• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA UMUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA UMUM"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Menurut Chantler dan Driessens (1995), taksonomi burung walet linchi adalah sebagai berikut :

Class : Aves Subclass : Neornithes Superorder : Apodimorphae Order : Apodiformes Family : Apodidae Subfamily : Apodinae Tribes : Collocaliini Genus : Collocalia

Species : Collocalia linchi (Horsfield and Moore, 1854)

Distribusi

Burung walet linchi dapat ditemukan di seluruh Pulau Jawa, Madura, Bawean, Kangean, Nusa Penida, Bali dan Lombok, Sumatra Utara, Lampung. Sementara di Sumatra Barat dan semenanjung Malaysia belum diperoleh data mengenai keberadaan walet linchi (Chantler and Driessens 1995).

(2)

Gambaran Umum

Burung walet linchi mudah dibedakan dari spesies walet lainnya karena ukurannya yang kecil dengan panjang tubuh 10 cm, bulu beraspek mengkilat dan secara khusus terdapat warna putih di daerah abdomen yang kontras dengan tubuh bagian atas yang berwarna hitam kecoklatan (Chantler and Driesens 1995).

Burung walet linchi jantan dan betina tidak dapat dibedakan dari penampilan luar. Burung walet linchi memiliki iris mata berwarna coklat gelap, dan paruh serta kaki berwarna hitam. Suaranya melengking tinggi, yang biasa terdengar di daerah dekat tempat berkembang biak. Burung ini memiliki kaki pendek dan lemah dengan kuku-kuku yang runcing tajam (Mackinnon 1990). Paruh berbentuk segitiga dengan bagian ujung membentuk lengkungan ke bawah, bentuk paruh seperti ini sangat sesuai untuk menangkap serangga yang sedang terbang (BPRSB 1979).

Secara umum, burung walet mempunyai sayap berbentuk bulan sabit, memanjang dan runcing serta ekornya pendek persegi atau panjang meruncing. Di areal yang luas burung ini mampu terbang lincah dan cepat dengan kecepatan dapat mencapai 160 km/jam. Sebagian besar waktunya digunakan untuk terbang, baik itu untuk mencari makan sampai kepada aktivitas kawin. Ketika memangsa, burung ini mengandalkan penglihatannya yang sangat tajam untuk memburu dan menangkap mangsa. Mereka jarang bertengger di pohon tetapi biasanya beristirahat dengan cara bergantung pada batu-batu karang dengan menggunakan cakarnya yang tajam. Burung walet dapat hidup sampai umur 14 tahun (rata-rata umur sriti 10 – 20 tahun) (Mardiastuti et al. 1998).

Habitat

Habitat adalah tempat-tempat yang dapat digunakan untuk mencari makan, minum dan berkembang biak yang dapat membentuk suatu kesatuan. Berdasarkan fungsi, habitat terbagi menjadi habitat untuk mencari makan (feeding habitat), habitat untuk istirahat (roosting habitat) dan habitat untuk berbiak (nesting habitat) (Marzuki et al. 2000).

Habitat mencari makan walet merupakan perpaduan 50% sawah/padang rumput, 20% lahan basah dan 30% daerah berhutan. Jika sawah dan lahan basah

(3)

dikategorikan bersama sebagai lahan basah, maka komposisi menjadi 70% lahan basah dan 30% wilayah berhutan. Habitat untuk istirahat dan berbiak adalah di gua (Marzuki et al. 2000).

Menurut Sumiati (1998), habitat walet linchi terbagi atas habitat makro dan mikro. Habitat makro adalah kawasan mencari makan, yaitu padang rumput, persawahan, perladangan, perkebunan, hutan dan perairan yang terdapat serangga terbang dengan ketinggian lebih dari 1000 m dpl. Habitat mikro adalah kawasan bermukim, yaitu rumah, kolong jembatan dan gua alam. Kondisi yang disukai walet linchi adalah suhu udara 20°-34°C dan cahaya tidak terlalu terang.

