• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 LANDASAN TEORI"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

11

LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Pada awalnya bab ini akan menjelaskan mengenai teori-teori yang menjadi landasan dalam penelitian. Landasan teori tersebut menyangkut ketiga variabel yang digunakan dalam penelitian yaitu emotional intelligence, komitmen organisasi, dan organizational citizenship behavior.

Bab ini juga akan menjelaskan pengertian dari masing-masing variabel, dimensi dari masing-masing variabel, konsep dari variabel tersebut, dan hal-hal penting yang berhubungan antar variabel. Selain hal tersebut, pada bab ini juga akan menjelaskan mengenai penetian terdahulu yang berkaitan dengan variabel yang digunakan dalam penelitian ini serta kerangka pemikiran dari penelitian ini.

2.1.1 Emotional Intelligence

2.1.1.1 Pengertian Emotional Intelligence

Prosedur atau aturan bekerja kini telah mengalami banyak perubahan, seorang karyawan saat ini telah dinilai berdasarkan sebuah tolak ukur baru. Tidak hanya berdasarkan dari tingkat kepandaian atau kecerdasaan seorang karyawan, atau berdasarkan dengan kemampuan ia untuk mengikuti pelatihan, dan berdasarkan dari pengalaman kerja yang ia punya, tetapi juga berdasarkan bagaiamana kita mampu untuk mengelola atau mengatur diri kita sendiri dan bagaimana sikap kita dalam berhubungan dengan orang lain.

Pada zaman modern seperti saat ini, dimana semua orang harus memiliki sebuah kecerdasan yang tidak hanya terpaku pada sebuah kecerdasan intelektual tetapi juga harus mempunyai sebuah kecerdasan emosional. Pada penelitian yang dilakukan oleh Goleman (2006) menyatakan bahwa peran IQ (kecerdasan intelektual) dalam dunia kerja hanya menempati posisi kedua setelah EQ (kecerdasan emosional) dalam menentukan keberhasilan seseorang dalam pencapaian prestasi didalam pekerjaanya.

(2)

Menurut Lahey (2007) kecerdasan adalah sebuah kemampuan yang berhubungan dengan bagaimana seorang individu untuk dapat memberikan alasan yang baik, dapat belajar dari pengalamanya, dan bagaimana ia dapat menghadapi tuntutuan kehidupan sehari-hari. Sedangkan Bainbridge (2014) menjelaskan bahwa banyak ahli yang mempelajari definisi dari sebuah kecerdasan, tetapi sederhananya kecerdasan adalah sebuah kemampuan untuk belajar, beradaptasi memahami dan berinteraksi dengan lingkungan dan orang lain. Pandangan yang berbeda tentang kecerdasan datang dari Cohen (2013), menurutnya kecerdasan adalah sebuah istilah yang sulit untuk didefinisikan, dan dapat berarti banyak hal untuk orang yag berbeda. Dari ketiga pendapat ahli berikut dapat disimpulkan bahwa kecerdasan adalah kemampuan seseorang yang berhubungan dengan bagaimana mengahadapi sesuatu, beradaptasi terhadap sesuatu hal baru, dan dalam hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan dan orang lain.

Kemudian hal lain yang berkaitan dengan kecerdasan adalah emosi, menurut Goleman (2006) emosi mengacu pada suatu pikiran dan perasaan yang berbeda dari pikiran dan perasaan lain, dan dimana keadaan biologis dan psikologis menjadi suatu serangkaian untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan dari dalam diri seseorang untuk bertindak berdasarkan pikiran dan perasaan yang iya rasakan. Biasanya suatu emosi merupakan sebuah reaksi yang akan dilakukan seseorang untuk merespon sebuah rangsangan yang berasal dari luar dan dalam diri seorang individu. Contohnya jika seseorang merasa tersinggung atau tidak suka terhadap sikap seseorang, merasakan emosi amarah yang mendorong untuk bersikap kesal, marah, bahkan emosi, amarah ini dapat menimbulkan sikap yang tidak dapat dikontrol oleh manusia. Beda lagi dengan emosi gembira yang akan mendorong perubahan suasan hati seseorang, yang dapat terlihat dengan senyuman, bahagia, dan tertawa. Dapat disimpulkan bahwa emosi adalah aspek yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari karena emosi dapat dijadikan sebuah dorongan untuk meningkatkan perilaku, tetapi juga dapat menganggu perilaku kita.

Goleman (1998) menyebutkan ada beberapa macam emosi yang ada di dalam diri seorang manusia. Emosi-emosi tersebut terdiri dari :

• Amarah : Mengamuk, benci, jengkel, kesal, marah • Kesedihan : Sedih, muram, suram, melankolis, putus asa

(3)

• Rasa takut : Cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut, waspada, tidak tenang

• Kenikmatan : Bahagia, gembira, riang, puas, senang, terhibur, bangga • Cinta : Persahabatan, kepercayaan, rasa sayang, kedekatan,

hormat, kemesraan, kebaikan, penerimaan atas seseorang • Terkejut : Terkejut, kaget

• Jengkel : Hina, jijik, muak, tidak suka, mual • Malu : Malu hati, kesal

Seperti yang telah diuraikan oleh Goleman diatas, sebenarnya semua emosi pada dasarnya adalah sebuah dorongan yang berasal dari dalam diri untuk bertindak. Emosi-emosi yang telah diuraikan diatas tersebut dapat mendorog seorang individu utnuk memberikan sebuah respon atau tingkah laku terhadap perubahan yang ada. Jadi dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu perasaan yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap lingkungan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.

Goleman (2006) juga mendefiniskan bahwa kecerdasan emosi mengacu kepada kemampuan seseorang untuk mengatahui perasaanya sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, kemampuan untuk mengelola emosi diri sendiri degan baik agar dapat berhubungan baik dengan orang lain. Selain Goleman arti dari kecerdasan emosi juga diungkapkan oleh Lynn (2008:7) yang menjelaskan bahwa kecerdasan emosional didefinisikan sebagai kemampuan seseorang individu untuk mengelola dirinya serta hubungan nya dengan orang lain sehingga ia dapat hidup sesuai dengan tujuan hidup.

2.1.1.2 Konsep yang Keliru Mengenai Emotional Intelligence

Banyak konsep yang sangat keliru mengenai kecerdasan emosi yang timbul di dunia saat ini, Goleman menjelaskan beberapa konsep yang keliru dari kecerdasan emosional antara lain :

1. Kecerdasan emosi selama ini hanya diartikan bersikap ramah terhadap semua orang yang ada disekitar kita, tetapi kecerdasan emosi lebih mengacu bagaimana kita dapat mengontrol emosi kita untuk dapat bersikap sesuai dengan kondisi yang diperlukan. Ketegasan memang banyak tidak disukai oleh banyak orang karena diidentikan dengan galak dan kekuasaan tetapi

(4)

ketegasan sangat dibutuhkan untuk dapat mengungkapkan kebenaran-kebenaran yang selama ini dihindari.

2. Kecerdasan emosi bukan hanya berarti memberikan kebebasan dan memberikan kekuasaan kepada perasaan untuk berkuasa dan memanjakan perasaan tersebut, melainkan bagaimana seseorang dapat mengelola perasaan yang mereka miliki sedemikian rupa sehingga perasaan tersebut dapat terekspresikan secara tepat dan efektif, yang dapat memungkinkan seseorang untuk dapat bekerja sama dengan orang lain agar dapat menuju tujuan yang diinginkan secara bersama-sama.

3. Kecerdasan emosi juga tidak dapat diukur dari apa jenis kelamin seseorang, karena wanita tidak lebih hebat dari seorang pria dalam hal kecerdasan emosi, dan begitu juga sebaliknya pria tidak lebih hebat dari wanita dalam hal kecerdasan emosi. Wanita memang memiliki kesadaran yang lebih tinggi mengenai emosi mereka, lebih mudah berikap empati terhadap sesama, dan lebih trampil dalam hubungan antar pribadi. Tetapi pria juga memiliki kelebihan dalam hal kepercayaan diri, optimistis, mudah beradaptasi, dan lebih baik dalam hal menangani stress. Kelebihan dan kekurangan yang terdapat pada ciri khas dari profil masing-masing gender ini tidak dapat dijadikan patokan untuk mengukur kecerdasan emosi seseorang, karena pada dasarnya perbedaan kecerdasan emosi berdasarkan jenis kelamin itu tidak ada.

Kecerdasan emosi tidak dapat terikat oleh faktor genetis seseorang, tidak juga dapat berkembang hanya pada saat tertentu. Kecerdasan emosi tidak sama dengan IQ yang pembentukannya tergantung dari bagaimana pembentukannya sewaktu kecil dan hanya dapat berubah melewati masa remaja. Sebuah kecerdasan emosi dapat diperoleh melalui proses belajar, dan bagaimana diri berkembang sepanjang kehidupan yang dilalui dan menjadikan pengalaman tersebut sebagai pembelajaran untuk diri sendiri. Seseorang yang mempunyai kecerdasan emosi yang baik dari hari ke hari menunjukan bahwa orang tersebut memiliki peningkatan dalam kemampuan ini sejalan dengan makin trampilnya mereka dalam menangani emosi pada diri mereka, dalam memotivasi diri, dan dalam mengasah empati dan kecakapan sosial. Perkembangan kecerdasan emosi juga dapat dibilang adalah bagian dari proses kedewasaan seseorang.

