• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer: Mimikri Minke dan Nyai Ontosoroh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer: Mimikri Minke dan Nyai Ontosoroh"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer:

Mimikri Minke dan Nyai Ontosoroh

Putri Susanti

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Susastra, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Program Studi/Departemen: Filologi/Susastra,

Pos-el: po3try_cutey@hotmail.com

Abstrak: Artikel ini menyajikan analisis novel Bumi Manusia karya Pramoedya

Ananta Toer melalui pendekatan poskolonial. Mimikri dan ambivalensi tokoh dalam novel ini akan menjadi sorotan analisis sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Homi K. Bhabha. Dua tokoh utama dalam novel ini (Minke dan Nyai Ontosoroh) akan ditampilkan dalam kajian poskolonial terkait dengan relasi antara pribumi dan Indo. Hal ini tentu akan berhubungan dengan kedudukan pribumi dalam kehidupan kolonial ketika kaum kulit putih (Eropa) berkuasa atas kaum kulit coklat atau kulit berwarna.

Kata kunci: mimikri, ambivalensi, pribumi, Eropa

Abstrac: This article presents the analysis of novel Bumi Manusia by Pramoedya

Ananta Toer through postcolonial approach. Mimicry and ambivalence of the characters in this novel will be the focus of analysis as according to the theory put forward by Homi K. Bhabha. The two main characters in this novel (Minke and Nyai Ontosoroh) will be discussed through postcolonial studies related to the relationship between the Indigenous and Eurasian. It will certainly relate to the position of the indigenous life during colonial time when the whites (European) had power over colored people.

Keywords: Mimicry, ambivalence, Indigenous, Europe Pengantar

Penjajahan Belanda selama 3,5 abad di Hindia Belanda (Republik Indonesia) melahirkan banyak penderitaan. Penderitaan ini tidak hanya dirasakan oleh rakyat jelata, tetapi juga kaum ningrat yang selama beberapa masa menjadi penguasa daerah. Berpindahnya kekuasaan dari pribumi penguasa ke tangan Belanda membuat kehidupan rakyat pada masa itu semakin tersiksa. Segala sumber daya alam dan sumber daya manusia Indonesia dikuasai demi memenuhi kebutuhan negeri Belanda. Penindasan dan kesemena-menaan menjadi momok menakutkan yang menggelayuti kehidupan rakyat berabad-abad lamanya.

Keadaan tersebut menjadi pengukuhan kedudukan Barat di tanah Timur. Barat dengan kedigdayaannya harus dan akan menguasai Timur yang dianggap sebagai kawasan yang tidak terpelajar, primitif, dan tidak beradab. Belanda yang mewakili Barat menempatkan Hindia Belanda yang mewakili Timur sebagai daerah yang perlu “dididik” dengan ajaran Barat yang diagung-agungkan sekian lama. Oleh karena itu, pendidikan Barat menjadi sarana memberadabkan orang Timur.

Pada masa penjajahan, beragam sekolah didirikan sesuai dengan kedudukan pelajarnya dalam masyarakat. Anak pribumi yang lahir dari keluarga rakyat jelata tidak berhak mengenyam

(2)

pendidikan di sekolah yang dikhususkan untuk anak pribumi keturunan Bupati atau semacamnya. Begitu pula halnya dengan sekolah khusus anak Indo dan keturunan Belanda. Masing-masing kelompok dengan patuh mengikuti dan menjalankan hal itu. Akan tetapi, dalam novel Bumi Manusia, kenyataan tersebut dapat dimanipulasi. Seorang pribumi bernama Minke bisa mengenyam pendidikan formal di H.B.S selayaknya keturunan Indo dan Eropa Totok. Hal ini tentu saja mengusik rasa keingintahuan saya terkait dengan kedudukan Barat dan Timur yang ditunjukkan dalam mimikri tokoh-tokoh utama dalam novel tersebut, yaitu Minke dan Nyai Ontosoroh. Dalam penelitian ini, studi poskolonial menjadi mata pisau analisis untuk menbedah Bumi Manusia. Dua tokoh utama tersebut akan menjadi fokus untuk menunjukkan mimikri dan ambivalensi yang terjadi.

Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925. Pada tahun 1945, Pram bekerja di sebuah radio dan membuat sebuah majalah berbahasa Indonesia. Pada tahun 1947, Pram ditangkap dan ditahan karena pekerjaannya tersebut. Di dalam penjara, ia menulis novel pertamanya Perburuan (1950) selama dua tahun di penjara Belanda (1947-1949). Setelah tahun 1949, Pramoedya menghasilkan beberapa novel dan cerita singkat. Novel Keluarga Gerilya (1950) menceritakan tentang sejarah konsekuensi tragis dari menduanya simpati politik dalam keluarga Jawa selama revolusi melawan pemerintahan Belanda. Pram juga menulis kumpulan cerpen yang disatukan dalam Subuh (1950) dan Pertjikan Revolusi (1950). Setelah itu, terdapat pula Tjerita dari Blora (1952) menggambarkan kehidupan daerah Jawa ketika Belanda masih memerintah dan Tjerita dari Djakarta (1957) yang menelaah ketegangan dan ketidakadilan

dalam masyarakat Indonesia setelah merdeka.

Pada tahun 1965, Pram dipenjara lagi karena diduga terlibat dalam gerakan PKI. Dalam masa tahanannya (1965-1979), ia menulis empat rangkaian novel sejarah yang tergabung dalam roman Pulau Buru, yaitu Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Tetralogi tersebut menggambarkan kehidupan masyarakat Jawa ketika Belanda menduduki Indonesia di awal abad ke-20. Saat ini, belasan karya Pram sudah diterjemahkan ke dalam tiga puluh bahasa termasuk Belanda, Jerman, Jepang, Rusia dan Inggris.

Ringkasan Cerita Bumi Manusia

Bumi Manusia merupakan novel Pramoedya yang ditulis dalam rangkaian roman Pulau Buru. Novel ini berkisah tentang kehidupan pemuda bernama Minke, seorang pribumi yang mendapat pendidikan Eropa di H.B.S. Minke suatu hari diajak teman sekolahnya berkunjung ke rumah bangsawan Belanda di daerah Wonokromo. Di rumah itu hidup keluarga Mellema yang terdiri atas tuan Herman Mellema, gundiknya (Nyai Ontosoroh), dan kedua anaknya (Robert Mellema dan Annelies Mellema).

Pada kunjungannya itu, Minke disambut dingin oleh Robert Mellema karena ia tidak suka bergaul dengan orang pribumi. Padahal, ia adalah anak hasil hubungan orang Indo dan pribumi. Akan tetapi, sambutan berbeda diberikan oleh Annelies dan ibunya. Kedua perempuan tersebut dengan senang hati menerima Minke sebagai tamunya. Pertemuan Minke dan Annelies memunculkan perasaan suka di antara keduanya.

Singkat cerita, Annelies menjadi sangat bergantung dengan Minke. Ia melalui ibunya, Nyai Ontosoroh, meminta Minke tinggal di rumahnya, Boerderij Buitenzorg. Minke memutuskan untuk

(3)

tinggal di rumah itu setelah mendengar masukan dari sahabatnya, Jean Marais, seorang Perancis yang pernah menjadi tentara Kompeni. Keputusan itu diambil untuk mengetahui kondisi keluarga Mellema itu lebih dalam karena ia merasa ada sesuatu yang tersembunyi.

Selama tinggal di Boerderij Buitenzorg, Minke mengetahui kedudukan Nyai Ontosoroh di rumah itu sebagai kepala rumah tangga yang mengurusi perusahaan dibantu oleh Annelies, sementara putranya, Robert, tidak ikut membantu karena ia menganggap tidak sederajat dengan ibunya yang seorang pribumi. Minke juga mengetahui konflik dalam keluarga tersebut. Nyai Ontosoroh sangat membenci orang tuanya karena telah menjualnya kepada tuan Mellema, ia juga membenci tuan Mellema karena telah menyia-nyiakan hidup mereka setelah dikunjungi putra sahnya, Maurits Mellema, yang menuntut haknya ibu kandungnya. Annelies di usia belianya harus bekerja keras mengurusi banyak pekerjaan bersama ibunya, ia juga menyimpan derita karena ia pernah diperkosa saudaranya.

Setelah tinggal di rumah Nyai Ontosoroh, satu per satu masalah mulai dialami Minke. Ia dikucilkan dalam pergaulannya di sekolah karena dianggap telah melakukan tindakan yang tidak senonoh dengan tinggal bersama seorang Nyai. Nyawanya nyaris terancam karena Robert Mellema berniat membunuhnya. Hal tersebut dilakukan demi mempertahankan kedudukan Robert di rumah yang dikhawatirkanya diambil alih Minke. Selain itu, hubungannya dengan Annelies juga menjadikan sorotan dalam sebuah pengadilan ketika memperkarakan kematian tuan Herman Mellema di rumah plesiran. Masyarakat mencemooh Minke sebagai pemuda terpelajar yang tidak bermoral sehingga ia dikeluarkan dari sekolah karena dikhawatirkan akan mengganggu ketentraman siswa yang lain.

