• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VIII P E N U T U P. BPR sama dibandingkan dengan jenis fraud yang ada di bank umum.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VIII P E N U T U P. BPR sama dibandingkan dengan jenis fraud yang ada di bank umum."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VIII P E N U T U P

8.1. Kesimpulan

Berdasar data yang ditemukan di lapangan selama masa pengamatan dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2013 ditemukan bahwa jenis fraud di BPR sama dibandingkan dengan jenis fraud yang ada di bank umum. Berdasarkan ACFE ada 3 jenis fraud, yaitu korupsi, penyalahgunaan aset, dan kecurangan laporan.

Proses terjadinya fraud di Bank Perkreditan Rakyat ditinjau dari aspek kebijakan pengawasan :

-­‐ Aspek pertama adalah pola dan struktur kepemilikan bank adalah aspek penting yang dideteksi sebagai penyebab fraud. Kepemilikan secara mayoritas memungkinkan timbulnya campur tangan pemilik secara berlebihan dalam kepengurusan bank.

-­‐ Aspek kedua yang dapat menjadi sumber permasalahan fraud yakni menyangkut terjadinya asimetri/ketidaksamaan informasi (assymetric information), yakni suatu situasi di mana satu pihak yang terlibat dalam kesepakatan keuangan tidak memiliki informasi yang akurat dibanding pihak lain, sebagai contoh : biasanya peminjam (debitur) memiliki informasi yang lebih baik dibandingkan dengan pihak pemberi pinjaman (kreditur). Dengan demikian, kreditur tidak dapat membedakan antara

(2)

pinjaman yang sehat dan tidak sehat.

-­‐ Aspek ketiga adalah masalah keagenan, di mana pemerintah adalah majikan, dan bank adalah agen, di lain pihak pemegang saham adalah majikan, dan manajer bank adalah agen. Masalah majikan-agen timbul karena kepentingan-kepentingan majikan dan agen berbeda dan karena majikan tidak mempunyai informasi yang memadai tentang perilaku agen (informasi asimetris) sedangkan agen memiliki kepentingan untuk menyembunyikan informasi. Fenomena terjadinya asimetri informasi yaitu kesenjangan (gap) dan pihak lain yang mempunyai sumber dan akses yang memadai untuk memonitor semua tindakan manajer karena perusahaan merupakan kumpulan berbagai kepentingan-kepentingan tersebut akan sangat ditentukan oleh pengelolaan manajemen.

-­‐ Aspek keempat adalah penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Untuk menerapkan prinsip itu hukum harus diterapkan dengan tegas. Sanksi optimal harus diterapkan kepada siapa saja yang mencoba bermain-main dengan ketentuan. Seiring dengan perkembangan situasi lingkungan internal dan eksternal bank yang diikuti oleh semakin kompleksnya risiko dalam kegiatan usaha perbankan dan BPR, kebutuhan akan adanya praktek tata kelola yang sehat (good governance) dan fungsi identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko bank semakin meningkat. Penegakan Good Corporate Governance

(3)

(GCG) seyogyanya menjadi prioritas bagi setiap pelaku di industri perbankan dan BPR karena hal ini diyakini selain dapat memperkuat pengelolaan risiko yang semakin kompleks juga akan melindungi kepentingan stakeholder, meningkatkan kepatuhan terhadap ketentuan serta nilai-nilai yang berlaku, serta dapat memperkuat kondisi internal BPR dan perbankan dalam lingkup nasional. GCG harus menjadi komitmen bersama seluruh unsur yang terlibat dalam operasional BPR baik langsung maupun tidak langsung, dari pengurus hingga pelaksana teknis, serta didukung komitmen Pemegang Saham.

Dari wawancara dan kasus yang ada maka dapat disimpulkan bahwa terjadinya fraud adalah karena beberapa hal berikut :

Dari bentuk korupsi :

1. Pemilik BPR juga pemilik perusahaan lain, maka pemilik dapat menggunakan dana nasabah untuk kepentingan perusahaan pemilik. 2. BPR tidak memiliki satuan pengendalian intern, salah satu akibatnya

bank melanggar prinsip ke hati-hatian.

