2.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Cacingan
Berbagai permasalahan kesehatan yang dihadapi di masyarakat. Salah satu penyakit yang menimbulkan masalah pada kesehatan yang sangat mempengaruhi adalah kecacingan. Manusia merupakan salah satu hospes defenitif dari berbagai jenis cacing usus (cacing perut). Sebagian besar penulatran cacing perut berasal dari tanah yang disebaut soil transmitted helmints (STH) (Kemenkes RI No. 424/MENKES/SK/VI/2006). Penyakit STH sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia, karena hampir semua wilayah Indonesia merupakan tempat yang baik sebagai media perkembangan STH, yang merupakan tempat tropis dengan suhu dan iklim yang sesuai.
Infeksi STH umumnya masuk melalui mulut dengan perantara makanan dan minuman yang terkontaminasi atapun melalui tangan atau kulit yang terkontaminasi dan tanpa sengaja masuk ke mulut. Dalam tubuh manusia STH akan hidup dan memperoleh makanan dari manusia dengan mengisap dan melukai dinding usus manusia (Zulkoni. dkk, 2010).
2.2 Epidemiologi STH
Dampak infeksi STH perlu diketahui untuk dapat menanggulangi dan melakukan pencegahanya. Secara epidemiologi, penyebaran cacing gelang (Ascaris lumbricoides) dan cacing cambuk (Trichuris Trichiura) memiliki pola yang hampir sama, demikian juga dengan penularan cacing tambang (Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus) (Sutanto. dkk, 2008). Dari ketiga cacing tersebut memerlukan tanah sebagai media infektif untuk
penularanya kepada hospes utamanya yaitu manusia. Telur cacing gelang (Ascaris
lumbricoides) dan cacing cambuk (Trichuris memerlukan tanah untuk menjadi
bentuk infektif, telur yang mencapai tanah akan menjadi matang dalam waktu 3 minggu pada suhu obtimum 25o – 30oC. Kemudian telur yang matang akan
menetas setelah masuk dalam tubuh manusia. Semakin banyak telur ditemukan pada daerah yang terkontaminasi maka semakin endemis daerah tersebut. Sedangkan untuk cacing tambang (Ancylostoma Duodenale dan Necator
Americanus) memerlukan tanah berpasair, mengandung humus dan terlindung dri
sinar matahari langsung. Telur cacing akan menetas dalam waktu 24 – 36 jam dan kemudian pada hari ke 5 – 8 menjadi bentuk filariformyang infektif (Dikjen PP&PL RI, 2012).
2.3 Soil Transmitted Helmints (STH)
Infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah atau sering disebut dengan
Soil Transmitted Helmints (STH). Siklus hidup Soil Transmitted Helmints (STH)
memerlukan tanah sebagai media perkembangbiakanya untuk menjadi infektif. Terdapat tiga jenis STH yang terdapat di Indonesia diantaraya adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris Trichiura), dan cacing tambang (Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus) (Digjen PP&PL, 2012). Dari tiga jenis cacing tersebut akan dipaparkan sebagai berikut :
Tabel 2.1 Jenis Telur Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah
Spesies Ukuran Bentuk Warna Keterangan
Ascaris lumbricoides (tidak dibuahi) 60 – 90 x 40 – 60 (micron) Memanjang ellipsoidal Coklat sampai coklat tua Lebih ramping daripada telur dibuahi, bagian luar mempunyai tonjolan kasar dan lapisan albuminoid, bagian dalam penuh berisi granul. Ascaris lumbricoides (dibuahi, tanpa lapisan albumin) 45 – 70 x 35 – 50 (micron)
Oval Jernih Bentuk hampir
menyerupai telur cacing tambang, tapi dindingnya tebal. Ascaris lumbricoides (dibuahi, dengan lapisan albumin) 50 – 70 x 40 – 50 (micron) Lonjong atau bulat Kuning kecoklatan sampai coklat tua
Dinding tebal dan berlapis, bagian luar dilapisi lapisan yang berbenjol-benjol dan bergelombang. Ascaris lumbricoides (infektif siap menginfeksi manusia) 50 – 70 x 40 – 50 (micron) Lonjong atau bulat Kuning kecoklatan sampai coklat tua Dinding tebal berlapis 3 (fertile) atau 2 (decorticated) berisi larva Tricuri Trichiura 50 – 54 x 22 – 23 (micron) Seperti tempayan / gentong Coklat sampai coklat tua Kedua katub mempunyai sumbat, stadium infektif berisi larva Cacing Tambang 55 – 75 x 35 – 46 (micron) Oval atau ellipsoidal
Jernih Dinding telur satu lapis, bila baru dikeluarkan
melalui tinja intinya terdiri dari 4-8 sel.
