• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Nematoda

Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda adalah cacing yang bentuknya panjang, silindrik, tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral simetrik, panjang cacing ini mulai dari 2 mm sampai 1 m. Nematoda yang ditemukan pada manusia terdapat dalam organ usus, jaringan dan sistem peredaran darah, keberadaan cacing ini menimbulkan manifestasi klinik yang berbeda-beda tergantung pada spesiesnya dan organ yang dihinggapi.

2.2. Jenis Nematoda Usus

Nematoda merupakan salah satu jenis cacing parasit yang paling sering ditemukan pada tubuh manusia. Nematoda yang hidup dalam usus manusia disebut dengan nematoda usus. Nematoda usus sering disebut sebagai cacing gilig, di antara filum yang lain , filum ini mempunyai anggota terbanyak baik jenis maupun individunya.

Di antara nematoda usus ini yang paling sering menginfeksi manusia adalah yang ditularkan melalui tanah atau disebut ”soil transmitted helminths ”. Empat jenis Soil Transmitted Helminths (STH) yang paling sering menginfeksi adalah roundworm (Ascaris lumbricoides), whipworm (Trichuris trichiura), dan hookworm (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) sedangkan Strongyloides stercoralis jarang ditemukan terutama pada daerah yang beriklim dingin (Srisari G., 2006). Namun STH yang hanya dapat dibantu transmisinya oleh pedagang makanan (food handler) melalui kontaminasi tangan adalah Ascaris lumbricoides dan Trichiuris trichiura.

(2)

Gambar 2.1. Jenis Soil Transmitted Helminths (STH) (Soedarto, 1991)

2.3. Epidemiologi Infeksi Namatoda Usus

Data WHO menyebutkan lebih dari 2 milyar orang di seluruh dunia menderita kecacingan. Asia Tenggara merupakan salah satu wilayah yang memiliki prevalensi tinggi infeksi cacing di dunia (de Silva et.al., 2003). Di Indonesia, infeksi cacing masih merupakan masalah besar dalam kesehatan masyarakat karena prevalensinya masih tinggi yaitu kurang lebih 45– 65%, bahkan di wilayah-wilayah tertentu yang memiliki sanitasi lingkungan buruk, panas, dan kelembaban tinggi prevalensi infeksi cacing bisa mencapai 80% (Ali, 2007).

(3)

Cacing penyebab utama di seluruh dunia

Penyakit Perkiraan populasi yang terinfeksi (juta)

Ascaris lumbricoides Infeksi cacing gelang 807-1221 Trichuris trichiura Infeksi cacing cambuk 604-795 Necator americanus dan

Ancylostoma duodenale

Infeksi cacing tambang 576-740

Strongyloides stercoralis Infeksi cacing benang (threadworm)

30-100

Enterobius vermicularis Infeksi cacing kremi 4-28% Sumber : Bethony dkk, 2006

Tabel 2.1. Jenis Cacing Penyebab Utama Infeksi Nematoda Usus di Seluruh Dunia

2.4. Faktor Resiko Infeksi Nematoda Usus

Faktor host dan lingkungan merupakan faktor resiko infeksi cacing pada manusia diantaranya :

1. Faktor individu a. Genetik

Sampai saat ini belum berhasil diindentifikasi adanya gen yang dapat mengendalikan infeksi cacing. Namun demikian, hasil pemindain terakhir tentang genom memberikan gambaran kemungkinan adanya kromosom 1 dan 13 untuk mengendalikan Ascaris lumbricoides (Hotez et al., 2006).

b. Higiene Perorangan (Kebersihan diri)

Menurut Entjang (2001) usaha kesehatan pribadi (higiene perorangan) adalah upaya dari seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya. Pedagang dengan kebersihan diri yang buruk mempunyai kemungkinan lebih besar untuk terinfeksi oleh semua jenis cacing (Brown, 1983).

