• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kepada pihak-pihak yang terkait, terutama informasi yang berkaitan dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. kepada pihak-pihak yang terkait, terutama informasi yang berkaitan dengan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Setiap perusahaan yang memiliki keterkaitan dengan pihak luar berkewajiban untuk memberikan informasi yang setransparan mungkin kepada pihak-pihak yang terkait, terutama informasi yang berkaitan dengan kondisi finansial entitas tersebut. Hal ini bertujuan untuk menjaga kredibilitas sekaligus menyediakan informasi yang benar dan tepat kepada pihak-pihak tersebut sebagai dasar dalam pengambilan keputusan. Informasi yang diberikan kepada publik dapat menjadi tidak tepat dan tidak benar dikarenakan adanya asimetri informasi yang merupakan suatu keadaan seorang manajer memiliki akses informasi yang lebih besar atas aspek perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak luar perusahaan. Kelebihan akses atas informasi ini dapat mendorong seorang manajer bertindak dengan mengutamakan kepentingan pribadinya daripada kepentingan pemegang pancang. Untuk meminimalisir terjadinya asimetri informasi yang akan merugikan pemegang pancang, maka diperlukan pihak independen dan kompeten yang dapat memberikan keyakinan bahwa informasi yang diberikan pihak manajer tersebut telah memenuhi asas relevan, jujur, dan terbuka, yaitu akuntan publik. Hal ini bertujuan antara lain untuk menjaga kredibilitas laporan keuangan perusahaan, mencegah dan menyingkap kesalahan atau penyimpangan dalam catatan keuangan. Untuk mencapai

(2)

harapan tersebut maka dibutuhkan akuntan publik yang independen, profesional dan memiliki kompetensi dalam menjalankan tugas dan fungsinya, sesuai yang diatur dalam standar umum pengauditan pada Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP).

Akuntan publik yang tidak independen berpotensi memunculkan kerugian pada semua pihak misalnya saja kasus Enron di Amerika Serikat yang terjadi pada tahun 2001. Kasus ini disebabkan karena Enron dan KAP Anderson yang ditunjuk sebagai akuntan publik perusahaan bekerja sama melakukan manipulasi laporan keuangan dengan cara memperbesar pendapatan sekaligus menyembunyikan utang dengan tujuan agar nilai sahamnya tetap diminati investor. Kasus yang tidak jauh berbeda juga terjadi di Indonesia, yaitu pada kasus audit PT KAI. Kasus yang melibatkan KAP “S. Mannan, Sofwan, Adnan, dan Rekan” terjadi pada tahun 2005 disebabkan karena adanya manipulasi data. Pada laporan keuangan tahunan PT KAI pada tahun 2005, diumumkan bahwa PT KAI mendapat keuntungan sebesar Rp6,9 milyar padahal sebenarnya justru mengalami kerugian sebesar Rp63 milyar. Selain itu, banyak terdapat kejanggalan pada laporan keuangan PT KAI dengan penyajian yang tidak sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan tetapi laporan keuangan dinyatakan wajar oleh auditor.

Berbagai penelitian tentang independensi akuntan publik, telah banyak dilakukan oleh para peneliti, baik mengenai hubungan antara independensi terhadap berbagai hal, maupun faktor-faktor yang mempengaruhi independensi. Seperti yang dilakukan oleh Lavin (1976)

(3)

dalam Cousin dan Ardiani (2010), yang meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi independensi akuntan publik, yaitu: (1) ikatan kepentingan keuangan dan hubungan usaha dengan klien, (2) pemberian jasa lain, sedangkan Shockley (1981) dalam Cousin dan Ardiani (2010) meneliti bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi independensi publik yaitu: (1) persaingan antarkantor akuntan publik, (2) pemberian jasa konsultasi manajemen kepada klien, (3) ukuran kantor akuntan publik, dan (4) lamanya hubungan audit.

Dengan ditemukannya hasil penelitian yang tidak sama dan lebih mengarah pada pengaruh hubungan antara klien dengan auditor, maka peneliti tertarik untuk meneliti faktor pengaruh yang berasal dari sisi yang mempengaruhi nilai personal seorang auditor, yaitu pengaruh dari sisi nilai budaya dan nilai etis. Faktor ini menjadi hal yang menarik untuk diteliti karena kedua faktor ini mampu mempengaruhi kompetensi auditor dalam mempertimbangkan keputusan-keputusannya saat melakukan proses audit. Nilai budaya dan nilai etis yang dipahami oleh auditor bukan merupakan faktor bawaan yang langsung melekat tetapi dipelajari dan dipahami karena pengaruh lingkungan sekitar. Kedua faktor ini menunjukkan bahwa peran nilai personal auditor merupakan faktor yang akan mempengaruhi perilakunya dalam mengevaluasi, menilai, dan mengambil keputusan, terutama pada saat proses audit.

