• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN. Sangsit, Jagaraga dan Sawan belum ada yang meneliti. Penelitian-penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN. Sangsit, Jagaraga dan Sawan belum ada yang meneliti. Penelitian-penelitian"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Penelitian tentang pengembangan pariwisata Kabupaten Buleleng baik yang berupa alam maupun budaya telah banyak dilakukan, namun penelitian yang khusus dan mendalam mengenai pengembangan daya tarik wisata budaya di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan belum ada yang meneliti. Penelitian-penelitian terdahulu yang mendukung penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Yuni (2008), Ardika (2003), Damayanti (2009), Sukardi (2006) dan Dalem, et al. (2004, 2005).

Penelitian yang dilakukan Yuni (2008) berjudul ”Strategi Pengembangan Kesenian Janger Kolok sebagai Objek dan Daya Tarik Wisata di Desa Bengkala Kabupaten Buleleng” sangat terkait dengan penelitian ini. Tujuan dari penelitian Yuni adalah ingin mengetahui potensi internal dan eksternal kesenian janger kolok (tuna wicara) sebagai daya tarik wisata, selain itu juga untuk mencari strategi pengembangannya. Dari hasil analisis internal dan eksternal (kekuatan dan kelemahan) ditemukan bahwa kesenian janger kolok memiliki keunikan dan peluang untuk dikembangkan sebagai daya tarik wisata budaya.

Pengembangan kesenian ini dapat dilakukan dengan beberapa strategi antara lain strategi pengembangan produk, strategi promosi, strategi peningkatan sarana prasarana pendukung pariwisata dan strategi peningkatan kualitas sumber

(2)

daya manusia. Selanjutnya strategi tersebut dijabarkan ke dalam beberapa program yaitu: (1) program pembinaan para seniman dengan pelatihan gerak dan lagu yang lebih variatif, (2) program promosi yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata bekerjasama dengan industri perhotelan dan restoran, (3) program pembangunan fasilitas pendukung yang dibutuhkan wisatawan seperti jalan, toilet, art shop, dan (4) program pembinaan dan penyuluhan pariwisata bagi masyarakat lokal (Yuni, 2008:x-xi).

Keterkaitan penelitian Yuni dengan penelitian ini adalah sama-sama membahas tentang strategi pengembangan daya tarik wisata budaya yang ada di Kabupaten Buleleng. Walaupun tempat penelitiannya berbeda, namun jarak ke dua lokasi penelitian ini sangat dekat, yaitu sekitar tujuh kilometer. Perbedaannya adalah penelitian Yuni fokus pada pengembangan satu komponen budaya saja (kesenian janger kolok), namun penelitian ini fokus pada beberapa komponen budaya seperti pura, sejarah, kesenian, tradisi masyarakat dan upacara. Penelitian Yuni tersebut dapat memberikan inspirasi dalam hal pengembangan potensi-potensi budaya di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan.

Penelitian Ardika (2003) yang berjudul ”Komponen Budaya Bali sebagai Daya Tarik Wisata” menyebutkan bahwa persepsi wisatawan terhadap sepuluh komponen budaya Bali sangat bervariasi. Hasil survei yang dilakukan mahasiswa Program Magister (S2) Kajian Pariwisata mengenai daya tarik wisatawan terhadap sepuluh komponen budaya Bali pada beberapa kawasan wisata di Bali menunjukkan bahwa di kawasan Tanah Lot, makanan tradisional dan tradisi masyarakat Bali sangat menarik wisatawan. Kawasan Ubud, tradisi dan cara hidup

(3)

orang Bali menjadi hal yang paling menarik wisatawan, sedangkan kawasan Sanur dan Kintamani yang paling menarik wisatawan adalah tradisi. Kawasan Kuta dan Nusa Dua ternyata tradisi dan makanan lokal merupakan komponen budaya Bali yang paling menarik wisatawan.

Keterkaitan penelitian Ardika dengan penelitian ini adalah sama-sama fokus mengulas budaya Bali yang menjadi daya tarik wisata, namun lokasi penelitian yang berbeda. Penelitian Ardika mengambil tempat di enam kawasan wisata yang sudah berkembang seperti Tanah Lot, Kuta, Nusa Dua, Sanur, Ubud dan Kintamani, sedangkan penelitian ini mengambil tempat pada daerah yang baru berkembang. Hasil penelitian Ardika ini dapat memberikan banyak inspirasi terhadap penelitian ini khususnya dalam penggalian potensi dan strategi pengembangan daya tarik wisata budaya di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan.

Selanjutnya, penelitian Damayanti (2009) yang berjudul ”Strategi Pengembangan Objek dan Daya Tarik Wisata Pelabuhan Buleleng” menyatakan bahwa pelabuhan Buleleng merupakan salah satu daya tarik wisata yang bernilai sejarah yang ditetapkan sebagai daya tarik wisata budaya oleh Bupati Buleleng, namun jumlah kunjungan wisatawan asing dan domestik yang berkunjung ke tempat ini mengalami penurunan. Tujuan penelitian Damayanti adalah untuk mengkaji pengaruh faktor lingkungan internal dan eksternal terhadap pengembangan daya tarik wisata pelabuhan Buleleng sehingga dapat meningkatkan daya tarik dan memberi kepuasan kepada wisatawan, masyarakat, pemerintah, industri pariwisata serta terciptanya kelestarian lingkungan dan budaya.

(4)

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian Damayanti adalah dengan menyebarkan kuesioner, observasi, wawancara dan studi dokumen; dan cara penentuan responden dilakukan dengan teknik accidental dan purposive. Dari hasil analisis IFAS dan EFAS diperoleh bahwa pelabuhan Buleleng perlu dikembangkan dengan strategi penetrasi pasar dan pengembangan produk. Strategi alternatif yang relevan untuk dilakukan adalah strategi promosi, strategi pengembangan daya tarik wisata yang berkelanjutan, strategi pengembangan produk, dan strategi pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia (Damayanti, 2009).

Persamaan antara penelitian Damayanti dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti strategi pengembangan daya tarik wisata di Kabupaten Buleleng yang memiliki tingkat kunjungan wisatawan sangat rendah sehingga strategi pengembangan yang digunakan dalam penelitian Damayanti dapat dijadikan pedoman dalam penelitian ini. Persamaan yang lain terletak pada teknik pengumpulan data, yaitu sama-sama menggunakan kuesioner, wawancara, observasi dan studi dokumen.

Penelitian Sukardi (2006) yang berjudul “Strategi Pengembangan Objek dan Daya Tarik Wisata di Kecamatan Tejakula–Buleleng” menyatakan bahwa kepariwisataan di Kecamatan Tejakula baru mulai muncul dalam waktu belakangan ini padahal keanekaragaman daya tarik wisata yang ada di kecamatan tersebut sudah ada sejak dahulu baik daya tarik wisata budaya, alam, maupun wisata minat khusus seperti meditasi. Desa-desa di Kecamatan Tejakula yang memiliki potensi untuk menarik wisatawan, antara lain: Desa Pacung (Pura

(5)

Ponjok Batu), Desa Sembiran (desa kuno), Desa Julah (desa kuno), Desa Tejakula (desa seni), Desa Les (air terjun), dan Desa Sambirenteng (keindahan bawah laut).

Berdasarkan analisis internal (kekuatan dan kelemahan) diketahui bahwa posisi daya tarik wisata Tejakula berada pada katagori kuat dan berpotensi untuk dikembangkan. Faktor-faktor yang menjadi kekuatannya adalah keanekaragaman dan keaslian daya tarik wisata, aksesibilitas yang mudah, adat istiadat desa Julah dan Sembiran yang kuno dan unik. Faktor kelemahannya adalah daya tarik wisata tersebut belum tertata dengan baik, lembaga pengelola daya tarik wisata belum ada, sarana dan prasarana penunjang yang masih kurang, promosi yang kurang, persepsi masyarakat terhadap pariwisata negatif, dan terjadinya penyalahgunaan tata ruang dan tata guna lahan. Berdasarkan analisis eksternal (peluang dan ancaman) posisi daya tarik wisata Tejakula memiliki peluang untuk berkembang. Faktor-faktor peluangnya adalah adanya pertumbuhan ekonomi global, kemampuan teknologi, transportasi dan telekomunikasi (Sukardi, 2006).

Keterkaitan penelitian Sukardi dengan penelitian ini adalah sama-sama membahas tentang strategi pengembangan potensi, kondisi internal dan eksternal daya tarik wisata di Kabupaten Buleleng dan perbedaannya terletak pada fokus dan lokasi penelitian. Penelitian Sukardi lebih fokus pada penggalian dan pengembangan potensi alam dan budaya di Kecamatan Tejakula, sedangkan penelitian ini lebih fokus pada penggalian dan pengembangan potensi budaya di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan.

Dalem, et al. (2004) dalam penelitiannya yang berjudul ”Kajian Ekowisata di Kawasan Pariwisata Perancak (Kabupaten Jembrana) dan Kawasan Pariwisata

(6)

Batu Ampar (Kabupaten Buleleng)”, menyatakan bahwa Kawasan Batu Ampar memiliki potensi wisata bahari. Kawasan yang terdiri dari Desa Penyabangan, Banyu Poh, Pemuteran, Sumberkima dan Pejarakan memiliki pantai yang masih alami, landai, lebar, dan panjang 31 km. Selain itu, kawasan ini mempunyai konfigurasi garis pantai yang bervariasi, banyak teluk, tanjung dan keragaman biota laut seperti terumbu karang dan berbagai ikan hias dan penyu. Disamping alam, kawasan Batu Ampar juga didukung dengan potensi budaya atau kesenian seperti tari cak dan joged bumbung.

Kedekatannya dengan pulau Jawa dan keterbatasan promosi yang hanya ke Eropa (khususnya Jerman) menjadi peluang dalam pengembangan ekowisata di kawasan tersebut. Peluang lainnya adalah adanya kesadaran masyarakat dalam melakukan pelestarian kekayaan alam laut, maupun ketaatan masyarakat terhadap aturan untuk tidak merusak biota laut yang ada. Selanjutnya kendala yang dihadapi dalam pengembangan ekowisata di kawasan ini berupa keterbatasan sumber daya manusia dalam bidang pariwisata dan dalam konservasi biota laut. Demikian juga dana operasional yang telah dianggarkan untuk Pecalang Segara dan Kelompok Nelayan Cinta Mina Samudra dirasakan belum mencukupi biaya operasional dalam melakukan tugas pengamanan laut. Sedangkan kendala eksternal yang mempengaruhi pengembangan ekowisata di kawasan ini berupa labilitas politik disertai kekerasan, baik yang terjadi dalam skala nasional, regional dan lokal (Dalem, et al., 2004:64).

Penelitian lain yang terkait dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan Dalem, et al. (2005) yang berjudul ”Identifikasi Potensi dan Prospek

(7)

Pengembangan Ekowisata di Desa Sambangan, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng”. Dalem, et al. menyatakan bahwa Desa Sambangan memiliki potensi keindahan alam berupa air terjun, sawah berteras, dan keragaman flora dan fauna. Selain itu Desa Sambangan juga didukung oleh adanya aktivitas pertanian tradisional (seperti metekap, mejukut, numbeg, dan lain-lain), tempat peristirahatan sejenis kubu yang disebut ranggon, kesenian joged dan genjek, kerajinan tangan, dan lain-lain. Dengan keindahan alam yang dimiliki maka Desa Sambangan menawarkan trekking sebagai atraksi utama yang dikemas menjadi tiga paket pilihan yaitu short trekking, medium trekking dan long trekking.

Fasilitas dan utilitas yang sangat dibutuhkan Desa Sambangan adalah keberadaan jalan setapak menuju air terjun sepanjang kurang lebih empat kilometer, pembangunan rest point (tempat peristirahatan) di empat titik, penyediaan fasilitas kamar mandi dan WC, penyediaan brosur, peta, booklet dan sebagainya. Upaya pengembangan yang perlu dilakukan adalah peningkatan sumber daya manusia, pengawasan hutan dan reboisasi, pembuatan sarana dan prasarana, promosi dan paket Sambangan Trekking (Dalem, et al. 2005:44-45).

Keterkaitan penelitian ini dengan ke dua penelitian Dalem et al. tersebut adalah sama-sama mengidentifikasi potensi daya tarik wisata di Kabupaten Buleleng sehingga dua penelitian tersebut dapat memberikan inspirasi kepada peneliti dalam hal mengidentifikasi potensi pariwisata di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan. Perbedaannya terletak pada fokus penelitian, yang mana dua penelitian yang dilakukan Dalem et al. lebih fokus pada pengembangan daya tarik wisata alam (ekowisata) dengan ditunjang budaya masyarakat, namun penelitian

(8)

ini lebih fokus pada pengembangan daya tarik wisata budaya yang ditunjang dengan potensi alam.

2.2 Konsep

2.2.1 Strategi Pengembangan

Menurut Marpaung (2000:52) strategi merupakan suatu proses penentuan nilai pilihan dan pembuatan keputusan dalam pemanfaatan sumber daya yang menimbulkan suatu komitmen bagi organisasi yang bersangkutan kepada tindakan-tindakan yang mengarah pada masa depan. Sama halnya dengan Chandler dalam Rangkuti (2002:3) bahwa strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan perusahaan dalam jangka panjang, program tindak lanjut serta prioritas alokasi sumber daya. Strategi dapat pula diartikan sebagai rencana umum yang integratif yang dirancang untuk memberdayakan organisasi pariwisata untuk mencapai tujuan melalui pemanfaatan sumber daya dengan tepat walaupun menemukan banyak rintangan dari pihak pesaing (Puspa, 2006:18).

Berdasarkan pendapatnya Alwi, at al. (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005:538) pengembangan merupakan suatu proses, cara, perbuatan menjadikan sesuatu menjadi lebih baik, maju, sempurna dan berguna. Pengembangan merupakan suatu proses/aktivitas memajukan sesuatu yang dianggap perlu untuk ditata sedemikian rupa dengan meremajakan atau memelihara yang sudah berkembang agar menjadi lebih menarik dan berkembang.

Menurut Wilson at al. (2001) ada 10 faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengembangan pariwisata di daerah pedesaan (rural areas) yaitu:

(9)

1. A complete tourism package (paket wisata lengkap) 2. Good leadership (kepemimpinan yang baik)

3. Support and participation of local government (dukungan dan partisipasi pemerintah lokal)

4. Sufficient funds for tourism development (dana pengembangan pariwisata yang cukup)

5. Strategic planning (perencanaan strategis)

6. Coordination and cooperation between businesspersons and local leadership (kerjasama antara pengusaha dan pemimpin lokal)

7. Coordination and cooperation between rural tourism entrepreneurs (kerjasama antara pengusaha pariwisata)

8. Information and technical assistance for tourism development and promotion (bantuan informasi dan teknis untuk pengembangan dan promosi pariwisata) 9. Good convention and visitors bureaus (adanya biro konvensi dan pengunjung

yang baik)

10. Widespread community support for tourism (adanya dukungan seluruh masyarakat terhadap pariwisata).

Gunn (1994:5-9) menyatakan bahwa dalam pengembangan pariwisata harus melibatkan tiga sektor, yaitu Business Sector, Nonprofit Sector dan Governmental Sector, dan semakin baik pemahaman dan keterlibatan tiga sektor tersebut maka pengembangan pariwisata akan semakin baik. Bisnis Sector adalah sektor usaha yang menyediakan segala keperluan wisatawan seperti jasa transportasi, perhotelan, makanan dan minuman, laundry, hiburan dan sebagainya.

(10)

Nonprofit Sector merupakan organisasi seperti organisasi pemuda, organisasi profesi, etnis yang tidak berorientasi pada keuntungan (non-profit organisation) namun memiliki peran dan perhatian besar terhadap pengembangan pariwisata. Governmental Sector adalah sektor yang berperan untuk mengeluarkan dan menerapkan Undang-Undang dan peraturan. Dalam bidang pariwisata sektor pemerintah telah melakukan banyak peran penting selain regulasi. Dalam pengadaan taman nasional, disamping melindungi alam dan budaya juga telah banyak menarik kunjungan wisatawan.

Berdasarkan beberapa konsep tersebut, maka yang dimaksud dengan strategi pengembangan dalam penelitian ini adalah suatu kesatuan rencana yang sifatnya komprehensif dan terpadu dari unsur pemerintah, swasta, masyarakat dan akademisi untuk menggali dan mengembangkan potensi yang ada di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan sehingga menjadi daya tarik wisata yang lebih baik dan menarik. Dengan demikian jumlah kunjungan wisatawan akan meningkat yang nota bene kesejahteraan masyarakat juga meningkat.

2.2.2 Daya Tarik Wisata

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Keadaan alam, flora dan fauna, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, serta peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan sumber daya dan modal pembangunan

(11)

kepariwisataan untuk peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana terkandung dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Menurut Yoeti (2006:55-56) daya tarik wisata dibagi menjadi empat bagian yaitu:

1. Daya tarik wisata alam, yang meliputi pemandangan alam, laut, pantai dan pemandangan alam lainnya.

2. Daya tarik wisata dalam bentuk bangunan, yang meliputi arsitektur bersejarah dan modern, monumen, peninggalan arkeologi, lapangan golf, toko dan tempat-tempat perbelanjaan lainnya.

3. Daya tarik wisata budaya, yang meliputi sejarah, foklor, agama, seni, teater, hiburan, dan museum.

4. Daya tarik wisata sosial, yang meliputi cara hidup masyarakat setempat, bahasa, kegiatan sosial masyarakat, fasilitas dan pelayanan masyarakat.

Selain empat komponen tersebut, daya tarik wisata juga harus memiliki komponen aksesibilitas dan amenitas (Damanik dan Weber, 2006:12). Aksesibilitas mencakup sarana dan prasarana transportasi yang menghubungkan daya tarik wisata yang satu dengan daya tarik wisata yang lain di daerah tujuan wisata mulai dari transportasi darat, laut dan udara. Aksesibilitas juga mencakup peraturan atau regulasi pemerintah yang mengatur tentang rute dan tarif angkutan. Amenitas adalah infrastruktur yang menjadi bagian dari kebutuhan wisatawan seperti fasilitas akomodasi, restoran, bank, penukaran uang, telekomunikasi, usaha penyewaan (rental), olahraga, informasi, dan lain sebagainya.

(12)

Menurut Damanik dan Weber (2006:13) daya tarik wisata yang baik sangat terkait dengan empat hal, yakni memiliki keunikan, orijinalitas, otentisitas, dan keragaman. Keunikan diartikan sebagai kombinasi kelangkaan dan kekhasan yang melekat pada suatu daya tarik wisata. Orijinalitas mencerminkan keaslian atau kemurnian, yakni seberapa jauh suatu produk tidak terkontaminasi atau tidak mengadopsi nilai yang berbeda dengan nilai aslinya. Otentisitas mengacu pada keaslian. Bedanya dengan orijinalitas, otentisitas lebih sering dikaitkan dengan tingkat keantikan atau eksotisme budaya sebagai daya tarik wisata. Otentisitas merupakan kategori nilai yang memadukan sifat alamiah, eksotis, dan bersahaja. 2.2.3 Pariwisata Budaya

Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 1991 pasal 1 menyebutkan bahwa pariwisata budaya adalah jenis kepariwisataan yang dalam pengembangannya menggunakan kebudayaan Bali yang dijiwai agama Hindu sebagai potensi dasar yang dominan. Dan dalam pengembangan pariwisata budaya Bali terdapat cita-cita adanya hubungan timbal balik antara pariwisata dan kebudayaan Bali sehingga keduanya dapat meningkat, selaras, serasi dan seimbang (Dinas Pariwisata Provinsi Bali, 2000 dalam Ardika, 2007:30).

Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 1991 pasal 3 menyatakan bahwa tujuan penyelenggaraan pariwisata budaya adalah untuk memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan dan meningkatkan mutu daya tarik wisata, mempertahankan norma-norma dan nilai-nilai agama dan kebudayaan Bali yang berwawasan lingkungan hidup, mencegah dan meniadakan pengaruh-pengaruh

(13)

negatif yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan kepariwisataan (Dinas Pariwisata Provinsi Bali, 2000 dalam Ardika, 2007:76).

Menurut Geriya (1996) pariwisata budaya adalah suatu jenis kepariwisataan yang mengandalkan potensi kebudayaan sebagai daya tarik yang paling dominan serta sekaligus memberikan identitas bagi pengembangan pariwisata tersebut.

Dari beberapa definisi tersebut, maka yang dimaksud dengan daya tarik wisata budaya dalam penelitian ini adalah pura, sejarah, agama, arsitektur, kesenian, upacara, tradisi dan cara hidup masyarakat di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan yang dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata yang dominan dalam pengembangan pariwisata.

2.2.4 Desa Sangsit, Jagaraga dan Kecamatan Sawan

Menurut Alwi at al. (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2005:256) desa merupakan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri (dikepalai oleh seorang kepala desa). Kecamatan merupakan daerah bagian kabupaten (kota) yang membawahi beberapa kelurahan, yang dikepalai oleh seorang camat (Alwi et al. 2005:189).

Menurut Sejarah Perang Jagaraga (Sastrodiwiryo, 1994:19), pergulatan politik antara Bali dengan Belanda berawal dari Bali Utara. Pada tahun 1846, Pabean/Pelabuhan Buleleng dipergunakan sebagai tempat berlabuhnya kapal-kapal perang Belanda untuk menyerang kerajaan Buleleng, dan pada tahun 1848, kapal-kapal perang Belanda berlabuh di Pelabuhan Sangsit sebelum menyerang benteng Jagaraga, yang merupakan tempat pertahanan Laskar Bali dalam

(14)

mempertahankan wilayah Bali Utara. Di bawah komando Gusti Ketut Jelantik, pasukan Belanda berhasil dipukul mundur pada Perang Jagaraga I (tahun 1848), namun pada Perang Jagaraga II (tahun 1849), dengan jumlah pasukan dan kekuatan yang berlipat ganda Belanda berhasil menguasai dan menghancurkan benteng dan Pura Dalem Segara Madu Jagaraga (Sastrodiwiryo, 1994:161).

2.3 Landasan Teori

Beberapa teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori potensi budaya, teori permintaan dan penawaran dan teori perencanaan. Pengertian masing-masing teori tersebut adalah sebagai berikut.

2.3.1 Teori Potensi Budaya

Menurut Picard (1992:167) kebudayaan Bali dalam pariwisata memiliki peran ganda, yaitu sebagai sumber keuntungan ekonomi dan sumber prestise. Pariwisata telah merangsang orang Bali untuk memperhatikan berbagai tradisi yang terancam punah, menggalakkan kreativitas seni-budaya serta memperkuat jati diri dan kebanggaan orang Bali. Berkat proses involusi budaya, masyarakat Bali menjadi lebih modern, ikatan-ikatan tradisional Bali menjadi lebih kuat yang menjamin stabilitas masyarakat Bali, seperti pernyataan Picard yang dikutip dari McKean berikut ini.

”Peningkatan jumlah wisatawan ke Bali, bukan merusak budaya Bali, malahan akan memperkuat ikatan orang-orang Bali pada tradisi budayanya. Orang Bali dapat memperoleh keuntungan ekonomi dari pariwisata tanpa mengorbankan nilai-nilai budayanya, pariwisata dapat meningkatkan taraf hidup mereka tanpa menodai tata hidup mereka” (McKean, 1973 dalam Picard, 1992: 172).

(15)

Bentuk budaya yang bisa dikembangkan sebagai daya tarik wisata adalah sejarah, pura, upacara, kesenian (seni tari, seni tabuh, seni lukis), dan kehidupan masyarakat sehari-hari yang memiliki keunikan, kekhasan, kepopuleran dan keaslian. Puluhan ribu pura dengan arsitektur yang khas yang tidak bisa dijumpai di belahan dunia manapun, mulai dari yang kecil sampai yang besar tersebar di mana-mana. Upacara keagamaan baik yang dilakukan sehari-hari maupun pada hari-hari tertentu, mata pencaharian dan kesenian masyarakat Bali merupakan museum hidup yang tidak ada duanya (Picard, 1992:21).

Keunikan dan kepopuleran budaya Bali di tingkat internasional dapat dibuktikan dari beberapa sebutan yang diberikan oleh seniman-seniman asing terhadap pulau Bali seperti The Island of God, The Island of Thousand Temples, The Last Paradise dan sebagainya. Berkat keunikan itu pula, The International Travel Magazine beberapa kali telah menganugerahkan dan menetapkan Bali sebagai pulau wisata terbaik di dunia (http://www.balitourism board.org/), (cited 20 Februari 2010).

Gareth Shaw dan Allan M. Williams (1997) dalam Ardika (2003:50) menyatakan ada sepuluh komponen budaya Bali yang dapat dijadikan sebagai daya tarik wisata yaitu kerajinan, tradisi, sejarah daerah, arsitektur, makanan lokal, seni dan musik, cara hidup, agama, bahasa daerah dan pakaian lokal. Komponen budaya tersebut juga mempunyai nilai ekonomi bagi Bali, seperti pernyataan Eugenio Yunis (2006:1-5) dalam Ardika (2007:xi) berikut.

“Pariwisata budaya dapat memberikan keuntungan ekonomi kepada masyarakat lokal, menghasilkan dana dan memberikan pendidikan atau pelatihan untuk pemugaran atau konservasi pusaka budaya baik yang tangible maupun intangible. Sebaliknya proses akulturasi antara budaya

(16)

masyarakat lokal dengan budaya wisatawan dapat menjadi ancaman yang sangat membahayakan apabila tidak dikelola dengan baik. Karena itu masyarakat lokal harus dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring dari kegiatan pariwisata tersebut”.

Teori potensi budaya tersebut dipakai untuk mengidentifikasi daya tarik wisata budaya di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan.

2.3.2 Teori Permintaan dan Penawaran

Richardson dan Fluker (2004 dalam Pitana et al., 2005:66) menyatakan bahwa keputusan seseorang untuk melakukan perjalanan wisata dipengaruhi oleh kuatnya faktor-faktor pendorong (push factors) dan faktor-faktor penarik (pull factors). Faktor pendorong dan penarik ini merupakan faktor internal dan eksternal yang memotivasi wisatawan untuk melakukan perjalanan. Faktor pendorong umumnya bersifat sosial-psikologis (person-specific motivation), sedangkan faktor penarik merupakan destination-specific attributes.

Menurut Damanik dan Weber (2006:2-14), dari sisi ekonomi, pariwisata muncul dari unsur permintaan dan penawaran antara wisatawan dan daerah tujuan wisata. Kedua unsur ini ibarat mata uang yang memiliki dua sisi yang tidak bisa dipisahkan. Tanpa permintaan wisatawan, segala macam daya tarik wisata yang ada tidak akan ada gunanya, dan sebaliknya tanpa daya tarik wisata, wisatawan tidak akan ada tempat untuk melakukan perjalanan wisata.

Awalnya permintaan wisatawan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ketersediaan waktu luang dan peningkatan pendapatan. Dengan semakin banyaknya waktu luang dan pendapatan akan meningkatkan keinginan wisatawan untuk melakukan perjalanan wisata. Diikuti dengan kemajuan teknologi tranportasi darat, laut dan udara yang semakin aman, nyaman dan murah dapat

(17)

meningkatkan kemampuan masyarakat kelas bawah dan menengah masuk ke dalam pasar transportasi udara. Hal ini sangat sesuai dengan teori permintaan dan penawaran yang menyatakan bahwa semakin rendah harga suatu produk maka semakin banyak produk yang dibeli oleh konsumen (Tasman dan Aima, 2005:12). Sebagai dampaknya, saat ini pariwisata bukan hanya konsumsi eksklusif para pengusaha, petinggi negara dan daerah, kalangan elit dan selebritis, tetapi juga konsumsi orang-orang desa yang memiliki distribusi pekerjaan dan pendapatan yang semakin baik.

Permintaan wisatawan tanpa ada penawaran dan pelayanan dari daerah tujuan wisata belum cukup menjamin perjalanan wisata. Penawaran wisata adalah menyangkut semua produk yang ditawarkan kepada wisatawan, sedangkan jasa adalah layanan yang diterima wisatawan ketika mereka memanfaatkan atau menkonsumsi produk tersebut. Pelayanan pariwisata biasanya tidak tampak (intangible), bahkan seringkali tidak dirasakan. Mulai dari pembersihan kamar hotel yang dilakukan oleh staf room service, aneka hidangan dan cara penyajiannya yang dilakukan oleh staf food and beverage sampai penyediaan informasi di Tourist Information Centre, semuanya merupakan bentuk jasa penawaran pariwisata (Damanik dan Weber, 2006:11)

Menurut Gunn (1994:57), daya tarik wisata (attraction) merupakan komponen yang paling kuat dalam penawaran daerah tujuan wisata. Daya tarik wisata merupakan energi yang dapat memberikan kekuatan dan dorongan terhadap wisatawan untuk melakukan perjalanan ke daerah tujuan wisata. Selain itu, daya tarik wisata dapat memberikan daya pikat atau stimulus terhadap

(18)

motivasi perjalanan wisata dan memberikan kepuasan atau hadiah atas perjalanan yang dilakukan wisatawan. Di lain pihak, pelayanan pariwisata hanya merupakan fasilitator dan bukan sebagai alasan utama perjalanan wisatawan karena tanpa daya tarik wisata, pelayanan pariwisata mungkin tidak akan dibutuhkan.

Teori permintaan dan penawaran tersebut digunakan untuk mengetahui perkembangan daya tarik wisata budaya di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan. 2.3.3 Teori Perencanaan

Menurut Paturusi (2008:26) perencanaan adalah suatu proses pembuatan keputusan yang berkaitan dengan masa depan suatu destinasi atau atraksi wisata. Ini merupakan suatu proses dinamis dalam penentuan tujuan, yang secara bersistem mempertimbangkan berbagai alternatif tindakan untuk mencapai tujuan serta implementasinya terhadap alternatif yang dipilih dan evaluasinya. Proses perencanaan mempertimbangkan lingkungan politik, fisik, sosial, dan ekonomi sebagai suatu komponen yang saling terkait dan tergantung dengan yang lainnya.

Menurut Inskeep (1991:29) ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam perencanaan pariwisata:

1. Pendekatan berkelanjutan, meningkat, dan fleksibel. Walaupun masih berupa kebijakan dan rencana, pariwisata harus dilihat sebagai suatu proses yang berkelanjutan dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian sesuai kebutuhan dan berdasarkan monitor dan umpan balik (feedback) dalam rangka mempertahankan tujuan dan kebijakan pengembangan pariwisata.

(19)

2. Pendekatan sistem. Pariwisata dipandang sebagai suatu sistem yang saling berhubungan dan harus dikembangkan dengan menggunakan teknik analisis sistem.

3. Pendekatan komprehensif. Semua aspek pengembangan pariwisata termasuk lembaga, dampak lingkungan dan sosial-ekonomi harus dianalisa dan direncanakan secara komprehensif atau holistik.

4. Pendekatan terintegrasi. Pariwisata direncanakan dan dikembangkan sebagai suatu sistem yang terintegrasi dengan perencanaan dan pengembangan wilayah secara keseluruhan.

5. Pendekatan pengembangan lingkungan yang berkelanjtan. Pariwisata dikembangkan dengan terencana dan dikelola dengan baik sehingga tidak mengakibatkan degradasi sumber daya alam dan budaya, tetapi sebaliknya pariwisata dapat menjaga keberkelanjutan sumber daya secara permanen. Dalam hal ini teknik analisis daya dukung sangat penting digunakan untuk mengukur tingkat keberlanjutan tersebut.

6. Pendekatan masyarakat. Keterlibatan dan partisipasi masyarakat lokal dalam proses perencanaan, pengambilan keputusan dan pengelolaan pariwisata secara maksimum mutlak dilakukan.

7. Pendekatan implementasi. Kebijakan, perencanaan, dan rekomendasi pengembangan pariwisata direalisasikan secara realistis dengan teknik-teknik implementasi melalui program pengembangan atau strategi yang tepat.

8. Aplikasi proses perencanaan yang sistematis. Proses perencanaan ini diterapkan dalam perencanaan pariwisata berdasarkan atas urutan yang logis.

(20)

Menurut Gunn (1994:60) ada beberapa konsep yang perlu diperhatikan dalam perencanaan daya tarik wisata, diantaranya:

1. Penciptaan dan pengelolaan daya tarik wisata

Suatu kesalahan yang sering terjadi dalam pengelolaan daya tarik wisata adalah penetapan daya tarik wisata yang terlalu prematur. Sebelum ada pengelolaan yang baik daya tarik wisata belum dapat difungsikan dan dipromosikan karena dengan kunjungan wisatawan yang membludak akan dapat merusak sumber-sumber daya yang ada. Selain daya tarik wisata, perlu juga diperhitungkan pengelolaan terhadap sarana pariwisata yang lain seperti tempat parkir, tour dan interpretasi.

2. Pengelompokan daya tarik wisata

Sebuah data tarik wisata yang lokasinya jauh memerlukan banyak waktu dan biaya untuk mencapainya sehingga menjadi kurang diminati wisatawan. Sistem pariwisata masal seperti kereta api cepat dan transportasi udara mengharuskan wisatawan berhenti dan melanjutkan perjalanan sebelum puas menikmati daya tarik wisata yang sedang dikunjungi dengan baik. Alat-alat transportasi ini juga mendorong perencanaan beberapa daya tarik wisata harus berdekatan. Karena itu kunjungan ke daya tarik wisata utama sebaiknya dikelompokkan atau digabung dengan daya tarik wisata pelengkap yang lain. Contoh: kunjungan ke taman nasional sebagai atraksi utama, menawarkan banyak atraksi wisata alam pelengkap seperti pemandangan, hiking, konservasi kehidupan liar, topografi yang menantang dan tempat rekreasi di luar ruangan.

(21)

3. Gabungan atraksi dan pelayanan

Meskipun daya tarik wisata merupakan porsi utama dalam sebuah pengalaman perjalanan, tetapi daya tarik wisata tetap memerlukan dukungan pelayanan. Misalnya, dalam perencanaan sebuah taman terasa kurang lengkap apabila tidak memperhitungkan pelayanan pendukung seperti akomodasi dan restoran, dan pelayanan pelengkap seperti penjualan film, obat-obatan dan cinderamata. Karena itu, daya tarik wisata yang agak jauh atau terpencil minimal menyediakan pelayanan makanan, toilet dan pusat-pusat pelayanan pengunjung (visitor centers).

4. Lokasi daya tarik wisata ada di daerah pedesaan dan perkotaan

Daerah terpencil dan kota-kota kecil memiliki aset yang dapat mendukung pengembangan daya tarik wisata karena beberapa segmen pasar ada yang lebih menyukai suasana kedamaian dan ketenangan di daerah pedesaan, karena itu ke depan perlu dilakukan perencanaan dan kontrol terhadap daya tarik wisata yang masih alami seperti perkebunan dan jalan-jalan pelosok pedesaan yang masih alami. Tempat-tempat ini cocok untuk pengembangan pariwisata alam maupun budaya, selain itu perlu penggabungan daya tarik wisata perkotaan dan pedesaan menjadi sebuah paket perjalanan.

