011) menyebutkan penyebab kelelahan adalah faktor irama sirkadian, waktu terjaga, dan faktor terkait pekerjaan seperti yang terlihat pada Gambar II.2. Dengan beristirahat maka kelelahan dapat diatasi, terutama kelelahan yang diakibatkan oleh pekerjaan dan kekurangan tidur (May dan Baldwin, 2009).

II.4 Pengukuran Kelelahan

Kelelahan menjadi sebuah fenomena kompleks yang dapat muncul dalam berbagai bentuk dan bermacam indikator karenanya banyak alat ukur kelelahan dikembangkan dengan memperhatikan perbedaan tiap indikator tersebut. Namun pada dasarnya berbagai alat ukur kelelahan dapat diklasifikasikan menjadi 4 kategori yaitu : (Lal dan Craig, 2001)

1. pengukuran tugas primer/utama (primary task measure)

2. pengukuran tugas sekunder/tambahan (secondary task measure) 3. pengukuran melalui indikator obyektif (objective measure) 4. pengukuran melalui indikator subyektif (subjective measure)

Pada pengukuran tugas primer, kelelahan diukur melalui performansi (kinerja) pekerjaan utama. Misalnya untuk pekerjaan mengemudi, pengukuran kelelahan dilakukan dengan melihat performansi mengemudi yang dinilai dari indikator seberapa sering menyimpang dari jalur. Indikator lain yang dapat dijadikan penilaian performansi dalam mengukur kelelahan diantaranya reaksi

(17)

16

pengereman (Morris dkk., 2015), pergerakan kemudi dalam frekuensi tinggi (Boyle dkk., 2008), variasi kecepatan dan penyimpangannya (Ting dkk., 2008), kesalahan kemudi/steering error serta kesalahan keluar jalur/inappropriate line

crossing (Hallvig dkk., 2014; Davenne dkk., 2012). Penggunaan performansi

mengemudi sebagai indikator kelelahan didasari anggapan bahwa aktivitas mengemudi dipengaruhi variasi tugas yang berubah-ubah (misalnya kondisi jalan) sehingga performansi mengemudi juga akan berubah-ubah sesuai dengan beban yang dirasakan selama mengemudi (Lal dan Craig, 2001).

Pengukuran tugas sekunder dilakukan dengan mengukur kapasitas tersisa dari daya kerja mental pengemudi setelah melakukan tugas utama (Wickens, 2002). Jika kapasitas tersisa menipis maka dampak yang terlihat adalah performansi kerja sampingan yang buruk atau tingkat kewaspadaan yang menurun. Beberapa contoh alat ukur kelelahan untuk pengukuran tugas sekunder adalah Psychomotor

Vigilance Task (PVT) (Ting dkk., 2008; Loh dkk., 2004). Dengan PVT, obyek

yang diukur diminta untuk menanggapi rangsangan yang muncul di layar secepat mungkin dengan menekan tombol reaksi, untuk kemudian dicatat waktu reaksi obyek tersebut dalam menanggapi rangsangan. Bentuk pengukuran kelelahan lain yang mengukur kewaspadaan (vigilance) antara lain Mackworth Clock Test (Kaida dkk., 2007) dan Flicker (Yassierli dkk., 2015).

Pengukuran kelelahan dengan indikator obyektif dapat bersifat elektrofisiologis atau biokimia (Lal dan Craig, 2001). Pengukuran yang bersifat elektrofisiologis salah satunya berupa pengukuran yang melibatkan pemantauan sistem kardiovaskular misalnya jumlah denyut jantung atau variasi denyut jantung (heart rate variability/HRV) (Patel dkk., 2011). Selain kardiovaskular, indikator okulomotor (terkait pergerakan mata) juga termasuk pengukuran yang bersifat elektrofisiologis. Indikator okulomotor yang dipakai biasanya kecepatan kedipan mata (Bennedeto dkk., 2011) dan frekuensi kedipan mata (Mahachandra dkk., 2011). Dari penelitian Mahachandra dkk. (2011) dinyatakan bahwa frekuensi kedipan mata per menit merupakan pendeteksi perkembangan kantuk yang sensitif. Pengukuran elektrofisiologis lainnya yang sering dipakai dan sudah diakui sebagai standar adalah pengukuran dengan elektroensefalograf

(18)

17

(Electroencepalograph/EEG) yang mengukur aktivitas gelombang otak untuk mendeteksi kantuk sebagai tanda kelelahan (Lal dan Craig, 2001; Simon dkk., 2011). Pengukuran obyektif yang bersifat biokimia dilakukan dengan

cocorometer yang menggunakan air liur untuk mengukur kandungan enzim

amilase dalam bentuk nilai Salivary Amylase Activity (SAA) (Murai dkk., 2009). Pengukuran kelelahan secara subyektif merupakan cara termudah untuk mengukur beban kerja mental seseorang dimana orang yang diukur menilai sendiri secara subyektif kondisi yang dirasakannya (Lal dan Craig, 2001). Kelelahan yang diukur dengan cara subyektif didasarkan dari persepsi orang yang diukur dari dorongan yang dirasakannya untuk berhenti bekerja. Salah satu alat ukur subyektif yang sering dipakai adalah Karolinska Sleepiness Scale (KSS) yang berupa skala 1 (sangat terjaga) hingga 9 (sangat mengantuk) (Kaida dkk., 2006).

II.5 Psychomotor Vigilance Task (PVT)

Psychomotor Vigilance Test (PVT) merupakan instrumen untuk mengukur

kewaspadaan melalui pengukuran waktu reaksi subyek terhadap rangsangan visual. Dengan PVT, obyek yang diukur diminta untuk menanggapi rangsangan yang muncul di layar secepat mungkin dengan menekan tombol reaksi, untuk kemudian dicatat waktu reaksi obyek tersebut dalam menanggapi rangsangan. PVT merupakan salah satu gold standard dalam mendeteksi kelelahan (Loh dkk., 2004; Lamond dkk., 2005). Dalam mengukur kelelahan, PVT menggunakan variabel durasi waktu reaksi (reaction time) dan jumlah lapses dalam menekan stimulus yang diberikan. Waktu reaksi yang semakin besar menunjukkan kemampuan individu yang semakin lambat dalam menanggapi rangsangan dan hal ini mengindikasikan penurunan kewaspadaan akibat kelelahan.