Faktor-faktor yang dipelajari dan dipahami seperti nilai budaya dan nilai etis ini akan menjadi faktor dasar yang akan dibawa seseorang untuk memasuki tahapan kehidupan selanjutnya. Pada saat seseorang tersebut

(4)

memasuki lingkungan organisasi, maka nilai budaya dan nilai etis tersebut akan berkembang dengan menyesuaikan nilai budaya organisasi dan kode etik di tempat yang baru. Nilai budaya dan nilai etis yang sudah menyatu dengan budaya organisasi dan kode etik inilah yang nantinya akan berkembang menjadi suatu ciri khas seseorang saat berinteraksi di lingkungan profesional. Sebagai auditor misalnya, faktor-faktor nilai budaya dan nilai etis bisa menjadi ciri khas dari seorang auditor yang mempengaruhi kinerja auditor tersebut.

Nilai budaya dan nilai etis antara satu orang dengan orang yang lain tentu saja berbeda. Hal ini tergantung dari lingkungan tempat tumbuh dan berkembang sekaligus tempat berlangsungnya proses pembelajaran dan pemahaman seseorang. Perbedaan nilai budaya dan nilai etis yang dimiliki seseorang dengan yang lain tentu saja akan mempengaruhi pemahaman dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya dan bukan tidak mungkin akan menimbulkan perselisihan. Pemahaman yang berbeda dari sisi auditor bisa menyebabkan perbedaan pertimbangan tingkat materialitas atau penentuan risiko audit, maupun perbedaan tingkat sensitivitas etis yang dipertimbangkan ketika menghadapi suatu kasus dilema etis. Hal tersebut pada akhirnya akan menimbulkan perbedaan pandangan dalam pengambilan keputusan yang dilakukan oleh auditor. Kasus tersebut terlihat pula dalam penelitian yang dilakukan oleh O’Donnell (2010) di Inggris Raya, Perancis, dan Amerika Serikat, yang menemukan bahwa perbedaan kultur (nasionalitas) yang dianut

(5)

pelaku akuntansi dapat mempengaruhi penilaiannya terhadap pertimbangan kemungkinan salah saji.

Perbedaan pemahaman itu utamanya disebabkan karena pengaruh pola-pola interaksi yang terbentuk antarmasyarakat di suatu daerah. Daerah yang satu dengan daerah yang lain tentu akan memberikan ciri khas bersosialisasi yang berbeda terkait juga dengan adat istiadat dan kebiasaan yang telah turun temurun. Ketika beberapa orang dengan latar belakang nilai budaya dan tingkat sensitivitas etis yang berbeda dikumpulkan dalam satu kelompok organisasi, masing-masing akan mempelajari budaya organisasi dan kode etik sesuai dengan ciri khas dan kompetensi yang dimiliki tiap personal. Antarnilai personal itu akan saling memperkuat dengan ciri khas yang dimiliki masing-masing sehingga tujuan organisasi tercapai atau justru saling bertolak belakang dan menghambat kinerja di lingkungan organisasi tersebut. Pada auditor misalnya, calon-calon auditor yang awalnya berasal dari berbagai macam latar belakang ketika dikumpulkan dalam suatu kelompok untuk meneliti suatu kasus audit akan melihat kasus dengan persepsi yang berbeda. Latar belakang yang berbeda tersebut akan saling melengkapi apabila tercipta kerja sama yang baik antaranggota kelompok sehingga memunculkan pengambilan keputusan yang sesuai dengan kode etik profesional. Namun apabila tidak tercipta kerja sama yang baik, latar belakang yang dimiliki justru akan saling menjatuhkan sehingga pengambilan keputusan bisa jadi mengancam independensi dan melanggar kode etik profesional. Kerja sama antaranggota tim akan muncul apabila

(6)

masing-masing anggota mampu untuk memahami latar belakang antaranggota tim dengan baik.

