• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV IDENTITAS MASYARAKAT TIMOR TENGAH SELATAN. 4.1 Lokasi dan Lingkungan Alam Pertumbuhan Cendana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV IDENTITAS MASYARAKAT TIMOR TENGAH SELATAN. 4.1 Lokasi dan Lingkungan Alam Pertumbuhan Cendana"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

74

BAB IV

IDENTITAS MASYARAKAT TIMOR TENGAH SELATAN

4.1 Lokasi dan Lingkungan Alam Pertumbuhan Cendana

Kabupaten Timor Tengah Selatan merupakan salah satu kabupaten di Pulau Timor Provinsi Nusa Tenggara Timur. Secara astronomis, Kabupaten Timor Tengah Selatan terletak antara 124° 4,4 - 124° 0’1 Bujur Timur dan 9 ° 28’13 - 10° 10’16 Lintang Selatan. Wilayah administrasi Kabupaten Timor Tengah Selatan berbatasan dengan daerah-daerah berikut ; 1) Sebelah utara merupakan wilayah puncak Gunung Mutis yang berbatasan dengan Kabupaten Timor Tengah Utara. 2) Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Belu. 3) Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Timor. 4) Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Kupang. Luas wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan sekitar 4.333 kilometer persegi terdiri 32 kecamatan, 228 desa, dan 12 kelurahan. Seluruh wilayah kecamatan, desa, maupun kelurahan tersebut membentuk satu kesatuan wilayah kabupaten dengan pusat pemerintahan berada di Kota So’e (lihat gambar 4.1).

Secara umum wilayah Nusa Tenggara Timur termasuk Kabupaten Timor Tengah Selatan digolongkan sebagai daerah perbukitan kapur yang cenderung kering. Bentangan perbukitan kapur disebabkan faktor geologi dan iklim. Teoritisi geologis menyebutkan bahwa bentangan tanah kapur di Pulau Timor merupakan bentuk sedimentasi atau endapan kapur laut dalam yang merupakan potongan Benua

(2)

75 Australia khususnya Australia bagian utara. Sedimentasi tersebut muncul akibat gerakan lapisan tanah berjuta-juta tahun lampau sehingga secara klimatologis iklim wilayah Pulau Timor dipengaruhi Benua Australia, dan ciri-ciri khas iklim, flora, maupun fauna, mirip dengan wilayah Australia bagian utara. Faktor geologi melatarbelakangi adanya iklim khas wilayah Nusa Tenggara Timur yakni musim kemarau panjang dan curah hujan rendah sehingga keadaan tanahnya lebih gersang dan kering dibanding daerah-daerah lain di Indonesia (Fox, 1996:16; Kase, 2004 : 8).

Gambar 4.1

Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Timor Tengah Selatan Sumber : www.petantt.com diakses tangal 5 Desember 2010.

Wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan cukup luas, membujur dari daerah pantai di bagian selatan sampai ke wilayah pegunungan di bagian utara. Bentangan wilayah dari pantai sampai pegunungan memungkinkan Kabupaten Timor Tengah Selatan memiliki kondisi dan potensi alam yang relatif berbeda dan perbedaan suhu udara relatif tajam. Wilayah utara yang berada pada posisi sebelah selatan Gunung

(3)

76 Mutis dikategorikan memiliki udara dingin dan curah hujan lebih tinggi. Daerah bagian selatan merupakan daerah pantai merupakan daerah dataran rendah bercuaca panas. Kota So’e sebagai ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan berada ketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan laut sehingga memiliki udara sejuk.

Kabupaten Timor Tengah Selatan merupakan daerah pegunungan dengan tonjolan bukit-bukit kapur yang indah. Bukit-bukit kapur tersebut ditutupi padang rumput yang luas, kayu pinus, kayu putih, ampupu, dan berbagai jenis tumbuhan lokal seperti cendana. Tonjolan bukibukit kapur dan hamparan padang rumput yang luas terdapat di daerah utara menuju wilayah cagar alam Gunung Mutis. Gunung Mutis merupakan gunung tertinggi di Pulau Timor dengan ketinggian 2.427 meter di atas permukaan laut dikelilingi gunung-gunung kecil di sekitarnya. Wilayah sekitar Gunung Mutis merupakan daerah resapan air dan menjadi sumber mata air utama di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Dua sungai cukup besar yang bersumber dari sini adalah Sungai Noel Benain yang mengaliri desa-desa di Kecamatan Fatumnasi dan Mollo Utara. Dan Sungai Noel Mina melintasi desa-desa di Kecamatan Polen.

Selain itu, beberapa sungai kecil juga mendapat sumber air dari Gunung Mutis dan merupakan anak sungai Noel benain maupun Noel Mina adalah sungai antara lain Noel Bejeli, Noel Sebau, Noel Besi, Noel Baki, dan Noel Nisnoni. Meskipun aliran sungai Noel Benain dan Noel Mina merupakan sumber air yang relatif besar wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan, wilayah yang luas serta daerah yang berbukit-bukit tidak mampu mengairi seluruh wilayah kabupaten. Di samping itu, Pulau Timor termasuk Kabupaten Timor Tengah Selatan terbentuk atas endapan tanah kapur yang

(4)

77 bersifat menyerap air menjadikannya sebagai daerah lahan kering meliputi sebagian besar wilayah tersebut.

Kabupaten Timor Tengah Selatan meliputi wilayah Kota So’e ke utara sampai ke wilayah Gunung Mutis merupakan daerah pegunungan dengan wilayah yang relatif subur dan udara sejuk. Wilayah kaki Gunung Mutis merupakan wilayah bagian utara sangat asri, dengan hamparan pandang rumput yang luas diselingi tonjolan bukit-bukit marmer putih, hijau, dan kelabu. Rumput-rumput yang tumbuh terutama rumpun alang-alang dan rumput janggut tumbuh subur di musim hujan dan mati pada musim kering. Di sela-sela padang rumput tumbuh berbagai tanaman keras sejenis cemara, akasia, cendana, dan sebagainya. Di batang pohon-pohon cemara, pinus, dan ampupu tergantung berbagai jenis tanaman anggrek liar dan lumut-lumutan.

Di daerah berbatu-batu kapur, pohon-pohon tersebut tumbuh kerdil dengan batang-batang pohon tua berlumut menyerupai tanaman bonsai alam. Dalam rangka menjaga kelestarian dan keindahan alam, kawasan Gunung Mutis ditetapkan menjadi kawasan cagar alam dan kini sedang diususlkan menjadi kawasan taman nasional. Dengan harapan ke depan nantinya dapat dijadikan objek wisata alam, objek penelitian, serta warisan keanekaragan jenis flora dan fauna khususnya pelestarian kayu cendana yang berkembang di Pulau Timor. Beberapa desa yang menjadi daerah-daerah penelitian dan masih memiliki potensi perkembangan tanaman cendana di antaranya Desa Fatumnasi, Ajaobaki, Mnelalete, Nule, Supul, dan Boti.

(5)

78 4.1.1 Desa Fatumnasi Kecamatan Fatumnasi

Desa Fatumnasi merupakan salah satu desa di Kecamatan Fatumnasi, terletak di kaki Gunung Mutis dengan luas wilayah sekitar 320 km2. Desa Fatumnasi merupakan pusat pemerintahan Kecamatan Fatumnasi berjarak sekitar 40 kilometer dari Kota So’e. Pada awalnya Kecamatan Fatumnasi merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Mollo Utara, kemudian melalui pemekaran wilayah ditetapkan menjadi kecamatan tersendiri sejak tahun 2001. Suasana alam menuju Desa Fatumnasi sangat indah dengan medan yang berbukit, lembah curam, gunung kapur, serta padang rumput membentang luas. Perjalanan menuju desa tersebut dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor dengan waktu tempuh sekitar 2-3 jam. Kondisi jalan sudah diaspal namun kurang terawat.

Kecamatan Fatumnasi berada pada ketinggian sekitar 1600 meter di atas permukaan laut, sehingga udara di wilayah ini terasa dingin dan lembab. Pada bulan Mei-Agustus suhu udara di Desa Fatumnasi pada malam dan pagi hari berkisar antara 14°-18° Celcius. Cuaca dingin dan lembab memungkinkan berbagai vegetasi tanaman tropis dapat tumbuh subur seperti ampupu, cemara, pinus, cendana, dan sebagainya. Cendana banyak tumbuh liar di kawasan tersebut terutama di sela-sela hutan ampupu, yang menjadi tempat ideal burung-burung pemakan biji cendana

4.1.2 Desa Ajaobaki Kecamatan Mollo Utara

Desa Ajaobaki merupakan salah satu desa di Kecamatan Mollo Utara. Pusat pemerintahan Desa Ajaobaki adalah pusat pemerintahan Kecamatan Mollo Utara

(6)

79 berjarak sekitar 25 kilometer dari kota So’e. Desa Ajaobaki dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor menyelusuri jalan aspal searah dengan jalam menuju Desa Fatumnasi. Kondisi jalan relatif baik dan sarana angkutan telah ada, meskipun dalam jumlah terbatas. Keadaan alam Kecamatan Mollo Utara termasuk Desa Ajaobaki terdiri atas bukit-bukit kapur yang kering dan cenderung tandus. Di balik kerasnya alam wilayah Mollo Utara, bukit-bukit kapur di daerah ini menyimpan sumber-sumber kekayaan alam yang potensial. Kekayaan utama di daerah ini adalah batu marmer yang melimpah di bukit kapur di daerah tersebut. Perbukitan kapur adalah habitat terbaik bagi pertumbuhan pohon cendana (lihat gambar 4.2).

