• Tidak ada hasil yang ditemukan

Contoh Makalah Tindak Pidana Korupsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Contoh Makalah Tindak Pidana Korupsi"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWTatas karunianya. Sehingga makalah ini dapat kami selesaikan. Makalah ini merupakan syarat untuk melengkapi nilai tugas Mata Kuliah “Pendidikan Anti Korupsi”

Keberhasilan makalah ini tidak lain juga disertai referensi-referensi serta bantuan dari pihak-pihak yang bersangkutan. Makalah ini juga masih memiliki kekurangan dan kesalahanbaik dalam penyampaian materi atau dalam penyusunan makalah ini. Penyusunan makalah ini juga dimaksudkan untuk menambah wawasan mahasiswa mengenai materi ini.

Sehingga kritik dan saran yang membangun yang sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Cikaliung, 21 Maret 2016

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

(2)

1.3 Batasan Masalah 2

1.4 Tujuan Penulisan 2

1.5 Sistematika Penulisan 2

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 3

2.1.1 Era Sebelum Indonesia Merdeka 3

2.1.2 Era Pasca Kemerdekaan 4

2.1.3 Era Orde Baru 5

2.1.4 Era Reformasi

6

2.2 Tindak Pidana Korupsi dalam Dinamika Hukum 7

2.3 Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi 8

2.4 Fenomena Korupsi di Indonesia 8

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

10 3.2 Saran

10

DAFTAR PUSTAKA

(3)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Korupsi di Indonesia saat ini sudah sampai pada titik yang tidak dapat ditolelir.Begitu mengakat (membudaya) dan sistematis.Kerugian Negara atas menjamurnya praktek korupsi sudah tidak terhitung lagi. Jika tahun 1993 Soemitro Dojohadikusumo menyebutkan bahwa kebocoran dana pembangunan antara tahun 1989-1993 sekitar 30 % dan hasil penelitian World Bank bahwa kebocoran dana pembangunan mencapai 45 %, maka saat ini sepertinya jumlah tersebut sudah meningkat drastic. Hal tersebut menyebabkan munculnya istilah bahwa korupsi sudah menjadi extra ordinary crime.

Tingkat korupsi di Negara Indonesia sudah teramat parah bahkan menurut hasil penelitianTransparancy International, selama 5 (lima) tahun berturut-turut mulai Tahun 1995 sampai dengan Tahun 2000, Indonesia selalu menduduki posisi 10 (sepuluh) besar negara paling korup di dunia. Berdasarkan penelitian Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Tahun 1997, Indonesia menempati posisi negara terkorup di Asia.Dan pada Tahun 2001 peringkat Indonesia menjadi negara terkorup ke-2 di Asia setelah Vietnam.

(4)

korupsi, Inpres No.5 tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan tindak pidana korupsi, Kepres No.45 tahun 2004 tentang pengalihan organisasi, administrasi dan finansial sekjen KPKPN ke-komisi pemberantasan tindak pidana korupsi, Kepres No.59 tahun 2004 tentang pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, serta Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 tahun 2005 tentang percepatan pemberantasan korupsi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraraian di atas ditarik suatu permasalahan yaitu bagaimanakah pengaturan Tindak Pidana Korupsi yang terdapat Undang-undang No. 3 Tahun 1971 dan Undang-Undang No.20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No.31 tahun 1999tentang Pemberantasan Korupsi ?

1.3 Batasan Masalah

Dalam makalah ini kami akan membatasi pada ruang lingkup “Pengaturan Tindak Pidana Korupsi”

1.4 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui sejauhmana ketentuan tindak pidana korupsi dapat memberantas korupsi di Indonesiayang nantinya dapat dijadikan bahan masukan bagi lembaga legislasi dalam pembentukan aturan hukum mengenai tindak padana korupsi serta memberikan sumbangsih dalam upaya penanggulangan korupsi di Indonesia.begitupulah tujuan makalah ini sebagai bahan referensi dan bahan diskusi kelompok II ( Dua ) Kelas B Semester VI Mata Kuliah “PENDIDIKAN ANTI KORUPSI”

1.5 Sistematika Penulisan JUDUL,

KATA PENGANTAR, DAFTAR ISI,

(5)

BAB II

PEMBAHASAN

2.1.Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

2.1.1.Era Sebelum Indonesia Merdeka

Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadinya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.

Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 – 1942) minus Zaman Inggris (1811 – 1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda.Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 – 1837), Aceh (1873 – 1904) dan lain-lain.Namun, yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri.Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cuituur Stelsel (CS)” yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan.Walaupun tujuan utama sistem itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.

(6)

guru atau dosen sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS.mengganti ungkapan “Sistem Pembudayaan” menjadi “Tanam Paksa”.

2.1.2. Era Pasca Kemerdekaan

Bagaimana sejarah “budaya korupsi” khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya “Budaya korupsi” yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti telah diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru.

Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi.Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan belum bisa ditemukan.

Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.

Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat.Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.

Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo.Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.

(7)

negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi.Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.

Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan.Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, “prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain”.

Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.

2.1.3. Era Orde Baru

Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya.Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.

(8)

Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina.Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.

Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat.Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.

2.1.4. Era Reformasi

Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara “konkesuen” alias “kelamaan”.

Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).

Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya.pemberantasan KKN.

(9)

kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.

TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.[7]

Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, seorang alumni Akademi Kepolisian (Akpol) 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah kepemimpinan Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah "good and clean governance" (pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan Anggota DPR RI dari tahun 1992 sampai 2001, Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi.

Menurut Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya mengenai bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi juga bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada masa yang akan datang melalui pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi dan adanya contoh "island of integrity" (daerah contoh yang bebas korupsi).

Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang dinyatakan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Menurutnya, tindakan preventif (pencegahan) dan represif (pengekangan) ini dilakukan dengan "memposisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau institusi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas".

2.2.Tindak Pidana Korupsi dalam Dinamika Hukum

(10)

2.2.1 Tindak Pidana Korupsi

2.2.1.1 Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

2.2.1.2 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (sesuai Pasal 2 dan 3 UU No. 31 tahun 1999)

2.2.2 Keuangan Negara

Dalam undang-undang pengertian keuangan Negara adalah Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karenanya :

2.2.2.1 Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah.

2.2.2.2 Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan Perusahaan yang menyertakan Modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

2..2.3 Perekonomian Negara

Kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan atau usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun ditingkat Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. (sesuai dengan Perekonomian Negara dalamPasal 2 dan Pasal 3)

(11)

dirumuskan seluas-luasnya sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum.

2.3.Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi

Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi terdiri dari 2 unsur, yaitu : 2.3.1 Unsur-unsur subyektif yang meliputi :

2.3.1.1 Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

2.3.1.2 Perbuatan melawan hukum; 2.3.2 Unsur-unsur objektif yang meliputi :

2.3.2.1 Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya;

2.3.2.2 Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

2.4.Fenomena Korupsi di Indonesia

Fenomena umum yang biasanya terjadi di negara berkembang contohnya Indonesia

2.4.1 Proses modernisasi belum ditunjang oleh kemampuan sumber daya manusia pada lembaga-lembaga politik yang ada.

2.4.2 Institusi-institusi politik yang ada masih lemah disebabkan oleh mudahnya “ok-num”lembaga tersebut dipengaruhi oleh kekuatan bisnis/ekonomi, sosial, keaga-maan,kedaerahan, kesukuan, dan profesi serta kekuatan asing lainnya.

2.4.3 Selalu muncul kelompok sosial baru yang ingin berpolitik, namun sebenarnya banyak diantara mereka yang tidak mampu.

2.4.4 Mereka hanya ingin memuaskan ambisi dan kepentingan pribadinya dengan dalih“kepentingan rakyat”.

Sebagai akibatnya, terjadilah runtutan peristiwa sebagai berikut :

2.4.1 Partai politik sering inkonsisten, artinya pendirian dan ideologinya sering berubah-ubah sesuai dengan kepentingan politik saat itu.

