ANALISIS AKURASI MODEL GROVER DAN MODEL OHLSON
DALAM MEMPREDIKSI FINANCIAL DISTRESS PADA
PERUSAHAAN PERTAMBANGAN YANG TERDAFTAR DI
BURSA EFEK INDONESIA (BEI) PERIODE 2010-2014
SYAFITRIANI 130462201152
PROGRAM STUDI AKUNTANSI, FAKULTAS EKONOMI, UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
2017
ABSTRACT
The purpose of this research is to know whether Grover model and Ohlson model capable to predict the financial distress condition toward mining company listed on Indonesia Stock Exchange and to know which is the most accurate models in predict financial distress toward mining company.
The objects of this research are entire mining company listed on Indonesia Stock Exchange year 2010-2014 whit total population 27 mining company. The method of sample election using purposive sampling. The type of data used is secondary data and using literature review method and documentation to collect the data. The sample of 55 company is taken every year. This research method using quantitative method. The analysis used is logistic regression which is processed by using SPSS version 21.0 on computer to test the hypotesis and strengthen the calculation results.
The results of this research show that Grover model (Sig Value 0,009<0,05 Sig Level) affected by the condition of financial distress ini mining company listed on Indonesia Stock Exchange meanwhile Ohlson model (Sig Value 0,106>0,05)Sig Level) can’t predict the condition of financial distress in mining company listed on Indonesia Stock Exchange year 2010-2014 is Grover model.
Keywords : Grover Model, Ohlson Model, Financial Distress.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang kaya akan sumber daya alam. Sejak lama Indonesia terkenal dengan penghasil sumber daya alam terbesar, diantaranya bahan tambang seperti minyak bumi, batu bara dan kekayaan alam
lainnya. Seiring dengan persaingan dunia usaha yang semakin kompetitif ditengah kondisi perekonomian yang selalu mengalami perubahan, perusahaan diharapkan mampu bersaing dalam mempertahankan kelangsungan hidup usahanya dalam jangka panjang (going concern). Namun dalam kenyataanya tidak semua perusahaan yang mengalami kesulitan dalam perjalannya yang berujung pada kebangkrutan. Maka dari itu diperlukan alat untuk memprediksi financial distress sebagai informasi awal sebelum terjadi kebangkrutan suatu perusahaan (Vitarianjani, 2015).
Seiring dengan persaingan dunia usaha yang semakin kompetitif ditengah kondisi perekonomian yang selalu mengalami perubahan, perusahaan diharapkan mampu bersaing dalam mempertahankan kelangsungan hidup usahanya dalam jangka panjang (going concern). Namun dalam kenyataanya tidak semua perusahaan yang mengalami kesulitan dalam perjalannya yang berujung pada kebangkrutan. Maka dari itu diperlukan alat untuk memprediksi financial distress sebagai informasi awal sebelum terjadi kebangkrutan suatu perusahaan (Vitarianjani, 2015).
Prediksi financial distress (kesulitan keuangan) yang akurat menjadi hal yang sangat krusial bagi setiap perusahaan. Hal ini dikarenakan financial distress umumnya dapat mengarah pada kebangkrutan atau kegagalan sebuah perusahaan. Oleh karena itu, dengan mengetahui tingkat prediksi financial distress, perusahaan dapat segera melakukan tindakan proteksi bisnis lebih baik atau bertindak untuk mengurangi resiko kerugian bisnis atau bahkan menghindarinya (Christianti, 2013).
Kebangkrutan suatu usaha merupakan akhir dari kesulitan keuangan yang
dialami oleh perusahaan. Kesulitan keuangan dapat diartikan sebagai
ketidakmampuan perusahaan untuk membayar kewajiban keuangannya pada saat jatuh tempo. Kebangkrutan suatu usaha disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang berasal dari bagian dalam manajemen perusahaan itu sendiri, misalnya manajemen yang tidak efisien, ketidakseimbangan dalam modal yang dimiliki dengan jumlah hutang piutang yang dimiliki perusahaan
dan lain sebagainya. Sedangkan faktor eksternal berasal dari luar perusahaan, misalnya kondisi perokonomian (Rompon, 2012).
Analisis laporan keuangan juga bisa digunakan untuk mengamati kondisi kebangkrutan perusahaan yaitu dengan menggunakan model prediksi kebangkrutan (Marcelinda et al, 2014). Beberapa model prediksi yang telah dikembangkan untuk menjadi alat prediksi kondisi financial distress diantaranya adalah yang telah dikemukan oleh Grover (1968) dan Ohlson (1980). Menurut Grover (1968) dalam Prihantini (2013), model Grover merupakan model yang diciptakan dengan melakukan pendesainan dan penilaian ulang terhadap model Altman Z-Score dengan menambah 13 rasio keuangan. Sedangkan Menurut Ohlson (1980) dalam Christianti (2013), model Ohlson terinspirasi dari penelitian-penelitian sebelumnya, juga melakukan studi mengenai financial distress dengan memliki 9 variabel yang terdiri dari beberapa rasio keuangan.