Gambar 4.2

Bukit kapur di wilayah Mollo Utara menjadi habitat pertumbuhan cendana (Dokumentasi : I Gusti Ayu Armini, tahun 2007)

Di sela-sela bukit marmer, masyarakat memanfaatkan tanah hanya sebatas perladangan dan peternakan dengan hasil panen satu kali dalam setahun. Kondisi alam yang kering dan masa panen sekali dalam setahun memunculkan strategi hidup masyarakat petani subsisten (semata-mata memenuhi kebutuhan hidup). Guna mencapai peningkatan hasil, strategi dan usaha-usaha penggalian potensi alam untuk

(7)

80 kesejahteraan masyarakat telah dilakukan pemimpin lokal sejak masa lampau. Kecamatan Mollo Utara dikenal sebagai penghasil jeruk, bawang putih, dan bawang merah sejak dulu sampai sekarang, meskipun hanya mampu memenuhi kebutuhan pangan lokal. Sedangkan penanaman cendana mengalami kendala, terbentur peraturan pemerintah dan perilaku masyarakat.

4.1.3 Desa Mnelalete Kecamatan Amanuban Barat

Desa Mnelalete berjarak relatif dekat (sekitar enam kilometer) dari kota So’e. Jarak tempuh yang relatif dekat didukung sarana jalan aspal dan angkutan umum yang lancar. Lokasi desa dapat capai dengan mikrolet maupun ojek sepeda motor dengan dua ribu rupiah. Luas wilayah Desa Mnelalete mencapai 38 kilometer persegi dengan jumlah penduduk keseluruhan 6.338 jiwa. Sebagaian besar masyarakat bermatapencaharian sebagai peladang yang membudidayakan tanaman pangan dan sayur-mayur. Di antara ladang-ladang sayur, terutama di lahan-lahan yang cenderung terjal masyarakat menanam beberbagai jenis tanaman keras seperti buah-buahan sejenis nangka, keemiri, pisang maupun pohoh kayu seperti jati merah dan dan jati putih. Masyarakat Desa Mnelalete kurang berminat menanam cendana, mereka lebih suka menanam sayur mayur. Beberapa pohon cendana tumbuh liar dan dibiarkan tumbuh kerdil tanpa pemeliharaan memadai dari masyarakat pemilik lahan lahan bersangkutan. Cendana yang tumbuh merana kulit batangnya terkelupas di sana-sini karena diambil sebagai bahat obat tradisional.

(8)

81 4.1.4 Desa Nule Kecamatan Amanuban Barat

Sama halnya dengan Desa Mnelalete, Desa Nule juga memiliki jarak yang relatif dekat dengan kota So’e. Bahkan wilayah Desa Nule posisinya berbatasan langsung dengan Desa Mnelalete maupun Kota So’e. Jarak tempuh menuju pusat Desa Nule sekitar 10 kilometer, dapat ditempuh dengan kendaraan umum ke arah timur Kota So’e. Sarana jalan aspal ke desa ini cukup baik dengan sarana angkutan umum memadai. Desa Nule memiliki potensi pengembangan pertanian sayur-mayur dan buah-buahan Di desa ini menjadi salah satu lokasi budidaya dan pengembangan hutan jati dan pohon cendana di bawah koordinasi Dinas Kehutanan. Aktivitas pembudidayaan tanaman cendana mulai di desa ini dimulai dari pembibitan sampai penanaman dalam jumlah terbatas. Lokasi pengembangan poon cendana berada di areal pengembangan hutan jati yang ditanan di sela-sela pohon jati.

4.1.5 Desa Supul Kecamatan Amanuban Barat

Desa Supul berjarak sekitar 20 kilometer dari kota So’e, terletak disebelah timur Desa Nule. Sama seperti daerah-daerah lain di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Desa Supul memiliki kondisi alam yang kering dengan medan berbukit dan diselingi hamparan padang rumput. Desa Supul merupakan wilayah desa yang menghubungkan Kota Kupang dengan Kabupaten Belu, bahkan Timor Leste. Maka sangat tepat, apabila Desa Supul menjadi tempat transit kayu cendana dari Kabupaten Belu maupun dari Timor Leste menuju Kupang. Desa Supul dikenal berbagai daerah produksi kayu hutan seperti jati merah, jati putih, maupun cendana. Kayu hutan

(9)

82 termasuk cendana banyak tumbuh di ladang-ladang masyarakat dijual ke So’e bahkan sampai ke Kupang. Di sini dibangun pabrik minyak cendana yang merupakan milik pengusaha dari Jakarta. Saat ini produksi tidak berjalan optimal karena terbatasnya pasokan kayu cendana.

4.1.6 Desa Boti Kecamatan Ki’e

Desa Boti merupakan wilayah Kecamatan Ki’e berjarak sekitar 40 kilometer ke arah tenggara Kota So’e. Luas wilayah Desa Boti sekitar 16,5 kilometer persegi, merupakan desa yang relatif terisolir, terletak di sebuah lembah dikelilingi perbukitan. Masyarakat Boti menetap di sebuah lembah yang subur serta medan yang relatif sulit dijangkau memungkinkan mereka mempertahankan kemurnian adat-istiadat. Jarak menuju Desa Boti dapat ditempuh melalui jalan tanah yang terjal dan berliku melintasi bukit-bukit kapur. Jalan raya menuju Desa Boti baru diaspal sampai di dipersimpangan jalan menuju Desa Oinlasi. Sedangkan jalan dari Oinlasi menuju Desa Boti sepanjang 15 kilometer belum tersentuh aspal sama sekali.

Desa Boti terbagi menjadi empat dusun yakni Dusun A, Dusun B, Dusun C, dan Dusun D. Dusun A dianggap sebagai dusun tertua merupakan cikal bakal penduduk Desa Boti yang masih mempertahan adat, kepercayaan, dan tradisi lokal. Dusun B,C,D merupakan dusun-dusun yang terbentuk kemudian dan pola kehidupan masyarakatnya tidak lagi menganut sistem kepercayaan tradisional. Dusun A disebut dengan Boti Dalam, sedangkan Dusun B, C, dan D disebut Boti Luar. Seluruh anggota masyarakat Boti Dalam terdiri atas kelompok masyarakat dari keturunan

(10)

83 genealogis tertentu yang menerapkan pola hidup tradisional secara ketat. Pola-pola perkampungan mereka bersifat eksklusif dan mengelompok dibatasi pagar terbuat dari susunan batang-batang kayu. Di areal pemukiman dan wilayah tanah adat masyarakat Boti Dalam berlaku pola-pola pelestraian hutan termasuk pelestarian cendana. Pola-pola pelestarian hutan sudah tampak sejak memasuki wilayah pemukiman masyarakat Boti Dalam (lihat gambar 4.3). Di tempat ini tumbuh beberapa pohon cendana yang sudah tua, cendana tersebut tidak boleh ditebang dan hanya boleh memanfaatkan daun, ranting, dan kulit sebagai bahan obat dan upacara tradisional.

Gambar 4.3

Gerbang masuk pemukiman masyarakat Boti Dalam, di sini berlaku pola-pola pelestraian hutan termasuk pelestarian cendana

(Dokumentasi I Gusti Ayu Armini, tahun 2008)

4.2 Asal-Usul Masyarakat dan Sejarah Kabupaten Timor Tengah Selatan

Keberadaan masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan berawal sejak kedatangan leluhur Suku Dawan yakni para liurai (keturunan raja atau pangeran) dari Belu Selatan. Dari Belu Selatan mereka bergerak ke arah barat menuju wilayah

(11)

84 Gunung Mutis. Di sekitar Gunung Mutis sebelumnya telah bermukim orang-orang ras Papua Melanesia disebut “a onit a te’os nah mate ma niun-mate” (orang yang hidup berpindah-pindah memungut bahan makanan, makan mentah-minum mentah). Orang ini disebut orang Melus, Kenurawan, dan Tkesnani, dengan ciri-ciri kulit lebih gelap, postur tubuh lebih pendek, dan kurang cerdas. Orang-orang tersebut berhasil ditaklukkan para pendatang dari Belu kemudian terdesak ke daerah pedalaman yang kering, bahkan sebagian ada pula menyebang menuju pulau-pulau kecil di sebelah utara Pulau Timor seperti Pulau Alor, Pantar, Lomblen, dan Solor (Wadu, 2003 : 8). Kedatangan para liurai ke wilayah sekitar kaki Gunung Mutis diawali dengan kedatangan tiga orang putra raja Maromak Oan dari Kerajaan Wehali di Belu Selatan. Disebutkan bahwa Raja Wehali (Maromak Oan) mempunyai tiga orang putera yakni Nai Suri, Nai Dawan atau Nai Laban, dan Nai Taek. Raja Maromak Oan memberi tugas dan wilayah kekuasaan kepada ketiga putranya dengan posisi sebagai berikut; 1) Nai Suri selaku putra sulung diberi tempat dan kekuasaan di Wehali Belu. 2) Nai Taek ditugaskan menguasai dan membuka daerah timur meliputi daerah Likusaen atau Liquisa di Timor Leste sekarang. 3). Nai Dawan sering juga disebut Sonba’i ditugaskan memperluas wilayah kekuasaan ke daerah barat di sekitar Pegunungan Mutis. Nai Dawan atau Sonba’i inilah yang kemudian beranak-pinak menurunkan orang-orang Dawan atau Suku Dawan yang tinggal di wilayah Gunung Mutis dan sekitarnya yang meliputi daerah Timor Tengah Selatan sekarang.

Keberadaan orang-orang Dawan yang mendiami wilayah sekitar Gunung Mutis pada intinya merupakan percampuran antara orang-orang yang telah tinggal di

(12)

85 wilayah tersebut (Kenurawan atau Kune, Melus, dan Tkesnani) dengan pendatang dari Wehali Belu. Cerita tentang percampuran melalui perkawinan disebutkan bahwa jauh sebelum kedatangan liurai dari Wehali Belu, di sekitar Gunung Mutis telah berkuasa seorang raja bernama Kune. Setelah liurai Wehale Belu (Nai Dawan) menetap di salah satu wilayah di kaki Gunung Mutis, Raja Kune menikahkan puterinya dengan Nai Dawan. Sesuai tradisi masyarakat setempat, seorang puteri raja yang menikah harus membawa harta maupun tanah orang tuanya untuk bekal hidup atau bekal pernikahan disebut ike suti. Sehubungan dengan tradisi demikian, Raja Kune memberi sebagian wilayah kekuasaannya kepada puterinya sebagai ike suti (bekal pernikahan) dengan Nai Dawan. Berawal dari hubungan pernikahan, hubungan Raja Kune dengan menantunya (Nai Dawan) semakin erat dan berlanjut pada penyerahan kekuasaan. Raja Kune menyerahkan kekuasaan wilayah kepada menantunya. Dengan demikian telah terjadi percampuran orang lokal dengan pendatang dari Belu kemudian melahirkan masyarakat Suku Dawan disebut pula orang Atoni atau Atoni Pah Meto berarti orang yang bermukim di tanah kering.

