• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Populasi Amfibi pada Tiga Sungai di Kawasan Gunung Payung, Taman Nasional Ujung Kulon, Banten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dinamika Populasi Amfibi pada Tiga Sungai di Kawasan Gunung Payung, Taman Nasional Ujung Kulon, Banten"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Dinamika Populasi Amfibi pada Tiga Sungai di Kawasan Gunung Payung,

Taman Nasional Ujung Kulon, Banten

Muhammad Suherman

1. Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia

E-mail: muhammad.suherman90@yahoo.co.id

Abstrak

Telah dilakukan penelitian mengenai dinamika populasi amfibi pada tiga sungai di kawasan Gunung Payung, Taman Nasional Ujung Kulon, Banten pada tanggal 22 Juni--2 Juli 2013. Penelitian dilakukan dengan cara mencatat populasi amfibi dengan faktor-faktor lingkungan yang memengaruhinya. Masing-masing pengambilan data dilakukan sebanyak empat pengulangan pada ketiga lokasi tersebut. Data hasil penelitian berupa hubungan korelasi antara populasi amfibi dengan faktor-faktor lingkungannya. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh delapan jenis amfibi. Beberapa jenis memiliki pengaruh signifikan yang cenderung kuat dan sangat kuat terhadap faktor-faktor lingkungannya. Berdasarkan hasil analisis dinamika populasi amfibi pada Sungai Cigunung payung dan Sungai Ciuluran sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Terlihat beberapa jenis yang dipengaruhi faktor suhu air, suhu udara dan kelembapan. Namun, faktor-faktor lingkungan di sungai Cibunar tidak berpengaruh nyata.

Amphibian Population Dynamic at Three Rivers in The Area of Mount Payung, Ujung Kulon National Park, Banten

Abstract

Study of amphibian population dynamic at three rivers in the area of Mount. Payung, Ujung Kulon National Park, Banten in 22 June--2 July 2013. The study was carried out by collecting data of amphibian population with environment factors influence. Each sampling data was performed four repetitions at three locations. The result of research form a correlation amphibian population between environtment factors. Based on this study were found eight amphibian species. Some species has significant inclined and very strong against environment factors, Based on result analysis was amphibian population dynamic very influence by environment factors such as water temperature, air temperature and humidity at Cigunung payung and Ciuluran rivers, but environtment factors not influnece at Cibunar river.

Keywords: Amphibian Population, Dynamics, Mount. Payung, River

Pendahuluan

Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Banten memiliki luas area sekitar 120.551 ha terdiri dari 76.214 ha kawasan daratan dan 44.337 ha kawasan perairan laut. Secara garis besar

(2)

TNUK dapat dibagi ke dalam tiga wilayah utama, yaitu Semenanjung Ujung Kulon, Gunung Honje, dan Pulau Panaitan (Clarbrough 2010: 11). Gunung Payung termasuk ke dalam wilayah Semenanjung Ujung Kulon yang terletak pada bagian ujung barat daya di TNUK. Gunung Payung memiliki ketinggian 500 m dpl. Keberadaan air tawar dengan jumlah besar masih terdapat di Gunung Payung (Hommel 1987: 21). Keberadaan air tawar tersebut berupa sungai yang memungkinkan kehadiran amfibi berada di kawasan Gunung Payung.

Berdasarkan survei pendahuluan, kawasan Gunung Payung memiliki beberapa aliran sungai yang aktif yaitu Sungai Cigunungpayung, Ciuluran, dan Cibunar. Ketiga sungai tersebut kemungkinan merupakan sumber keberadaan air tawar di kawasan Gunung Payung seperti yang dijelaskan oleh Hommel.

Menurut Hommel (1987: 1) wilayah Ujung Kulon masih belum dapat tereksplorasi dengan baik. Salah satu penyebabnya dikarenakan masih terdapat semak belukar berduri di beberapa wilayah Ujung Kulon sehingga sangat sulit untuk dapat dijangkau (Hommel 1987: 1; Hommel 1990: 39). Medan yang sulit tersebut membuat jarang penelitian dilakukan di daerah Ujung Kulon. Lokasi Gunung Payung yang berada di bagian ujung barat daya TNUK membuat daerah tersebut cukup jauh dan sulit untuk dijelajahi sebagai area penelitian. Selain itu, jenis- jenis amfibi dan faktor yang memengaruhi populasi amfibi tersebut belum diketahui dengan pasti sehingga menarik untuk diteliti lebih lanjut. Kedua hal tersebut dikarenakan belum adanya data penelitian di kawasan Gunung Payung (khususnya pada sekitar sungai). Penelitian secara sistematis menggunakan sampling transek pada daerah sekitar sungai dan mengenai hubungan populasi amfibi dengan faktor lingkungannya di alam liar akan dapat memberikan informasi mengenai cara mengonservasi amfibi dengan lingkungannya tersebut. Populasi amfibi juga dapat memengaruhi keberadaan populasi satwa lain dan ketiadaan amfibi mengindikasikan perubahan lingkungan di sekitar daerah tersebut. Oleh karena itu, penelitian amfibi secara sistematis dengan menggunakan metode sampling transek pada tiga aliran sungai yang aktif di kawasan Gunung Payung ini perlu dilakukan karena masih memiliki sedikit informasi dan belum tereksplorasi secara detail. Hasil dari data tersebut diharapkan dapat melengkapi data-data yang sudah ada di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten.

Tinjauan Teoritis Biologi Amfibi

Amfibi terbagi menjadi tiga kelompok utama yang berbeda satu sama lain secara morfologis. Katak dan kodok (bangsa Anura) terspesialisasi untuk melompat dengan kaki belakang yang

(3)

membesar, tubuk pendek, tidak memiliki ekor, dan memiliki kepala serta mata yang besar. Salamander dan newt (bangsa Urodela atau Caudata) bertubuh panjang dengan kaki depan dan belakang yang berukuran sama, dan berekor panjang. Caecilian (bangsa Gymnophiona) terspesialisasi hidup di bawah tanah. Caecilian memiliki tubuh yang memanjang seperti ular tanpa kaki dan mata yang tereduksi (Wells 2007: 2).