Perilaku Makan

Walet adalah aerial insectivora, yaitu jenis burung yang menangkap pakan serangga pada saat terbang. Tubuhnya didesain sebagai penerbang yang sangat efisien dan mampu terbang secara terus menerus pada saat mereka berada di luar gua atau rumah walet. Makanannya berupa serangga-serangga kecil yang ditemui pada saat terbang. Walet mempunyai kemampuan manuver rendah, sehingga tidak dapat terbang pada tempat-tempat yang sempit atau di bawah kanopi hutan. Oleh karena itu tempat-tempat yang digunakan untuk mencari makan adalah daerah terbuka dengan ketinggian dimana serangga masih dapat ditemukan. Walet mencari makan sepanjang pagi sampai sore hari. Setelah seharian mencari makan, walet akan beristirahat di sarang atau membuat sarang pada musim berbiak (Chantler and Driesens 1995). Sarang dibuat setiap tahun menjelang akan bertelur pada musim berbiak, dan digunakan untuk mengerami telur dan memelihara anaknya sampai dapat terbang. Setelah itu sarang tetap digunakan sebagai tempat istirahat. Apabila sarang rusak atau diambil, maka pasangan sriti akan membuat sarang baru di tempat yang sama.

Makanan utama walet linchi adalah serangga dari Ordo Hymenoptera (73%) dan beberapa jenis Coleoptera (12.06%), Diptera (9.4%), Homoptera (3.7%) dan Hemiptera (0.4%) (Adriana 1997). Diantara jenis serangga tersebut, yang terbanyak dikonsumsi oleh walet adalah golongan ordo Hymenoptera (semut terbang), yaitu mencapai hampir 90% dari total pakan walet (Mardiastuti et al. 1998).

(4)

Perilaku Bersarang

Walet merupakan burung monogami, walet berpasangan secara tetap setiap selama beberapa musim biak dan kembali pada tempat bersarang yang sama pada musim berbiak (Chantler and Driesens 1995). Burung jantan dan betina bersama-sama membuat sarang dengan menggunakan saliva sebagai bahan perekat. Waktu yang dibutuhkan dalam proses pembuatan sarang adalah 60-70 hari tergantung musim kemarau atau penghujan (Sumiati 1998). Jumlah telur dalam setiap sarang 2 butir dan dierami selama 20 - 30 hari. Burung jantan dan betina bersama-sama menjaga sarang. Anakan burung diberi makan serangga dari mulut induknya. Setelah berusia 7-8 minggu anak burung sudah dapat terbang dan akan pergi meninggalkan sarangnya.

Musim berbiak walet adalah mulai dari burung membuat sarang, bertelur, mengerami serta merawat sampai anak burung dapat terbang dan meninggalkan sarang. Musim berbiak walet adalah pada musim hujan pada saat ketersediaan bahan makanan banyak (Mardiastuti et al. 1998).

Pada burung, hormon yang mempengaruhi perilaku bersarang dan mengerami telur adalah hormon prolaktin. Hormon prolaktin diproduksi oleh sel laktotrop yang bersifat asidofilik pada adenohipofise. Secara umum, prolaktin berperan penting dalam proses sintesis air susu dari kelenjar mamae pada mammalia, dan mempunyai banyak fungsi yang berhubungan dengan pertumbuhan, osmoregulasi, metabolisme lemak dan protein, reproduksi dan parental behavior (Brown 1994).

Sarang Walet Linchi

Sarang yang dihasilkan oleh walet linchi merupakan sarang tipe rumput, karena terbuat dari material tumbuhan yang direkatkan oleh saliva. Berbagai tumbuhan yang dapat dijadikan bahan sarang antara lain rumput, daun-daunan dan tulang daun dari pohon flamboyan Delonix regia, serta daun pohon cemara laut Casuarina equisetifolia (Soehartono dan Mardiastuti 2003). Contoh sarang yang diperoleh dari Jawa Barat komposisinya adalah saliva (59.6%), daun pinus (36.1%), ijuk (3.0%) dan sedikit bulu (Mulyadi 1997). Pada saat ini, telah ditemukan teknologi untuk memisahkan saliva dengan bahan sarang lainnya.