Setelah Nai Dawan menguasai wilayah Gunung Mutis, ia membentuk pemerintahan tersendiri bernama Kerajaan Oenam dan menurunkan liurai (raja-raja) dinasti Sonba’i. Dinasti Sonba’i kemudian berkuasa secara turun-temurun di wilayah Gunung Mutis meneruskan tampuk kepemimpinan orang tuanya. Setelah Nai Dawan meninggal tampuk pemerintahan digantikan oleh putranya bernama Nai Natti. Raja Nai Natti meninggal ketika putranya bernama Nai Faluk masih remaja dan dianggap belum mampu menjalankan roda pemerintahan. Melihat keadaan demikian Raja Tua

(13)

86 Maromak-Oan di Belu merasa khawatir akan keadaan wilayah kekuasaan cucunya di wilayah barat (di kaki Gunung Mutis) maka diperintahkan Fahik Bere dan Ifo Bere untuk menjaga, melindungi, dan memelihara Nai Faluk hingga dewasa dan mampu menjalankan kekuasaan. Selama masa peralihan ini semua kebijakan kekuasaan raja dijalankan oleh Fahik Bere dan Ifo Bere. Setelah Nai Faluk dewasa dan memegang kekuasaan tertinggi, baik Fahik Bere maupun Ifo Bere diberi wilayah kekuasaan dan diangkat sebagai pembantu utama. Ifo Bere diberi kekuasaan di wilayah Mollo dengan nama lineage (nama keturunan atau marga) Oematan. Fahik Bere diberi wilayah kekuasaan di Miomaffo dengan nama lineage Kono (Wouden, 1985:49).

Dalam perkembangan selanjutnya, putera-putera Nai Taek di Likusaen (wilayah timur) banyak yang menyusul ke wilayah barat (Mutis) antara lain Nuba Taek dan Natu Taek. Nuba Taek kemudian bermukim di Tunbesi dengan nama lineage Nuban yang menjadi pendiri keusifan (kerajaan) Amanuban. Sedangkan Natu Taek bermukim di Nunkolo membentuk kerajaan Amanatun (Kase, 2004:10). Semua kerajaan-kerajaan tersebut berkembang dan hidup berdampingan, meskipun tidak jarang di antara kerajaan-kerajaan tersebut terjadi sengketa perebutan wilayah dan saling menyerang satu sama lain.

Masa kejayaan Kerajaan Oenam dan dinasti Sonba’i berakhir setelah kalah berperang menentang Belanda di Bipolo tahun 1905 pada masa pemerintahan Sobe Sonba’i III. Usif Sobe Sonba’i III ditangkap dan diasingkan ke Waingapu Sumba Timur menjadi akhir keberadaan kerajaan tersebut. Setelah kerajaan Oenam berakhir, Belanda mulai menyusun strategi kekuasaan dan menjalankan politik memecah-belah

(14)

87 (devide et empera) dengan membagi-bagi bekas wilayah Kerajaan Oenam menjadi kerajaan-kerajaan kecil yakni; Miomaffo, Mollo, dan Fatule’u. Ketiga kerajaan ini berada di bawah onderafdeeling (pemerintahan setingkat kabupaten) yang berbeda. Kerajaan Miomaffo berada di bawah Onderafdeeling Noord Midden Timor (Timor Tengah Utara), Kerajaan Mollo dimasukkan ke dalam Onderafdeeling Zuid Midden Timor (Timor Tengah Selatan), dan Kerajaan Fatule’u di bawah Onderafdeeling Kupang (Wadu, 2003:63). Sedangkan Onderafdeeling Zuid Midden Timor (Timor Tengah Selatan) hanya meliputi tiga landscappen (kerajaan kecil) yakni; Kerajaan Mollo, Amanuban, dan Amanatun (Fobia, 1995: 48).

Setelah pembagian onderafdeeling berlangsung, pada tahun 1907 pusat pemerintahan Onderafdeeling Zuid Midden Timor ditetapkan berlokasi di O’besi atau Kapan yang merupakan wilayah Kerajaan Mollo. Tetapi karena letak O’besi atau Kapan relatif jauh dari wilayah Kerajaan Amanuban dan Amanatun, Belanda berencana memindahkan ibukota Onderafdeeling Zuid Midden Timor ke So’e. Rencana tersebut terealisasi tahun 1919 dengan tahap awal memulai pembangunan perumahan pegawai administrasi Belanda, asrama polisi, dan asrama tentara. Sedangkan roda pemerintahan di So’e baru berjalan efektif tahun 1922. Sejak tahun 1922 Kota So’e resmi menjadi ibukota Onderafdeeling Zuid Midden Timor ditandai dengan penanaman pohon beringin di sekitar lapangan Kantor Polres Timor Tengah Selatan sekarang (Kase, 2004 : 54).

Nama Zuid Midden Timor konon diberikan Bangsa Belanda karena sulit menemukan nama lain dalam bahasa daerah setempat yang cocok bagi nama daerah

(15)

88 ini, sehingga untuk memudahkan penyebutannya digunakan Bahasa Belanda Zuid Midden Timor berarti Timor Tengah Selatan. Maklum, letak geografisnya persis berada di bagian tengah Pulau Timor dan memanjang ke arah selatan, oleh karenanya Bangsa Belanda pada masa lampau menyebutnya dengan nama Belanda Zuid Midden Timor. Nama Zuid Midden Timor tetap digunakan selama berabad-abad sampai berakhirnya masa penjajahan Belanda. Setelah zaman kemerdekaan dan dilakukan penataan sistem pemerintahan nasional nama Zuid Midden Timor diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Timor Tengah Selatan. Setelah masa kemerdekaan wilayah Zuid Midden Timor berubah menjadi Kabupaten Timor Tengah Selatan berada di bawah Negara Indonesia Timur (NIT) sejak tahun 1950. Termasuk tiga landscappen (kerajaan) yakni Mollo, Amanuban, dan Amanatun berada di bawah pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan dengan ibukota So’e. Sampai saat ini kota So’e menjadi ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan yang didukung oleh mayoritas etnis Dawan atau Atoni.

4.3 Agama dan Kepercayaan Masyarakat

Sebagian besar penduduk Kabupaten Timor Tengah Selatan memeluk Agama Kristen Protestan, kemudian mayoritas kedua memeluk Agama Kristen Katolik, dan sebagian kecil memeluk Agama Islam, Hindu, Budha. Pemeluk Agama Islam, dan Hindhu, umumnya merupakan penduduk pendatang dari daerah-daerah lain di Indonesia untuk melaksanakan tugas dinas atau pun bekerja mencari nafkah. Saat ini masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan merupakan cerminan masyarakat

(16)

89 Kristiani yang taat menjalankan aktivitas keagamaan. Aktivitas keagamaan tampak menonjol setiap hari Minggu dan masyarakat memanfaatkan waktu untuk melakukan kebaktian di gereja. Pagi-pagi buta lonceng gereja sudah berdentang, kemudian masyarakat berbondong-bondong menuju gereja terdekat mengenakan berpakaian bersih, rapi, dan mengepit alkitab Injil.

Hari Minggu masyarakat mengurangi waktu kerja di ladang, tidak berdagang, sarana angkutan di jalan raya sepi, dan toko-toko tutup, sebaliknya Gereja Katolik maupun Gereja Protestan ramai didatangi masyarakat yang melakukan kebaktian. Sebagian besar masyarakat sengaja meliburkan diri dari kegiatan kerja rutin sehingga aktivitas tertumpu pada kegiatan gereja (lihat gambat 4.4).

Gambar 4.4

Masyarakat melakukan aktivitas keagamaan di Gereja Katolik Kota So’e (Dokumentasi: I Gusti Ayu Armini, tahun 2007)

Ketika hari-hari besar keagamaan seperti Paskah, Natal, dan Tahun Baru, masyarakat libur panjang untuk melakukan ibadah agama. Ketaatan masyarakat menjalankan ibadah kegerejaan didukung sepenuhnya oleh pengurus-pengurus kegerejaan yang telah memahami tugas masing-masing dalam melayani umat.

(17)

90 Seluruh aktivitas keagamaan terkoordinasi dan menjalankan fungsinya dengan baik berdasarkan susunan pengurus gereja. Terutama pengurus Gereja Protestan selaku agama mayoritas yang terdiri dari sinode, klasis, pendeta, penanggung jawab atau utusan, fenatua, dan jemaat. Masa-masa penyebaran Agama Katolik maupun Protestan memiliki dekade berbeda. Agama Katolik diperkenalkan lebih awal kepada masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan seiring masuknya Bangsa Portugis ke Pulau Timor. Sedangkan Agama Protestan datang kemudian terkait kedatangan pemerintah kolonial Belanda.

Masuknya Agama Katolik ke Pulau Timor terkait pelayaran Bangsa Portugis yang selalu menyertakan pemimpin agama. Pemimpin agama ini bertugas menyebarkan agama di daerah tujuan. Pastor Portugis pertama yang bekerja di Timor pada tahun 1522 bernama Pastor Anthonio Taveira. Ia seringkali datang dari Pulau Solor ke Pelabuhan Lifau di Oekusi (daerah Timor Leste sekarang) untuk menyebarkan Agama Katolik kepada penduduk asli Pulau Timor, namun tidak membawa perkembangan signifikan. Penyebaran Agama Katolik di Pulau Timor berjalan intensif sejak tahun 1656 ketika kapten militer Portugis bernama Simao Louis datang ke Oekusi. Saat itu Portugis berusaha menaklukkan raja-raja Timor dengan menggunakan strategi pendekatan agama (Wadu, 2003: 33; Fobia,1995: 30). Namun, penyebaran Agama Katolik belum mendapat tanggapan positif karena pihak missionaris kurang persuasif terhadap para pemimpin lokal dan lebih mementingkan kuantitas penganut daripada kualitas pemahaman agama. Di samping itu, doa-doa keagamaan disampaikan dalam Bahasa Latin yang tidak dapat dimengerti masyarakat

(18)

91 lokal sehingga sebagian besar masyarakat kembali menjalankan adat-istiadat dan kepercayaan semula.