Dari beberapa penelitian tentang perbandingan model prediksi kondisi
financial distress yang telah dilakukan sebelumnya, terdapat beberapa perbedaan
hasil prediksi. Dari penelitian yang dilakukan oleh Prihanthin (2013) dan Christianti (2013) terdapat perbedaan hasil penelitian. Prihanthini (2013) menyatakan bahwa model Grover merupakan model prediksi yang paling sesuai diterapkan pada perusahaan Food and Beverage di Indonesia. sedangkan Christianti (2013) menyatakan bahwa model Ohlson yang paling efektif dan akurat dalam memprediksi kondisi financial distress perusahaan Manufaktur di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Apakah model Grover dan Ohlson dapat memprediksi kondisi financial distress pada perusahaan Pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia serta model manakah yang paling akurat dalam memprediksi financial distress di perusahaan Pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Dengan diketahuinya model dengan akurasi tertinggi, maka perusahaan atau investor dapat mengaplikasikan model tersebut untuk memprediksi kondisi financial distress pada perusahaan Pertambangan di Bursa Efek Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Pengertian Kesulitan Keuangan dan Kebangkrutan
Financial distresss atau kesulitan keuangan terjadi sebelum kebangkrutan
benar-benar dialami oleh perusahaan. Plat dan Plat (2002) mendefinisikan financial
distress sebagai tahap penurunan kondisi keuangan yang terjadi sebelum terjadinya
kebangkrutan ataupun likuidasi. Kesulitan keuangan adalah suatu situasi dimana arus kas operasi perusahaan tidak memadai untuk melunasi kewajiban-kewajiban lancar (seperti hutang dagang atau beban bunga) dan perusahaan terpaksa melakukan tindakan perbaikan (Ramadhani, 2009).
Ramadhani (2009) menyatakan Kebangkrutan sebagai kegagalan keuangan atau kegagalan dalam arti ekonomi merupakan keadaan dimana perusahaan kehilangan uang atau pendapatan perusahaan tidak bisa menutupi biayanya sendiri. Ini berarti bahwa nilai sekarang dari arus kas sebenarnya lebih kecil dari kewajiban atau laba lebih kecil dari modal kerja. Kegagalan terjadi bila arus kas yang sebenarnya dari perusahaan tersebut jauh dibawah arus kas yang diharapkan. Kebangkrutan suatu perusahaan ditandai dengan financial distress, yaitu keadaan dimana perusahaan lemah dalam menghasilkan laba atau perusahaan cenderung mengalami defisit. Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa bahwa kebangkrutan terjadi setelah perusahaan mengalami financial distress atau kesulitan kuangan sehingga keadaan atau situasi dalam hal ini perusahaan gagal atau tidak mampu lagi memenuhi kewajiban-kewajiban kepada debitur.
Model Prediksi Kebangkrutan Model Grover
Grover (1968) dalam Prihantini (2013) mengungkapkan bahwa model ini merupakan salah satu alat untuk memprediksi financial distress. Model Grover ini merupakan model yang diciptakan dengan melakukan pendesainan dan penilaian ulang terhadap model Altman Z-Score. Jeffrey S. Grover menggunakan sampel sesuai dengan model Altman Z-score pada tahun 1968, dengan menambahkan tiga belas
rasio keuangan baru. Sampel yang digunakan sebanyak 70 perusahaan dengan 35 perusahaan yang bangkrut dan 35 perusahaan yang tidak bangkrut pada tahun 1982 sampai 1996. Hasil penelitiannya dirumuskan sebagai berikut:
G-Score = 1,650 WCTA+ 3,404 EBITTA - 0,016 NITA + 0,057
Menurut Grover (1968) dalam Prihantini (2013), model dikategorikan sebagai berikut:
(a) perusahaan dalam keadaan bangkrut dengan skor kurang atau sama dengan -0,02 (Z ≤ --0,02).
(b) perusahaan yang dikategorikan dalam keadaan tidak bangkrut adalah lebih atau sama dengan 0,01 (Z ≥ 0,01).
Model Ohlson
Menurut Ohlson (1980) dalam Christianti (2013), model ini menggunakan analisis logistik untuk menggembangkan model prediksi kebangkrutan dengan sembilam variabel yang terdiri dari beberapa rasio keuangan. Rasio yang digunakan adalah rasio leverage, likuiditas dan probabilitas. Berdasarkan sampel 105 perusahaan bangkrut dan 2058 perusahaan tidak bangkrut dalam penelitian yang dilakukan James A. Ohlson. Ohlson menggunakan analisis logistik untuk menghindari masalah tentang asumsi-asumsi pada model Multiple Discriminant
Analysis (MDA) yang dilakukan Altman, yaitu data yang diuji memerlukan
persyaratan normalitas data (Hidayat,2015). Persamaan model Ohlson (1980) dalam Christianti (2013) adalah sebagai berikut:
O = -1,32 - 0,407 LTAGNP + 6,03 TLTA – 1,43 WCTA + 0,0757 CACL
– 2,37 D - 1,83 NITA + 0,285 CFFOTL - 1,72 F - 0,521 NI
Ohlson (1980) dalam Putra (2016) menyatakan bahwa model ini memiliki cutoff
point optimal pada nilai 0,38 sebagai berikut :
(a) perusahaan yang memiliki nilai O di atas 0,38 berarti perusahaan tersebut diprediksi mengalami kebangkrutan (O > 0,38)
(b) Sebaliknya, jika nilai O skor perusahaan kurang dari 0,38, maka perusahaan diprediksi tidak mengalami kebangkrutan (O <0,38).
