• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pedagang kaki lima yang sampai saat ini menempati jalan kesehatan. Keberadaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. Pedagang kaki lima yang sampai saat ini menempati jalan kesehatan. Keberadaan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Kemunculan PKL

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran yang telah dilakukan oleh beberapa aktor terkait terhadap permasalahan yang ditimbulkan oleh keberadaan Pedagang kaki lima yang sampai saat ini menempati jalan kesehatan. Keberadaan PKL di jalan tersebut menimbulkan berbagai permasalahan seperti kemacetan, kebersihan dan terganggunya ruang publik. Relokasi terhadap pedagang yang berada di jalan kesehatan tersebut pernah dilakukan oleh UGM dan bekerjasama dengan pihak Kabupaten Sleman namun akhirnya mengalami kegagalan karena banyak pedagang yang kemudian pindah lagi berjualan di luar, hal tersebut menjadi salah satu permasalahan dan hal yang menarik untuk diteliti.

Pedagang kaki lima hampir terdapat di seluruh kota besar dan kecil di Indonesia. Pertumbuhannya searah dengan langkanya kesempatan kerja di kota. Membengkaknya pertumbuhan penduduk dan rendahnya tingkat pendidikan mayarakat serta migrasi penduduk dari desa ke kota merupakan suatu fenomena yang menjadi salah satu faktor menjamurnya pedagang kaki lima saat ini. Perkembangan kota tidak terlepas dari perkembangan penduduk yang semakin besar yang diakibatkan dari migrasi tersebut. Jumlah penduduk yang semakin bertambah berdampak pada banyaknya pengangguran di beberapa daerah. Hal tersebut terjadi karena pertumbuhan penduduk tidak dibarengi dengan bertambahnya lapangan pekerjaan. Maka yang akan terjadi adalah adanya

(2)

2

fenomena urbanisasi. Urbanisasi merupakan perpindahan penduduk dari desa ke kota. Penduduk biasanya berpindah ke kota untuk mencari pekerjaan, dikarenakan terbatasnya lapangan pekerjaan di desa. Anggapan bahwa di desa lapangan pekerjaan yang tersedia sedikit dan tergiur oleh gaji yang besar di kota, membuat sebagian besar dari penduduk beralih ke kota untuk menyambung hidup, akan tetapi karena minimnya ketrampilan yang dimiliki, terpaksa membuat penduduk akhirnya terjun dan bekerja di sektor informal.

Sektor informal paling mudah untuk dimasuki karena sektor ini tidak memerlukan ketrampilan dan keahlian. Dari berbagai jenis pekerjaan di sektor informal yang paling dominan dan menonjol aktivitasnya adalah pedagang kaki lima. Menurut Rachbini dan Hamid (dalam Ali 2008 : 9) pedagang kaki lima merupakan jenis usaha sektor informal yang banyak disentuh oleh kebijakan pemerintah (dalam hal ini pemerintah daerah), karena kehadirannya selali membawa dampak yang mengakibatkan sejumlah dampak bagi masyarakat luas sehingga pemerintah kemudian ikut campur terutama mengenai lokasi berjualannya yang sering menimbulkan pro dan kontra karena tempatnya yang sering illegal. Jenis usaha sektor ini paling berpengaruh karena kehadirannya dalam jumlah yang cukup besar mendominasi sektor yang bekerja memenuhi kebutuhan masyarakat perkotaan, terutama golongan menengah ke bawah. Seperti contohnya pedagang kaki lima yang berjualan makanan, sepatu, pakaian, souvenir dsb. PKL merupakan usaha sektor informal yang melakukan kegiatan usahanya dalam jangka waktu tertentu di daerah milik jalan atau fasilitas umum dengan menggunakan sarana berdagang yang mudah dibongkar. PKL dapat menjadi persoalan ketika mereka berjualan di tempat publik yang kemudian membuat keresahan yang mengakibatkan orang lain menjadi terganggu.

