• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. terutama untuk mendapatkan pemahaman, konsep-konsep, pengertian-pengertian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. terutama untuk mendapatkan pemahaman, konsep-konsep, pengertian-pengertian"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka dalam suatu penelitian merupakan hal yang sangat penting terutama untuk mendapatkan pemahaman, konsep-konsep, pengertian-pengertian yang berkaitan dengan permasalahan penulisan ini, dan untuk memperlihatkan kedudukan dari tulisan ini. Pandangan-pandangan dari para ahli sebagai patokan serta bahan pembanding sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti. Beberapa karya tulis dan buku, yang memuat pendapat para ahli yang berkaitan dengan objek yang diteliti adalah sebagai berikut.

Aryo Sunaryo (2009) dalam bukunya yang berjudul Ornamen Nusantara Kajian Khusus Mengenai Ornamen Indonesia mengemukakan, Indonesia dengan banyak suku bangsa memiliki beragam ornamen yang terdapat pada berbagai benda produk seperti tenun, sulaman, anyaman, ukiran, arsitektur, dan sebagainya. Motif-motif hias ornamen Nusantara terklasifikasi dalam motif hias: geometris, sosok manusia, binatang unggas, binatang air dan melata, binatang darat dan mahluk imajinatif, tumbuh-tumbuhan, benda alam dan pemandangan, benda teknologis, kaligrafi, dan abstrak. Pustaka ini digunakan untuk mengungkapkan bentuk-bentuk ornamen serta variasi-variasi ornamen yang ada pada benda-benda perunggu yang menjadi objek penelitian di Museum Provinsi Negeri Bali. Pustaka ini digunakan untuk mengungkapkan bentuk-bentuk ornamen yang umumnya ada

(2)

pada benda-benda perunggu seperti nekara, moko, mata tombak dan bejana. Dari buku ini pula diketahui variasi ornamen hias yang ada di Indonesia.

Van Der Hoop (1949) dalam bukunya yang berjudul Ragam-Ragam Perhiasan Indonesia mengungkapkan bahwa pada zaman neolitikum kesenian Indonesia bersifat monumental dan bersifat lambang. Pada waktu itu manusia sudah membangun batu yang besar-besar dan membubuhinya dengan lambang tertentu. Selanjutnya diungkapkan, kebudayaan perunggu atau Dong Son yang mempunyai pengaruh yang besar atas kesenian Indonesia. Pada masa ini kesenian di Indonesia semakin maju. Hal ini terlihat dari banyaknya tepi dan bidang-bidang barang dihiasi. Van Der Hoop sendiri banyak meneliti ornamen-ornamen pada perunggu logam, keramik, gerabah, kain tradisional (batik dan selendang), dan ukiran-ukiran kayu pada bangunan seperti masjid. Pustaka ini digunakan untuk mengungkapkan bentuk, jenis-jenis ornamen dan variasinya serta untuk melengkapi kekurangan dari pustaka sebelummya.

Abdul Azis Said (2004) dalam bukunya Toraja Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional mengemukakan bahwa dalam seni ragam hias Indonesia ditemukan aneka gaya setempat pada daerah-daerah tertentu. Hal ini mungkin disebabkan adanya perbedaan budaya dan pengaruh berbagai macam unsur budaya yang datang dari luar. Sifat bangsa Indonesia yang terbuka terhadap pengaruh unsur budaya asing, serta kemampuan masyarakatnya untuk menggabungkan dan mengolah ataupun mengembangkan semua unsur dari luar dengan apa yang telah ada pada kebudayaan aslinya. Pustaka ini digunakan untuk

(3)

membantu mengungkapkan makna ornamen yang tersembunyi dalam benda-benda perunggu koleksi Museum Bali.

Jakob Sumardjo (2002), dalam bukunya Arkeologi Budaya Indonesia mengemukakan dalam memaknai gambar sebagai simbol dalam artefak-artefak prasejarah, memerlukan pemahaman fungsi artefak dan sistem kepercayaan primordial Indonesia. Fungsi artefak akan menuntun makna gambar-gambar yang tertera padanya. Gambar-gambar tersebut merupakan satu kesatuan makna yang berhubungan dengan maksud upacara. Struktur gambar secara keseluruhan itu akan menentukan makna unsur-unsurnya. Sumardjo juga mengungkapkan bahwa beberapa gambar, lambang atau simbol yang bersifat tetap. Jenis-jenis gambar tertentu ini akan memiliki makna yang sesuai dengan kepercayaan kosmologi nenek moyang kita. Di antaranya adalah seperti gambar ayam, burung, kuda, buaya, dan cicak. Juga gambar-gambar simbol berupa ragam hias seperti bulatan, garis lurus, garis silang, huruf S, gambar-gambar kepala manusia, mata, orang mengangkang, kaki, dan tangan. Pustaka ini digunakan untuk mengetahui makna simbolik dari bentuk-bentuk ornamen yang akan diungkapkan.

Viniya Metta (2004) dalam tesisnya Motif Hias Prasejarah Indonesia Kajian Komparasi Koleksi Museum Nasional Jakarta dengan Malaysia dan Vietnam berpendapat bahwa baik di Indonesia, Malaysia maupun di Vietnam ada 5 jenis motif hias yang diindentifikasikan yaitu motif geomeris, motif fauna, motif flora, motif manusia, dan motif kapal. Dalam tulisannya ini Viniya mengangkat motif-motif hias prasejarah yang ada pada benda-benda prasejarah yang ada di koleksi Museum Nasional Jakarta. Diantaranya pada benda-benda logam,

(4)

kuningan, tembikar dan kayu. Berbeda dengan tulisan ini, penulis lebih mengkhususkan penelitian motif hias pada benda-benda logam perunggu prasejarah koleksi Museum Negeri Provinsi Bali. Pustaka ini digunakan untuk mengetahui bentuk-bentuk ornamen.

Timbul Haryono (2001) dalam bukunya Logam dan Peradaban Manusia memuat tentang sejarah perkembangan metalurgi dari mulai teknologi penemuan logam, proses pembuatan benda-benda perunggu yang panjang, sampai pada penelitian-penelitian arkeologis terhadap benda-benda logam. Haryono mengungkapakan secara detail bagaimana pembuatan benda-benda perunggu serta campuran yang digunakan untuk menghasilkan perunggu. Pustaka ini digunakan untuk mengungkapkan peradaban logam prasejarah di Indonesia.

Pusponegoro dan Notosusanto (1993) dalam bukunya Zaman Perundagian di Sejarah Nasional Indonesia I mengungkapkan bahwa, dalam masa perundagian atau yang dikenal dengan masa bercocok tanam manusia sudah mulai tinggal menetap serta mengatur kehidupannya. Pada masa bertempat tinggal ini manusia telah berupaya meningkatkan kegiatan-kegiatannya guna mencapai hasil yang sebesar-besarnya dalam memenuhi kebutuhan hidup. Usaha-usaha yang mereka kerjakan yang terpenting pada saat itu yaitu peleburan bijih-bijih logam. Pada masa perundagian mereka telah membuat pembagian kerja dan telah muncul golongan-golongan undagi atau golongan yang terampil dalam melakukan suatu jenis usaha tertentu seperti pembuatan rumah kayu, pembuatan benda-benda logam, pembuatan perhiasan, dan lain sebagianya. Pustaka ini digunakan untuk mengungkapkan perkembangan peradaban logam yang meliputi benda-benda

(5)

perunggu yang ditemukan di Indonesia meliputi nekara, moko, bejana dan mata tombak.

2.2 Konsep

Konsep adalah pengertian abstrak yang digunakan para ilmuan sebagai komponen dalam membangun proposisi dan teori. Konsep juga digunakan dalam memberikan arti sebuah fenomena (Kountur, 2005: 88). Adapun konsep yang akan dijabarkan dalam penulisan adalah sebagai berikut.

2.2.1 Koleksi Logam Perunggu Prasejarah

Berdasarkan buku pedoman klasifikasi Koleksi Museum Negeri Provinsi Bali tahun 1993 ditetapkan koleksi museum dapat diklasifikasikan menjadi 10 jenis yaitu meliputi: Biologi, Geologi, Etnografi, Arkeologi, Historika, Numismatika dan Heraldika, Filologika, Keramilogika, Seni Rupa, dan Teknologi Modern (Wirata, 1995: 2).

Koleksi Museum Provinsi Bali sebagian besar terdiri atas benda-benda ethnografi berupa perlengkapan upacara agama, tari wali, bangunan suci dan masih memiliki kesamaan dengan yang masih berfungsi sakral di masyarakat dewasa ini.

Koleksi prasejarah terdapat di gedung timur lantai satu (lampiran gambar peta no. 4). Adapun peninggalan prasejarah pada gedung ini di bagi menjadi 4 masa yaitu: (1). Berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana, (2). Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut, (3). Masa bercocok

(6)

tanam, (4). Masa perundagian. Koleksi benda perunggu prasejarah merupakan benda-benda perunggu yang diciptakan pada zaman peasejarah diantaranya yaitu, kapak, ujung tombak, perhiasan diri: gelang tangan, gelang kaki, anting-anting, kalung, cincin, periuk, nekara, moko, dan giring-giring.

2.2.2 Museum Negeri Provinsi Bali

Museum Negeri Provinsi Bali adalah salah satu Unit Pelaksana Teknis Dinas Kebudayaan Provinsi Bali yang mempunyai tugas-tugas: mengumpulkan meneliti, merawat, dan memamerkan benda-benda budaya untuk tujuan pendidikan, penelitian, dan rekreasi/pariwisata.

Museum Negeri Provinsi Bali berdiri pada tanggal 8 Desember 1932 merupakan salah satu museum tertua di Indonesia. Bangunan Museum Negeri Provinsi Bali sendiri merupakan bangunan tradisional yaitu perpaduan antara pura dengan puri serta dilengkapi dengan tempat permandian, Bale Kulkul, Bale Bengong, Candi Bentar, Candi Kurung sehingga bangunan museum sendiri merupakan objek yang menarik (Wirata, 1995: 2).

Terletak di pusat Kota Denpasar, tepatnya di Jalan Mayor Wisnu di sebelah timur Lapangan Puputan Badung dan di sebelah selatan Pura Jagatnatha, membujur utara-selatan sepanjang 140 meter dengan pintu masuk menghadap ke barat atau ke Jalan Mayor Wisnu.

Berdasarkan koleksi yang dimilikinya Museum Bali termasuk salah satu museum provinsi yang memiliki, dan memamerkan benda-benda budaya sejak zaman prasejarah sampai kini yang mencerminkan seluruh unsur kebudayaan Bali

(7)

antara lain koleksi arkeologika, koleksi historika, koleksi seni rupa, dan koleksi ethnografika.

Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 Museum Negeri Provinsi Bali diambil alih oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali, karena keadaan situasi yang masih dalam serba awal dan menghadapi perang dengan NICA dan Jepang maka pada tanggal 5 Januari 1965 diserahkan pada pemerintah pusat di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan menjadi museum umum provinsi dengan nama Museum Negeri Provinsi Bali. Sejak otonomi daerah diberlakukan pada tahun 2000, Museum Negeri Provinsi Bali diserahkan kembali ke Pemerintah Propinsi Bali sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis Dinas Kebudayaan Propinsi Bali dengan nama UPTD Museum Bali berubah nama menjadi UPT. Museum Bali (Dinas Kebudayaan Pemerintah Provinsi Bali, 2011: 6).

2.2.3 Pengertian Ornamen

Istilah ornamen atau ragam hias berasal dari dua kata yaitu ragam dan hias yang terpadu menjadi satu pengertian yakni pola. Dalam bahasa Inggris disebut ornament dan dalam bahasa Belanda disebut siermotieven. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa, kata “ragam” itu bermacam-macam, jenis, corak, dan warna. Misalnya: kain yang banyak ragamnya, banyak warnanya, banyak coraknya, dan banyak jenisnya. Di dalam ragam hias banyak bermacam-macam pola hias (Senirupaunimed, 2009:3 ).

(8)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ornamen adalah hiasan yang dibuat (digambar atau dipahat) pada candi, gereja atau gedung lain (Alwi, 2001 : 804). Kata ornamen berasal dari bahasa latin yaitu ornare, yang berarti menghiasi. Menurut Gustami, ornamen adalah komponen produk seni yang ditambahkan atau sengaja dibuat untuk tujuan sebagai hiasan. Jadi berdasarkan pengertian itu, ornamen merupakan penerapan hiasan pada suatu produk. Bentuk-bentuk hiasan yang menjadi ornamen tersebut fungsi utamanya untuk memperindah produk atau barang yang dihias. Benda atau produk itu mungkin sudah indah, tetapi setelah ditambahkan ornamen pada benda tersebut diharapkan menjadi semakin lebih indah (Sunaryo, 2009: 3).

2.2.4 Bentuk Ornamen

Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga pengertian bentuk dapat diartikan menjadi empat, yaitu, gambaran, wujud, rupa, sistem dan susunan (Alwi, 2001:135). Berdasarkan uraian mengenai cara pemakaian kata-kata bentuk tersebut diatas, maka dalam kajian ini akan lebih mengacu kepada pemakaian kata bentuk, wujud, dan gambar.

Bentuk dalam penelitian ini adalah bentuk-bentuk ornamen pada benda-benda perunggu koleksi Museum Negeri Provinsi Bali, yang termasuk di bidang seni rupa, seni lukis, atau seni gambar yang dibangun dari susunan titik, garis, dan bidang yang dituangkan ke media perunggu yang berupa nekara, moko, tajak, mata tombak, dan giring-giring yang berupa simbol yang bermakna religious.

(9)

2.2.5 Makna Ornamen

Makna merupakan hasil interaksi dinamis antara tanda, interpretant, dan objek. Makna secara historis ditempatkan dan mungkin akan berubah seiring dengan jalannya waktu. Makna bukan konsep yang mutlak dan statis yang bisa ditemukan dalam kemasan pesan. Pemaknaan merupakan proses aktif para ahli semiotika menggunakan kata kerja seperti menciptakan, membangkitkan atau menegosiasikan untuk mengacu pada proses ini. Semua model makna memiliki bentuk yang secara luas mirip. Masing-masing memperhatikan tiga unsur yang ada dalam setiap studi tentang makna. Tiga unsur tersebut adalah a) tanda, b) acuan tanda, dan c) pengguna tanda. Salah satu penjabaran makna adalah makna denotasi dan makna konotatif. Makna denotasi bersifat langsung, yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Makna konotasi sedikit berbeda dan dihubungkan dengan kebudayaan yang tersirat dalam pembungkusnya tentang makna yang terkandung didalamnya. Makna konotasi dari beberapa tanda akan menjadi semacam mitos atau mitos petunjuk dan menekan makna-makna tersebut sehingga makna konotasi dalam banyak hal merupakan sebuah perwujudan yang sangat berpengaruh. Berbagai makna yang tersirat dalam sebuah bangunan yang dipengaruhi nilai budaya tertentu, dominan mengacu pada makna konotasinya (Mulyono dan Thamrin, 2008:2).

Kata “makna” dalam pembahasan ini dianggap sinonim dengan kata “arti”. Dalam penggunaanya, kata makna atau arti dapat berkonotasi teknis maupun fungsional. Dikatakan berkonotasi teknis apabila “arti“ itu dikaitkan dengan apa

(10)

yang dipresentasikan dengan kata, hal, atau benda tertentu, sedangkan konotasinya adalah fungsional apabila kata, hal, atau benda tertentu itu dikaitkan dengan suatu pengunaan atau kebermanfaatan (Sedyawati, 2006: 164).

Setiap elemen kebudayaan memiliki empat ciri pokok, yaitu bentuk, makna, manfaat, dan fungsi. Dalam hal ini makna suatu benda kebudayaan menyangkut asosiasi subjektif masyarakatnya. Dengan demikian makna yang diberikan pada suatu benda kebudayaan adalah berupa sejumlah gabungan gambaran angan-angan yang dihubungkan dengan sesuatu hal oleh masyarakat yang memiliki atau menciptakan benda tersebut (Kosapilawan, 2010: 9).

Makna yang dimaksud dalam penelitian ini adalah arti dari wujud hiasan yang terdapat pada benda-benda logam perunggu Museum Bali.

2.3 Landasan Teori

Teori merupakan suatu usaha untuk menerangkan atau menggambarkan pengamatan atau suatu ide untuk menerangkan bagaimana peristiwa itu bisa terjadi. Teori dalam penelitian selalu diperlukan guna mendekatkan permasalahan dengan hasilnya, sehingga tujuan dalam satu penelitian dapat tercapai. Pilihan antara satu atau dua teori harus dapat tercapai dengan tujuan yang telah ditentukan.

Penelitian-penelitian ilmiah pada umumnya dilakukan untuk menguji hipotesis. Yang dimaksud dengan hipotesis yaitu dugaan sementara tentang suatu fenomena dimana kebenarannya masih perlu diuji. Hipotesis yang dibuat harus didasarkan atas teori. Landasan teori memiliki sekurang-kurangnya tiga manfaat :

(11)

1. memperdalam pengetahuan tentang bidang yang diteliti,

2. mengetahui hasil-hasil penelitian yang berhubungan dengan yang sudah pernah dilaksanakan, dan

3. memperjelas masalah penelitian (Kountur, 2005: 71-72).

Melihat permasalahan yang ada sejumlah teori yang digunakan dalam menelaah objek penelitian. Perlu disadari juga tidak sepenuhnya teori yang ada dapat digunakan secara utuh tetapi hanya digunakan secara terpilih sesuai dengan masalah yang diteliti.

Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini akan menggunakan beberapa teori dalam mengungkapkan bentuk dan makna ornamen yang terdapat pada benda-benda perunggu prasejarah koleksi Museum Negeri Provinsi Bali.

2.3.1 Teori Semiotika

Istilah Semiotik atau semiologi yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti tanda atau sign. Semiotik adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya

Semiotic biasanya didefenisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengkomunikasikan informasi. Semoitik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta sinyal yang bisa diakses oleh indra kita (Wikipedia, 2011: 1).

Secara umum, semiotik didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari

(12)

sistem kode yang digunakan untuk mengkomunikasikan informasi. Cassirer membedakan antara tanda dan simbol. Tanda adalah bagian dunia fisik yang berfungsi sebagai operator yang memiliki substansial. Sementara simbol adalah bagian dari dunia makna manusia yang berfungsi sebagai designator. Simbol tidak memiliki kenyataan fisik atau substansial, tetapi hanya memiliki nilai fungsional. Tanda adalah bagian dari dunia fisik, simbol adalah bagian dari dunia makna manusia dan hanya memiliki nilai fungisional (Triguna, 2000: 8).

Ernest Cassirern menyebutkan manusia sebagai animal symbolicum, yakni mahluk yang mengunakan media berupa simbol kebahasaan dalam memberi arti dan mengisi kehidupannya. Oleh Cassirer, keberadaan manusia sebagai animal symbol dianggap lebih berarti dari pada keberadaan manusia sebagai mahluk berpikir, karena tanpa adanya simbol, manusia tidak akan mampu melangsungkan kegiatan berpikirnya. Selain itu dengan adanya simbol itu juga memungkinkan manusia bukan hanya untuk sekedar berpikir melainkan juga mengadakan kontak dengan realitas kehidupan di luar diri seraya mengabdikan hasil berpikir dan kontak itu kepada dunia.

Semiotika merupakan bidang studi yang khusus mempelajari tentang tanda dan cara tanda-tanda bekerja. Dalam memahami studi tentang makna setidaknya terdapat tiga unsur utama yakni; (1). Tanda, (2). Acuan tanda, dan (3). Pengguna tanda. Tanda adalah sesuatu yang bersifat fisik, bias dipersepsi indra kita, tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri, dan bergantung pada penegenalan oleh penggunannya sehingga di sebut tanda (Amminuddin, 1988:16).

(13)

Melalui teori semiotika ini diharapkan mampu untuk mengungkapkan makna dari bentuk-bentuk ornamen pada bejana, mata tombak, moko, tajak, giring-giring, dan nekara di Museum Negeri Provinsi Bali.

2.3.2 Teori Simbol

Simbol-simbol adalah ekspresi alami manusia yang mendasar dan muncul di segala zaman, tempat dan budaya. Simbol-simbol kuno pun masih memiliki kekuatan berbicara kepada dimensi intelektual, emosional, dan spiritual individu dan kelompok. Komunikasi manusia terutama tergantung pada tanda-tanda dalam bentuk kata-kata lisa, gambar-gambar atau gerakan tubuh. Simbol-simbol ini secara sadar mewakili realitas yaitu benda, kegiatan dan konsep-konsep disekitar kita.Namun selain itu ada aspek simbolisme yang berhubungan dengan dunia spiritual dan alam bawah sadar kita, dimana simbol dapat mewakili kebenaran dan kearifan yang memdalam yang tidak dapat diekspresikan secara langsung. Semua peradaban mengakui kekuatan dan daya imajinasi simbol dan menggunakannya dalam seni, agama, ritual, dan seni mereka (Dillistone, 2002: 10).

Kata simbol berasal dari kata kerja bahasa Yunani sym-bollein yang berarti mencocokkan atau menghubungkan antara dua bagian atau dua entitas yang berbeda (Dillistone, 2002: 21).

Hampir tidak mungkin masyarakat tanpa simbol (lambang). Setiap komunikasi dengan bahasa atau sarana yang lain, menggunakan lambang-lambang. ”Manusia adalah animal symbolicum” kata Ernst Cassirer. Hanya dengan menggunakan lambang-lambang manusia dapat mencapai potensi dan

(14)

tujuan tertinggi hidupnya. Ungkapan simbolis merupakan jalan menuju kebebasan yang berdaya cipta. Bagi Thomas Mann, “Hidup yang menggunakan lambang berarti kebebasan sejati”.

Simbol merupakan alat yang kuat untuk memperluas penglihatan kita, merangsang daya imajinasi, dan memperdalam pemahaman. Bagi Whitehead simbol mengacu kepada makna; bagi Goethe simbol menggambarkan yang universal; bagi Coleridge simbol berpartisipasi dalam realitas; bagi Toynbee simbol menyinari realitas; bagi Goodenough simbol mendatangkan transformasi atas apa yang harfiah dan lumrah; bagi Brown simbol menyelubungi simbol ke-Allah-an. Sebuah simbol sendiri dapat dipandang sebagai: 1). Sebuah kata atau barang atau tindakan atau peristiwa atau pola, atau pribadi atau hal yang konkret, 2). Yang mewakili atau menggambarkan atau mengisyaratkan atau menandakan atau menyelubungi atau menyampaikan atau mengungkapkan atau berkesesuaian atau berhubungan dengan atau mengacu kepada atau berkaitan dengan, 3). Sesuai yang lebih besar atau transenden atau tertinggi atau terakhir; sebuah makna, realitas, suatu cita-cita, nilai, prestasi, kepercayaan, masyarakat, konsep, lembaga, dan suatu keadaan. Pola ini menyingkapkan bahwa nomor 1 lebih dapat dilihat, lebih dapat didengar, lebih dapat diraba, lebih dekat, lebih konkret daripada no 3. Fungsi simbol menurut defenisi-defenisinya ini yaitu untuk menjembatani jurang antara dunia nomor 1 dan dunia nomor 3, jadi sebuah simbol menghubungkan atau menggabungkan (Dillistone, 2002: 17).

Simbol berkembang dalam kehidupan manusia beserta perkembangan pemikiran, pandangan hidup, dan budayanya. Simbol erat kaitannya dengan

(15)

manusia yang mempunyai kesadaran diri dan dorongan untuk mengetahui tentang dirinya sendiri termasuk tujuan hidupnya. Menurut Austin Farrer, manusia senantiasa dan dimana pun bergulat dengan bayang-bayangan tak terbatas, berupaya untuk melihat dan melapaui bayangan-bayangan itu, realitas yang disimbolkan. Karena itu simbol memiliki peran penting dalam hidup manusia. Menurut Paul Tillich simbol memliki empat ciri khas yang berhubungan dengan manusia, 1). Simbol berfungsi seturut dengan ciri khas yang membedakan simbol dengan tanda, 2). Simbol membukakan kepada manusia adanya tingkat-tingkat realitas yang tidak dapat dimengerti dengan cara lain, 3). Simbol membuka dimensi-dimensi roh batiniah manusia sehingga terwujud suatu korespondensi atau korelasi dengan segi-segi realitas tertinggi, dan 4). Simbol mirip dengan mahluk hidup: muncul dari kegelapan, dan hidup oleh karena hubungan dengan suatu kebudayaan khusus. Karena itu simbol tidak terpisahkan dengan suatu kebudayaan masyarakat tertentu. Dalam masyarakat simbol memiliki tempatnya karena berkembang dan turut mengembangkan kebudayaan sehingga manusia semakin mengenali realitas dirinya dan realitas yang tertinggi (Dillistone, 2002: 124).

Setelah mengetahui peran simbol dalam hidup manusia menurut uraian Tillich, kondisi manusia tanpa simbol dapat dibayangkan. Apabila kehilangan simbol dalam kehidupannya manusia tidak sanggup memahami realitas yang tertinggi dan dimensi-dimensi baru dalam realitas dan subjek pemandang (Dillistone, 2002: 128).

(16)

Menurut Dillistone simbol memiliki empat ciri khas yang dirangkum dari essai-essai karangan Paul Tillich yaitu,

1. Simbol bersifat figuratif. Simbol selalu menunjuk kepada sesuatu di luar dirinya sendiri, sesuatu yang tingkatannya lebih tinggi.

2. Simbol bersifat dapat diserap baik sebagai bentuk objektif maupun sebagai konsepsi imajinatif.

3. Simbol memliki daya kekuatan yang melekat. Pada titik ini simbol dapat dilihat sebagai sesuatu yang memiliki daya dan kekuatan. Simbol dapat menarik manusia masuk dalam pengalaman ketersingkapan realitas-realitas yang lebih tinggi atau lebih dalam. Pengalaman seperti ini dapat dialami dalam pengalaman mistis atau artistis.

4. Simbol memiliki akar dalam masyarakat dan mendapat dukungan dari masyarakat (Dillistone, 2002: 127).

Melalui keberadaan simbol manusia menjadi mampu untuk mengenal dan memahami realitas tertinggi yang terungkap lewat simbol (Dillistone, 2002: 144).

2.3.3 Teori Estetika

Estetika dengan ungkapan lain adalah “teori kesenian”, “filsafat seni” atau “teori keindahan” merupakan bagian penting dari pranata kesenian dan pranata kesenian tersebut dapat dilihat sebagai salah satu keterpaduan sistemik. (Sedyawati, 2006: 125).

Tujuan orang melakukan seni adalah sebagai sasaran langsung ataupun sebagai sasaran antara bertujuan untuk menghadirkan keindahan. Dikatakan

(17)

sasaran langsung apabila penikmat seni memang menjadi tujuan utama atau tujuan satu-satunya, sedangkan sasaran itu dikatakan sasaran antara apabila tujuan utama dari kegiatan berseni itu adalah sesuatu di luar penikmatan seni itu sendiri, melainkan misalnya pencapaian tujuan-tujuan keagamaan (Sedyawati, 2006: 127). Teori estetika sebagai pengetahuan diketengahkan oleh Thomas Munro; ia mengetengahkan bahwa menganggap seni sebagai ilmu pengetahuan berarti bertentangan dengan teori klasik dari Plato dan Aristoteles yang cenderung kepada pandangan filsafat.

Kebanyakan orang menganggap bahwa suatu karya seni harus mampu mengungkapkan diri melalui tata bentuknya sehingga dapat dipahami maknanya. William Bossart mencoba mendiskusikan pengertian bentuk suatu karya seni, yang menurutnya pertama-tama haruslah bersifat ekspresif, yaitu sebagai perwujudan kualitas emosional tertentu yang menyebabkan karya itu bisa di pahami tanpa harus menggali pengalaman lampau dari si pengamat. Seperti halnya dalam konteks „permainan‟ seni menolak tiap penjelasan lebih lanjut tentang bentuk dan pengertiannya, lewat bentuknya itulah seni membuka diri bagi kontemplasi estetis (Setjoatmodjo, 1988: 4).

Sumber dan kualitas impuls kreatif pada diri si seniman pada waktu menciptakan karya seni, telah diteliti oleh Mounro Beardsley. Menurut Breadsley proses kreatif adalah kegiatan fisik dan mental yang berlangsung sejak munculnya „insep‟ sampai penyelesaian final yaitu selang waktu bagaimana karya seni itu menentukan eksistensinya serta memiliki sifat-sifatnya melalui tahapan mencipta. Proses kreatif adalah laksana suatu “penjelajahan” yang terarah kepada tujuan

(18)

tertentu, kreasi artistik tidak lain adalah penciptaan sesuatu objek yang “self-creative” (Setjoatmodjo, 1988:5)

Untuk mendapatkan kejelasan apakah seni itu merupakan ekspresi atau isi dari sesuatu emosi C. J. Ducasse mencoba menelaah masalah bahasa emosi dalam kaitanya dengan seni. Apakah mungkin ada pengalaman estetis yang ditimbulkan karya seni dengan perasaan si seniman yang diekspresikan lewat objek ciptaannya? Menurut Ducasse, seni adalah aktivitas yang punya tujuan yang terkontrol, yang bermaksud menciptakan suatu objek yang punya kemampuan merefleksi terhadap penciptanya. Bila ia mengkontempletasi import emosionalnya, image perasaanlah yang melahirkan bentuk dan isi spesifik bagi objek; objek itulah yang akan membangkitkan perasaan estetis yaitu bahasa perasan si seniman yang diekspresikan lewat karyanya.

Proses penciptaan karya seni adalah proses komunikasi, proses ekspresi, yaitu memindahkan perasaan supaya dapat di tanggapi pihak lain sehingga mengalami perasaan yang sama demikian menurut Herbert Read. Fungsi seni itu adalah untuk mengekspresikan perasaan dan memindahkan pengertian.

Menurut Edgar De Bruyne tentang asal mula seni dan perkembangannya berpendapat bahwa seni bukan gejala yang serba mewah, bukan untuk kegunaan praktis juga bukan semata-mata permainan atau pengutipan. Seni menyangkut kesadaran terhadap rasa nilai dan merupakan penciptaan tata bentuk yang di sengaja dan terencana. Seni membabarkan pengertian yang hidup diantara bentuk dan tata nilai. Sekalipun kehidupan manusia terus berubah namun perkembangan seni tidak mesti sejalan dengan perkembangan kebudayaan. Seni yang bercorak

(19)

primitif bisa saja muncul dalam era kebudayaan dan teknologi modern (Setjoatmodjo, 1988:6).

Seni mengandung unsur-unsur praktis maupun estetis tetapi tanpa lebih dari itu ia tidak dapat dikembalikan kepada sumber dari kepuasan estetis maupun kepada kegunaan sebagai peralatan praktis, yang karena dirinya sendiri, dan terlepas dari setiap pengaruh terhadap kesadaran, akan tunduk kepada tujuan-tujuan kehidupan seni menyangkut kesadaran baik pada diri seniman maupun pada diri manusia yang disuguhinya, tetapi kesadaran ini agar supaya seni dapat dirasakan sebagai gejala khusus terhadap tata bentuk, rasa kefakuran terhadap Tuhan (Setjoatmodjo, 1988: 88)

Pada dasarnya seni merupakan gejala yang rumit seperti halnya kehidupan manusia. Seni tersusun atas berbagai unsur, yang tunduk pada hukum-hukum kejiwaan dan pengaruh-pengaruh dari luar. Seperti halnya manusia yang perhatian dan tingkah lakunya berpindah dari suatu objek ke objek lain, sesuai dengan kepercayaannya saat itu. Demikian pula dengan minat artistic berbagai bangsa yang juga berpindah-pindah dari aspek satu ke aspek lain. Kaidah pembagian seni sebagian dapat diduga dan ditentukan sejauh ia bersamaan dengan kaidah-kaidah kehidupan, kesadaran dan kejiwaan.