Kerangka Pemikiran
Dari semua yang telah disampaikan maka dapat disusun sebuah sekema yang mendasari penelitian ini, sebagaimana tampak pada gambar berikut:
Gambar 1
Model Kerangka Pemikiran
METODE PENELITIAN
Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
Penelitian ini dilakukan pada perusahaan Pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2010-2014 yang berjumlah 27 perusahan Pertambangan. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahan Pertambangan yang memiliki kriteria tertentu. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Adapun kriteria sampel yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut (1) Perusahaan Pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) secara berturut-turut periode 2010-2014, (2) Perusahaan Pertambangan yang menerbitkan laporan keuangan secara lengkap selama tahun 2010-2014, dan (3) Perusahaaan Pertambangan yang menyajikan laporan keuangan dalam mata uang rupiah periode 2010-2014. Jadi total sampel yang digunakan sebanyak 11 perusahaan Pertambangan dikalikan 5 tahun, yaitu 55 perusahaan
Pertambangan. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder dengan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan dan dokumentasi. Untuk memperoleh data sekunder yang digunakan dari penelitian ini maka peneliti mencari dan mengumpulkan data yang di butuhkan adalah laporan keuangan tahunan perusahaan yang telah diaudit, perusahaan Pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun tutup buku 31 Desember. Data dalam
penelitian ini diperoleh dari website Bursa Efek Indonesia www.idx.co.id.
Variabel Penelitian Variabel Dependen
Variabel Dependen dalam penelitian ini adalah financial distress. Menurut Plat dan Plat (2002) dalam Ramadhani (2011), mendefinisikan financial distress sebagai tahap penurunan kondisi keuangan yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi. Perusahaan yang mengalami financial distress dengan indikasi, yaitu selama dua tahun mengalami laba bersih (net income) negatif dan lebih dari satu tahun tidak melakukan pembayaran dividen (Wulandari, 2014). Dalam penelitian ini financial distress diukur dengan menggunakan variabel dummy yaitu:
Score 0 : jika perusahaaan yang tidak mengalami financial distress.
Score 1 : jika perusahaan yang mengalami financial distress.
Score 1 menjelaskan untuk perusahaan yang mengalami financial distress dengan indikasi: selama 2 tahun mengalami laba bersih negatif dan lebih dari satu tahun tidak melakukan pembayaraan dividen. Sedangkan Score 0 sebaliknya yaitu untuk perusahaan yang tidak mengalami financial distress dengan indikasi: selama 2 tahun mengalami laba bersih positif dan lebih dari satu tahun melakukan pembayaran dividen.
Variabel Independen dalam penelitian ini adalah model Grover dan model Ohlson.Variabel-variabel yang digunakan oleh kedua model tersebut adalah sebagai berikut:
Model Grover
G-Score = 1,650 WCTA +3,404 EBITTA - 0,016 NITA + 0,057
(Sumber: Grover, 1968 dalam Prihantini, 2013) 1. WCTA (Working Capital / Total Asset)
Rasio ini dapat dikategorikan dalam rasio likuiditas. Mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek. Dimana semakin baik kemampuan perusahaan maka semakin besar nilai WCTA tersebut. Rasio ini memiliki koefisien negatif, yang dapat memperbesar nilai G skor. Dalam model ini G skor yang semakin besar menunjukkan kinerja perusahaan yang semakin baik (Hidayat, 2015). Perhitungan rasio ini dengan cara:
Aset Lancar − Kewajiban Lancar Total Aset
2. EBITTA (Earning Before Interest and Taxes / Total Assest)
Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari aktiva yang digunakan. Rasio ini merupakan kontributor terbesar dari model tersebut. Beberapa indikator yang dapat digunakan dalam mendeteksi adanya masalah pada kemampuan profitabilitas perusahaan diantaranya adalah piutang dagang meningkat, penjualan menurun, terlambatnya hasil penagihan piutang, kredibilitas perusahaan berkurang serta kesediaan memberi kredit pada konsumen yang tidak membayar pada waktu yang ditetapkan (Hidayat, 2015). Perhitungan rasio ini dengan cara:
Laba Sebelum Bunga dan Pajak Total Aset
Rasio ini mengukur probabilitas perusahaan (Hidayat, 2015). Rasio ini juga disebut sebagai Return On Assets (ROA). Dimana hasil pengembalian atas aset merupakan rasio yang menunjukkan seberapa besar kontribusi aset dalam menciptakan laba bersih. Dengan kata lain, rasio ini digunakan untuk mengukur seberapa besar jumlah laba bersih yang akan dihasilkan dari setiap rupiah dana yang tertanam dalam total aset. Rasio ini dihitung dengan membagi laba bersih terhadap total aset (Hery, 2016:193). Perhitungan rasio ini dengan cara:
Laba Bersih Total Asset