Di samping nilai budaya, auditor sering dihadapkan pada dilema etis saat menjalankan tugasnya, yaitu ketika terdapat pertentangan kesepakatan antara auditor dan pihak teraudit. Seperti yang terlihat pada Kasus Enron, pihak teraudit bisa saja mempengaruhi auditor untuk melakukan tindakan yang melanggar peraturan dengan tujuan untuk menguntungkan pihak teraudit. Dalam hal ini, kemampuan auditor dalam mempertahankan sikap etis sangat dibutuhkan karena akan berpengaruh dengan keputusan yang akan diambilnya apakah bertentangan dengan kode etik profesi yang seharusnya dipatuhi atau tidak. Menurut Halim (2008) etika profesi merupakan suatu standar sikap para anggota profesi yang disusun agar sedapat mungkin terlihat praktis dan realitis, namun tetap idealistis. Setiap auditor harus mematuhi etika profesi yang telah disusun agar tidak menyimpang dari aturan dalam menyelesaikan laporan keuangan kliennya dan tentu saja tetap menjaga untuk bersikap independen.

Penelitian ini akan memfokuskan pada faktor-faktor pemahaman nilai personal yang terdapat pada diri seorang auditor, yaitu pemahaman nilai etika dan nilai-kultur yang dipegangnya. Penelitian yang berkaitan dengan faktor budaya sebelumnya pernah dilakukan oleh Poerhadiyanto dan Sawarjuwono (2002) yang menyimpulkan bahwa nilai budaya (dalam hal ini budaya Jawa) memiliki pengaruh yang positif terhadap independensi, dan juga penelitian yang dilakukan oleh Leiwakabessy (2009) yang menemukan bahwa nilai

(7)

kultur (dalam hal ini budaya Jawa) berpengaruh terhadap perilaku etis auditor.

Nilai etis yang digunakan penelitian ini mengacu pada sensitivitas etis auditor yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengakui sifat dasar etika dari sebuah keputusan atau kesadaran para individual bahwa mereka adalah agen moral atau pihak yang harus melakukan tindakan sesuai dengan ketentuan moral yang berlaku universal (Aziza dan Salim, 2008). Penelitian ini bukan mengukur tingkat keetisan yang dimiliki seseorang, tetapi mengukur seberapa besar kepekaan yang harus dimiliki auditor ketika menghadapi kasus dilema etis. Seorang auditor akan dinilai memiliki sensitivitas etis yang tinggi ketika mampu mempertahankan etika profesinya saat menghadapi kasus dilema etis, meskipun pada akhirnya keputusan yang diambil akan memberikan dampak buruk bagi dirinya sendiri. Sikap independensi akan terancam ketika seorang auditor mendapatkan pengaruh dari pihak teraudit, khususnya ketika auditor dihadapkan pada kasus dilema etis. Oleh karena itu, penting bagi seorang auditor untuk memiliki pemahaman nilai etis dan sensitivitas etis yang tinggi untuk mengarahkan perilakunya dalam mengambil keputusan.

Adapun nilai budaya yang digunakan dalam penelitian ini berbeda dengan yang digunakan dalam penelitian Poerhadiyanto dan Sawarjuwono (2002) dan Leiwakabessy (2009), nilai budaya yang digunakan adalah nilai budaya menurut teori Hofstede (2005), yaitu nilai budaya bangsa Indonesia secara umum, bukan etnis tertentu. Menurut Hoftsede (2005) terdapat 5

(8)

dimensi budaya, yaitu jarak kekuasaan, penghindaran konflik, individualisme/kolektivisme, maskulinitas/femininitas, dan orientasi jangka panjang/jangka pendek. Dalam penelitian Hofstede (2005), dimensi budaya yang menonjol pada bangsa Indonesia adalah kolektivisme. Hasil penelitian tersebut menunjukkan Indonesia memiliki skor Individualism Index (IDV) sebesar 14 (skala 1-100), yang merupakan salah satu negara dengan indeks terkecil di antara negara-negara lain yang diteliti Hofstede. Hasil penelitian ini sekaligus menunjukkan bahwa dimensi Individualisme-Kolektivisme merupakan fenomena unik masyarakat Indonesia. Individualisme-Kolektivisme berkaitan dengan hubungan seseorang dengan lingkungan sosialnya, bagaimana seseorang memperlakukan anggota masyarakat yang lain, bagaimana cara berkomunikasi dengan anggota masyarakat yang lain, dan bagaimana kecenderungan seseorang dalam menghadapi norma-norma sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Baik nilai individualisme maupun kolektivisme akan mempengaruhi cara dan pengambilan keputusan yang dilakukan seseorang. Seorang auditor yang memiliki latar belakang budaya individualisme akan cenderung lebih menjaga independensi karena keputusan tidak dipengaruhi oleh orang lain. Seseorang yang individualis bukan berarti mencerminkan orang yang egois, orang yang individualis akan tetap menghargai privasi orang lain serta tetap memperhatikan tujuan bersama yang diharapkan pada suatu organisasi sedangkan egois cenderung untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan bahkan mempengaruhi orang lain untuk hal yang menguntungkan dirinya sendiri. Sementara itu, auditor