Amfibi adalah hewan vertebrata yang memiliki sifat poikilotermik (Malkmus dkk. 2002: 46) ektotermik atau berdarah dingin (Harding 2000: 1). Selain itu, amfibi memiliki karakteristik kulit yang basah tanpa sisik, bulu, atau rambut (Harding 2000: 2). Kulit amfibi mengandung sejumlah kelenjar mukus (Harding 2000: 2; Malkmus dkk. 2002:46). Kelenjar mukus tersebut melindungi tubuh amfibi dari kekeringan. Amfibi pada fase dewasa bernapas menggunakan paru-paru (Harding 2000: 2), sedangkan pada fase berudu bernapas

menggunakan insang (Kampen 1923: 1). Namun, kebanyakan amfibi bernapas menggunakan kulit ketika di dalam air pada fase dewasa.

Habitat Amfibi

Amfibi dapat hidup di daratan maupun di perairan tawar. Variasi habitat amfibi berkisar dari bawah tanah sampai kanopi tertinggi pada pohon (Iskandar 1998: 2). Mayoritas amfibi hidup di daerah hutan karena memiliki kelembapan tinggi yang melindunginya dari keadaan

kekeringan. Beberapa jenis amfibi berhabitat di dekat sungai, bahkan beberapa jenis ada yang tidak dapat meninggalkan air (Iskandar 1998: 2). Amfibi tidak dapat bertahan hidup di

perairan asin (Iskandar 1998: 2; Vitt & Caldwell 2009: 435). Namun demikian, ada jenis amfibi dari bangsa Anura yang dapat ditemukan di air payau (Kampen 1923: 4; Iskandar 1998: 2).

Ada sepuluh suku amfibi yang terdapat di Indonesia. Enam suku amfibi terdapat di Pulau Jawa, yaitu Bufonidae, Dicroglossidae, Megophryidae, Microhylidae, Ranidae, dan Rhacophoridae (Iskandar 1998: 31). Suku Bufonidae berhabitat utama di daerah terestrial dengan habitat minor pada fossorial, arboreal, dan riparian. Suku Megophryidae berhabitat utama di daerah terestrial dengan habitat minor pada fossorial dan riparian. Suku

Microhylidae terutama subsuku Microhylinae berhabitat utama di daerah terestrial dengan habitat minor pada fossorial. Suku Ranidae berhabitat utama di daerah terestrial dan semi- akuatik dengan habitat minor pada fossorial, akuatik, dan scansorial. Suku Rhacophoridae berhabitat utama di daerah arboreal dengan habitat minor pada scansorial, terestrial, dan riparian. Jenis scansorial hidup di dekat tanah tetapi dapat memanjat vegetasi yang berukuran

(4)

pendek. Sementara itu, jenis arboreal hanya berada di dekat tanah ketika berkembang biak (Wells 2007: 42). Suku Dicroglossidae kemungkinan mempunyai habitat utama dan minor yang hampir sama dengan suku Ranidae karena suku Dicroglossidae merupakan pecahan dari suku Ranidae.

Faktor Lingkungan yang Memengaruhi Populasi Amfibi

Suhu

Amfibi, khususnya bangsa Anura dapat bertahan hidup dengan suhu air berkisar 2°C sampai dengan 35°C. Kisaran suhu tersebut, sesuai dengan habitatnya mulai dari pegunungan yang dingin hingga pantai yang panas (Susanto 1992: 29). Amfibi tidak dapat menaikkan atau menjaga panas tubuhnya dengan aktivitas metabolik. Amfibi menjadi tidak aktif beraktivitas saat cuaca sangat dingin, bahkan bersembunyi sampai udara kembali hangat. Sebaliknya, ketika suhu menghangat amfibi secara berangsur-angsur aktif kembali sampai pada suhu yang toleran. Akan tetapi, suhu yang terlalu tinggi akan membuat amfibi bersembunyi agar

terhindar dari penguapan air yang berlebihan (Wells 2007: 122). Keuntungan amfibi

memiliki sifat ektotermik (tidak dapat menghasilkan energi sendiri) adalah laju metabolisme menjadi sangat rendah dan energi yang dibutuhkan menjadi lebih sedikit dibandingkan hewan endotermik seperti burung dan mamalia (Wells 2007: 2). Kemampuan amfibi dapat bertahan pada keterbatasan suhu dengan kebutuhan energi yang sedikit, membuat amfibi dapat

beraktivitas normal untuk makan dan bereproduksi (Wells 2007: 122).

Kelembapan

Kelembapan udara memengaruhi gradien densitas penguapan (vapor density gradient). Gradien densitas penguapan akan meningkat, pada suhu tubuh amfibi yang tinggi atau pada kelembapan yang meliputi udara akan menurun. Amfibi yang terkena sinar matahari langsung pada udara yang kering akan kehilangan air lebih cepat dibandingkan hewan lain. Meskipun udara di sekitar amfibi hampir jenuh pada malam hari di hutan hujan tropis, amfibi akan kehilangan air dengan laju yang rendah kecuali bila suhu tubuh amfibi lebih rendah daripada di udara. Tingkat metabolisme produksi panas yang rendah pada amfibi akan meningkatkan suhu pada kulit dan mempertahankan gradien densitas penguapan dengan

(5)

lingkungan. Namun, beberapa amfibi mencari makan ketika kelembapan sangat tinggi dan vegetasi disekitarnya basah (Wells 2007: 88--95).

Sinar Bulan

Church (1960a: 339) menyatakan bahwa siklus bulan memengaruhi perkawinan amfibi seperti pada jenis Duttaphrynus melanostictus selama bulan penuh (full moon). Church (1960b: 339) juga menemukan kasus yang sama pada jenis Fejervarya cancrivora selama bulan baru (new

moon). Katak pejantan akan terpengaruh untuk melakukan aktivitas panggilan (calling) pada

saat sinar bulan terang. Namun, sinar bulan yang terhalang kanopi pohon dapat menghambat aktivitas panggilan katak (Brooke 2000: 83).

Mikrohabitat

Amfibi memiliki asosiasi dengan beberapa tempat atau mikrohabitat yang tidak biasa seperti gua, bebatuan besar, celah batu, dan tumbuhan bromeliad (Wells 2007: 42). Phytotelmata adalah tumbuhan yang menjadi habitat bagi hewan dalam bentuk penampungan air (water

container). Tumbuhan suku bromeliaceae (bromeliad tank) merupakan salah satu dari

beberapa tipe phytotelmata. Beberapa tipe phytotelmata lain, yaitu pitcher plant, lubang pohon yang berisi air (water-filled tree holes), internodus bambu (bamboo internodes), dan

axil water dari bagian tumbuhan. Selain itu, tumbuhan phytotelmata memiliki banyak fungsi

bagi hewan, yaitu sebagai tempat mencari makan, beristirahat, berlindung, dan berkembang biak (Kitching 2000: 2--3 & 17). Berdasarkan penelitian Lehtinen (2002: 24) mengenai tumbuhan phytotelmata, suku tumbuhan Pandanaceae menjadi daerah mikrohabitat yang penting bagi beberapa hewan herpetofauna (amfibi dan reptil) di Madagaskar. Di samping suku Pandanaceae, tumbuhan dari suku Strelitziaceae dan Araceae juga dapat menjadi mikrohabitat penting bagi herpetofauna di Madagaskar.