Agama Kristen Protestan memasuki Pulau Timor berbarengan dengan kedatangan Bangsa Belanda. Usaha-usaha penyebaran diawali dengan melakukan pendekatan-pendekatan dengan raja-raja lokal serta menyelenggarakan pendidikan formal. Tahun 1814 penyebaran Agama Protestan di Pulau Timor berada di bawah naungan Nederland Zending Genootschap, kemudian sejak tahun 1860 pembinaan agama dilakukan di bawah Indische Kerk. Agama Kristen Protestan mengalami perkembangan pesat di Timor Tengah Selatan pada akhir abad ke-19 setelah seluruh pemimpin-pemimpin kerajaan lokal menyatakan tunduk di bawah kekuasaan Kolonial Belanda (Wadu, 2003:33; Fobia,1995:30). Mulai saat itu perkabaran Injil secara intensif memasuki wilayah pedalaman Timor. Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa daerah Timor agar mudah dimengerti oleh masyarakat lokal. Ajaran agama dan doa-doa di gereja disampaikan dalam Bahasa Dawan. Setelah Agama Kristen Katolik dan Protestan diperkenalkan pada masyarakat Pulau Timor, kepercayaan akan kekuatan adikodrati dan pelaksanaan upacara-upacara ritual tidak sedemikian mendalam. Upacara-upacara tradisional diganti dengan doa-doa pengucapan syukur baik di lingkungan rumah tangga maupun di gereja.

Di sela-sela ketaatan masyarakat menjalankan aktivitas keagamaan, unsur-unsur kepercayaan lokal masih tampak dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan masih percaya akan adanya kekuatan supranatural,

(19)

92 mitos, legenda, totem, dan tabu (pantangan). Kepercayaan demikian didasari sitem kepercayaan animisme dan dinamisme yang selalu dijumpai pada sistem kepercayaan masyarakat kuna. Pola-pola kepercayaan demikian tetap berkembang di alam pikiran masyarakat menjadi warisan budaya lokal. Sebelum masuknya pengaruh Agama Katolik dan Agama Protestan, masyarakat Suku Dawan percaya akan adanya penguasa jagat raya tertinggi disebut uis neno. Uis neno merupakan sumber dari segalanya yang menciptakan jagat raya beserta seluruh isinya. Uis neno selaku penguasa tertinggi disebut pula dengan berbagai istilah sesuai wujud penjelmaannya dan alam yang dikuasai. Uis Neno disebut uis pah atau uis afu ketika berfungsi sebagai penguasa bumi atau penguasa kesuburan, uis anin sebagai penguasa udara, uis oe sebagai penguasa air, uis meto penguasa tanah, uis likusaen penguasa ilmu pengetahuan, sautaf sebagai penguasa kematian, uis nitu sebagai arwah nenek moyang, dan lain-lain.

Pemujaan terhadap uis neno selaku penguasa alam jagat raya ditandai dengan siklus-siklus upacara adat meliputi upacara persembahan kepada dewa penguasa alam dan roh-roh, upacara daur hidup manusia, dan upacara yang berhubungan dengan sistem mata pencaharian khususnya pertanian. Pelaksanaan upacara terhadap uis neno dilakukan di rumah-rumah adat milik klen disebut ume le’u. Uma le’u merupakan rumah keramat sebagai pusat kegiatan upacara dan tempat penyimpanan benda-benda suci milik leluhur seperti tongkat, pedang, ok totes (tempat sirih pinang), gong kecil, malak (cap kerajaan), dan lain-lain disebut nono.

(20)

93 Seiring masuknya Agama Protestan dan Katolik, pelaksanaan upacara terhadap uis neno di ume le’u telah jarang dilakukan, kecuali saat-saat tertentu yang dianggap penting, seperti dikemukakan tokoh masyarakat F. H. Fobia.

“Peran ume le’u sebagai rumah adat yang keramat dan pusat kegiatan upacara saat ini tidak sedemikian menonjol. Upacara keagamaan cenderung dilakukan di gereja dengan mengikuti tata cara ibadah Agama Protestan. Meskipun demikian, sistem kepercayaan tradisional yang telah ada sejak masa lampau tidak sepenuhnya bisa terhapus begitu saja dari alam pikiran masyarakat. Kepercayaan akan adanya kekuatan gaib masih dikenal dan dianggap ada. Salah satu contoh bila terjadi musim kering berkepanjangan yang mengakibatkan gagal panen, terancam wabah penyakit, atau pun mengalami bencana alam, masyarakat Mollo Utara dan Fatumnasi pergi ke puncak Gunung Mutis untuk berdoa di altar yang ada di sana. Isi doa memohon keselamatan dan mohon teteskan air untuk semua warga yang ada di Timor supaya dipelihara semua yang ada di tempat (hasil wawancara dengan F. Fobia tanggal 26 Mei 2007).

Praktek ritual di atas menunjukkan sinergi antara kepercayaan lokal dengan aktivitas Agama Protestan, di antaranya upacara Turunnya Roh Kudus yang jatuh setiap tanggal 28 Mei. Pelaksanaan upacara ini mirip dengan pelaksanaan upacara ulu hasil (sejenis upeti) pada masa jayanya kerajaan lokal. Pada masa kerajaan, upacara ulu hasil disebut pena nakan ain nakan atau mausufa. Masyarakat melakukan upacara mausufa dengan membawa hasil ladang seperti jagung, sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan kayu cendana kepada usif (raja). Selain jagung dan bahan pangan lain, kayu cendana merupakan tanaman penting yang menjadi ulu hasil (sejenis upeti) kepada usif, karena berdasarkan kepercayaan masyarakat cendana tumbuh dari tulang belulang puteri Sonba’i.

Pada masa kini masyarakat merayakan upacara ulu hasil dalam bingkai upacara Turunnya Roh Kudus. Setiap keluarga batih membawa hasil bumi (tanpa

(21)

94 kayu cendana) yang diperoleh dari ladang untuk dikumpulkan di gereja. Di gereja semua hasil bumi itu diberkati kemudian masyarakat berdoa dan mengucapkan puji syukur kehadapan Tuhan atas limpahan panen yang telah diperoleh. Usai acara pemberkatan seluruh anggota masyarakat makan bersama yang bahan-bahannya diproses dari hasil bumi yang dikumpulkan pihak gereja dalam upacara tahun sebelumnya.

Di samping kepercayaan akan adanya kemahakuasaan tertinggi, masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan percaya akan adanya roh-roh halus dan kekuatan supranatural. Roh-roh halus disebut nitu bermukim di tempat-tempat keramat antara lain di puncak gunung, bukit, mata air, di gunung-gunung batu, dan pohon-pohon lebat. Masing-masing wilayah pemukiman memiliki tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat. Misalnya, masyarakat Mollo Utara dan Fatumnasi memiliki berbagai tempat keramat seperti puncak Gunung Mutis, Gunung Batu Tumbesi, Bukit Batu Fatumnutu, mata air di hulu Sungai Benani, dan sebagainya. Masyarakat Boti memiliki kawasan bukit Faun Maten sebagai tempat keramat.

Hingga kini masing-masing wilayah memiliki tempat-tempat keramat. Masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan memandang Gunung Mutis sebagai gunung tertinggi para tinggal para nitu (arwah). Di puncak Gunung Mutis tersedia altar pemujaan, sampai saat ini altar tersebut masih berfungsi sebagai tempat berdoa. Jika terjadi gejala-kejala alam yang membawa kesengsaraan umat manusia maka masyarakat pergi ke puncak Gunung Mutis untuk berdoa memohon keselamatan. Gunung Mutis dianggap sumber kehidupan masyarakat sekitarnya. Di sini tumbuh

(22)

95 subur aneka flora dan fauna yang menjadi sumber makanan dan sumber mata air bagi sungai-sungai di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kabupaten Timor Tengau Utara, dan Kabupaten Belu.

Masyarakat Dawan di Kabupaten Tmor Tengah Selatan juga percaya bahwa semua benda baik benda hidup maupun benda mati mempunyai roh atau jiwa seperti halnya manusia. Benda-benda yang tumbuh dari bumi dianggap mempunyai jiwa. Oleh sebab itu, sebelum melakukan kegiatan pertanian harus memberitahu kepada uis meto (penguasa bumi atau tanah) atau (penguasa air), dan uis afu (penguasa kesuburan) dengan upacara tertentu dan menyembelih binatang kurban berupa ayam atau babi dengan warna bulu tertentu sesuai jenis upacara yang dilakukan. Hasil bumi seperti padi, jagung, kentang, termasuk cendana diyakini memiliki jiwa yang memberi kehidupan bagi manusia. Sebelum di tanam jiwa-jiwa tanaman terutama padi, jagung, kentang, ubi, harus dipanggil dengan memercikkan air menggunakan daun-daunan tertentu termasuk daun cendana agar tanaman tumbuh subur dan menghasilkan buah banyak untuk kesejahteraan hidup manusia.

Kepercayaan akan mitos, legenda, totem, maupun tabu masih dikenal dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Mitos dan legenda tentang adanya suatu tempat masih diyakini oleh masyarakat setempat. Misalnya legenda Gunung Putri Kembar di Fatumnasi diyakini sebagai benteng pertahanan yang menyelamatkan kehidupan masyarakat setempat dari kejaran musuh sehingga doa-doa memohon keselamatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa seringkali dilakukan di tempai ini. Bukit marmer Naususu pernah ditambang oleh sebuah perusahaan dari Jakarta dan alat-alat berat

(23)

96 sudah didatangkan ke tempat tersebut mengalami kegagalan ditentang warga masyarakat Mollo. Kegagalan penambangan terkait kepercayaan masyarakat Mollo Utara bahwa gunung batu Naususu dipercaya sebagai tempat persembunyian yang menyelamatkan leluhur masyarakat Mollo dari kejaran musuh.