Menurut Azwar (1993) pada prakteknya upaya higiene antara lain mencuci tangan dengan sabun sebelum memegang makanan, mengambil makanan dengan

(4)

memakai alat seperti sendok dan menjaga kebersihan kuku serta memotongnya apabila panjang, tangan yang kotor dan kuku jari tangan kotor yang telah terinfeksi telur cacing akan tertelan ketika makan (Onggowaluyo, 2002) .

c. Perilaku

Perilaku manusia pada hakekatnya merupakan aktifitas dari manusia itu sendiri. Perilaku masyarakat untuk buang air besar di sembarang tempat dan kebiasaan tidak memakai alas kaki mempunyai intensitas infeksi cacing yang tinggi. Selain itu, perilaku manusia yang seringkali kurang memperhatikan pentingnya penggunaan air bersih untuk kehidupan, juga berperan terhadap terjadinya infeksi cacing (Hotez et al., 2006).

d. Faktor sosial

Golongan penduduk yang kurang mampu, kepadatan penduduk dan tingkat pendidikan rendah merupakan salah satu faktor resiko terinfeksi cacing (Hotez et al., 2006).

2.Faktor Lingkungan a.Iklim dan Suhu

Telur dan larva cacing lebih dapat berkembang pada daerah yang lembab yaitu di negara yang beriklim tropis dan subtropis. Perkembangan telur Ascaris lumbricoides yang optimum terjadi pada suhu 25°C, telur Trichuris trichiura pada suhu 30°C. Suhu optimum Necator americanus adalah 28-32°C, sedangkan Ancylostoma duodenale adalah 23-25°C (Sutanto, 2008).

b.Tanah

Untuk perkembangan telurnya, Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura memerlukan tanah yang lembab, tanah liat dan terlindung dari cahaya matahari. Partikel tanah liat mempunyai ukuran 2 μm, mampu menyerap air dan mengandung sedikit udara, sehingga pada keadaan basah dapat saling lengket dengan telur cacing. Hal ini berbeda dengan cacing tambang karena larva cacing ini memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya (Suriptiastuti, 2006).

(5)

c. Sinar matahari

Telur dapat mengalami kerusakan oleh bahan kimia dan sinar matahari langsung. Telur cacing dapat tumbuh optimal pada tempat teduh dan terlindung dari sinar matahari (Brown, 1979).

d. Angin

Kecepatan angin dapat mengeringkan telur sehingga dapat mematikan telur dan larva cacing, disamping itu juga dapat membantu menyebarkan telur cacing bersama debu (Brown, 1979).

2.5. Jenis Nematoda Usus yang Ditularkan Melalui Tanah (Soil Transmitted Helminth)

2.5.1. Ascaris lumbricoides

2.5.1.1. Siklus Hidup

Gambaran umum siklus hidup cacing Ascaris lumbricoides dapat dilihat pada gambar berikut ini :

(6)

Gambar 2.2. Siklus Hidup Ascaris lumbricoides Dikutip dari :

Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2009. Ascariasis: Biology, Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention. Diunduh dari:

http://www.cdc.gov/parasites/ascariasis/biology.html

Keterangan :

1. Cacing dewasa hidup di saluran usus halus. Seekor cacing betina mampu menghasilkan telur sampai 240.000 per hari, yang akan keluar bersama feses. 2. Telur yang sudah dibuahi mengandung embrio dan menjadi infektif setelah 18 hari sampai beberapa minggu di tanah.

3. Perkembangan telur tergantung pada kondisi lingkungan (kondisi optimum: lembab, hangat, tempat teduh).

4. Telur infektif tertelan.

5. Telur masuk ke usus halus dan menetas mengeluarkan larva yang kemudian menembus mukosa usus, masuk kelenjar getah bening dan aliran darah dan terbawa sampai ke paru-paru.

(7)

6. Larva mengalami pendewasaan di dalam paru-paru (10-14 hari), menembus dinding alveoli, naik ke saluran pernafasan dan akhirnya tertelan kembali. Ketika mencapai usus halus, larva tumbuh menjadi cacing dewasa. Waktu yang diperlukan mulai dari tertelan telur infektif sampai menjadi cacing dewasa sekitar 2 sampai 3 bulan. Cacing dewasa dapat hidup 1 sampai 2 tahun di dalam tubuh (Albert, 2006).

Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus dan timbul gangguan paru yang disertai dengan batuk, demam dan eosinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu tiga minggu. Keadaan ini disebut Sindrom Loffler. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi.

2.5.1.2. Gejala Klinis

Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing-cacing ini menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus). Pada keadaan tertentu, cacing dewasa mengembara ke saluran empedu, apendiks, atau bronkus dan menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga kadang-kadang perlu tindakan operatif (Sutanto, 2008).

Diagnosa dengan menemukan telur di dalam tinja. Selain itu, diagnosis dapat pula dibuat apabila cacing dewasa yang keluar sendiri baik melalui mulut, hidung, maupun tinja (Srisari G.,2006).