(6)

Metode Penelitian

Lokasi dan Waktu

Lokasi penelitian berada pada tiga sungai di kawasan Gunung Payung, Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Tiga sungai ini dipilih sebagai lokasi penelitian karena hanya tiga sungai ini yang aktif mengalirkan air pada musim hujan atau pun musim kemarau. Tiga sungai ini memungkinkan keberadaan amfibi tetap dapat berada pada lokasi tersebut. Tiga sungai tersebut yaitu Cigunungpayung, Ciuluran, dan Cibunar. Sampel diidentifikasi di lapangan dan di Laboratorium. Pengambilan data dilakukan selama dua belas hari pada tanggal 21 Juni -- 2 Juli 2013.

Kondisi Setiap Lokasi Transek penelitian

Lokasi Sungai Cigunungpayung terletak di lembah dekat puncak Gunung Payung. Aliran dari Sungai Cigunungpayung relatif deras (rata-rata kecepatan arus air 4,6 -- 6,5 dt/m), pH air = 7, dan berair jernih. Kondisi sungai Cigunungpayung memiliki rata-rata kemiringan tepian sungai 25° -- 77° dengan kelebaran 1,7 -- 6,2 m dan kedalaman 13 -- 30 cm. Substrat dasar sungai batu dan pasir serta tepian sungai bersubstrat tanah. Vegetasi dominan yang dapat ditemukan di Sungai Cigunungpayung adalah rotan (Calamus sp.), talas (Schismatoglottis

calyptrata), dan paku-pakuan (Pteridophyta).

Lokasi Sungai Ciuluran terletak di lembah dekat puncak Uluran diantara dua lereng bukit. Aliran dari Sungai Ciuluran relatif sedang (rata-rata kecepatan arus air 6,5--8,1 dt/m), pH air = 7, dan berair jernih. Kondisi sungai Ciuluran memiliki rata-rata kemiringan tepian sungai 56°--77° dengan kelebaran 0,8 -- 3,4 m dan kedalaman 8 -- 32 cm. Substrat dasar sungai batu dan pasir serta tepian sungai bersubstrat tanah. Vegetasi dominan yang dapat ditemukan di Sungai Ciuluran adalah pacing (Costus speciosus), rotan (Calamus sp.), talas

(Schismatoglottis calyptrata), tepus (Etlingera coccinea) dan paku-pakuan (Pteridophyta). Lokasi Sungai Cibunar terletak di dekat resort Cibunar. Resort Cibunar berada di pinggir pantai dekat dengan muara Sungai Cibunar. Aliran dari Sungai Cibunar relatif lambat (rata- rata kecepatan arus air 4,3--10,7 dt/m), pH air = 7, dan berair keruh. Kondisi sungai Cibunar memiliki rata-rata kemiringan tepian sungai 20° -- 47° dengan kelebaran 1,1 -- 2,3 m dan kedalaman 43 -- 107 cm. Substrat dasar sungai batu dan pasir serta tepian sungai bersubstrat

(7)

tanah berlumpur. Vegetasi dominan yang dapat ditemukan di Sungai Cibunar adalah rotan (Calamus sp.), langkap (Arenga obtusifolia), dan tepus (Etlingera coccinea).

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah baterai, buku panduan lapangan identifikasi amfibi, GPS (Global Positioning System) [Garmin], headlamp, higrometer, jam tangan digital [Digitec], kamera digital [Canon PowerShot A810], lembar kerja, meteran gulung (50 m), papan jalan, software Diva-GIS, software SPSS (Statistical Program for

Social Science), tali rafia, termometer, golok, bola pingpong, penggaris, pH meter, botol

sampel, alkohol 70%, sampel amfibi dan tumbuhan.

Cara Kerja

Berdasarkan teori pengamatan lapangan Jaeger (1994: 103--107) pengambilan data dinamika populasi amfibi dilakukan dengan menggunakan metode transect sampling yang dimodifikasi. Kegiatan survei dilakukan melalui perjalanan jalur darat dimulai dari Legon Pakis sampai dengan Gunung Payung. Pengamatan dilakukan pada aliran sungai yang berpotensi menjadi lokasi penelitian amfibi di sekitar kawasan Gunung Payung. Survei pendahuluan ini

dilakukan untuk mengetahui lokasi sungai, kondisi dan habitat keberadaan amfibi. Jalur pengamatan dibuat sepanjang aliran sungai. Pembuatan jalur pengamatan sepanjang 400 m pada setiap lokasi. Jalur pengamatan sepanjang 400 m tersebut dibuat penanda setiap 10 m dari titik 0 sampai titik 40. Kebanyakan amfibi beraktifitas di malam hari (nokturnal) karena itu pengambilan data dilakukan di malam hari. Pengambilan data dilakukan pada malam hari mulai pukul 19.00 sampai 23.00 WIB. Pengambilan data dilakukan dengan empat kali pengulangan pada setiap lokasi penelitian. Pengulangan dilakukan sebanyak empat kali agar didapat data yang detail mengenai jumlah individu, jenis amfibi serta faktor lingkungan yang memengaruhinya. Pengamatan dilakukan dengan berjalan menelusuri bagian tepi kiri-kanan dan bagian tengah sungai dengan jumlah pengamat sebanyak 2 sampai 5 orang. Data yang dicatat yaitu data amfibi meliputi nama jenis, jumlah individu, posisi horizontal dari badan air, posisi vertikal dari permukaan air, waktu saat ditemukan, substrat saat ditemukan dan perilaku. Data habitat meliputi nomor titik subtransek, hari, tanggal, koordinat lokasi

penelitian, suhu air, suhu udara, kelembapan,vegetasi, dan kondisi sinar bulan. Sampel amfibi dan tumbuhan yang ditemukan akan diidentifikasi dengan menggunakan buku panduan

(8)

identifikasi lapangan The Amphibians of Java and Bali (Iskandar 1998) dan Amphibians &

Reptiles of Gunung Halimun National Park, West Java, Indonesia (frogs, lizard and snakes)

(Kurniati 2003). Sementara itu, sampel yang tidak dapat teridentifikasi di lapangan akan dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi lebih lanjut. Kemudian dinamika populasi amfibi dihubungkan dengan faktor lingkungan seperti suhu air, suhu udara, dan kelembapan.