PVT merupakan sebuah contoh alat uji kebugaran kerja (fitness-for-duty test) yang berdasarkan kemampuan otak untuk mempertahankan perhatian secara terus menerus dan merespon rangsangan secepat mungkin. Rangsangan akan dimunculkan secara acak dalam rentang 2-10 detik. Catatan waktu reaksi akan dimunculkan setiap kali subyek merespon rangsangan dalam satuan milidetik

(19)

18

(millisecond atau ms). Lama waktu pengujian dengan PVT adalah 3 menit, 5 menit dan 10 menit yang dapat dipilih sesuai kebutuhan dan batasan pengujian. Namun PVT selama 10 menit memang lebih sering digunakan (Abe dkk., 2014). Parameter PVT selain waktu reaksi adalah jumlah lapses. Jumlah lapses adalah jumlah waktu reaksi yang lebih besar dari 500 ms. Makin banyak jumlah lapses, maka semakin besar penurunan performansi kewaspadaan yang terjadi (Mathis dan Hess, 2009). Contoh alat uji PVT dapat dilihat pada Gambar II.3.

Gambar II.3 Contoh Alat Uji PVT

Sumber: https://www.artisantg.com/Scientific/69923-1/AMI_PVT_192_Psychomotor_Vigilance_Task_Monitor

II.6 Uji Flicker

Uji flicker merupakan salah satu alat untuk mendeteksi kelelahan berbasis indikator Critical Flicker Fusion Frequency (CFFF). Uji ini menggunakan lampu yang berkedip dengan frekuensi kedipan tertentu dan makin lama akan semakin meningkat frekuensinya hingga kedipan lampu terlihat seperti lampu yang terus menyala. Frekuensi kedipan lampu itulah yang disebut dengan Critical Flicker

Fusion Frequency (CFFF) dengan satuan Hertz (Hz). Konsep uji flicker

didasarkan pada anggapan bahwa kelelahan dapat menimbulkan penurunan kewaspadaan dan perhatian. Penurunan ini disebabkan oleh adanya reaksi dari sistem penghambat yang menurunkan kondisi sistem penggerak di bagian

(20)

19

oleh bagian sistem penggerak di cerebral cortex dan digunakan untuk mengukur aktivitas saraf pusat atau respon sistem saraf (cortical arousal) (Kroemer dan Grandjean, 2000).

Ketika kemampuan mata dalam membedakan kedipan mulai menurun, maka pada saat itu terindikasi adanya penurunan kinerja sistem saraf pusat akibat kelelahan (Saito, 1999). Individu yang memiliki nilai CFFF lebih rendah dinyatakan mengalami kelelahan (Kulinski dkk., 2014) yang ditandai dengan penurunan kewaspadaan. Penurunan nilai CFFF sebesar 0,5-6,0 Hz menandakan munculnya kelelahan mental. Nilai ini juga dapat dipengaruhi oleh kondisi pekerjaan yang berulang dan monoton. Sebaliknya penurunan kecil atau tidak adanya penurunan nilai CFFF menandakan kondisi usaha mental yang rendah (tidak ada kelelahan) (Kroemer dan Grandjean, 2000). Contoh alat uji flicker dapat dilihat pada Gambar II.4.

Gambar II.4 Contoh Alat Uji Flicker

Sumber: http://lamptester.com/e_productshow/?37-Portable-Flicker-test-device-37.html

II.7 State of The Art Penelitian

Pengujian kebugaran kerja (fitness-for-duty test) dilakukan untuk menentukan apakah seseorang bugar (fit) atau tidak bugar (unfit) sebelum memulai pekerjaannya. Kebugaran kerja terkait dengan kondisi fisik dan mental seseorang

(21)

20

yang membuatnya mampu bekerja tanpa membahayakan keselamatan dan kesehatan dirinya sendiri, rekan kerjanya, properti kerja atau masyarakat umum (Kohanna, 2013). Pengujian kebugaran kerja ditujukan untuk memastikan seluruh pekerja bugar untuk bekerja secara efektif dan tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain (Palmer dan Brown, 2013). Cara terbaik untuk menguji kebugaran mental adalah dengan pengujian tingkat kewaspadaan (De Valck dkk., 2015). Penurunan tingkat kewaspadaan akan berakibat pada menurunnya kecepatan reaksi (Mathis dan Hess, 2009) sehingga dapat menyebabkan kesalahan (error) yang berujung pada kecelakaan. Kecepatan reaksi terkait dengan performansi psikomotorik yang mengacu pada koordinasi antara respon fisik dan mental. Performansi psikomotorik ini sangat dibutuhkan dalam mengemudi dan sangat dipengaruhi oleh kelelahan (Williamson dkk., 2011). Dua alat yang mampu mengukur kemampuan psikomotorik adalah Psychomotor Vigilance Task (PVT) dan Flicker Test.

PVT dianggap sebagai gold standard dalam mengukur performansi psikomotorik serta dinyatakan sensitif terhadap perubahan kondisi akibat kekurangan tidur dan gangguan irama sirkadian (Van Dongen dkk., 2003). Selain PVT, Flicker Test juga dianggap mampu mengevaluasi performansi psikomotorik yang terkait dengan kewaspadaan. Flicker test menggunakan kedipan lampu pada frekuensi tertentu yang makin lama akan makin meningkat frekuensinya sehingga terlihat seperti lampu yang menyala secara kontinu (Kroemer dan Grandjean, 2000).

Kedua alat uji kewaspadaan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Keduanya memang dianggap mampu mendeteksi kelelahan yang ditunjukkan dari penurunan kewaspadaan. Namun belum ada penelitian yang membandingkan bagaimana performansi sesungguhnya dari kedua alat tersebut pada kasus yang sama. Selain itu belum ada acuan (nilai standar) dari parameter-parameter alat uji tersebut yang dapat dijadikan dasar untuk mengevaluasi tingkat kewaspadaan seseorang. Berdasarkan hal tersebut maka pada penelitian ini akan dilakukan studi perbandingan kedua alat uji tersebut secara teoritis dan empiris. Perbandingan secara teoritis akan dilakukan melalui studi literatur sedangkan perbandingan

(22)

21

secara empiris akan dilakukan melalui pengambilan data di laboratorium. Perbandingan juga akan dilakukan pada semua parameter kedua alat uji tersebut. Selain itu akan dihasilkan juga nilai acuan yang dapat dijadikan dasar untuk mengevaluasi tingkat kewaspadaan seseorang berdasarkan hasil uji dengan kedua alat uji tersebut.