(5)

Berdasarkan analisis yang dilakukan Mulyadi (1997) sarang walet linchi memiliki kandungan: nitrogen (8.25%), fosfor (0.032%), kalium (0.383%), kalsium (1.028%), ferrum (360.0 ppm), natrium (0.476%), karbohidrat (17.43%), lemak (0.066%), berat kasar (0.232%), protein (51.680%), abu (12.193%), kadar air (18.652%), vitamin C (2.015 mg/g), vitamin A (13.206 IU/g). Hasil analisis ini tidak berbeda jauh dengan penelitian Kang et al. (1991) dalam Mardiastuti et al. (1998), yang menyatakan sarang burung walet mengandung 50-60% protein, 20% karbohidrat, 10% air dan mineral termasuk kalsium, fosfor, potasium dan sulfur. Analisis kimia sarang walet dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Analisis kimia sarang walet

Sarang burung walet banyak diminati masyarakat karena khasiatnya yang dipercaya dapat menjaga kesegaran tubuh, mengatasi penyakit pernafasan, meningkatkan vitalitas dan awet muda serta memelihara kecantikan. Selain itu juga dapat mempercepat laju metabolisme, memperbaiki sistem pencernaan dan penyerapan zat-zat makanan (Kang et al. 1991).

Unsur C. linchi (Mulyadi 1997) C. fuciphaga (Mardiastuti et al. 1998) Protein 51.68 % 50.8 % Air 18.65 % 19.9 % Karbohidrat 17.43 % 18.3 % Nitrogen 8.25 % 8.1 % Kalium 0.38 % 1.7 % Kalsium 1.1 % 1.6 % Fosfor 0.03 % 0.02 % Ferrum 360 ppm 138 ppm Natrium 0.47 % 0.03 %

Vitamin A 13.206 IU/g 9.1 IU/g

(6)

Kelenjar Saliva

Kelenjar saliva merupakan salah satu kelenjar asesori dalam sistem pencernaan. Kelenjar ini berfungsi utama menghasilkan saliva. Saliva merupakan campuran sekreta kelenjar saliva utama (kelenjar saliva mayor), yaitu kelenjar mandibularis dan kelenjar angularis oris dan sedikit sekreta dari kelenjar yang terdapat pada rongga mulut (kelenjar saliva minor), yaitu kelenjar lingualis, kelenjar sublingualis, kelenjar palatina, kelenjar cricoarytenoideus dan kelenjar sphenopterygoideus (Farner 1972).

Saliva sebagian besar tersusun dari air (99,4%) dan sisanya (0.6%) terdiri dari elektrolit (Na+, Cl-, HCO3-), buffer, glukosa dan glikoprotein (karbohidrat kompleks seperti enzim dan antibodi) (Ross et al. 1995). Glikoprotein merupakan mucin yang berfungsi sebagai pelumas. Buffer pada saliva berupa ikatan bikarbonat yang berfungsi untuk menjaga agar pH mulut selalu mendekati 7 (kondisi netral) dan mencegah pertumbuhan bakteri yang bersifat asam. Saliva mengandung antibodi (IgA) dan enzim antibakteri lisozim (Martini 2006).

Burung sriti tidak mempunyai tembolok sehingga proses pencernaan makanan hanya tergantung pada saliva dan kelenjar lambung (Novelina et al . 2009). Saliva pada unggas berfungsi terutama untuk membantu membasahi dan melunakkan makanan yang kering dan sebagai media untuk memecah dan mengencerkan bahan makanan. Pada burung pemakan biji-bijian dan pemakan serangga, kelenjar saliva berkembang lebih baik dibandingkan burung pemakan daging (Proctor and Lynch 1993). Fungsi lain kelenjar saliva adalah sebagai bahan perekat material untuk pembuatan sarang burung pada burung walet (King and McLelland 1984).

Struktur kelenjar saliva pada umumnya terdiri dari ujung-ujung kelenjar yang tersusun dari sel-sel asinar dan alat penyalur (duktus). Jumlah sel asinar pada kelenjar saliva sekitar 91% dari jumlah total sedangkan 9% terdiri atas duktus, pembuluh darah, syaraf dan jaringan ikat (Dellmann 1993; Ross et al. 1995). Kelenjar saliva mempunyai dua tipe sel sekretoris, yaitu sel mukus dan sel sereus. Sel-sel mukus mempunyai inti berbentuk pipih dan terletak pada sel basal. Sel sekretori tersusun dalam bentuk asinar. Sel sereus berbentuk piramidal, dengan inti bulat dan terletak di tengah. Juncquiera dan Carneiro (1980)

(7)

menyatakan bahwa selain sel mukus dan sereus terdapat sel-sel seromukus yang memiliki inti bulat dan sitoplasma bersifat basofilik.

Kelenjar saliva dilapisi oleh kapsula jaringan ikat, yang membentuk lobulus. Sekresi kelenjar saliva disalurkan ke rongga mulut melalui duktus. Lapisan epitelium dari duktus berfungsi mereabsorbsi elektrolit terutama sodium dan klorida, sehingga produk akhir saliva bersifat hipotonik dengan konsentrasi mukus berbeda pada berbagai kelenjar saliva. Kelenjar saliva unggas lebih banyak mengandung mukus untuk membantu melumasi makanan pada saat proses menelan. Sekresi kelenjar saliva dikontrol oleh sistem syaraf otonom, masing-masing kelenjar saliva diinervasi oleh syaraf parasimpatis (N. facialis dan N. glossopharyngealis) dengan stimulasi sel melalui jalur reseptor kolinergik (Cunningham 1997) dan syaraf simpatis melalui jalur reseptor adrenergik (Martini 2006; Brown 1994).

Organ Reproduksi Unggas

a. Organ Kelamin Jantan

Testis unggas secara umum berbentuk oval terletak di ruang perut. Testis terletak di cranioventral ginjal dan bagian caudal berbatasan dengan vena iliaca. Testis digantung oleh mesenterium yang terbentang dari dasar ruang perut antara ginjal dan aorta. Mesenterium ini menempel pada permukaan testis dan bagian ventral epididimis. Testis berada di dalam kantong udara abdominal. Testis mendapat suplai darah dari cabang arteri renalis (King 1975 dalam Getty). Testis diselaputi oleh tunika albugenia. Septum testis tidak terlihat jelas. Tubulus seminiferus unggas menyerupai mamalia yaitu terdiri dari sel-sel Sertoli, spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder, spermatid dan spermatozoa. Tidak seperti mamalia, jaringan ikat antar tubuli seminiferi sangat tipis dan sel–sel intersisial (Sel Leydig) sedikit jumlahnya. Sel-sel interstisial membentuk kelompok kecil, berbentuk polihedral dengan inti bulat dan sitoplama bergranul (King and McLelland 1975).

Epididimis terdiri atas duktus eferens, duktus konektikus dan duktus epididimis. Duktus eferens disusun oleh epitel kubus bersilia yang membentuk lipatan-lipatan, duktus konektikus dan duktus epididimis disusun oleh epitel kubus

(8)

tak bersilia. Seluruh tubulus dibungkus oleh jaringan ikat. Di bagian akhir epididimis, duktus epididimis berhubungan dengan vas deferens (alat penyalur sperma) dan organ kopulasi serta bermuara pada kloaka (King and McLelland 1975; Bacha and Bacha 2000).

b. Organ Kelamin Betina

Pada unggas, ovarium dan oviduk kanan mengalami degenerasi sehingga pada unggas dewasa hanya ada ovarium dan oviduk kiri. Ovarium terdiri atas korteks dan medulla. Mencapai masa pubertas, batas antara korteks dan medulla hilang. Korteks menjadi zona parenkimatosa yang banyak mengandung folikel-folikel, sedangkan medulla menjadi zona vaskulosa yang mengandung pembuluh darah, syaraf dan otot polos. Folikel perkembangan di zona parenkimatosa menghasilkan hormon estrogen yang berperan dalam proses pertumbuhan dan aktivitas oviduk serta merangsang sifat-sifat karakteristik kelamin. Hormon-hormon lain yang disekresikan oleh ovarium adalah Hormon-hormon androgen yang dihasilkan oleh sel-sel intertsisial ovarium dan progesteron yang dihasilkan dari folikel pasca ovulasi (King and McLelland 1975)

Seperti pada mamalia, pembelahan pertama (pembentukan oosit sekunder dan badan kutub pertama) terjadi dengan lengkap ketika oosit primer tetap berada di dalam folikel (sekitar 2 jam sebelum ovulasi). Luteinizing hormone (LH) menginduksi kontraksi otot polos folikel mengakibatkan robeknya stigma dan terjadi ovulasi. Pembelahan kedua (pembentukan ovum dan badan kutub kedua) terjadi pada saat oosit berada di oviduk. Penetrasi spermatozoa biasanya terjadi 15 menit setelah kopulasi dan diikuti proses fertilisasi (King and McLelland 1975).

Oviduk unggas terdiri atas infundibulum, magnum, isthmus, uterus dan vagina. Dinding oviduk tersusun atas serosa, muskularis mukosa, lamina propria dan epitel. Lamina propria mengandung sel-sel kelenjar. Infundibulum berbentuk menyerupai corong. Magnum merupakan bagian oviduk terpanjang, mengandung sel-sel kelenjar yang memproduksi albumin. Lipatan mukosa lebih banyak dan lebih panjang dibandingkan infundibulum. Lipatan mukosa tersusun atas sel epitel kubus banyak lapis bersilia dan sel goblet. Isthmus merupakan bagian yang

(9)

pendek dengan diameter yang lebih sempit dibanding magnum. Isthmus tersusun atas sel epitel kubus banyak lapis bersilia dan sel goblet. Pada bagian isthmus telur mendapat membran dalam dan membran luar. Dinding uterus tidak terlalu tebal dibandingkan oviduk, disusun oleh sel epitel kubus banyak lapis bersilia dan sel goblet. Pada uterus terjadi penambahan kulit telur yang keras. (Swenson 1980; Bacha and Bacha 2000).

Gambar 5 Skema alat kelamin jantan dan betina pada unggas (Modifikasi dari Walker 1987).

Hormon Reproduksi

Gonad (testis dan ovarium) mensekresikan tiga hormon steroid yaitu androgen, estrogen dan progesteron. Aktivitas gonad diatur oleh hormon-hormon gonadotropin, yaitu follicle-stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH) yang diproduksi oleh kelenjar hipofise. Produksi hormon gonadotropin distimulasi oleh gonadotropin-releasing hormon (GnRH) dari hipothalamus. FSH pada betina berperan dalam pembentukan folikel di ovarium dan menstimulasi sekresi estrogen. Pada jantan, FSH menstimulir sel sustentakular (sel Sertoli), sel khusus yang terdapat dalam tubuli seminiferi testis. Sel ini berperan dalam proses diferensiasi dan pematangan sperma. Produksi FSH dihambat oleh hormon inhibin yaitu hormon peptida yang dilepaskan oleh testis dan ovarium. LH

(10)

menginduksi proses ovulasi. Pada jantan LH disebut juga sebagai interstitial cell-stimulating hormon (ICSH), karena sel ini menstimulir produksi hormon kelamin (androgen/testosteron) dari sel interstisial testis (Martini 2006). Hormon steroid merupakan derivat dari kolesterol, molekulnya kecil bersifat lipofilik (larut dalam lemak). Di dalam darah hormon ini berikatan dengan protein spesifik dalam plasma darah, sehingga hormon steroid akan lebih lama berada dalam sirkulasi darah (Martini 2006; Brown 1994). Hormon steroid berperan dalam pengaturan fungsi seksual.

Testis merupakan gonad jantan yang memproduksi androgen dari sel Leydig. Hormon androgen utama adalah testosteron. Sel Sertoli testis berfungsi dalam proses diferensiasi dan pematangan sperma. Di bawah stimulasi FSH, sel-sel ini mensekresikan hormon inhibin yang menghambat sekresi FSH dari lobus anterior hipofise dan menekan pelepasan GnRH dari hipothalamus. Ovarium memproduksi hormon estrogen dan progesteron. Estrogen dihasilkan oleh sel-sel granulosa folikel ovarium, sedangkan progesteron diproduksi oleh membran perivitelin. Estrogen dan progesteron bekerja secara sinergis (Brown 1994).

Hormon androgen disekresikan oleh korteks adrenal sedang testosteron disekresikan oleh sel-sel Leydig testis. Sementara itu hormon estrogen dan progesteron diproduksi oleh ovarium di samping juga oleh sel-sel Leydig testis. Keseimbangan hormon-hormon reproduksi merupakan faktor penting dalam mengontrol diferensiasi seksual. Androgen berperan dalam sintesa protein dan pertumbuhan pada kedua jenis kelamin. Kadar androgen yang tinggi diperlukan untuk pematangan gonad jantan dan organ-organ asesoris. Estrogen berfungsi untuk pematangan gonad betina dan membangun karakter sekunder seksual (Walker 1987). Musim kawin dan siklus reproduksi dikontrol dan diintegrasi oleh hipothalamus melalui sistem vena porta hipofise dan menstimulasi sekresi hormon gonadotropin (FSH dan LH) dari lobus hipofise anterior.

a. Hormon Reproduksi Jantan

FSH dan LH disekresikan oleh lobus hipofise anterior. Pada hewan jantan FSH berperan dalam perkembangan sel-sel tubuli seminiferi dan pematangan sperma selama musim kawin (Walker 1987). Target utama FSH

(11)

adalah sel Sertoli di tubuli seminiferi, yang berperan dalam proses spermatogenesis dan spermiogenesis serta mensekresikan androgen binding protein (ABD) (Martini 2006). LH bekerja pada sel-sel Leydig dan menginduksi sekresi testosteron. Testosteron masuk ke dalam tubuli seminiferi bergabung dengan ABD, selanjutnya berperan dalam proses perkembangan dan pematangan spermatozoa (Walker 1987).

b. Hormon Reproduksi Betina.

Hormon yang penting dari ovarium adalah estrogen dan progesteron. Estrogen merupakan hormon kelamin penting pada betina, meskipun kadarnya tidak terlalu tinggi pada jaringan ovarium maupun di dalam darah. Estrogen yang terdapat pada jaringan ovarium adalah adalah estrone (E1), 17ß-estradiol (17ß-E2) dan 17α-estradiol (17α-(17ß-E2). Pada unggas, estrogen yang berhasil dideteksi dengan metode Radioimmunoassay (RIA) adalah estron dan 17ß-estradiol (Sturkie 1976). Pada sistem reproduksi, estrogen dihasilkan terutama oleh sel-sel folikel berukuran kecil, berperan menginduksi sintesa protein kuning telur oleh hati serta bekerjasama dengan progesteron menyebabkan sekresi albumin, dan memobilisasi kalsium untuk pembentukan kulit telur. Selain itu, estrogen berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan folikel ovarium, yang memungkinkan pelepasan hormon yang berperan dalam dalam ovulasi.

Pada unggas progesteron disintesa oleh sel-sel granulosa dari folikel. Kadar progesteron meningkat sejalan dengan pertumbuhan folikel. Pada sistem reproduksi, progesteron menstimulasi sekresi LH praovulasi, sehingga ovulasi bisa terjadi, selain itu progesteron bersama estrogen diperlukan dalam pembentukan albumin pada saluran reproduksi (Sturkie 1976). Di bawah pengaruh kontrol hipothalamus, adenohipofise dari hewan betina memproduksi FSH dan LH pada musim kawin. Jumlah FSH meningkat terlebih dahulu dan mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan folikel ovarium. Estrogen disekresikan setelah folikel matang. Peningkatan kadar estrogen di dalam darah mempengaruhi hipothalamus untuk menginisiasi penurunan FSH dan menstimulasi peningkatan LH (Walker 1987).