Penentuan pengaruh faktor lingkungan terhadap amfibi dianalisis dengan pendekatan korelasi Pearson menggunakan software SPSS 20.

Hasil dan Pembahasan Hasil

Hasil transek dari seluruh lokasi penelitian selama dua belas hari pada tanggal 22 Juni sampai dengan 2 Juli 2013 ditemukan bangsa anura (katak dan kodok) berjumlah total 499 individu amfibi. Katak dan kodok yang ditemukan terdiri atas suku Bufonidae (Ingerophrynus

biporcatus dan Leptophryne borbonica), Dicroglossidae (Limnonectes macrodon, Limnonectes microdiscus, dan Occidozyga sumatrana), Megophryidae (Leptobrachium hasseltii), dan Ranidae (Hylarana chalconota dan Odorrana hosii). Delapan jenis amfibi

tersebut ditemukan di tiga lokasi transek Sungai Cigunungpayung, Ciuluran, dan Cibunar (total panjang transek 1200 meter), Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Ordo Caecilian tidak ditemukan selama penelitian berlangsung. Hasil dari transek pada setiap lokasi penelitian untuk empat kali pengulangan adalah sebagai berikut:

Cigunungpayung

Hasil empat kali pengamatan di Sungai Cigunungpayung memperlihatkan dinamika keragaman jenis amfibi yang konstan dan jumlah individu yang fluktuatif cenderung naik turun. Pengamatan hari pertama (113 individu), kedua (88 individu), ketiga (102 individu), dan keempat (82 individu) ditemukan lima jenis amfibi yaitu Hylarana chalconota,

Leptobrachium hasseltii, Leptophryne borbonica, Limnonectes microdiscus, dan Odorrana hosii.

Lima jenis amfibi tersebut selalu hadir selama empat kali pengamatan. Kelembapan (korelasi Pearson= -0,145; p= 0,063) berpengaruh nyata negatif cenderung kuat terhadap kehadiran individu Hylarana chalconota di lokasi Sungai Cigunungpayung. Suhu Air (korelasi Pearson= -0,016; p=0,839) dan suhu udara (korelasi Pearson= -0,031; p= 0,691) tidak berpengaruh nyata dengan kehadiran individu Hylarana chalconota (Tabel 4.1.1(2)).

Hylarana chalconota ditemukan kebanyakan mendominasi 28,72% bertengger di batu (27

dari 94 individu), 15,96% berada di tanah (15 dari 94 individu), 14,89% bertengger di kayu lapuk (14 dari 94 individu) dan 40,43% sisanya bertengger pada berbagai macam vegetasi riparian (38 dari 94 individu).

(9)

Suhu air (korelasi Pearson= 0,142; p= 0,70) berpengaruh nyata positif cenderung kuat terhadap kehadiran individu Leptobrachium hasseltii di lokasi Sungai Cigunungpayung. Suhu udara (korelasi Pearson= -0,068; p= 0,384) dan kelembapan (korelasi Pearson= 0,021; p= 0,787) tidak berpengaruh nyata dengan kehadiran individu Leptobrachium hasseltii (Tabel 4.1.1(2)). Leptobrachium hasseltii ditemukan kebanyakan mendominasi 43,48% bertengger di batu (10 dari 23 individu), 39,13% berada di tanah (9 dari 23 individu), 13,04% bertengger di kayu lapuk (3 dari 23 individu), dan 4,35% sisanya berada di air (1 dari 23 individu). Suhu udara (korelasi Pearson= 0,154; p=0,049) berpengaruh nyata positif yang sangat kuat terhadap kehadiran individu Leptophryne borbonica di lokasi Sungai Cigunungpayung. Suhu air (korelasi Pearson= -0,112; p= 0,153) dan suhu udara (korelasi Pearson= 0,033; p= 0,679) tidak berpengaruh nyata dengan kehadiran individu Leptophryne borbonica (Tabel 4.1.1(2)).

Leptophryne borbonica ditemukan kebanyakan mendominasi 86,32% bertengger di batu (164

dari 190 individu), 6,32% bertengger di kayu lapuk (12 dari 190 individu), 2,63% berada di tanah (5 dari 190 individu), dan 4,73% sisanya bertengger pada berbagai macam vegetasi riparian (9 individu 190).

Suhu air (korelasi Pearson= 0,020; p=0,795), suhu udara (korelasi Pearson= 0,098; p=0,212), dan kelembapan (korelasi Pearson= 0,032; p= 0,687) tidak berpengaruh nyata dengan

kehadiran individu Limnonectes microdiscus di lokasi Sungai Cigunungpayung (Tabel 4.1.1(2)). Limnonectes microdiscus ditemukan kebanyakan mendominasi 53,06% berada di tanah (26 dari 49 individu), 36,73% bertengger di batu (18 dari 49 individu), 6,12%

bertengger di kayu lapuk (3 dari 49 individu), dan 4,09% sisanya berada di air serta vegetasi riparian (2 dari 49 individu).

Suhu udara (korelasi Pearson= -0,176; p=0,024) kehadiran individu berpengaruh nyata negatif yang sangat kuat terhadap Odorrana hosii di lokasi Sungai Cigunungpayung. Suhu air

(korelasi Pearson= 0,064; p= 0,419) dan kelembapan (korelasi Pearson= -0,013; p= 0,870) tidak berpengaruh nyata dengan kehadiran individu Odorrana hosii (Tabel 4.1.1(2)).

Odorrana hosii ditemukan 55% bertengger di batu (11 dari 20 individu), 25% bertengger di

beberapa vegetasi (5 dari 20 individu), dan 20% sisanya bertengger di kayu lapuk (4 dari 20 individu).

Ciuluran

Hasil empat kali pengamatan di Sungai Ciuluran memperlihatkan dinamika keragaman jenis amfibi yang hampir sama dan jumlah individu yang fluktuatif cenderung naik turun.

