9
2.1.1 Hakikat Pembelajaran Tematik Terpadu
Implementasi kurikulum 2013, menggunakan pendekatan pembelajaran tematik terpadu yang mengimplikasikan berbagai mata pelajaran dan memiliki tema yang sama. Pembelajaran tematik terpadu merupakan salah satu model pembelajaran terpadu atau integratif yang memiliki peran penting dalam meningkatkan perhatian, aktivitas belajar, dan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari.
Permendikbud No.22 tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah menjelaskan bahwa pembelajaran tematik terpadu merupakan satu model pembelajaran tematik terpadu yang menggunakan tema untuk menghubungkan beberapa mata pelajaran. Untuk mendorong kemampuan peserta didik untuk menghasilkan karya kontekstual, baik individual maupun kelompok serta memberikan pengalaman yang bermakna bagi peserta didik (Permendikbut No. 22 tahun 2016 tentang Standar Proses, 2016 : 3)
Sesuai dengan standar kompetensi lulusan dan standar isi maka prinsip pembelajaran yang digunakan:
1. Dari peserta didik diberi tahu m enuju peserta didik mencari tahu; 2. Dari guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar berbasis
aneka sumber belajar;
3. Dari pendekatan tekstual menuju proses sebagai penguatan penggunaan pendekatan ilmiah;
4. Dari pembelajaran berbasis konten menuju pembelajaran berbasis kompetensi;
5. Dari pembelajaran Persial menuju pembelajaran terpadu;
6. Dari pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menuju pembelajaran dengan jawaban yang kebenaranya multi dimensi;
8. peningkatan dan keseimbangan antara jeterampilan fisikal (hardskills) dan keterampilan mental (softskills);
9. pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sebagai pembelajar sepanjang hayat;
10. pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai dengan memberi keteladanan
(ing ngarso sung tulodo), membangun kemauan (ing madya mangun karso), san mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses
pembelajaran (tut wuri handayani);
11. pembelajaran yang berlangsung dirumah disekolah, dan dimasyarakat; 12. pembelajaran yang menerapkan prinsip bahwa siapa saja adalah guru,
siapa saja adalah peserta didik, dan dimana saja adalah kelas;
13. pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan efesiensi dan efektivitas pembelajaran; dan
14. Pengakuan atas perbedaan individual dan latar belakang budaya peserta didik.
Pembelajaran tematik terpadu merupakan pembelajaran yang memiliki karakteristik berpusat pada siswa dan memberikan pengalaman secara langsung pada siswa, dalam pembelajaran memadukan beberapa mata pelajaran sekaligus dalam satu kali tatap muka. Pelaksanaan pembelajaran tematik integratif berawal dari tema yang telah dipilih/dikembangkan oleh guru yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Pembelajaran tematik integratif ini lebih menekankan pada tema sebagai pemersatu berbagai mata pelajaran, dan keterkaitan berbagai konsep mata pelajaran. Muatan pelajaran yang dipadukan adalah muatan pembelajaran PPKn, Bahasa Indonesia, IPS, IPA, Seni Budaya dan Prakarya, serta Pendidikan Jasmani, Olah Raga dan Kesehatan.
Pembelajaran tematik terpadu adalah pembelajaran yang sesuai dengan tahapan perkembangan anak, karakteristik cara anak belajar, konsep belajar dan pembelajaran bermakna, maka kegiatan pembelajaran bagi anak kelas awal SD sebaiknya dilakukan dengan pembelajaran tematik (Sri Utami, 2014:3).
Pembelajaran tematik terpadu merupakan pembelajaran yang memiliki karakteristik yang berpusat pada peserta didik dan memberi pengalaman
langsung pada peserta didik. Menurut Rumini (2016) pembelajaran tematik terpadu dapat di implementasikan melalui:1) integrasi keterampilan disejumlah mata pelajaran, 2) asimilasi berbagai konten dalam mata pelajaran, 3) integrasi nilai dalam mata pelajaran dan 4) integrasi pengetahuan dan praktik. Implementasi pembelajaran tematik adalah dengan merakit atau menggabungkan sejumlah konsep beberapa mata pelajaran yang berbeda dalam suatu tema, sehingga peserta didik tidak belajar konsep dasar secara persial. Dengan demikian pembelajarannya memberikan makna yang utuh kepada peserta didik.
Prastowo(2013:223) mengemukakan bahwa pembelajaran Tematik merupakan pembelajaran yang meningkatkan beberapa mata pelajaran dengan tema. Rusman (2011:254) bahwa pembelajaran Tematik adalah suatu model pembelajaran yang dapat mendorong siswa terlibat aktif, mencari, menggali, dan menemukan solusi untuk memecahkan masalahyang dihadapi, sehingga pembelajaran akan lebih bermakna.
Dari beberapa pendapat diatas dapat di simpulkan bahwa pembelajaran tematik terpadu adalah beberapa mata pelajaran dijadikan satu dan dikaitkan dengan tema serta subtema pembelajaran. Pembelajaran tematik terpadu memuat konsep pembelajaran yang kemudian, melibatkan siswa untuk belajar secara aktif, sehingga siswa memperoleh pengalaman yang bermakana, dalam pembelajaran langsung dan terlatih.
