• Tidak ada hasil yang ditemukan

Partai Politik Lokal Aceh Dalam Perspekt

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Partai Politik Lokal Aceh Dalam Perspekt"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Partai Politik Lokal Aceh Dalam Perspektif Demokrasi Radikal

Iwan Ismi Febriyanto, S.IP1

Wawan Edi Kuswandoro, S.Sos, M.Si dan Faza Dhora Nailufar, S.IP, M.IP2

1) Alumni Jurusan Ilmu Politik 2) Staff Pengajar Jurusan Ilmu Politik

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya

This research uses qualitative exploratory study that seeks to explore the study of radical democracy and local political parties with methods of literary study. As for the sources that will be used most of the book discusses the many radical democracy and local political parties. Moreover, it will be strengthened with several other supporting data such as the Law, the vote result of local political parties, as well as studies that discuss the radical democracy and local political parties. This work discusses the relevance of the concept of radical democracy with local political parties in Aceh. This radical theory of democracy is actually the antithesis or the answer from post-Marxist to the phenomenon of democracy and liberalism in the 21st century. In the theory of radical democracy, hegemonic cultural values are still retained as the basis of the class struggle. In addition, Mouffe and Laclau also ma ny include a plurality of values and trying to recover the political nature of the agonist in the discourse of democracy. The main conclusion of this study is a reflection of the existence of the new social movements of the local community as a form of disillusionment with the liberal democratic Indonesia that run over the last few years. And there are similarities pattern initiated Mouffe and Laclau through radical democracy and the movement of local political parties in Aceh.

Keywords:

Hegemony, Local Political Party, Radical Democracy

PENDAHULUAN

Wacana mengenai demokrasi memang sering diperbincangkan di berbagai aspek ilmu pengetahuan, khusunya ilmu-ilmu sosial. Beberapa ruang dan diskursus mengenai demokrasi, wacana yang sering digambarkan di beberapa media dan aparatur negara adalah bentuk demokrasi

(2)

yang sering kali bermuara pada individualisme dan proseduralisme. Demokrasi hanya diartikan sebagai festival, dimana para kontestan politik bertarung di ruang-ruang politik negeri ini dengan sistem yang kita kenal sebagai Pemilu. Tidak hanya pada tataran pusat, di tataran daerah juga banyak kita jumpai bahwa demokrasi diartikan hanya sebatas pemilihan-pemilihan kepala daerah atau lebih dikenal dengan Pemilukada.

Demokrasi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos dan kratos. Demos

yang mempunyai arti rakyat, sedangkan Kratos artinya adalah kekuasaan. Kita bisa tarik garis besar, bahwasannya demokrasi adalah kekuasaan berada di tangan rakyat dan rakyatlah yang

menentukan atau memutuskan segala kebijakan yang akan di ambil oleh pemerintah untuk kemudian diterapkan dalam berbagai kehidupan sehari-hari di wilayahnya. Bahkan, Dony Gahral Adian dalam (Adian, 2010: Kata Pengantar) menyebut bahwa politik demokrasi tak lain adalah perluasan akses politik kaum miskin, marjinal, dan minoritas.

Menurut Joseph A. Schumpeter, filsafat demokrasi dari abad kedelapan belas dapat dituliskan sebagai berikut: metode demokratis adalah bahwa pengaturan kelembagaan untuk sampai pada keputusan-keputusan politik yang menyadari kebaikan umum dengan membuat masyarakat memutuskan masalah-masalahnya sendiri melalui pemilihan individu-individu untuk berkumpul dalam rangka melaksanakan kehendaknya. (Schumpeter, 2013: 411)

Istilah demokrasi diperkenalkan kali pertama oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu suatu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan banyak orang (rakyat). Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia. Selain para pendahulu yang menerangkan tentang bagaimana demokrasi itu dijalankan dan memang sudah lama berkecipung dalam bidang politik,

ada juga anggapan bahwa dari salah satu filsuf politik radikal, yaitu Alain Badiou. Badiou menolak penafsiran liberal tentang demokrasi sebagai persaingan bebas antar kelompok kepentingan atau

individu, baginya, demokrasi adalah sesuatu yang sama sekali lain. Demokrasi adalah invariant komunis, atau sebut saja egalitarianisme radikal. Konsekuensinya, demokrasi bukan sekedar pengambilan keputusan secara kolektif, baik secara agregatif maupun deliberatif. Demokrasi adalah dia yang menghadirkan kesetaraan.

(3)

pemimpin. Mekanisme demokrasi ketika itu memunculkan semaca oposisi biner (binary opposition) yaitu di satu sisi demokrasi mengakomodir semua kebebasan politik warga Athena,

yang jelas keutamaan warganegara dan kedaulatan ada di rakyat Athena bukan lagi ditentukan oleh doktrin teologis (monarki) seperti sebelumnya. Tetapi di satu sisi, demokrasi menghasilkan semacam agen rasional (rational agent) yaitu agen, elit atau kelompok yang memonopoli politik dengan menghegemoni, tujuanya untuk mempertahankan kekuasaan sehingga cenderung

mengarah pada Aristokrasi.

Pada perkembaganya, demokrasi mengalami pendefinisian secara terperinci dan teknis,

pengukuran secara ilmiah kodisi ini ditengarai oleh Fukuyama sebagai The end of History and The Last Man . Perubahan ini, mengakibatkan demokrasi direduksi, dan menekankan

prosedur-prosedur teknis (Pemilu, adanya KPU, dll) atau sering disebut demokrasi prosedur-prosedural. Konsekuensinya adalah watak politik yang antagonis direduksi menjadi politik yang kompromistis, gairah berubah menjadi hukum, gerakan berubah menjadi prosedur, semangat berubah menjadi institusi, kontradiksi berubah menjadi kompromi. Perdebatan pun berkisar antara bagaimana demokrasi harus dibangun dengan standar barat. Misalnya perhitungan demokrasi yang didasarkan pada pendapatan perkapita dan agama yang dianut, malukakan Pemilu, pendirian KPU, Bawaslu, sampai pada bertransformasinya lembaga-lembaga survey menjadi lembaga provit.