Model Ohlson
O = -1,32 - 0,407 LTAGNP + 6,03 TLTA – 1,43 WCTA + 0,0757 CACL
– 2,37 D - 1,83 NITA + 0,285 CFFOTL - 1,72 F - 0,521 NI
(Sumber: Ohlson, 1980 dalam Christiani, 2014) 1. LTAGNP (Log (Total Assets/GNP Price-Level Index)
Rasio untuk mengukur ukuran perusahaan (firm size). Dimana rasio ini lebih fokus pada eksternal perusahaan, seperti ketidakpastian kondisi ekonomi makro (GNP price-level index). Semakin besar nilai rasio ini, maka semakin baik kinerja perusahaan. Ketidakpastian kondisi ekonomi makro (GNP price-level index) merupakan salah satu faktor ekternal penyebab terjadinya kebangkrutan (Hidayat, 2015). Perhitungan rasio ini dengan cara:
log ( Total Aktiva
GNP Indeks Tingkat Harga)
2. TLTA (Total Liabilities/Total Assets)
Rasio ini disebut juga sebagai rasio yang melihat perbandingan utang perusahaan, yaitu diperoleh dari perbandingan total utang dibagi dengan
total aset. Rasio ini merupakan salah satu rasio leverage. Rasio leverage adalah mengukur seberapa besar perusahaan dibiayai dengan utang. Penggunaan utang yang terlalu tinggi akan membahayakan perusahaan karena perusahaan akan masuk dalam kategori extreme leverage (utang ekstrem) yaitu perusahaan terjebak dalam tingkat utang yang tinggi dan sulit untuk melepaskan beban utang tersebut (Fahmi, 2012: 127). Perhitungan rasio ini dengan cara:
Total Hutang Total Aktiva 3. WCTA (Working Capital / Total Asset)
Rasio ini dapat dikategorikan dalam rasio likuiditas. Mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek. Dimana semakin baik kemampuan perusahaan maka semakin besar nilai WCTA tersebut. Rasio ini memiliki koefisien negatif, yang dapat memperkecil nilai O skor. Dalam model ini O skor yang semakin kecil menunjukkan kinerja perusahaan yang semakin baik (Hidayat, 2015). Perhitungan rasio ini dihitung dengan rumus:
Aset Lancar − Kewajiban Lancar Total Aset
4. CACL (Current Asset/Current Liabilities)
Rasio ini adalah salah satu rasio likuiditas. Rasio lancar merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya yang segera jatuh tempo dengan menggunakan total aset lancar yang tersedia. Dengan kata lain, rasio lancar ini menggambarkan seberapa besar jumlah ketersediaan aset lancar yang dimiliki perusahaan dibandingkan dengan total kewajiban lancar. Oleh sebab itu, rasio lancar dihitung sebagai hasil bagi antara total aset lancar dengan total kewajiban lancar (Hery, 2016: 152). Rasio ini digunakan dalam model Ohlson. Perhitungan rasio ini dengan cara:
Aktiva Lancar Hutang Lancar
5. D (jika Total Liabilities>Total Assets maka diberi nilai 1 ; jika Total
Liabilities<Total Assets maka diberi nilai 0)
Rasio ini mengukur likuiditas perusahaan. Cara menghitungnya adalah dengan memberikan nilai 1 jika total utang perusahaan melebihi total asetnya dan sebaliknya (Hidayat, 2015). Jika bernilai (1) berarti sering terjadi exess total utang atas total aset, maka perusahaan rawan atas adanya financial distress (Ismail, Syafudin dan Nugraha, 2012). Karena penggunaan utang yang terlalu tinggi akan membahayakan perusahaan karena perusahaan akan masuk dalam kategori extreme leverage (utang ekstrem) yaitu perusahaan terjebak dalam tingkat utang yang tinggi dan sulit untuk melepaskan beban utang tersebut (Fahmi, 2012: 127).
6. NITA (Net Income/Total Assets)
Rasio ini mengukur probabilitas perusahaan (Hidayat, 2015). Rasio ini juga disebut sebagai Return On Assets (ROA). Dimana hasil pengembalian atas aset merupakan rasio yang menunjukkan seberapa besar kontribusi aset dalam menciptakan laba bersih. Dengan kata lain, rasio ini digunakan untuk mengukur seberapa besar jumlah laba bersih yang akan dihasilkan dari setiap rupiah dana yang tertanam dalam total aset. Rasio ini dihitung dengan membagi laba bersih terhadap total aset (Hery, 2016:193). Perhitungan rasio ini dengan cara:
Laba Bersih Total Asset
7. CFFOTL (Cash Flow From Operations/Total Liabilities)
Rasio ini mengukur solvabilitas perusahaan, dimana dana yang digunakan untuk kegiatan utama perusahaan, yaitu: dana yang tersedia dari kegiatan
operasi yang dibiayai dengan kewajiban perusahaan atau dengan hutang. Rasio tersebut menunjukkan kemampuan perusahaan memberikan jaminan kepada debitur (Hidayat, 2015). Perhitungan rasio ini dengan cara:
Dana Yang Tersedia Dari Kegiatan Operasi Total Hutang
8. F (jika Net Income Negatif maka diberi nilai 1 ; jika Net Income Positif maka diberi nilai 0)
Rasio ini mengukur profitabilitas perusahaan. Cara menghitungnya adalah dengan memberikan nilai 1 jika laba bersih perusahaan negatif (Hidayat, 2015). Jika kondisi laba bersih perusahaan sering negatif atau rugi, maka besar resiko akan terjadi financial distress (Ismail, Syafudin dan Nugraha, 2012).