Akan tetapi, keputusan itu dibatalkan dan Minke diberi kesempatan melanjutkan studi sampai lulus. Demi mematahkan tuduhan tidak bermoral itu, setelah lulus sekolah Minke dan Annelies menikah. Pernikahan ini tidak bertahan lama karena Annelies secara hukum harus berada di bawah pengasuhan Maurits Mellema, saudara tirinya, setelah Herman Mellema meninggal.

Mimikri dalam Bumi Manusia

Mimikri dan ambivalensi merupakan teori yang dikemukakan oleh Homi k. Bhabha. Menurut Bhabha, kolonialisme merupakan bentuk asumsi yang ditujukan untuk mengukuhkan pola Barat pada penduduk dan wilayah lain. Pendudukan Barat di daerah Timur menciptakan sebuah upaya untuk menyerupai Barat sehingga orang Timur yang disisihkan sebagai bangsa terbelakang seolah-olah menjadi setara dengan orang Barat. Akan tetapi, peniruan yang dilakukan tetap saja menjadi pembeda antara Barat dan Timur, seperti yang diungkapkan oleh Bhabha berikut.

“…colonial mimicry is the desire for a reformed, recognizable Other, as a subject of a difference that is almost the same, but not quite.”(Michelson, Krauss, Crimp, & Copjec (ed), 1987:318)

Peniruan tersebut hanya sanggup mencapai tahapan hampir sama, tetapi tidak sepenuhnya seperti aslinya.

Menurut Keith Foulcher, mimikri yang dilakukan oleh pribumi atau orang dari wilayah Timur Jauh merupakan sebuah tindakan yang diinginkan oleh penjajah. Hal ini merupakan hasil dari penyebaran peluang mengenyam pendidikan Barat di wilayah kekuasaan kolonial. Di Hindia Belanda, peluang ini dikenal dengan istilah politik etis, sebuah upaya balas jasa pemerintah kolonial

(4)

karena telah menjajah Indonesia berabad-abad. Akan tetapi, politik etis tidak sepenuhnya bermakna positif bagi pribumi. Di satu sisi, pribumi berhak mengenyam pendidikan Barat seperti halnya bangsa Belanda dan Indo. Di sisi lain, politik etis merupakan salah satu bentuk dominasi Belanda yang akan menuntut rasa berutang budi karena telah diberikan kemakmuran dan budaya yang tinggi. Pribumi sekali lagi dikelabui dengan penerapan politik etis yang dianggap sebagai bentuk balas jasa Belanda kepada Indonesia, tetapi justru bentuk dominasi Belanda agar bangsa Indonesia berutang budi dan berterima kasih atas pendidikan yang telah diberikannya (Foulcher, 1999:15).

Tambahan pula, politik etis yang dimaksudkan untuk merapatkan jurang antara penjajah dan yang dijajah pada akhirnya hanya untuk mempertegas perbedaan kedua kubu tersebut. Pribumi didikan Belanda hanya menjadi golongan “perantara” pemerintah Kolonial dan Pribumi. Berikut kutipan pandangan Keith Foulcher terkait dengan kedudukan pribumi “perantara” yang dididik Belanda.

“Tetapi, bagi kaum penjajah, sikap “agung” yang berkeinginan “menganugerahkan” khazanah pendidikan dan kebudayaan Barat kepada warga tanah jajahan “yang berterima kasih” karenanya mengandung bahaya. Bagi penjajah dan kaum terjajah harus tetap dipertahankan, walaupun kebijakan etis bercita-cita merapatkan jurang yang memisahkan kedua belahan bumi kolonalisme itu. Oleh karena itu, Macaulay (pidato di depan anggota parlemen Inggris pada tahun 1835) menginginkan pembentukan golongan “perantara”, yang masih berdiri di luar golongan penjajah. Sebagaimana kata Bhabha, warga terjajah dididik untuk menjadi

almost the same, but not quite, atau dengan kisaran rasialis yang tepat, almost the same but not white.” (Foulcher, 1999:15)

Berdasarkan kutipan tersebut, Bhabha mengungkapkan mimikri yang dilakukan pribumi terdidik tidak bisa mengangkat statusnya sebagai pribumi. Mimikri hanya dapat dilakukan sebatas mengikuti pola Barat, tetapi tidak sepenuhnya bisa mereproduksi kebiasaan, nilai-nilai, dan institusi Barat. Kegagalan mimikri yang dilakukan pribumi disebabkan oleh hal yang sifatnya kodrat, yaitu warna kulit dan keturunan. Manusia bukan Barat akan tetap begitu meskipun segala macam ilmu Barat telah dikuasai dengan baik. Oleh karena itu, mimikri pada akhirnya menciptakan sebuah gambaran yang kabur dari proses peniruan terhadap Barat (Foulcher, 1999:15-16).

Berbekal pengetahuan yang didapatkan dari membaca Bhabha dan Foulcher terkait dengan mimikri, penulis mencoba menerapkan analisis mimikri dalam karya Pramoedya Ananta Toer. Berikut akan dipaparkan analisis mimikri dan ambivalensi tokoh Minke dan Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia.

Minke Pribumi Berjiwa Eropa

Minke sebagai seorang pribumi mendapat anugerah karena bersekolah di H.B.S. Sekolah tersebut diperuntukan bagi keturunan Indo, Eropa Totok, dan anak bupati atau sebangsanya. Setelah ditelusuri dalam novel, diketahui bahwa Minke adalah cucu dari seorang bupati. Minke adalah pribumi Jawa yang mengenyam pendidikan Eropa.

Kedudukannya sebagai pribumi menciptakan jurang yang besar antara ia dan teman-teman sekolahnya. Salah satunya adalah Robert Suurhof, pemuda peranakan yang menganggap dirinya Eropa tulen, menganggap Minke tidak

(5)

sepadan dengannya. Padahal Suurhof bukan Eropa tulen, ia hanya dilahirkan di atas kapal Van Heemskerck. Ia berlaku seolah-olah sebagai warganegara Belanda karena hal tersebut. Perlakuan serupa juga diterima dari Robert Mellema, yang lahir dari ibu pribumi. Mellema menganggap dirinya tidak sederajat dengan Minke karena ia berdarah Eropa.

Hal yang menjadi masalah ketika seorang Minke bertemu dengan keluarga Indo, peranakan, adalah nama keluarga yang tidak tercantum di belakangnya. Bagi orang Indo, nama keluarga atau nama ayah menjadi penanda kedudukannya. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.

“Ia masih juga menjabat tanganku, menunggu aku menyebutkan nama keluargaku. Aku tak punya, maka tak menyebutkan. Ia mengernyit. Aku mengerti: barangkali dianggapnya aku anak yang tidak atau belum diakui ayahnya melalui pengadilan: tanpa nama keluarga adalah Indo hina, sama dengan Pribumi.” (Toer, 1981:11-12) Bagi orang Indo, tidak memiliki nama keluarga sama rendahnya dengan menjadi Pribumi. Hal inilah yang membedakan orang Indo, Eropa Totok, dan Pribumi.

Minke tidak dapat meniru orang Indo dalam namanya, tetapi ia dapat meniru orang Indo dalam keahlian berbahasa Belanda. Minke fasih berbahasa Belanda sehingga ia pernah diminta ayahnya menjadi penerjemah ketika upacara pengangkatan sebagai bupati. Keahlian Minke ini dipuji oleh banyak pihak. Berikut kutipan terkait dengan hal tersebut.

“Ayahanda yang angkat bicara…. Ia berbasa Jawa dan aku membelandakan. Sekarang dengan

lagak Eropa sepenuhnya, tertuju pada Tuan Assisten Residen B. dan hadirin Eropa. …seakan tidak lain dari diri yang berpidato…”

“waktu Tuan Assisten Residen menyalami aku, ia memerlukan memuji bahasa Belandaku: “sangat baik”” (Toer, 1981:130) Pengakuan dari orang Belanda atas kefasihan bahasa Belanda Minke mendekatkan jaraknya dengan orang Eropa. Menguasai bahasa Belanda menjadi salah satu kelebihan yang akan menghapuskan nilai Pribumi dalam dirinya. Minke semakin menjiwai Eropa dalam dirinya ketika ia lebih mampu menulis dalam bahasa Belanda daripada bahasa Jawa (sebagai bahasa ibunya) dan bahasa Melayu (sebagai bahasa keseharian di Hindia Belanda).

Selain bahasa, pengetahuan Minke tentang Belanda dan Eropa khususnya dalam karya tulis yang ia dapat dari guru bahasa Belandanya di sekolah seolah-olah ikut membentuk pola pikir Eropa dalam dirinya. Minke membenci adat Jawa yang membuat orang harus menundukkan kepalanya ketika bertemu dengan orang yang lebih dihormati. Ia juga membenci jalan berlutut ketika menemui bupati atau raja. Menurutnya, hal ini merendahkan martabatnya sebagai pelajar di sekolah Eropa yang telah bergaul dengan orang Eropa karena harus merendahkan diri di depan manusia lain.