(3)

3

Asal mula sektor informal secara teoritis dapat dikatakan bukanlah fenomena baru sebab sektor informal ada di tengah kita sejak manusia berada di dunia. Sejak manusia ada di dunia mereka menunjang hidup mereka dengan cara menciptakan kerja sendiri atau self employed. Sampai dengan munculnya revolusi industri organisasi produksi yang berdasarkan hubungan kerja majikan dan pekerja tidak dikenal oleh manusia. Self employed merupakan satu-satunya organisasi produksi yang dikenal oleh manusia. Hampir senada yang dikatakan oleh Hart ( dalam Patriataman 2008 ) yang menyatakan bahwa sektor informal dapat berfungsi sebagai safety valve yang dapat meredam ledakan sosial sebagai akibat meningkatnya pencari kerja. H.D. Soto dalam patriataman menyatakan beberapa manfaat adanya sektor informal yaitu menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan pendapatan kaum lemah kota, dan menambah pendapatan pemerintah daerah.

Keberadaannya merupakan hal yang sangat penting terkait dengan peranannya sebagai mata pencaharian bagi masyarakat bawah. Keberadaan PKL sendiri menjadi denyut perekonomian bagi kaum bawah di tengah himpitan kapitalisme yang semakin merasuk di penjuru kota di negeri ini. Tidak mengherankan keberadaannya juga memang sangat penting dalam mendukung kegiatan-kegiatan maupun aktivitas yang mobilitasnya tinggi seperti yang terjadi di kota-kota besar misalnya Jakarta. Dapat dikatakan bahwa PKL sebagai salah satu penopang kehidupan di kota-kota besar.

Seperti yang dikatakan oleh Swasono (1987) mengatakan adanya sektor informal bukan sekedar karena kurangnya lapangan pekerjaan, apalagi

(4)

4

menampung lapangan kerja yang terbuang dari sektor informal akan tetapi sektor informal adalah sebagai pilar bagi keseluruhan ekonomi sektor formal yang terbukti tidak efisien. Hal ini dapat menunjukkan bahwa sektor informal telah banyak mensubsidi sektor formal, disamping sektor informal merupakan sektor yang efisien karena mampu menyediakan kehidupan murah, sementara itu keberadaan PKL yang merupakan sektor informal merupakan penyangga bagi kehidupan terutama masyarakat bawah yang tidak mempunyai alasan lain untuk tidak berjualan, yaitu menyambung hidup. Mereka mau tidak mau melakukan pekerjaan tersebut, bisa dengan menjual makanan maupun menjual jasa untuk menghidupi keluarganya. Sektor ini juga berperan dalam penanganan masalah tenaga kerja di Indonesia, banyak tenaga kerja yang terserap dari sektor yang identik dengan masyarakat kaum bawah ini. Sektor ini juga telah dibuktikan tidak akan terpengaruh oleh dampak krisis ekonomi global, misal krisis yang terjadi pada tahun 1998. Pada saat itu justru perusahaan-perusahaan besar yang diberi suntikan dana besar dari pemerintah yang akhirnya kolaps dan mati. Bagaimana nasib UMKM seperti sektor informal, mereka tetap bisa bertahan walaupun dengan segala keterbatasan yang mereka miliki, seperti modal yang sedikit. Walaupun demikian setidaknya mereka mampu bertahan dari arus globalisasi dengan cara mereka sendiri untuk bertahan hidup dengan upaya kreatif dan inovasi yang dimiliki.