Kepercayaan akan kekuatan supranatural, masyarakat Timor Tengah Selatan masih mengenal totemisme atau kepercayaan bahwa kelompok-kelompok masyarakat tertentu berasal dari penjelmaan binatang atau pun tumbuhan. Mereka yakin leluhur mereka menjelma menjadi binatang atau tumbuhan tertentu. Suatu kelompok genealogis percaya bahwa leluhur mereka berasal dari kera, anjing, burung, maka ia memiliki hubungan kekerabatan dengan binatang atau tumbuhan tertentu sesuai asal-usul atau totemnya. Sehingga ada kelompok genealogis masyarakat bertotem buaya, kera, burung gagak, anjing, dan unsur-unsur tabu (pantang) menyiksa dan memakan daging suatu binatang atau menebang suatu jenis pohon tertentu sesuai totem mereka. Mereka bersikap hormat terhadap binatang atau tumbuhan totem genealogisnya karena binatang atau tumbuhan tersebut dipercaya sebagai cikal bakal dan merupakan penjelmaan leluhur mereka. Sampai kini ada kebiasaan orang-orang Dawan ketika bertemu orang-orang sesuku yang belum dikenal maka yang ditanyakan terlebih dahulu adalah nama totem. “Ho mpoi muko sa?” (kamu keluar dari apa), maka pertanyaan tersebut dijawab dengan nama totemnya. Jika nama totemnya sama maka mereka merasa berasa dari keturunan sama dan akan terjalin hubungan lebih akrab atas dasar kesamaan totem genealogis.

(24)

97 4.4 Sistem Kemasyarakatan

Keseluruhan anggota masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan berjumlah 420.798 orang dengan tingkat pertumbuhan sekitar 2,31%. Jumlah penduduk laki-laki 208.131 orang sedangkan penduduk perempuan 212.667 orang (BPS, 2008: xii). Mayoritas penduduk Kabupaten Timor Tengah Selatan terdiri atas masyarakat Etnis Dawan yang dikenal sebagai penduduk asli dan menempati sebagian besar wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan. Etnis Dawan ini dikenal pula dengan sebutan orang Atoni atau Atoni Pah Meto (orang gunung atau orang yang bermukim di tanah kering). Perjalanan waktu yang panjang dan perkembangan generasi yang pesat menyebabkan perbedaan tradisi dan variasi budaya sub-sub etnis. Masing-masing kelompok mengembangkan pola-pola tradisi yang khas yang sedikit berbeda dengan tradisi Etnis Dawan lainnya. Misalnya sistem pewarisan masyarakat Dawan di Kecamatan Mollo Utara sedikit berbeda dengan sistem pewarisan masyarakat di Kecamatan Amanuban. Meskipun demikian, mereka mimiliki bahasa dan sistem sosial kemasyarakatan yang mirip dan mendukung keberadaan mereka sebagai satu kesatuan etnis.

Sistem kemasyarakatanan Kabupaten Timor Tengah Selatan terdiri atas beberapa tingkatan, mulai dari kelompok masyarakat terkecil sampai dengan kelompok masyarakat luas. Sistem komunitas terkecil terdiri atas sebuah keluarga inti yang membentuk rumah sendiri disebut ume atau ume tuaf. Gabungan beberapa ume (keluarga inti) membentuk satu kesatuan keluarga luas atau klen kecil disebut kuan. Kuan ini dipimpin seorang kepala keluarga luas disebut nakaf. Selanjutnya klen-klen

(25)

98 kecil atau kuan tersebut bergabung membentuk klen besar disebut kanaf. Sebuah kanaf dipimpin seorang kepala klen disebut amaf yang berarti ayah. Amaf merupakan ketua klen menempati struktur tertentu dalam masyarakat. Selaku kepala klen, seorang amaf dipilih berdasarkan keturunan dengan memperhatikan senioritas serta kemampuan lebih yang dimilikinya. Seorang amaf harus mermiliki kemampuan memimpin serta memahami adat dan tradisi yang berlaku di lingkungan kanafnya. Ia bertugas mengurus le’u (benda-benda sakral atau benda-benda keramat milik klen) dan diangkat sebagai pemimpin mewakili klennya dalam berhubungan ke luar klen.

Selaku wakil klen yang berhubungan ke luar, seorang amaf harus memahami seluk-beluk budaya masyarakat secara umum. Amaf inilah nantinya berstatus sebagai pemimpin-pemimpin yang berhubungan langsung amaf-amaf dari klen-klen lain maupun membina hubungan dengan pah tuaf (penguasa wilayah) atau pun usif (raja). Seorang amaf diberi wewenang memimpin klen selama ia masih kuat. Apabila sudah tua dan merasa tidak kuat lagi memimpin, jabatan amaf jatuh ke tangan anak laki-laki sulung. Tetapi, jika anak laki sulung tidak bersedia, dianggap tidak mampu, dan menetap di luar daerah, jabatan amaf dapat diturunkan pada anak laki berikutnya, demikian seterusnya.

Penentuan kuan (klen kecil) dan kanaf (klen besar) ditentukan berdasarkan pola kekerabatan patrilineal. Beberapa ume (keluarga inti) tinggal dalam satu kompleks pekarangan yang anggotanya terdiri dari anggota keluarga pihak suami. Pihak perempuan dapat diangkat sebagai penerus keluarga apabila tidak memiliki anak laki. Dalam situasi demikian, ketika si gadis menikah suaminya diangkat

(26)

99 menjadi anak dan masuk menjadi anggota klen pihak wanita. Setelah menikah, masing-masing ume membangun satu buah ume kbubu (rumah bulat yang berfungsi sebagai tempat tinggal keluarga batih dan tempat melakukan aktivitas rumah tangga). Jika merasa mampu ume tuaf (keluarga inti) juga membangun lopo (rumah bulat tanpa dinding berfungsi sebagai tempat bekerja dan tempat duduk-duduk) dan ume sae (bentuk rumah yang sudah mendapat pengaruh luar, umumnya dimanfaatkan sebagai tempat tidur).

Ume tuaf pada masyarakat Dawan di Kabupaten Timor Tengah Selatan terbentuk atas dasar perkawinan eksogami klen. Namun dapat juga menikah endogami klen (menikah dengan klen sama) asalkan hubungan genealogis keduanya sudah tergolong jauh. Pernikahan eksogami klen dan pola masyarakat patrilineal memposisikan seorang wanita setelah menikah akan masuk menjadi anggota klen suami dan namanya berubah mengikuti nama klen suami. Adat menetap setelah menikah menerapkan prinsip virilokal yakni menetap di lingkungan kerabat suami. Namun dalam beberapa kasus, misalnya karena belis (mahar, mas kawin) belum lunas dibayar istri tidak boleh dibawa ke lingkungan keluarga suami. Mereka menetap sementara di lingkungan kerabat istri dan suami ikut menanggung keperluan keluarga istri. Setelah suami lunas membayar belis kepada pihak keluarga istri, barulah istri bisa dibawa pulang ke rumah keluarga suami dan suami tidak lagi menanggung keperluan keluarga istri.

Sejalan dengan pola masyarakat patrilineal yang cenderung patriarkis, penetapan sistem pewarisan masyarakat Suku Dawan umumnya menyerahkan

(27)

100 warisan orang tua berdasarkan keturunan laki-laki. Namun dalam beberapa sub suku menetapkan pola bilateral. Masyarakat Fatumnasi dan Mollo Utara menerapkan pola bilateral yakni harta warisan jatuh ke tangan semua anak baik anak laki-laki maupun perempuan. Meskipun demikian, di sini dikenal adanya warisan turunan yang tidak boleh dibagi dan warisan yang boleh dibagi.

Warisan yang tidak boleh dibagi terdiri dari bele mnasi (harta bawaan suami) dan hara mnasi (harta bawaan istri). Harta bawaan ini, terutama harta bawaan istri, sewaktu-waktu dapat diminta kembali oleh saudara laki-laki atau dikembalikan ke keluarga asal si istri apabila selama menikah tidak memiliki anak. Sedangkan warisan yang boleh dibagi disebut sin finit terdiri atas harta yang diperoleh dari hasil usaha suami istri semasa menikah. Harta ini dapat diberikan kepada semua anak baik anak laki-laki maupun perempuan. Sedangkan, harta warisan tidak boleh dibagi (bele mnasi dan hara mnasi) merupakan harta turunan dari nenek moyang diberikan hanya kepada anak laki-laki sulung yang berfungsi selaku pemimpin keluarga. Apabila anak sulung berperilaku tidak baik dan tidak dapat diandalkan sebagai pemimpin keluarga maka warisan jatuh pada anak laki-laki berikutnya dan ia secara otomatis berfungsi sebagai pemimpin keluarga. Demikian pula jika anak kedua dianggap tidak mampu memimpin keluarga warisan keturunan diberi pada anak laki berikutnya, demikian seterusnya (hasil wawancara dengan M. Hanin tanggal 24 Mei 2007).

Desa-desa kecil yang terdiri dari kanaf-kanaf umumnya ditempati klen-klen tertentu yang telah menetap sejak masa lampau sebelum zaman kerajaan dibentuk. Kesatuan setiap klen berada di bawah kepemimpinan amaf, yang dipilih secara

(28)

turun-101 temurun oleh anggota klen bersangkutan. Ketika terjadi perkembangan demografi dan persaingan memperebutkan sumber-sumber pangan dengan klen-klen lain, seorang amaf berperan besar menentukan langkah politis seluruh anggota klennya. Aliansi dan kesepakatan antarklen pun dibentuk sehingga menghasilkan suatu tatanan kehidupan masyarakat yang lebih kompleks. Kompleksitas tatanan kehidupan masyarakat membutuhkan peran pemimpin beserta perangkatnya guna mengkoordinir kepentingan klen. Selanjutnya, eksistensi sebuah usif (kerajaan) mulai digagas yang merupakan kesepakatan semua klen yang menempati suatu wilayah.