9. NI (Nit – Nit- 1) / (NIt + Nit-1)
Rasio ini mengukur perubahan profitabilitas perusahaan. NI merupakan laba bersih untuk periode t dan sebelumnya. Nilai positif rasio ini menunjukkan kondisi yang baik (Hidayat, 2015).
Hasil dan Pembahasan
Distribusi perusahaan Pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia berdasarkan kondisi financial distress akan ditampilkan pada tabel berikut:
Tabel 1
Distribusi Perusahaan Pertambangan Berdasarkan Kondisi Financial Distress Financial Distress
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0 1 Total 45 10 55 70,3 15,6 85,9 81,8 18,2 100,0 81,8 100,0
Bedasarkan tabel 4.2 diatas menunjukkan bahwa sampel penelitian adalah sebanyak 55 perusahaan dari lima tahun penelitian berturut-turut yaitu tahun 2010-2014. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa dari 55 pengamatan, 45 perusahaan (70,3 persen) tidak mengalami kondisi financial distress. Dan sisanya sebanyak 10 perusahaan (15,6) mengalami kondisi financial distress.
Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif bertujuan untuk memberikan deskripsi atau gambaran dari kesimpulan data yang dilihat dari jumlah sampel, nilai minimum, nilai maximum, nilai
mean dan standar deviasi dari masing-masing variabel. Berikut adalah tabel statistik
deskriptif yang dimaksud.
Tabel 2 Statistik Dekriptif Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Grover 55 -,22 2,25 ,7331 ,67883
Ohlson 55 -1,92 4,21 1,0596 1,53463
Valid N (listwise)
55
Sumber : Data sekunder yang diolah SPSS versi 21.0 (2017)
Dari penguji deskriptif statistik yang tersaji pada tabel 4.3 dapat diketahui bahwa jumlah sampel adalah 55. Selain itu dapat diketahui bahwa Grover merupakan
variabel independen (X1) memiliki nilai minimum atau nilai terkecil sebesar -0.22
yaitu oleh perusahaan Central Omega Resaurces Tbk pada tahun 2010, dan nilai
maximum atau nilai terbesar sebesar 2,25 oleh perusahaan Tambang Batubara Bukit
Asam Tbk pada tahun 2011. sedangkan nilai rata-rata yang dimiliki Grover sebesar 0.7331 atau 73,31% dengan nilai standar deviasi adalah sebesar 0.67883.
Selanjutnya Ohlson merupakan variabel independen (X2) memiliki nilai minimum
Sedangkan nilai maximum sebesar 4.21 oleh perusahaan Bara Jaya Internasional Tbk pada tahun 2013. Kemudian nilai rata-rata yang dimiliki Ohlson sebesar 1.0596 atau 105.96% dengan nilai standar deviasi adalah sebesar 1.53463.
Uji Hosmer and Lemeshow Test (Goodness-of-Fit-Test)
Uji Hosmer and Lemeshow Test (Goodness-of-Fit-Test) atau sering disebut juga uji kesesuaian model. Pengujian ini digunakan untuk menguji ketepatan atau kesesuaian data pada model regresi logistik atau untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara hasil observasi dengan kemungkinan hasil prediksi. Data dapat dikatakan adanya kesesusaian data pada model jika memiliki nilai signifikan lebih besar dari 0,05 (5%).
Tabel 3
Uji Hosmer and Lemeshow Test (Goodness-of-Fit-Test) Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square Df Sig.
1 3,300 7 ,856
Sumber : Data sekunder yang diolah SPSS versi 21.0 (2017)
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa besarnya nilai statistik Hosmer and
Lemeshow Goodness of Fit sebesar 3,300 dan degree of feedom adalah 7 dengan
probabilitas signifikansi 0,856 yang mana lebih besar dari nilai signifikansi 0,05 (0,856 > 0,05). Dengan demikian Ho diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada model regresi logistik yang digunakan telah memenuhi kecukupan data (fit) dan dapat digunakan dalam pengujian selanjutnya.
Uji Omnibus Test of Model Coefficient (Overall Model Fit)
Uji Omnibus Test of Model Coefficient (Overall Model Fit) dilakukan untuk menguji apakah variabel-variabel independen secara serentak berpengaruh terhadap variabel dependen yaitu financial distress. Dengan nilai signifikan < 0,05 maka variabel independen secara serentak mempengaruhi variabel dependen. Namun jika
nilai signifikan > 0,05 maka variabel independen secara serentak tidak mempengaruhi variabel dependen.