3. Ketidakmampuan pengurus menerapkan good corporate governance, sehingga adanya perlakuan khusus terhadap pihak-pihak terkait, adanya motif dari pemilik bank untuk memanfaatkan bank untuk kepentingan pribadinya, penyalahgunaan wewenang oleh Direksi. 4. Kurang adanya pengawasan keluar.

(4)

Dari bentuk penyalahgunaan aset :

1. Lemahnya pengawasan intern yaitu pengawasan yang dilakukan oleh pihak bank.

2. Tidak adanya transparansi dalam pembukuan dan adanya pencatatan dan pelaporan keuangan yang tidak benar.

3. Adanya perlakuan khusus terhadap pihak-pihak terkait.

4. Adanya permasalahan terkait sumber daya manusia bank, yaitu bank tidak mengatur job desk bagi karyawannya secara jelas, kurangnya sumber daya manusia, dan ketidakmampuan sumber daya manusia sendiri.

Dari bentuk kecurangan terhadap laporan keuangan : 1. Kontrol internal pada bank tidak berjalan.

2. Adanya motif dari pemilik bank untuk memanfaatkan bank untuk kepentingan pribadinya.

3. Tidak adanya transparansi dalam pembukuan dan adanya pencatatan dan pelaporan keuangan yang tidak benar.

4. Penyalahgunaan wewenang oleh Direksi. 5. Pencatatan transaksi masih secara manual.

6. Adanya upaya perbaikan performance laporan keuangan (window dressing).

(5)

7. Penciptaan transaksi fiktif untuk pengurangan laba dalam rangka menghindari pajak.

8. Pelanggaran prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit.

Berikut ini adalah evaluasi kebijakan pengawasan yang menjadi penyebab terjadinya fraud pada Bank Perkreditan Rakyat.

Pada periode perubahan kebijakan pengawasan Pengawasan Berbasis Risiko (Risk Based Supervision) ini terdapat 265 BPR yang masuk kategori Tindak Pidana Perbankan, yaitu sebesar 36,40% dari kasus yang ada. Ketika itu gerak langkah pengawasan bank di dunia mulai dirasakan perlu memasukan unsur risiko pasar (risk based supervision/RBS), BI pun mempertimbangkan untuk mengadopsi dan mengintrodusir model RBS pada tahun 2004. Salah satu aspek penting dalam model RBS menganjurkan Pengawas Bank untuk semakin mengenal lebih dekat bank yang sedang diawasi (know your bank).

Tuntutan pengawasan RBS agar Pengawas Bank mengenal bank yang diawasi menjadi dasar pertimbangan bagi BI untuk mengkaji ulang pemisahan tugas antara Pemeriksa dan Pengawas. Dengan pemisahan ini, agak sulit bagi Pengawas untuk mengetahui kondisi lebih dalam karena informasi didapat dari tangan kedua (Pemeriksa). Hal positif dari pemisahan ini adalah indepedensi pemeriksa dalam menyampaikan pendapatnya

(6)

terhadap bank yang diperiksa. Kenyataan ini menjadi dasar utama pertimbangan untuk melakukan reorganisasi pengawasan bank di BI.

Bank Indonesia pun mengusung konsep Know Your Bank (KYB), penerapan mengenal bank yang diawasi ini tak lepas dari perkembangan metodologi pengawasan bank berbasis risiko (risk based supervision/RBS). Sistem ini menitikberatkan pada pengawasan area-area berisiko tinggi yang dimasuki sektor perbankan yang dikhawatirkan menganggu kelangsungan bisnis bank itu dan membawa goncangan terhadap stabilitas sistem perbankan dan keuangan. Sistem ini hanya diberlakukan pada Bank Umum belum untuk BPR, pemeriksaan BPR masih difokuskan pada keragaan nilai Tingkat Kesehatana BPR yang mencerminkan data-data historis belum memasukkan unsur-unsur risiko.

Pada aspek Good Corporate Governance, Bank Indonesia telah memberlakukan ketentuan GCG bagi bank umum, namun ketentuan tersebut belum diberlakukan bagi BPR. Terkait aspek perkreditan, BPR baru diwajibkan memiliki ketentuan perkreditan pada tahun 2013, setelah banyak kasus di bidang perkreditan terjadi. Hal tersebut menjadi hal penting yang menjadi sorotan kelemahan kebijakan bagi BPR, terlihat aspek manajemen risiko dan pengendalian internal bank, bagaimana sebuah bank melakukan tata kelola terhadap setiap risiko yang mungkin terjadi, menjadi bahan kajian bagi seorang pengawas.