(5)

2.1.1.3 Dimensi dari Emotional Intelligence

Seperti yang telah dibahas pada pengertian kecerdasan emosi, kecerdasan emosi didefiniskan sebagai suatu kemampuan seseorang untuk dapat mengelola dirinya serta hubungannya dengan orang lain sehingga hidup dengan senang dan tenang seperti apa yang diinginkan. Banyak orang berpikir bahwa kecerdasan emosional sama dengan keterampilan sosial, maka dari itu banyak ahli yang berpendapat tentang dimensi atau model dari kecerdasan emosi. Goleman (2006) dalam buku The Emotionally Intelligent Workplace mengembangkan dimensi yang ada pada emotional intelligence berdasarkan dengan kinerja karyawan didalam perusahaan dengan melihat pada empat potensi individu dalam menguasai Self-Awareness, Social Self-Awareness, Self-Management, Relationship Management pada diri mereka, keempat dimensi tersebut dapat dilihat pada tabel (2.1) sebagai berikut :

1. Self-awareness

Kemampuan seorang individu untuk memahami diri mereka sendiri dan tetap sadar terhadap emosi yang muncul dari dalam diri, termasuk tetap mempertahankam cara individu tersebut dalam merespon sebuah situasi tertentu dan orang-orang tertentu. Self-awarness memiliki bebarapa bagian antara lain :

Kesadaran emosi (emotional awareness) : Yaitu bagaimana seorang individu dalam mengenali emosi yang terdapat pada diri mereka dan bagaimana efek yang ditimbulkan dari emosi tersebut.

Penilaian diri yang akurat (accurate self-assessment) : Mengetahui sejauh mana kekuatan dan kelemahan diri sendiri dan mengatahui apa yang menjadi batasan-batasan untuk diri kita sendiri.

Kepercayaan diri (self confidence) : Keyakinan mengenai harga diri yang kita punyai dan kemampuan-kemapuan sendiri

2. Self-management

Adalah kemampuan untuk menggunakan kesadaran emosi manusia untuk tetap fleksibel dan secara positif mengarahkan perilaku diri manusia itu sendiri, yang berarti mengelola reaksi emosi manusia itu sendiri kepada semua orang dan situasi, di dalamnya terdapat :

Kendali diri (self-control) : Adalah bagaimana kita dapat mengolah emosi-emosi dan desakan-desakan hati yang ada didalam diri kita agar

(6)

tidak menimbulkan suatu hal yang tidak menyenangkan untuk diri sendiri dan orang-orang yang ada dilingkungan.

Sifat dapat dipercaya (trustworthiness) : Adalah bagaimana kita dapat memelihara norma kejujuran dan integritas yang ada didalam diri.

Kemampuan beradaptasi (adaptability) : Melihat sejauh mana kemampuan kita sebagai seorang individu dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi.

Pencapaian prestasi (achievement drive): Adalah pemicu dari dalam diri untuk menjadi lebih baik dalam segala hal atau memenuhi sebuah standar keberhasilan.

Inisiatif (initiative) : Kesiapan seseorang untuk dapat memanfaatkan kesempatan yang ada.

3. Social Awareness

Adalah kemampuan seorang individu untuk dapat secara cepat menangkap emosi dari orang lain dan mengerti apa kondisi apa yang sedang benar-benar terjadi, dapat diartikan memahami apa yang orang lain pikirkan dan rasakan walaupun ia tidak merasakan apa yang orang tersebut rasakan. Social Awarness memiliki beberapa bagian antara lain :

Empati (empathy) : Adalah kesadaran seseorang terhadap perasaan, kebutuhan, dan kepentingan yang berkaitan dengan orang lain

Kesadaran organisasi (organizational awarness) : Kemampuan untuk memahami dan mempelajari kekuasaan dalam organisasi sendiri maupun organisasi lain.

4. Relationship Management

Adalah sebua set dari kompetensi meliputi keterampilan sosial yang penting yang harus dimiliki oleh setiap individu. Hal ini melibatkan pengembangan dari penginderaan individu yang akan memperkuat kemampaun dan bakat mereka bukan hanya menjadi seorang individu yang baik tetapi juga menjadi pemimpin yang luar biasa. Relationship management memiliki beberapa indikator didalamnya antara lain :

Mengembangkan orang lain (developing other) : Merasakan kebutuhan untuk membantu orang lain untuk dapat mengembangkan

(7)

kemampuan yang ia miliki dan berusaha agar hal tersebut dapat tercapai.

Komunikasi (communication) : Bagaimana kita dapat mengirimkan pesan-pesan secara jelas dan meyakinkan agar dapat terima dengan dengan baik oleh orang lain.

Manajemen konflik (conflict management) : Bagaimana seorang individu dapat melakukan sebuah cara untuk memecahkan sebuah masalah yang terjadi baik dengan negosiasi atau dengan pemecahan silang pendapat.

Kepemimpinan (leadership) : Bagaimana seorang individu dapat memberi inspriasi kepada orang lain dan dapat memandu atau memimpin sebuah kelompok atau individu.

Agen perubahan (change catalyst) : Adalah seseorang yang dapat memulai atau mengolah sebuah perubahan yang akan terjadi.

Kemampuan tim (team work & collaboration) : Bagaimana kita dapat menciptakan suasana yang baik dan membangun sebuah hubungan yang produktif antar anggota tim dalam memperjuangkan tujuan bersama.

(8)

Tabel 2.1 Dimensi Emotional Intelligence Self (Personal Competence) Other (Social Competence) Recognition Self-Awareness Emotional self-awareness Accurate self-assesment Self-confidence Social Awareness Empathy Organizational awareness Regulation Self-Management Self-control Trustworthiness Adaptability Achievement drive Initiative Relationship Management Developing others Communication Conflict management Leadership Change catalyst Teamwork & collaboration Sumber: (Goleman 2006)

Selain itu Lynn (2008:7) juga menulis buku tentang emotional intelligence, dan ia berpendat bahwa terdapat lima wilayah dalam emotional intelligence atau kecerdasan emosi. Definisi dari kelima wilayah tersebut dapat dilihat dari gambar (2.1) :

(9)

Gambar 2.1 Lima Area Emotional Intelligence Sumber : (Lynn 2008:7)

Berikut ini adalah penjelasan mengenai kelima area tersebut : 1. Self-awareness dan self-control

Terdiri dari kemampuan seseorang untuk sepenuhnya memahami diri merka sendiri dan mengenukan informasi tentang diri mereka tersebut untuk mengelola emosi secara produktif. Daerah ini meliputi pemahaman mengeni emosi seseorang dan apa dampak emosi tersebut terhadap kinerja, penilaian terhadap kekuatan dan kelemahan, memahami dampak dari apa yang kita lakukan terhadap orang lain, pengendalian diri, yang termasuk mengelola kemarahan, kekecewaan, atau kegagalan dan mengelola rasa takut yang dapat mengakibatkan keberanian.

2. Empathy

Empati adalah kemampuan untuk memahami apa yang menjadi pemikiran orang lain. Daerah ini meliputi kemampuan untuk mendengarkan oran lain, memahami pemikiran orang lain, memahami bagaimana kata-kata dan tindakan yang dilakukan seseorang dapat mempengaruhi orang lain.

3. Social expertness

Kemampuan untuk menjalin hubungan yang baik antar sesama manusia, yang dapat menimbulkan rasa saling peduli antar satu sama lain, menimbulkan keprihatinan, dan konflik dengan cara yang sehat. Daerah ini meliputi

(10)

kompetensi dalam membangun hubungan, pengertian tentang organisasi, kerjasama, penyelesaian konflik, dan manajemen konflik.

4. Personal influence

Kemampuan untuk memimpin secara positif dan dapat menginspirasi orang lain serta diri sendiri. Hal ini melupuri kompetensi dalam memimpin orang lain, menciptakan iklim kerja yang positif, dan mendapatkan hasil kerja dari yang orang lain lakukan. Ini juga mencakup rasa percaya diri, inisiatif, motivasi, optimisme, dan fleksibilitas.

5. Mastery of purpose and vision

Kemampuan untuk membawa diri sendiri ke kehidupan seseorang dan menghayati tujuan dan nilai-nilai yang diyakini orang tersebut. Hal ini meliputi kompetensi dalam memahami tujuan seseorang, mengambil tindakan terhap tujuan seseorang dan menjadi diri sendiri.