(Dikjen PP&PL, 2012)
2.3.1 Cacing gelang (Ascaris lumbricoides)
Cacing gelang (Ascaris lumbricoides) merupakan infeksi cacing yang bayak diderita masyarakat di Indonesia baik anak-anak, dewasa dan lanjut usia pernah atau sedang mengidapnya. Dalam berbagai kasus STH,
cacing gelang (Ascaris lumbricoides) merupakan penyakit STH yang paling besar prevalensinya, yang diperkirakan menginfeksi lebih dari 1 miliar orang. Banyaknya telur disertai dengan daya tahan telur yang mengandung lrva yang kondusif pada keadaan tanah menjadi penyebab utama (Widoyono,2005). Hospes satu-satunya dari cacing gelang (Ascaris
lumbricoides) adalah manusia sehingga manusia menjadi sumber utama dari
penularan cacing ini (Sutanto. dkk, 2008).
Infeksi yang terjadi pada manusia terjadi akibat dari telur cacing yang mengandung larva yang masuk kedalam tubuh melalui kontaminasi makanan dan minuman yang tercemar. Penyakit ini terutama menyerang pada anak-anak usia pra-sekolah (usia 3 – 8 tahun) (Widoyono, 2006). Di Indonesia frekuensi cacing gelang (Ascaris lumbricoides) mencapai 60 – 90%. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemakaian jamban yang menyebabkan banyak masyarakat yang buang air besar sembarangan yang mengakibatkan pencemaran tanah, juga ada yang memakai kotoran sebagai pupuk dan diolah tanpa menggunakan pelindung. Tanah liat dengan suhu 25o-30oC merupakan kondisi yang sangat baik untuk telur cacing gelang (Ascaris lumbricoides) menjadi infektif (Susanto. dkk, 2008).
Parasit ini bersifat kosmopolitan yang terdapat di seluruh dunia, dimana penyebaran parasit ini terutama berada di daerah tropis dengan tingkat kelembaban yang cukup tinggi (Onggowaluyo, 2002). Penyebaranya terutama pada daerah lokal pasifik bagian barat daya (Brooks. dkk, 2008). Di Indonesia parasit ini sangat komplosit dengan ditemukanya prevalensi antara 60 – 90% dari berbagi survey yang telah dilakukan (Susanto. dkk, 2008).
Cacing gelang (Ascaris lumbricoides) memiliki bentuk silindrik dengan ujung anterior lancip. Cacing jantan berukuran 10-31 cm, ekor melingkar, dan memiliki 2 kepala spikula. Sedangkan cacing betina berukuran 22-35 cm, ekor lurus, pada sepertiga bagian anterior memiliki cincin kopulasi. Mulut terdiri atas tiga bagian bibir. Telur yang dibuahi, memiliki ukuran kurang lebih, 60 x 45 mikron, memiliki bentuk oval dan berdinding tebal dengan tiga lapisan yang berisi embrio. Telur yang tidak dibuahi berukuran lebih besar dan bentuk tidak teratur (Prianto, 2002).