(9)

dengan latar belakang budaya kolektivisme memiliki kecenderungan sifat yang menurunkan sikap independensi seperti kurangnya keberanian dalam membuat keputusan sendiri serta adanya rasa segan dalam menjaga keharmonisan dengan orang lain. Seseorang yang kolektivis akan tetap memperhatikan kemampuan dirinya sendiri kemudian disatukan dengan kebutuhan dan kemampuan orang lain di dalam kelompok sehingga tercipta keharmonisan bersama. Hal ini berbeda dengan seorang altruis yang memberikan perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan dirinya sendiri.

Auditor dalam menjalankan tugasnya selalu berhadapan dengan lingkungan sosial, khususnya dalam menghadapi hubungan dengan sesama anggota tim kerja dan juga hubungan dengan pihak teraudit. Hal ini menjadi menarik, karena ketika berada dalam sebuah tim audit yang masing-masing anggotanya memiliki tingkat individualisme-kolektivisme yang berbeda, keharmonisan dan kekompakan antaranggota tim harus terbentuk untuk menghasilkan keputusan yang tidak menyimpang dari kode etik dan tetap independen. Begitu juga ketika berhadapan dengan pihak teraudit, cara berkomunikasi yang profesional dan sikap independensi harus tetap dijaga agar tercipta kerja sama yang baik dan tidak menyimpang dari kode etik. Oleh karena itu pada penelitian ini, dimensi budaya yang akan digunakan adalah Individualisme-Kolektivisme sebagai suatu variabel khas bangsa Indonesia dan bagaimana dampaknya terhadap independensi auditor.

(10)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, maka rumusan masalah disusun sebagai berikut:

1. Apakah kultur (nilai budaya) yang dipahami oleh auditor berpengaruh terhadap independensi auditor?

2. Apakah nilai etis yang dipahami auditor berpengaruh terhadap independensi auditor?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menguji pengaruh kultur (nilai budaya) yang dipahami auditor terhadap independensi auditor

2. Menguji pengaruh nilai etis yang dipahami auditor terhadap independensi auditor

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan pengaruh pemahaman nilai budaya dan nilai etis terhadap independensi auditor. Para calon auditor diharapkan mampu memperhatikan faktor tersebut sehingga nilai budaya yang dipahami justru akan memperkuat independensi auditor karena dilandasi pemahaman nilai etis yang baik. Oleh karena itu, pelatihan-pelatihan yang berhubungan dengan etika dan penanaman nilai budaya yang dikaitkan dengan organisasi sangat direkomendasikan untuk diadakan dan diikuti oleh

(11)

para calon auditor, di samping pelatihan yang bersifat teknis akuntansi maupun pengauditan. Selain itu, penelitian ini diharapkan juga mampu memberikan tambahan referensi pada pengembangan teori di bidang akuntansi publik dengan memberikan bukti empiris mengenai pengaruh faktor personal nilai budaya dan nilai etis yang melekat dalam diri auditor terhadap independensi dan kualitas audit yang dilakukan.

Referensi

Dokumen terkait

Alat Analisis : Regresi Linier Berganda Variabel Dependen : Keputusan Pembelian Variabel Independen : Produk, Harga, Promosi, Tempat, Partisipan, Proses, Bukti Fisik Variabel

Kiprah asimetris biasanya terlihat pada anak-anak ketika tungkai perbedaan panjang tidak lebih dari 3,7% menjadi 5,5% [38,74] Dalam upaya untuk menjaga tingkat

• terjadi apabila debit solid yang datang lebih kecil daripada kemampuan transpor sedimen.. • dasar sungai tererosi • dasar sungai turun

Dari hasil semua pembahasan diatas, dan untuk menghindari terjadinya gangguan pada OLTC, maka didalam operasi OLTC maupun melakukan pemeliharaan perlu diperhatikan

Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran sangat berpengaruh terhadap penguasaan siswa kepada pesan yang diberikan, dengan kata lain, dalam proses pembelajaran jika

Laba bersih operasi yaitu laba yang diperoleh semata-mata dari hasil aktivitas operasional perusahaan sehari-hari, yang merupakan hasil yang diperoleh dari hasil penjualan

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan rahmat serta kuasanya-Nya hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang disusun untuk memenuhi

Artinya setiap penambahan pakan sebesar satu persen akan meningkatkan produksi sebesar 0,901 persen, penambahan tenaga kerja sebesar satu persen akan meningkatkan