Jika pengujian Omnibus Test of Model Coefficient menunjukkan hasil yang signifikansi maka secara keseluruhan variabel independen dimasukkan dalam model atau dengan kata lain tidak ada variabel yang dikeluarkan dalam model. Hasil
Omnibus Test of Model Coefficient dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 4
Uji Omnibus Test of Model Coefficient (Overall Model Fit)
Sumber : Data sekunder yang diolah SPSS versi 21.0 (2017)
Dari pengujian regresi logistik dengan melihat tabel 4.5 diketahui nilai
Chi-Square sebesar 15,544 dengan degree of freedom adalah 3. Adapun tingkat
signifikansi sebesar 0,000 yang mana lebih kecil dari nilai signifkasi 0,05. Maka HO
ditolak dan Ha diterima, sehingga hasil uji Omnibus Test of Model Coefficient dapat disimpulkan bahwa dengan signifikansi 5% variabel model Grover dan Ohlson secara bersama-sama berpengaruh terhadap financial distress.
Selain itu, menilai keseluruhan model dilakukan dengan cara memperhatikan angka pada -2 Log Likelihood 2LL) Block Number = 0 dan -2 Log Likelihood (-2LL) Block Number = 1.
Tabel 5
Overall Model Fit
Interation -2 Log Likelihood
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square Df Sig.
Step 1
Step 15,544 2 ,000
Block 15,544 2 ,000
Step 0 52,155
Step 1 36,611
Sumber : Data Skunder yang diolah SPSS versi 21.0 (2017)
Pada tabel diatas terlihat bahwa angka awal -2LL Block Number = 0 adalah 52,155 sedangkan -2LL Block Number = 1 adalah 36,611. Dari model tersebut ternyata overall model fit pada -2LL Block Number = 0 menunjukkan adanya penurunan pada -2LL Block Number = 1 sebesar 15,544. Penurunan likelihood ini menunjukkan bahwa keseluruhan model regresi logistik yang digunakan merupakan model yang baik.
Selain itu nilai overall percentage correct di block 1 senilai 83,6 lebih tinggi dibandingkan nilai overall percentage correct di block 0 senilai 81,8. Hal ini juga mengartikan bahwa model regresi dengan estimator pada variabel independen tepat dalam mengestimasi pengaruh variabel independen terhadap financial distress. Hal ini terlihat pada tabel berikut ini :
Tabel 6
Overall Percetage
Interation Nilai Overall Percetage
Step 0 81,8
Step 1 83,6
Sumber : Data Skunder yang diolah SPSS versi 21.0 (2017) Model Summary (R²)
Model summary dalam regresi logistik memiliki interprestasi yang mirip dengan koefisien determinasi pada persamaan regresi linear. Cox dan Snell’s R
Square merupakan ukuran R2 pada persamaan regresi linear yang didasarkan pada
teknik estimasi likelihood dengan nilai maksimum kurang dari satu sehingga sulit diinterpretasikan. Negelkerke R Square merupakan modifikasi dari koefisien Cox dan
Snell’s untuk memastikan bahwa nilainya bervariasi dari 0 sampai 1. Hal ini
maksimumnya. Nilai Negelkerke R Square dapat diinterprestasikan seperti nilai R2 pada persamaan regresi linear. Uji Model Summary dilakukan untuk melihat seberapa besar model yang digunakan dalam variabel independen yang terdiri dari model Grover dan model Ohlson mampu menjelaskan variabel dependen yaitu financial
distress. Hasil model summary dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 7
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R
Square
Nagelkerke R Square
1 36,611a ,246 ,402
a. Estimation terminated at iteration number 7 because parameter estimates changed by less than ,001.
Sumber : Data Skunder yang diolah SPSS versi 21.0 (2017)
Dari hasil pengolahan data dengan metode regresi logistik diketahui bahwa uji model -2Log Likelihood menghasilkan sebesar 36,611 dari koefisien determinasi yang dilihat dari Nagelkerke R Square adalah 0,402. Artinya adalah variabel independen yaitu Model Grover dan Ohlson mampu menjelaskan variasi dari variabel dependen yaitu financial distress 40,2%, sedangkan sisanya yaitu sebesar 59,8% dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak diikutsertakan dalam model.
Uji Signifikasi Variabel Independen secara Parsial
Uji Signifikasi Variabel Independen secara Parsial dilakukan untuk menguji apakah variabel independen secara terpisah atau parsial dapat mempengaruhi variabel dependen. Pengujian ini dilakukan untuk melihat tiap-tiap variabel independen dalam mempengaruhi variabel dependen. Uji ini dilakukan dengan membandingkan t-hitung dengan t-tabel, dimana jika t-hitung >t-tabel maka hipotesis variabel independen secara parsial mempengaruhi variabel dependen. Jika nilai t-hitung <t-tabel maka variabel independen secara parsial tidak mempengaruhi variabel dependen. Jika menggunakan nilai signifikan < 0,05 maka variabel independen secara parsial dikatakan berpengaruh terhadap variabel
dependen. Hasil uji Signifikasi Variabel Independen secara Parsial dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 8
Variables in the Equation
B S.E. Wald Df Sig. Exp(B) 95% C.I.for
EXP(B) Lower Upper Step 1a Grover -4,222 1,623 6,765 1 ,009 ,015 ,001 ,353 Ohlson -,491 ,303 2,617 1 ,106 ,612 ,338 1,109 Constant ,953 ,883 1,164 1 ,281 2,593
a. Variable(s) entered on step 1: Grover, Ohlson.