Proses penularan cacing gelang (Ascaris lumbricoides) pada manusia yaitu sebagai berikut, telur cacing yang dikeluarna manusia melalui feses dalam lingkungan yang sesuai akan berkembang menjadi embrio dan larva yang infektif dalam telur. Telur yang infektif akan mengontaminasi makanan atau minuman sehingga tertelan oleh manusia saat dikinsumsi. Di dalam usus larva akan menetas dan menembus dinding usus halus dan menuju pada sistem peredaran darah dan menimbulkan penyakit. Siklus ini berlangsung selama 65 – 70 hari (Widoyono 2005).
Terdapat dua gejala yang dapat ditimbulkan jika terifeksi cacing gelang (Ascaris lumbricoides), diantaranya gejala infeksi ringan dan gejala infeksi berat. Gejala infeksi ringan berupa, ditemukanya cacing dalam tinja, batuk mengluarkan cacing, kurang nafsu makan, demam, dan bunyi mengi saat bernafas. Untuk gejala berat diantaranya, muntah, nafas pendek, perut buncit, nyeri perut, usus tersumbat, dan saluran empedu tersumbat (Zulkoni, 2010).
Pengobatan dapat dilakukan secara individual maupun secara masal dengan memberikan berbagai macam obat diantaranya, piperasin, pirantel
pamoat 10 mg/kg berat badan, dosis tunggal mebendazol 500 mg atau albendazol 400 mg. secara masal dapat dilakukan oleh pemerintah dengan memberikan obat cacing albendazol 400 mg pada anak SD 2 kali setahun (Susanto. dkk, 2008). Penanggulangan yang dilakukan terkait cacing gelang adalah perbaikan perilaku yang berhubaungan dengan kebersihan seperti, mencuci tangan, menjaga kebersihan pribadi, menggunakan alas kaki, tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanam terutama sayur, dann perbaikan sanitasi lingkungan berupa kepemilikan jamban sesuai kriteria kesehatan (Widoyono, 2006).
2.3.2 Cacing cambuk (Trichuris Trichiura)
Manusia merupakan satu-satunya hospes dari cacing cambuk (Trichuris Trichiura), dimaana penyakit ini menduduki peringkat kedua tertinggi di dunia setelah cacing gelang (Widoyono, 2006). Keberadaan cacing ini dalam tubuh manusia sangat merugikan karena dapat menurunkan kadar gizi dalam tubuh manusia. Kehilangan zat gizi yang disebabkan oleh cacing ini berupa kehilangan darah sekitar 0,005 cc per hari, jika dikalikan dengan jumlah penduduk serta persentase kasus cacing cambuk (Trichuris Trichiura) tentu angka ini akan menjadi lebih tinggi (Kemenkes RI No. 424/MENKES/SK/VI/2006).
Cacing cambuk (Trichuris Trichiura) menginfeksi hampir 500 – 900 juta orang di dunia. Infeksi dapat dialami semua golongan umur, terutama pada anak-anak yang berusia 5 – 15 tahun. Cacing cambuk (Trichuris
Trichiura) lebih banyak menyebar pada daerah yang beriklim panas. Di
Asia, prevalensi cacing cambuk (Trichuris Trichiura) lebih dari 50%, afrika 25%, dan amerika latin 12%. Penyebaran cacing akan lebih cepat pada
daerah pedesaan yang sanitasinya kurang bagus (Widoyono, 2006). Factor yang paling penting dalam penyebaranya adalah keadaan tanah liat yang lembab dan teduh dengan suhu obtimum 30oC. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia, Frekuensi cacing cambuk (Trichuris Trichiura) berkisar 30 – 90% (Susanto. dkk, 2008).