II.8 Peta Jalan (Road Map) Penelitian

Peta jalan (road map) terkait penelitian ini (kelelahan) dapat dilihat pada Tabel II.1 berikut ini.

Tabel II.1 Peta Jalan (Road Map) Penelitian Terkait Kelelahan

No. Penulis Judul Tahun Hasil Luaran

1 Daniel Siswanto, Romy Loice, Kevin Chandra The Perancangan Alat Deteksi Kantuk dan

Analisis Tingkat Kantuk Pengemudi

Bus Malam X

2014

Alat deteksi kantuk berbasis pengujian kecepatan reaksi untuk menentukan apakah pengemudi bus layak mengemudi atau tidak. Laporan LPPM UNPAR No. III/LPPM/2014-03/07-P 2 Thedy Yogasara, Daniel Siswanto, Hanky Fransiscus, Catharina Pengaruh Jenis Musik dan Aromaterapi Terhadap Kemampuan Kognitif Mahasiswa Untuk Tiap Tipe Kepribadian 2014 Berdasarkan studi eksperimen laboratorium, kombinasi jenis musik dan aromaterapi berpengaruh terhadap kemampuan kognitif mahasiswa yang memiliki IPK < 2,75. Penelitian

ini menunjukkan bahwa musik dan aromaterapi dapat dijadikan salah satu

cara untuk mengintervensi kerja kognitif yang

dibutuhkan dalam mengemudi. Laporan LPPM UNPAR No. III/LPPM/2014-03/08-P lanjut

(23)

22

Tabel II.1 Peta Jalan (Road Map) Penelitian Terkait Kelelahan (lanjutan)

No. Penulis Judul Tahun Hasil Luaran

3 Daniel Siswanto, Ceicalia Tesavrita Evaluasi Kelelahan dan Tingkat Stres Pengemudi Travel dan Masinis Kereta Api Berdasarkan Pengukuran Tingkat Kantuk dan Denyut Jantung 2015 Pengukuran kualitas tidur dengan PSQI dan tingkat kantuk

dengan KSS menunjukkan bahwa pengemudi dan masinis mengalami kelelahan (kantuk)

yang cukup tinggi selama mengemudi. Penelitian ini hanya menggunakan alat ukur subyektif (PSQI dan KSS) untuk mengukur perubahan tingkat kewaspadaan yang ditandai dengan munculnya kantuk. Pengukuran secara obyektif dilakukan dengan pengukuran denyut jantung namun hasilnya tidak menunjukkan kelelahan secara fisik. Laporan LPPM UNPAR No: III/LPPM/2015-02/17-P 4 Daniel Siswanto, Victoria Lestari, Hardianto Iridiastadi Evaluation of Machinist’s Fatigue at PT. Kereta Api Persero DAOP II Bandung 2016

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masinis DAOP II Bandung untuk rute Bandung-Jakarta-Bandung mengalami kelelahan mental yang tinggi yang ditunjukkan dari tingkat kantuk yang

tinggi (KSS) dan kualitas tidur yang buruk. Penelitian ini

masih menggunakan alat ukur subyektif dalam menilai tingkat kewaspadaan melalui kantuk. Prosiding Seminar Internasional SEANES 2016 (Selected paper untuk Jurnal Internasional IJTech)

(24)

23

BAB III

METODE PENELITIAN

Beberapa penelitian terkait kelelahan sudah dilakukan. Hasil penelitian yang sudah dilakukan dapat dilihat pada Tabel II.1 dan digambarkan pada Gambar III.1. Rencana penelitian di masa yang akan datang juga dapat dilihat pada Gambar III.1. Tahapan penelitian yang akan dilakukan dapat dilihat pada Gambar III.2. MITIGASI KELELAHAN UNTUK MEMINIMASI RISIKO KECELAKAAN KERJA Evaluasi pekerjaan

yang berisiko akibat kelelahan

Evaluasi kelelahan pada pengemudi bus malam

Evaluasi kelelahan pada pengemudi travel

Evaluasi kelelahan pada masinis

Evaluasi kelelahan pada pekerjaan lain yang berisiko tinggi (misal:

pekerja shift malam) Usaha Intervensi Saat

Bekerja untuk Mengatasi Kelelahan

Penggunaan musik dan aromaterapi

Variasi jenis musik dan tempo musik yang dapat mempengaruhi kelelahan

Penentuan suhu ruangan yang mempengaruhi kelelahan (kantuk) Penentuan saat dan durasi istirahat Metodologi Pengujian Kebugaran Kerja (Fitness-for-duty) Uji Kebugaran Kerja

Berbasis Tingkat Kewaspadaan

Perancangan alat deteksi kantuk berbasis uji

kecepatan reaksi

Studi perbandingan alat ukur tingkat kewaspadaan

Uji kebugaran kerja berbasis kemampuan

memori

Penentuan baseline untuk PVT Penentuan baseline untuk Flicker

Uji kebugaran kerja dengan

tracking task

PENELITIAN INI

Uji kebugaran kerja berbasis persepsi kelelahan secara subyektif

Uji kebugaran kerja berbasis tingkat stres

Gambar III.1 Diagram Tulang Ikan (Fishbone Diagram) Terkait Penelitian tentang Kelelahan

(25)

24

Studi Literatur : Kelelahan,

Fitness-for duty, Kewaspadaan,

Kantuk, PVT, Flicker Test Penentuan Topik Penelitian

Studi literatur : Perbandingan PVT dan Uji Flicker secara

teoritis

Penentuan Tujuan Penelitian

Perancangan Pengumpulan Data

Pengumpulan Data

Pengolahan Data

Penentuan Acuan untuk PVT dan Flicker

Analisis Perbandingan PVT dan Uji Flicker secara empiris

Penarikan Kesimpulan dan Saran

S T U D I I : S tu d i p e rb a n d in g an P V T d an U ji F li c k e r se c ara te o ri ti s (l it e ra tu r) S T U D I II : S tu d i p erb an d in g an P V T d an U ji F li c k er se c ara e m p ir is

(26)

25

Tahapan penelitian pada Gambar III.2 dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Penentuan Topik Penelitian

Tahap awal penelitian ini adalah menentukan topik penelitian yaitu tentang manajemen kelelahan secara umum dan pengujian kebugaran kerja secara khusus. Lebih detilnya, topik penelitian ini akan mengkaji 2 teknologi alat ukur kebugaran kerja yaitu PVT dan Flicker yang selama ini sering digunakan dalam penelitian tentang kelelahan.