(7)

Berikut ini adalah identifikasi interaksi (peran) antar stakeholder sehingga terjadi fraud pada Bank Perkreditan Rakyat.

Korupsi :

Korupsi merupakan tindakan pejabat publik yang tidak wajar dan tidak legal karena menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Dalam kaitannya dengan korupsi di BPR, dapat terjadi pada transaksi yang melibatkan interaksi antara pemegang saham dan direksi, antara direksi dan nasabah, karyawan dan nasabah juga antara direksi dan karyawan.

Penyalahgunaan Aset :

Aset dapat disalahgunakan secara langsung maupun tidak langsung demi keuntungan si pelaku, meliputi berbagai transaksi yang meliputi kas, rekening bank, persediaan, pasokan, perlengkapan, dan informasi paling beresiko untuk disalahgunakan demi keuntungan sepihak. Dalam kaitannya dengan penyalahgunaan aset di BPR, dapat terjadi pada transaksi yang melibatkan interaksi antara pemegang saham dan direksi, antara direksi dan nasabah, serta karyawan dan nasabah.

Kecurangan terhadap Laporan Keuangan :

Kecurangan terhadap Laporan Keuangan adalah salah penyajian atau pengabaian jumlah atau pengungkapan yang disengaja dengan maksud menipu para pemakai laporan keuangan itu demi keuntungan si pelaku. Dalam kaitannya dengan kecurangan terhadap Laporan Keuangan di BPR, dapat terjadi pada transaksi yang melibatkan interaksi antara pemegang

(8)

saham dan direksi, antara direksi dan dewan komisaris, antara direksi dan nasabah, antara direksi dan karyawan serta antara karyawan dan nasabah.

Pada kasus-kasus fraud yang terjadi jika dikaitkan dengan kebijakan pengawasan perbankan, maka kebijakan pengawasan perbankan sendiri di dalamnya mengandung kelemahan antara lain tidak adanya ketentuan yang mewajibkan adanya edukasi kepada nasabah. Hal tersebut tidak sesuai dengan sasaran yang dirumuskan dalam pilar Arsitektur Perbankan Indonesia yang salah satunya menyebutkan adanya perlindungan dan pemberdayaan kepada nasabah. Nasabah terkadang tidak mengetahui hak dan kewajiban sebagai nasabah peminjam, karena pasal-pasal yang tertera dalam Perjanjian Kredit tidak dibacakan, bahkan nasabah tidak menerima salinan Perjanjian Kredit.

Kebijakan pengawasan BPR juga tidak mewajibkan kepada BPR untuk memiliki Satuan Pengendali Intern, tugas pengawasan sebenarnya adalah tugas dari Dewan Komisaris. Di satu sisi Dewan Komisaris tidak hadir setiap hari di bank, sehingga bank tersebut terdapat unsur risiko tidak adanya pengawasan secara langsung. Jumlah Sumber Daya BPR yang sangat minim pun terkadang menjadi kendala, karena dengan sedikitnya jumlah SDM maka sulit untuk membentuk fungsi SPI.

Faktor kelemahan BPR yang lain adalah karena faktor kepemilikan BPR yang mayoritas milik keluarga. Kepemilikan BPR cenderung terpusat

(9)

pada satu keluarga atau antara pemegang saham pengendali, yang melahirkan budaya bisnis yang berdasarkan relasi daripada berdasarkan aturan. Struktur kepemilikan tersebut, bila digabung dengan regulasi yang lemah, mendorong praktek-praktek yang kurang transparan. Kelemahan kebijakan BPR adalah tidak adanya larangan bahwa pemilik saham tidak boleh merangkap sebagai pengurus BPR.Pemegang Saham yang juga bertindak sebagai Direktur Utama memungkinkan terjadinya moral hazard. Di sisi lain pemegang saham juga memiliki hasrat yang kuat untuk meningkatkan kekayaan.

Terhadap pelanggaran ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dalam ketentuan perbankan tidak ada sanksinya, bank yang melanggar BMPK hanya diberikan sanksi berupa penurunan nilai Tingkat Kesehatan dan hal tersebut tidak berdampak secara materiil bagi bank. Di sisi lain tindakan pelanggaran BMPK ada yang modusnya dilakukan untuk memperkaya diri pribadi pelaku, sehingga masuk ranah korupsi.