Menurut Niels Mulder, orang Jawa tidak bisa lepas dari masyarakatnya. Masyarakat bersifat otonom yang mengatur segala aspek kehidupan anggota-anggotanya. Ketentraman dan keselarasan menjadi pijakan utama dalam masyarakat. Moralitas mengajarkan orang menghormati sesama karena perbedaan kepentingan dan tidak boleh mementingkan diri sendiri. Dalam kehidupan keluarga, manusia dididik untuk menjadi individu yang bergantung dengan

(6)

lingkungan yang bertujuan untuk menciptakan individu sosial. Hakikat kehidupan Jawa terletak dalam hierarki sosial yang bertingkat-tingkat, seperti hubungan pimpinan dan bawahan, ayah dan anak, kakak dan adik (Mulder, 1986:37-50). Hal inilah yang terlihat dalam relasi Minke dan keluarganya.

Sebagai orang Jawa, Minke sudah melupakan tata karma yang ditanamkan orang tuanya. Hal tersebut terlihat ketika Minke disuruh menghadap ibunya. Ia tidak bergegas menemui ibunya seperti lazimnya perlakuan anak yang sudah lama tidak bertemu. Ia juga naik pitam ketika catatan hariannya dibaca oleh abangnya. Minke tidak lagi mengindahkan sopan santun seperti dalam adat Jawa. Berikut kutipannya.

“Rupanya kesopanan pun sudah kau lupakan maka tak segera sujud pada Bunda?”

“Jangan sentuh ini! Siapa kasih kau hak membukanya? Kau!...” “Memang sudah bukan Jawa lagi.”

“Apa guna jadi Jawa kalau hanya untuk dilanggar hak-haknya? Tak mengerti kau kiranya… Tak pernah gurumu mengajarkan ethika dan hak-hak perseorangan?”

“Apa kau tidak diajar peradaban baru? … Mau jadi raja yang bisa bikin semau sendiri, raja-raja nenek-moyangmu?”

“kau memang sudah bukan Jawa lagi. Dididik Belanda jadi Belanda, Belanda coklat semacam ini.” (Toer, 1981:123-124)

Minke memegang teguh ajaran Eropa yang terkait dengan etika dan pengakuan hak perseorangan. Baginya, etika Eropa dan sopan santun Jawa berbeda sama sekali. Saya tidak menemukan poin pembeda antara etika yang diajarkan Eropa dan

sopan santun yang dilestarikan adat Jawa dalam novel ini.

Minke juga menjadi pribadi yang bebas mengemukakan pendapatnya dan membela haknya apabila dilanggar oleh orang lain. Nilai-nilai ini tertanam dalam diri Minke sehingga ia dianggap sebagai pembangkang oleh keluarganya. Hal ini seolah-olah mengukuhkan Minke sebagai Belanda yang berkulit cokelat seperti yang disebutkan oleh Bundanya.

Mimikri yang dilakukan oleh Minke membuatnya dapat disetarakan sebagai Indo, tetapi secara de facto ia tetaplah Pribumi yang berkulit cokelat, tanpa nama keluarga, dan menganut agama Islam. Ketiga hal tersebut menggagalkan mimikri yang dilakukan Minke walaupun kemampuan akademis dan pola pikirnya sangat Eropa. Hal tersebut sekaligus menunjukkan ambivalensi seorang Minke. Ia tidak bisa melepaskan diri secara penuh dari statusnya sebagai keturunan pribumi dan sepenuhnya menjadi Eropa. Ambivalensi juga terlihat dalam upacara pernikahan Minke dan Annelies. Dalam upacara tersebut, prosesi Jawa tetap dijalani Minke. Minke mengenakan batik yang dibuat oleh Bundanya alih-alih tuxedo yang dipakai orang Eropa. Selain itu, Minke marah ketika keluarga de la Croix menghina bangsanya. Hal ini menunjukkan egonya sebagai orang Jawa terusik karena cemoohan orang asing yang hanya mengenal bangsanya dari permukaan saja sementara ia telah hidup bertahun-tahun dalam masyarakat itu.

Nyai Ontosoroh: Perempuan Didikan Belanda

Nyai Ontosoroh berasal dari desa dengan nama asli Sanikem. Ia dijual kepada orang Belanda karena ambisi ayahnya menjadi kasir di perusahaan Belanda. Pada saat itu, ia baru berusia empat tahun. Keputusan ayahnya itu telah menciptakan sosok Sanikem yang baru. Ia

(7)

sangat mengutuk keputusannya ayahnya itu. Ia mendendam dan sekaligus membenci keluarganya. Ia benci ayahnya karena telah menjualnya anaknya demi jabatan dan membenci ibunya karena tidak berbuat apapun demi menggagalkan usaha itu. Dengan perasaan dendam dan benci itu, Sarikem menanggalkan semua kenangan masa lalunya. Ia terlahir kembali sebagai Nyai Ontosoroh dengan karakter yang baru.