Infeksi cacing cambuk (Trichuris Trichiura) tersebar di seluruh dunia pada daerah yang beriklim tropis, lembab dan panas. Penyebaranya bersifat komplosit di seluruh dunia termasuk Indonesia (Onggowaluyo, 2002). Cacing ini berukuran 4 cm untuk yang jantan dan 5 cm untuk yang betina. Bagian anterior halus seperti cambuk dan bagian ekor melingkar untuk yang jantan dan yang betina ekornya lurus berujung tumpul. Telurnya berukuran 50 x 22 mikron, bentuk seperti tempayan dengan kedua ujung menonjol berdinding tebal dan berisi larva (Prianto, dkk, 2002). Telur tersebut akan menjadi matang dalam waktu 6 minggu dalam lingkungan yang sesuai yaitu tanah yang lembab, teduh dan terhindar dari sinar matahari (Susanto. dkk, 2008). Telur yang tertelan manusis dakan menetas dalam usus halus lalu berpindah ke usus besar kemudian akan menancapkan kepalanya pada lapisan usus. Darah akan diisap sebagai makanan cacing yang menimbulak damapak anemia akibat kekurang daran oleh inanggnya setiap larva akan tumbuh sepanjang 12,5 cm, cacing betina dewasa menghasilkan telur sekitar 5000 per hari yang akan dibuang melalui tinja (Zulkoni, 2010).
Infeksi berat pada anak dimana cacing tersebar pada seluruh kolon dan rectum sehingga dapat menimbulkan prolapses rekti akibat penderita mengejan dengan kuat dan sering timbul pada saat defekasi. Penderita juga
dapat mengalami diare dengan gejala sindrom disentri atau colitis kronis, sehingga berat badan turun. Akibat dari bagian anterior cacing yang melukai mukosa usus yang mengakibatkan peradangan dan pendarahan, sehingga menimbulkan anemia (Dikjen PP&PL RI, 2012).
Pengobatan yang dilakukan untuk infeksi yang disebabkan oleh cacing cambuk (Trichuris Trichiura) adalah dengan memberikan albendazole 400 mg (dosis tunggal), mebendazole 100 mg (2 kali sehari) selama tiga kali berturut-turut, dan oksantel pamoate (Kemenkes RI No. 424/MENKES/SK/VI/2006). Pencegahanya dapat dilakukan dengan menjaga kesehatan lingkungan, menggunakan alat pelindung ke tempat yang lembab dan temperature yang merupakan habitat dari cacing ini. Memperhatikan tanah dan temperatur serta sinar matahari pada lingkungan yang dapat mengganggu perkembangan telur cacing (Zaman & Ng Mah-Lee, Mary, 2008).
2.3.3 Cacing tambang (Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus) Cacing tambang (Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus) pertama kali ditemukan di Eropa pada pekerja tambang yang terinfeksi
Necator Americanus dan Ancylostoma Duodenale, sehingga dua spesies
cacing yang menginfeksi manusia ini disebut cacing tambang (Susanto. dkk, 2008). Cacing tambang (Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus) dapat menginfeksi usus. Hospes definitive dari kedua cacing ini adalah manusia dan tidak memiliki hosper perantara. Penyakit yang disebabkan oleh parasit ini adalah nekatoriasis dan ankilostomiasis (Onggowaluyo, 2002).
Infeksi cacing tambang (Ancylostoma Duodenale dan Necator
Americanus) dapat menyerang semua umur dengan proporsi tertinggi pada
anak-anak. Hal tersebut dikarenakan aktifitas anak-anak yang suka bermain di lingkungan yang tidak bersih dan terkontaminasi cacing tambang. Penyakit ini diperkirakan menyerang 700 – 900 juta orang di Dunia, dengan 1 juta liter darah hilang (1 orang = 1 mL darah diisap oleh cacing) (Widoyono, 2006). Tempat perkembangan yang baik untuk cacing ini adalah tanah yang gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum 28o – 32oC untuk Necator Americanus dan 23o – 25oC untuk Ancylostoma Duodenale
(Susanto. dkk, 2008).
Ancylostoma Duodenale memiliki panjang sekitar 1 cm, dan
memiliki bentuk menyerupai huruf C. Pada bagian mulutnya memiliki dua pasang gigi. Cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks pada bagian ekornya, sedangkan cacing betina memiliki bagian ekor yang runcing. Untuk Necator Americanus panjang badanya sekitar 1 cm dan berbentuk menyerupai huruf S, pada bagian mulutnya memiliki benda kitin. Telurnya berukuran sekitar 70 x 45 mikon, bulat lonjong, berdinding tipis, kedua kutub mendatar, dan di dalamnya terdapat beberapa sel (Prianto, dkk, 2002).