Demokrasi mengalami standarisasi yang baku yang celakanya standar itu menjadi acuan demokrasi untuk Negara yang melakukan demokratisasi. Seperti Irak yang proses demokrasi ditandai dengan invasi sebagai penggulingan rezim otoriter dan pemilu dilakukan setelah rezim otoriter runtuh padahal civil society masih belum siap yang terjadi adalah frozen democracy. Demokrasi mengalami banyak kemacetan di dunia ketiga ini bukan tanpa sebab, yaitu

ketidaksesuaian antara standar dan faktor empiris juga karena antagonisme telah mati.

Ernesto Laclau dan Chantal Mouffee pada tahun 1985 dengan bukunya yang berjudul

Hegemony and Sosialist Strategy : Towards a Radical Democratic Politics memberikan kritik atas

(4)

Demokrasi hanya dijadikan topeng oleh orang-orang yang sejatinya anti demokrasi demi meraih keuntungan dengan memakai logika ekonomi semata. (Adian, 2010). Masyarakat dibuat percaya bahwasannya substansi demokrasi hanya berada pada hajatan lima tahunan. Ini menunjukan bahwa segalanya tentang demokrasi adalah sekelumit prosedur-prosedur dalam upaya meraih kekuasaan. Kemiskinan, kemelaratan, dan kesenjangan sosial dipelihara secara berkala. Bahkan tidak jarang di antara para politisi-politisi yang haus kekuasaan, mereka hanya dijadikan

komoditas politik demi meraih keuntungan pribadinya.

Secara konseptual, tentunya krisis kepercayaan terhadap partai maupun sistem yang ada

dipemerintahan Indonesia merupakan imbas dari mengalir derasnya gelombang demokrasi liberal. Kecenderungan demokrasi dengan prinsip libertarian ini sangat dipengaruhi oleh logika kapitalisme, yaitu persingan bebas dan determinasi ekonomi individual. Asumsi ini dipertegas oleh Milton Friedman dalam bukunya Capitalism and Freedom yang menyatakan bahwa ekonomi pasar bebas kapitalis-lah yang merupakan satu-satunya tipe organisasi sosial yang menghargai kebebasan individual karena sistem itu merupakan satu-satunya sistem ekonomi yang mampu mengoordinasikan aktivitas-aktivitas dari sejumlah besar orang tanpa harus menggunakan koersi. (Mouffe dan Laclau, 1999 : 255)

Di Indonesia, perkembangan demokrasi telah mengalami pasang surut. Selama lebih dari 60 tahun berdirinya Republik Indonesia ternyata masalah pokok yang kita hadapi ialah bagaimana, dalam masyarakat yang beraneka ragam pola budayanya, mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi disamping membina suatu kehidupan sosial politik yang demokratis. Pokok masalah ini berkisar pada penyusunan suatu sistem politik di mana kepemimpinan cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta nation building, dengan partisipasi rakyat seraya

menghindarkan timbulnya diktatorisme kepemimpinan.

Sudah hampir dua dekade ini, Indonesia telah menikmati masa dimana orang-orang bebas

(5)

Pada tahun 2006, Indonesia sempat dikejutkan dengan disahkannya Partai Politik Lokal di daerah Aceh sebagai alat rekonsiliasi atas ancaman dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang memang sudah lama mengancam untuk keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satu isi perjanjian perdamaian yang waktu dilakukan di Finladia adalah bahwa pemerintah Indonesia harus segera menyetujui pembentukan Partai Politik Lokal di Provinsi Aceh. Salah satu partai lokal yang akan menjadi bahasan utama pada penelitian ini adalah Partai Aceh.

Partai Aceh sebelumnya bernama GAM, yang didirikan di Banda Aceh pada hari senin, tanggal 04 Juni 2007. Selanjutnya pada hari Sabtu, 23 Februari 2008 Partai GAM diubah menjadi

Partai Gerakan Aceh Mandiri (GAM). Selanjutnya pada hari Selasa, 22 April 2008 Partai Gerakan Aceh Mandiri (GAM) diubah menjadi Partai Aceh. Partai yang dikomandoi oleh Muzakir Manaf yang juga merupakan mantan petinggi GAM (Gerakan Aceh Merdeka) ini berhasil mengumpulkan suara sebanyak 46,91 % pada Pemilu 2009 lalu dan 35,34 % pada Pemilu Legislatif 2014. Ini menandakan bahwa Partai Aceh merupakan partai pemenang untuk anggota DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh) selama dua periode berturut-turut. Itulah alasan mengapa Partai Aceh dipilih sebagai bahan rujukan utama pada penelitian ini.

Fenomena partai politik lokal merupakan salah satu dari imbas dari pergeseran makna dalam diskursus demokrasi dewasa ini. Ketiadaan dalam upaya mengurangi kesenjangan dan kemelaratan yang terjadi di negara sudah mulai dilupakan bahkan hanya sebatas upaya pemakluman atas konsekuensi logis dari paradigma demokrasi liberal yang dianut. Berbagai partai politik seolah melakukan kotestasi dalam ruang demokrasi hanya untuk mendapatkan kekuasaan secara yuridis dalam mengatur negara ini.

Dalam logika persaingan demokrasi liberal, konsep antagonisme yang seharusnya menjadi

bagian inti dari kehidupan politik menjadi kabur dan abstrak. Pertarungan ideologis, persaingan intelektual, dan perdebatan mengenai sistem pemerintahan yang bisa mensejahterakan rakyat

seakan hanya menjadi senjata tanpa peluru dan tergantikan oleh logika ekonomi. Reformasi yang menjadi kebanggaan dan seakan menjadi Tuhan baru dalam paradigma kebijakan yang lebih merata karena melahirkan konsepsi mengenai otonomi daerah nyatanya tidak mampu memberi jawaban atas ketimpangan yang semakin melebar.

(6)

1. Kita berasumsi bahwa kita berbagi kualitas universal yang sama dengan orang lain yang secara alamiah akan mengakibatkan konvergensi kepentingan melalui negosiasi dan kompromi. Kelompok nasionalis dan agamis, misalnya, pasti akan menemukan titik pertemuan keduanya melalui negosiasi. Sementara, sampai saat ini keduanya masih bersitegang dan kalaupun ada kompromi, itu bersifat tentative dan tidak stabil.