Firdausy ( dalam Alisjahbana 2003 : 218) mengatakan, permasalahan sosial ekonomi yang ditimbulkan dengan adanya sektor informal pedagang kaki lima ini antara lain meningkatnya biaya penyediaan fasilitas-fasilitas umum

(5)

5

perkotaan, mendorong laju arus urbanisasi dari desa ke kota, menjamurnya pemukiman kumuh dan tingkat kriminalitas kota. Sedangkan lingkungan perkotaan masalah lain yang timbul antara lain kebersihan dan keindahan kota, kelancaran lalu lintas serta penyediaan lahan untuk lokasi usaha kecil. Akibat dari kondisi tersebut, akhir-akhir ini banyak sekali dilakukan penataan terhadap pedagang kaki lima

Pedagang kaki lima selain pertumbuhan dan perkembangannya tidak teratur, kumuh dan selalu bertambah dengan menggunakan fasilitas umum sebagai tempat berdagang (misalnya trotoar dan jalan), PKL juga menyebabkan pengguna jalan tidak lagi merasakan kenyamanan saat berjalan karena banyak pedagang kaki lima yang sama sekali tidak menyisakan trotoar untuk pejalan kaki, bahkan tidak jarang pejalan kaki terganggu dengan tali

Dari uraian di atas dapat terlihat bahwa kehadiran PKL selain memberikan manfaat juga menimbulkan permasalahan seperti mengganggu ketertiban, kebersihan dan kenyamanan kota. Maka sudah sewajarnya PKL ditangani bersama dengan cara melakukan penertiban tanpa menghilangkan sektor informal itu sendiri. Untuk mengatasi sektor informal diperlukan ketegasan dari pihak yang terkait. Selain itu ada kecenderungan tempat yang digunakan untuk berjualan diperjualbelikan, padahal mereka berjualan dilokasi milik pemerintah maupun suatu instansi tertentu. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan melanggar hukum.

(6)

6 2. Pedagang Kaki Lima di Yogyakarta

Yogyakarta sebagai salah satu kota yang saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, serta didukung oleh adanya beberapa perguruan tinggi dan sejumlah pusat keramaian dan ruang publik membuat adanya suatu pertumbuhan penduduk yang besar yang sebagian besar berasal dari luar derah. Hal tersebut salah satunya menjadikan Yogyakarta sendiri menjadi sarang bagi bermunculnya pedagang kaki lima. Kini semakin mudah ditemukan pedagang kaki lima yang berjejer berjualan di Yogya. Seperti adanya PKL Klithikan yang dulu berada di sepanjang Jalan Mangkubumi sekarang sudah ditata oleh pemeriintah Kota Yogyakarta menjadi Pasar Klithikan yang berada di Kuncen Yogyakarta. Pasar ini khusus menjual barang-barang bekas seperti onderdil kendaraan, peralatan rumah tangga, pakaian, sepatu, barang antik atau kuno dan sebagainya. Kemudian PKL Jalan Solo yang juga memakai trotoar bagi pejalan kaki untuk berjualan, serta PKL Sardjito yang berjualan dari pagi hingga dini hari lagi yang berada di depan rumah sakit Dr Sardjito.

3. Sejarah Pedagang Kaki lima di Jalan Kesehatan (depan RS Sardjito)

Keberadaan PKL di depan rumah sakit Sardjito sendiri pada mulanya berawal dari adanya beberapa pedagang yang menjual makanan untuk dijual kepada penunggu pasien. Pedagang kaki lima depan sardjito telah lama menempati jalan kesehatan sejak tahun 1970 an. Dulu pedagang yang semula hanya berjumlah sekitar 8 penjual kini menjelma menjadi sebuah perkumpulan pedagang yang tidak bisa dibilang sedikit. Pada saat itu para pedagang tersebut memang diberi

(7)

7

tempat berjualan khusus di depan bangunan rumah sakit, akan tetapi seiring berjalannya waktu jumlah pedagang disana semakin lama semakin bertambah dan mulai tidak teratur sehingga menimbulkan banyak masalah seperti penataan tata ruang.