Teori perencanaan tersebut digunakan untuk merumuskan strategi dan program pengembangan daya tarik wisata budaya di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan.

(22)

2.4 Model Penelitian

Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini, maka diperlukan sebuah kerangka konsep atau model penelitian. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh ketimpangan kunjungan wisatawan dan pengelolaan pariwisata antara Bali Utara dengan Bali Selatan. Melalui SK Bupati Nomor 93 Tahun 2003, Pemerintah Kabupaten Buleleng telah menetapkan tiga puluh delapan (38) daya tarik wisata alam dan budaya, termasuk tiga diantaranya berada di Kecamatan Sawan, yaitu Pura Beji Sangsit, Pura Dalem Kelod Sangsit dan Pura Dalem Segara Madu Jagaraga. Walaupun telah ditetapkan sebagai daya tarik wisata budaya, namun jumlah kunjungan dan lama tinggal wisatawan di tiga daya tarik wisata tersebut masih rendah. Dari ketimpangan tersebut dirumuskan permasalahan yaitu pertama: potensi-potensi daya tarik wisata budaya apa yang dimiliki Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan, Kabupaten Buleleng; kedua: apa kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan daya tarik wisata budaya di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan; dan ketiga: bagaimana strategi pengembangan daya tarik wisata budaya di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan supaya dapat menarik kunjungan wisatawan secara lebih maksimal.

Ketiga permasalahan tersebut dianalisis dengan teknik deskriptif kualitatif, dengan menggunakan konsep pengembangan, daya tarik wisata dan pariwisata budaya, serta dengan teori potensi budaya, teori permintaan dan penawaran serta teori perencanaan. Dari konsep dan teori tersebut dilakukan beberapa langkah, yang pertama: mengidentifikasi potensi budaya yang ada di Desa Sangsit, Jagaraga, dan Sawan baik fisik maupun non-fisik, kedua: mengidentifikasi

(23)

kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan pariwisata selama ini dan ketiga: berdasarkan konsep pengembangan daya tarik wisata budaya dan teori perencanaan dapat dirumuskan strategi dan program-program pengembangan daya tarik wisata di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan.

Hasil penelitian ini yang berupa program-program pengembangan diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi pemerintah (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Bali, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Buleleng dan Kecamatan Sawan). Juga bagi kalangan industri pariwisata (hotel, restoran, Biro Perjalanan Wisata), masyarakat Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan, dan para akademisi sesuai dengan peran mereka masing-masing dalam upaya pengembangan produk pariwisata budaya di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan.

Berdasarkan kerangka berpikir tersebut, maka dapat digambarkan kerangka konsep atau model penelitian mengenai stategi pengembangan daya tarik wisata budaya di Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan seperti pada Model 2.1. berikut.

(24)

Keterangan:

= arah hubungan = saling mempengaruhi

Gambar 2.1 Model Penelitian Pariwisata Bali

Potensi Daya Tarik Wisata Budaya

Kendala-kendala Pengembangan Daya Tarik Wisata Budaya

Strategi Pengembangan Daya Tarik Wisata

Budaya

Konsep:

- Strategi Pengembangan - Daya Tarik Wisata - Pariwisata Budaya - Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan

Landasan Teori: - Teori Potensi Budaya - Teori Permintaan dan Penawaran - Teori Perencanaan

Analisis SWOT

Strategi dan Program Pengembangan Daya Tarik Wisata Budaya di Desa

Sangsit, Jagaraga, dan Sawan Pariwisata Bali Utara

( Desa Sangsit, Jagaraga dan Sawan)

(Kurang Berkembang) Pariwisata

Bali Selatan

(Berkembang)

Gambar

Gambar 2.1 Model PenelitianPariwisata  Bali

Referensi

Dokumen terkait

Metode literatur dilakukan dengan membaca dan membuat perbandingan dari jurnal-jurnal dashboard sistem informasi yang telah diperoleh dan dibandingkan dengan skema yang ada

Menganalisis akurasi metode non-parametrik CTA dengan teknik data mining untuk klasifikasi penggunaan lahan menggunakan citra Landsat-8 OLI serta menerapkan hasil dari KDD

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan: Tingkat stres kerja karyawan sebelum diberikan terapi ROP berada pada kategori

Dari hasil diatas, maka dapat disimpulkan belajar passing sepakbola dengan penerapan possession game sudah terlaksana dengan baik, ini dibuktikan pada tabel 5 ada

Manfaat secara akademik, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang teknik pertambangan khususnya

Namun sekarang ini lambat laun potensi sumber daya alam Desa Sariwangi yang sebelumnya merupakan areal pertanian dataran tinggi/peladang penghasil palawija dan bunga- bunga kini

Bidang adalah Bidang-Bidang pada Dinas Daerah Kabupaten Buleleng yang dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas melalui

 Satu mol sesuatu bahan ialah kuantiti yang mengandungi bilangan zarah yang sama dengan bilangan atom yang terdapat dalam 12.000 gram karbon- 12.  Ahli kimia telah