2. Kita akan mengklaim diri berbicara atas nama kemanusiaan sehingga musuh dilabeli sebagai

bukan manusia, yang kapan saja bisa dimusnahkan.

Konsep mengenai pembangunan serta paradigma demokrasi radikal memang belum

banyak menjadi diskursus diranah ilmu politik dewasa ini, terutama yang penulis alami setelah beberapa tahun menempuh studi di Program Studi Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Kajian ini mungkin banyak dilupakan sebagai materi dan kekayaan mengenai penerapan demokrasi di dunia, teruatam dunia ketiga yang Indonesia merupakan bagian didalamnya. Padahal, sebagai intelektual yang memiliki spesifikasi bidang Ilmu Politik sudah menjadi kewajiban untuk memahami khasanah keilmuan yang bersifat kontemporer.

Penulisan ini ingin lebih difokuskan pada proses menemukan dan mencari substansi dari demokrasi. Dimana, dari beberapa kasus yang tengah berada dalam pundak bangsa kita hari ini tidak lain adalah disebabkan oleh semakin abstraknya nilai dan subtansi demokrasi. Di sini, peneliti dengan mengambil judul penelitian Partai Politik Lokal dalam Perspektif Demokrasi Radikal” dengan studi literatur yang berlandaskan pada sumber-sumber yang berorientasi terhadap tema yang diangkat oleh penulis.

PEMBAHASAN

Teori mengenai demokrasi radikal sebagaimana menjadi fokus utama dari penelitian ini sudah banyak dibahas pada bab-bab sebelumnya. Pada bagian ini, demokrasi radikal yang

(7)

Timbulnya Partai Politik Lokal sebagai Subjek Paradoks dan Pluralitas dalam Demokrasi Radikal

Dalam bahasan mengenai demokrasi radikal, Mouffe dan Laclau memang tak ketinggalan menggunakan logika pluralitas dalam hubungan sosial kemsayarakatan. Artinya, proposal mengenai demokrasi radikal yang diajukan oleh mereka memang sangat bersandar pada keberagaman pada subjek-subjek politik. Adapaun yang menarik dari timbulnya partai politik

lokal ini adalah soal tumbuhnya subjek politik baru di Indonesia yang selama ini dipenuh sesaki oleh partai-partai nasional. Dalam bahasan teoritisnya, Mouffe dan Laclau menamainya sebagai

subjek paradoks.

Istilah mengenai subjek dalam politik memang sudah lama menjadi perbedabatan yang umum dan menjadi sejarah kemajuan pemikiran dari zaman Rene Descartes sampai Edmun Husserl. Logika subjek dalam wilayah pemikiran Cartesian adalah bagaimana eksistensi subjek yang terbentuk atas dasar idealisme rasional. Pengukuhan terhadap “Cogito” yang dilakukan oleh Rene Descartes memang menjadi titik tolak pemikirannya mengenai subjek. Pada sebagian besar intelektual modern menganggap ini adalah kekeliruan berfikir, karena Descartes dituduh memisahkan relasi antara subjek dan objek.

Demi melanggengkan politik konsensus dalam menghadapi pluralitas masyarakat, Rawls mengatakan bahwa pentingnya menerima tiga fakta umum budaya politik masyarakat demokratis yang mau tak mau harus diterima masyarakat sebagai kenyataan yang tak dapat ditolak. Ketiga kenyataan budaya politik masyarakat demokratis itu adalah:

“ pertama adalah bahwa keragaman dotrin-dotrin religius, filosofis dan moral komprehensif yang nalar yang dijumpai pada masyarakat- masyarakat demokratis modern bukanlah sekedar kondisi kesejarahan yang boleh jadi akan segera berlalu belaka, hal tersebut merupakan roman permanen dari budaya publik masyarakat demokrasi. Sebuah fakta umum ya ng kedua dan bertalian adalah bahwa sebuah keberbagian pemahaman yang bersinambungan atas sebuah dotrin religius, filosofis, dan moral komprehensif hanya dapat dipertahankan lewat penggunaan opresif kuasa hukum. Akhirnya sebuah fakta umum yang ketiga adala h bahwa sebuah rezim demokratis yang aman dan langgeng, yang tak terpecahkan ke dalam keyakinan-keyakinan doktrinal yang saling bertentangan dan kelas-kelas sosial yang bermusuhan, harus didukung secara sukarela dan bebas oleh sekurang-kurangnya sebuah mayoritas substansial para warganya yang aktif secara politik. ” (Danujaya,2012:165-166)

(8)

Persoalan bahasa ini, oleh Wittgenstein disebut sebagai permainan bahasa. Bahasa menurut dia adalah aturan main yang berbeda dari satu bentuk kehidupan kebentuk kehidupan lainnya. Aturan main tersebut bukan merupakan hasil pilihan individu, melainkan aturan yang mana individu tertanam didalamnya. (Adian, 2011: 117)

Faktisitas pluralitas diakibatkan oleh ketidaktereduksinya keberagaman subjek dalam sebuah keutuhan. Ketidakterekdusinya ini karena subjek itu selalu berada dalam kondisi yang tidak

utuh. Ketidakutuhan subjek ditandai oleh subjek yang selalu berada dalam kondisi keserbakekurangan atau lack. Kondisi keserbakekurangan ini disebabkan oleh ada sesuatu yang

tidak dapat diinklusikan ke dalam diri subjek sehingga ia tidak pernah mencapai keutuhan tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh Lacan dengan teori subjek. Bagi Lacan, subjek adalah sesuatu yang selalu berada dalam keserbakekurangan yang tidak pernah dapat mencapai pemenuhan identitasnya sebagai sesuatu yang utuh. Subjek selalu kekurangan secara inheren dan kondisi ini terjadi karena ada ekses terhadap dirinya.

Ada dua jenis ketidakutuhan pada subjek. Pertama adalah ketidakutuhan internal yang diakibatkan oleh perpisahan primordial anak dari sang ibu pasca melahirkan mengakibatkan subjek itu selalu merasa dirinya sebagai yang asing. Kedua adalah ketidakutuhan eksternal, dimana realitas terbentuk melalui proses pembahasaan atau the symbolic. The Symbolic memungkinkan subjek untuk mengetahui realitas, melalui bahasa, sekaligus mengurungnya di dalam penjara bahasa tersebut. Ia mampu menghadirkan realitas kepada subjek, melalui struktur penanda-petanda, suatu penanda tidak pernah menghadirkan petanda yang diasosiasikan dengan dirinya secara langsung, melainkan melalui keterhubungannya dengan penanda lainnya. (Adian, 2011: 129) Dengan adanya proses ini, maka realitas selalu menghadirkan dirinya sekaligus memiliki ekses

akan keberadaan the other. Berhubungan dengan ketidakutuhan internal, kehadiran the other sebagai sesuatu yang asing memantapkan kegagalan subjek dalam mempertahankan

keutuhan dirinya karena ia selalu membayangkan the other sebagai sesuatu yang tidak dapat dimasukan sebagai bagian dari dirinya. The other dalam realitas simbolis kemudian membentuk diri subjek sebagai sesuatu yang koheren dan unik sekaligus terpisah dari apa yang tidak dapat diinklusikan dan menandakan keberadaan subjek yang unik lainnya.

(9)

other sebagai syarat atas keberadaan subjek, bagaimana tentang relasi subjek dengan subjek lain

sebagai the other. Subjek yang lain juga dipahami sebagai sesuatu yang dibentuk oleh the other, yang juga berada dalam kondisi keserbakekurangan dan tak utuh ini, sama- sama ingin

mencapai kepenuhan atas kondisi kekurangannya dan keutuhan. Dalam pemenuhan ini lah terjadi kebersitegangan antar subjek dan the other. Kebersitegangan ini akhirnya disebut dengan relasi antagonis antara the other dan subjek. Relasi antagonis ini lah yang membuat ketidakstabilan abadi

di dalam diri subjek. (Adian, 2011: 130)

Relasi antagonis dipahami sebagai sebuah momen dalam usaha untuk mencapai sebuah

kestabilan dalam sebuah ketegangan yang disebabkan oleh subjek yang berada dalam kondisi keserbakekurangan. Usaha untuk mencapai kestabilan itu bagi Laclau diartikan sebagai sebuah praktek artikulasi. Sedangkan hasil dari artikulasi disebut dengan diskursus. Diskursus sendiri diartikan sebagai totalitas yang terstruktur. Laclau dan Mouffe mengatakan bahwa “The structured totality resulting from the articulatory practice, we will call discourse.” (Mouffe dan Laclau, 2001: 105). Praktek artikulasi berusaha membangun sebuah relasi dengan berbagai perbedaan yang disebabkan oleh keunikan subjek yang belum terartikulasikan. (Laclau and Mouffe, 2001: 105). Usaha penstabilan relasi antara berbagai identitas yang belum terartikulasikan inilah dimana momen antagonisme muncul. Dengan meletakkan praktek artikulasi pada relasi berbagai perbedaan yang sama sekali belum terartikulasikan, maka suatu pembentukan relasi antagonism adalah hal yang paling penting pada pembentukan identitasnya. Ia menaruh batas bagi dirinya dengan menghadapi sesuatu yang asing diluar sana.

Radikalitas subjek yang tak utuh ini membuat subjek yang dapat mengenal dirinya secara utuh yang menghasilkan subjek yang soliter, baik menurut Cartesian maupun Kantian itu tidak

mungkin dalam masyarakat pluralis. Karena ada dua hal yang berlawanan dalam secara prinsip dapat ditemukan antara subjek modern dan mayarakat pluralis, yaitu subjek modern

mengasumsikan bahwa keutuhan subjek itu mungkin karena subjek adalah subjek yang berpikir, yang dapat mengenali dirinya secara utuh, sedangkan masyarakat pluralitas mengasumsikan bahwa subjek itu berada dalam keadaan yang tidak stabil karena relasi antagonis yang diakibatkan oleh ketidakutuhan subjek dan kondisi keserbakekurangan.

(10)

radikal. Partai politik lokal Aceh tampil sebagai kompetitor pada Pemilu 2014 lalu yang notebennya dikuasai oleh partai-partai nasional yang telah disahkan oleh KPU.

Partai politik lokal Aceh telah berhasil menciptakan konsep mengenai the other dalam ranah politik nasional. Pluralitas kedaerahan mereka tampilkan sebagai bentuk protes terhadap kegagalan struktur partai politik nasional dan demokrasi liberal yang nyatanya tidak mampu melakukan usaha kesejahteraan kolektif dari sabang sampai marauke. Ini dibuktikan dengan

beberapa isi perjanjian perdamaian yang dilakukan di Helsinki yang berisi tentang otonomi-otonomi daerah Aceh dalam usaha membangun daerahnya sendiri, mulai dari segi ekonomi, sosial,

maupun politik. Masyarakat Aceh berhasil membentuk semacam subjek politik baru dalam ranah nasional. Ini juga sebagai bukti kegagalan demokrasi liberal yang sekarang dianut oleh Indonesia dalam menjawab tantangan pluralitas di tengah-tengah masyarakat Indonesia.

Partai lokal Aceh yang masuk dalam kategori the other dalam diskursus mengenai subjek kemudian membentuk semacam ruang pertentangan dengan subjek pendahulunya, yaitu partai politik nasional. Inilah yang kemudian disebut dengan subjek paradoks dalam konsep mengenai subjek politik yang dimaksud oleh Laclau dan Mouffe. Dimana ruang pertentangan antara partai politik lokal Aceh dengan partai nasional akan selalu abadi dalam kontestasi politik di provinsi Aceh. Dan pertentangan yang abadi tanpa menghilangkan lawannya ini adalah bentuk agonisme dalam keterbentukan partai politik lokal Aceh yang merupakan salah satu ciri dari adanya demokrasi radikal.

Agonisme dalam Partai Politik Lokal Aceh

Terma agonistik sebenarnya bukan istilah khas Mouffe. Ada beberapa pemikir lain yang juga menggunakan terma ini, misalnya William E. Connolly (Profesor Ilmu Politik di Johns

Hopkins University), Bonnie Honig (Profesor Ilmu Politik di Northwestern University ) atau

James Tully (Profesor Ilmu Politik, Hukum, Indigenous Governance, dan Filsafat di University

of Victoria, Kanada, sejak 2003). (Sunaryo, 2012: 91) Namun ada perbedaan mendasar pengertian agonistik yang dipahami Mouffe dibanding pemikir pemikir tersebut. Mouffe lebih memahami agonistik sebagai ruang konflik dan anta gonisme, sementara yang lain pada umumnya lebih memahami itu sebagai ruang kebebasan dan deliberasi, pengertian the political yang diinspirasi dari Arendt (Mouffe, 2005:20).

(11)

permusuhan di mana yang lain dianggap sebagai lawan yang harus dihancurkan. Konflik di sini lebih diartikan sebagai satu ruang di mana perbedaan adalah sebuah keniscayaan dan setiap perbedaan pada dirinya bersifat lejitim dan tidak ada satu bagian yang menjadi fondasi bagi yang lain. Setiap bagian me- miliki hak untuk menyatakan pendapatnya tanpa khawatir akan dianggap ilegal atau irasional.

Mouffe menilai bahwa ruang konflik dan antagonisme semacam ini yang absen dalam

demokrasi liberal. Demokrasi liberal menutup ruang konflik dan antagonisme, dan mereka mengubahnya menjadi konsensus rasional. Berangkat dari pengertian yang politik sebagai konflik

dan antagonisme, maka bangunan demokrasi agonistik Mouffe didasarkan pada semangat konflik dan antagonisme itu. Namun Mouffe sendiri kemudian berupaya menjinakkan istilah antagonisme menjadi agonis. Jika di dalam antagonisme, relasi kita mereka dianggap sebagai relasi permusuhan yang tidak memiliki titik temu sama sekali, di dalam agonistik meski tidak ada solusi rasional bagi konflik yang mereka alami, namun mereka tetap mengakui legitimasi lawan. Menurut Mouffe, salah tugas dari demokrasi adalah mentransformasi antagonisme menjadi agonisme (Mouffe, 2005:20). Dalam bahasa lain, antagonisme yang identik dengan kekasaran diperhalus dalam agonisme. Konflik dalam agonisme tidak bertujuan menghancurkan lawan namun justru ditujukan untuk merawat ruang konflik itu sendiri.

Istilah lawan yang terlibat dalam konflik tidak dipahami dalam pengertian “enemy”, namun

lebih diartikan sebagai “adversary.” Dengan pengertian adversary, maka meski mereka terlibat di dalam konflik, namun masing-masing memiliki legitimasi yang setara dan tidak menghancurkan mereka yang dianggap sebagai lawan. Bagi Mouffe, model relasi adversarial semacam ini harus dianggap sebagai sesuatu yang konstitutif dalam demokrasi (Mouffe, 2005:20).

Model ini tidak lepas dari tesis sentral Mouffe bersama Ernesto Laclau dalam Hegemony and Socialist Strategy (1985) bahwa objektivitas sosial dikonstitusikan melalui tindakan kuasa

(acts of power). Dengan tesis ini maka objektivitas sosial apapun pada dirinya sudah dalam pengertian yang politis. Kekuasaan menurut Mouffe tidak dimaknai sebagai relasi eksternal yang mengambil tempat di antara dua identitas yang belum dikonstitusikan. Kekuasaan justru lebih dimaknai sebagai aktivitas mengkonstitusikan identitas itu sendiri (Mouffe, 2000:99).

(12)

kecenderungan untuk menghapus konflik, antagonisme dan lawan (dalam pengertian adversary). Liberalisme hanya memahami lawan sebagai kompetitor yang memiliki tujuan merebut kekuasaan, yang dengan kekuasaan tersebut ia akan mengeluarkan lawannya (Mouffe, 2005:21). Demokrasi agonis justru memahami konflik dan antagonisme sebagai proses yang terus menerus tanpa final dan tanpa konsensus. Kalaupun ada kompromi, itu lebih dipahami sebagai peristirahatan sejenak di tengah konfrontasi yang sedang berlangsung (Mouffe, 2000:102). Dengan demokrasi pluralis

agonis, Mouffe menampilkan satu realitas sosial yang tidak luput dari relasi kuasa dan membuka ruang bagi yang politis untuk tampil dalam konflik agonis.

Dalam partai politik lokal Aceh, ruang konflik antagonistik sangatlah kental. Pada saat awal kemunculan partai ini juga diawali dengan konflik berkepanjangan antara organisasi GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dengan pemerintah Republik Indonesia seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Setelah konflik berkepanjangan tersebut, kemudian lahirlah satu kompromi antara pemerintah Indonesia dengan GAM yang pada kesepakatan akhir melahirkan Partai Politik Lokal Aceh.

Secara politis, tentunya ini menjadi satu fenomena politik yang menarik, terutama pada saat negara ini telah terhegemoni oleh partai-partai nasional yang berdiri, muncul partai lokal Aceh dengan segala peraturan dan manajemennya yang berbasiskan adat istiadat lokal Aceh. Selain itu, dampak dari rekonsiliasi antara pemerintah Indonesia dengan GAM ini juga terasa pada wilayah bangunan sistem pemerintahan lokal disana.

Mouffe dan Laclau dalam pembahasannya mengenai agonisme seperi yang telah dijelaskan sebelumnya, ingin menunjukan bagaimana ruang-ruang politis yang sarat konflik memang menjadi hal yang lumrah dan tidak boleh dihilangkan. Ini merupakan watak dari politikal, dimana

pada setiap konflik yang berkembang dalam suatu wilayah negara tidak boleh serta merta dihilangkan atas nama rasionalitas universal. Apalagi konflik yang muncul ini adalah konflik yang

berbasis nilai-nilai kedaerahan yang tentunya ingin menjaga agar daerahnya tetap melestarikan kepunyaan mereka, baik itu budaya maupun alam yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka.

(13)

daerah yang dimiliki Indonesia. Yang jelas, dalam hal ini pemerintah Indonesia telah menelurkan sebuah kebijakan agonistik dalam wilayah politis pada pengambilan keputusannya.

Hegemoni dalam Partai Politik Lokal Aceh

Dalam membentuk sebuah paradigma politik, sebagai bahan dasar terbentuknya teori mengenai demokrasi radikal, Moffe dan Laclau menggunakan pola Gramsci tentang teori hegemoni. Hegemoni menjadi bahan rujukan dalam membangun sebuah kesatuan politis dari arus

masryarakat bawah (grassroot). Pada bab tentang tinjauan teoritis, telah dijelaskan bagaimana hegemoni masuk sebagai sebuah teori yang menjadi gerakan menuju demokrasi radikal ala Mouffe

dan Laclau.

Pada pembahasan mengenai hegemoni dalam partai politik lokal Aceh ini, tentunya juga akan dibahas bagaimana pengaruh dari hegemoni itu muncul dalam kecenderungan masyarakat Aceh ketika menjatuhkan pilihan kepada partai politik lokal sebagai representasi politik mereka. Kesatuan atau kehendak kolektif dari masyarakat Aceh inilah yang menjadi titik awal kemunculan hegemoni dalam wujudnya yang nyata. Karena menurut Gramsci, subjek dari tindakan politik tidak dapat diidentifikasikan dengan kelas-kelas sosial, pada saat mereka mencapai bentuk

“keinginan kolektif” yang menciptakan ekspresi politik dari sistem hegemoni yang dikonstruksi

melalui ideologi. (Hutagalung, 2008: xxv) Maka dari itu, secara umum, partai politik lokal Aceh ini juga merupakan bentuk dari ekspresi politik atas kekecewaan mereka terhadap kondisi politik dan kebijakan nasional.

Gerakan masyarakat Aceh yang didorong oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada waktu itu, menjadi hegemoni masyarakat yang mampu menimbulkan gejolak politik luar biasa dalam ranah nasional. Alhasil, keterbentukan identitas baru sebagai subjek politik pada masyarakat Aceh

berhasil dilakukan. Apa yang terjadi di Aceh ini adalah salah satu bentuk hegemonik masyarakat Aceh dalam menanggapi adanya pembangunan nasional yang tidak merata, khususnya pada

wilayah provinsi Aceh. Ini bisa dilihat dari beberapa tuntutan kemandirian yang diajukan dan telah ditanda tangani pada perjanjian Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005 lalu.

(14)

hegemoni menurut Gramsci adalah bagaimana masyarakat sipil membangun kekuatan politiknya dalam menghadapi suatu rejim yang merugikan kelompok atau komunitasnya.

Apa yang dilakukan oleh beberapa petinggi GAM yang telah berhasil membuat suatu wadah politik untuk masyarakat lokal Aceh adalah sebagai bentuk artikulasi dari tipe hegemoni ekspansif. Gramsci telah menjelaskan bahwa hegemoni ekspansif adalah tipe hegemoni atau gerakan dengan karakter anti revolusi pasif. Strategi dan counter terhadap upaya kaum borjuis

untuk menjaga kepemimpinannya dengan melakukan regrouping dan rekomposisi dari kekuatan blok hegemomik. Hegemoni ekspansif juga merupakan strategi ofensif untuk membangun

konsensus aktif, untuk memobilisasi massa dalam sebuah revolusi yang meliputi perubahan superstruktur politik dan ideologis, dan juga infrastruktur ekonomi. (Gramsci, 2013: 132)

Tipe hegemoni ekspansif yang ditunjukan oleh Partai Aceh ini juga bisa dilihat strategi dan gerakan mereka yang sangat massif dalam membangu kekuatan politik ke daerah-daerah. Pada pemilu 2009 misalnya, ketika perolehan suara mereka sebanyak 43,9 % dan berhasil menguasai hampir lebih dari 50 % pada tiap-tiap daerah kabupaten kota yang ada di provinsi Aceh. PA (Partai Aceh) meraih mayoritas suara di delapan kabupaten. Misalanya di Aceh Besar (75%), Pidie (95 %), Pidie Jaya (90%), Bireuen (98 %), Aceh Utara (95%), Lhokseumawe (97%), Aceh Timur (90%), Langsa (75%), dan Aceh Tamiang (70%). Selanjutnya Aceh Jaya (70%), Aceh Barat (75%), Nagan Raya (80 %), Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan (75%), Simulue (70%), Singkil dan Subulussalam (65%). Kemudian Aceh Tenggara (60%), Aceh Tengah dan Bener Meriah (48%), dan Gayo Luwes (70%). (KIP Aceh, 2009) Dan pada Pemilu 2014 yang baru saja berlangsung, Partai Aceh kembali menjadi pemenang dengan total suara sebanyak 35,34 %.

Pertanyaan yang mucul sekarang adalah, bagaimana peran elit lokal Aceh dalam

mempengaruhi gerakan politik Partai Aceh tersebut? Ini menjadi pertanyaan yang menarik untuk dikaji ulang tentang bagaimana bangunan subjek politik Aceh itu dibangun. Jika dibaca ulang

sejarah rekonsiliasi antara pemerintah RI dengan GAM pada tahun 2005 lalu, maka jawabannya sudah pasti terlihat. Tentunya ada klausul tentang pembentukan partai politik lokal pasca penandatanganan MoU di Helsinki yang setelahnya diatur dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

(15)

Selanjutnya pada hari Sabtu, 23 Februari 2008 Partai GAM diubah menjadi Partai Gerakan Aceh Mandiri (GAM). Selanjutnya pada hari Selasa, 22 April 2008 Partai Gerakan Aceh Mandiri (GAM) diubah menjadi Partai Aceh. Disini dilihat bagaimana pengaruh elit-elit GAM dalam membangun sebuah gerakan hegemonik masyarakat Aceh dengan menggunakan partai politik lokal sebagai alat perjuangan politik mereka.

Lalu, apakah akibat dari terlalu besarnya pengaruh elit GAM dalam Aceh ini membuat

stigma kurang berkembangnya subjek politik masyarakat Aceh dalam Partai Aceh ? Gramsci sebelumnya telah membagi kelompok-kelompok dalam pembentukan sebuah partai revolusioner.

Yaitu intelektual organik dan intelektual tradisional. Dalam mengelola sebuah partai, Gramsci mencoba untuk memasukan peranan intelektual dalam membentuk partai revolusioner yang akan memimpin sebuah revolusi besar. Dalam kalimatnya, Gramsci berkata bahwa partai politik bertanggung jawab untuk menyatukan kaum intelektual organik dari kelompok-kelompok dominan dan kaum intelektual tradisional dari kelompok pedesaan. (Gramsci, 2008: 22)

Maka dari itu, disinilah letak titik temu antara peran elit GAM dalam membangun partai politik di provinsi Aceh melalui Partai Aceh tersebut. Perjuangan menjadi subjek politik dalam membangun daerah provinsi Aceh, menjadi semacam penyatuan antara elit GAM dengan masyarakat sipil disana melalui partai politik lokal. Dan perjuangan hegemonik dengan bersatunya antara elit dan grassroot inilah yang membentuk sebuah perjuangan politik untuk melakukan perubahan di Provinsi Aceh.

KESIMPULAN

Dari apa yang telah disampaikan sebelumnya, maka ada beberapa kesimpulan yang

menarik sebagai penutup dari hasil penelitian kali ini. Diantaranya adalah:

1. Fenomena kemunculan partai politik lokal Aceh pada tahun 2006 yang lalu merupakan

(16)

kebijakan. Inilah juga yang menyebabkan tebentuknya subjek politik baru pada wilayah lokal Aceh.

2. Watak agonisme yang merupakan watak dasar pembentuk demokrasi radikal pada masyarakat Aceh sejatinya sudah lama. Dimana pertentangan-pertentangan yang dilakukan

oleh masyarakat Aceh dalam membangun peradaban yang berdasarkan syari’at Islam pada

pemerintah lokal sudah mulai ada dari zaman penjajahan. Agonisme politik ini kemudian

terfasilitasi dengan adanya pembentukan partai politik lokal Aceh. Dimana konflik antara kepentingan partai nasional dengan partai politik lokal dipelihara dan dirawat sehingga

menimbulkan dinamika politik disana.

3. Hegemoni yang merupakan fondasi dasar dari terbentuknya teori demokrasi radikal ini terjadi pada masyarakat Aceh yang mentransformasikannya dalam bentuk partai politik lokal. Dimana elemen partikular yang ada pada sebagian wilayah Aceh mampu mengkonstruksi tuntutan mereka secara universal, sehingga terbentuklah pemerintah Aceh

yang berlandaskan atas dasar hukum syari’at Islam, bukan hukum nasional negara

Indonesia. Pada puncaknya juga, hegemoni yang dilakukan oleh partai politik lokal Aceh ini juga berbuah kemenangan pada pemilihan Gubernur oleh Partai Aceh.

4. Praktik atau kemunculan partai politik lokal ini sejatinya patut dijadikan koreksi bagi pemerintahan negara Indonesia. Dimana kegagalan dalam pembangunan pada wilayah-wilayah Indonesia masih terbilang gagal dan tidak merata, terlebih pembangunan ekonomi yang merupakan salah satu poin penting dari keterukurannya kesejahteraan sosial. Inilah juga yang menyebabkan sejarah perjuangan kelas-kelas sosial didaerah-daerah yang terkena dampak ketidakmerataan pembangunan ini menjadi berontak dan ada

kemungkinan yang terjadi di Aceh juga akan mendorong pembentukan partai politik lokal di daerah lainnya, seperti Papua.

(17)

Dibalik segala bentuk penjelasan yang telah disampaikan sebelumnya, pada sub bab ini penulis akan menjelaskan beberapa rekomendasi terkait tema pada penulisan ini. Diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Sebagai bentuk subjek politik yang masih tergolong baru dalam wajah demokrasi di Indonesia, gerakan politik partai lokal Aceh harus lebih memperkuat basis pendukungnya. Karena pada Pemilu 2014 ini perolehan suara mereka cenderung menurun. Maka, pola

marketing politik yang sehat dan kreatif dibutuhkan untuk lebih menancapkan keyakinan masyarakat Aceh pada partai politik lokal Aceh. Artinya, proses pendidikan politik

ideologis harus lebih massif diberikan kepada masyarakat di Provinsi Aceh. Proses hegemoni yang dilakukan oleh elit partai lokal harus lebih massif dengan menggunakan cara-cara yang lebih humanis.

2. Fenomena kemunculan partai politik lokal ini memang menjadi bahan koreksi bagi pemerintah pusat untuk segera memperbaiki proses pemerataan pembangunan di daerah-daerah yang masih tertinggal di Indonesia. Maka dari itu, pemerintah pusat seharusnya membuat kebijakan pembangunan yang tidak bersifat sentralistis.

3. Gerakan-gerakan politik kedaerahaan di Indonesia harusnya bisa ditindaklanjuti dengan memberikan ruang-ruang dialogis bagi masyarakat daerah untuk memberikan aspirasinya lewat wakil-wakil mereka di pemerintahan pusat. Artinya peran lembaga-lembaga pemerintahan harus segera dimaksimalkan agar tidak menjadi semacam demokrasi prosedural semata, tapi demokrasi yang sebenar-benarnya kerakyatan dan sesuai substansi dari arti demokrasi sebenarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal

Adian, Donny Gahral. 2010. Demokrasi Sustansial: Risalah Kebangkrutan Liberalisme. Depok: Penerbit Koekoesan.

___________________. 2011. Teori Militansi: Esai-Esai Politik Radikal. Depok: Koekoesan.

(18)

Bhakti, Ikrar Nusa.2008. Beranda Perdamaian, Aceh Tiga Tahun Pasca MOU Helsinki. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Carr, David. 1999. The Paradox of Subjektivity: The Self in the Transendental Tradition. Oxford: Oxford University Press.

Danujaya, Budiarto. 2012. Demokrasi Disensus: Politik dalam Paradoks. Jakarta: Kompas Gramedia.

Driyartana, Yustian Edwin. 2010. Skripsi: Kedudukan Partai Politik Lokal di Nanggroe Aceh Darussalam Ditinjau dari Asas Demokrasi. Surakarta: FH UNS.

Fukuyama, Francis. 2004. The End Of History and The Last Man: Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. Terj: M.H. Amrullah. Yogyakarta: Qalam.

Gramsci, Antonio. 2013. Prison Notebooks: Catatan-Catatan Dari Penjara. Terj: Teguh Wahyu Utomo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hamid, Ahmad Farhan. 2006. Jalan Damai Nanggroe Endatu, catatan seorang wakil rakyat Aceh. Jakarta: Suara Bebas.

Hanif, Hasrul. 2007. Antagonisme Sosial, Diskonsensus, dan Rantai Ekuivalensi: Menegaskan Kembali Urgensi Model Demokrasi Agonistik dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. ISSN 1410-4946, Vol. 11.1. Yogyakarta: UGM Press. hal (119-136).

Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.

Howarth, David. 2000. Discourse. London: Open University Press.

Jafar, Muhammad. 2009. Tesis: Perkembangan dan Prospek Partai Politik Lokal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Semarang: UNDIP.

Khuduri, Nur Saadah. 2012. Skripsi: Subjek Paradoks Dalam Dmeokrasi Pluralisme Chantal Mouffe. Depok: FIB UI.

Laclau, Ernesto and Chantal Mouffe. 2001. Hegemony and Socialist Strategy: Towards A Radical Democratic Politics. London: Verso.

Mouffe, Chantal. 2005. On the Political. London: Routledge.

(19)

_____________. 2006. “Democracy, Power, and the Political” dalam Seyla Benhabib (ed.), Democracy and Difference. New Jersey: Princenton University Press.

Mulhall, Stephen. 2005. Heidegger and Being and Time. New York: Routledge.

Nazir, Muhammad. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nancy, Jean-Luc. 2008. The Inoperative Community. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Polling Center. 2013. Laporan Naratif Aceh: Survey Dasar Terhadap Pemahaman, Persepsi dan Praktik Pemilih Terkait dengan Aspek Pemilu Di Enam Target Provinsi. PDF

Rawls, John. 1997. “Public Reason” dalam James Bohman dan William Rehg (eds.), Deliberative Democracy: Essays on Reason and Politics. Boston: MIT Press.

Schmitt, Carl. 1996. Concept of The Political. Chicago: Chicago University Press.

Schumpeter, Joseph. 2013. Capitalism, Socialism, and Democracy. Terj: Teguh Wahyu Utomo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sudibyo, Agus. 2012. Politik Otentik: Manusia dan Kebebasan dalam Pemikiran Hannah Arendt. Jakarta: Marjin Kiri.

Sunaryo. 2013. Kritik Chantal Mouffe atas Liberalisme Rawls: Mengembalikan Yang Politis dalam Demokrasi Agonistik dalam Jurnal Ultima Humaniora. ISSN 2302-5719, Vol. 1.1. Jakarta: Paramadina Press, hal 84-95.

Sutedi, Adrian. 2011. Good Corporate Governance. Jakarta: Sinar Grafika.

Silalahi, Ulber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama.

Sulistiany, R. 1999. Potret Jalanan. Jakarta: P.T. Balai Pustaka.

Zed, Mestika. 2008. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Undang-Undang

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.

(20)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal

Qanun Aceh No 3 Tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal Peserta Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota

Internet

Anonimous. 2014. http://www.bappenas.go.in. Diakses tanggal 12 Agustus 2014 pukul 20.00 WIB.

Anonimous. 2014. http://atjehpost.co/articles/read/3329/Partai-Aceh-Raih-29-Kursi-DPRA. Diakses tanggal 7 Agustus 2014 pukul 15.00 WIB

Anonimous. 2014. http://kip-acehprov.go.id/. Diakses tanggal 10 Agustus 2014 pukul 20.00 WIB.

Anonimous. 2014. http://sp2010.bps.go.id/index.php/site?id=11&wilayah=Aceh . Diakses tanggal 5 Agustus 2014 pukul 13.00 WIB

Muardi Ismail. Partai politik lokal di Indonesia. http://www.aigrp.anu.edu.au/ Diakes pada tanggal 03 April 2010 pukul 15.30 WIB.

GAM tuntut partai politik lokal. http://www.freelist.org/post/ppi/ppiindia-GAM-Tetap-Tuntut-Partai-Politik-Lokal. Diakses pada tanggal 5 Juli 2014 pukul 20.00 WIB.

Demokrasi lokal Aceh. http://wapedia.mobi/id/Naggroe_Aceh_Darussalam. Diakses pada tanggal 7 Juli 2014 pukul 20.30 WIB

Referensi

Dokumen terkait

Utvrđivanje prometnih tokova jedna je od najvažnijih informacija prilikom prometnog planiranja. Višegodišnje sustavno prikupljanje podataka o prometu, te analiziranje

Agen PengawasMobile akan meng create agen Messanger untuk mengirimkan pesan kepada AgenPengawas di komputer bagian produksi yang isi pesannya adalah telah terjadi perubahan data

Keterbatasan dari penelitian ini yaitu adanya perbedaan yang berrmakna pada usia subjek penelitian, secara spesifik perbedaan yang bermakna terletak pada atlet

fungsi ruang Situs Cagar Budaya dan / atau Kawasan Cagar Budaya peringkat nasional, peringkat provinsi, atau peringkat kabupaten/kota, baik seluruh maupun bagian-bagiannya,

Kelulushidupan tertinggi terjadi pada frekuensi pemberian pakan empat kali, tanpa adanya ikan yang mati, hal ini diduga karena dengan tercukupinya pakan yang

Hasil analisis dengan menggunakan regersi linier menunjukan hasil bahwa nilai p-value =0,000 < α =0,05, sehingga H0 ditolak, artinya persepsi

Selanjutnya akan diurai makna motif yang terdapat pada motif kerawang Gayo pada upacara kerje mungerje (perkawinan) yaitu motif mun berangkat (awan berarak), puter tali

Dengan demikian, akhlak yang mulia merupakan tujuan pendidikan selama seorang siswa berada di madrasah dan di luar madrasah yang proses menuju tujuan itu