Pengamatan hari pertama (33 individu), kedua (22 individu), ketiga (24 individu) ditemukan empat jenis amfibi, dan pengamatan hari keempat (14 individu) ditemukan tiga jenis amfibi. Amfibi yang ditemukan yaitu Hylarana chalconota, Leptobrachium hasseltii, Leptophryne

borbonica, dan Limnonectes microdiscus.

Empat jenis amfibi tersebut selalu hadir selama empat kali pengamatan. Kehadiran individu

Hylarana chalconota berpengaruh nyata positif oleh kelembapan (korelasi Pearson= 0,184;

p= 0,018) di lokasi Sungai Ciuluran. Suhu Air (korelasi Pearson= 0,095; p=0,225) dan suhu udara (korelasi Pearson= -0,097; p= 0,215) tidak berpengaruh nyata dengan kehadiran

individu Hylarana chalconota (Tabel 4.1.2(2)). Hylarana chalconota ditemukan kebanyakan mendominasi 14,81% bertengger di talas (Schismatoglottis calyptrata) (4 dari 27 individu),

(10)

14,81% bertengger di vegetasi paku-pakuan (4 dari 27 individu), 11,11% bertengger di tepus (Etlingera coccinea) (3 dari 27 individu), dan 59,27% sisanya bertengger pada berbagai macam substrat seperti bebatuan serta vegetasi riparian lain (16 dari 27 individu). Kehadiran individu Leptobrachium hasseltii berpengaruh nyata negatif oleh kelembapan (korelasi Pearson= 0,186; p= 0,017) di lokasi Sungai Ciuluran. Suhu udara (korelasi Pearson= -0,146; p= 0,063) dan suhu air (korelasi Pearson= 0,031; p= 0,691) tidak berpengaruh nyata dengan kehadiran individu Leptobrachium hasseltii (Tabel 4.1.2(2)).

Leptobrachium hasseltii ditemukan kebanyakan mendominasi 63,64% bertengger di batu (7

dari 11 individu), 18,18% berada di air (2 dari 11 individu), dan 18,18% sisanya berada di tanah (2 dari 11 individu). Suhu air (korelasi Pearson= -0,048; p= 0,545), suhu udara (korelasi Pearson= -0,071; p=0,367), dan kelembapan (korelasi Pearson= -0,106; p= 0,179) tidak berpengaruh nyata dengan kehadiran individu Leptophryne borbonica di lokasi Sungai Ciuluran (Tabel 4.1.2(2)). Leptophryne borbonica ditemukan kebanyakan mendominasi 36,96% bertengger di batu (17 dari 46 individu), 26,09% bertengger di talas (Schismatoglottis

calyptrata) (12 dari 46 individu), 8,70% bertengger di kayu lapuk (4 dari 46 individu), dan

28,25% sisanya bertengger pada berbagai macam vegetasi riparian lain (13 dari 46 individu) . Kehadiran individu Limnonectes microdiscus berpengaruh nyata positif oleh kelembapan (korelasi Pearson= 0,176; p= 0,052) di lokasi Sungai Ciuluran. Suhu air (korelasi Pearson= 0,037; p=0,684) dan suhu udara (korelasi Pearson= -0,056; p=0,541) tidak berpengaruh nyata dengan kehadiran individu Limnonectes microdiscus (Tabel 4.1.1(2)). Limnonectes

microdiscus ditemukan kebanyakan mendominasi 40% berada di tanah (4 dari 10 individu),

30% bertengger di batu (3 dari 10 individu), dan 20% bertengger di beberapa vegetasi (2 dari 10 individu), dan 10% sisanya bertengger pada kayu lapuk (1 dari 10 individu).

Cibunar

Hasil empat kali pengamatan di Sungai Cibunar memperlihatkan dinamika keragaman jenis amfibi yang hampir sama dan jumlah individu yang cenderung fluktuatif naik turun.

Pengamatan hari pertama (5 individu) serta kedua (7 individu) ditemukan tiga jenis amfibi, pengamatan hari ketiga (5 individu) ditemukan dua jenis amfibi, dan pengamatan hari keempat (4 individu) ditemukan empat jenis amfibi. Amfibi yang ditemukan yaitu

Ingerophrynus biporcatus, Leptobrachium hasseltii, Limnonectes macrodon, dan Occidozyga sumatrana.

Satu jenis amfibi, yaitu Leptobrachium hasseltii selalu hadir selama empat kali pengamatan. Suhu udara (korelasi Pearson= 0,043; p= 0,583), suhu air (korelasi Pearson= 0,032; p=0,681), dan kelembapan (korelasi Pearson= -0,001; p= 0,987) tidak berpengaruh nyata dengan

kehadiran individu Leptobrachium hasseltii di lokasi Sungai Cibunar (Tabel 4.1.3(2)).

Leptobrachium hasseltii ditemukan kebanyakan mendominasi 63,64% berada di tanah (7 dari

11 individu), 27,27% bertengger di kayu lapuk (3 dari 11 individu), dan 9,09% sisanya bertengger di batu (1 dari 11 individu).

(11)

Pembahasan

Amfibi yang ditemukan dari seluruh lokasi penelitian pada tiga sungai, yaitu Sungai

Cigunungpayung, Sungai Ciuluran, dan Sungai Cibunar berjumlah delapan jenis amfibi dari bangsa anura (katak dan kodok). Jenis amfibi yang ditemukan hanya sedikit kemungkinan karena terdapat banyak ikan sidat yang memangsa berudu dari amfibi tersebut. Leptophryne

borbonica dan Odorrana hosii merupakan jenis amfibi yang memiliki racun pada tubuhnya.

Kedua jenis berudu amfibi tersebut akan aman dari ikan sidat sebab kandungan racun dalam tubuh berudu akan membuat ikan sidat tidak suka memakannya (Hellen Kurniati, komunikasi pribadi, 27 November 2013). Leptobrachium hasseltii merupakan jenis amfibi satu-satunya yang selalu ditemukan di tiga lokasi sungai penelitian. Menurut Kurniati (2001: 115),

Leptobrachium hasseltii adalah jenis amfibi yang sering ditemukan di daerah Taman

Nasioanl Ujung Kulon, Banten. Berdasarkan Church (1960a & 1960b: 339), keberadaan sinar bulan memengaruhi populasi amfibi untuk aktivitas kawin sehingga memungkinkan jumlah keberadaan amfibi dapat berlimpah. Namun, sinar bulan tidak memberikan efek yang signifikan bagi amfibi di kawasan Gunung Payung sebab pengambilan data saat penelitian tidak berjangka waktu lama.