(8)

2.5.2. Trichuris trichiura 2.5.2.1. Siklus Hidup

Gambar 2.3. Siklus Hidup Trichuris trichiura Dikutip dari :

Gambaran umum siklus hidup cacing Trichuris trichiura dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2009. Trichuriasis: Biology, Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention. Diunduh dari:

http://www.cdc.gov/parasites/whipworm/biology.html

Keterangan :

1. Manusia merupakan hospes perantara cacing ini. Telur yang telah dibuahi keluar bersama tinja.

2.Awalnya telur mengandung dua sel selanjutnya membelah menjadi multiseluler, kemudian menjadi embrio.

3. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan tempat yang teduh. Telur

(9)

matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif.

4. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan hospes menelan telur matang. 5. Larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. 6. Sesudah menjadi dewasa, cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum. Cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari sebanyak 3000-20.000 butir. Cacing ini tidak mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina meletakkan telur kira-kira 30-90 hari. Jangka hidup (life span) selama 4-6 tahun, bahkan dapat juga menginfeksi sampai 8 tahun (Srisari G, 2006).

Cacing Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannnya dapat terjadi perdarahan. Selain itu, cacing ini mengisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia.

Penderita terutama anak dengan infeksi Trichuris trichuira yang berat dan menahun, menunjukkan gejala-gejala nyata seperti diare yang sering diselingi dengan sindrom disentri, anemia, berat badan turun, dan kadang-kadang disertai prolapsus rektum.

Infeksi berat Trichuris trichuira sering disertai infeksi cacing lainnya atau protozoa. Infeksi ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala (Sutanto, 2008).

2.5.2.2. Gejala Klinis

2.5.2.3.Diagnosa

Diagnosa parasit ini dengan ditemukannya telur pada pemeriksaan tinja (Sutanto, 2008).

(10)

2.5.3. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus (hookworm) 2.5.3.1. Siklus Hidup

Gambaran umum siklus hidup cacing hookworm dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Gambar 2.4. Siklus Hidup Hookworm Dikutip dari :

Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2009. Trichuriasis: Biology, Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention. Diunduh dari:

http://www.cdc.gov/parasites/hookworm/biology.html

Keterangan :

1. Telur dikeluarkan oleh hospes bersama tinja

2. Setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari keluarlah larva rhabditiform. 3. Dalam waktu kira-kira 3 hari larva rhabditiform tumbuh menjadi larva

filariform.

4. Larva filariform dapat hidup selama 7-8 minggu di tanah. Larva filarform dapat menembus kulit menginfeksi manusia.

(11)

Daur hidupnya sebagai berikut :

Telur → larva rhabditiform → larva filariform → menembus kulit → kapiler darah → jantung kanan → paru → bronkus → trakea → laring → usus halus. (Srisasi G., 2006)

1) Stadium Larva

Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch. Perubahan pada paru biasanya ringan.

2) Stadium Dewasa

Gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing, serta keadaan gizi penderita (Ferum dan Protein). Tiap cacing Ancylostoma duodenale menyebabkan kehilangan darah 0,08-0,34 cc sehari, sedangkan Necator americanus 0,005-0,1 cc sehari. Biasanya terjadi anemia hipokrom mikrositer pada infeksi berat. Disamping itu juga terdapat eosinofilia. Bukti adanya toksin yang menyebabkan anemia belum ada. Biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja menurun (Srisasi G., 2006).

2.5.3.2. Gejala Klinis

2.5.3.3. Diagnosa

Diagnosa ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja segar. Untuk membedakan spesies Ancylostoma duodenale dan Necator americanus dapat dilakukan biakan tinja dengan cara Harada-Mori (Srisasi G., 2006).

(12)

2.6. Pemeriksaan Tinja pada Infeksi Nematoda Usus

Pemeriksaan yang umumnya dilakukan dalam mendiagnosis infeksi nematoda usus berupa mendeteksi telur cacing atau larva pada feses manusia (Suali, 2009; Maguire, 2010; WHO, 2012).

Pemeriksaan rutin feses dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Pemeriksaan makroskopis dilakukan untuk menilai warna, konsistensi, jumlah, bentuk, bau, dan tidaknya mukus. Pada pemeriksaan ini juga dinilai ada-tidaknya gumpalan darah yang tersembunyi, lemak, serat daging, empedu, sel darah putih, dan gula sedangkan pemeriksaan mikroskopis bertujuan untuk memeriksa parasit dan telur cacing (Swierczynski, 2010).