Nyai Ontosoroh berbeda dengan karakter nyai pada umumnya. Ia adalah perempuan yang sanggup menjalankan perusahaan yang ditelantarkan tuannya demi menghidupi keluarga. Kepandaiannya ini merupakan didikan dari tuannya. Ia diajarkan membaca dan menulis dalam bahasa Belanda, ia juga dikenalkan dengan sistem perbankan dan cara berdagang. Ontosoroh diperlakukan layaknya rekan bisnis oleh tuannya. Ia dianggap sejajar dengan tuannya sehingga ia bebas berpendapat. Berikut kutipan tentang keterangan tersebut.

“Tuan Mellema…diajarinya aku bagaimana memeliharanya (ternak). Di malam hari aku diajarinya baca-tulis, bicara, dan menyusun kalimat Belanda.” “Pada waktu itu, Mama mulai merasa senang, berbahagia. Ia selalu mengindahkan aku, menanyakan pendapatku, mengajak aku memperbincangkan semua hal. Lama kelamaan aku merasa sederajat dengannya.” (Toer, 1981:81)

Sebagai seorang gundik, ia diperlakukan setara oleh tuannya. Ia diajarkan banyak hal yang berkaitan dengan kebutuhan perusahaan. Ia diserahi tanggung jawab memerintah pekerja dan tuannya akan mengurusi pekerjaan di luar perusahaan.

Ontosoroh merupakan sosok gundik yang cerdas. Ia bisa berbahasa

Belanda, mengenal etika bersalaman ketika bertemu dengan orang asing, dan tidak gusar dengan kedatangan tamu pria di rumahnya. Hal ini mengesankan bahwa Ontosoroh mengerti dan mendalami etika Eropa sepenuhnya sehingga Minke beranggapan ia adalah wanita (gundik) yang bebas seperti layaknya wanita Eropa. Hal tersebut terlihat dalam tanggapan Minke ketika bertemu Nyai Ontosoroh pertama kali.

“Dan aku ragu. Haruskah aku ulurkan tangan seperti pada wanita Eropa, atau aku hadapi ia seperti wanita Pribumi – jadi aku harus tidak peduli? Tapi dialah justru yang mengulurkan tangan. Aku terheran-heran dan kikuk menerima jabatannya. Ini bukan adat Pribumi; Eropa!”

“…seorang wanita Pribumi bukan saja bicara Belanda begitu baik, lebih karena tidak mempunyai suatu complex terhadap tamu pria…. Apa sekolahnya dulu? Dan mengapa hanya seorang nyai, seorang gundik? Siapa pula yang mendidiknya jadi begitu bebas seperti wanita Eropa?”

(Toer, 1981:16-17)

Sebagai seorang ibu, ia bersikap sangat keras kepada kedua anaknya. Ia membentuk Annelies, anak perempuannya, menjadi perempuan yang tangguh dan tidak bergantung pada laki-laki seperti yang ia lakukan selama lima tahun ketika tuan Herman Mellema kehilangan akal sehatnya dan sering menghilang dari rumah. Ia juga mendidik Annelies untuk bertanggung jawab terhadap hidupnya. Ia harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya. Akan tetapi, didikan ini tidak diindahkan Robert, putranya. Robert menganggap ibunya tidak layak diteladani karena ia Pribumi yang tidak berdarah Eropa. Oleh karena itu, keluarga Mellema terpecah menjadi dua kubu, yaitu kubu Perempuan pribumi yang tangguh dan

(8)

kubu laki-laki Eropa yang hanya bisa berfoya-foya.

Kekuatan Eropa dalam diri Ontosoroh juga terlihat dari pengetahuannya tentang penulis Eropa dan buku-buku karya Eropa. Ia menyebutkan nama Victor Hugo dan G. Francis. Ia disediakan perpustakaan oleh tuan Mellema. Membaca buku merupakan salah satu ritual yang dilakukannya sebelum tidur. Hal ini diajurkan oleh dokter keluarganya karena selama lima tahun ia mengalami masalah sulit tidur. Fakta ini menimbulkan kekaguman dalam diri Minke dan guru bahasa Belandanya ketika berkunjung ke Boerderij Buitenzorg. Berikut kutipannya.

“Siapa yang membaca Indische Gids ini?”

“Bacaan pengantar tidur, Juffrow.”

“Apa Nyai tahu tentang assosiasi Snouck Hurgronje?”