Jumlah individu dan jumlah jenis sepanjang transek tidak berpengaruh nyata terhadap

beberapa faktor lingkungan seperti suhu air, suhu udara, dan kelembapan secara signifikan di lokasi Sungai Cigunungpayung. Namun, kehadiran individu per jenis amfibi masih

dipengaruhi beberapa faktor tersebut. Fase rembulan mendekati selalu hampir bulan penuh pada lokasi Sungai Cigunungpayung. Menurut Church (1960b: 339), aktivitas amfibi akan banyak dipengaruhi oleh persentase sinar rembulan. Jumlah total individu selama empat kali pengamatan berjumlah 385 individu (5 jenis amfibi) ditemukan dilokasi Sungai

Cigunungpayung.

Kehadiran individu Hylarana chalconota berpengaruh nyata negatif cenderung kuat oleh kelembapan, kenaikan kelembapan akan mengurangi kehadiran individu dan penurunan kelembapan akan meningkatkan kehadiran individu Hylarana chalconota di lokasi Sungai Cigunungpayung. Kelembapan akan sangat memengaruhi keberadaan Hylarana chalconota sebab kebanyakan bertengger di atas batu, kayu lapuk, tanah, dan vegetasi riparian. Talas (Schismatoglottis calyptrate) merupakan salah satu vegetasi yang dominan di sekitar lokasi Sungai Cigunungpayung. Berdasarkan Iskandar (1998: 66), Hylarana chalconota sering bertengger pada vegetasi di sekitar air dan dapat bertahan hidup pada dataran rendah sampai dengan ketinggian 1200 m. Hylarana chalconota dapat berada sampai ketinggian 1500 m di Pulau Jawa (Kurniati 2003: 27). Ketinggian daerah pada distribusi Hylarana chalconota kemungkinan memengaruhi hubungan jumlah individu dengan kelembapan. Suhu air dan suhu udara tidak berpengaruh nyata dengan kehadiran individu Hylarana chalconota. Kehadiran individu Leptobrachium hasseltii berpengaruh nyata positif cenderung kuat oleh suhu air, kenaikan suhu air akan meningkatkan kehadiran individu dan penurunan suhu air akan menurunkan kehadiran individu Leptobrachium hasseltii di lokasi Sungai

Cigunungpayung. Wells (2007: 140) menyatakan, keadaan yang dingin pada malam hari membuat katak dapat ditemukan di dekat air yang hangat. Menurut Vitt & Caldwell (2009: 217), kelembapan merupakan salah satu faktor pergerakan amfibi untuk berpindah tempat. Namun, suhu udara dan kelembapan tidak berpengaruh nyata dengan kehadiran individu

(12)

Leptobrachium hasseltii. Leptobrachium hasseltii dapat ditemukan di serasah hutan (Iskandar

1998: 37). Selain itu, Leptobrachium hasseltii dapat juga ditemukan di aliran air yang berarus cepat (Kampen1923: 15; Vitt & Caldwell 2009: 443).

Suku Bufonidae kebanyakan berhabitat di daerah terestrial (Wells 2007: 42; Vitt & Caldwell 2009: 459). Leptophryne borbonica adalah salah satu jenis dari suku Bufonidae. Kehadiran individu Leptophryne borbonica berpengaruh nyata positif sangat kuat oleh suhu udara, kenaikan suhu udara akan meningkatkan kehadiran individu dan penurunan suhu udara akan menurunkan kehadiran individu Leptophryne borbonica di lokasi Sungai Cigunungpayung. Suhu udara kemungkinan berpengaruh sangat kuat karena suku Bufonidae keberadaannya kebanyakan di daerah terestrial (Wells 2007: 42;Vitt & Caldwell 2009: 459). Suhu air dan suhu udara tidak berpengaruh nyata dengan kehadiran individu Leptophryne borbonica. Menurut Kurniati (2003: 45), Limnonectes microdiscus dapat ditemukan pada perairan tawar daratan utama Ujung Kulon. Limnonectes microdiscus dapat ditemukan di hutan dataran rendah sampai ketinggian 1.400 mdpl (Iskandar 1998: 77; Kusrini 2013:79). Namun, faktor lingkungan, yaitu suhu air, suhu udara, dan kelembapan tidak berpengaruh nyata dengan kehadiran individu Limnonectes microdiscus di lokasi Sungai Cigunungpayung.

Odorrana hosii hanya dapat ditemukan di sekitar air terjun kecil pada lokasi Sungai

Cigunungpayung. Marga Odorrana biasa disebut katak air terjun kecil atau jeram sebab katak ini dapat ditemukan pada sungai pegunungan yang memiliki bebatuan besar di sekitar daerah air terjun kecil (Vitt & Caldwell 2009: 479) Suhu air dan kelembapan tidak

berpengaruh nyata terhadap kehadiran individu Odorrana hosii. Kehadiran individu

Odorrana hosii berpengaruh nyata negatif sangat kuat oleh suhu udara, kenaikan suhu udara

akan mengurangi kehadiran individu dan penurunan suhu udara akan meningkatkan kehadiran individu Odorrana hosii. Suhu udara akan sangat memengaruhi keberadaan Odorrana hosii yang sebagian besar bertengger di atas batu pada lokasi Sungai Cigunungpayung. Menurut Iskandar (1998: 68), Odorrana hosii selalu bertengger di atas batu besar atau vegetasi di sepanjang sungai.

Jumlah individu dan jumlah jenis sepanjang transek berpengaruh nyata dengan beberapa faktor lingkungan seperti suhu udara dan kelembapan secara signifikan di lokasi Sungai Ciuluran, sedangkan suhu air tidak berpengaruh nyata. Fase rembulan memiliki persentase masih di atas 50 % pada lokasi Sungai Ciuluran. Persentase tersebut memungkinkan keberadaan individu amfibi tetap banyak beraktivitas. Jumlah total individu selama empat kali pengamatan berjumlah 93 individu (4 jenis amfibi) ditemukan dilokasi Sungai Ciuluran. Kehadiran individu Hylarana chalconota berpengaruh nyata positif sangat kuat oleh

kelembapan, kenaikan kelembapan akan meningkatkan kehadiran individu dan penurunan kelembapan akan menurunkan kehadiran individu Hylarana chalconota di lokasi Sungai Ciuluran. Suhu Air dan suhu udara tidak berpengaruh nyata dengan kehadiran individu

Hylarana chalconota. Kelembapan akan sangat memengaruhi keberadaan Hylarana chalconota sebab kebanyakan bertengger di atas vegetasi riparian.