Berangkat dari hal tersebut kemudian pihak rektorat Universitas Gadjah Mada bersama Fakultas Kedokteran, Pemda Sleman dan pihak RS Dr Sardjito merelokasi para pedagang tersebut untuk menempati tempat baru yaitu di sebelah utara bangunan rumah sakit Sardjito. Pada tahun 1998 UGM menyediakan lahan kosong untuk ditempati oleh pedagang yang semula berjualan di depan rumah sakit dan di sebelah selatan hutan fakultas Biologi. UGM selaku pemilik tanah tersebut meminta bantuan kepada pihak dinas pasar sleman agar mau membantu dan bekerja sama dalam pendataan dan penyediaan bangunan kios-kios yang menjadi tempat relokasi bagi para pedagang agar tidak berjualan di depan rumah sakit lagi. Berkaitan dengan hal itu, relokasi sendiri merupakan upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menata ruang publik agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Relokasi dilakukan sebagai upaya agar ruang publik tersebut dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Kemudian para pedagang pindah menempati kios-kios yang telah disediakan tersebut secara gratis dan membayar iuran per hari sebesar Rp 3000,- per kios. Akan tetapi hal tersebut tidak bertahan lama, pedagang bertahan menempati tempat relokasi yang baru tersebut hanya berlangsung beberapa saat saja. Para pedagang yang semula bersedia pindah dan berjualan di tempat relokasi kemudian pindah berjualan di tempat semula yaitu di depan rumah sakit seperti sedia kala.

(8)

8

Dari penuturan oleh ketua aliansi paguyuban para pedagang pindah berjualan menempati pinggir jalan dan depan rumah sakit kembali dikarenakan saat pedagang berjualan di tempat relokasi baru tersebut mereka tidak mendapat penghasilan sebanyak ketika pedagang berjualan di luar atau di pinggir jalan depan rumah sakit. Pedagang merasa dirugikan setelah menempati kios-kios yang terletak di utara rumah sakit sarjito, kios-kios yang dibangun diatas tanah seluas 10x50 meter itu dianggap terletak agak jauh dari dari rumah sakit, oleh sebab itu jarak yang agak jauh serta menganggap tidak adanya akses menuju ke tempat tersebut mengakibatkan penghasilan para pedagang yang berjualan di tempat relokasi tersebut menjadi berkurang. Oleh karena hal tersebut kemudian para pedagang pindah ke tempat semula mereka berjualan yaitu di depan rumah sakit.

Seperti yang dikatakan oleh Kepala SKKK (Satuan Keamanan dan Keselamatan Kampus) UGM1. Bahwa relokasi pedagang Sardjito saat ini sudah sangat sulit untuk dilakukan dikarenakan ada pihak-pihak yang pernah menarik retribusi kepada para pedagang setiap hari. Sehingga menimbulkan kesan bahwa pedagang tersebut telah diberi ijin untuk berjualan disana. Dikemukakan juga bahwa perilaku PKL yang bertemperamental tinggi membuat diskusi dan musyawarah menjadi sulit menemukan jalan keluarnya. Oleh sebab itu sampai saat ini PKL sulit untuk direlokasi dan diajak berdiskusi mengenai relokasi yang akan dilakukan oleh pihak UGM. Disamping itu aliansi yang terbentuk dari sekumpulan paguyuban PKL di area UGM membuat eksistensi PKL semakin kuat. Dalam wacana kebijakan dan diskusi mengenai relokasi yang sering

(9)

9

diinisiasi oleh UGM sendiri, pedagang kaki lima selalu mendapat dukungan yang besar dari civitas mahasiswa UGM sendiri dan beberapa bantuan hukum seperti LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Yogyakarta.

Relokasi pernah dilakukan oleh Dinas Pasar yang bekerjasama dengan UGM dengan memakai tanah milik UGM pada tahun 1999, akan tetapi mengalami kegagalan dimana para pedagang tersebut kemudian pindah lagi ke tempat berjualan semula yaitu di depan rumah sakit yang membuat status yang dimiliki oleh PKL sampai saat ini masih illegal, para pedagang belum mendapat ijin haknya untuk berjualan di depan rumah sakit yang saat ini masih menjadi jalan lingkungan kampus UGM serta menjadi ruang publik bagi masyarakat luas terutama bagi pejalan kaki dan kendaraan yang melintas.