“Maaf,” nyai mengambil majalah itu dari tangan guruku, mencari-cari halaman tertentu, kemudian menunjukkan pada Magda Peters.” (Toer, 1981:225)

Ketangguhan Nyai Ontosoroh juga terlihat ketika ia berjuang mati-matian mempertahankan Annelies di bawah perlindungan melawan keputusan pengadilan Amsterdam yang diwakili oleh pengadilan Surabaya. Ia berani melawan pengadilan demi mendapatkan hak asuh anaknya. Ia mengupayakan segala macam demi mewujudkan keinginannya itu. Ketangguhan inilah yang saya rasa membedakan Ontosoroh dengan nyai lainnya.

Sikap Nyai Ontosoroh yang serba Eropa, bertolak belakang dengan pakaiannya. Sebagai seorang Pribumi, ia tetap menggenakan kebaya dan kain. Ia tidak mengenakan gaun atau pakaian lainnya yang biasa digunakan perempuan

Eropa. Hal ini mungkin mengindikasikan statusnya sebagai seorang nyai. Selain itu, ia juga dengan bangga menyebut dirinya nyai ketika Jean Marais dan Magda Peters (sahabat dan guru Minke) memanggilnya dengan sapaan hormat Mevrouw. Berikut kutipannya.

“Mevrouw bukan budak, juga tidak seperti budak.”

“Nyai, Juffrouw.” Mama membetulkan. “Bisa saja seorang budak hidup di istana kaisar, hanya dia tinggal budak.”

(Toer, 1981:223)

“Mevrouw,” panggil Jean. “Nyai, Tuan, bukan Mevrouw.” “Minke sangat mengagumi Mevrouw….”

“Nyai, Tuan.”

“…sebagai wanita Pribumi luarbiasa. Dia banyak menyanjung Mevrouw, maka….”

“Nyai, Tuan.” (Toer, 1981:255)

Kesadaran penuh dengan statusnya sebagai gundik membuat Nyai Ontosoroh tidak sepenuhnya menjadi perempuan yang mandiri karena ia masih menganggap dirinya sebagai budak tuan Herman Mellema. Sebanyak apapun ilmu yang didapatkan dari ajaran Eropa tuannya dan kesetaraan yang ditunjukkan tuannya dengan berbagi pendapat tetap saja memosisikannya sebagai perempuan Pribumi.

Pramoedya dalam Kajian Poskolonial

Membaca Bumi Manusia seperti membaca curahan hati Pribumi di masa penjajahan. Hal ini menarik minat saya pada Pramoedya yang menulis novel ini. Apakah suara Minke dan Nyai Ontosoroh merupakan suara asli Pram sebagai seorang pribumi? Oleh karena itu, sebelum mengakhiri tulisan ini dengan kesimpulan, saya mencoba memaparkan pandangan

(9)

Pramoedya Ananta Toer terhadap poskolonial.

Dalam bukunya yang berjudul Realisme-Sosialis dan Sastra Indonesia, Pram memaparkan aliran realisme-sosialis yang pertama kali berkembang di Uni Soviet dan dipelopori oleh pujangga besar Soviet, Maxim Gorki. Paham ini awalnya berkembang sebagai bagian dari perjuangan politik pada tahun 1905. Aliran sastra reaslisme-sosialis di Indonesia, diawali dengan karya Mas Marco Mata Gelap dan Student Hijo yang mendapat kritik pedas (Toer, 2003:15-64).

Agaknya, aliran realisme-sosialis inilah yang digunakan Pram dalam menulis Bumi Manusia. Menurut Pram, aliran ini adalah aliran revolusioner yang menentang kapitalisme dan penjajahan. Salah satu pembagian realisme-sosialis yang digunakan Pram adalah realisme-kreatif/realisme- revolusioner. Dalam aliran ini, realitas merupakan bagian-bagian dari kebenaran yang harus dirangkum dan diubah pengarang untuk membela sosialis, bukan penjajah. Hal ini mengajarkan pembaca tidak menerima realitas dengan mutlak, realitas harus dipertanyakan dan dikoreksi terus-menerus. Kita tidak boleh terlena dengan realitas yang ada (Toer, 2003:71-74).

Berdasarkan pandangan Pram tersebut, menurut saya, Bumi Manusia adalah wujud koreksi Pram terhadap pemerintahan kolonial. Politik etis yang digiatkan Belanda tidak sepenuhnya menguntungkan bangsa Indonesia. Di satu sisi, bangsa kita diberi pembekalan ilmu Barat sehingga terlahir manusia baru yang lebih beradab dan berbudaya. Di sisi lain, bangsa ini dijerat dalam utang budi kepada Belanda sehingga penjajahan yang dilakukan 3,5 abad lamanya terhapus begitu saja digantikan dengan rasa terima kasih karena telah “dididik”.