Parasit ini ditemukan di daerah tropis dan sub tropis di seluruh dunia, untuk Necator banyak ditemukan di Amerika Utara, dan pada daerah beriklim sedang untuk Ancylostoma (Brooks. dkk, 2008). Di Indonesia prevalensinya tinggi, sekitar 40% di daerah pedesaan (Susanto. dkk, 2008). Cacing ini memiliki gigi kecil yang digunakan untuk melukai dinding usus untuk mengisap darah sehingga penderita cacing ini akan mengalami pendarahan akibat peradangan dan anemia. Telur yang keluar
melalui feses akan menetas pada tempat-tempat yang becek karena pada tempat kering telur akan mati. Telur yang menetas akan menjadi larva yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Larva yang menembus kulit akan dibawa oleh aliran darah menuju paru-paru, kemudian masuk ke dalam aveoli, trakea, esophagus, kemudian masusk ke lampoon dan menuju ke usus menjadi cacing dewasa (Onggowaluyo, 2002).
Obat yang dapat diberikan pada penderita cacing tambang (Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus) yaitu albendazol dosis tunggal 400 mg oral atau mebendazol 2 x 100 mg/hari atau pirantel pamoat 11 mg / kg BB maksimum 1 gram. Untuk meningkatkan kadar Hb, perlu diberikan asupan gizi dan suplementasi zat besi (Dikjen PP&PL, 2012). Pencegahan dapat dilakukan dengan menanamkan PHBS kepada masyarakat yang berisiko. Pengukuran prevalensi penting dilakukan untuk mengetahui daerah endemisitas (Widoyono, 2006).
2.4 Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan tinja bertujuan untuk mengetahui diagnosis pasti menggunakan pemeriksaan microscopis untuk melihat ada tidaknya telur cacing, jenis telur cacing, dan menentukan intensitas infeksi. Pemerksaan tinja dilakukan dengan metode Kato-Katz Kualitatif.
2.4.1 Cara memperoleh spesimen tinja
a. Sebelum pot tinja dibagi perlu dilakukan wawancara mengenai pengetahuan cacingan, kebiasaan hidup bersih dan sehat dengan menggunakan kuesioner.
b. Setelah wawancara, responden diberikan pot yang sudah diberikan kode sesuai dengan kode kuesioner pengetahuan untuk anak SD. c. Jumlah tinja yang dimasukkan ke dalam pot / kantong plastic sekitar
100 mg (sebesar kelereng atau ibu jari tangan).
d. Specimen harus segera diperiksa pada hari yang sama, sebab jika tidak telur cacing tambang akan rusak atau menetas menjadi larva, jika tidak memungkinkan, tinja harus diberikan formalin 5 – 10% sampai terendam (Kemenkes RI No. 424/MENKES/SK/VI/2006).
2.4.2 Cara Pemeriksaan Kualitatif (modifikasi teknik Kato)
Hasil pemerikasaan kualitatif berupa positif atau negative cacingan. Prevalensi cacingan dapat berupa prevalensi seluruh jenis cacing atau per jenis cacing.
Cara membuat preparat berdasarkan Kemenkes RI (2006) :
a. Pakailah sarung tangan untuk mengurangi kemungkinan kontaminasi berbagai penyakit.
b. Tulislah nomor kode pada gelas dengan menggunakan sepidol sesuai dengan yang tertulis di pot tinja.
c. Ambilah tinja dengan lidi sedbesar kacang hijau, dan letakkan di atas gelas objek.
d. Tutup dengan selofan yang sudah direndam dalam larutan di atas gelas obyek.
e. Biarkan sediaan selama 20-30 menit.
f. Periksa dengan pembesaran lemah 100 x (objektif 10 x dan okuler 10 x), bila diperlukan dapat dibesarkan 400 x (objektif 40x dan okuler 10 x).
g. Hasil pemeriksaan tinja berupa positif atau negative tiap jenis telur cacing.