Menurut teori Good Corporate Governance, pola pelaksanaan suatu unit usaha seharusnya mengatur hubungan-hubungan antara organ-organ di dalam perusahaan meliputi semua pihak yang terlibat di dalamnya. Sebagian besar kasus yang terjadi bermuara karena pada BPR belum ada ketentuan yang mengatur secara khusus mengenai Good Corporate Governance, sedangkan di Bank Umum sudah ada ketentuan yang mengaturnya, sehingga

(10)

praktek di lapangan menunjukkan bahwa banyak peristiwa terjadi karena tidak ada payung hukum yang mengaturnya.

Kenyataan yang terjadi di negara Indonesia, regulasi untuk BPR jauh lebih ringan pengaturannya dibandingkan untuk Bank Umum, hal ini sengaja dilakukan oleh Pemerintah melalui Pakto 88 untuk menstimulasi perkembangan BPR. Dampak buruknya karena kebijakan pengawasan yang relatif lebih longgar maka fakta menunjukkan lebih banyak fraud yang terjadi di BPR

BPR baru diwajibkan memiliki Pedoman Perkreditan pada tahun 2012 sementara BPR berdiri sebagian besar pada tahun 1988, 24 (dua puluh empat) tahun setelah berdiri maka segala sesuatu yang dijadikan pedoman dalam perkreditan di BPR baru diwajibkan. Terkait dengan sistem komputer, belum ada ketentuan yang mewajibkan adanya standarisasi penggunaan perangkat komputer bagi BPR, sehingga terdapat BPR yang masih melakukan sistem komputer yang tidak secara otomatis memproses data secara end of day sehingga memungkinkan terjadinya back dated transactions, yaitu pencatatan transaksi pada tanggal sebelumnya, terutama untuk transaksi akhir bulan yang dapat dilakukan mundur beberapa hari. Cara ini dilakukan oleh bank juga dalam rangka upaya perbaikan performance kredit, karena dengan dilakukan pencatatan mundur maka ada kesempatan bank untuk memperbaiki performance kredit.

(11)

Kerancuan Pemberlakuan Peraturan bisa mengakibatkan terjadinya fraud, misalnya dengan berlakunya UU No 5 Tahun 1962 yang mengatur bahwa Kepala Daerah dapat langsung mengawasi Perusda, maka terdapat fungsi ganda yaitu sebagai pemegang saham dan sebagai pengawas. Pada beberapa Kotamadya dan Kabupaten di Indonesia, terdapat beberapa Daerah Tingkat II memiliki BPR, maka dalam hal ini Kepala Daerah dapat langsung mengawasi BPR sebagai Badan Usaha Milik Daerah. Jika di satu pihak sebagai pemilik dan di pihak lain juga sebagai pengawas, maka dalam hal ini tentunya menimbulkan konflik kepentingan.

Di sisi lain antara BPR yang berskala usaha besar dan kecil tidak ada pembedaan dalam penentuan kebijakan, sehingga tatkala direalisasikan di lapangan menemui banyak kendala. Benturan peraturan terjadi ketika, suatu saat BPR sebagai PT harus tunduk pada peraturan PT namun di sisi lain sulit untuk dilaksanakan, diharapkan terdapat Peraturan PT yang khusus bagi BPR.

8.2. Saran

Kondisi dan keberadaan BPR saat ini adalah hasil produk dari Pakto 1988 dan UU No.7 tahun 1992 sebagaimana Telah Diubah dengan UU No.10 Tahun 1998. Berdasarkan UU tersebut dan PBI serta SE yang terkait dengan BPR, BPR beroperasi dan berkembang sebagaimana kita saksikan saat ini.

(12)

Dalam mensikapi kesimpulan yang telah tertulis di atas penulis mengusulkan penerapan adanya Asteria Model yang dapat digunakan untuk meminimalisasi Fraud di BPR.