Kehadiran individu Leptobrachium hasseltii berpengaruh nyata positif sangat kuat oleh kelembapan, kenaikan kelembapan akan meningkatkan kehadiran individu Leptobrachium

hasseltii di lokasi Sungai Ciuluran. Suhu udara juga berpengaruh nyata negatif cenderung

kuat terhadap keberadaan individu Leptobrachium hasseltii, kenaikan suhu udara akan menurunkan individu dan penurunan suhu udara akan meningkatkan individu Leptobrachium

(13)

hasseltii di lokasi Sungai Ciuluran. Suhu air tidak berpengaruh nyata dengan kehadiran

individu karena Leptobrachium hasseltii kebanyakan ditemukan di batu dan tanah.

Suhu air, suhu udara, dan kelembapan tidak berpengaruh nyata dengan kehadiran individu

Leptophryne borbonica di lokasi Sungai Ciuluran. Kemungkinan Leptophryne borbonica

mampu beradaptasi dengan lingkungan darat dan air sehingga faktor mikrohabitat tidak memengaruhi.

Kehadiran individu Limnonectes microdiscus berpengaruh nyata positif cenderung kuat oleh kelembapan, kenaikan kelembapan akan meningkatkan kehadiran individu dan penurunan kelembapan akan menurunkan individu Limnonectes microdiscus di lokasi Sungai Ciuluran. Suhu air dan suhu udara tidak berpengaruh nyata dengan kehadiran individu Limnonectes

microdiscus.

Jumlah individu dan jumlah jenis sepanjang transek tidak berpengaruh nyata terhadap

beberapa faktor lingkungan seperti suhu air, suhu udara, dan kelembapan secara signifikan di lokasi Sungai Cibunar. Namun, kehadiran individu per jenis amfibi masih dipengaruhi beberapa faktor tersebut. Fase rembulan mengalami persentase penurunan di bawah 50 % pada lokasi Sungai Cibunar. Persentase tersebut memungkinkan keberadaan individu amfibi semakin sedikit beraktivitas. Jumlah total individu selama empat kali pengamatan berjumlah 21 individu (4 jenis amfibi) ditemukan dilokasi Sungai Cibunar.

Kehadiran individu Leptobrachium hasseltii tidak berpengaruh nyata terhadap suhu udara, suhu air dan kelembapan pada lokasi Sungai Cibunar. Kehadiran individu Leptobrachium

hasseltii tidak terpengaruh faktor lingkungan kemungkinan karena jenis ini dapat ditemukan

di beberapa tempat seperti pinggir sungai bahkan agak jauh dari badan air. Menurut Kurniati dkk. (2001: 115), Leptobrachium hasseltii dapat ditemukan di kubangan air dan serasah tanah.

Kesimpulan dan Saran Kesimpulan

Total delapan jenis amfibi dari bangsa anura (katak dan kodok) ditemukan dari seluruh lokasi penelitian pada tiga sungai (Sungai Cigunungpayung= 385 individu, Sungai Ciuluran= 93 individu, dan Sungai Cibunar= 21 individu) di kawasan Gunung Payung, Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Katak dan kodok yang ditemukan terdiri atas suku Bufonidae (Ingerophrynus biporcatus dan Leptophryne borbonica), Dicroglossidae (Limnonectes

macrodon, Limnonectes microdiscus, dan Occidozyga sumatrana), Megophryidae

(Leptobrachium hasseltii), dan Ranidae (Hylarana chalconota dan Odorrana hosii). Suhu air, suhu udara, dan kelembapan memengaruhi dinamika populasi amfibi (jumlah individu dan jumlah jenis) pada lokasi penelitian di sungai Cigunungpayung dan Ciuluran. Namun, pada lokasi penelitian di sungai Cibunar faktor tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap dinamika populasi amfibi di kawasan Gunung Payung, Taman Nasional Ujung Kulon, Banten.

(14)

Saran

Penelitian dinamika populasi amfibi selanjutnya lebih baik dikhususkan pada satu faktor dominan saja agar diperoleh data hasil yang lebih spesifik serta detail. Penelitian tentang amfibi perlu diperluas daerah cakupan pengamatannya bukan hanya di sekitar sungai dan disarankan menggunakan metode pengamatan yang lebih bervariasi agar diperoleh data yang lebih signifikan.

Daftar Pustaka

Brooke, P. N., R. A. Alford & L. Schwarzkopf. 2000. Environmental and social factors influence chorusing behaviour in a tropical frog: Examining various temporal and spatial scales. Behaviour Ecology and Sociobiology 49: 79--87.

Church, G. 1960a. Annual and lunar periodicity in the sexual cycle of the Javanese toad, Bufo melanostictus (Schneider). Zoologica 25: 181--188.

Church, G. 1960b. The effects of seasonal and lunar changes on the breeding pattern of the edible Javanese frog, Rana cancrivora (Gravenhorst). Treubia 25: 215--233.

Clarbrough, M. L. 2010. Buku panduan Taman Nasional Ujung Kulon, edisi revisi. Terj. dari

Ujung Kulon National Park handbook oleh Priambudi, A., E. Sudrajat, M. A. Junaidi,

A. N. Susdihanto, I. P. Garjita, & Julianto. Balai Taman Nasional Ujung Kulon & Kedutaan Selandia Baru, Labuan: 72 hlm.

Djatmiko, W. A. 2005. Limnonectes macrodon (Dumeril & Bibron, 1841). 3 Maret: 6 hlm. http://www.gbif.org/species/2430479., 19 November 2013, pk. 12.29 WIB.

Diesmos, A., A. Alcala, R. Brown, L. Afuang, G. Gee, J. Sukumaran, N, Yaakob, T. M. Leong, C. Yodchaiy, T. Kumthorn, I. Das, D. Iskandar, Mumpuni, R. Inger, R. Stuebing, P. Yambun, L. Maklarin, & M. Kusrini. 2009. Leptobrachium hasseltii. Dalam: IUCN 2013. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2013.1.

http://www.iucnredlist.org., 19 November 2013, pk. 12.33 WIB.