4. Keindahan Tata Ruang Kota dan Pejalan Kaki

Hingga saat ini Pedagang kaki lima tetap berjualan di depan rumah sakit dan menempati trotoar fakultas kedokteran UGM. Semakin banyaknya pedagang yang berjualan semakin lama kesemrawutan dan kemacetan tidak dapat terselesaikan dengan baik. Pedagang yang menempati sebagian trotoar milik fakultas kedokteran UGM menjadi penghalang bagi pejalan kaki dan mengganggu kenyamanan bagi suasana belajar fakultas kedokteran serta merusak keindahan tata ruang kota. Hal tersebut membuat pihak fakultas kedokteran UGM merasa terganggu dan merasakan langsung dampaknya. Kemudian para pedagang kaki lima terutama yang membuka lapak di ruas sebelah barat jalan kesehatan yang menempati sebagian badan jalan persis di depan rumah sakit, kemudian ditambah dengan adanya parkir mobil yang berada di pinggir jalan. Keberadaan pedagang

(10)

10

disana sangat merusak keindahan tata ruang kota dan merusak image sebuah rumah sakit yang baik dan bersih. Rumah sakit selalu diidentikkan dengan sebuah tempat pelayanan publik untuk mengobati orang sakit yang seharusnya mempunyai bangunan yang terlihat bersih. Pemandangan yang seharusnya terlihat dari sebuah rumah sakit yang baik tersebut menjadi terganggu dengan banyaknya pedagang kaki lima yang hadir disekitarnya. Keramaian dan hingar bingar para pedagang mendirikan lapak membuat suasana terlihat semrawut dan ramai.

Pedagang kaki lima sardjito ini menggunakan trotoar yang ada di sebelah timur jalan kesehatan, para pedagang mendirikan lapak semi permanen untuk berjualan sehingga tidak ada ruang lagi bagi pejalan kaki untuk berjalan disana. Sebagaimana hak dan kewajiban bagi pejalan kaki yang diatur dalam Undang-undang No 22 tahun 2009 LLAJ (Lalu Lintas dan Angkutan Jalan), pasal 131 ayat 1 yang berbunyi pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan dan fasilitas lain. Kemudian pasal 132 ayat 1 pejalan kaki wajib menngunakan bagian jalan yang diperuntukkan bagi pejalan kaki atau jalan yang paling tepi atatu menyeberang di tempat yang telah ditentukan.

Keberadaan pedagang kaki lima yang menempati ruas jalan kesehatan terutama di trotoar tersebut telah merebut hak dan kewajiban bagi pejalan kaki. Trotoar dan tepi jalan yang semestinya diperuntukkan bagi pejalan kaki malah dipergunakan untuk berjualan sehingga pejalan kaki tidak dapat menggunakan trotoar yang diperuntukkan sebagaimana mestinya di jalan kesehatan tersebut, banyak kemudian pejalan kaki yang berjalan berada agak ke tengah jalan karena

(11)

11

bagian tepi jalan dan trotoar telah digunakan pedagang untuk mendirikan lapak. Hal tersebut membuat kenyamanan bagi pejalan kaki menjadi terganggu serta membuat keselamatan bagi pejalan kaki menjadi taruhannya. Melihat banyaknya kendaraan besar maupun kecil yang melintasi jalan tersebut, sehingga resiko adanya kecelakaan yang melibatkan pejalan kaki dan kendaraan yang melintas menjadi lebih besar peluangnya. Hal tersebut yang menjadikan bahwa keberadaan pedagang kaki lima yang mendirikan lapak untuk berjualan di sekitar trotoar dan tepi jalan membuat hak dan kewajiban bagi pejalan kaki menjadi terenggut.