2. Studi Literatur (1)

Studi literatur yang pertama ini dilakukan untuk mempelajari lebih dahulu konsep kelelahan, kebugaran kerja (fitness-for-duty), PVT, Flicker, dll dengan tujuan untuk membangun sebuah state-of-the-art bagi penelitian ini.

3. Penentuan Tujuan Penelitian

Setelah state-of-the-art penelitian ini dibangun, selanjutnya ditentukan tujuan penelitian. Tujuan pertama penelitian ini adalah menghasilkan analisis perbandingan antara PVT dan Flicker Test secara teoritis (studi literatur) dan empiris (eksperimen laboratorium) agar dihasilkan rekomendasi alat mana yang lebih baik dipakai untuk menguji tingkat kewaspadaan. Tujuan kedua adalah menghasilkan analisis perbandingan parameter-parameter hasil uji kedua alat tersebut sehingga dapat direkomendasikan manakah parameter yang lebih sensitif dalam mengukur perubahan tingkat kewaspadaan. Dan tujuan terakhir dari penelitian ini adalah menghasilkan nilai baseline dari parameter-parameter kedua alat uji tersebut yang dapat dijadikan acuan untuk mengevaluasi tingkat kewaspadaan seseorang sebelum memulai pekerjaannnya (fitness-for-duty test).

4. Studi Literatur (2)

Studi literatur yang kedua ini bertujuan untuk menganalisis PVT dan Uji

(27)

26

Dari studi literatur ini diharapkan diperoleh perbandingan kedua alat tersebut secara teoritis yang nantinya akan diuji secara empiris melalui eksperimen.

5. Perancangan Pengumpulan Data

Perancangan pengumpulan data dilakukan sebagai langkah awal untuk melakukan perbandingan PVT dan Uji Flicker secara empiris serta menghasilkan nilai acuan bagi parameter kedua alat tersebut. Variabel bebas yang terlibat adalah durasi tidur, BMI, temperatur tubuh, dan kualitas tidur. Variabel tidak bebasnya adalah hasil pengukuran dengan PVT, Flicker dan EEG. Hasil pengukuran dengan PVT berupa waktu (kecepatan) reaksi dan

number of lapses. Hasil pengukuran dengan Flicker berupa nilai Critical Flicker Fusion Frequency (CFFF). Hasil pengukuran dengan EEG berupa nilai (power) gelombang α, β, dan θ. Penentuan jumlah partisipan (replikasi) akan dilakukan berdasarkan power of statistic minimal 60%.

6. Pengumpulan Data

Tahap selanjutnya adalah melakukan pengumpulan data yang dimulai dengan melakukan pilot study terlebih dahulu. Pilot study dilakukan untuk menghilangkan efek belajar partisipan dalam penggunaan PVT dan Flicker serta menganalisis permasalahan apa saja yang dapat muncul selama eksperimen. Jika diperlukan, akan dilakukan perbaikan terhadap rencana pengumpulan data sehingga pada pelaksanaannya tidak akan terjadi masalah. Pengumpulan data akan dilakukan di Laboratorium Analisis Perancangan Kerja & Ergonomi, Jurusan Teknik Industri, UNPAR. Alat PVT dan Flicker akan diadakan dari dana penelitian ini, baik dengan membeli atau membuatnya sendiri. Alat-alat ini nantinya akan menjadi milik Laboratorium Analisis Perancangan Kerja & Ergonomi, Jurusan Teknik Industri, UNPAR.

(28)

27 7. Pengolahan Data

Hasil pengumpulan data akan diolah dengan beberapa pengujian statistik seperti uji F, uji t, uji korelasi, dan lain-lain untuk melihat pengaruh dan hubungan variabel-variabel bebas terhadap variabel tidak bebasnya.

8. Analisis Perbandingan PVT dan Uji Flicker secara Empiris

Hasil pengolahan data akan dianalisis untuk mengkaji perbandingan kedua alat tersebut secara empiris. Analisis ini juga akan dibandingkan dengan hasil analisis secara teoritis yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya.

9. Penentuan Acuan untuk Parameter PVT dan Flicker

Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisis (teoritis dan empiris) tersebut maka selanjutnya akan ditentukan nilai acuan untuk parameter-parameter pengukuran kedua alat yang digunakan pada penelitian ini. Acuan ini diharapkan dapat menjadi dasar penilaian kebugaran kerja seseorang berdasarkan tingkat kewaspadaannya sebelum bekerja dari pengukuran kecepatan reaksinya.

10. Penarikan Kesimpulan dan Saran

Tahap terkahir adalah menarik kesimpulan dan saran berdasarkan hasil penelitian ini.

(29)

28

BAB IV

JADWAL PELAKSANAAN

Periode penelitian akan dilakukan dari Februari 2017 sampai dengan November 2017. Jadwal penelitian dapat dilihat pada Tabel IV-1.

Tabel IV-1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Studi Perbandingan PVT dan Uji Flicker No Aktivitas

1 Studi Literatur Perbandingan PVT dan Flicker secara teoritis

2 Perancangan Eksperimen 3 Pelaksanaan Eksperimen 4 Pengolahan Data Hasil Eksperimen 5

Analisis Perbandingan PVT dan Flicker Berdasarkan Hasil Ekeperimen 6 Penentuan Baseline 8 Pembuatan Laporan Penelitian

September November Agustus

(30)

29

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

V.1 Perbandingan PVT dan Flicker Berdasarkan Studi Literatur

Psychomotor Vigilance Test (PVT) merupakan instrumen untuk mengukur

kewaspadaan atau perhatian terus menerus (sustained attention) dan merupakan salah satu gold standard dalam uji kebugaran bertugas (Dinges dan Powell, 1985; Loh dkk., 2004; Lamond dkk., 2005). Instrumen berbasis komputer ini menghitung waktu respon subyek terhadap stimuli visual dengan cara menekan tombol manual, mouse atau menyentuh layar. Durasi uji PVT bisa selama 5 menit (Lamond dkk., 2005; Petrilli dkk., 2005; Thorne dkk., 2005; Ferguson dkk., 2011) atau 10 menit (Dinges dan Powell, 1985; Dinges dkk., 1997; Van Dongen dkk., 2003; Balkin dkk., 2004; Dorrian dkk., 2004; Pilcher dkk., 2007; Dorrian dkk., 2008). Namun hasil penelitian Loh dkk. (2004) dan Lamond dkk. (2005) menunjukkan validitas yang sama diantara keduanya waktu pengujian tersebut. PVT dikatakan mampu mendeteksi penurunan performansi akibat faktor tidur, keterjagaan dan irama sirkadian (time of day) secara konsisten dan andal (Dawson dkk., 2014).