Pram dengan tegas menunjukkan perlawanan Minke dan Nyai Ontosoroh di pengadilan Putih sebagai bentuk perlawanan kaum terjajah yang dididik Belanda terhadap Belanda sebagai pendidik. Mereka tidak dianggap sama sekali meskipun didikan Belanda terpatri dalam pikiran dan perilaku mereka. Selamanya pribumi tetaplah pribumi. Manusia bukan Barat tidak akan pernah menjadi Barat meskipun menguasai ilmu Barat dengan baik. Senada dengan paparan Bhabha, mimikri gagal dilakukan karena pribumi bukanlah orang kulit putih.

Simpulan

Melalui kedua tokoh tersebut, proses mimikri yang dilakukan Pribumi tetap saja tidak bisa mengubah status dan kedudukannya sebagai pribumi. Pendidikan Eropa yang diterima Minke dan kebenciannya pada adat tidak mengubah statusnya. Begitu pula halnya Nyai Ontosoroh. Didikan Eropa dan ketangguhan sebagai perempuan yang ia miliki tidak mampu membuat suaranya didengar di pengadilan Putih. Ketidakberdayaan mereka memper-tahankan Annelies di Hinda Belanda menjadi nilai mati kegagalan upaya mimikri yang mereka lakukan.

Hal ini menegaskan bahwa upaya mimikri yang dapat dilakukan bangsa Timur hanya terbatas pada penguasaan ilmu pengetahuan dan bahasa. Perbedaan antara Pribumi dan Eropa terletak pada bentuk fisik dan darah yang mengalir. Pribumi dapat berpikir seperti Eropa, tetapi darah dan garis keturunan tidak bisa ditiru. Oleh karena, upaya mimikri semakin mempertegas ketimuran pribumi dan kebaratan Eropa.

Pramoedya Ananta Toer sebagai pengarang Bumi Manusia menentang dengan tegas kebaikan penjajah yang disuarakan dalam politik etis. Politik etis bukanlah upaya balas budi penjajah,

(10)

melainkan trik baru untuk mendominasi pribumi sehingga timbul rasa utang budi dan terima kasih karena telah diberi kesempatan mengenyam pendidikan Barat.

Daftar Pustaka

Faruk. 1999. “Mimikri dalam Sastra Indonesia” dimuat dalam Kalam edisi 14, hlm. 2-14.

Foulcher, Keith. 1999. “Mimikri “Sitti Nurbaya”: Catatan untuk Faruk” dimuat dalam Kalam edisi 14, hlm. 15-26.

Michelson, Krauss, Crimp, & Copjec (ed). 1987. The First Decade, 1976 – 1986. Cambridge: MIT Press.

Mulder, Niels. 1986. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Gajahmada Press.

Nurhadi. 2005. “Bahasa dan Sastra dalam Konteks Kajian Poskolonial” dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi November. Jakarta: Balitbang Depdiknas.

PMII Salatiga. 2011. “Biografi Pramoedya Ananta Toer (1925-2006)” dalam http://salatigapmii.blogspot.com/2011/ 01/biografi-pramoedya-ananta-tour-1925.html.

Toer, Pramoedya Ananta. 1981. Bumi Manusia. Jakarta: Hasta Mitra.

Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Realisme-Sosialis dan Sastra Indonesia. Jakarta: Lentera Dipantara.

Referensi

Dokumen terkait

Salah salu spesi.s eulna )ans lalins banval dlrenrui di la\d padi adahl E.hin.thbo truss autti a'atr lcbih dikcnal dengd nrD jaiasoan. Jajasod r.maruk gulna edas

Produk media pembelajaran berbasis web - blog pada materi sistem saraf kelas XI dari segi kualitas materi dan kualitas media memiliki kriteria yang sangat baik

Karena itu tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh kewajiban moral, sosialisasi perpajkan, dan sanksi perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak orang

Berdasarkan hasil penelitian eksperimen yang telah dilaksanakan dan pembahasan pada pembelajaran IPA materi Perubahan Kenampakan Bumi dengan menggunakan model pembelajaran

On page 36, the Previous Study section has been amended with the correct recommendation that candidates should previously have studied a history curriculum.. We have not updated

Haji qiran adalah melaksanakan haji dan umrah dengan satu kali ihram. Artinya, apabila seorang jamaah haji memilih jenis haji ini, maka jamaah tersebut berihram dari miqat untuk

memberikan rangsangan terhadap pembelian tiket, memberikan suatu informasi yang berguna (seperti adanya promosi) bagi calon konsumennya yang hendak melakukan suatu

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah- Nya, sehingga Tugas Akhir ini dengan judul “ANALISIS KUAT TEKAN BATA TANPA PEMBAKARAAN MENGGUNAKAN BAHAN