Seorang amaf memiliki peran besar dalam menyokong keberadaan sebuah usif (kerajaan). Misalnya, Kerajaan Amanuban pada awalnya terbentuk atas kesepakatan para amaf dari klen Tesnai, Asbanu, dan Nomnafa untuk mengangkat amaf dari klen Nuban sebagai usif pemimpin mereka (Wadu, 2003 : 86). Sejak adanya kesepakatan tersebut, amaf Nuban secara de fakto berposisi sebagai usif (raja) dan posisi tersebut tetap berlanjut secara turun temurun. Termasuk kanaf-kanaf yang merupakan bagian dari pah tuaf (penguasa wilayah) akan mengikuti tata cara pengangkatan pemimpin berdasarkan kesepakatan yang telah dilakukan secara turun- temurun. Atas kesepakatan para amaf yang mendiami suatu wilayah, mereka menunjuk salah satu amaf tertua sebagai pemimpin lokal sebagai wakil yang berhubungan langsung dengan usif. Misalnya, di Desa Mnelalete terdapat lima klen yang menempati wilayah tersebut terdiri dari klen Tefnay, Maubanu, Nenomnanu, Selan, dan Neonufa. Pada masa lampau, semua klen tersebut sepakat untuk mengangkat seorang amaf dari klen Neonufa sebagai pemimpin. Berdasarkan kesepakatan bersama, maka amaf Neonufa

(29)

102 inilah yang bertugas menyampaikan aspirasi kepada usif Amanuban (wawancara dengan Eliazer Neonufa, kepala Desa Mnelalete, tanggal 12 Agustus 2010). Sampai saat ini klen Neonufa tetap dianggap sebagai klen pemimpin dan menempati posisi sebagai kepala Desa Mnelalete. Sedangkan posisi sekretaris dan kepala urusan dipegang oleh amaf dari masing-masing klen lainnya.

Sejalan dengan pola-pola kehidupan masyarakat feodal, strata masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan terbentuk berdasarkan tingkatan posisi di masyarakat. Golongan masyarakat terbagi menjadi tiga tingkatan yakni golongan tertinggi disebut usif, rakyat biasa disebut tob, dan golongan budak disebut ate. Pada masa kerajaan, golongan usif sebagai golongan masyarakat tertinggi terdiri dari para raja dan keluarganya yang merupakan pah tuaf atau penguasa wilayah. Para tokoh adat terdiri dari para amaf (kepala klen) yang didukung para nakaf (kepala keluarga) juga merupakan golongan masyarakat yang menempati posisi tinggi. Rakyat biasa disebut tob merupakan lapisan masyarakat terbesar yang mengelola tanah suku. Golongan tob adalah masyarakat umum yang mengelola tanah adat dituntut untuk selalu mematuhi norma-norma adat yang berlaku dan berkewajiban membayar pena nakan (ulu hasil atau upeti) kepada usif (raja) maupun pah tuaf (penguasa wilayah). Sedangkan ate merupakan budak-budak yang diperoleh karena kalah perang, orang yang tidak mampu membayar utang, dan hukuman yang dianggap bersalah.

Saat ini strata masyarakat tidak lagi menonjol, khususnya golongan ate (budak) sudah tidak dikenal lagi dalam masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan. Dalam beberapa hal, tingkatan masyarakat seperti keturunan bangsawan, masih

(30)

103 dikenal sebatas identitas golongan. Seseorang dikenal keturunan bangsawan atau bukan, tampak dari pemberian nama klen di belakang namanya. Nama ini bukan indikator untuk menempatkan orang bersangkutan pada posisi terhormat. Terhormat atau tidaknya seseorang ditentukan beberapa faktor seperti kemampuan ekonomi dan pendidikan. Dua faktor ini telah mengubah pola stratifikasi masyarakat yang bergerak dari sistem pelapisan masyarakat tradisional menuju sistem pelapisan masyarakat moderen. Orang-orang terpandang dan dihargai di masyarakat adalah orang-orang yang menduduki jabatan tertentu di instansi pemerintah, tokoh agama, berpendidikan tinggi, pengawas gereja, guru, pegawai, anggota TNI/Polri, dan orang kaya.

4.5 Sistem Pemerintahan

Secara leksikal, pemerintah didefinisikan sebagai sistem atau lembaga tertinggi yang menjalankan wewenang mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu negara. Pemerintah juga diartikan dalam batasan sekelompok orang yang secara bersama-sama memikul tanggung jawab terbatas untuk menggunakan kekuasaan (Departemen Pendidikan Nasional, 2007:859). Pemerintah memperoleh legitimasi dan otoritas berupa wewenang dan kekuasaan mengatur kehidupan masyarakat, menetapkan aturan-aturan, menentukan keputusan-keputusan terkait masalah penting, serta menyelesaikan pertentangan-pertentangan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat (Soekanto, 2003 : 280). Wewenang dan kekuasaan pemerintah mengatur kehidupan masyarakat meliputi berbagai aspek kehidupan meliputi aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya.

(31)

104 Sistem pemerintahan menyangkut cara-cara menjalakan wewenang dan kekuasaan mengatur kehidupan sosial ekonomi dan politik suatu lembaga kemasyarakat guna mencapai ketertiban sosial. Ketertiban sosial dapat dicapai apabila sistem pemerintahan berjalan sesuai azas-azas etika yang didukung undang-undang. Pola-pola pengaturan itu mengharuskan pemerintah menetapkan aturan-aturan yang mengikat mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dan masyarakat. Sedangkan masyarakat selaku anggota yang memberi wewenang legal kepada pemerintah diharuskan mentaati dan menjalankan aturan-aturan yang ditetapkan serta mengharuskan masyarakat tunduk pada aturan-aturan tersebut (Laeyendecker, 1983:163).

Sistem pemerintahan dikenal hampir seluruh masyarakat di dunia, karena sistem pemerintahan merupakan dimensi masyarakat menyangkut berbagai bidang kehidupan. Sistem pemerintahan lokal telah ada sejak manusia mulai berinteraksi dan mengatur hubungan dengan orang lain. Sejalan dengan perkembangan sistem pemerintahan yang mengatur hubungan sosial, masyarakat Indonesia juga mengenal sistem pemerintahan lokal dan sistem pemerintahan nasional. Sistem pemerintahan lokal merupakan sistem pemerintahan tradisional yang berkembang sejak zaman prasejarah hingga zaman kerajaan sebelum bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan. Sistem pemerintahan nasional merupakan sistem pemerintahan formal terbentuk setelah zaman kemerdekaan yang menerapkan pola-pola pemerintahan yang sama di seluruh wilayah Indonesia.

(32)

105 Masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan selaku bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, juga tidak lepas dari perjalanan sejarah pemerintahan pada masa pemerintahan raja-raja lokal, masa kolonial, dan masa pasca kemerdekaan. Sistem pemerintahan tersebut mempengaruhi pola-pola pemerintahan sehingga dikenal adanya sistem pemerintahan lokal yang bersifat tradisional dan sisten pemerintahan nasional yang bersifat administratif formal. Dalam pelaksanaan penataan kehidupan masyarakat, sistem pemerintahan nasional formal lebih menonjol dibanding penerapan sistem pemerintahan lokal tradisional.

4.5.1 Sistem Pemerintahan Lokal

Pengaturan kehidupan alami dan pembatasan naluri manusia merupakan cikal bakal munculnya pemerintahan tradisional pada kelompok-kelompok masyarakat. Pada masyarakat demikian telah tersusun lembaga tetap dan hukum-hukum tidak tertulis (tradisi dan adat-istiadat) yang mengatur aktivitas kehidupan manusia. Di samping itu, mitos dan keyakinan adalah produk budaya masyarakat tradisional yang dilatarbelakangi pola-pola kehidupan masyarakat. Masyarakat telah menata kehidupan sosial dalam bingkai hukum tradisional sebagai pengatur tata kelakuan.

Menurut H. Spencer, hukum tradisional mengalami proses evolusi berbeda-beda dalam masyarakat. Fase-fase hukum tradisional dalam masyarakat manusia terbagi menjadi beberapa tingkatan yaitu; 1) Hukum keramat berasal dari nenek moyang merupakan aturan-aturan hidup dan bergaul. Hukum keramat menganggap bahwa pemimpin atau raja adalah keturunan dewa 2) Hukum sekuler, merupakan

(33)

106 perkembangan dari hukum keramat menuju masyarakat lebih kompleks akibat berkurangnya kekuatan hukum keramat. Hukum sekuler masih berdasarkan hubungan timbal balik dan saling membutuhkan antarwarga masyarakat, namun memerlukan pemimpin kelompok atau raja yang otoriter agar aturan-aturan sekuler itu ditaati masyarakat. 3) Hukum agama, muncul ketika anggota masyarakat telah sedemikian besar. Kekuatan pemimpin atau raja tidaklah cukup sehingga muncul masyarakat beragama (Koentjaraningrat, 1980:36-37).

Pemahaman hukum tradisional yang dikemukakan H. Spencer, sejalan dengan sistem kepemimpinan dan pemerintahan tradisional masa lampau yang selalu mengacu pada hukum yang diwariskan nenek moyang. Pengaturan kehidupan masyarakat membutuhkan otoritas seorang pemimpin dan mengharuskan masyarakat memilih kepala suku atau raja sebagai pemegang kekuasaan dan mengatur kehidupan masyarakat. Seorang raja atau kepala suku yang dipilih adalah orang-orang yang memiliki kemampuan lebih sehingga muncul konsep pemikiran bahwa pemimpin atau raja adalah keturunan dewa yang mempunyai kemampuan lebih unggul. Konsep pemikiran demikian memunculkan pola kepemimpinan dan sistem pemerintahan tradisional yang sangat dipengaruhi pemikiran imajinatif. Tidak jarang imajinatif masyarakat tertuang dalam berbagai bentuk keyakinan dan mitos. Dengan demikian, keyakinan dan mitos menjadi salah satu acuan atau sarana hukum tradisional untuk menata kehidupan masyarakat.