Pada pengujian tingkat kewaspadaan dengan PVT, partisipan diminta untuk menanggapi rangsangan yang muncul di layar secepat mungkin dengan menekan tombol reaksi (atau mouse). Rangsangan akan dimunculkan secara acak dalam rentang 2-10 detik. Catatan waktu reaksi (reaction time atau RT) akan dimunculkan setiap kali partisipan merespon rangsangan dalam satuan milidetik (millisecond atau ms). Parameter performansi PVT selain waktu reaksi adalah jumlah lapses (number of lapses). Jumlah lapses adalah jumlah waktu reaksi yang lebih besar dari 500 ms. Makin banyak jumlah lapses, maka semakin besar penurunan performansi kewaspadaan yang terjadi (Mathis dan Hess, 2009). Parameter lain yang dihasilkan dari pengujian PVT adalah 1/reaction time (1/RT),

slowest 10% 1/RT dan fastest 10% 1/RT.

Meskipun PVT telah banyak digunakan pada berbagai pengujian kewaspadaan terkait kelelahan, namun alat ini masih memiliki beberapa

(31)

30

kekurangan. Pertama, PVT tidak dapat dijadikan satu-satunya alat uji karena output PVT dipengaruhi oleh perbedaan individu (Baulk dkk., 2008) dan motivasi individu (Loh dkk., 2004). Kedua, alat ini juga memiliki average delay yang mempengaruhi kecepatan reaksi yang dihasilkan (Khitrov dkk., 2013). Ketiga, masih belum ada nilai cut-off untuk menyatakan kondisi lelah individu berdasarkan output PVT sehingga kurang bisa dipakai untuk pengemudi komersil (Dawson dkk., 2014). Namun demikian alat ini juga memiliki kelebihan. Pertama, hanya diperlukan 1-3 kali percobaan untuk membuat partisipan terbiasa menggunakan PVT (Dinges, 1995). Kedua, alat ini terbukti sensitif dalam mendeteksi kelelahan berdasarkan hasil penelitian Roach dkk. (2006).

Flicker Apparatus Test (selanjutnya disebut Flicker) merupakan salah satu

metode pengukuran kelelahan berdasarkan kondisi mata dengan parameter

Critical Flicker Fusion Frequency (CFFF) dengan satuan Hertz (Hz) (Saito, 1999;

Maeda dkk., 2011). CFFF merupakan frekuensi dimana manusia tidak dapat lagi membedakan apakah sumber cahaya berkedip atau tidak (Saito, 1999; Bernard dkk., 2007). Flicker menggunakan lampu (atau beberapa lampu) yang berkedip pada frekuensi tertentu yang makin lama akan makin meningkat frekuensinya sehingga terlihat seperti lampu yang menyala secara kontinu. Setiap terjadi kedipan (stimulus), partisipan diminta untuk bereaksi dengan menekan tombol. Nilai CFFF digunakan untuk mengukur efisiensi fungsi sistem saraf pusat berdasarkan respon terhadap kedipan lampu yang ditangkap oleh bagian sistem penggerak di cerebral cortex (Kroemer dan Grandjean, 2000). Ketika kemampuan mata dalam membedakan kedipan mulai menurun, maka pada saat itu terindikasi adanya penurunan kinerja sistem saraf pusat akibat kelelahan (Saito, 1999). Individu yang memiliki nilai CFFF lebih rendah dinyatakan mengalami kelelahan yang ditandai dengan penurunan kewaspadaan (Kulinski dkk., 2014).

Sama halnya dengan PVT, meskipun Flicker telah banyak digunakan pada berbagai penelitian terkait kelelahan, namun alat ini masih memiliki beberapa kelemahan. Pertama, nilai CFFF sangat dipengaruhi oleh jarak lampu dan mata serta sudut yang terbentuk antara lampu dan mata (Hosokawa dkk., 1997). Kedua, masih belum ada nilai cut-off untuk menyatakan kondisi lelah individu dan tidak

(32)

31

dipengaruhi oleh faktor yang dapat mempengaruhi kelelahan seperti rokok, kopi, dan lain-lain. Penentuan nilai cut-off ini pernah dilakukan oleh Nugraha (2012), namun dinyatakan masih dipengaruhi oleh kondisi individu yang perokok dan minum kopi (studi kasus pada pengemudi bus). Namun demikian, indikator CFFF cukup sensitif dalam mendeteksi kelelahan dan mampu menunjukkan penurunan kemampuan individu untuk memproses informasi setelah beraktivitas (Murata dkk., 1996; Lafere dkk., 2010). Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian Sang dan Li (2012) pada pengemudi bus di Beijing.

V.2 Perbandingan Parameter PVT dan Flicker

Sebelum dilakukan eksperimen dan pengambilan data dengan PVT dan

Flicker, terlebih dahulu dilakukan pengujian keandalan kedua alat tersebut.

Pengujian keandalan dilakukan dengan metode Intraclass Correlation

Coefficients (ICC) dengan model Two-way random effects, absolute agreement, single rater/measurement atau ICC (2,1). Metode ICC dipilih karena bukan hanya

mampu menunjukkan korelasi antar pengukuran namun juga mampu menunjukkan kesepakatan (agreement) dan ini menunjukkan ukuran keandalan yang lebih baik (Koo dan Li, 2016). Partisipan yang dilibatkan berjumlah 8 orang dan pengambilan data dilakukan dalam 4 hari yang berbeda (rater). Rancangan pengukuran keandalan dengan ICC (2,1) dapat dilihat pada Tabel V.1.