5. Kemacetan dan Kebersihan

Saat ini terdapat sekitar 100 pedagang mulai dari yang berjualan makanan, minuman, angkringan, warung kelontong atau snack, pedagang pulsa, penjual roti sampai ada beberapa pedagang yang berjualan pakaian. Keberadaan pedagang kaki lima yang menempati trotoar dan sebagian badan jalan tersebut mengakibatkan permasalahan seperti kemacetan dan masalah kebersihan. Kemacetan yang ditimbulkan dapat terjadi terutama pada saat tertentu terutama pada jam berangkat sekolah dan kerja yaitu pada pagi hari sebelum jam 8 pagi, jalan kesehatan yang terletak di depan rumah sakit sardjito adalah jalan lingkungan kampus yang menjadi jalan umum karena banyak dilalui oleh kendaran besar seperti bis atau mini bis maupun kendaraan kecil. Kemacetan seringkali terlihat dan tidak dapat dihindari terutama saat-saat jam tertentu pada pagi hari maupun siang hari. Pedagang yang mendirikan lapak di sebagian tepi jalan membuat jalan menjadi berkurang yang mengakibatkan jalan tersebut menjadi sempit.

(12)

12

Masalah kebersihan terutama ditimbulkan oleh ketidakpastian sumber air yang digunakan oleh beberapa pedagang. Hal tersebut karena di tempat berjualan tidak disediakan saluran air bersih untuk membuat makanan dan minuman maupun untuk mencuci piring dan gelas. Oleh karena itu mengenai kebersihan makanan dan minuman masih diragukan terutama bagi kesehatan karena banyak resiko yang bisa saja ditimbulkan seperti menularnya suatu penyakit. Selain itu faktor kebersihan lain yang diragukan adalah polusi udara yang kemungkinan dihirup oleh setiap pengunjung atau pembeli yang datang. Keberadaan PKL yang hanya menempati tempat semi permanen alias tidak tetap dan sedikit terbuka tersebut membiarkan polusi udara yang berasal dari asap kendaraan bermotor yang lewat di jalan tersebut langsung bisa masuk ke dalam tempat pedagang menjajakan makanan kemudian mencemari makanan dan minuman yang dijual kepada pembeli yang sebagian besar pembeli tersebut berasal dari keluarga pasien atau pengunjung pasien yang kebetulan mampir untuk membeli makanan. Efek buruk dari polusi udara yang tercemar tersebut dapat mengganggu bagi kesehatan manusia, terutama bagi kesehatan saluran pernafasan dan paru-paru. Oleh sebab itu masalah kebersihan air dan polusi menjadi salah satu sisi negatif yang ditimbulkan karena berbahaya bagi kesehatan pembeli.

Oleh karena itu penelitian ini memfokuskan pada peran stakeholders dalam upaya penataan dan pengelolaan pedagang kaki lima di jalan kesehatan. Sejauh ini peran tersebut dilakukan oleh Kabupaten Sleman (Dinas Pasar dan Satpol PP) serta rektorat UGM. Terkait mengapa menarik dilakukan penelitian ini karena keberadaan PKL tersebut menimbulkan kesemrawutan dan berbagai masalah

(13)

13

seperti yang sudah dijelaskan diatas. Jumlah PKL Sardjito yang semakin bertambah hingga saat ini dan telah menimbulkan berbagai dampak tersebut merupakan salah satu fenomena perkembangan kota yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah ataupun pihak terkait dengan masalah tersebut. Permasalahannya diantaranya adalah bagaimana pemerintah daerah dalam hal ini Kabupaten Sleman memandang hal tersebut dan membuat kebijakan-kebijakan yang tepat untuk meningkatkan taraf hidup para PKL sekaligus menegakkan hukum bagi pengendalian dan pengaturan tata kota.