2.5 Prevalensi STH
Prevalensi STH merupakan angka yang menggambarkan kejadian kasus kecacingan di suatu wilayah yang dibagi dengan jumlah populasi dilkali 100%. Beberapa penelitian mengatakan masih tingginya prevalensi STH di beberapa Negara di dunia. Menurut Jejaw et al (2015) dalam penelitiannya yang dilakukan pada anak SD di barat daya Ethiopia bahwa prevalensi cacing usus tularan tanah sangat tinggi sehingga perlu tindakan yang lebih lanjut. Prevalensi keseluruhan infeksi STH dan S.mansoni kalangan anak-anak sekolah dari Gorgora dan Kota Chuahit, 66,7% dan masih sangat tinggi (Mathewos et al, 2014). Selain daripada itu, penelitian lain yang dilakukan Alemu et al (2011) juga mengatakan prevalensi cacing tularan tanah merupakan masalah kesehatan utama pada daerah penelitian. 2.5.1 Prevalensi STH
2.5.2 Prevalensi cacing gelang (Ascaris lumbricoides)
2.5.3 Prevalensi cacing cambuk (Trichuris Trichiura)
Jumlah specimen positif telur minimal 1 jenis cacing x 100% Jumlah specimen yang diperiksa
Jumlah specimen positif telur cacing gelang x 100% Jumlah specimen yang diperiksa
Jumlah specimen positif telur cacing cambuk x 100% Jumlah specimen yang diperiksa
2.5.4 Prevalensi cacing tambang (Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus)
2.6 Faktor Perilaku
Penelitian yang dilakukan Fitri (2012), perilaku memiliki hubungan terhadap kejadian STH pada anak SD. Perilaku yang berhubuangan denag kejadian STH adalah diantaranya kebersihan kuku, penggunaan alas kaki, dan kebiasaan cuci tangan pakai sabun. Selain dari penelitian yang dilakuan oleh Rusmanto dan J. Mukono (2012), juga mengatakan bahwa hubungan yang signifikan antara prilaku personal hygiene siswa SD dengan prevalensi STH. Penelitian lain yang dilakukan Faridan K, dkk (2013) menujukkan kejadian STH dipengaruhi oleh kebersihan kuku dan mencuci tangan sebelum makan, sesudah bermain ditanah, dan setelah buang air besar. Namun hasil ini bertolak belakang dengan hasil yang dikemukakan oleh Chadijah, dkk (2014), dimana perilaku tidak ada hubungan dengan kejadian STH pada anak sekolah dasar.
Pada dasarnya perilaku merupakan suatu tindakan dari individu untuk melakukan sesuatu berdasarkan stimulus atau rangsangan dari luar. Perilaku akan dipengaruhi berbagai faktor baik dari segi sosial maupun budaya yang tumbuh menjadi kebiasaan baik maupun buruk (Notoatmodjo, 2010). Perilaku yang berhubungan dengan kejadian STH diantaranya adalah :
a) Kebiasaan cuci tangan pakai sabun
Cuci tangan merupakan salah satu langkah awal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadianya penularan berbagai macam penyakit. Cuci tangan yang baik dan benar dengan menggunakan sabun dapat membunuh
Jumlah specimen positif telur cacing tambang x 100% Jumlah specimen yang diperiksa
bateri, kuman dan menghanyutkan kototan yang terdapat di tangan. Tangan merupakan sarana yang baik untuk penularan penyakit, karena sebagian besar aktivitas dilakukan dengan menggunakan tangan, sehingga menjaga kebersihan tangan sangat perlu dilakukan. Penelitian yang dilakukan Jejaw et
al. (2015) bahwa mencuci tangan sebelum makan memiliki hubungan yang
erat dengan kejadian STH di Ethiopia. Namun penelitian yang dilakukan oleh Sofiana (2010), menunjukan hal yang berbeda dimana perilaku mencuci tangan pakai sabun tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan infeksi STH yang ditularkan melalui tanah.