Tabel V.1 Rancangan Pengukuran Keandalan dengan ICC (2,1)

No Partisipan Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Rata-rata 1

2 3

… … … …

8

Parameter PVT yang akan diuji adalah 1/RT dan jumlah lapses (number of

lapses) yang menunjukkan jumlah kejadian waktu reaksi (RT) yang lebih besar

(33)

32

(Hz). Berdasarkan penelitian Koo dan Li (2016), nilai ICC kurang dari 0,5 menunjukkan keandalan yang buruk, nilai 0,5-0,75 menunjukkan keandalan cukup, nilai 0,75-0,9 menunjukkan keandalan yang baik dan nilai lebih besar dari 0,9 menunjukkan keandalan yang sangat baik.

Hasil pengumpulan dan pengolahan data untuk uji keandalan menunjukkan nilai ICC = 0,767 untuk parameter 1/RT dan ICC = 0,219 untuk parameter jumlah

lapses. Hal ini menunjukkan parameter 1/RT lebih dapat diandalkan (memiliki

keandalan pada kategori baik) untuk mengukur kewaspadaan yang dinyatakan dalam ukuran kecepatan reaksi. Untuk parameter CFFF didapatkan nilai ICC = 0,598 dan dikategorikan cukup andal. Namun demikian, jika dibandingkan dengan parameter 1/RT, parameter CFFF memiliki keandalan yang lebih buruk. Dari hasil ini dapat disimpulkan (sementara) bahwa PVT lebih dapat diandalkan daripada

Flicker. Hasil perhitungan ICC untuk masing-masing parameter dapat dilihat pada

Tabel V.2 sampai Tabel V.4.

Tabel V.2 Hasil Pengujian ICC (2,1) untuk Parameter 1/RT

Intraclass Correlationb

95% Confidence

Interval

F Test with True Value 0 Lower

Bound

Upper

Bound Value df1 df2 Sig

Single

Measures ,767

a ,494 ,939 13,775 7 21 ,000

Average

Measures ,930 ,796 ,984 13,775 7 21 ,000

Tabel V.3 Hasil Pengujian ICC (2,1) untuk Parameter Number of lapses

Intraclass Correlationb

95% Confidence

Interval

F Test with True Value 0 Lower

Bound

Upper

Bound Value df1 df2 Sig

Single

Measures ,219

a -,101 ,690 1,995 7 21 ,104

Average

(34)

33

Tabel V.4 Hasil Pengujian ICC untuk Parameter CFFF

Intraclass Correlationb

95% Confidence

Interval

F Test with True Value 0 Lower

Bound

Upper

Bound Value df1 df2 Sig

Single Measures ,598 a 0,291 0,857 6,951 9 27 ,000 Average Measures ,856 c 0,622 0,96 6,951 9 27 ,000

Sebelum dilakukan pengambilan data lebih lanjut, variabel-variabel yang akan terlibat didefinisikan terlebih dahulu. Definisi operasional variabel-variabel tersebut dapat dilihat pada Tabel V.5.

Tabel V.5 Definisi Operasional Variabel Penelitian Jenis

Variabel Nama Variabel Definisi

Variabel terikat / tidak

bebas (dependent

variables)

1/RT 1 dibagi dengan rata-rata waktu reaksi (mili detik) untuk merespon suatu rangsangan Number of

Lapses

Jumlah waktu reaksi seseorang yang melebihi atu sama dengan 500 ms.

Rasio Tingkat Kantuk

Perbandingan power alfa, theta dan beta yang dihitung dari (α+θ)/β Variabel bebas (independent variables) Durasi Tidur

Lamanya tidur partisipan pada malam sebelum pengambilan data dilakukan tanpa memperhatikan

kapan waktu mulai tidur dan terjaga.

Kualitas Tidur

Ukuran baik atau buruknya saat tidur yang diukur dengan efisiensi tidur. Efisiensi tidur diukur dengan

(total sleep time) / (total minutes in bed). Jika nilai efisensi tidur di atas 85% maka dikategorikan baik

dan juga sebaliknya (Zambotti dkk., 2016). BMI

Nilai perbandingan berat dan tinggi seseorang. Dari BMI dapat diketahui kondisi tubuh seseorang yang ideal, diatas rata (overweight), dan dibawah

rata-rata (underweight) Temperatur

Tubuh

Temperatur tubuh manusia normal dengan rentang 35,6ºC-37,2ºC. Pengukuran dengan termometer di

ketiak partisipan.

(35)

34

Tabel V.5 Definisi Operasional Variabel Penelitian (lanjutan) Jenis

Variabel Nama Variabel Definisi

Variabel kontrol (control variables)

Jenis Kelamin Sudah jelas. Pengambilan data hanya melibatkan partisipan pria.

Usia Sudah jelas. Pengambilan data hanya terbatas pada partisipan yang berusia antara 18-25 tahun. Waktu

Pengambilan Data

Saat pengambilan data partisipan yang dilakukan pada pagi hari pukul 08.00-10.00 WIB. Kondisi

Pengambilan Data

Lingkungan fisik laboratorium saat pengambilan data yang diatur pada suhu 18-28ºC, intensitas cahaya minimum 100 lux, dan tingkat kebisingan maksimum

85 dBA (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2002)

Makanan dan Minuman

Sudah jelas. Partisipan diharuskan untuk tidak mengkonsumsi kafein lebih dari 350 mg / hari dan

tidak mengkonsumsi alkohol lebih dari 6 gelas / minggu (Lamond dkk., 2002)

Variabel pembaur (confounding

variables)

Motivasi Alasan yang mendasari perbuatan suatu individu Kemampuan

Partisipan

Kapasitas seorang individu untuk melalukan suatu pekerjaan atau aktivitas

Aktivitas Partisipan

Kegiatan yang dilakukan partisipan sebelum pengambilan data (setelah partisipan terjaga)

Untuk setiap partisipan akan diambil data tinggi tubuh, berat tubuh, temperatur tubuh, durasi tidur, kualitas tidur, nilai 1/RT dan number of lapses (PVT), nilai CFFF (Flicker) serta data gelombang otak (EEG). Pengambilan data dilakukan pada 32 orang partisipan pria dengan rentang usia 18-25 tahun. Gambar V.1 menunjukkan proses pengambilan data yang dilakukan untuk seorang partisipan dengan PVT.

(36)

35

Tiap partisipan melakukan pengujian PVT selama 5 menit atau Flicker selama 1 menit bersamaan dengan penggunaan EEG. Gelombang otak dari EEG direkam dengan menggunakan komputer yang ada di depan partisipan. Power gelombang otak dari EEG diperoleh dengan pengolahan menggunakan software MATLAB R2009a, kemudian dimanipulasi menjadi rasio tingkat kantuk. Pada Tabel V.6 dapat dilihat contoh perhitungan rasio tingkat kantuk salah satu partisipan untuk bagian otak frontal dengan persamaan (α+θ)/β.