PKL biasanya terbentuk di tempat yang mendekati keramaian dan mereka biasanya terdiri dari beberapa pedagang maka dari sana kemudian terbentuk komunitas maupun paguyuban yang mengurusi PKL tersebut. Dengan adanya relokasi yang pernah dilakukan dan mengalami kegagalan, kemudian konflik yang mengiringi proses relokasi sampai saat ini serta keberadaan paguyuban yang semakin mengukuhkan dan menguatkan keberadaan PKL menarik untuk diteliti bagaimana pengelolaannya. Relokasi yang pernah dilakukan dan mengalami kegagalan membuat pedagang disana semakin hari semakin bertambah hingga sampai saat ini dan menimbulkan banyak permasalahan seperti kemacetan serta masalah kebersihan. Interaksi pedagang kaki lima menjadi salah faktor dalam membentuk komunitas atau kelompok . Pada hakekatnya interaksi merupakan hubungan-hubungan yang tersusun atau terbentuk dari perwujudan peran perilaku (role play) yang bekerja secara dinamis dan meliputi hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia maupun orang-perorangan dalam suatu komunitas masyarakat tertentu (Ali 2008 : 27).

(14)

14

Aktor yang berperan dalam penataan PKL Sardjito dilakukan oleh berbagai pihak terkait, diantaranya pihak UGM dimana PKL tersebut menempati sebagian trotoar yang menjadi ruang bagi pejalan kaki yang berdekatan dengan Fakultas Kedokteran, kemudian RS Sardjito dimana sebagian dari wilayah yang berada di depan rumah sakit digunakan oleh pedagang berjualan dan rumah sakit tersebut juga dianggap berperan atas kehadiran pedagang kaki lima yang cenderung mendekati keramaian untuk berjualan. Kemudian Dinas Pasar Kabupaten Sleman yang mana mempunyai andil karena keberadaan PKL menempati wilayah Sleman secara administratif dan Satpol PP Kabupaten Sleman. Disamping itu keberadaan sektor informal PKL menjadi salah satu kewajiban pemerintah daerah setempat untuk melakukan pembinaan karena berkaitan dengan penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat menengah kebawah dengan minim ketrampilan. Dengan demikian aktor resmi yang seharusnya terlibat dalam permasalahan yang ditimbulkan oleh keberadaan PKL di jalan kesehatan tersebut menjadi tanggung jawab bersama tidak hanya UGM sebagai pemilik jalan dan kawasan tersebut, tetapi pihak kabupaten sleman terhadap upaya tanggung jawab terhadap permasalahan yang ditimbulkan oleh PKL itu sendiri dan terkait dengan ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat menengah ke bawah. Di samping itu Kabupaten Sleman mempunyai landasan hukum yang lebih kuat dalam hal penataan PKL tersebut.

Kabupaten Sleman dalam upaya untuk menanggulangi berbagai masalah yang diakibatkan oleh maraknya PKL menerbitkan Peraturan Bupati (Perbup) Sleman Nomor 23 tahun 2012 tentang perizinan pedagang kaki lima (PKL).

(15)

15

Perbup ini merupakan salah satu tindak lanjut amanat dalam Perda Nomor 11 tahun 11 2004 tentang pedagang kaki lima. Dalam perbup baru itu mengatur berbagai hal tentang PKL seperti penataan, penyelenggaraan PKL serta ketentuan perijinan. Berbagai cara ditempuh pemerintah kabupaten sleman untuk mengatur keberadaan pedagang kaki lima yang tampaknya sudah mendominasi ruang publik, termasuk relokasi dan berbagai penertiban yang dilakukan oleh aparat pemerintah. Dengan peraturan bupati ini maka pemerintah memiliki legitimasi untuk menertibkan kemudian merelokasi serta membinanya.

PKL Sardjito mempunyai paguyuban yang menjadi salah satu wadah bagi para pedagang untuk membentuk suatu komunitas pedagang yang semakin memperkuat eksistensi pedagang saat ini. Paguyuban tersebut merupakan suatu bentuk sarana untuk berkomunikasi selain untuk mempertahankan keberlangsungan para pedagang, namun juga sebagai media diantara para pedagang untuk berhubungan dengan pihak eksternal terkait yaitu dinas pasar Kabupaten Sleman, satpol PP dan rektorat UGM dalam hal terkait relokasi. Dari pengamatan yang terlihat di lapangan saat ini keberadaan paguyuban merupakan hal sangat penting bagi keberlangsungan PKL Sardjito yang dianggap menempati daerah illegal ini. Paguyuban mengelola PKL terkait hal-hal yang berhubungan dengan rencana yang akan dilakukan jika dilakukan relokasi, penataan PKL, dan strategi yang dihadapi untuk menghadapi perkembangan yang terjadi.