Sumber : Data Skunder yang diolah SPSS versi 21.0 (2017)
Berdasarkan tabel diatas maka model regresi logistik yang diperoleh adalah sebagai berikut: Y= Ln = p 1−p=b0+ b1X1+ b2X2 + e Financial distress = 0,953 – 4,222b1 - 0,491b2 Keterangan: Y= Ln = p(Tepat)
1−p(Tidak Tepat)= financial distress
b0 = Konstanta
X1 = Model Grover
X2 = Model Ohlson
e = Standar Error
Pernyataan diatas mempunyai makna sebagai berikut:
1. Variabel konstan dalam model regresi logistik mempunyai koefisien positir sebesar 0,953 yang berati jika variabel lain dianggap tetap maka kondisi financial distress perusahaan mengalami peningkatan sebesar 0,953 satuan.
2. Variabel model Grover mempunyai koefisien negatif sebesar 4,222 yang berarti setiap penuruanan satu (1) satuan pada model Grover akan mengalami penurunan kondisi financial distress sebesar 4,222 satuan. 3. Variabel Model Ohlson mempunyai koefisien negatif sebesar 0,491 yang
berarti setiap penurunan satu (1) satuanpada model Ohlson akan mengalami penurunan kondisi financial distress sbesar 0.491 satuan.
H1: Model Grover dapat Memprediksi Kondisi Financial Distress pada Perusahaan Pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
HO1 = Model Grover tidak mempunyai pengaruh terhadap financial distress
Ha1 = Model Grover mempunyai pengaruh terhadap financial distress
Dari hasil pengujian tepisah yang dlakukan dalam penelitian dapat dilihat dalam tabel 4.8 diatas bahwa variabel Grover mempunyai nilai wald sebesar 6,765 dari koefisien regresi logistik untuk variabel model Grover negatif yaitu 4,222.
Adapun nilai signifikansi sebesar 0,009 lebih kecil 0,05 (0,009 < 0,05) sehingga HO1
dinyatakan bahwa model Grover tidak berpengaruh signifikan terhadap financial
distress ditolak atau gagal diterima. Sedangkan Ha1 yang menyatakan bahwa model
Grover berpengaruh signifikan terhadap financial distress dapat diterima. Dengan
demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa model Grover mempunyai pengaruh signifikan terhadap financial distress.
H2: Model Ohlson dapat Memprediksi Kondisi Financial Distress pada perusahaan Pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
HO2 = Model Ohlson tidak mempunyai pengaruh terhadap financial distress
Ha2 = Model Ohlson mempunyai pengaruh terhadap financial distress
Dari hasil pengujian tepisah yang dlakukan dalam penelitian dapat dilihat dalam tabel 4.8 diatas bahwa variabel Grover mempunyai nilai wald sebesar 2,617
dari koefisien regresi logistik untuk variabel model Grover negatif yaitu 0,419.
Adapun nilai signifikansi sebesar 0,106 lebih kecil 0,05 (0,106 < 0,05) sehingga HO1
dinyatakan bahwa model Grover tidak berpengaruh signifikan terhadap financial
distress diterima atau gagal ditolak. Sedangkan Ha1 yang menyatakan bahwa model
Grover berpengaruh signifikan terhadap financial distress dapat diterima. Dengan
demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa model Grover mempunyai pengaruh signifikan terhadap financial distress.
Kesimpulan Dan Saran
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari analisis di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Model Grover dapat memprediksi financial distress perusahaan Pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada periode 2010-2014.
2. Model Ohlson tidak dapat memprediksi financial distress perusahaan Pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada periode 2010-2014.
3. Perbandingan model analisis yang paling akurat dalam memprediksi kondisi financial distress perusahaan Pertambangan di Bursa Efek Indonesia pada periode 2010-2014 adalah model Grover. Tingkat akurasi prediksi yang dihasilkan model Grover berdasarkan hasil uji hipotesis dimana nilai koefesien determinasi yang dilihat dari Nagelkerke R Square model Grover menghasilkan nilai tertinggi yaitu sebesar 0,333 (3,33%) dibandingkan model Ohlson yang menghasilkan nilai terendah yaitu sebesar 0,002 (0,2%) yang digunakan dalam penelitian ini untuk memprediksi kondisi financial distress pada perusahaan Pertambangan di Bursa Efek Indonesia.
Adapun saran yang mungkin bisa digunakan untuk menyempurnakan penelitian, antara lain:
1. Pada penelitian selanjutnya, dapat menggunakan sektor perusahaan yang berbeda serta jumlah sampel dan periode penelitain sebaiknya ada penambahan lagi. Penelitian selanjutnya juga dapat menggunakan model-model prediksi yang lain yang ada seperti, model-model Altman, Springate, Zmijewski, Fulmer, CA-Score dan model lainnya
2. Bagi investor dan manajemen perusahaan dapat menggunakan model Grover untuk memprediksi perusahaan yang financial distress pada perusahaan Pertambangan di Bursa Efek Indonesia.