Tabel V.6 Contoh Perhtiungan Rasio Tingkat Kantuk untuk Pengujian PVT

Partisipan #

α

β

θ

Rasio Tingkat Kantuk

14 14,351 38,685 34,052 1,251 1,216 14,799 35,396 28,888 1,234 21,598 41,276 42,846 1,561 14,399 43,027 35,936 1,170 14,881 47,574 38,507 1,122 17,953 53,563 47,597 1,224 24,596 70,185 57,165 1,165 13,482 39,404 36,648 1,272 17,162 55,725 42,907 1,078 14,384 47,303 36,884 1,084

Pada pengujian PVT selama 5 menit, pengambilan nilai α, θ, dan β dilakukan setiap 30 detik sehingga akan terdapat 10 data untuk tiap partisipan. Untuk pengujian Flicker selama 1 menit, pengambilan data EEG dilakukan setiap 6 detik sehingga untuk tiap partisipan juga terdapat 10 data. Berikut adalah contoh perhitungan rasio tingkat kantuk pada 30 detik pertama dari data di Tabel V.6.

(14,351+34,052)

38,685

⁄ =1,251

Rasio tingkat kantuk rata-rata partisipan selama 5 menit diperoleh dari perhitungan rata-rata rasio tingkat kantuk tiap 30 detik. Berikut adalah contoh perhitungannya.

(1,251 + 1,234 + ⋯ + 1,084) 10

(37)

36

Rekapitulasi data EEG untuk tiap partisipan pada tiap bagian otak untuk pengujian PVT dan Flicker dapat dilihat pada Tabel V.7 dan Tabel V.8.

Tabel V.7 Rekapitulasi Rasio Tingkat Kantuk Partisipan pada Pengujian PVT

Partisipan # Bagian Otak

Frontal Occipital Parietal Temporal

14 1,216 1,081 1,265 1,053 22 1,188 1,359 1,256 1,334 18 1,369 1,304 1,311 1,357 16 1,190 1,302 1,211 1,225 19 1,225 1,279 1,291 1,329 1 1,664 1,345 1,314 1,156 11 1,330 1,346 1,305 1,158 31 1,299 1,299 1,292 1,334 9 1,330 1,570 1,407 1,222 23 1,131 1,612 1,294 2,584 26 1,220 1,310 1,366 1,290 17 1,229 1,509 1,411 1,200 5 1,320 1,354 1,232 1,214 30 1,174 1,189 1,236 1,151 10 1,063 1,262 1,218 1,102 15 1,179 1,368 1,453 1,124 8 1,282 1,341 1,350 1,267 6 1,166 1,241 1,248 1,288 32 1,150 1,223 1,233 1,234 21 1,122 1,253 1,192 1,129 3 1,304 1,306 1,393 1,368 2 1,205 1,333 1,218 1,303 27 1,276 1,376 1,396 1,195 29 1,109 1,230 1,185 1,189 24 1,306 1,269 1,287 1,299 20 1,320 1,268 1,416 1,423 25 1,127 1,209 1,253 1,135 28 1,180 1,384 1,204 1,198 7 1,208 1,312 1,294 1,236 13 1,150 1,244 1,747 1,260 4 1,459 1,309 1,343 1,202 12 1,179 1,233 1,200 1,178

Untuk semua variabel bebas akan diuji pengaruh dan korelasinya terhadap variabel tidak bebas (1/RT, number of lapses dan CFFF). Selanjutnya akan dicari juga korelasi antara 1/RT, number of lapses dan CFFF terhadap hasil rasio tingkat kantuk untuk menentukan parameter mana yang benar-benar mampu

(38)

37

menggambarkan kondisi kantuk partisipan. Sebelum dilakukan pengujian pengaruh dan korelasi, dilakukan pengujian distribusi normal untuk melihat pola data dari setiap variabel tersebut. Uji normalitas data dilakukan dengan bantuan

software MINITAB 17.

Tabel V.8 Rekapitulasi Rasio Tingkat Kantuk Partisipan pada Pengujian Flicker

Partisipan # Bagian Otak

Frontal Occipital Parietal Temporal

14 1,376 1,265 1,130 1,064 22 1,244 1,237 1,256 1,286 18 1,235 1,327 1,401 1,241 16 1,182 1,333 1,217 1,199 19 1,173 1,331 1,417 1,257 1 1,209 1,109 1,335 1,147 11 1,331 1,391 1,298 1,375 31 1,203 1,021 1,245 1,149 9 1,099 1,102 1,121 1,102 23 1,163 1,325 1,274 1,330 26 1,065 1,270 1,359 1,221 17 1,270 1,214 1,111 1,094 5 1,279 1,272 1,307 1,677 30 1,256 1,230 1,328 1,204 10 1,389 1,327 1,425 1,506 15 1,134 1,045 1,162 1,253 8 1,422 1,328 1,518 1,412 6 1,167 1,354 1,224 1,345 21 1,389 1,376 1,290 1,171 3 1,259 1,246 1,315 1,252 2 1,241 1,309 1,261 1,248 27 1,132 1,185 1,138 1,217 29 1,086 1,269 1,360 1,151 24 1,240 1,495 1,318 1,269 20 1,239 1,280 1,284 1,107 25 1,172 1,598 1,145 1,224 28 1,279 1,255 1,160 1,171 7 1,168 1,369 1,357 1,476 13 1,269 1,299 1,312 1,086 4 1,027 1,111 1,214 1,080 12 1,355 1,283 1,233 1,342

Catatan: Hanya ada 31 partisipan yang menyelesaikan pengujian dengan Flicker

Hasil pengujian kenormalan menunjukkan bahwa variabel BMI, temperatur tubuh, durasi tidur, kualitas tidur (efisiensi tidur), 1/RT, number of lapses dan

(39)

38

CFFF berdistribusi normal. Variabel rasio tingkat kantuk pada keempat bagian otak saat pengujian PVT tidak berdistribusi normal namun variabel rasio tingkat kantuk pada keempat bagian otak saat pengujian Flicker berdistribusi normal. Uji korelasi untuk variabel yang berdistribusi normal akan menggunakan Pearson

Product Moment Correlation sedangkan untuk variabel yang tidak berdistribusi

normal akan menggunakan Rank Spearman Correlation.