Pembelajaran yang dilakukan dalam kurikulum 2013 adalah pembelajaran tematik, bukan pembelajaran yang berfokus pada mata pelajaran tertentu, dan pembelajaran tematik perpusat pada pserta didik. Pencapaian tujuan pembelajaran secara standar disampaikan dalam kurikulum 2013, yang terdiri dari kompetensi inti (KI) dan kompetensi dasar (KD). Permendikbud No. 21 tahun 2016 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah menyelaskan kompetesi inti secara rinci disajikan melalui table 2.1 berikut ini.
Tabel 2.1
Kompetensi Inti Deskripsi Kompetensi Tingkat Kelas I-VI SD/MI/SDLB/PAKET A KOMPETESI INTI DESKRIPSI KOMPETENSI
Sikap Spiritual 1. Menerima, menjalankan, dan menghargai ajaran agama yang dianutnya.
Sikap Sosial 2. Menunjukkan perilaku : a. jujur,
b. disiplin, c. santun, d. percaya diri, e. peduli, dan
f. bertanggung jawab dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, guru, tetangga, dan Negara.
Pengetahuan 3. Memahami pengetahuan
fktual,konseptual,procedural, dan metakogitif pada tingkat dasar dengan cara : a. mengamati, b. menanya, dan
c. mencoba
Berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, sertabenda-benda yang dijumpainya dirumah,disekolah,dan tempat bermain. Keterampilan 4. Menunjukkan keterampilan berpikir dan
bertindak :
a. kreatif,produktif, b. kritis,mandiri, c. kolaboratif, dan d. komuikatif.
Dalam bahasa yang jelas, sistematis, logis da kritis, dalam karya yang estetis, dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan tindakan yang mecermikan perilaku anak sesuai dengan tahap perkembagannya.
Sumber Permendikbud No 21 Tahun 2016 hal vii
Kompetensi dasar merupakan kompetensi dari setiap mata pelajaran yang diturunkan dari kompetensi inti. Kompetensi dasar adalah konten yang terdiri atas sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang bersumberpada kompetensi inti yang harus dikuasi peserta didik. Ketiga kompetensi dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik peserta didik, kemampuan awal serta ciri dari suatu mata pelajaran.
Kompetensi yang digunakan dalam pembelajaran tematik terintegrasi memiliki lingkup dari peran yang berbeda pada tiap jenjang kompetensi dan diharapkan dapat memenuhi seluruh aspek yang dibituhkan oleh perkembangan peserta didik secara seimbang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Kompetensi Inti (KI) kemudian dituangkan dalam tema dan subtema. Tema dan sub tema pembelajaran tematik kelas 2 semester 2 yang disajikan melalui table 2.2 berikut ini.
Tabel 2.2
Tema dan Subtema kelas 2 semester 1
Tama Subtema
Tema 1 : Hidup Rukun Subtema 1: Hidup Rukun di Rumah
Subtema 2: Hidup Rukun di Tempat Bermain Subtema 3: Hidup Rukun di Sekolah
Subtema 4: Hidup Rukun di Masyarakat Tema 2 : Bermain di
Lingkunganku
Subtema 1 : Bermain di Lingkungan Rumah Subtema 2 : Bermain di Rumah Teman Subtema 3 : Bermain di Lingkungan Sekolah Subtema 4 : Bermain di Tempat Wisata Tama 3 : Tugasku
Sehari-hari
Subtema 1 : Tugasku Sehari-hari dirumah Subtema 2 : Tugasku Sehari-hari disekolah Subtema 3 : Tugasku Sebagai Umat Beragama Subtema 4 : tugasku dalam Kehidupan Sosial Tema 4 : Hidup Bersih
dan Sehat
Subtema 1 : Aturan Keselamatan di Rumah Subtema 2 : Menjaga Keselamatan di Rumah Subtema 3 : Aturan Keselamatan di Perjalanan Subtema 4 : Menjaga Keselamatan di Perjalanan Sumber buku guru kelas 2 Revisi Tahun 2017 hal xii
Pembelajaran tematik kelas 2 SD semester 1 terdiri dari empat tema, masing-masing terdiri dari empat subtema. Salah satu tema adalah Tugasku Sehari-hari , kompetensi inti yang digunakan untuk subtema Pengalamanku Di Tempat Wisata adalah KI 3 dan KI 4 diperici dalam Kompetensi Dasar (KD). Pemetaan KD untuk Tema Tugasku Sehari-hari subtema Tugasku Sehari-hari disekolah dan Tugasku Sebagai Umat Beragama disajikan melalui table 2.3 dan 2.4 sebagai beriku:
Pemetaan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar dalam Tema 3 Tugasku Sehari-hari Subtema 2 Tugasku SeSehari-hari-Hari Di Sekolah
kelas 2 semester 1
Kompetensi Inti Kompetensi Dasar
Matematika Bahasa Indonesia PPKn
3. Memahami pengetahuan
faktual,konseptual,pro cedural, dan metakogitif pada tingkat dasar dengan cara mengamati, menanya, dan mencoba Berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, sertabenda-benda yang dijumpainya dirumah,disekolah,dan tempat bermain. 3.5 menjelaskan nilai dan kesetaraan pecahan mata uang. 4.5 Menentukan
kosakata dan konsep tentang lingkungan geografis, kehidupan ekonomi, sosial, dan
budaya di
lingkungan sekitar dalambahasa
Indonesia atau
bahasa daerah
melalui teks tulis, lisan, visual dan/atau eksplorasi lingkungan. 3.3 Mengidentifika si jenis-jenis keberagaman karakteristik individu di sekolah.. 4. Menunjukkan keterampilan berpikir dan bertindak kreatif,produktif, kritis,mandiri, kolaboratif, dan komuikatif. Dalam bahasa yang jelas, sistematis, logis da kritis, dalam karya yang estetis, dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan tindakan yang mecermikan perilaku anak sesuai dengan tahap perkembagannya.