Pemeriksaan mikroskop telur-telur cacing dari feses terdiri dari dua macam cara pemeriksaan, yaitu secara kuantitatif dan kualitatif. Pemeriksaan kuantitatif dilakukan dengan metode Kato dan Metode Stoll. Pemeriksaan kualitatif dilakukan dengan metode natif (direct slide) , Metode Apung (Flotation method), Metode Selotif dan Metode Modifikasi Kato Katz.

Pemeriksaan kuantitatif diperlukan untuk menentukan intensitas infeksi atau berat ringannya penyakit dengan mengetahui jumlah telur per gram tinja (EPG) pada setiap jenis cacing. Hasil pemeriksaan tinja kualitatif berupa positif atau negatif cacingan. Prevalensi cacingan dapat berupa prevalensi seluruh jenis cacing atau per jenis cacing. .

Teknik Kato-Katz merupakan metode yang dipergunakan secara luas dalam survei epidemiologi terhadap infeksi cacing yang terdapat di dalam usus manusia (intestinal helminth) (Glinz et al., 2010; World Heatlh Organization, 2012). Teknik ini dipilih karena mudah, murah, dan mempergunakan sistem yang dapat mengelompokkan intensitas infeksi menjadi beberapa kelas berbeda berdasarkan perhitungan telur cacing.

Teknik Kato-Katz memiliki kelemahan, yaitu tingkat kesensitivitasan rendah dalam mendeteksi infeksi dengan intensitas ringan. Pemakaian sampel feses yang sedikit (sekitar 41,7 mg) menyebabkan teknik Kato-Katz memiliki

(13)

sensitivitas yang rendah dalam mendeteksi telur cacing yang memiliki frekuensi sedikit atau sangat berkelompok (sensitivitas analitik secara teori = 24 telur per gram feses) (Glinz et al., 2010). Namun, sensitivitasnya dapat ditingkatkan dengan melakukan beberapa pemeriksaan Kato-Katz apusan tebal yang dipersiapkan dari sampel feses sebelumnya, atau lebih baik lagi dari beberapa sampel feses. Klasifikasi intensitas infeksi merupakan angka serangan dari masing-masing jenis cacing. Klasifikasi tersebut digolongkan menjadi tiga, yaitu ringan, sedang dan berat. Intensitas infeksi menurut jenis cacing dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.2. - Klasifikasi Intensitas Infeksi Menurut Jenis Cacing (WHO, 2012)

No. Klasifikasi Jenis cacing (telur)

Cacing gelang Cacing cambuk Cacing tambang

1. Ringan 1 - 4.999 1 – 999 1 - 1.999

2. Sedang 5.000 - 49.999 1.000 - 9.000 2.000 - 3.999

3. Berat ≥50.000 ≥10.000 ≥4.000

(sensitivitas analitik secara teori = 24 telur per gram feses)

Namun, pada penelitian ini hanya dilakukan pemeriksaan tinja secara kualitatif dengan Teknik Modifikasi Kato Katz dengan menilai positif atau negatif cacing pada feses . Angka kejadian infeksi cacing dapat berupa seluruh jenis cacing atau per jenis cacing.

Selain pemeriksaan Kato-Katz, terdapat juga pemeriksaan antibodi, deteksi antigen, dan diagnosis molekular dengan menggunakan PCR (World Heatlh Organization, 2012). Serodiagnosis dapat menjadi pemeriksaan pilihan dalam mendiagnosis infeksi nematoda usus. Kekurangan pemeriksaan ini adalah bersifat invasif (seperti dengan pengambilan sampel darah), antibodi tetap terdeteksi setelah penatalakasanaan, dan terdapat kemungkinan terjadinya reaksi silang dengan nematoda lainnya (Knopp et al., 2008). Akibatnya, fungsi pemeriksaan serologi ini masih kontroversial, terutama pada daerah endemis.