Seperti yang telah dikemukan oleh kedua ahli diatas tentang dimensi atau area dari kecerdasan emosi (emotional intenlligence), kedua ahli diatas memiliki sedikit pandangan yang berbeda. Menurut Goleman (2006) kecerdasan emosi (emotional intenlligence) dapat dilihat melalui dua aspek yaitu ketrampilan diri (self-awarness, self-management) dan ketrampilan sosial (social awarness dan relationship management) sedangkan Lynn (2008) berpendapat bahwa kecerdasan emosi (emotional intenlligence) dapat dilihat melalui komponen-komponen yang berhubungan dengan dunia internal atau diri kita sendiri (awareness dan self-control, emphaty, dan Mastery of pupose and vision) dan komponen yang membentuk hubungan kita dengan dunia luar (social expertness dan personal influence). Dari pandangan tersebut kita melihat bahwa kedua ahli tersebut memiliki pandangan yang berbeda mengenai empathy, menurut Goleman (1998) empathy adalah sebuah dimensi yang berhubungan dengan ketrampilan sosial yang sama makna nya dengan bagaimana kita dapat membangun hubungan dengan orang lain sedangkan Lynn (2008) berpendapat bahwa empathy adalah komponen yang ada didalam dunia internal diri kita. Pada penelitian ini peneliti menggunakan dimensi yang dinyatakan oleh Goleman (2006) yaitu Awareness, Social Awareness, Self-Management, Relationship Self-Management, karena melihat dari indikator-indikator pada teori ini yang sesuai dengan kondisi karyawan dalam perusahaan dan iklim kerja di Indonesia.

(11)

2.1.1.4 Emotional Intelligence terhadap Efektivitas Organisasi

Goleman (2006) menjelaskan beberapa pengaruh dari kecerdasan emosi (emotional intelligence) terhadap keefektivitasan suatu oragnisasi di beberapa sektor yang penting dalam organisasi tersebut, yang juga akan berpengaruh besar dalam proses pencapaian tujuan dari organisasi, antara lain :

a. Design company mission

Perancangan misi ini diharapkan dapat menjelaskan tentang hal-hal baik yang akan memungkinkan kita untuk dapat merasakan bahwa apa yang kita lakukan bersama didalam sebuah organisasi adalah sesuatu hal yang berharga. Mengharapkan seorang karyawan bekerja dengan sepenuh hati demi perusahaan dan mengukur keberhasilan pekerjaaan itu dengan cara-cara yang bermakna tidak hanya berdasarkan dengan angka dalam laporan rugi-laba perushaan tetapi hal ini juga menjadi sumber dari pembangkit moral dan energi karyawan.

b. Employee recruitment and retention

Kecerdasan emosi seseorang dalam proses perekrutan merupakan sebuah hal yang sangat penting dalam pertimbangan perusahaan untuk membuat keputusan yang tepat. Karena peran kecerdasan emosi adalah hal yang paling penting dibandingkan dengan IQ atau kecerdasan intelektual yang akan menentukan keberhasilan seseorang dalam pencapain presasti didalam pekerjaanya.

c. Development of talent

Individu dapat mengembangkan keterampilan sosialnya dengan melakukan interaksi sosial di tempat kerja. Aktivitas interaksi sosial tersebut merupakan sebuah aktivitas pembelajaran dua arah, kedua belah pihak melakukan interakasi dan mengharapkan adanya expert dan learner, untuk menerima infromasi dan memberikan informasi atau pengetahuan. Interkasi sosial sangat membutuhkan kecerdasan emosi dalam setiap prosesnya.

d. Teamwork

Adanya interaksi dan kerjasama yang baik antar anggota kelompok atau karyawan secara aktif pada suatu teamwork diharapkan akan menciptakan sebuah pola pikir bagaimana sebaiknya para karyawan tersebut bertindak dan bersikap. Di samping itu kecerdasan emosi juga akan berdampak pada

(12)

aspek-aspek lain dalam diri karyawan yang akan berpengaruh pada pencapaian tujuan organisasi.

Menurut Simon dalam Wall (2007:50) konsep kecerdasan emosi (emotional intelligence) juga dapat megukuran karakteristik seorang individu yang akan dijadikan patokan dalam pencocokan antara posisi yang akan mereka tempati dengan karakteristik mereka apakah hal tersebut sesuai dengan apa yang diharapkan perusahaan atau tidak. Konsep ini dinamakan dengan The Simmons EQ Profile yang mengukur tiga belas karakteristik seseorang, ketiga belas karaktaristik tersebut antara lain :

1. Energy

Ini adalah ukuran pengukuran energi dari emosional. Ini adalah sebuah penggerak dan dapat memberitahu senerapa besar kapasitas seseorang dalam melakukan sesuatu, menahan stress, dan pulih dari sebuah peristiwa stress yang berkepanjangan. Hal ini dapat memberikan informasi apakah seseorang dapat mengontrol emosi yang ia miliki agar dapat berhasil dalam posisi kepemimpinan.

2. Stress

Hasil dari pengukuran ini dipengaruhi oleh nilai yang tinggi atau rendah pada hasil tes psikologi yang dilakukan. Stress yang disebabkan oleh faktor internal seseorang dapat mempengaruhi seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan.

3. Optimism

Dapat memprediksikan bahwa seseorang suram, mencari kesalahn, kritis, dan selalu menyalahkan orang lain. Optimism dapat menunjukan seseorang dapat dipercaya dan positif.

4. Self-Esteem

Akan menunjukan bagaimana seseorang menaruh energi yang besar dalam meperlihatkan kepada orang lain bagaimana dirinya dan ia merasa bangga dengan dirinya sendiri. Orang dengan sifat ini sulit untuk dilatih karena mereka tidak ingin dikritik dan akan selalu membela dirinya dan kurang bersedia untuk mengakui bahwa ia perlu untuk melakukan perubahan dalam dirinya.

(13)

5. Work

Ini adalah ukuran dari etika kerja seseorng dan seberapa besar kemungkinan mereka untuk bekerja keras atau kurang terlibat dalam pekerjaan.

6. Detail

Seorang manajer yang memiliki karakteristik ini akan terlibat dalam setiap detail tugas yang diberikan kepada karyawan mereka. Jika manajer tidak mempunyai karakteristik ini menunjukan bahwa ia ceroboh dan tidak mampu untuk menghadiri kerja secara terperinci.

7. Change

Kemampuan seseorang untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. 8. Courage

Ini adalah pengukuran dari orientasi yang menantang. Seseorang dalam posisi yang menuntut harus menunjukan keberanian yang sangat tinggi. Mereka akan melakukan sesuatu yang terbaik ketika dihadapkan dengan pekerjaan yang menantang.

9. Direction

Menilai kemampuan seseorang untuk mengukur seberapa besar masalah yang dihadapi, melihat solusi yang terbaik, dan membut keputusan yang independen.

10.Assertive

Menilai kapasitas seseorang untuk membuat tuntutan yang wajar pada orang lain, menjadi persuasif, dan dapat menangani konflik. Seseorang yang tidak mempunyai karakteristik ini akan memiliki masalah dalam mengelola orang lain dan tidak bertanggung jawab.

11.Tolerance

Menunjukan bahwa seseorang yang memiliki sifat ini akan dapat memaklumi atau mentoleransi suatu kesalahan yang dibuat oleh orang lain. Seseorang yang tidak mempunyai sifat ini akan mudah untuk marah dan membesar-besarkan masalah yang ada jika ia melihat suatu kesalahan yang dibuat oleh orang lain.

12.Consideration for Others

Megukur empati seseorang dan menunjukan sesitivitas seseorang terhadap apa yang terjadi dengan orang lain.

(14)

13.Sociable

Menunjukan bagaimana seseorang dapat nyaman dengan orang lain.

Konsep The Simmons EQ Profile ini akan menunjukan sebuah pola yang menyeluruh dari pengukuran karakteristik ini mengungkapkan bagaimana seseorang diharapkan untuk berprilaku dalam posisi tertentu. The Simmons EQ Profile ini juga terbukti telah membantu perusaha untuk melakukan penghematan biaya yang luar biasa dalam pencocokan antara individu dengan kebutuhan emosional dari sebuah pekerjaan. Contoh yang ditulis oleh Wall (2007) adalah sebuah rumah sakit di Tennessee, Amerika Serikat, memiliki tingkat turnover sebesar 65% pada perawat perawatan kritis. Mereka menggunkan EQ Profile sebagai alat seleksi karyawan, dan mereka mampu mengurangi tingkat turnover sebesar 15% dalam waktu 18 bulan dan hal ini terus terjadi hingga kurun waktu 18 tahun.

2.1.2 Komtimen Organisasi

2.1.2.1 Pengertian Komitmen Organisasi

Komitmen adalah sebuah kemauan seseorang untuk melakukan sesuatu hal untuk diri mereka sendiri, orang lain, kelompok, atau organisasi. Dan komitmen juga dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang mengikat seseorang yang berhubungan dengan tindakan untuk pencapain tujuan. Menurut Kreitner dan Kinicki (2009:166) komitmen organisasi (organizational commitment) adalah cerminan dari tindakan atau perilaku seseorang dalam mengenali sebuah organisasi dan bagaimana terikat dengan tujuan dari organisasi tersebut.