Harding, J. H. 2000. Amphibians and reptiles of the great lakes region. University of Michigan Press, Ann Arbor: 377 hlm.

Hommel, P. W. F. M. 1987. Landsape ecology of Ujung Kulon (West Java, Indonesia). Disertasi S3, Wageningen Agricultural University: xvii + 206 + A4 + B13 + C25 + D11 hlm.

Hommel, P. W. F. M. 1990. A phytosociological study of a forest area in the humid tropics (Ujung Kulon, West Java, Indonesia). Vegetatio 89: 39--54.

Inger, R., D. Iskandar, P. P. van Dijk. 2004. Leptophryne borbonica. Dalam: IUCN 2013. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2013.1. http://www.iucnredlist.org., 19 November 2013, pk. 12.35 WIB.

Iskandar, D. T. 1998. The Amphibians of Java and Bali. Research Center for Biology-LIPI, Cibinong: xx + 117 hlm.

(15)

Iskandar, D. & Mumpuni . 2004. Ingerophrynus biporcatus. Dalam: IUCN 2013. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2013.2. http://www.iucnredlist.org., 10 Januari 2014, pk. 14.46 WIB.

Iskandar, D. & Mumpuni. 2004. Limnonectes microdiscus. Dalam: IUCN 2013. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2013.2. http://www.iucnredlist.org., 10 Januari 2014, pk. 15.09 WIB.

Iskandar, D. & Mumpuni. 2004. Occidozyga sumatrana. Dalam: IUCN 2013. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2013.1. http://www.iucnredlist.org., 19 November 2013, pk. 12.32 WIB.

Iskandar, D., Mumpuni, I. Das, T. K. Shrestha, & A. Ohler. 2004. Limnonectes macrodon.

Dalam: IUCN 2013. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2013.1.

http://www.iucnredlist.org., 19 November 2013, pk. 12 34 WIB.

Jaeger, R. G. 1994. Transect Sampling. Dalam: Heyer, W. R., M.A. Donnelly, R.W.

McDiarmid, L.C. Hayek & M.S. Foster. 1994. Measuring and monitoring biological

diversity: Standard methods for amphibians. 103--107 hlm. Smithsonian Institution

Press, Washington: 364 hlm.

Kitching, R. L. 2000. Food webs and container habitats. Cambridge University Press, Cambridge: 431 hlm.

Kurniati, H., W. Crampton, A. Goodwin, A. lockett & A. Sinkins 2001. Herpetofauna diversity of Ujung Kulon National Park: An inventory results in 1990. Journal of

Biological Researches 6: 113--128.

Kurniati, H. 2002. Frog and toads of Ujung Kulon, Gunung Halimun, and Gede-Pangarango National Park. Berita Biologi 6 (1): 75--84.

Kurniati, H. 2003. Amphibians & reptiles of Gunung Halimun National Park, West Java,

Indonesia (frogs, lizard and snakes). Research Center for Biology-LIPI, Cibinong: iii

+ 134 hlm.

Kusrini, M. D. 2013. Panduan bergambar identifikasi amfibi Jawa Barat. Fakultas Kehutanan IPB dan Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, Bogor: xx + 132 hlm.

Lehtinen, R. M. 2002. The use of screw pines (Pandanus spp.) by amphibians and reptiles in Madagascar. Herpetological Bulletin 82: 20--25.

Malkmus, R., U. Manthey, G. Vogel, P. Hoffmann, & J. Kosuch. 2002. Amphibians &

Reptiles of Mountain Kinabalu (North Borneo). A. R. G. Gantner Verlag K.G., Berlin:

v + 424 hlm.

Mujiono, N., Mulyadi, A. Suyanto, D. R. Subasli, G. Wahyudewantoro, D. C. Muniarti, S. Sauri, & W. Tri. 2008. Laporan perjalanan survei fauna mangrove I di T.N. Ujung Kulon 9--25 Juni 2008. Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Cibinong. [tidak dipublikasikan]

Sturt, S.N, M. Hoffmann, J. S. Chanson, N. A. Cox, R. J. Berridge, P. Ramani, & B. E. Young. 2008. Threatened amphibians of the world. IUCN, Conservation International & Lynx Edicions. Arlington, Virginia, USA: xvi + 134 hlm.

(16)

Van Dijk, P. P., D. Iskandar, & R. Inger. 2004. Odorrana hosii. Dalam: IUCN 2013. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2013.1. http://www.iucnredlist.org., 19 November 2013, pk. 12.30 WIB.

Van Dijk, P. P., D. Iskandar, R. Inger & M. Kusrini. 2004. Hylarana chalconota. Dalam: IUCN 2013. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2013.1.

http://www.iucnredlist.org., 19 Novemberl 2013, pk. 12.31 WIB.

Van Kampen, P. N. 1923. The amphibia of the Indo-Australian archipelago. E. J. Brill, Ltd., Leiden: xii + 304 hlm.

Vitt, L. J. & J. P. Caldwell. 2009. Herpetology: An introductory biology of amphibians and

reptiles 3rd ed. Elsevier Inc., London: xiv + 691 hlm.

Wells, K. D. 2007. The ecology and behavior of amphibians. The University of Chicago Press, Ltd., London: xi + 855 hlm.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

4.6.1 Manajemen laboratorium harus menetapkan dan mendokumentasikan kebijakan dan prosedur untuk pemilihan dan pembelian jasa eksternal, peralatan dan bahan habis pakai

Banten West Java Tourism Development Corporation sebagai badan usaha pengusul dan telah memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39

DPA - SKPD 2.2 Rekapitulasi Dokumen Pelaksanaan Anggaran Belanja Langsung Menurut Program dan Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah. DPA - SKPD 2.2.1 Rincian Dokumen

Merancang upaya yang harus dilakukan pihak penyedia RTH-Kota berdasarkan keinginan penduduk (partisipan FGD). Upaya tersebut merupakan jawaban dari pertanyaan: apa

Berdasarkan hasil analisis dari variasi debit dan konsentrasi, serta kondisi maksimum reaktor dengan volume total reaktor sebesar 1 L, efisiensi penurunan

pertumbuhan tersebut termasuk relatif rendah dibandingkan dengan teripang pasir yang dipelihara di jaring tancap lainnya dengan kondisi yang mungkin cenderung lebih tinggi

Berdasarkan hasil kromatogram pada KLT, maserasi menggunakan metanol menunjukan banyaknya senyawa yang terdapat pada ekstrak metanol dan hasil uji antioksidan