Selanjutnya dilakukan pengujian pengaruh variabel bebas (BMI, temperatur tubuh, durasi tidur, dan kualitas tidur) terhadap variabel tidak bebas (1/RT,

number of lapses dan CFFF) menggunakan uji F dan uji t. Uji F digunakan untuk

melihat pengaruh variabel bebas secara bersama-sama (simultan) terhadap variabel tidak bebas, sedangkan uji t digunakan untuk melihat pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap variabel tidak bebas. Hasil uji F menunjukkan bahwa BMI, temperatur tubuh, durasi tidur, dan kualitas tidur (efisiensi tidur) berpengaruh secara simultan terhadap 1/RT, number of lapses dan CFFF. Namun dari hasil uji t, hanya variabel durasi tidur yang berpengaruh terhadap 1/RT,

number of lapses dan CFFF.

Berikutnya dilakukan uji korelasi untuk menilai hubungan antara variabel bebas dan variabel tidak bebas. Uji korelasi untuk variabel yang berdistribusi normal akan menggunakan Pearson Product Moment Correlation sedangkan untuk variabel yang tidak berdistribusi normal akan menggunakan Rank

Spearman Correlation. Hasil uji korelasi dapat dilihat pada Tabel V.9 sampai

Tabel V.11. Kategori hasil korelasi berdasarkan Tabel V.12 (Sarwono, 2006). Tabel V.9 Hasil Uji Korelasi Variabel Bebas dan 1/RT

Variabel Nilai Korelasi Kategori Arah

BMI 0,348 Cukup Positif

Temperatur Tubuh -0,110 Lemah Negatif

Durasi Tidur 0,622 Kuat Positif

Kualitas Tidur (Efisiensi Tidur) -0,344 Rendah Negatif Rasio

Tingkat Kantuk

Frontal -0,363 Cukup Negatif

Occipital -0,080 Lemah Negatif Parietal -0,135 Lemah Negatif

(40)

39

Tabel V.10 Hasil Uji Korelasi Variabel Bebas dan Number of lapses Variabel Nilai Korelasi Kategori Arah

BMI -0,278 Lemah Negatif

Temperatur Tubuh 0,202 Lemah Positif

Durasi Tidur -0,483 Cukup Negatif

Kualitas Tidur (Efisiensi Tidur) 0,193 Lemah Positif

Rasio Tingkat Kantuk

Frontal 0,360 Cukup Positif

Occipital -0,013 Lemah Negatif Parietal 0,191 Lemah Positif Temporal 0,100 Lemah Positif

Tabel V.11 Hasil Uji Korelasi Variabel Bebas dan CFFF Variabel Nilai Korelasi Kategori Arah

BMI -0,103 Lemah Negatif

Temperatur Tubuh 0,097 Lemah Positif

Durasi Tidur 0,708 Kuat Positif

Kualitas Tidur (Efisiensi Tidur) 0,018 Lemah Positif

Rasio Tingkat Kantuk

Frontal -0,386 Cukup Negatif

Occipital 0,348 Cukup Positif Parietal -0,090 Lemah Negatif Temporal -0,156 Lemah Negatif

Tabel V.12 Kategori Hasil Korelasi Nilai Korelasi Kategori

0 Tidak ada korelasi >0-0,25 Korelasi lemah >0,25-0,5 Korelasi cukup kuat >0,5-0,75 Korelasi kuat >0,75-0,99 Korelasi sangat kuat

1 Korelasi sempurna Sumber: Sarwono (2006)

Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa hanya durasi tidur yang memiliki korelasi kuat dengan 1/RT (0,622) dan CFFF (0,708) serta berkorelasi cukup kuat dengan number of lapses (-0,483). Hal ini menunjukkan bahwa memang durasi tidur memberikan pengaruh signifikan terhadap kewaspadaan yang diukur dengan kinerja kecepatan reaksi. Berdasarkan hasil ini maka untuk menentukan nilai acuan parameter 1/RT, number of lapses dan CFFF hanya akan menggunakan variabel bebas durasi tidur.

Uji korelasi 1/RT, number of lapses, dan CFFF dengan rasio tingkat kantuk pada empat bagian otak menunjukkan hanya bagian frontal yang memiliki

Gambar

Gambar II.1 Performansi saat kondisi keterjagaan terus menerus dalam rata-rata  performansi  relatif dan persentase konsentrasi alkohol dalam darah          (Dawson dan Reid, 1997)
Gambar II.2 Model konseptual kelelahan dan kecelakaan (Williamson dkk., 2011)
Gambar II.3 Contoh Alat Uji PVT
Gambar II.4 Contoh Alat Uji Flicker
+7

Referensi

Dokumen terkait

Nilai tersebut berdasarkan penggolongan katagori tingkat keramahan lingkungan (lihat Tabel 2) termasuk kedalam katagori alat tangkap yang kurang ramah lingkungan. Beberapa

Berdasarkan basil persen efektivitas kedua metode didapatkan bahwa alat Waterwheel lebih efektif untuk menguji efektivitas antidepresan Imipramin HCl pada mencit putih

Berdasarkan uji komparasi ganda rerata anatar baris diperoleh bahwa strategi pembelajaran NHT berbasis alat peraga memiliki nilai rerata marginal lebih baik daripada kedua

Pengaruh self help group terhadap tingkat Stres WBP Laki-laki Berdasarkan uji Wilcoxon dengan nilai p-value yaitu 0,002 p&lt;0,05 maka sesuai dengan dasar pengambilan keputusan

Tingkat akurasi prediksi yang dihasilkan model Grover berdasarkan hasil uji hipotesis dimana nilai koefesien determinasi yang dilihat dari Nagelkerke R Square model Grover

Berdasarkan hasil nilai signifikan nilai uji Kruskal Wallis baik tingkat pemahaman aset, likuiditas dan aset berinilai tidak lebih dari 0,05 yang dapat

Berdasarkan hasil uji F untuk kedua variabel yaitu pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja terhadap tingkat pengangguran diperoleh nilai signifikan sebesar 0,002150 &lt;

Dalam melakukan evaluasi tingkat pencahayaan di laboratorium Fisika-Mekatronika Tekstil Politeknik STTT Bandung, maka pada penelitian ini dirancang suatu prototipe alat uji efisiensi