(12)

Lektin

Glikokonjugat merupakan karbohidrat yang berikatan secara kovalen pada protein atau lemak dalam bentuk glikoprotein. Glikoprotein terdiri atas rantai peptida/protein atau lemak dengan residu gula berupa glukosa, galaktosa, manosa, N-asetilglukosamin, N-asetilgalaktosamin, fukosa atau asam sialat (Kiernan 1990). Glikokonjugat berperan penting dalam berbagai proses metabolisme tubuh, antara lain regenerasi dan diferensiasi sel, perlekatan dan komunikasi antar sel. Glikokonjugat terdapat pada semua jaringan tubuh hewan, terutama pada sekresi kelenjar dan permukaan sel (Goldstein et al. 1977).

Lektin merupakan protein yang dapat diisolasi dari tanaman dan hewan yang dapat memiliki afinitas yang tinggi terhadap residu gula spesifik. Lektin dapat berikatan dengan dua atau lebih karbohidrat tanpa menyebabkan terjadinya perubahan enzimatik. Lektin mempunyai afinitas terhadap residu monosakarida dari glikoprotein. Prinsip ikatan lektin dengan gugus gula mirip dengan ikatan antara antigen dan antibodi yang spesifik. Berdasarkan afinitas lektin terhadap gugus gula, maka lektin dapat dibagi menjadi beberapa macam antara lain adalah lektin yang mampu mengikat gugus glukosa dan manosa, N-asetilglukosamin, galaktosa dan N-asetilgalaktosamin, L-fruktosa dan asam sialat (Kiernan 1990). Lektin mempunyai kemampuan spesifik untuk berikatan dengan residu gula tertentu sehingga digunakan secara luas untuk mendeteksi keberadaan dan penyebaran glikokonjugat pada berbagai jaringan tubuh (Spicer and Schulte 1992).

Metode histokimia lektin merupakan salah satu metode untuk menganalisa jenis karbohidrat melalui ikatan spesifiknya terhadap residu gula pada jaringan. Metode ini berguna dalam membedakan jenis karbohidrat kompleks yang dapat ditemukan pada permukaan sel, matriks ekstraseluler dan karbohidrat yang terikat dengan molekul lainnya seperti glikoprotein. Metode ini memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tinggi dalam membedakan komponen gula serta mampu mengindentifikasi perbedaan pada struktur glikoprotein (Munoz et al. 1999).

Gambar

Gambar 4   Peta distribusi walet linchi di Indonesia (Google Map 2008).
Tabel 1   Analisis kimia sarang walet
Gambar 5  Skema alat kelamin jantan dan betina pada unggas (Modifikasi dari  Walker 1987)

Referensi

Dokumen terkait

Lingkaran Mohr's adalah metode grafik untuk menentukan pengaruh koordinat rotasi pada kuantitas tensor.. Dalam rekayasa menemukan aplikasi dalam pengaruh koordinat rotasi pada

Mata Pelajaran Nilai Rata-rata Rapor1. Nilai

Hasil pengamatan pada pembelajaran siklus 2 tidak ada siswa yang tidak terlibat dalam pembelajaran. Siswa mempresentasikan hasil proyeknya, siswa yang lain

Sedangkan hadis mudalas adalah apabila seorang periwayat meriwayatkan (hadits) dari seorang guru yang pernah ia temui dan ia dengar darinya, (tetapi hadits yang ia

Berdasarkan hasil kuesioner sebanyak 100% responden, menunjukkan bahwa fasilitas penunjang (tempat sampah, bangku taman, lampu taman, jalur pejalan kaki, tempat

Keterkaitan antara rancangan dan bangunan karena bentuk dinamis yang ditampilkan dari tema arsitektur futuristik berkaitan dengan olahraga renang yang mengutamakan

Secara epidemiologik bahwa penyakit dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu pertama faktor agent penyakit yang berkaitan dengan penyebab (jumlah, virulensi,

Peneliti mengumpulkan data melalui angket untuk megetahui dengan jelas pengaruh hafalan Juz „Amma terhadap prestasi belajar siswa kelas XI pada bidang studi