(14)

2.7. Transmisi Telur Cacing ke Tubuh Manusia oleh Pedagang Makanan (Food Handler)

Gambar 2.5. Kerangka Teori Transmisi Infeksi Nematoda Usus oleh Pedagang Makanan (food handler)

Perilaku / Hiegine Perorangan Pedagang

Makanan (food handler) yang buruk

Pedagang makanan (food handler) terinfeksi nematoda

usus sebagai karier asimtomatis Sanitasi Lingkungan yang buruk oleh agen : -Ascaris lumbricoides - Trichuris trichiura Telur cacing mengkontaminasi

tangan atau menempel pada kuku pedagang makanan (food handler)

Pedagang makanan (food handler): - Mengolah makanan - Memasak makanan - Menyajikan makanan

kepada pembeli

Makanan terinfeksi oleh telur cacing melalui kontaminasi tangan

atau kuku pedagang

Makanan dikomsumsi oleh pembeli, telur cacing ikut tertelan bersama dengan

makanan Pedagang makanan

(food handler) tidak mengambil makanan menggunakan alat seperti sendok atau

sarung tangan

Pembeli terinfeksi Nematoda Usus

(15)

2.8. Dampak Infeksi Kecacingan pada Orang Dewasa 2.8.1. Dampak terhadap Status Kesehatan dan Gizi

Cacing yang menginfeksi manusia membutuhkan makanan untuk hidupnya, semakin banyak cacing yang ada semakin banyak makanan yang dibutuhkan. Dengan demikian, adanya cacing dalam perut mengakibatkan berkurangnya zat gizi yang diserap oleh usus untuk kebutuhan hidup manusia, sehingga mengakibatkan seseorang mengalami kekurangan gizi. Dengan menurunnya status gizi seseorang, akan mengakibatkan menurunnya daya tahan sehingga lebih mudah untuk terserang penyakit (Hadidjaja, 2005).

2.8.2. Dampak terhadap Intelektual dan Produktivitas

Menurut penelitian Rukwono (1972), infeksi cacing menurunkan prestasi kerja dan daya tahan tubuh. Selain itu, infeksi cacing dapat mengganggu proses kognitif manusia sehingga dapat menurunkan produktifitas penderita dan menurunkan sumber daya manusia (WHO, 2010; Depkes RI, 2006).

2.9. Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Kecacingan

Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan pada umumnya adalah dengan pemutusan rantai penularan. Pemberian obat-obatan hanya bersifat mengobati tetapi tidak memutuskan mata rantai penularan yang antara lain dilakukan dengan pengobatan massal, perbaikan sanitasi di lingkungan dan hygiene perorangan serta pendidikan kesehatan (Soedarto, 1991).

Hal-hal yang perlu dibiasakan agar tercegahnya dari penyakit kecacingan adalah 1. Memutuskan rantai daur hidup dengan menjaga kebersihan dengan cuci tangan dan menggunting kuku secara rutin.

2. Hindari makanan yang akan dijajakan terbuka dengan dunia luar dan kurangi intensitas memegang makanan dengan menggunakan tangan.

3. Mencuci sayuran mentah atau lalapan dengan air bersih yang mengalir terlebih dahulu.

4. Berdefekasi di jamban dan mencuci tangan setelah defekasi dengan menggunakan sabun.

(16)

5. Pencegahan infeksi cacing tambang dengan membiasakan masyarakat untuk memakai alas kaki.

2.10. Pengendalian Infeksi Nematoda Usus 2.10.1. Pemberian obat cacing

Obat yang direkomendasikan untuk mengendalikan infeksi cacing di masyarakat adalah benzimidazole, albendazole (dosis tunggal 400 mg, dan untuk anak usia 12–24 bulan dikurangi menjadi 200 mg) atau mebendazole (dosis tunggal 500 mg) dapat juga diberikan levamisole atau pirantel pamoat (10 mg / kg BB dosis tunggal, dosis maksimal 1 gram).

Tujuan utama dari pengobatan infeksi cacing adalah mengeluarkan semua cacing dewasa dari saluran gastrointestinal. Obat yang banyak digunakan untuk mengeluarkan infeksi cacing adalah mebendazole dan albendazole. Benzimidazole bekerja menghambat polimerisasi dari microtubule parasit yang menyebabkan kematian dari cacing dewasa dalam beberapa hari. Walaupun albendazole dan mebendazole merupakan obat broad-spectrum terdapat perbedaan penggunaanya dalam klinik. Kedua obat sangat efektif terhadap ascariasis dengan pemberian dosis tunggal. Sebaliknya, albendazole dosis tunggal tidak efektif untuk kasus trichiuriasis. Obat cacing benzimidazole adalah embriotoksik dan teratogenik pada tikus yang hamil, sehingga jangan digunakan untuk bayi dan selama kehamilan. Pirantel pamoate dan levamisole merupakan pengobatan alternatif untuk infeksi Ascaris , walaupun pirantel pamoate tidak efektif untuk mengobati trichiuriasis.