4.5 mengurutkan nilai mata uang serta mendemonstrasik an berbagai kesetaraan pecahan mata uang 4.3 Melaporkan penggunaan kosakata bahasa Indonesia yang tepat atau bahasa
daerah hasil
pengamatan tentang lingkungan
geografis,
kehidupan ekonomi, sosial dan budaya di lingkungan sekitar dalam bentuk teks tulis, lisan, dan visual. 4.3 Mengelompok kan jenis-jenis keberagaman karakteristik individu di sekolah.
Sumber buku kelas 2 Revisi 2017 hal 70
Tabel 2.4
Pemetaan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar dalam Tema 3 Tugasku sehari-hari Subtema 3 Tugasku Sebagai Umat Beragama
Kelas 2 semester 1 Kompetensi Inti
Kompetensi Dasar
Matematika Bahasa Indonesia PPKn 3. Memahami pengetahuan faktual,konseptua l,procedural, dan metakogitif pada tingkat dasar dengan cara mengamati, menanya, dan mencoba Berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, sertabenda-benda yang dijumpainya dirumah,disekola h,dan tempat bermain. 3.5 Menjelaskan nilai dan kesetaraan pecahan mata uang. 3.3 Menentukan
kosakata dan konsep tentang lingkungan geografis, kehidupan ekonomi, sosial, dan
budaya di
lingkungan sekitar
dalam bahasa
Indonesia atau
bahasa daerah
melalui teks tulis, lisan, visual dan/atau eksplorasi lingkungan. 3.3 Mengidenti fikasi jenis-jenis keberagam an karakteristi k individu di sekolah. 4 Menunjukkan keterampilan berpikir dan bertindak kreatif,produktif, kritis,mandiri, kolaboratif, dan komuikatif. Dalam bahasa yang jelas, sistematis, logis da kritis, dalam karya yang estetis, dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan tindakan yang mecermikan perilaku anak sesuai dengan tahap perkembagannya.
4.4 Mengurutkan nilai mata uang serta mendemonstras ikan berbagai kesetaraan pecahan mata uang. 4.3 Melaporkan penggunaan kosakata bahasa Indonesia yang tepat atau bahasa daerah hasil pengamatan tentang lingkungan geografis, kehidupan ekonomi, sosial dan
budaya di
lingkungan sekitar dalam bentuk teks tulis, lisan, dan visual. 4.3 Mengelom pokkan jenis-jenis keberagam an karakteristi k individu di sekolah.
Sumber buku kelas 2 Revisi 2017 hal 115
Pembelajaran dikelas 2 Tema 3 Tugasku Sehari-hari pada subtema Tugasku Sehati-hari disekolah akan dilaksanakan pada Siklus pertema dan
subtema Tugasku Sebagai Umat Beragama yang akan dilaksanakan pada Siklus kedua.
Karekteristik pembelajaran Tematik (Tim Puskur 2007) dalam Isniatun adalah; (1) berpusat pada siswa, (2) memberikan pengalaman langsung, (3) pemisahan mata pelajaran tidak begitu jelas, (4) menyajikan konsep dari berbagai mata pelajaran,(5) berfisat fleksibel, (6) hasil pembelajaran sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa, (7) menggunakan prinsip belajar sambil bermain dan mnyenangkan.
Pembelajaran tematik memiliki beberapa kelebihan. Menurut (Tim pengembang 2007) dalam isniatun pembelajaran tematik memiliki beberapa kelebihan sebagai berikut : (1) pengalaman dan kegiatan belajar anak akan relevan dengan tingkat perkembanganya, (2) kegiatan yang dipilih sesuai dengan minat dan kebutuhan anak, (3) kegiatan belajar akan menjadi lebih bermakna, (4) keterampilan berpikir anak berkembang dalam proses pembelajaran tematik, (5) kegiatan belajar mengajar bersifat pragmatis sesuai dengan lingkungan anak, dan (6) keterampilan sosial anak akan dapat lebih berkembang secara optimal.
2.1.2 Hasil Belajar
Keberhasilan proses pembelajaran di kelas dapat diketahui melalui hasil belajar yang diperoleh peserta didik dalam suatu pembelajaran. Untuk mengetahui hasil belajar dan kompetensi peserta didik yang dicapai dapat dilakukan pengukuran. Hasil belajar adalah sesuatu yang diperoleh dari pembelajaran yang bersifat kognitif yang diperoleh melalui pengukuran maupun penilaian. Hasil belajar menggambarkan berhasil atau tidaknya siswa dalam kegiatan pembelajaran.
Permendikbud No 23 tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan menjelaskan bahwa standar penilaian pendidikan adalah kriteria mengenai lingkup, tujuan, manfaat, prinsip, mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik. Ruang lingkup penilaian hasil belajar mencakup 3 ranah yaitu, afektif, kognitif dan psikomotorik yang dilakukan secara
berimbang sehingga dapat digunakan sebagai acuan peserta didik terhadap standar kelulusan yang telah ditetapkan.
Hasil belajar merupakan hasil pengukuran dari 3 ranah yakni ranah
kognitif, afektif dan psikomotorik, Benyamin S. Bloom (2012 : 509 – 521 ),
Menyatakan bahwa ranah kognitif terdiri knowledge (pengetahuan, ingatan),
comprehension (pemahaman, menjelaskan, meringkas, contoh), application
(menerapkan), analysys (menguraikan, menentukan hubungan), sysnthesis (mengorganisasikan, merencanakan, membentuk bangunan baru), evaluation (menilai). Sudijono (2016:5) mengungkapkan hasil belajar merupakan sebuah tindakan evaluasi yang dapat mengungkap aspek proses berpikir (cognitive
domain) juga dapat mengungkap aspek kejiwaan lainnya, yaitu aspek nilai atau
sikap (affective domain) dan aspek keterampilan (psychomotor domain) yang melekat pada diri setiap individu peserta didik.
Berdasarkan pendapat diatas hasil belajar adalah hasil belajar yang diperoleh seseorang dalam proses kegiatan belajar mengajar, dan hasil belajar tersebut dapat berbentuk aspek kognitif, afektif dan psikomotorik yang penilaiannya melalui tes dan pengukuran.
Menurut Allen dan Yen (2014:49) pengukuran adalah penetapan angka dengan cara yang sistmatik untuk menyatakan keadaan individu. Alat yang digunakan untuk melakukan pengukuran disebut instrumen Arikunto, S. (2014:140). Instrumen digunakan untuk memudahkan pelaksanaan suatu tugas atau mencapai tujuan secara efesien dan efektif. Penentuan instrumen terkait dengan teknik pengukuran yang digunakan adalah teknik tes dan teknik non tes. Teknik tes adalah teknik yang digunakan untuk mengetahui kemampuan kognitif peserta didik dalam pembelajaran. Tes dapat dibedakan menjadi tes tertulis, tes lisan, dan tes perbuatan Wardani N.S (2014:144)
Tes Tertulis adalah tes yang soalnya harus dijawab, peserta didik dengan memberikan jawaban tertulis. Tes tertulis dikelompokkan menjadi dua yaitu:
a. Tes Objektif, berupa tes pilihan ganda, jawban singkat, atau isian, benar salah dan bentuk menjodohkan
Tes Lisan adalah tes pelaksanaannya dilakukan dengan mengadakan Tanya jawab secara langsung antara pendidik didik dan peserta didik dengan tujuan untuk melakukan pengukuran atau menentukan skor. Tes perbuatan adalah tes yang penugasanya disampaikan dalam bentuk lisan atau tertulis dan pelaksanaan tugasnya dinyatakan dengan perbuatan atau unjuk kerja. Teknik non tes adalah penilaian menggunakan pertanyaan atau pernyataan yang tidak menuntut jawaban benar atau salah. Wardani N.S,dkk (2014:74-76) ada beberapa macam teknik non tes yaitu : Unjuk kerja, penugasan,Tugas Individu,Tugas Kelompok, Laporan, Responsi atau Ujian Praktik.
1. Unjuk kerja merupakan suatu penilaian yang dilakukanmelalui pengamatan atau aktivitas pada peserta didik dalam melakukan sesuatu yang berupa tingkah laku atau interaksinya seperti berbicara, berpidato. 2. Penugasan merupakan penilaian yang berbentuk pemberian tugas yang
mengandung penyelidikan yang harus selesai dalam waktu tertentu. 3. Tugas individu merupakan penilaian yang berbentuk pemberian tugas
kepada peserta didik yang dilakukan secara individu. Tugas ini diberikan pada waktu-waktu tertentu dalam bentuk kliping, pembuatan makalah.
4. Tugas kelompok sama dengan tugas individu, namun dikerjakan secara kelompok. Tugas ini diberikan untuk menilai kompetensi kerja kelompok. Instrument yang diguakan salah satunya adalah tertullis dengan menjawab uraian secara bebas dengan tingkat berpikir tinggi yaitu aplikasi sampai evaluasi.
5. Laporan merupakan penilaian yang berbentuk laporan atas tugas-tugas atau pekerjaan yang diberikan seperti laporan diskusi, laporan kerja praktik.
6. Responsi atau ujian praktik merupakan salah satu penilaian yang dipakai untuk pelajaran yang kegiatannya ada kegiatan praktikum seperti mata kuliah Magang.
7. Portofolio merupakan penilaian berkelanjutan yang didasarkan pada kumpulan informasi yang menunjukkan perkembangan kemampuan peserta didik dalam satu periode tertentu.
2.1.3 Kreativitas
Pendidikan disekolah masih kurang menunjang tumbuh dan berkembangnya kemampuan kreativitas peserta didik. Peserta didik cenderung dituntut untuk memberikan jawaban yang benar menurut guru dan kurang diberi kesempatan untuk memberikan alternatife-alternatif jawaban tertentu yang menumbuhkan kreativitasnya, Suyono (2007:2). Rachmawati (2010:13), mengatakan bahwa“Kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagsan maupun karya yang nyata yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada”. Sedangkan menurut Sukmadinata (2014:104) Kreativitas adalah kemampuan a) untuk membuat kombinasi baru berdasarkan data informasi atau unsur yang ada, b) berdasarkan data atau informasi yang tersedia, menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, dimana penekanannya adalah pada kualitas, ketepatgunaan dan keragaman jawaban, c) yang mencerminkan kelancaran, keluwesan dan orisinilitas dalam berfikir serta kemampuan untuk mengelaborasi suatu gagasan. Jadi kreativitas adalah kemampuan untuk membuat yang baru.