Greenberg dan Baron (2009:160) menjelaskan bahwa komitmen organisasi dapat dilihat dari seberapa besar karyawan dapat memahami sikap yang berhubungan dengan pekerjaan yang dilakukan dan kemudian dapat mengidentifikasi keterlibatannya dengan organisasi, sehingga dapat menjalani apa yang menjadi tugasnya. Sedangkan menurut Colquitt, Lepine, dan Wesson (2013:63) menjelaskan bahwa komitmen organisasi (organizational commitment) adalah suatu keinginan yang berasal dari dalam diri karyawan untuk tetapi menjadi anggota dalam organisasi tersebut.

(15)

Komitmen organisasi dianggap sebagai suatu sikap kerja yang dapat merefleksikan perasaan seorang karyawan terhadap organisasi tempat ia bekerja, apakah karyawan tersebut suka atau tidak suka dengan keadaan yang ada didalam organisasi. Seorang karyawan yang memiliki komitmen organisasi juga sangat erat kaitanya dengan kepuasan kerja karyawan yang dapat dicapai dengan pemberian kompensasi dan benefit yang sesuai antara pekerjaan dan apa yang diberikan oleh perusahaan. Jika hal ini dapat dilakukan oleh organisasi, hal ini akan menimbulkan kepuasan kerja pada seluruh karyawan yang otomatis akan membuat para karyawan bersedia atas kehendak diri mereka sendiri untuk memberikan sesuatu sikap yang lebih terhadap organisasi yang akan membantu organisasi dalam mencapai apa yang menjadi tujuan dari organisasi.

2.1.2.2 Dimensi dari Komitmen Organisasi

Seorang karyawan yang telah menyatakan dirinya berkomitmen pada organisasi bukan hanya ditunjukkan dengan selalu menerima tugas dengan baik, melakukannya, dan berapa banyak hal yang telah kerjakan untuk organisasi tersebut. Tetapi komitmen organisasi dapat dilihat dari seberapa karyawan dapat menghormati apa yang telah menjadi dimensi dari sebuah komitmen organisasi. Menurut Colquitt, Lepine, dan Wesson (2013:64) komitmen organisasi dapat dibagi menjadi tipe atau dimensi. Masing-masing dimensi atau tipe tersebut menjelaskan apa yang menjadi alasan seorang karyawan ingin berkomitmen dengan organisasi tempat merkea bekerja sekarang. Penjelasan mengenai apa alasan dan dimensi atau tipe dari komitmen organisasi dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut :

(16)

Tabel 2.2 Tiga Tipe Komitmen Organisasi (Organizational Commitment) Apa yang Membuat Seseorang Bertahan dengan Organisasi Mereka Saat ini ?

Affective Commitment (Emotion-Based) Continuance Commitment (Cost-Based) Normative Commitment (Obligation-Based)

Mereka merasa nyaman dengan rekan kerja mereka yang membuat mereka berat jika meninggalkan organisai.

Organisasi menjanjikan promosi yang segera akan dilakukan, apakah saya akan mendapatkan promosi yang sama jika saya pindah ?

Atasan saya telah

menginvestasikan banyak waktu pada saya,

membimbing saya, dan memberikan pelatihan.

Merasakan kenyamanan dengan suasan tempat kerja saat ini yang membuat mereka senang dan nyaman.

Kompensasi dan benefit yang diberikan

perusahaan sangat mencukupi untuk tinggal ditempat yang lebih layak dan membutuhkan biaya hidup yang tinggi.

Organisasi anda saat ini telah memberikan kesempatan untuk bekerjaa, pada saat organisasi lain meragukan kemampuan anda.

Mereka merasa puas dengan tugas yang diberikan oleh organisasi mereka saat ini, sehingga mereka menikmati untuk pergi ke kantor setiap paginya.

Mendapatkan pekerjaan dan sistem pendidikan yang baik, membuat nyaman berada ditempat tinggal saat ini.

Atasan anda telah

membantu anda pada saat anda menghadapi kesulitan di beberapa kesempatan, hal ini membuat anda sulit untuk meninggalkan organisasi.

Ini menjadi alasan untuk bertahan dalam organisasi karena keinginan dari dalam

diri.

Ini menjadi alasan untuk bertahan dalam organisasi

karena kebutuhan.

Ini menjadi alasan untuk bertahan dalam organisasi karena anda merasa harus

dipertahankan

(17)

Seperti yang telah dijelaskan pada tabel 2.2 mengenai tiga dimensi dari komitmen organisasi (organizational commitment) dilihat dari sudut pandang apa alasan mereka untuk tetap bertahan pada organisasi, Greenberg dan Baron (2009:161) juga menjelaskan tentang tiga dimensi dari komitmen organisasi secara lebih terperinci. Penjelasan mengenai ketiga dimensi tersebut antara lain :

Continuance commitment

Komitmen yang timbul karena keinginan seseorang untuk dapat terus bekerja pada sebuah organisasi disebakan karena ia merasa perlu untuk melakukanya dan ia tidak mampu untuk melakukan pekerjaan lain. Semakin lama seseorang berada didalam suatu organisasi, mereka akan merasa kehilangan apa yang telah ia investasikan didalam organisasi selama bertahun-tahun (rencana pensiun, teman dekat). Maka akhirnya banyak orang yang berkomitmen kepada organisasi disebabkan karena ia takut mengambil resiko akan kehilangan hal yang telah ia investasikan atau sesuatu yang ia dapat di organisasi selama bertahun-tahun. • Affective commitment

Komitmen yang berasal dari suatu keinginan diri karyawan untuk terus bekerja di sebuah organisasi disebabkan ada kesamaan antara tujuan dan nilai-nilai organisasi dengan diri karyawan tersebut. Karyawan yang mempunyai komitmen afektif ini memiliki keinginan yang tinggi untuk terus berada didalam organisasi dan akan bersedia membantu dan mendukung organisasi dalam pencapaian misinya. Tetapi ketika organisasi sedang mengalami perubahan, karyawan yang memiliki komitmen ini akan bertanya-tanya apakah nilai-nilai dalam diri mereka akan terus sejalan dengan nilai-nilai organisasi yang akan berubah, jika ini terjadi banyak karyawan yang mempertanyakan apakah ia masih merasa nyaman di dalam organisasi atau tidak, jika tidak maka banyak karyawan yang melakukan pengunduran diri dikarenakan ketidak sejalanan ia dengan nilai organisasi tersebut.

Normative commitment

Mengacu kepada perasaan karyawan yang merasa wajib untuk berkomitmen dan tetap di organisasi karena adanya tekanan yang berasal dari luar. Karyawan yang memiliki komitmen normatif akan merasa prihatin tentang apa yang orang lain akan pikirkan dari mereka jika mereka mengundurkan diri dari perusahaan. Karyawan dengan komitmen ini juga khawatir bahwa mereka akan

(18)

mengecawakan atasan mereka dan khawatir bahwa rekan kerja mereka akan berpikir buruk dan pada akhirnya mengundurkan diri dari perusahaan.

Setiap karyawan didalam suatu organisasi pasti memiliki dasar dan tingkah laku yang berbeda-beda berdasakan komitmen organisasi yang ia miliki. Karyawan dengan komitmen organisasi dengan dasar efektif akan memiliki tingkah laku yang berbeda dengan karyawan yang memiliki dasar komitmen continuance dan komitmen normatiKaryawan yang telah bersedia untuk berkomitmen pada satu organisasi pasti telah setuju dan sejalan dengan nilai-nilai dan tujuan dari organisasi tersebut. Sebaliknya, seorang karyawan yang tidak memiliki komitmen pada organisasi mungkin terpaksa menjadi anggota organisasi tersebut karenatidak sejalan dengan tujuan dan nilai-nilai organisasi, menghindari kerugian finansial yang mungkin akan timbul jika ia tidak memiliki pekerjaan, hal ini membuat karyawan tersebut tidak sungguh-sungguh saat bekerja dan hasil yang ia kerjakan juga tidak maksimal.

2.1.2.3 Pentingnya Komitmen Bagi Organisasi

Seperti yang diketahui, karyawan yang memiliki komitmen dengan organisasi memiliki tingkah laku yang berbeda dari mereka yang tidak memilki komitmen dengan organisasi. Greenberg dan Baron (2009:163) mengungkapkan beberapa aspek dari perilaku kerja yang telah dikaitkan dengan komitmen organisasi, yang menjadi alasan mengapa organisasi ingin memiliki karyawan yang berkomitmen. Beberapa asalan tersebut antara lain :

Committed employees are less likely to withdraw

Karyawan memiliki komitmen yang tinggi dilakukannya untuk organisasi mereka, karyawan dengan komitmen organisasi yang tinggi memiliki kemungkinan lebih kecil untuk absen dalam pekerjaan dan mengundurkan diri. Komitmen ini sangat berhubungan dan dapat dimiliki oleh karyawan jika karyawan memiliki kepuasan kerja selama mereka bekerja didalam organisasi. Berkomitmen untuk organisasi menyebabkan seorang karyawan akan tetap berada pada pekerjaan mereka sekarang dan akan menunjukannya saat hal tersebut dibutuhkan.