(12)

2.4.3 Sebagai oknum pemimpin politik, partisipan dan kelompoknya berlomba-lomba mencarikeuntungan materil dengan mengabaikan kebutuhan rakyat.

2.4.4 Terjadi erosi loyalitas kepada negara karena menonjolkan pemupukan harta dankekuasaan. Dimulailah pola tingkah para korup.

2.4.5 Sumber kekuasaan dan ekonomi mulai terkonsentrasi pada beberapa kelompok kecil yangmengusainya saja. Derita dan kemiskinan tetap ada pada kelompok masyarakat besar (rakyat).

2.4.6 Lembaga-lembaga politik digunakan sebagai dwi aliansi, yaitu sebagai sektor di bidangpolitik dan ekonomi-bisnis. 2.4.7 Kesempatan korupsi lebih meningkat seiring dengan

semakin meningkatnya ja-batan danhirarki politik kekuasaan.

BAB III

PENUTUP

1.1 KESIMPULAN

(13)

mengakibatkan lengsernya Ir. Soekarno sebagai presiden dan digantikan oleh Soeharto.

Bahkan korupsi semakin menjadi momok pada pemegang kekuasaan karena tidak tanggung-tanggung tiga nama presiden sekaligus diturunkan karena tidak sanggup memberantas dan menguak kasus korupsi yang merugikan Negara ini.

Yang jadi masalah adalah penuntasan korupsi yang tidak tuntas dan berbelit-belit ini jika tidak diselesaikan akan mengakibatkan kesenjangan sosial dan kerugian Negara yang sangat besar.

Yang membuat korupsi sulit dihilangkan menurut Anzar Abdullah adalah :

➢ Budaya upeti, suap atau menyogok yang sudah mendarah daging di Indonesia dan telah terlaksana secara turun temurun yang sulit dihilangkan.

➢ Penghasilan atau gaji seorang pegawai negeri yang pas-pasan dan kebutuhan keluarga yang sangat banyak mengakibatkan korupsi menjadi alternative pemenuhan kebutuhan yang sangat popular bagi para pegawai negeri yang memegang jabatan. 3.2 SARAN

Dalam pembuatan makalah ini penulis memberikan saran, agar dapat mendalami dan memahami lagi dalam Materi Pendidikan Anti Korupsi tentang “Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Korupsi dalam Dinamika Hukum Pidana Indonesia”

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang tenteng Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 tahun 1999. Jo. UU

No. 20 tahun 2001.

Janah, Maulana, Menemukan Akar Permasalahan Korupsi, Dept. Kebijakan Publik

(14)

Mustakim, Kendala-Kendala Korupsi di Indonesia ditiinjau dari Sosiologi

Hukum, Makalah Sosiologi Hukum 2007

Ramelan, Koordinasi dan Pengawasan Antar Instansi Dalam Penyidikan dan

Penuntutyan Korupsi Dalam Perpektif Kejaksaan, Disampaikan pada diskusi panel “Menuju Pengadilan Anti Korupsi”, yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung dan British Council, pada tanggal 15-16 September 2004, di Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

bahwa Undang Undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu perlu

Ancaman sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi diatur dalam Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 2

Inefisiensi Pasal 29 Undang-Undang No.46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi karena menyamaratakan semua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, undang-undang korupsi ini memuat ketentuan pidana terhadap pelaku dengan menentukan ancaman

Perumusan tindak pidana dalam Bab II Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jika dihubungkan dengan subjek hukum yang dikenal dalam Undang-Undang Pemberantasan

Undang-undang ini dimaksudkan untuk menggantikan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diharapkan mampu mernenuhi dan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republi Indonesia Tahun 2002, Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik

II.2.2 Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Pengaturan pidana dalam tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 413-437 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang