• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Partai Politik Lokal sebagai Pengu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran Partai Politik Lokal sebagai Pengu"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kebebasan berfikir, berpendapat, berserikat sebagai warga negara Indonesia sudah dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28. Cara mengutarakan pendapat dan beraspirasi dalam negara demokrasi layaknya Indonesia adalah dengan menggunakan partai politik sebagai kendaraan politik untuk mencapai tujuan negara yang demokratis dalam mengeluarkan aspirasi rakyat Indonesia. Partai Politik adalah sarana untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan untuk mendapatkan posisi/kedudukan yang di inginkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Rudianto dan Sudjijono (2003:7) yang secara umum mendefinisikan bahwa partai politik adalah suatu institusi (kelembagaan) sosial yang terorganisasi, tempat keberadaan orang-orang atau golongan-golongan yang sepandangan (sealiran) politik, berusaha untuk memperoleh serta menggunakan dan mempertahankan kekuasaan politik supaya dapat mempengaruhi kebijakan umum (mengikat masyarakat) dalam kehidupan kenegaraan. Tatanan politik lokal sudah sejatinya digunakan sebagai alat demokrasi di Indonesia dalam upaya pembelajaran, pendewasaan dan pendidikan politik dalam beraspirasi yang bertujuan untuk mewujudkan cita-cita bangsa.

Demokrasi yang telah lama ada di Indonesia dalam kenyataannya tidak dapat dirasakan oleh masyarakat Aceh. Hal tersebut dikarenakan adanya eksploitasi terhadap sumber daya alam Aceh yang dilakukan pada rezim Orde Baru yang tidak berkeadilan dan tanpa memperhatikan keseimbangan pertumbuhan ekonomi antara pusat dan daerah hal tersebut yang menyebabkan terjadinya konflik antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam menyelesaikan konflik ini maka disepakati Penandatangan MoU (Memorendum of Understanding) antara pemerintahan Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 di Helsinki. Memorendum of Understanding (MoU) Helsinki antara pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia (RI) memberikan jalan baru menuju terbukanya gerbang demokratisasi politik. Implementasi MoU Helsinki yang melahirkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Partai Politik Lokal. Hal ini yang kemudian menjadi landasan awal terbentuknya Partai Politik Lokal di Aceh.

(2)

Oleh karena itu, dengan terbentuknya Partai Politik Lokal di Aceh diharapkan mampu mengembangkan partisipasi masyarakat Aceh. Partai Lokal Aceh merupakan bentuk representasi atau perwakilan dari masyarakat Aceh yang bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat Aceh dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah dan memperjuangkan cita-cita partai politik lokal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai kekhususan dan keistimewaan Aceh. Selain itu, dengan terbentuknya partai politik lokal dapat menciptakan demokrasi lokal sehingga masyarakat di daerah juga memiliki hak-hak sipil dan politik. Partai politik lokal mampu menjadi sarana untuk penyampaian aspirasi politik masyarakat karena lebih leluasa dalam menunjukkan sikap politiknya. Masyarakat Aceh meyakini bahwa apa yang menjadi keinginan mereka akan lebih di dengar dengan adanya partai politik lokal Aceh, hal itu dikarenakan partai politik lokal lebih dekat dengan masyarakat serta pihak-pihak yang berada didalam partai politik Aceh adalah masyarakat Aceh sendiri sehingga mereka akan lebih memahami kebutuhan masyarakat Aceh.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas dan menelaah lebih jauh mengenai partai politik local Aceh dengan mengangkat judul makalah “Pembentukan Partai Politik Lokal sebagai Penguat Demokrasi Lokal di Aceh”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pembentukan partai politik lokal di Aceh?

2. Bagaimana bentuk penguatan demokrasi lokal dengan adanya pembentukan partai politik lokal di Aceh?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah “Pembentukan Partai Politik Lokal sebagai Penguat Demokrasi Lokal di Aceh” adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pembentukan partai politik lokal di Aceh

(3)

BAB II

DESKRIPSI KASUS

Aceh merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia dengan sumber daya alam yang dimilikinya namun juga memiliki sejarah panjang konflik vertikal dengan pemerintah pusat RI. Eksploitasi terhadap sumber daya alam Aceh yang dilakukan pada rezim Orde Baru yang tidak berkeadilan dan tanpa memperhatikan keseimbangan pertumbuhan ekonomi antara pusat dan daerah menjadi penyebab utama konflik yang berlangsung hampir selama 30 tahun tersebut. Akibat dari ketidakadilan pemerintah pusat tersebut, konflik tidak hanya mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih rendah dari rata-rata nasional, akan tetapi juga menghambat capaian-capaian pembangunan, seperti pelayanan pendidikan dan kesehatan yang sangat terbatas. Bahkan dengan kekayaan sumber daya yang dimiliki, produksi minyak bumi pada tahun 1970-1980 mencapai 1.3 miliar dolar Amerika tidak mampu mengangkat derita masyarakat Aceh sebagai salah satu provinsi termiskin di Indonesia (Pane, 2001). Itulah yang menyebabkan muncul Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang merupakan gerakan separatis.

MoU Helsinki merupakan tonggak sejarah resolusi konflik Aceh. Penandatanganan nota kesepahaman perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia pada 15 Agustus 2005 memberikan harapan baru bagi masyarakat Aceh yang sejahtera dalam perdamaian. Salah satu mandat dari nota kesepahaman ini adalah pembentukan partai politik lokal yang melahirkan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU-PA) dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh yang memberikan kesempatan lebih luas bagi masyarakat Aceh dalam mengelola pemerintahan sendiri, pengelolaan sumber daya alam, ekonomi dan politik.

(4)

BAB III KAJIAN TEORI

A. Partai Politik

Partai politik sebagai wujud dari partisipasi politik merupakan pilar yang sangat penting untuk memperkuat derajat pelembagaan, dan memainkan perannya sebagai penghubung antara proses pemerintahan dan warga negaranya. Schattscheider (dalam Asshiddiqie, 2010:403) mengemukakan bahwa political parties created democracy, partai politik menentukan demokrasi.

Menurut Budiharjo (1998) partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai, dan cita-cita yang sama. Sedangkan Carl J. Friedrich (dalam Haryanto, 1984) mendefinisikan partai politik sebagai kelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan bersifat idiil maupun material.

UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik pada Pasal 1 Ayat (1) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

1. Teori Asal-usul Pembentukan Partai Politik

Menurut Ramlan Surbakti dalam buku Memahami Ilmu Politik (2010:144-146), mengemukakan bahwasannya ada tiga teori tentang asal-usul pembentukan suatu partai politik, yaitu:

a. Teori Kelembagaan

Teori ini mengatakan bahwa partai politik ada karena di bentuk oleh kalangan legislatif (dan atau eksekutif) karena kedua anggota lembaga tersebut ingin mengadakan kontak dengan masyarakat sehubung dengan pengangkatannya, agar tercipta hubungan dan memperoleh dukungan dari masyarakat maka terbentuklah partai politik. Ketika partai politik bentukan pemerintah dianggap tidak bisa menampung lagi aspirasi masyarakat, maka pemimpin kecil masyarakat berusaha membentuk partai-partai lain.

b. Teori Situasi Historis

(5)

mengharapkan partai politik dapat menjadi alat integrasi bangsa. Dengan adanya partai politik juga masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum.

c. Teori Pembangunan

Menurut teori ini partai politik lahir sebagai akibat dari adanya proses modernisasi sosial-ekonomi, seperti pembangunan teknologi komunikasi berupa media massa dan transportasi, perluasan dan peningkatan pendidikan, industrialisasi, urbanisasi, perluasan kekuasaan negara seperti birokratisasi, pembentukan berbagai kelompok kepentingan dan organisasi profesi, dan peningkatan kemampuan individu yang mempengaruhi lingkungan, melahirkan suatu kebutuhan akan suatu organisasi politik yang mampu memadukan dan memperjuangkan berbagai aspirasi tersebut. Maka lahirlah partai politik, dengan harapan agar organisasi politik tersebut mampu memadukan dan memperjuangkan berbagai aspirasi yang ada.

Menurut J. Kristiadi(2005), timbulnya partai politik lokal setidaknya berkaitan erat dengan dua alasan yaitu pertama, masyarakat Indonesia yang beragam dengan wilayah yang amat luas harus mempunyai instrumen politik yang benar-benar dapat menampung seluruh aspirasi masyarakat daerah. Partai politik berskala nasional tidak akan dapat menampung dan mengagregasikan kepentingan masyarakat di daerah yang beragam. Kedua, dengan diselenggarakannya pemilihan kepala daerah langsung, seharusnya masyarakat di daerah diberi kesempatan membentuk partai lokal agar calon-calon kepala daerah benar-benar kandidat yang mereka kehendaki, dan dianggap merupakan sosok yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat daerah.

2. Partai Politik Lokal

Di Indonesia sejak terjadinya MoU Helsinki antara GAM dengan Pemerintah RI muncul partai lokal yang keberadaannya hanya terbatas di daerah saja. Ahmad Farhan Hamid(2006), yang dimaksud dengan partai lokal adalah partai yang jaringannya terbatas pada suatu daerah (provinsi/negara bagian)atau beberapadaerah, tetapi tidak mencakup semua provinsi(nasional). Menurut J. Kristiadi, ada 2 alasan pokok munculnya partai politik lokal di Indonesia yaitu pertama, masyarakat Indonesia yang beragam dengan wilayah yang amat luas harus mempunyai instrumen politik yang benar-benar dapat menampung seluruh aspirasi masyarakat daerah. Partai politik berskala nasional tidak akan dapat menampung dan mengagregasikan kepentingan masyarakat di daerah yang beragam. Kedua, dengan diselenggarakannya pemilihan kepala daerah langsung, seharusnya masyarakat di daerah diberi kesempatan membentuk partai lokal agar calon-calon kepala daerah benar-benar kandidat yang mereka kehendaki, dan dianggap merupakan sosok yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat daerah.

(6)
(7)

B. Landasan Yuridis Pembentukan Partai Politik Lokal di Aceh

Pentingnya peranan partai politik sudah selayaknya jika diperlukan sebuah peraturan perundang-undangan mengenai partai politik. Peraturan perundang-undangan ini diharapkan mampu menjamin pertumbuhan partai politik yang baik, sehat, efektif dan fungsional. Hal itu berlaku dalam pendirian partai politik lokal yang ada di Aceh. Secara konstitusi dulunya memang tidak ada yang mengatur secara resmi pembentukan partai politik lokal. Namun dengan adanya MoU Helsinki yang menjadi langkah awal terbentuknya partai lokal di Aceh, maka dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh. Hal itu bisa dilihat dalam UU Nomor 11 tahun 2006 pasal 75 ayat (1) yang berbunyi Penduduk di Aceh dapat membentuk partai politik lokal. Dan dalam ayat (2) dijelaskan pula bahwa partai politik lokal didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 orang Warga Negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 tahun dan telah berdomisili tetap di Aceh dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.

Pembentukan partai politik lokal di Aceh memiliki tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan umum dari dibentuknya partai lokal yang tertuang dalam UU 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pasal 78 ayat (1) yaitu:

a. mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan

c. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Aceh.

Sedangkan tujuan khusus pembentukan partai politik lokal yang tertuang dalam ayat (2) yaitu:

a. meningkatkan partisipasi politik masyarakat Aceh dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah; dan

b. memperjuangkan cita-cita partai politik lokal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai kekhususan dan keistimewaan Aceh.

Pembentukan partai politik lokal di Aceh diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2007 pasal 2 yaitu:

Ayat (1)

Partai politik lokal di Aceh yang telah memenuhi persyaratan pendirian dan pembentukan harus didaftarkan pada dan disahkan sebagai badan hukum oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen di Aceh.

Ayat (2)

(8)

di Aceh dan 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan, dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen).

Dan untuk kepengurusan partai politik lokal dalam PP tentang Partai Politik Lokal di Aceh pasal 7 ayat (1) dijelaskan bahwa kepengurusan partai politik lokal berkedudukan di Ibukota Provinsi Aceh. Dan untuk kepengurusan partai politik lokal dalam ayat (3) dijelaskan bahwa kepengurusan di setiap tingkatan dipilih secara Bahasa Inggris democracy yang diserap dari dua kata bahasa Yunani demos dan

kratos atau kratein. Demos berarti rakyat sedangkan kratos berarti kekuasaan. Budiharjo (1992:50) mendefinisikan demokrasi rakyat berkuasa atau ‘rule by the people”. Sedangkan menurt Hornby (1992) demokrasi adalah negara yang mempunyai prinsip pemerintahan yang ditandai oleh adanya partisipasi warga negara yang sudah dewasa dalam memilih wakil rakyat. Negara menjamin kemerdekaan berbicara, beragama, berpendapat, berserikat dan menegakkan rule of law.

Dengan berkembangnya jaman pengertian demokrasi tidaklah terlalu sempit yang mana hanya mengacu pada adanya partisipasi dari masyarakat. Namun kini muncul perkembangan demokrasi, salah satunya adalah demokrasi lokal. Gellner & Hachhethu (dalam Sisk, 2002:14) memaparkan demokrasi lokal sebagai sebuah proses dan sekaligus sebuah nilai dalam kehidupan sosial masyarakat. Gambaran demokrasi sebagai sebuah proses dan nilai ini sebenarnya bisa dilihat dalam kepemerintahan (governance) yang tidak hanya terkait dengan negara, tetapi juga kewujudan masyarakat lokal.

Menurut Sisk (2002:14) hal terpenting yang memaknai terselenggaranya pemerintahan lokal yang demokratis adalah konsep pemerintahan yang otonom (self-government) serta pemerintahan yang paling menyentuh masyarakat Gagasan terpentingnya adalah penduduk suatu wilayah harus mendapatkan hak dan tanggung jawab untuk membuat keputusan menyangkut isu-isu yang langsung mempengaruhi kehidupan mereka dan yang untuk itu mereka mampu mengambil keputusan. Dengan demikian, akan terjalinlah hubungan yang kuat antara demokrasi lokal dengan pemerintahan lokal. Praktik demokrasi lokal akan memperkuat penyelenggaraan pemerintahan lokal yang efektif, efisien dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

2. Indikator Demokrasi Lokal

Menurut Sisk dalam bukunya yang berjudul Demokrasi di Tingkat Lokal (2002:15-16) terdapat empat indikator terciptanya suatu demokrasi lokal, yaitu: a) Kewarganegaraan dan masyarakat. Peran serta masyarakat lokal

(9)

b) Musyawarah. Demokrasi bukanlah semata berarti pemilu. Di dalamnya terkandung unsur-unsur penting seperti dialog, debat, dan diskusi yang bermakna, yang muaranya adalah mencari solusi bagi segala masalah yang timbul di dalam masyarakat. Perundingan atau musyawarah juga bukan sekadar mendengar dan menampung keluhan warga. Demokrasi berdasar musyawarah pasti melibatkan dialog yang bersifat saling memberi dan menerima antarkelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat tentang keputusan-keputusan terpenting dan tindakan-tindakan yang mereka hadapi dan tanggung bersama-sama.

c) Pendidikan politik. Demokrasi lokal akan memberi fasilitas bagi proses .pendidikan politik. Maksudnya, peran serta warga masyarakat memungkinkan setiap individu memperoleh informasi mengenai semua urusan dan masalah di masyarakat, yang, jika tidak, hanya diketahui oleh pejabat terpilih atau para profesional pemerintahan di kantor walikota. Penduduk yang terdidik dan memiliki informasi akan membuat demokrasi . yang berarti pengambilan keputusan oleh rakyat . semakin mungkin dan efektif. Peran serta masyarakat berarti mengurangi jurang pemisah antara para elite politik dan anggota masyarakat.

d) Pemerintah yang baik dan kesejahteraan sosial. John Stuart Mill dan para pendukung paham demokrasi partisipatoris di tingkat lokal berpendapat bahwa membuka keran bagi kebijakan dan kecerdasan masyarakat akan mendukung terciptanya pemerintahan yang baik serta mendukung tercapainya kesejahteraan sosial. Artinya, demokrasi cenderung meningkatkan hubungan yang baik antarwarga, membangun masyarakat yang mandiri dan memiliki semangat sosial.

(10)

BAB IV ANALISIS

A. Latar Belakang Pembentukan Partai Politik Lokal di Aceh

Pembentukan partai lokal di Aceh tidak lepas dari sejarah panjang penuh konflik yang dimulai sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mengutip dari buku Kedudukan Partai Politik Lokal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam karya driyartana (2010), konflik ini bermula ketika pasca kemerdekaan Indonesia Pemerintah Pusat melakukan peleburan terhadap Provinsi Aceh kedalam Provinsi Sumatera Utara yang menyebabkan kekecewaan masyarakat Aceh yang pada akhirnya muncul gerakan Darul Islam (DI/TII) pimpinan Tengku Daud Beureuh pada 1953. Gerakan tersebut mendorong para tokoh masyarakat Aceh untuk bereaksi keras terhadap kebijakan pusat sehingga muncul pemberontakan untuk memisahkan diri NKRI. Namun konflik tersebut tidak berlangsung lama sehbungan dengan diberikannya status istimewa dengan Keputusan Pemerintah SK No.1/Missi/1958 dengan otonomi luas dalam bidang agama, adat dan pendidikan pada 1959.

Kedamaian di Aceh ternyata hanya berlangsung sementara karena pada 1977 kembali terjadi konflik dengan Pemerintah Pusat. Hal itu bermula saat Presiden Soeharto mengeksploitasi Sumber Daya Alam Aceh dengan memberikan kesepatan pada perusahaan multi nasional dari Amerika Serikat untuk membuka industri besar di Aceh tepatnya di Arun pada 1970. Namun meskipun sumber daya alam di Aceh dieksplor demikian besarnya, terjadi kesenjangan sosial. Meningkatnya tigkat produksi minyak bumi yang dihasilkan Aceh pada 1970 an hinggan 1980-an dengan nilai 1,3 miliar dolar Amerika tidak mampu memperbaiki kehidupan sosial masyarakat Aceh. Hal itu dikarenakan hanya 1% Anggaran Pendapatan Nasional yang didistribusikan kembali ke Aceh dari 14% kontribusi Aceh terhadap GDP nasional (Pane, 2001). Sebab lainnya adalah kebijakan pemerintah orde baru yang menerapkan sentralisme dan penyerahaman di struktur pemerintahan lokal. Akibatnya semua daerah di Indonesia termasuk Aceh berstrutur seperti pemerintahan lokal di Jawa dan kehilangan identitas mereka. Artinya pemberian keistimewaan yang diberikan kepada Aceh adalah janji kosong belaka. Dari beberapa konflik tersebutlah Hasan Tiro akhirnya mendirikan sebuah gerakan separatis yang menginginkan Aceh keluar dari NKRI. Gerakan tersebut diberi nama Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

GAM yang notabene anggoatanya pernah mengikuti latihan militer di Libya melakukan gerilya di hutan-hutan dan melakukan serangkaian penyerangan terhadap pos polisi dan militer di Pidie untuk merampas amunisi dan lusinan senjata otomatis. Pelaksanaan DOM yang melibatkan puluhan batalion pasukan elit untuk menangkap sekitar 5000 anggota GAM merupakan kampanye kontra pemberontakan terbesar pada 1960. Perlawanan bersenjata yang dilakukan oleh GAM ini menjadi perhatian publik di tengah krisis multidimensi yang terjadi sejak 1977 merisaukan pemerintah lokal dan pemerintah pusat. Apalagi pertumbuhan GAM ini cukup pesat dilihat dari jumlah anggota ataupun dari kepemimpinannya.

(11)

tetap mengalami jalan buntu. Berbagai penyelesaian yang mengalami jalan buntu membuat Presiden Megawati menggunakan kekuatan militer secara besar-besaran dengan mengeluarkan Keppres Nomor 18 tahun 2003 pada 19 Mei 2003 yang menyatakan bahwa Aceh berstatus Darurat Militer.

Pada tahun 2005 konflik antara GAM dengan Pemerintah Pusat sedikit menemui titik terang. Presiden Susilo Bambang Yudhyono melakukan pendekatan diplomasi dengan cara pembicara informal dengan pihak GAM yang difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) pada Januari hingga Agustus 2005. Rangkaian pembicaraan yang dilakukan antara delegasi GAM dan Pemerintahan RI yang dilakukan di Helsinki, Finladia a melahiran Nota Kesepahaman atau

Memorandum of Understanding (MoU) pada 15 Agustus 2005. Penandatangan MoU Helsinki tersebut menjadi penanda berakhirnya konflik berkepanjangan di Aceh antara Pemerintahan RI dengan GAM. Pasca penandatangan MoU tersebut Aceh diberikan wewenang untuk dapat hidup mandiri, baik itu dibidang ekonomi maupun politik dan hukum. Secara politik Aceh diberikan wewenang untuk mendirikan partai politik lokal yang tercantum (dalam Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, 2005: 11-12) yakni :

Poin 1.2.1 Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan nota kesepahaman ini, pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk partai-partai politik lokal, pemerintah RI dalam tempo satu tahun, atau paling lambat 18 bulan sejak penandatangan nota kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan DPR. Pelaksanaan kesepahaman ini yang tepat akan memberi sumbangan positif bagi maksud tersebut.

Poin 1.2.2 Dengan penandatangan nota kesepahaman ini, rakyat Aceh akan memiliki hak menentukan calon-calon untuk semua posisi pejabat yang dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada bulan april 2006 dan selanjutnya.

Poin 1.2.3 Pemilihan lokal yang bebas dan adil akan diselenggarakan dibawah Undang-undang baru tenteng penyeleggaraan pemerintahaan di Aceh untuk memiliki kepala pemerintahan Aceh dan pejabat terpilih lainnya pada bulan April 2006 serta untuk memilih anggota legeslatif pada tahun 2009.

(12)

umum yaitu Partai Aceh (PA), Partai Nasional Aceh (PNA), dan Partai Damai Aceh (PDA).

1. Analisis Pembentukan Partai Politik Lokal di Aceh

Kehadiran partai politik lokal di Aceh merupakan merupakan jawaban dari konflik berkepanjangan yang terjadi antara GAM dengan Pemerintah Indonesia yang diselesaikan melalui penandatanganan MoU Helsinki. Jika dilihat dari pendapat Ramlan Surbakti (2010:144-146), pembentukan partai politik lokal di Provinsi Aceh dilatarbelakangi oleh situasi historis. Dalam teori tersebut dijelaskan bahwasannya terjadinya krisis legitimasi, integrasi dan partisipasi dapat menyebabkan munculnya suatu partai politik lokal. Dan hadirnya partai lokal tersebut sebagai upaya penyelesaian dari terjadinya krisis politik tersebut.

Gerakan separatis yang diusung oleh GAM akibat dari ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap masyarakat Aceh menimbulkan disintegrasi. GAM menuntut untuk keluar dari wilayah NKRI dan ingin memerdekakan daerahnya. Alasan utama dari tuntutan kemerdekaan itu adalah bahwa meski Aceh itu sudah puluhan tahun menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, mereka bukan saja merasa nasibnya terabaikan, tetapi mengalami penindasan oleh pemegang kekuasaan di pusat dengan adanya eksplorasi SDA. Penggunaan senjata dan cara-cara militer yang digunakan oleh GAM membuat Aceh tidak aman lagi karena hampir setiap hari terjadi aksi bersenjata antara GAM dengan tentara Indonesia. Konflik berkepanjangan tersebut akhirnya mampu dihentikan dengan adanya penandatanganan Mou Helsinki yang mana dalam perjanjian tersebut diperoleh kesepakatan pembentukan partai politik lokal di Aceh sebagai penampung aspirasi masyarakatnya. Dengan adanya partai lokal tersebut konflik GAM dan pemerintah pusat yang memunculkan gerakan separatis mampu diredam.

Pembentukan partai lokal di Aceh merupakan bentuk dispensasi hukum karena pada dasarnya belum ada peraturan pemerintah atau undang-undang yang memperbolehkan suatu daerah untuk membuat partai lokal. Dalam Pasal 3 Ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parpol dijelaskan bahwa kepengurusan paling sedikit 60% (enam puluh perseratus) dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan. Hal itulah yang tidak memungkinkannya berdirinya partai lokal. Namun meskipun demikian bukan berarti pendirian partai politik lokal di Aceh saat ini tidak memiliki dasar hukum. Ketentuan UUD 1945 Pasal 28E ayat (3), dapat dipahami sebagai suatu bentuk jaminan konstitusional terhadap setiap warga negara untuk mewujudkan hak kebebasan berserikat dan berkumpul, yang salah satunya adalah dengan membentuk partai politik. Di satu sisi, dengan membaca ketentuan yang terdapat dalam Pasal 28E ayat (3), maka tidak cukup kuat alasan untuk mengatakan bahwa UUD 1945 menutup kemungkinan bagi kehadiran partai politik lokal. Namun di sisi lain, perlu diingat bahwa Pasal 28 UUD 1945 juga mencantumkan kalimat “… ditetapkan dengan undang-undang”.

(13)

mengenai pembentukan partai lokal dalam UU tersebut terdapat pada Pasal 75 ayat (1) yang berbunyi Penduduk di Aceh dapat membentuk partai politik lokal. Dan untuk pelaksanaan dari pasal tersebut maka dibentuklah Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal Aceh. Legitimasi pembentukan partai politik lokal di Aceh secara yuridis sudah sangat kuat yaitu dengan pertimbangan UUD 1945 Pasal 28 dan 18. Selain itu juga, pembentukan parpol lokal tersebut tidak melanggar asas penyusunan peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam UU Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu Lex Supriore derogate Leg Inferiori (hukum yang kedudukannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan hukum diatasnya) dan

Lex specialis derogate lex general (hukum yang bersifat khusus dapat menyampingkan hukum yang bersifat umum). Meskipun keberdaan PP No 20 Tahun 2007 itu telah mencederai UU No 2 tahun 2008 Tentang Partai Politik, namun pembentukan partai politik tersebut juga berlandaskan pada produk hukum tertinggi yakni UUD 1945 pasal 28 tetang kebebasan berkumpul dan 18B tentang pengakuan negara terhadap kekhususan suatu Daerah. Dan pada asas yang kedua, kedudukan UU No 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh bersifat khusus(lex spesialis) sedangkan UU Nomor 2 tahun 2011 Tentang Partai Politik bersifat umum.

B. Pembentukan Partai Politik Lokal Sebagi Penguat Demokrasi Lokal di Aceh Konsep Demokrasi di Indonesia sudah ada sejak awal kemerdekaan Indonesia. Demokrasi juga tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar yang menjadi dasar hukum di Indonesia. Namun dalam penerapannya, demokrasi di Indonesia belum berjalan secara maksimal, hal itu dibuktikan dengan ketidakadilan yang dirasakan oleh rakyat Aceh dalam hal ekonomi, pendidikan, dan kesehatan akibat eksploitasi sumber daya alam Aceh yang dilakukan pada jaman Orde Baru. Hal tersebut menyebabkan terjadinya konflik antara pemerintah Indonesia dengan GAM (Gerakan Aceh merdeka). Dalam menyelesaikan konflik tersebut di sepakati penandatanganan MoU (Memorendum of Understanding) di Helsenki. Salah satu mandat dari nota kesepahaman ini adalah pembentukan partai politik lokal.

Dengan adanya partai politik lokal merupakan salah satu bukti berjalannya demokrasi lokal di Aceh. Istilah demokrasi lokal bermakna banyak, tergantung ruang dan tempat, dan memang tidak ada satu pun konsep atau model yang bisa dianggap sebagai perwujudan terbaik dari demokrasi. Namun terdapat pemahaman umum yang menyatakan bahwa demokrasi mengharuskan adanya penghargaan sekaligus perlindungan terhadap terhadap hak-hak sipil dan politik dan politik yang paling dasar. Dengan demikian, jika dikaitkan demokrasi lokal, maka masyarakat di daerah juga memilki hak-hak sipil dan politik salah satunya adalah dengan pembentukan partai politik lokal. Adanya pemilukada sebagai bentuk demokrasi lokal sangat mendorong dinamika dan perubahan kehidupan bermasyarakat yang terbuka di Aceh. Oleh karena itu, kehadiran partai politik lokal diharapkan dapat menjadikan demokrasi lokal berjalan dengan semestinya yang implementasinya bertujuan kepada kesejahteraan sosial yang lebih baik. Sehingga wacana pemerintahan yang efisien dapat terlaksana sesuai dengan amanat yang terkandung dalam MoU Helsinki.

(14)

gagasan modern mengenai kewarganegaraan, sebab lembaga-lembaga masyarakat yang ada beserta segala proses pengambilan keputusannya memungkinkan terwujudnya praktik demokrasi yang lebih langsung, yang di dalamnya suara individu dapat didengar dengan lebih mudah. Dalam hal ini, partai politik lokal berperan dalam mewadahi gagasan-gagasan masyarakat yang kemudian disalurkan demi terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Kedua, musyawarah. Demokrasi bukanlah semata berarti pemilu. Di dalamnya terkandung unsur-unsur penting seperti dialog, debat, dan diskusi yang bermakna, yang muaranya adalah mencari solusi bagi segala masalah yang timbul di dalam masyarakat. Perundingan atau musyawarah juga bukan sekadar mendengar dan menampung keluhan warga. Sehingga dibutuhkan peranan partai politik lokal sebagai fasilitator perundingan antara masyarakat dengan pemerintah, serta diharapkan hasil musyawarah tersebut tidak hanya sekedar didengar namun juga dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah menjadi sebuah kebijakan-kebijakan yang dapat menjawab masalah-masalah yang terjadi masyarakat. Demokrasi berdasar musyawarah pasti melibatkan dialog yang bersifat saling memberi dan menerima antar kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat tentang keputusan-keputusan terpenting dan tindakan-tindakan yang mereka hadapi dan ditanggung bersama-sama.

Ketiga, Pendidikan politik. Demokrasi lokal akan memberi fasilitas bagi proses pendidikan politik. Maksudnya, peran serta warga masyarakat memungkinkan setiap individu memperoleh informasi mengenai semua urusan dan masalah di masyarakat. Pendidikan politik merupakan salah satu fungsi dasar partai politik, baik partai politik lokal maupun partai politik nasional. Partai politik diharuskan dapat memberi pemahaman kepada msyarakat mengenai isu-isu perkembangan politik di wilayahnya agar masyarakat mengerti baik buruknya kebijkan yang diambil pemerintah. Pendidikan politik juga tidak hanya terfokus hanya pada urusan pemerintahan, namun bagaimana masyarakat disadarkan akan pentingnya kerukunan dan kerjasama dalam tatanan kehidupan. Peran serta masyarakat memungkinkan setiap individu memperoleh informasi mengenai semua urusan dan masalah di masyarakat.

Keempat, pemerintah yang baik dan kesejahteraan sosial. Pemerintah yang baik akan tercipta dengan keberhasilan partai politik dalam menjalankan fungsi rekrutmen politik. Rekruitmen politik untuk mengisi posisi-posisi strategis di daerah, akan makin kuat legitimasinya apabila diperoleh dari seleksi yang dilakukan di sejumlah partai politik lokal, dan hasil dari kontestasi pilkada. Dengan berbasis pada dukungan partai politik lokal, seleksi kepemimpinan di wilayah yang bersangkutan akan lebih selektif dan efektif. Hal ini dikarenakan partai politik lokal yang akan menyeleksi calon-calon diasumsikan lebih tahu karakteristik dan potensi daerahnya. Sehingga dengan adanya partai politik lokal, saringan terhadap potensi kepemimpinan daerah yang bersangkutan akan lebih baik lagi. Pemimpin yang berintelektual dan bermoral tinggi, akan menghasilkan pemerintah yang baik dan akan berdampak pada kesejahteraan sosial masyarakat yang menjadi penanggung kebijkan yang telah diputuskan.

(15)
(16)

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Demokrasi adalah alat untuk menjinakkan separatisme. Demokrasi yang berkembang selama ini di Indonesia adalah demokrasi yang sarat dengan akomodasi politik. Setiap persoalan politik, semisal masalah disintegrasi dan pemberontakan, akan menemukan muaranya dalam demokrasi. Seperti halnya dalam kasus konflik ACEH (dalam hal ini adalah GAM) dengan pemerintah pusat RI. Ketidakadilan yang disebabkan oleh pemerintah karena mengeksploitasi sumber daya alam Aceh secara besar-besaran tanpa menghiraukan kesejahteraan masyarakat di Aceh yang pada akhirnya menimbulkan gerakan separatis dari GAM untuk keluar dari wilayah kesatuan NKRI. Penyelesaian dari konflik tersebut dimulai dengan penandataganan MoU Helsinki antara delegasi pihak GAM dengan pemerintah RI. Dari MoU tersebut diperoleh kesepakatan bahwa Aceh memiliki kewenangan untuk mendirikan partai politik lokal sebagai penyalur aspirasi masyarakat Aceh yang kini mulai tidak percaya dengan partai politik nasional.

Pembentukan partai lokal di Aceh pada tahun 2005 ternyata mampu meningkatkan partisipasi politk masyarakat. Hal itu bisa dilihat dari hasi Pemilu 2009 yang menyatakan bahwa 49% dari kusi parlemen di DPRA dikuasai oleh dua partai lokal Aceh. Masyarakat menaruh harapannya pada partai lokal untuk meningkatkan kesejahteraan. Karena partai politik lokal lebih mengangkat isu-isu lokal daripada partai nasional yang mengangkat isu nasional untuk dibawah ke daerah. Hal itulah yang membuat kepercayaan masyarakat Aceh lebih cenderung menjatuhkan pilihannya pada partai politik lokal ketimbang partai nasional.

B. Saran

Referensi

Dokumen terkait

The objective of this study was to examine the effects of repeated freeze-thaw cycles and short-term storage of fecal extracts at ambient temperature on

Hal ini memiliki kesamaan dengan pola spasial yang terbentuk pada peta LISA IR pada tahun 2008 dan 2009, dimana muncul wilayah pemusatan baru pada Kecamatan Ungaran Barat

Sukomanunggal Kota Surabaya 13 SMKS PGRI 5 SURABAYA 20532688 SMK Swasta JL. TANGGULANGIN NO.8

VII di SMPN 3 Kedungwaru ketika proses pembelajaran dengan model pembelajaran Course Review Horay (CRH) berlangsung. Angket minat belajar digunakan untuk

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara pekerjaan ayah dengan perilaku seksual remaja.Sebagian besar ayah bekerja dengan perilaku remaja kurang baik.Hal

Subjek penelitian adalah Usman SE (Pembina sekaligus koreografer sanggar Bilapasie), Rifdah (Senior sanggar Bilapasie), dan Zumara (Senior sanggar Bilapasie).

Utvrđivanje prometnih tokova jedna je od najvažnijih informacija prilikom prometnog planiranja. Višegodišnje sustavno prikupljanje podataka o prometu, te analiziranje

Kelulushidupan tertinggi terjadi pada frekuensi pemberian pakan empat kali, tanpa adanya ikan yang mati, hal ini diduga karena dengan tercukupinya pakan yang