(19)

Committed employees are willing to make sacrifices for the organization

Diluar apa yang terjadi didalam organisasi, karyawan yang memiliki komitmen yang tinggiterhadap organisasi menunjukkan kemuan yang sangat besar untuk bekerja dan membuat pengorbanan yang diperlukan oleh organisasi untuk berkembang dan mencapai tujuan. Hal ini sangat penting pada zaman modern seperti sekarang, dimana dunia tekhnologi sudah semakin maju, dan para karyawan diharapkan untuk dapat bekerja pada jam kerja yang sangat panjang. Bagaimana para atasan dapat meningkatkan komitmen karyawan mereka dan rela untuk berkorban adalah dengan cara pengorbanan diri yang dilakukan oleh para atasan agar membuat para karyawan memiliki komitmen dan rela melakukan pengorbanan yang besar untuk organisasi.

2.1.2.4 Pendekatan untuk Meningkatkan Komitmen Organisasi

Menurut Greenberg dan Baron (2009:164) pendekatan yang dapat dilakukan organisasi untuk dapat mengembangkan komitmen organaisasi (organizational commitment) di dalam diri karyawan dapat dengan cara berikut :

• Membuat pekerjaan lebih menarik dan memberi tanggung jawab pada karyawan Seorang karyawan merasa memiliki komitmen pada organisasi adalah disaat dimana organisasi memberi kesempatan pada karyawan tersebut untuk dapat melakukan kontrol sendiri atas cara mereka bekerja, didengarkan semua masukanya, dan karyawan diberikan kesempatan terlibat dalam setiap proses pengambilan keputusan didalam organisasi.

• Menyelaraskan kepentingan perusahaan dengan karyawan

Setiap organisasi melakukan sebuah pengambilan keputusan, organisasi harus memikirkan dampak yang akan terjadi dari pengambilan keputusan tersebut bagi seluruh elemen dalam organisasi baik untuk organisasi itu sendiri maupun untuk para karyawan didalam organisasi tersebut. Karyawan cenderung memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi jika organisasi selalu memikirkan dan mengikut sertakan karyawan dalam setiap pengambilan keputusan dan tidak hanya memikirkan keuntungan bagi organisasi tersebut. Banyak organisasi saat ini menerapkan sistem profit-sharing plans, yaitu rencana insentif dimana karyawan menerim bonus secara proposional dengan profitabilitas yang diterima

(20)

perusahaan. Sistem ini dinilai cukup efektif dalam meningkatkan komitmen organisasi bagi karyawan karna sistem ini juga akan membuat karyawan lebih merasa terpacu untuk bekerja lebih baik karena akan menerima bonus lebih juga profit perusahaan meningkat dan akan menerima tambahan bonus sesuai dengan performance atau kontribusinya untuk meningkatkan profit perushaan.

• Merekrut karyawan baru yang sesuai dengan nilai-nilai organisasi

Merekrut karyawan baru adalah hal yang sangat penting, bukan saja karena dapat memberikan kesempatan untuk menemukan orang-orang baru yang sesuai dengan nilai yang organisasi miliki, tetapi juga dinamika dari proses rekrutment itu sendiri. Merekrut karyawan baru untuk menjadi bagian dari organisasi adalah sebuah investasi, karena dengan merekrut karyawan baru diharapkan akan meningkatkan kinerja perusahaan dan akan mempunyai komitmen terhadap organisasi. Dengan kata lain, perusahaan yang menunjukkan para karyawanya, mereka peduli untuk bekerja keras dan mencari seseorang yang mempunyai komitmen yang tinggi untuk organisasi.

• Selalu mendengarkan karyawan

Hal termudah dan paling efektif dalam meningkatkan komitmen adalah dengan cara selalu mendengarkan karyawan dalam segala hal. Banyak organisasi yang mengabaikan apa yang karyawan sampaikan dan keluhkan tentang organisasi, padahal karyawan adalah orang yang paling tahu bagaimana kondisi organisasi yang sebenarnya, dan karyawan dapat memberikan masukan dan saran untuk masalah yang tidak diketahui oleh para atasan. Saran dan masukan yang diberikan oleh karyawan adalah hal yang sangat penting yang harus diperhatikan oleh organisasi karena hal tersebut dapat menjadi masukan dan saran yang berguna dalam meningkatkan kinerja dan memecahkan masalah yang ada di dalam organisasi.

Selain itu, cara lain untuk meningkatkan komitmen organisasi (organizational commitment) juga disampaikan oleh Kreitner dan Kinicki (2009:167) dengan beberapa kegiatan seperti berikut:

• Komitmen afektif dapat ditingkatkan dengan cara merekrut karyawan yang mempunyai nilai-nilai pribadinya sesuai dengan nilai-nilai perusahaan. Lingkungan kerja yang positif dan menyenangkan juga dapat meningkatkan hasrat atau keinginan karyawan untuk tetap bekerja bagi perusahaan.

(21)

Komitmen Continuance dapat ditingkatkan denga cara memberikan karyawan kompensasi dan benefit melalui program-program yang dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

• Komitmen normatif dapat ditingkatkan dengan cara memastikan bahwa pihak manajemen tidak melanggar kontrak psikologisnya dan dengan berusaha meningkatkan tingkat kepercayaan disemua lini perusahaan.

2.1.3 Organizational Citizenship Behavior (OCB)

2.1.3.1 Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Organizational Citizenship Behavior (OCB) adalah suatu kontribusi seorang karyawan yang melebihi apa yang seharusnya ia kerjakan didalam sebuah organisasi. Organizational Citizenship Behavior (OCB) melibatkan beberapa perilaku seorang individu karyawan meliputi prilaku menolong orang lain, menjadi volunteer untuk tugas-tugas ekstra, patuh terhadap aturan-aturan dan prosedur-prosedur ditempat kerja. Perilaku sukarela yang dilakukan para karyawan tersebut memberikan suatu nilai tambah yang positif bagi karyawan yang merupakan bentuk dari prilaku sosial yang positif dan bermakna untuk membantu.

Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB) telah mengalami banya revisi denfinisi karena istilah ini diciptakan pada akhir tahun 1980-an, tetapi revisi yang dialami tidak banyak merubah definisi itu sendiri dan tetap sama pada intinya.OCB mengacu pada sesuatu tindakan yang karyawan pilih untuk lakukan, secara spontan dan atas kemauan mereka sendiri, yang sering berada diluar kewajiban yang harus ia lakukan (Zhang, 2011 ). OCB mungkin tidak selalu langsung diakui dan dihargai oleh organisasi, melalui kenaikan gaji atau promosi misalnya, meskipun begitu OCB dapat tercermin dalam pengawasan kinerja yang dilakukan oleh atasan dan jabatan yang dimiliki, atau penilaian kinerja yang didapat. Dengan cara ini secara tidak langsung dapat melihat kompensasi yang akan didapat karyawan nantinya.

Colquitt, Lepine, dan Wesson (2013:38) menjelaskan bahwa OCB adalah kategori kedua dari presati kerja. OCB didefinisikakn sebagai kegiatan sukarela yang dilakukan karyawan yang mungkin dan tidak mungkin dihargai oleh organisasi dan kegiatan ini memberikan kontribus terhadap organisasi dengan meningkatkan

(22)

kualitas kinerja. Dalam penelitian Djati (2008:25) Organizational Citizenship Behavior (OCB) adalah perilaku karyawan yang tidak tampak baik terhadap rekan kerja maupun terhadap organisasi, dimana perilaku tersebut melebihi dari perilaku standar yang ditetapkan perusahaan dan memberikan manfaat bagi organisasi. Contoh umum OCB termasuk menawarkan bantuan kepada karyawan baru menjelaskan suasana dan budaya organisasi, membatu karyawan lain yang sedang dikejar deadline untuk menyelesaikan pekerjaanya, atau bersedia untuk menggantikan pekerjaan karyawan lain.

2.1.3.2 Dimensi Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Teori mengenai dimensi yang paling populer untuk mengukur tingkat OCB didalam suatu organisasi, telah dijelaskan oleh Organ et al. (1988) dalam Zhang (2011: 9). Organ membagi dimensi tersebut kedalam lima faktor prilaku yang berhubungan antar sesama karyawan, dan prilaku antara karyawan dengan perusahaan. Kelima faktor tersebut adalah :

Altruism

Perilaku karyawan dalam menolong rekan kerja yang mengalami kesulitan dalam situasi yang sedang dihadapi baik mengenai tugas dalam organisasi maupun masalah pribadi orang lain. Dimensi ini mengarah kepada memberi pertolongan yang bukan merupakan kewajiban yang ditanggungnya.