Berdasarkan penjelasan di atas maka jelaslah bahwa benda-benda perunggu koleksi Museum Bali seperti nekara, moko, tajak, giring-giring, merupakan benda seni yang sengaja dibuat oleh seorang seniman dan telah melewati dan merupakan proses kreatif seni yang dibuat secara sadar, terkontrol, terarah dan terencana. Dikatakan termasuk benda seni karena benda-benda ini

(20)

dipakai saat-saat tertentu saja misalnya pada saat upacara. Benda-benda ini bisa mengandung tujuan praktis, non praktis, estetis dan non estetis dalam proses pembuatannya. Benda-benda ini dibuat dengan ketaatan terhadap hukum-hukum yang berlaku dan mendapat pengaruh dari luar (Setjoatmodjo, 1988: 89).

2.4 Model Penelitian

Model penelitian merupakan penggambaran yang bersifat penyederhanaan dari suatu keadaan atau fenomena rumit di lapangan berkenaan dengan objek penelitian. Model penelitian lazimnya dikemukakan dalam bentuk gambar (bagan, grafik, atau bentuk gambar lainnya) disertai dengan penjelasan model dan keterangan mengenai tanda-tanda yang digunakan dalam model.

Data yang telah dikumpulkan dari hasil pengamatan wawancara, dan dokumen (gambar/foto) ini sesuai dengan tipe penelitian deskriptif. Maka data tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif. Selanjutnya model penelitian dilukiskan dalam bagan seperti di bawah ini ;

(21)

2.1. Model Penelitian KOLEKSI BENDA-BENDA PERUNGGU PRASEJARAH BENTUK ORNAMEN - Kedok - Tumpal - Pilin Berganda -Garis-Garis -persegi -Persegi Panjang -Belah Ketupat - Katak - Rusa -Buah Paria - Bintang -Matahari

MUSEUM NEGERI PROVINSI BALI

-Tajak -Nekara -Moko -Bejana -Mata Tombak -Giring-giring MAKNA

-Pemujaan kepada arwah leluhur -Berkaitan dengan alam bawah -Kekuatan gaib atau magis -Kewibawaan

(22)

Keterangan Bagan

Bagan diatas dapat dijelaskan bahwa, Museum Negeri Bali memiliki koleksi arkeologi, berupa koleksi perunggu prasejarah. Adapun benda-benda perunggu ini meliputi bejana, mata tombak, moko, giring-giring, tajak, dan nekara.

Benda-benda perunggu di Museum Negeri Provinsi Bali ini akan dikaji dari bentuk dan makna ornamennya. Penelitian ini dilakukan yakni dengan harapan dapat memecahkan dan memberikan kejelasan tentang bentuk-bentuk ornamen prasejarah, dan makna dari ornamen tersebut. dengan terungkapnya bentuk ornamen maka akan semakin jelas makna yang terkandung didalamnya, yakni makna Pemujaan kepada arwah leluhur, makna berkaitan dengan alam bawah, makna kekuatan gaib atau magis, dan makna Kewibawaan.

Referensi

Dokumen terkait

Namun, untuk memenuhi asas konservatif dalam pencatatan sesuai dengan ketentuan prinsip akuntansi yang berlaku umum, pada tanggal 30 September 2009, Perusahaan

The Effect of Family Therapy with Spiritual Approach Toward Family’S Health Belief Model in Taking Care of Patient with Schizophrenia. Terapi Keluarga Dengan Pendekatan

Penelitian dengan judul “Pengaruh Bauran Pemasaran Terhadap Keputusan Pembelian Obat Generik di Apotek SAIYO FARMA Jombang” ini dilakukan untuk mengetahui

Kecamatan Bandar Dua seluas 1.935,29 Ha, terdiri dari Gampong Blang Dalam, Gampong Pulo, Gampong Uteun Bayu, Gampong Jeulanga Barat, Gampong Alue Keutapang,

Melihat kondisi yang terjadi pada J&J Travel maka kami mengusulkan untuk mengembangkan metode sistem reservasi manual menjadi sistem reservasi berbasis aplikasi

Dalam pelaksanaannya, siswa akan terlibat secara intelektual dan emosional dalam pembelajaran, siswa akan terdorong untuk mengonstruksi sendiri konsep yang sedang

Menganalisis akurasi metode non-parametrik CTA dengan teknik data mining untuk klasifikasi penggunaan lahan menggunakan citra Landsat-8 OLI serta menerapkan hasil dari KDD

Hasil penelitian menunjukan bahwa terjadi penurunan pernikahan usia muda di tahun 2015 dengan perbandingan tahun 2011, tingginya pernikahan usia muda sebagian besar