b) Kebersihan kuku
Kuku yang panjang dapat memerangkap kotoran di dalamnya, kotoran yang berupa tanah dapat mengandung larva cacing yang infektif dan dapat menginfeksi. Perilaku yang tidak bersih yaitu tidak mencuci tangan sebelum makan dan setelah beraktifitas dapat menyebabkan infesius tersebut masuk ke dalam mulut sehingga mengakibatkan terjadinya infeksi cacing pada individu tersebut. Namun pendapat berbeda dalam penelitian yang dilakukan Sofiana (2010), memotong kuku seminggu sekali tidak memiliki hubungan yang bermakna denagan kejadian STH.
c) Kebiasaan bermain di tanah
Tanah merupakan sarana bermain yang paling disenangi anak-anak. Anak-anak mampu berkreasi menggunakan tanah saat mereka bermain. Namun dibalik kesenanggan mereka dalam bermain, tanah juga mengandung banyak unsur yang berbahaya termasuk salah satunya larva cacing. Larva cacing dapat menginfeksi anak-anak melalui kulit dan terselip pada kuku yang tdak dipotong. Pada saat makan secara tidak sengaja kuku yang kotor
juga ikut masuk ke dalam mulut, sehingga larva cacing ikut masuk ke dalam mulut dan menginfeksi di dalam usus anak. Usia anak-anak merupakan usia untuk bermain dan mengembangkan kreatifitas dengan memafaatkan lingkungan salah asatunya tanah. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Xiao et al. (2015) di bagian barat daya Cina mengatakan bahwa lingkungan tempat beraktivitas memiliki hubungan yang baik terhadap penularan cacing, seperti bekerja pada peternakan. Lingkungan bermain anak mirip dengan kondisi tersebut dimana lingkungan tempat bermain seperti bermain di tanah memiliki peluang untuk terkena infeksi cacing.
2.7 Faktor Lingkungan
Penelitian yang dilakuakn Saleha Sungkar, dkk (2015) mengatakan bahwa lingkungan memiliki peranan besar dalam penyebaran infeksi parasit cacing di masyarakat. Dalam penelitianya di Sumba dederapa indicator penyebaran STH tersebut diantaranya, lantai tanah, lingkungan kumuh, sumber air bersih, dan ketersediaan jamban. Menurut HL. Blum (1974), kesehatan lingkungan merupakan suatu kondisi lengkungan yang optimum sehingga perpengaruh terhadap kesehatan. Ruang lingkup kesehatan lingkungan tersebut antara lain mencakup : perumahan, pembuangan kotoran manusia (tinja), penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air kotor (limbah air), rumah hewan ternak atau kandang dan sebagainya. Mengingat bahwa permasalahan terkait kesehatan lingkungan di Negara-negara berkemang termasuk Indonesia adalah berasal dari beberapa permasalahan tersebut.
Berikut ini beberapa permasalahan yang akan di bahas dalm penelitian ini diantaranya :
a) Lingkungan rumah
Lingkungan yang baik untuk sebuah rumah yang dapat dikatakan sehat adalah lingkungan yang terhindar dari sumber-sumber pencemar seperti kandang ternak, tempat sampah, persawahan dan sebagainya, selain dari pada itu kondisi rumah yang sehat harus sesuai dengan kriteria sehat yaitu, memiliki ventilasi, pencahayaan yang cukup, luas bangunan, dan bahan bangunan itu sendiri. Dengan adanya fasilitas rumah dengan lingkungan yang sehat sehingga keluarga mampu terhindar dari segala jenis penyakit.
b) Lantai rumah
Lantai berbahan ubin atau semen merupakan hal yang baik, namun kondisi pedesaan yang terasa sangat dingin dan kondisi perekonomian masyarakatnya yang rendah mengakibatkan usaha semenisasi banyak tidak dilakukan. Sehingga membuat lantai di pedesaan cukuplah dengan tanah yang biasa didapatkan. Syaratb dari lantai yang baik dan sehat adalah tidak berdebu di musim kemarau dan tidak basah di musim hujan. Karena lantai yang berdebu dan basah merupakan sumber penyakit.