Conscientiousness

Perilaku yang ditunjukkan dengan berusaha melebihi yang diharapkan organiasasi. Perilaku sukarela yang bukan merupakan kewajiban atau tugas karyawan. Dimensi ini menjangkau jauh diatas dan jauh ke depan dari apa yang telah ditugaskan dalam job description.

Sportmanship

Perilaku yang memberikan toleransi terhadap keadaan yang kurang ideal dalam organisasi tanpa mengajukan keberatan-keberatan. Seseorang yang mempunyai tingkatan yang tinggi dalam spotmanship akan meningkatkan iklim yang positf diantara karyawan, karyawan akan lebih sopan dan bekerja sama dengan yang lain sehingga akan menciptakan lingkungan kerja yang lebih menyenangkan.

(23)

Courtessy

Menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar terhindar dari masalah-masalah interpersonal. Seseorang yang memiliki dimensi ini adalah orang yang menghargai dan memperhatikan orang lain.

Civic Virtue

Perilaku yang mengindikasikan tanggung jawab pada kehidupan organisasi (mengikuti perubahan dalam organisasi, mengambil inisiatif untuk merekomendasikan bagaimana operasi atau prosedur - prosedur organisasi dapat diperbaiki, dan melindungi sumber – sumber yang dimiliki oleh organisasi). Dimensi ini mengarah pada tanggung jawab yang diberikan organisasi kepada seorang untuk meningkatkan kualitas bidang pekerjaan yang ditekuni.

2.1.3.3 Manfaat Organizational Citizenship Behavior (OCB) Dalam Organisasi

OCB telah terbukti memiliki dampak positif pada kinerja karyawan dan kesejahteraan. Menurut Podsakoff et al (2009) efek OCB terhadap kinerja karyawan sangat besar, para karyawan yang terlibat dalam OCB memiliki peringkat kerja yang lebih baik menurut evaluasi yang dilakukan oleh para manajer. Ini bisa saja terjadi karena karyawan yang terlibat dalam OCB melakukan sesuatu hal yang lebih dan ia pasti akan menerima sesuatu yang lebih dari orang lain, atau mungkin disebabkan lebih banyak alasan yang berhubungan dengan pekerjaan seperti keyakinan manajer bahwa OCB memiliki peran penting dalam keberhasilan organisasi secara keseluruhan, atau persepsi OCB sebagai bentuk komitmen karyawan karena sebuah sifat sukarela (Organ et al., 2006). Menurut Organ et al. (2006) OCB memiliki beberapa manfaat untuk perusahaan, antara lain :

• Meningkatkan produktivitas para karyawan antara lain dengan membantu karyawan baru didalam organisasi, membantu karyawan lain dalam menyelesaikan pekerjaan yang sudah memasuki deadline.

• Memberikan kebebasan kepada karyawan untuk melakukan pekerjaanya sendiri, memberikan para manajer lebih banyak waktu untuk melakukan pekerjaanya, mengedepankan kerja sama didalam tim atau kelompok.

• Merekrut dan mempertahankan karyawan yang memiliki perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai perusahaan menciptakan dan menjaga lingkungan yang

(24)

nyaman dan kekeluargaan agar karyawan merasa nyaman dan merasa memiliki oragnisasi terebut.

• Menciptakan modal sosial melalu komunikasi yang lebih baik dan membangun jaringan yang kuat antar karyawan agar dapat meningkatkan efisiensi dalam melakukan komunikasi dan pertukaran informasi untuk meminimalisir kesalahan dalam penyampaian informasi.

Selain itu manfaat OCB juga dijelaskan dalam penelitian yang dilakukan oleh Podsakoff et al. dalam Elfina (2007:5), menjelaskan mengenai pengaruh Organizational Citizenship Behavior (OCB) terhadap kinerja organisasi. Hasil dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa :

Organizational Citizenship Behavior (OCB) meningkatkan produktivitas rekan kerja.

Karyawan yang menolong rekan kerjanya yang lain akan mempercepat dalam penyelesaian tugas rekan kerjanya, dan akan membantu menigkatkan produktivitas rekan kerjanya tersebut.

Organizational Citizenship Behavior (OCB) meningkatkan produktivitas manajer.

Karyawan yang menampilkan perilaku civic vitue akan membantu manajer mendapatkan saran atau feed back yang berharga dari karyawan tersebut dan dapat meningkatkan efektivitas unit kerja.

Organizational Citizenship Behavior (OCB)

menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan organisasi secara keseluruhan.

Jika karyawan saling tolong-menolong dalam menyelesaikan masalah dalam suatu pekerjaan sehingga tidak perlu melibatkan manajer, konsekuensinya manajer dapat memakai waktunya untuk melakukan tugas lain.

Organizational Citizenship Behavior (OCB)

membantu menghemat energi sumber daya yang langka untuk fungsi kelompok.

Keuntungan dari perilaku tolong menolong adalag meningkatkan semangat, moril, dan mempererat kelompok, sehingga anggota kelompok tidak perlu menghabiskan energi dan waktu untuk pemeliharaan fungsi kelompok.

(25)

Organizational Citizenship Behavior (OCB) dapat menjadi sarana efektif untuk mengkoordinasi kegiatan-kegiatan kelompok kerja.

Menampilkan perilaku courtesy yaitu dengan saling memberi informasi tentang pekerjaan dengan sesama anggota maupun dengan anggota tim lain akan menghindari munculnya masalah yang membutuhkan waktu dan tenaga untuk penyelesaianya.

Organizational Citizenship Behavior (OCB) meningkatkan kemampuan organisasi untuk menarik dan mempertahankan karyawan terbaik.

Perilaku menolong dapat meningkatkan moril dan keeratan serta perasaan saling memiliki diantara anggota kelompok, sehingga akan meningkatkan kinerja organisasi dan membantu organisasi menarik dan mempertahankan karyawan terbaik.

Organizational Citizenship Behavior (OCB) meningkatkan stabilitas kinerja organisasi.

Membantu tugas karyawan yang tidak hadir di tempat kerja atau yang mempunyai pekerjaan yang banyak akan meningkatkan stabilitas dari kinerja unit kerja.

Organizational Citizenship Behavior (OCB) meningatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan.

Karyawan yang mempunyai hubungan yang dekat dengan pasar dengan sukarela memberi informasi tentang perubahan yang terjadi di lingkungan dan memberi saran tentang bagaimana merespon perubahan tersebut, sehingga orgnisasi dapat beradaptasi dengan cepat.

Untuk dapat meningkatkan Organizational Citizenship Behavior (OCB) karyawan maka sangat penting bagi organisasi untuk mengetahui apa yang menyebabkan timbulnya atau meningkatkanya Organizational Citizenship Behavior (OCB).

2.1.3.4 Faktor-Faktor Internal dan Eksternal Pembentuk Organizational Citizenship Behavior (OCB)

(26)

Menurut Organ et al. (dalam Titisari, 2014:15) menjelaskan bahwa peningkatan Organizational Citizenship Behavior (OCB) dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor internal yang berasal dari dalam diri karyawan, dan faktor eksternal yang berasal dari luar karyawan. Faktor-faktor interal tersebut antara lain :

• Kepuasan kerja

Karyawan yang memiliki kepuasan kerja akan berbicara positif tentang organisasi, membantu rekan kerja, dan membuat kinerja pekerjaan mereka lebih dari apa yang ditugaskan, karyawan yang memiliki kepuasan kerja juga akan lebih patuh terhadap aturan-aturan organisasi, karena mereka ingin terus mendapatkan kepuasan kerja tersebut. Kepuasan kerja ditentukan oleh perbedaan antara apa yang diharapkan didalam pekerjaan dengan apa yang diterima.

• Komitmen organisasi

Organizational Citizenship Behavior (OCB) sangat berhubungan erat dengan komitmen organisasi. Karena karyawan yang telah memiliki komitmen terhadap organisasi otomotasi akan memiliki Organizational Citizenship Behavior (OCB), karena jika seorang karyawan memiliki komitmen terhadap organisasi ia pasti akan merasakan kepuasan kerja yang ia rasakan didalam organisasi. Kepuasan kerja akan membuat karyawan mau melakukan apa saja untuk kemajuan organisasi, baik dengan mengerjakan pekerjaan yang lebih dari yang ia dapatkan dan membantu rekan kerja yang memiliki kesulitan. • Kepribadian

Perbedaan individu merupakan hal pembeda pada dalam diri karyawan yang akan menunjukan sikap Organizational Citizenship Behavior (OCB) mereka, maka diyakini bahwa beberapa orang yang memperlihatkan siapa mereka akan lebih mungkin untuk mereka menampilkan Organizational Citizenship Behavior (OCB).

• Moral karyawan

Moral karyawan juga sangat penting dalam faktor pembentukan Organizational Citizenship Behavior (OCB) karena moral adalah kewajiban berbuat baik seseorang terhadap masyarakat atau organisasi sesuai dengan aturan yang telah ditentukan.