Kreativitas merupakan kemampuan berfikir tingkat tinggi yang mengimplikasikan terjadinya eskalasi dalam kemampuan berfikir, di tandai oleh suksesi, diskontinuitas, dan integrasi antara setiap perkembangan. Pada dasarnya perkembangan kreativitas itu sangat erat kaitannya dengan perkembanagan kognitif individu karena kreativitas sesungguhnya merupakan perwuju dan dari pekerjaan otak.
Menurut Harris (2011:4) dalam kreativitas adalah suatu kemampuan untuk membayangkan atau menciptakan suatu yang baru; kemampuan untuk membangun ide-ide baru dengan mengkombinasikan, mengubah, menerapkan ulang ide-ide yang sudah ada; suatu sikap, yaitu kemauan untuk menerima perubahan dan pembaharuan, bermain dengan ide dan memiliki fleksibilitas dalam pandangan; suatu proses, yaitu proses bekerja keras dan terus menerus sedikit demi sedikit untuk membuat
perubahan dan perbaikan terhadap pekerjaan yang dilakukan. Pentingnya kreativitas bukanlah penemuan sesuatu yang belum pernah diketahui orang sebelumnya, melainkan bahwa produk kreativitas itu merupakan sesuatu yang baru bagi diri sendiri dan tidak harus merupakan sesuatu yang baru bagi orang lain atau dunia pada umumnya, misalnya seorang siswa menciptakan untuk dirinya sendiri suatu hubungan baru dengan siswa atau orang lain (Slameto, 2010:146).
Beberapa pendapat diatas dapat di simpulkan bahwa kerativitas merupakan sebagai kemampuan untuk menciptakan atau menemukan sesuatu yang baru. Dalam hal ini siswa dapat menemukan cara baru untuk menyelesaikannya.
Untuk itu dalam melangsungkan pembelajaran siswa dituntut untuk kreatif karena didalam kegiatan belajar mengajar, guru sering melihat siswa kurang fokus dalam belajar dan siswa yang sering mengobrol pada saat pembelajaran berlangsung. Siswa hanya menuntut untuk bertindak sebagai pendengar saja. Peran siswa tidak lebih sebagai pendengar setia. Dengan kata lain, pembelajaran terjadi lebih mengarah kepada teacher center. Untuk itu penulis menggunakan Model Pembelajaran treffinger, diharapkan model ini bisa menstimulus siswa untuk berani menunjukkan kreativitasnya dalam kegiatan pembelajaran yang berlangsung. Jika siswa memiliki kreativitas yang tinggi dalam mengikuti pembelajaran, maka otomatis pikiran siswa hanya terfokus pada pembelajaran.
Belajar merupakan suatu bagian dari sisi kehidupan manusia. Proses belajar melibatkan siapa yang diajar dan siapa pengajarnya, sedangkan apa yang kita harapkan dari belajar adalah memperoleh sesuatu yang baru dan menarik. Sesuatu yang baru, orisinil dan unik dapat merupakan hasil kreatifitas. Oleh karena itu dibutuhkan proses pembelajaran yang kreatif. Proses pembelajaran yang kreatif perlu didukung oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Ruang untuk meciptakan suatu kreativitas. Pembentukan kreativitas memerlukan faktor pendukung pembelajaran yang secara fisik dan konseptual dapat mengembangakn kreativitas siswa didik. Misalnya dalam bentuk fisik pengadaan komputer, buku-buku yang menarik bagi peserta didik. Sedangkan secara konseptual seperti pengadaan materi
pembelajaran yang berorientasi pada seni dan kerajinan. Kreatifitas juga dapat diterapkan pada mata pelajaran yang lain, termasuk matematika.
2. Pengajaran yang kreatif. Pendidik harus mampu untuk membaca situasi dan memonitor serta mengevaluasi peristiwa-peristiwa serta sanggup mengambil resiko untuk melakukan inovasi dalam proses pengajaran. Proses kreatif melibatkan pemilihan unsur-unsur penting yang diketahui dari berbagai macam bidang dan menyatukannya menjadi format-format yang baru, menggunakan informasi dalam situasi-situasi yang baru, menggambarkan aspek-aspek pengalaman, pola-pola dan analogi serta prinsip-prinsip mendasar yang tak berhubungan. Aspek ini memungkinkan orang yang sedang menyelesaikan suatu masalah untuk memunculkan solusi-solusi yang berbeda dan yang tadinya tidak terlihat dengan jelas. Penyelesaian suatu masalah yang kreatif dapat dikembangkan secara ekstensif dalam bidang sains, bidang matematika, dan bidang bisnis, misalnya sebuah kualitas yang banyak dibutuhkan dalam iklim ekonomi saat ini (Florence Beetlestone, 2012:4-5).
Sedangkan menurut Faridatun (2011:4) manusia kreatif itu ialah manusia yang selalu ingin tahu, fleksibel, awas dan sensitif terhadap relasi dan kekeliruan, mengemukakan pendapat dengan teliti dan dengan penuh keyakinan, tidak tergantung pada orang lain, berpikir kepada arah yang tidak diperkirakan, berpandangan jauh, cakap mengatasi persoalan, tidak begitu saja menerima sesuatu pendapat, dan kadang-kadang susah diperintah.