c) Kepemilikan jamban
Kepemilikan jamban terkait dengan pembuangan kotoran manusia (tinja). Tinja merupakan suatu zat yang sudah tidak terpakai dalam tubuh manusia dan dibuang. Pembuangan tinja sembarangan akamn menimbulan dampak yang besar bagi kesehatan. Tinja merupakan sumber penyebaran penyakit yang multi kompleks. Penyebaran benyakit bersumber dari tinja dapat melalui berbagi cara, baik dari vektor maupun lingkungan itu sendiri. Untuk menanggulangi permasalahan yang ditimbulkan oleh pembuangan
tinja semabarangan, maka perlu dibangun jamban dengan penampungan tinja yang tertutup sehingga tidak dapat mengontaminasi lingkungan. Persepsi tersebut bertentangan dengan penelitian ynga dilakukan oleh Sofiana (2010) bahwa BAB sembarangan atau tidak pada jamban tidak memiliki hubungan dengan kejadian STH, yang dikarenakan perilaku BAB sembarangan sudah tidak dilakukan. Penelitiannyang diakukan Xiao (2015) juga mengtakan memiliki toilet di rumah tidak memiliki hubungan dengan kejadian STH. Namun dalam penelitian lain menunjukan bahwa hubungan tersebut bermakna, yang dikarenakan kurangnya kesadaran masyarakat. 2.8 Teori Segitiga Epidemiologi (the pidemiologic triangle)
Faktor risiko merupakan suatu masalah dalam kesehatan yang mempengarihi terjadinya kesakitan itu sendiri. Dalam teori ini dijelaskan bahwa terjadinya sakit dipengaruhi oleh 3 faktor utama. Ketiga faktor tersebut disebut dengan segitiga epidemiologi (the pidemiologic triangle). Pada model segitiga epidemiologi ini, proses timbulnya penyakit dipengaruhi tiga faktor, yaitu adanya penjamu (host), agens (bibit penyakit) dan lingkungan (enviromental). Disamping berpengaruh langsung terhadap kesehatan, juga saling berpengaruh satu sama lainnya. Untuk mewujudkan satatus kesehatan ketiga faktor tersebut harus seimbang. Jika salah satu saja ada yang lebih besar atau lebih kecil maka akan timbul keadaan sakit (Adnani, 2011).
Host atau penjamu merupakan faktor manusia yang bersifat sangat
kompleks terhadap terjadinya suatu penyakit sesuai karakteristik yang dimiliki. Faktor host dapat berupa, umur seperti kerentanan infeksi penyakit pada umur anak-anak yang lebih rentan daripada orang dewasa, jenis kelamin dimana laki-laki memiliki frekuensi penyakit lebih tinggi daripada wanita, adat-istiadat yang
membentuk kebiasaan dan perilaku di masyarakat, serta gaya hidup dalam masyarakat untuk berperilaku hidup sehat dan memperoleh kesehatan.
Agen penyakit dapat berupa agen biologis, nutrisi, fisisk, kimiawi, dan mekanis. Agen biologi merupakan agen yang hidup dan menjadi parasit dalam tubuh hostnya seperti virus, bakteri, fungi, riketsia, protozoa, metazoa, dan
helminths.
Lingkungan atau environmental terdiri dari tiga komponen yaitu, lingkungan fisik yang bersifat abiotic atau benda mati, diantaranya air, cahaya matahari, tanah, udara, makanan, rumah dan lain-lain. Lingkungan biologis yang bersifat biotik atau benda hidup seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, dan serangga yang berperan menyalurkan atau menularkan penyakit. Lingkungan sosial masyarakat yang memberi pengaruh terhadap perilaku di masyarakat (Candra, 2009).
Gambar 2.1 Segitiga Epidemiologi (the epidemiological triangle) (sumber : Sutrisna, 2010) Host (penjamu) Agent (bibit penyakit) Enviromental (lingkungan)