(27)

Motivasi adalah salah satu faktor internal Organizational Citizenship Behavior (OCB), karena motivasi adalah dorongan yang berasal dari dalam diri seorang karyawan untuk melakukan sesuatu hal. Jika seorang karyawan tidak memiliki motivasi dalam bekerja otomatis ia akan kehilangan semangat dalam melakukan pekerjaanya yang membuat pekerjaan yang karyawan lakukan menjadi tidak efektif. Motivasi karyawan dapat berasal dari kepuasan kerja yang ia rasakan didalam organisasi, baik dengan senang dengan kondisi lingkungan organisasi yang stabil membuat karyawan merasa nyaman dan semangat dalam bekerja maupun merasa puas dengan apa yang diberikan organisasi kepadanya yang sesuai bahkan lebih dari yang karyawan harapkan.

Sedangkan faktor eksternal yang dapat meningkatkan Organizational Citizenship Behavior (OCB) antara lain :

• Kepemimpinan situasional

Gaya kepemimpinan situasional ini berpengaruh signifikan terhdap Organizational Citizenship Behavior (OCB) karena gaya kepemimpinan dapat berkontribusi untuk pengembangan lebih kuat pada prersepsi sarana organisasi dan individu.

• Kepercayaan pada pimpinan

Bahwa kepercayaan terhadap pimpinan dapat memperkuat hubungan antara kepemimpinan transformasional terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB). Karena kepercayaan adalah faktor yang paling penting bagi karyawan untuk dapat bekerja, karena jika ia percaya terhadap pimpinan akan merasa nyaman dan membuat pimpinan tersebut menjadi panutan untuk karyawan dalam melakukan segala hal yang berkaitan dengan pekerjaanya. • Budaya organisasi

Budaya organisasi adalah salah satu faktor eksternal yang sangat penting untuk dapat membuat karyawan merasa nyaman dan merasa kepribadianya atau dirinya sejalan dengan budaya organisasi. Budaya organisasi dapat menciptakan kenyamanan untuk para karyawan dalam bekerja dan merasa bahwa nilai-nilai karyawan sejalan dengan nilai-nilai organisasi yang akan menciptakan komitmen organisasi dan berpengaruh pada Organizational Citizenship Behavior (OCB).

(28)

• Kepemimpinan transformasional

Tanggung jawab utama dari seorang pimpinan organisasi adalah mengarahkan bawahanya ke arah pencapaian tujuan organisasi dengan jalan mengartikulasikan misi, visi, strategi dan tujuan organisasi.

2.2 Penelitian Terdahulu

Selama beberapa tahun terakhir telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengungkapkan hubungan antara emotional intelligence, komitmen organisasi, dan organizational citizenship behavior yang ternyata mempunyai hubungan yang positif diantara variabel nya. Pada subab ini penulis akan membahas hubungan antar variabel yang telah ditulis oleh peneliti terdahulu, hubungan tersebut antara lain hubungan antara emotional intelligence dengan komitmen organisasi, hubungan antara komitmen organisasi dengan organizational citizenship behavior, kemudian antara emotional intelligence dengan organizational citizenship behavior, dan yang terakhir hubungan antara ketiga variabel dalam penelitian ini yaitu emotional intelligence, komitmen organisasi, dan organizational citizenship behavior. Hal ini dilakukan untuk membuktikan bahwa benar telah ada penelitian yang telah menjelaskan hubungan antara ketiga variabel tersebut.

2.2.1 Hubungan Antara Emotional Intelligence dengan Komitmen Organisasi Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hassan Rangriz dan Javad Mehrabi dalam jurnal pada bulan Juli tahun 2011, menjelaskan bahwa terdapat empat aspek penting dalam penelitian ini. Hubungan tersebut antara lain untuk menguji emotional intelligence dan organisational commitment pada karyawan, untuk menguji hubungan antara Emotional Intelligence dengan kinerja karyawan, untuk menguji apakah Emotional Intelligence pada manajer mempengaruhi organisational commitment karyawan, dan terakhir menguji apa emotional intelligence pada manajer mempengaruhi kinerja karyawan. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara emotional intelligence karyawan dengan organisational commitment dan kinerja karyawan. Penelitian ini juga menunjukan bahwa emotional intelligence yang dimiliki oleh manajer tidak mempengaruhi organisational commitment dan kinerja karyawan. Selain itu, penelitian ini juga menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara emotional Intelligence, organizational commitment serta kinerja karyawan pada karyawan pria

(29)

dan wanita. Ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Farzin Samia Kalantari, Kiamars Fathi Hafshejani, Sadigh Raissi dalam jurnal internasional pada tahun 2015 yang meniliti mengenai hubungan antara emotional intelligence , kepuasan kerja, dan komitmen organisasi. Hasil penelian ini mengatakan bahwa komitmen organisasi adalah perantara untuk mempengaruhi emotional intelligence dan kepuasan kerja pada karyawan. Ketika seseorang karyawan mempunyai emotional intelligence yang tinggi, hal ini akan mendukung terciptanya komitmen organisasi, dan komitmen tersebut pada akhirnya akan meningkatkan kepuasa kerja karyawan tersebut. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Afzaal H. Seyal dan Taha Afzaal pada bulan Februari tahun 2013, yang meneliti mengenai hubungan antara emotional intelligence, komitmen organisasi dan kepuasan kerja. Hasli dari penelitian menemukan hubungan antara ketiga variabel tersebut, penelitian ini mengemukakan bahwa hanya dua dimensi pada emotional intelligence yaitu self awareness dan self management yang terkait dengan kepuasan kerja, dengan kata lain bahwa banyak responden dalam penelitian yang memiliki nilai rendah dalam dua dimensi tersebut. Mereka tidak hanya menyadari emosi mereka, tetapi juga mengetahui bagaimana mengeksprisikanya dan mengelolanya. Kemudian penelitian juga dilakukan oleh Choi Sang Long dan Tan Owee Kowang pada bulan Januari tahun 2015, yang melakukan analisis korelasi pada 2 perusahaan mengatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara dimensi emotional intelligence dan tingkat komitmen organisasi. Hasilnya menunjukan bahwa 4 dimensi dalam emotional intelligence yang dimiliki para pemimipin memiliki hubungan yg signifikan dengan komitmen organisasi.

2.2.2 Hubungan Antara Emotional Intelligence dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Salarzehi et al pada bulan Agustus tahun 2011, mengatakan bahwa tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menguji hubungan antara emotional intelligence dengan organizational citizenship behavior, dan penelitian ini menemukan bahwa emotional intelligence berhubungan positif dengan seluruh dimensi dalam OCB. Seorang karyawan yang memiliki kecerdasan dalam emosional cenderung akan selalu membantu karyawan lain yang memiliki masalah dalam pekerjaanya dan sebagian besar dari mereka bersedia untuk melakukan itu semua dengan sepenuh hati. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Modassir

(30)

dan Singh pada tahun 2008 meneliti hubungan emotional intelligence dengan kepemimpinan transformasional (TL) dan OCB. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa emotional intelligence yang dimiliki oleh seorang pemimpin dapat meningkatkan OCB karyawan mereka. Karyawan percaya bahwa dalam menciptakan sebuah team work, diperlukan kesadaran akan misi perusahaan yang akan memberikan manfaat bagi semua karyawan, dan agar mereka termotivasi untuk bekerja dalam mencapai tujuan organisasi bersama-sama sebagai sebuah tim dan saling membantu satu sama lain untuk berprestasi. Karena hal terebut emotional intelligence yang dimiliki seorang pemimpin memainkan peran yang sangat penting dalam menentukan OCB para karyawan mereka. Emotional intelligence yang dimiliki seorang pemimpin juga dapat mengontrol perilaku diri mereka sendiri dan dapat memahami para karyawan nya, sehingga dapat meningkatkan peran OCB dari para karyawan. Korkmaz dan Arpaci pada tahun 2009 meneliti hubungan OCB dengan emotional intelligence dari para karyawan. Mereka menemukan bahwa emotional intelligence seorang pemimpin dapat mendorong dua faktor OCB pada diri karyawan yaitu conscientiousness dan altruisme. Emotional intelligence yang dimiliki seorang pemimpin dapat mempengaruhi prilaku organisasi karyawan dan hasilnya menunjukan bahwa emotional intelligence merupakan suatu komponen penting untuk menjadi seorang pemimpin yang afektif. Hal ini terjadi karena pemimpin yang cerdas dapat memonitor perilaku nya dan mereka juga dapat memahami emotional intelligence yang dimiliki oleh karyawanya. Karyawan akan memberikan yang terbaik bagi organisasi jika mereka merasa bahwa pemimpin mereka memahami apa yang menjadi kebutuhan mereka. Dengan memahami karyawan, para pemimpin dapat memotivasi dan mengarahkan karyawan meka dalam menujukan OCB yang mereka miliki.