Penjelasan :

1. Model ini menawarkan kebijakan pengawasan berbasis risiko yang disederhanakan untuk skala BPR;

2. Model ini menawarkan perubahan kebijakan kelembagaan BPR yang mengatur mengenai :

a. Besarnya modal yang harus dipenuhi sesuai dengan zona daerah; b. Peraturan kelembagaan BPR harus berlandaskan azas Good

(13)

c. Kepengurusan BPR harus melewati proses fit and proper yang ketat, disertai dengan kelulusan Sertifikasi Profesi.

d. Pengoptimalan fungsi Dewan Komisaris. 3. Cakupan kegiatan operasional

a. Pelaksanaan penyaluran kredit berdasarkan prinsip kehati-hatian dan transparan.

b. Pengenaan sanksi yang kebih berat terhadap pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK).

d. Pengaturan keamanan Informasi Teknologi.

4. Aspek Perlindungan Nasabah untuk menghindari terjadinya informasi yang asimetris.

5. Law enforcement, azas kepatutan hukum, dan penyempurnaan kebijakan.

a. Setiap tindak pidana perbankan harus diproses dan diadili sesuai dengan peraturan yang berlaku.

b. Peraturan harus diumumkan, tidak berlaku surut, tidak saling bertentangan, dan berlaku ganda.

c. Perbaikan UU Perbankan dan UU Bank Indonesia yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi terkini pengawasan perbankan.

(14)

d. Adanya Peraturan Perseroan Terbatas (PT) yang dikhususkan bagi BPR.

Kriteria BPR perlu dipertegas, agar posisi terhormat dan strategis BPR sebagai bank beroperasi layaknya sebagai bank yang dikelola menggunakan azas-azas modern Good Corporate Governance, sehingga mempunyai keunggulan yang lebih baik dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya seperti koperasi, Baitul Mal Waltammil, Para Pelepas Uang (rentenir) atau LKM lainnya. Dengan kriteria tersebut dimaksudkan untuk mendorong kesungguhan dan meningkatnya profesionalisme para pengurus dan pemilik BPR baik yang existing maupun yang akan ada dalam mengelola BPR, sehingga keberadaan BPR benar-benar dirasakan manfaatnya bagi para stakeholders.

Dukungan modal yang cukup akan memudahkan bank memiliki tehnologi yang terkini dan SDM yang berkualitas bagus. Di sisi lain bank tidak akan menggantungkan penuh kepada dana pihak ketiga, mengingat tingkat kemiskinan yang masih cukup tinggi di Indonesia menjadi hal yang sulit untuk mencari dana dari masyarakat bawah. Pontensi modal yang cukup ini apabila dikelola dengan baik akan menghasilkan laba yang tinggi, sehingga dapat memancing kepercayaan masyarakat menengah dan atas untuk dapat menyimpan dananya di BPR serta menarik bank umum untuk

(15)

melakukan linkage program. Perpaduan modal, tehnologi dan SDM yang solid akan memungkinkan BPR tumbuh sehat, kuat, produktif. Hal ini akan menghilangkan citra buruk dan keterbelakangan yang masih melekat bagi industri BPR. Kondisi ini akan menjadi era baru bagi BPR dalam mencapai target marketnya dan secara alami akan menseleksi BPR yang dapat bertahan secara terhormat ditengah persaingan yang ketat dengan bank umum, perusahaan pembiayaan dan lembaga keuangan mikro lainnya.

BPR sebagai bank lokal hendaknya menyadarkan para pengurus BPR dengan segala keterbatasannya yaitu produk yang boleh ditawarkan hanya berupa tabungan, deposito dan kredit kepada nasabah maupun wilayah operasional yang boleh dijangkau oleh BPR sesuai modal disetornya. Dengan kesadaran ini para investor sebelum masuk menjadi pemilik BPR wajib mengetahui persis seluruh kondisi dan potensi pasar yang dapat dimanage oleh BPRnya, sehingga feasibility study yang disampaikan bank menjadi acuan dasar bagi hidup matinya BPR yang bersangkutan di masa yang akan datang. Dengan demikian tidak ada toleransi yang dapat diberikan kepada BPR baik dalam pengembangan produk maupun pelebaran batas wilayah operasional.

Dalam aspek pengawasan BPR termasuk didalamnya kegiatan pengaturan, pembinaan dan pengawasan BPR, sehingga untuk mencapai kriteria BPR tersebut diperlukan langkah-langkah sebagai berikut :

(16)

Sisi Pengaturan :

- Kebijakan pengawasan perbankan memerlukan perbaikan, kebijakan tersebut harus mengandung moralitas tertentu yang disebut sebagai internal morality hukum.