Berangkat dari fenomena tersebut maka mendorong untuk mengambil judul “ Peran Stakeholders dalam Upaya Penataan Pedagang Kaki Lima di Depan Sardjito”

(16)

16 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka dapat diambil rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: ”Bagaimanakah Peran Stakeholders dalam Upaya Penataan Pedagang Kaki Lima di Depan Rumah Sakit Sardjito?”

Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukan penelitian mengenai pengelolaan Pedagang Kaki Lima Sardjito adalah:

1. Mengetahui siapa saja stakeholders terkait yang terlibat dalam penataan Pedagang Kaki Lima di depan rumah sakit sardjito

2. Mendeskripsikan peran stakeholders terkait yang dilakukan dalam menata dan mengelola PKL depan rumah sakit Sardjito.

3. Mengetahui penyebab kegagalan negosiasi yang dilakukan antar aktor.

6. Manfaat Penelitian

Manfaat dilakukan penelitian mengenai peran stakeholders dalam penataan dan pengelolaan Pedagang Kaki Lima Sardjito adalah:

Bagi Pihak Pemerintah Kabupaten Sleman, Pihak Rektorat UGM dan Rumah Sakit Sardjito:

1. Sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan proses kebijakan publik dan merumuskan alternatif-alternatif kebijakan untuk penanganan PKL.

(17)

17 Bagi Pembaca dan Peneliti:

1. Sebagai referensi dan sumbangan literatur bagi perkembangan Ilmu pengetahuan terutama yang berakitan dengan penataan dan pengelolaan Pedagang Kaki Lima.

2. Memberi informasi bermanfaat bagi pembaca yang ingin melakukan penelitian terkait tema dan fokus pada penelitian ini

Bagi Pedagang Kaki Lima (PKL):

Penelitian ini dapat bermanfaat dalam membantu bagi paguyuban PKL Sardjito dalam mengelola dan menata PKL sendiri, serta menyalurkan aspirasi PKL kepada Pemerintah Daerah Sleman dan stakeholders lainnya yang terkait sehingga berdampak pada kebijakan yang akan diambil selanjutnya agar bersifat adil dan tetap mempertimbangkan kepentingan rakyat kecil.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian seorang auditor yang memiliki kinerja tinggi dianggap cenderung melakukan tindakan yang menyimpang karena tindakan menyimpang yang dilakukan oleh

Koperasi adalah salah satu badan usaha atau organisasi yang cukup berkembang di Indonesia diatur dalam UUD 1945 pasal 33. 17 Tahun 2012 disebutkan bahwa

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen validitas perangkat pembelajaran fisika model problem posing yang terdiri dari instrumen validasi

Analisis faktor strategi internal dan eksternal dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam merumuskan Strategi

Hasil analisis dengan uji chi square di dapatkan nilai ρ = 0,001 lebih kecil dari nilai α = 0,05, hal ini dapat di simpulkan bahwa hasil penelitian ini bermakna yaitu

Namun demikian, dalam praktik peradilan yang berlangsung selama ini ternyata tak satu pun dari gugatan CA diatas dikabulkan oleh pengadilan, dengan alasan dasar

Melalui tanya jawab via Whatssapp , siswa dapat menyebutkan isi teks yang dikirm guru melalui whatssapp, berkaitan dengan lingkungan sehat menggunakan bahasa lisan (dapat

treadmill lebih lama dan patofisiologi natrium bikarbonat menjadikan sukarelawan merasakan intensitas nyeri lebih rendah serta diperlukan penelitian lebih lanjut