Pengobatan dilakukan dengan menggunakan obat yang aman, berspektrum luas, efektif, tersedia, harga terjangkau, serta dapat membunuh cacing dewasa, larva, dan telur. Pelaksanaan kegiatan pengobatan diawali dengan survei data dasar berupa pemeriksaan feses. Apabila pada pemeriksaan feses sampel didapati hasil dengan prevalensi 30% atau lebih, dilakukan pengobatan massal. Namun, bila dari hasil pemeriksaan feses sampel prevalensi hanya didapati kurang dari 30%, dilakukan pemeriksaan menyeluruh (total screening). Apabila hasil

(17)

pemeriksaan total screening menunjukkan prevalensi lebih dari 30%, harus dilakukan pengobatan massal. Tetapi bila prevalensi kurang dari 30%, pengobatan dilakukan secara selektif, yaitu pada orang dengan hasil positif saja.

2.10.2. Pendidikan Kesehatan (Edukasi)

Pendidikan kesehatan bertujuan menurunkan penyebaran dan terjadinya reinfeksi dengan cara memperbaiki perilaku kesehatan. Untuk infeksi nematoda usus, tujuannya adalah mengurangi kontaminasi dengan tanah dan air melalui promosi penggunaan jamban dan perilaku kebersihan. Tanpa perubahan kebiasaan buang air besar, pengobatan secara teratur ternyata tidak mampu menurunkan penyebaran infeksi kecacingan. Pendidikan kesehatan dapat menurunkan biaya pengendalian infeksi cacing dan terjadinya reinfeksi (Suriptiastuti, 2006).

2.10.3. Sanitasi

Perbaikan sanitasi bertujuan untuk mengendalikan penyebaran STH dengan cara menurunkan kontaminasi air dan tanah. Sanitasi merupakan intervensi utama untuk menghilangkan infeksi kecacingan, tetapi supaya intervensi ini efektif harus mencakup populasi yang luas. Namun strategi ini memerlukan biaya yang tidak sedikit dan sulit dilaksanakan bila biaya yang tersedia sangat terbatas. Lagipula bila digunakan sebagai intervensi primer untuk mengendalikan infeksi STH diperlukan waktu bertahun-tahun bahkan puluhan tahun supaya dapat efektif (Suriptiastuti, 2006).

Gambar

Gambar 2.1. Jenis Soil Transmitted Helminths (STH)  (Soedarto, 1991)
Tabel  2.1. Jenis Cacing Penyebab Utama Infeksi Nematoda Usus   di Seluruh Dunia
Gambar 2.2. Siklus Hidup Ascaris lumbricoides  Dikutip dari :
Gambar 2.3. Siklus Hidup Trichuris trichiura  Dikutip dari :
+4

Referensi

Dokumen terkait

Larva kemudian tertelan, menetap di usus halus kemudian menjadi paten dalam waktu 6 sampai 8 minggu selanjutnya dapat memulai siklus baru dengan penetasan telur oleh cacing

Larva kemudian tertelan, menetap di usus halus dalam waktu 6 sampai 8 minggu selanjutnya dapat memulai siklus baru dengan penetasan telur oleh cacing dewasa yang

Hasil penelitian dan identifikasi yang telah dilakukan pada sampel feses ditemukan Telur cacing Nematoda usus positif 8 orang dari 10 sampel.. Jenis telur cacing

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui genus nematoda usus dan prevalensi telur cacing nematoda usus yang ditemukan pada feses kambing, serta untuk

Hasil identifikasi nematoda dalam feses ayam broiler fase starter ditemukan 10 sampel positif mengandung larva dan telur cacing nematoda dengan genus diantaranya;

Manusia akan terinfeksi cacing ini apabila menelan telur matang (berisi larva dan merupakan bentuk infektif), kemudian telur ini menetas di usus halus. Setelah

Proses penularan cacing gelang (Ascaris lumbricoides) pada manusia yaitu sebagai berikut, telur cacing yang dikeluarna manusia melalui feses dalam lingkungan yang sesuai

Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia (hospes) kemudian larva akan keluar dari dinding telur dan masuk ke dalam usus