Ciri-ciri orang kreatif menurut Faridatun (2011:4) adalah ingin tahu, selalu mencari masalah, menyukai tantangan, optimis, menunda keputusan, senang bermain dengan imajinasi, melihat masalah sebagai kesempatan, melihat masalah sebagai sesuatu yang menarik, masalah dapat diterima secara emosional, gigih dan bekerja keras.
Menurut Getzels dan Jackson (dalam Nisa T 2010: 5) mengungkapkan bahwa individu yang kreatif menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Mungkin sangat cerdas mungkin pula tidak walaupun pada umumnya individu yang kreatif memiliki IQ di atas IQ rata-rata.
2. Korelasi antara kreativitas (divergent thinking) dan intelegensi (terutama cognition) cukup rendah, biasanya diperoleh sekitar 0,30. 3. Kurang dari 70% siswa yang sangat kreatif tidak akan ada dalam
kelompok tinggi.
Menurut Silver (dalam Nisa T 2010: 5) untuk menilai kemampuan berpikir kreatif ada 3 komponen kunci, yaitu: fluency, flexibility, novelty. Siswa dikatakan fasih (fluent) jika siswa menyelesaikan soal divergen dengan beberapa solusi. Siswa dikatakan flexible jika siswa menyelesaikan soal divergen dengan beberapa cara. Sedangkan siswa dikatakan novelty jika siswa memeriksa jawaban dengan berbagai metode penyelesaian dan kemudian membuat metode yang baru yang berbeda.
2.1.4 Model Pembelajaran Treffinger
Model Pembelajaran treffinger merupakan salah satu model yang menangani masalah kreativitas secara langsung dan memberikan saran-saran praktis bagaimana mencapai keterpaduan. Model ini dikenalkan oleh Donald J. Treffinger pada tahun 1980 yang merupakan seorang presiden di Center of
Creatife Learning, Incsarasota, Floridina. Model pembelajaran treffinger termasuk
dalam model Osborn-parne yang dikenal dengan model creative problem solving menurut Treffinger (2014:317-318).
Menurut Trianto (2009: 75) setiap model pembelajaran diawali dengan upaya menarik perhatian siswa dan memotivasi siswa agar terlibat dalam proses pembelajaran, selanjutnya diakhiri dengan menutup pelajaran yang meliputi kegiatan merangkum pokok-pokok pelajaran yang dilakukan siswa dengan bimbingan guru. Menurut Shoimin (2014: 218) mengemukakan bahwa model treffinger merupakan salah satu dari sedikit model yang menangani masalah kreativitas secara langsung dan memberikan saran-saran praktis bagaimana mencapai keterpaduan. Dengan melibatkan keterampilan kognitif dan afektif pada setiap tingkat dari model ini, treffinger menunjukkan saling berhubungan dan ketergantungan antara keduanya dalam mendorong belajar kreatif. Selanjutnya Treffinger (dalam Huda, 2013: 218) model treffinger adalah model yang berupaya untuk mengajak siswa berpikir kreatif dalam memecahkan masalah dengan
memperhatikan fakta-fakta penting yang ada di lingkungan sekitar lalu memunculkan berbagai gagasan dan memilih solusi yang tepat untuk diimplementasikan secara nyata. Fatimah N (2011:6) model pembelajaran treffinger merupakan salah satu dari sedikit model yang menangani masalah kreativitas secara langsung dan memberikan saran-saran praktis bagaimana mencapai keterpaduan. Dengan melibatkan keterampilan kognitif dan afektif pada setiap tingkap model. Model pembelajaran treffinger ini menunjukkan saling berhubungan dan ketergantungan antara keduanya dalam mendorong belajarr kreatif. Sedangkan menurut Sunanta dalam Huda M (2014:219) model pembelajaran treffinger adalah suatu strategi pembelajaran yang dikembangkan dari model pembelajaran kreatif yang bersifat develop mental dan mengutamakan segi proses. Strategi pembelajaran yang dikembangkan Treffinger yang berdasarkan kepada model belajar kreatif.
Berdasarkan pendapat diatas maka, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran treffinger adalah model pembelajaran yang mengajak siswa berpikir kreatif dalam memecahkan masalah dengan memperhatikan fakta-fakta penting yang ada dilingkungan sekitar lalu memunculkan berbagai gagasan dan memilih solusi yang tepat untuk diimplementasikan secara nyata.
2.1.5 Karakteristik Model Pembelajaran Treffinger
Huda M (2013:320) karakteristik yang paling dominan dari model pembelajaran treffinger ini adalah upaya dalam mengintegrasikan dimensi kognitif dan afektif siswa untuk mencari arah-arah penyelesaian yang akan ditempuh untuk memecahkan permasalahan, artinya siswa diberikan keleluasaan untuk beraktivitas menyelesaikan permasalahannya sendiri dengan cara-cara yang di kehendaki, tugas guru adalah membimbing siswa agar arah-arah yang ditempuh oleh siswa ini tidak keluar dari permasalahan.
2.1.6 Langkah-Langkah Pembelajaran Treffinger
1. Model treffinger menurut Munandar (2011:6-7) terdiri dari langkah-langkah berikut : basoc tools, practice with process dan working with real problems.