Pola pemerintahan tradisional di Kabupaten Timor Tengah Selatan terbentuk atas kelompok-kelompok masyarakat kecil yang mempunyai pertalian darah

(34)

107 menyebar di berbagai wilayah. Mereka membentuk kesatuan-kesatuan genealogis (klen) menjadi kelompok-kelompok masyarakat kecil dengan sistem pemerintahan sendiri di bawah pimpinan kepala klen. Seperti layaknya masyarakat yang hidup di lahan kering, mereka berjuang keras mempertahankan hidup. Lingkungan alam yang keras serta kebutuhan hidup yang harus dipenuhi, seringkali memunculkan konflik dan persaingan antar pemimpin lokal secara berkepanjangan. Perang antar kelompok selalu mewarnai kehidupan masyarakat dipicu persaingan kekuasaan, penguasaan sumber daya alam seperti lilin dan cendana, perebutan lahan, perdagangan budak, dan sengketa wilayah. Menghadapi situsi demikian, kelompok-kelompok etnis tertentu membentuk aliansi pertahanan bersama untuk menyisihkan kelompok-kelompok yang tidak termasuk dalam aliansi tersebut (Gomang, 2006 : 32).

Sistem pemerintahan tradisional masyarakat Suku Dawan di Kabupaten Timor Tengah Selatan berawal dari tingkatan terkecil terdiri dari keluarga inti disebut ume-tuaf. Keluarga inti berhak mengatur tata kelakuan dan pengelolaan ekonomi intern keluarganya. Pemerintahan di lingkungan keluarga inti kemudian berkembang pada cakupan pemerintahan keluarga lebih luas disebut kuan, dan kuan berkembang lebih besar lagi menjadi kanaf. Pada tahap kanaf inilah suatu klen berfungsi sebagai pendukung utama suatu usif (kerajaan). Keberadaan kanaf di bawah pimpinan seorang amaf memiliki akses langsung kepada tingkatan pemerintahan tertinggi yakni usif. Usif sebagai pemegang tampuk pemerintahan terunggi disebut pula sebagai am-uf, ama naek, nai uf berstatus sebagai pah tuaf (penguasa wilayah). Dalam sistem pemerintahan ini peran uis-afinit dan uis pah selaku raja dan penguasa wilayah sangat

(35)

108 besar, ia dianggap keturunan dewa dan memiliki kesaktian luar biasa. Sebagai keturunan dewa yang memiliki kesaktian usif sangat dihormati dan semua perintahnya ditaati masyarakat. Semua wilayah berada di bawah kekuasaannya, wajib membawa ulu hasil kepada raja termasuk kayu cendana yang ada di wilayah tersebut adalah milik raja. Dengan demikian, cendana menjadi salah satu hasil alam yang harus dipersembahkan kepada raja.

Setelah mengalami perkembangan populasi penduduk dan perluasan wilayah kekuasaan, susunan pemerintahan ditata lebih kompleks dan berstruktur. Masing-masing tingkatan menjalankan tugas sesuai aturan-aturan yang telah disepakati bersama. Secara rinci struktur pemerintahan kerajaan pada masa lampau dari susunan paling tinggi sampai tingkat paling bawah terdiri dari uis-afinit (raja-raja termasuk raja terdahulu dan leluhur para raja), uis pah (penguasa wilayah yang berada di bawah raja), amaf (ketua marga-marga pendukung utama kerajaan), mnais kuan (kepala kampung yang keberadaannya telah disetujui para amaf), tob atau to ana (rakyat biasa yang mendiami wilayah kerajaan). Jabatan-jabatan pemerintahan tersebut diberikan kepada marga-marga tertentu tetap dipegang secara turun-temurun, antara lain; mafefa (juru bicara adat yang berfungsi sebagai juru bicara kerajaan), meo atau meob (pemimpin angkatan perang yang bertanggung jawab atas keamanan dan ketenteraman wilayah), ana’ tobe (pemimpin yang bertanggung jawab pada penataan wilayah pertanian, kelestarian alam, dan lingkungan hidup), mnae (petugas bidang kerohanian dan kesehatan jasmani atau dukun kampung), dan atusit (dukun beranak atau petugas kebidanan biasanya berjenis kelamin perempuan

(36)

109 Sistem pemerintahan tradisional masa lampu di Kabupaten Timor Tengah Selatan menempatkan para amaf pada posisi kuat dengan dukungan seluruh anggota klennya. Berkat dukungan seluruh anggotanya, para amaf memperoleh jabatan strategis sebagai penasehat raja bersama kato (permaisuri). Sedangkan oof mempunyai wewenang menguasai beberapa kampung dan bertanggung jawab kepada usif. Para kepala kampung yakni temukung, lopo, dan mnasi kuan bertanggung jawab kepada oof. Struktur pemerintahan tertinggi ke bawah meliputi usif (raja penguasa wilayah), amaf (ketua marga-marga pendukung utama kerajaan), oof (dewan rakyat), temukung dan lopo (kampung yang merupakan kumpulan beberapa klen), mnais kuan (kepala kampung yang telah disetujui amaf), dan too (rakyat biasa yang mendiami wilayah kerajaan). Usif sebagai penguasa wilayah tetap melanjutkan pendelegasian tugas-tugas khusus seperti mafefa, meo, ana’ tobe (pemimpin yang bertanggung jawab pada penataan wilayah pertanian pertanian, kelestarian alam, dan lingkungan hidup), mnae, dan atusit.

Pengaruh sistem pemerintahan Eropa telah tampak sejak masuknya Bangsa Portugis. Orang Portugis pertama yang datang ke Pulau Timor adalah pastor penyebar Agama Katolik bernama Anthonio Taveira pada tahun 1522 (Wadu, 2003:33). Sehubungan dengan masuknya Bangsa Portugis dan Agama Kristen Katolik, sistem sosial masyarakat khususnya sistem pemerintahan di Pulau Timor mengalami perubahan dan disesuaikan dengan sistem pemerintahan Portugis. Sistem kemasyarakatan yang semula menerapkan pola-pola tradisional selanjutnya berpadu dengan pola-pola kepemimpinan Bangsa Portugis. Perubahan nama dan struktur

(37)

110 pemerintahan terjadi karena Portugis menjalin kerjasama perdagangan cendana cukup lama dengan para pemimpin lokal. Perubahan nama dan istilah jabatan menggunakan Bahasa Portugis yakni; 1) Keiser, Kesel (raja atau penguasa wilayah) 2) Fettor, Fetol (wakil raja yang memimpin wilayah setingkat kecamatan). 3) Oof (dewan rakyat membawahi beberapa temukung). Oof bertugas sebagai penghimpun dan perantara rakyat dengan raja, pemberi isteri, penjaga ladang milik raja, penghimpun kekayaan alam terutama cendana, madu, dan lilin. 4) Temukung, gabungan dari beberapa kampung. 5) Mnasi kuan, kampung kecil yang merupakan gabungan beberapa klen. 6) Too, masyarakat biasa yang mendiami suatu wilayah kerajaan. Di samping struktur pemerintahan, raja membuka jabatan lain yakni ana amnes (pengatur upacara keagamaan), nai mone (juru bicara kerajaan dan memberi pertimbangan pengadilan), nai fetor (memberi pertimbangan kepada raja apabila diperlukan), fettor (pemerintah setingkat kecamatan). Tugas dan fungsi pemerintahan sama seperti masa sebelumnya termasuk tugas-tugas fungsional seperti jabatan mafefa, meob, ana tobe, mnae dan atusit berjalan seperti masa-masa sebelumnya. Penguasaan hasil alam termasuk cendana tetap berada di tangan kesel, dan aparat pemerintahan lain seperti fettor, temukung, maupun amaf (lihat bagan 4.2).

Setelah kedatangan Bangsa Portugis, Bangsa Belanda mulai memasuki Pulau Timor pada tahun 1614. Mengetahui Pulau Timor telah diduduki Portugis mereka hanya tinggal sementara dan kembali ke Batavia. Kemudian mereka kembali ke Kupang pada tahun 1657 dan berhasil merampas benteng Portugis pada tahun 1642. Pertentangan antara Portugis dan Belanda kerapkali terjadi terkait monopoli perdagan

(38)

111 lilin, masu, dan cendana. Belanda dan Portugis kemudian menandatangi kesepakatan bahwa wilayah Pulau Timor bagian timur merupakan wilayah kekuasaan Portugis sedangkan wilayah bagian barat daerah kekuasaan Belanda. Mulai saat itu Belanda berupaya menarik simpati dan menjalin hubungan baik dengan para kesel yang bertujuan untuk menguasai sumber daya alam terutama cendana dan lilin (Universitas Nusa Cendana, 2001:68).

Bagan 4.1

Nama dan Struktur Pemerintahan Lokal Masa Portugis

Setelah Belanda berhasil menguasai kerajaan-kerajaan di Pulau Timor, wilayah kaki Gunung Mutis dan sekitarnya dimasukkan ke dalam sistem pemerintahan onderafdeeling di bawah kendali seorang controleur. Onderafdeeling Zuid Midden Timor (Timor Tengah Selatan) hanya meliputi tiga landscappen (kerajaan kecil) yakni; lanscappen (kerajaan) Mollo, Amanuban, dan Amanatun

(39)

112 (Fobia, 1995:48). Lansceppen Mollo berada di bawah pimpinan usif dari lineage (klen) Oematan, Lansceppen Amanuban di bawah kekuasaan keluarga Banu dan Nope, Lansceppen Amanatun di bawah pimpinan keluarga Banunaek. Perangkat bawahan pemerintahan kerajaan sama seperti tatanan pemerintahan kerajaan sebelumnya dan pelaksanan pemerintahan masih tetap berlandaskan hukum adat yang berlaku di masyarakat. Kaisar atau kessel disebut pula usif adalah pemegang tampuk pemerintahan merupakan kelanjutan pemimpin-pemimpin sebelumnya. Kekaisaran ini terdiri dari kefettoran, temukung naek, tumukung ana, nakaf, dan tob, maka seorang kesel dalam menjalankan roda pemerintahan dibantu oleh para fettor, temukung naek, temukung ana, dan nakaf. Melalui strukur pemerintahan yang baru dibentuk, Belanda melakukan campur tangan terkait penguasaan cendana yang mengharuskan para kesel menjual kayu cendana hanya kepada Belanda. Bahkan Belanda mulai membangun pabrik minyak cendana di Kupang guna memenuhi permintaan akan kebutuhan minyak cendana.