2.2.3 Hubungan antara Komitmen Organisasi dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Muh. Akmal Ibrahim dan Andi Aslinda, dalam jurnal International Business and Management pada bulan Agustus 2013, mengatakan bahwa komitmen organisasi mempunyai pengaruh yang positif terhadap organizational citizenship behavior. Perubahan yang terjadi dalam setiap variabel yang dimiliki oleh komitmen organisasi baik peningkatan maupun penurunan akan diikuti bersamaan dengan variabel yang

(31)

dimiliki oleh OCB. Dalam penelitian ini juga mengatakan bahwa tingkat keberhasilan organisasi juga ditentukan oleh bagaimana organisasi merangsang komitmen pada organisasi itu sendiri. Dengan merangsang komitmen organisasi secara efektif, ikatan psikologis yang dimiliki karyawan terhadap organisasi menjadi lebih kuat dan akan menimbulkan dorongan yang kuat untuk menunjukan perilaku OCB yang lebih. Hal ini juga mendukung penelitian yang telah dilakukan oleh Organ et al. (dalam Titisari, 2014:15) yang menyebutkan bahwa peningkatan OCB dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor e. Komitmen organisasi adalah salah satu faktor yang masuk didalam faktor internal yang dapat meningkatkan OCB pada seorang karyawan. Dari peneltian diatas dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi dan OCB adalah hal yang saling bertergantungan antara satu sama lain, karena jika seorang karyawan mempunyai komitmen organisasi pada dirinya, secara tidak langsung ia juga mempunyai OCB didalam dirinya. Jika salah satu dari kedua hal tersebut menurun, ini akan berhimbas pada penurunan pada variabel lainya, maka dari itu diperlukan selalu dukungan dan program-program yang diberikan oleh organisasi agar hal ini dapat terus berkembang dan dapat membantu organsasi dalam pencapaian tujuan dari organisasi. Kemudian S. Saxena dan R. Saxena , pada tahun 2015 meneliti dampak hubungan dari job involvement dan komitmen organisasi terhadap OCB. Hasil penelitian ini mengatakan bahwa terdapat pengaruh signifikan antara ketiga variabel tersebut, penelitian ini mengatakan bahwa job involvement yang dimiliki oleh seorang karyawan tergantung dari komitmen organisasi yang dimiliki nya, dan komitmen organisasi juga tergantung pada job involvement seseorang. Jika seseorang karyawan memiliki kedua hal tersebut, ia pasti memiliki OCB didalam dirinya. Semakin seseorang karywan mengidentifikasi dirinya dengan pekerjaanya, dan berkomitmen penuh untuk organisasi, semakin ia efisien terhadap pekerjaanya dan lebih merasa memiliki perusahaan tersebut.

2.2.4 Hubungan Antara Emotional Intelligence, Komitmen Organisasi dan Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Penelitian yang dilakukan oleh Janis Maria Anthony dalam International Journal of Social Science & Interdisciplinary pada bulan Maret tahun 2013, menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara emotional intelligence, komitmen organisasi dan organizational citizenship behavior, karyawan yang

(32)

mengelola emosi dalam diri mereka, dapat menjaga hubungan baik antar individu, mereka juga mempunya komitmen untuk organisasi tempat mereka bekerja dan dapat melakukan pekerjaan ekstra untuk kepentingan organisasi mereka. Semakin tinggi tingkat kecerdasan emosional dalam individu, semakin besar juga komitmen yang mereka miliki terhadap organisasi dan OCB. Emotional Intelligence sangat diperlukan dalam organisasi dalam setiap lini yang dimiliki untuk menimbulkan komitmen seseorang terhadap organisasi dan juga untuk mempunyai OCB dalam diri mereka. hal ini juga sejalan dengan yang disampaikan oleh Saman Chehrazi, Mehrdad Hoseini Shakib dan Mohammad Hosein Askari Azad pada tahun 2014, mereka meneliti hubungan antara emotional intelligence dan OCB dengan menggunakan komitmen organisasi sebaga variabel mediator. Penelitian ini melibatkan 324 karyawan perusahaan bus di Iran, dan menggunakan SEM sebagai metodelogi peneltianya. Hasil dari penelitian ini mengkonfirmasi bahwa emotional intelligence memiliki hubungan yang positif dengan komitmen organisasi, emotional intelligence memiliki hubungan yang positif dengan OCB, dan komitmen organisasi memiliki hubungan yang positif dengan OCB. Dapat disimpulkan dari penelitian ini bahwa emotional Iitelligence, komitmen organisasi dan organizational citizenship behavior adalah tigal hal yang memiliki hubungan yang positif antara satu sama lain.

(33)

2.3 Kerangka Pemikiran

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran

Sumber : Chehrazi, S. & Shakib, M. (2014). Emotional Intelligence (X) 1. Self-awareness 2. Self management 3. Social awareness 4. Relationship Management Komitmen Organisasi (Y) 1. Affective Commitment 2. Continuance Commitment 3. Normative Commitment Organizational Citizenship Behaviour (Z) 1. Alturism 2. Courtesy 3. Sportsmanship 4. Civic virtue 5. Conscientiousness

(34)

2.4 Hipotesis

Menurut Sekaran (2010:135) hipotesis bisa didefinisikan sebagai hubungan yang diperkirakan secara logis diantara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk petanyaan yang dapat diuji. Hubungan tersebut dapat ditetapkan dalam kerangka teoritis yang dirumuskan untuk studi penelitian.

Di dalam penelitian ini, variabel yang digunakan adalah 1 (satu) variabel independent yaitu Emotional Intelligence (X), serta 1 (satu) variabel intervening yaitu komitmen organisasi (Y), dan 1 (satu) variabel dependent yaitu Organizational Citizenship Behavior (Z) dapat dirumuskan hipotesis sebagai dasar dari dugaan sementara terhadap variabel-variabel yang dirancang sebagai berikut:

1. T-1 : Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh Emotional Intelligence terhadap Komitmen Organisasi pada PT TÜV Rheinland Indonesia.

Ho : Tidak ada pengaruh Emotional Intelligence terhadap Komitmen Organisasi pada PT TÜV Rheinland Indonesia.

Ha : Ada pengaruh Emotional Intelligence terhadap Komitmen Organisasi pada PT TÜV Rheinland Indonesia.

2. T-2 : Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh Emotional Intelligence terhadap Organizational Citizenship Behavior pada PT TÜV Rheinland Indonesia.

Ho : Tidak ada pengaruh Emotional Intelligence terhadap Organizational Citizenship Behavior pada PT TÜV Rheinland Indonesia.

Ha : Ada pengaruh Emotional Intelligence terhadap Organizational Citizenship Behavior pada PT TÜV Rheinland Indonesia.

3. T-3 : Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh Komitmen Organisasi terhadap Organizational Citizenship Behavior pada PT TÜV Rheinland Indonesia.

Ho : Tidak ada pengaruh Komitmen Organisasi terhadap Organizational Citizenship Behavior pada PT TÜV Rheinland Indonesia.

Ha : Ada pengaruh Komitmen Organisasi terhadap Organizational Citizenship Behavior pada PT TÜV Rheinland Indonesia.

(35)

4. T- 4 : Untuk mengetahui apakah terdapat Emotional Intelligence terhadap Organizational Citizenship Behavior melalui Komitmen Organisasi pada PT TÜV Rheinland Indonesia.

Ho : Tidak ada pengaruh Emotional Intelligence terhadap Organizational Citizenship Behavior melalui Komitmen Organisasi pada PT TÜV Rheinland Indonesia.

Ha : Ada pengaruh Emotional Intelligence terhadap Organizational Citizenship Behavior melalui Komitmen Organisasi pada PT TÜV Rheinland Indonesia.

(36)

Gambar

Tabel 2.1 Dimensi Emotional Intelligence  Self  (Personal Competence)  Other  (Social Competence)  Recognition  Self-Awareness   •  Emotional  self-awareness  •  Accurate  self-assesment  • Self-confidence   Social Awareness  • Empathy  •  Organizational a
Gambar 2.1 Lima Area Emotional Intelligence  Sumber : (Lynn 2008:7)
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah metode yang digunakan, yaitu menggunakan metode kuantitatif dan variabel yang diuji dalam

Secara umum jika dilihat dari persiapan yang telah dilakukan oleh pemerintah dan IAI, profesi akuntan Indonesia telah memiliki strategi yang matang dalam

NO Nama NIM Program Studi L/P

Menurut Sugiyono (2005:11) “penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih tanpa

yang luas itu, yang diatas nya berkaparan tubuh%tubuh yang gugur, prajurit%prajurit yang baik, nya berkaparan tubuh%tubuh yang gugur, prajurit%prajurit yang baik, yang

Titrasi ini digunakan apabila reaksi antara kation dengan EDTAlambat atau apabila indicator yang sesuai tidak ada. EDTA berlebih ditambahkan berlebih dan yang bersisa dititrasi