Tingkat I, adalah Basic Tools, yaitu tehnik-tehnik kreativitas tingkat I yaitu meliputi keterampilan divergen dan tenik-tenik kreatif. Keterampilan
dan tehnik-tehnik ini mengembangkan kekacauan dan kelenturan berfikir serta kesediaan mengungkapkan pemikiran kreatif kepada orang lain. Tingkat II, adalah Practice With Process, yaitu tehnik kreativitas tingkat II yang memberi kesempatan kepada siswa untuk menerapkan keterampilan yang dipelajari pada tingkat I dalam situasi praktis.
Tingkat III, adalah Working With Real Problems, yaitu tehnik-tehnik kreatif tingkat III menerapkan keterampilan yang dipelajari pada dua tingkat pertama terhadap tantangan dunia nyata. Dalam ranah pengenalan (kognitif), hal ini berarti keterlibatan dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan mandiri dan diarahkan sendiri-sendiri. Belajar kreatif siswa mengarah pada identifikasi tantangan-tantangan atau masalah-masalah yang berarti, pengajuan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut, dan pengelolaan sumber-sumber yang mengarah pada perkembangan hasil atau produk. Dalam ranah afektif, tingkat III mencakup internalisasi (kepribadian) nilai-nilai dan sistem nilai, keterikatan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang produktif, dan upaya untuk mencari pengungkapan (aktualisasi) diri dalam hidup.
2. Treffinger dalam Huda (2013:318) menyebutkan bahwa model pembelajaran treffinger terdiri atas tiga langkah-langkah penting, yaitu
understanding challenge, generating ideas, dan preparing for action, yang
di kemudian dirinci ke dalam enam tahapan sebagai berikut : a. Understanding Challenge (memahami tantangan)
1) Menentukan tujuan, yaitu guru menginformasikan kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran
2) Menggali data, guru mendemonstrasikan/ menyajikan fenomena alam yang dapat mendukung keingintahuan peserta didik
3) Merumuskan masalah, guru memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengidentifikasi permasalahan
Tahapan Generating ideas, guru memberi waktu dan kesempatan pada peserta didik untuk mengungkapkan gagasan dan juga membimbing peserta didik untuk menyepakati alternatf pemecahan yang akan diuji. c. Preparing for action (mempersiapkan tindakan)
1) Mengembangkan solusi, dalam tahapan ini guru mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. 2) Membangun penerimaan, yaitu guru mengecek sosuli yang telah
diperoleh peserta didik dan memberikan permasalahan yang baru namun lebih kompleks agar peserta didik dapat menerapkan solusi yang telah diperoleh.
3. Model pembelajaran treffinger termasuk dalam model Osborn-parne yang dikenal dengan model (creative problem solving) menurut Treffinger (2014:317-318). Menurut Huda M. (2014: 297) menyebutkan bahwa model pembelajaran CPS (creative problem solving) terdiri atas enam langkah-langkah penting, yaitu:
a. Objective finding
Peserta di bagi kedalam kelompok-kelompok. Peserta didik mendiskusikan situasi permasalahan yang diajukan pendidik dan membrainstorming sejumlah tujuan atau sasaran yang bisa digunakan untuk kerja kreatif mereka.
b. Fact Finding
Peserta didik membrainstorming semua fakta yang mungkin berkaitan dengan sasaran tersebut.
c. Problem Finding
Peserta didik mendefinisikan kembali perihal permasalahan agar peserta didik bisa lebih dekat dengan masalah sehingga memungkinkannya untuk menemukan solusi yang lebih jelas.
d. Idea Finding
Peserta didik didaftar agar bisa melihat kemungkinan solusi atas situasi permasalahan.
e. Solution Finding
Peserta didik yang memiliki potensi terbesar di evaluasi bersama
f. Acceptance Finding
Peserta didik mulai mempertimbngkan isu-isu nyata dengan cara berpikir yang sudah mulai berubah. Peserta didik diharapkan sudah memiliki cara baru untuk menyelesaikan berbagai masalah secara kreatif.
2.1.7 Kelebihan dan Kekurangan Model pembelajaran Treffinger
1. Kelebihan model pembelajaran treffinger antara lain sebagai berikut menurut Donal J. Treffinger:
a) Mengasumsikan bahwa kreatifitas adalah proses dan hasil belajar. Kreativitas dianggap sebagai proses dan hasil belajar karena kreativitas merupakan suatu kemampuan untuk menciptakan hal baru, membangun ide-ide baru dengan mengkombinasikan, mengubah, menerapkan ulang ide-ide yang sudah ada.
b) Dilaksanakan kepada semua peserta didik dalam berbagai latar belakang dan tingkat kemampuan. Peserta didik dengan berbagai tingkat kemampuan dan mengikuti pembelajaran, karena model pembelajaran treffinger mengutamakan proses dan pengalaman belajar dalam pemecahan masalah.
c) Mengintegrasikan dimensi kognitif dan afektif. Model pembelajaran
treffinger melibatkan kemampuan kognitif maupun afektif peserta
didik dalam memecahkan masalah.
d) Melibatkan secara bertahap kemampuan berpikir konvergen dan divergen dalam proses pemecahan masalah.
e) Memiliki tahapan pengembangan yang sistematik, dengan beragam metode dan teknik untuk setiap tahap yang dapat diterapkan secara fleksibel. Model pembelajaran Treffinger dikembangkan dari beragam metode pembelajaran seperti demonstrasi, diskusi dan eksperimen. 2. Menurut Huda.M (2013:320) kelebihan dari penerapan model
a) Memberi kesempatan kepada siswa untuk memahami konsep-konsep dengan cara menyelesaikan suatu permasalahan.
b) Membuat siswa aktif dalam pembelajaran.
c) Mengembangkan kemampuan berpikir siswa karena disajikan masalah pada awal pembelajaran dan memberi keleluasaan kepada siswa untuk mencari arah-arah penyelesaiannya sendiri.
d) Mengembangkan kemampuan siswa untuk mendifinisikan masalah, mengumpulkan data, menganalisis data, membangun hipotesis, dam percobaan untuk memecahkan suatu permasalahan.
e) Membuat siswa dapat menerapkan pengetahuan yang sudah dimilikinya ke dalam situasi baru.