Pada masa pemerintahan Jepang, sistem pemerintahan tradisional dan undang-undang warisan Belanda masih tetap dipertahankan untuk menjaga ketertiban masyarakat. Perangkat pemerintahan lokal terdiri dari kefettoran, temukung naek, tumukung ana, nakaf, dan tob berjalan seperti biasa namun semua lapisan masyarakat harus taat pada Jepang. Hanya beberapa istilah pejabat pemerintahan diganti dengan Bahasa Jepang, misalnya ken untuk menyebut pemimpin kerajaan (kessel), son untuk fettor, ku untuk temukung (desa). Khusus untuk pemerintahan tingkat temukung pemerintah Jepang mengeluarkan aturan tentang pemecatan dan pemilihan temukung

(40)

113 harus atas persetujuan fettor dan disyahkan oleh kesel. Masa jabatan seorang kepala desa dibatasi hanya selama empat tahun (Fobia, 1995:88).

Masa pendudukan yang cukup singkat, Jepang tidak mengutamakan penataan sistem pemerintahan. Prioritas utama Bangsa Jepang adalah mencari hasil alam termasuk cendana yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan logistik menghadapi perang Asia Timur Raya melawan sekutu. Pada masa ini pola-pola penjualan cendana tetap berlangsung seperti masa-masa sebelumnya yang memberi hak penguasaan kepada kessel. Sistem pemerintahan pada masa ini lebih banyak ditekankan pada usaha-usaha penggalangan kekuatan angkatan perang dan persediaan logistik. Rakyat dipaksa bekerja keras untuk menghasilkan pangan yang berkecukupan. Bagi masyarakat Amanuban kerja paksa membawa berkah manis yang membuat masyarakat bekerja keras mengolah ladang sehingga kebutuhan pangan masyarakat terpenuhi dan tidak ada lagi kelaparan serta pencurian (Wadu, 2003:105).

Penerapan sistem pemerintahan lokal dan tata penguasaan cendana seperti masa-masa sebelumnya tetap berlangsung pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Sebab, masa-masa tersebut merupakan masa-masa transisi dan belum diberlakukannya undang-undang sistem pemerintahan baru. Pemberlakuan sistem pemerintahan nasional baru sebatas pembentukan pemerintahan swapraja dan semua bentuk pemerintahan setingkat desa dan di bawahnya tetap berlaku sesuai aturan tradisi (Fobia, 1995:94). Pembenahan sistem pemerintahan nasional baru berjalan efektif tahun 1958, sesuai Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 yang isinya

(41)

114 mengatur pembentukan daerah tingkat II dan kecamatan. Sehubungan dengan hal tersebut daerah swapraja dihapus, kemudian diubah menjadi kecamatan.

4.5.2 Sistem Pemerintahan Formal

Sistem pemerintahan formal berawal dari munculnya hukum masyarakat industri di Eropa sebagai kelanjutan dari evolusi masyarakat manusia yang mengenal hukum keramat, hukum sekuler, dan hukum agama. Hukum masyarakat industri, muncul ketika krisis keyakinan masyarakat terhadap pemimpin sebagai keturunan dewa semakin berkurang. Kemudian muncul sikap-sikap dan perilaku individualis dan saling membutuhkan dan saling menguntungkan yang ditengarai memunculkan masyarakat industri. Hukum-hukum baru atau undang-undang yang mengatur kehidupan masyarakat muncul berdasarkan azas timbal balik dan saling menguntungkan merupakan prosedur terjadinya undang-undang dengan perundingan antara wakil-wakil warga masyarakat dalam badan-badan pemerintahan. Dalam kaitan ini, aturan-aturan hidup manusia serta-hukum-hukum yang dapat bertahan adalah hukum yang melindungi kebutuhan warga masyarakat akan hak hidup.

Kebutuhan melindungi kebutuhan masyarakat akan hak hidup, hak kebebasan, dan hak milik merupakan tujuan inti dan cikal bakal terbentuknya pola pemerintahan formal. Pembentukan suatu pemerintahan diperlukan untuk menjamin kehidupan, kebebasan, dan keamanan hak milik. Selama kehidupan, kebebasan, dan keamanan hak milik terjamin, selama itu masyarakat terikat oleh kewajiban mentaati hukum pemerintah. Sebaliknya, bila pemerintah mengingkari janji tersebut dan berubah

(42)

115 menjadi tirani, maka akan terjadi perombakan untuk membentuk pemerintahan baru. Kepentingan rakyat dapat dilindungi dalam pemerintahan apabila ada tiga kekuatan dasar kekuasaan yakni badan legeslatif, yudikatif, dan federatif, masing-masing terpisah dan berjalan sesuai fungsinya (Locke, 2002:12-13). Pola pemisahan kekuasaan demikian merupakan awal mula terbentuknya pemerintahan moderen yang bersifat formal yang sesuai dengan peraturan resmi.

Sistem pemerintahan formal di Indonesia, mengacu pada sistem pemerintahan Bangsa Barat dan penerapannya tampak menonjol masa pasca kemerdekaan. Sistem pemerintahan tradisional sedikit demi sedikit mulai diubah dan disesuaikan dengan sistem pemerintahan berdasarkan tata pemerintahan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlaku seragam di seluruh Indonesia. Penguasa wilayah setingkat kesel diganti dengan seorang kepala daerah, kefetoran diganti dengan kecamatan, tamukung menjadi desa, mnasi kuan menjadi dusun, dan seterusnya. Pada awal masa kemerdekaan wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan membawahi tiga swaparaja sesuai dengan wilayah lanscappen yang telah ada sebelunya. Tiga wilayah kecamatan yang mendukung Kabupaten Timor Tengah Selatan adalah Swapraja Mollo, Amanuban, dan Amanatun. Selanjutnya, Negara Kesatuan Republik Indonesia mulai berbenah mengatur sistem pemerintahan secara nasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958.

Secara resmi pemerintahan swapraja berakhir tahun 1963, setelah terbit intruksi Gubernur Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Timur tanggal 30 Juli 1963 tentang penghapusan nama-nama jabatan adat dan aparat pemerintahan

(43)

116 adat. Dengan demikian, istilah swapraja, anggota dewan swapraja, kefetoran, temukung secara lebih tegas dihapuskan. Misalnya, wilayah swapraja Amanuban kemudian dibagi menjadi empat kecamatan yakni ; (1) Kecamatan Amanuban Timur pusatnya di Ki’e, (2) Kecamatan Amanuban Tengah berpusat di Niki-Niki, (3) Kecamatan Amanuban Barat berpusat di Oekamusa, (4) Kecamatan Amanuban Selatah berpusat di Pinite. Pada masa pemerintahan Orde Baru penghapusan sistem pemerintahan tradisional dipertegas kembali. Tiga wilayah swapraja yang mendukung Kabupaten Timor Tengah Selatan berubah menjadi kecamatan. Pada masa ini Kabupaten Timor Tengan Selatan dipimpin oleh seorang kepala daerah disebut bupati. Sistem kepemimpinan pada masa ini lebih banyak melaksanakan pembangunan daerah yang tampak menonjol dalam usaha-usaha pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat meliputi pengembangan pertanian pangan, perkebunan, kesehatan, dan pendidikan.

Perubahan sistem pemerintahan tradisional menjadi pemerintahan nasional secara umum memunculkan beberapa perubahan di masyarakat. Menurut penuturan beberapa kepala desa dan tokoh-tokoh masyarakat, sejak berubahnya status pemerintahan tradisonal menjadi penyeragaman sistem pemerintahan nasional, peran lembaga adat hampir tidak ada. Misalnya, sistem tolas (gotong-royong) yang diatur lembaga adat dan dikuti rasa tanggung jawab menyelesaikan suatu pekerjaan menjadi sistem gotong royong biasa tanpa disertai tanggung jawab. Termasuk perangkat adat yang bertugas memanggil warga menggunakan peku (sejenis terompet terbuat dari tanduk kerbau) sekarang tidak ada. Tugas memanggil warga masyarakat sekarang

Referensi

Dokumen terkait

1. Dari analisa ragam data berpengaruh sangat nyata. Hal ini diduga karena media pemeliharaan dengan kadar salinitas yang cukup tinggi tidak efektif dalam

Satuan usaha dalam SI dinyatakan dalam ... adalah besar usaha yang dilakukan oleh gaya ... untuk memindahkan benda searah gaya sejauh ... Sebuah peti memiliki gaya 500

Kegunaan lain dari penelitian ini adalah untuk lebih mensosialisasikan tata cara pengurusan jenazah perspektif hadis di kalangan masyarakat Bandung Timur pada khususnya

Nilai indeks similaritas (IS) di muara sungai selama tiga kali pengambilan sampel rata-rata tidak mirip, kecuali pada stasiun 2 saat surut dan stasiun 1 saat pasang

Tingginya penerapan pengelolaan tanaman terpadu berhubungan dengan dukungan ketersediaan sarana produksi yang sudah terfasilitasi dengan baik, dukungan kelompok tani sudah sangat

Adapun kendala atau hambatan berwirausaha yang dialami mahasiswa FISIP dalam berwirausaha antara lain: (1) modal, namun modal dapat diatasi dengan sambil berjalannya wirausaha

Menurut Kimmel (2005, p3), Unified Modelling Language (UML) adalah definisi resmi dari bahasa piktoral, dimana terdapat simbol umum dan hubungan yang memiliki satu makna umum.

Sumber pendapatan ayah dari petani karet, petani sawit, buruh tani, karyawan, toke, PNS dan buruh bangunan, Pendapatan Ibu masyarakat Melayu dari jumalah