- Kebijakan pengawasan perbankan tersebut harus disesuaikan dengan point-point penting yang terkandung dalam 25 Basel Core Principles, yang di dalamnya harus memuat peraturan Good Corporate Governance dan adanya Edukasi kepada Nasabah. Tata kelola perusahaan sebagai penerapan sistem untuk mengarahkan dan mengendalikan jalannya perusahaan dan merupakan proses yang dijalankan perusahaan untuk menjawab tuntutan dan kewajiban para pemangku kepentingan di BPR.

Sisi Pengawasan

Perubahan paradigma pengawasan BPR

Selain pola pengawasan yang sudah ada seperti pola pengawasan terfokus, perlu adanya perubahan paradigma dalam pengawasan BPR mengingat UU No.7 tahun 1992 sebagaimana Telah Diubah dengan UU No.10 Tahun 1998 Pasal 29 Tugas Bank Indonesia melakukan pembinaan dan pengawasan kepada bank. Dalam pelaksanaannya selama ini porsi pengawasan lebih dominan dibandingkan dengan porsi pembinaan, sehingga tidak menutup

(17)

kemungkinan lambatnya kesadaran para pengurus BPR untuk berbenah diri. Perlu adanya konsep Kemitraan antara BPR dengan Otoritas Pengawasan. .

Konsep Kemitraan ini menempatkan BPR sebagai mitra kerja yang perlu diberikan pemahaman kesadaran terhadap risiko yang melekat dalam operasional bank dan tata kelola bank yang baik (good corporate governance), ketentuan terkini dan menjadi tempat konsultasi terhadap ketentuan yang belum dipahami.

Kebijakan pengawasan harus dapat menegaskan bahwa jika konflik kepentingan terjadi maka kebijakan harus direview ulang atau kebijakan dihentikan. Otoritas harus memastikan bahwa adanya uji internal terhadap kebijakan yang mengandung konflik kepentingan atau otoritas membuat kebijakan khusus untuk mengelola risiko konflik yang teridentifikasi dan memastikan bahwa kesempatan timbulnya dampak yang merugikan akibat terjadinya konflik akan dapat diminimalkan. Setiap kendala yang terjadi harus dipantau secara berkesinambungan.

Pelaksanaan Konsep Kemitraan dengan intensitas yang cukup akan menghasilkan pemahaman yang cukup terhadap ketentuan yang berlaku, sehingga kesadaran atas risiko dari tidak diterapkannya suatu ketentuan yang berlaku terpahami dengan baik. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pengawasan baik off site maupun on site penerapan law enforcement menjadi suatu kebutuhan dan tidak dapat ditawar-tawar, sehingga penyimpangan dan

(18)

atau pelanggaran yang ditemukan dalam pemeriksaan umum atau khusus wajib dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.

Sebagai bagian dari upaya pencegahan, setiap kebijakan yang ditetapkan oleh harus mencerminkan tentang konsekuensi dan proses bagi mereka yang melaksanakan atau membiarkan terjadinya perbuatan fraud. Konsekuensi ini dapat mencakup upaya pelaporan kepada aparat hukum. Kebijakan harus mencerminkan kebutuhan untuk melaksanakan tindakan perbaikan, dalam rangka untuk mengidentifikasi kelemahan pengendalian yang berkontribusi pada tindakan fraud. Tindakan perbaikan harus mengarah pada pemulihan setiap dari setiap kekurangan pengendalian diidentifikasi. Selain itu juga diperlukan proses evaluasi dan perbaikan (quality assurance) dan proses pemantuan berkesinambungan.

Penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh para pengurus dan atau pemegang saham BPR dengan modus mark up biaya bunga, kredit dan tabungan/deposito fiktif sudah menjadi hal yang klasik, karena kasus tersebut sering kali berulang. Kasus tabungan/deposito fiktif yang tidak tercatat dalam pembukuan BPR sering berbuntut panjang, karena terkait dengan persyaratan pembayaran dana pihak ketiga oleh LPS pada saat bank dicabut izin usaha. Dalam kasus ini nasabah/deposan menjadi pihak yang sangat lemah dan selalu dirugikan, karena pada saat BPR masih beroperasional tidak ada pihak yang dapat memastikan apakah nasabah/deposan yang

(19)

bersangkutan tercatat atau tidak dalam pembukuan BPR. Oleh karena itu menurut hemat penulis Otoritas Pengawasan perlu memberikan perlindungan kepada nasabah secara konkrit dengan menyediakan sarana untuk mengetahui tercatat atau tidaknya simpanan nasabah pada pembukuan bank.