DAFTAR PUSAKA
Andrianti. 2016. Analsisi Ketepatan Model Altman, Springate. Zmijweski.Ohlson,
dan Grover Sebagai Detector Kebangkrutan (Studi Kasus Pada Perusahaan yang Delisting di Bursa Efek Indonesia (BEI) Pada 2010-2014).Malang : UIN
Maulana Malik Ibrahim
Christiani, Ari. 2013. Analisis Prediksi Financial Distress: Perbandingan Model Altman Dan Ohlson. Jurnal Ekonomi dan Bisnis , vol. 7 no.2, p. 77-89. ISSN:
1978-3116
Gunawan, Barbara, Rahadien Pamungkas, dan Desi Susilawati. 2017. Perbandingan
Prediksi Financial Distress dengan Model Altman, Grover dan Zmijewski. Jurnal Akuntansi dan Investasi, Vol. 18 No. 1, Hlm: 119-127.
Ghozali, Imam. 2013. Analisis Multivariate Program Dengan Program IBM SPSS
21. Edisi Ke 7. Badan Penerbit Universitas Diponegoro : Semarang.
Ghozali, Imam. 2011. Aplikasi Analisis Multrivariate Dengan Program IBM SPSS
19. Edisi Ke 5. Badan Penerbit Universitas Diponegoro: Semarang
Ghozali, Imam. 2008. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta. Hartono. 2011. Metodologi Penelitia. Pekanbaru: Zanafa
Herry. 2016. Analisis Laporan Keuangan. Jakarta: PT. Grasindo
Hidayat, Gustina. 2015. Analisis Dalam Memprediksi Kebangkrutan dengan
Menggunakan Multiple Discriminant Analysis dan Logit pada Industri Farmasi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2009-2014. Bandung :
Universitas Telkom Bandung
Ikatan Akuntansi Indonesia. 2009. Persyaratan Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba
Jogiyanto. 2008. Metodologi Penelitian Sistem Informasi: Pedoman dan Contoh
Melalkukan Penelitian di Bidang Sistem Teknologi Informasi. Yogyakarta:
Andi
Listyarini, Fitri. 2016. Analisis Perbandingan Prediksi Kondisi Financial Distress Dengan Menggunakan Model Altman, Springate Dan Zmijewski Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia 2011-2014.Jurnal akuntansi: UMRAH. Tanjungpinang
Marcelinda, Sheilly Olivia, Hadi Paramu dan Novi Puspitasari. 2014. Analisis
Akurasi Prediksi Kebangkrutan Model Altman Z-Score pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia. e-Jurnal Ekonomi Bisnis dan Akuntansi. Volume 1 (1) : 1-3
Prihanthini, Ni Made Evi Dwi dan Maria M. Ratna Sari. 2013. Prediksi Kebangkrutan dengan Model Grover, Altman Z-Score, Springate dan Zmijewski pada Perusahaan Food and Beverage di Bursa Efek Indonesia. E-Jurnal Akuntansi
Universitas Udayana. ISSN: 2302-8556
Putra, Ivan Gumilar Sambas dan Rahma Septiani. Analisis Perbandingan Model Zmijewski Dang Rover Pada Perusahaan Semen Di BEI 2008-2014. Jurnal Riset Akuntansi Dan Keuangan. JRAK Vol 4, No3, 2016.Pp49-62.
Rismawaty. 2012. Analisis Perbandingan Model Prediksi Financaial Distrees
Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia). Makassar : Universitas
Hasanuddin
Ramadhani, A. S., dan Lukviarman, N.2009. Perbandingan Analisis Prediksi Kebangkrutan Menggunakan Model Altman Pertama, Altman Revisi, Dan Altman Modifikasi Dengan Ukuran Dan Umur Perusahaan Sebagai Variabel Penjelas (Studi Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Dibursa Efek Indonseia). Jurnal Siasat Bisnis Vol. 13 No.1, P.15-28
Sangadji, Etta Mamang dan Sopiah.2010.Metodologi Penelitian Pendekatan Praktis
dalam Penelitian.Yogyakarta : C.V ANDI
Sugiyono, 2014. Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kaulitataif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Sujarweni, V. W. 2015. Metodologi Penelitian Bisnis dan Ekonomi. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Wulandari, Veronita, Emrinaldi Nur DP dan Julita. 2014. Analisis Perbandingan Model Altman, Springate, Ohlson, Fulmer, CA-Score dan Zmijewski Dalam Memprediksi Financial Distress (studi empiris pada Perusahaan Food and Beverages yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2010-2012). JOM
FEKON Vol. 1 No. 2
Vitarianjani, Novadea. 2015. Prediksi Kondisi Financial Distress dan Faktor yang Mempengaruhi Studi Empiris pada Perusahaan Batubara yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2011-2014. Artikel Ilmiah Mahasiswa 2015