Selain itu bank-bank wajib melakukan edukasi kepada nasabah untuk setiap penyelenggaraan transaksi perbankan, hal ini untuk mencegah adanya informasi asimetris antara bank dengan nasabah.

8.3. Kelemahan Penelitian

Kelemahan penelitian ini adalah bahwa pendekatan penelitian dilakukan hanya secara kualitatif, sehingga mempunyai keterbatasan dalam melakukan generalisasi untuk kebijakan pengawasan BPR secara umum. Artinya segala bentuk penerapan kebijakan untuk BPR yang menjadi fokus dalam penelitian ini belum tentu sama dengan yang terjadi pada bank umum dan lembaga keuangan mikro lainnya. Meskipun demikian, kebijakan yang berlaku di BPR untuk setiap daerah di Indonesia adalah sama.

Penelitian ini juga tidak menganalisis kecenderungan tinggi atau rendahnya kejadian fraud dalam pengelolaan perbankan mikro dan faktor faktor yang mempengaruhinya. Untuk menganalisis faktor tersebut diperlukan pendekatan kuantitatif yang tidak dilakukan dalam penelitian ini.

(20)

Keterbatasan studi ini adalah bahwa penelitian yang dialakukan hanya terbatas pada tugas pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebelum adanya undang undang baru tentang pengawasan perbankan mikro yang menjadi tanggung jawab Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

8.4. Rekomendasi Penelitian Lebih Lanjut

Penelitian studi kasus pada umumnya cenderung melihat satu kasus dengan cara yang unik. Hal yang sama terjadi pula dengan penelitian ini. Akan tetapi, peneliti berusaha untuk mengumpulkan bukti empiris dengan mengambil contoh kasus lain pada faktor-faktor penyebab terjadinya fraud ditinjau dari teori informasi asimetris dan teori keagenan serta GCG. Cara tersebut dilakukan dengan menggunakan triangulasi.

Faktor-faktor penyebab terjadinya fraud dan jenis-jenis fraud ini tidak dapat digeneralisasi karena bukan merupakan penelitian kuantitatif. Mewujudkan maksud tersebut, maka untuk selanjutnya peneliti dapat melakukan penelitian melalui pendekatan kuantitatif dengan fokus penelitian dititikberatkan pada hubungan kausalitas antara kebijakan pengawasan dan fraud. Selain itu penelitian dapat dilakukan sampai dengan beralihnya tugas pengawasan dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan, sehingga hasil penelitian lebih komprehensif.

Referensi

Dokumen terkait

Imam Gampong berpendapat tentang perkawinan di bawah umur di Desa Kute Lot Kecamatan Kebayakan Kabupaten Aceh Tengah lebih baiknya tidak dilakukan karena

Metode yang digunakan adalah penelitian lapangan dengan data primer dan sekunder yang berupa hasil survei geometrik serta LHR (Lintas Harian Rata-rata) pada jalan

opini dan permasalahannya kepada teman yang bisa dipercaya. Mahasiswa mengakui melalui fitur DM, mereka tida perlu kuatir keluh kesah dan masalah mereka bisa dibaca

Dari penjelasan dan uraian yang ada dalam kuesioner ini, dengan ini saya menyatakan setuju, tanpa paksaan sebagai responden penelitian dengan judul Studi Literasi Keuangan

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) Pada Mata Kuliah Blok 10 Lbm

Bahan baku pembuatan bioplastik yang dipilih dapat berasal dari limbah rumah tangga seperti air cucian beras dan diolah dengan bantuan bakteri Acetobacter

Hipotesis dalam penelitian ini adalah “terdapat hubungan yang signifikan antara kepuasan pernikahan dengan spiritualitas pada istri bekerja yang berada dalam tahap

Kepercayaan yang berkembang sampai saat ini dengan banyaknya masyarakat yang memiliki perbedaan latar belakang baik sosial, budaya bahkan ekonomi membuat Desa