3. Kelemahan Model Treffinger
Kekurangan model pembelajaran Treffinger antara lain Donal J. Treffinger:
a) Membutuhkan waktu yang lama
b) Perbedaan level pemahaman peserta didik dalam menanggapi masalah.
c) Model pembelajaran ini tidak cocok untuk diterapkan pada peserta didik tingkatan taman kanak-kanak dan kelas-kelas awal sekolah dasar.
4. Menurut Huda (2013:320) kelemahan dari menerapkan model treffinger antara lain:
1. Perbedaan level pemahaman dan kecerdasan siswa dalam menghadapi masalah.
2. Ketidaksiapan siswa untuk menghadapi masalah baru yang dijumpai di lapangan.
3. Model ini mungkin tidak terapkan untuk siswa taman kanak-kanak atau kelas-kelas awal sekolah dasar.
4. Membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk mempersiapkan siswa melakukan tahp-tahap di atas.
Bruce Joyce, Marsha Weil, dan Emily Calhoun (2009:104), mengemukakan bahwa setiap model pembelajaran memiliki unsur-unsur berupa: 1) Sintaks; 2) Prinsip Reaksi; 3) Sistem Sosial; 4) Sistem Pendukung; 5) Dampak Instruksional dan dampak pengiring. Berikut akan diuraikan analisis komponen model pembelajaran Treffinger berdasarkan teori Bruce Joyce di atas.
1. Sintaks
Sintaks adalah suatu urutan atau langkah pengajaran yang terdiri dari tahap-tahap yang harus dilakukan oleh guru jika menggunakan suatu model tertentu. Pembelajaran treffinger menurut Treffinger (dalam Huda M 2013:318) sebagai berikut: 1) Guru menginformasikan tujuan kompetensi yang akan di capai dalam pembelajaran; 2) guru menyajikan masalah yang dapat mendukung keingintahuan siswa; 3) siswa mengidentifikasi masalah yang diberi guru; 4) siswa mengungkapkan gagasan dan juga menyepakati jawaban dari masalah; 5) guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan pemecahan masalah; 6) guru mengecek solusi yang telah di peroleh siswa.
2. Prinsip Reaksi
Prinsip reaksi merupakan kegiatan yang mengambarkan cara guru yang seharusnya dalam memperlakukan peserta didik. Prinsip ini menggambarkan cara guru saat memberikan respon kepada peserta didik. Prinsip ini pula memberikan arahan kepada guru saat menggunakan model pembelajaran yang digunakan. Arahan ini dilakukan harus sesuai permasalahan yang ada dalam suatu model pembelajaran atau langkah suatu model.
Dalam menggunakan model pembelajaran treffinger ini guru mempunyai peran guru adalah sebagai fasilitator bagi peserta didik ketika proses belajar mengajar berlangsung, membimbing peserta didik agar dapat mengembangkan keterampilan mencari tahu terhadap masalah yang dihadapi, serta membantu peserta didik dalam bekerjasama dalam tim atau kelompok. Guru juga berperan penting untuk dapat mendorong
peserta didik didalam kelompok maupun tim memiliki tanggung jawab masing-masing untuk dapat memecahkan masalah, maka diharapkan masing-masing dari kelompok tersebut dapat berkontribusi antara satu dengan yang lainnya.
3. Sistem Sosial
Sistem Sosial dalam pembelajaran menggunakan model treffinger yaitu bekerjasama dalam sebuah kelompok atau team untuk mendiskusikan masalah yang diberikan oleh guru pada saat pembelajaran berlangsung. Guru dalam hal ini berupaya dengan cara melilih proses kegiatan yang mungkininkan guru dan siswa berkolaborasi. Guru dan mempunyai peran yang sama yaitu memecahkan masalah.
4. Sistem Pendukung
Untuk terlaksananya suatu proses pembelajaran sesuai tujuan dibutuhkan suatu Sistem Pendukung atau komponen Pendukung. Dalam model pembelajaran treffinger Sistem pendukung yang diperlukan adalah guru mempersiapkan rancangan pembelajaran berupa RPP, lembar kerja siswa, dan lembar evaluasi. Selain Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) diperlukan juga sarana yang mendukung seperti alat tulis, meja dan juga kursi karena hal tersebut sangat penting untuk pelaksanaan proses pembelajaran dan kelancaran dalam belajar siswa maupun guru. Hal ini juga yang dapat mengukur keberhasilan siswa dalam materi yang akan disampaikan melalui Model pembelajaran treffinger.
5. Dampak Instruksional dan Dampak Penyerta
Dampak instruksional merupakan hasil belajar yang dicapai pada materi pembelajaran. Dalam hal ini dampak yang di maksud yaitu siswa merasa senang dan di mana guru memampukan diri untuk menfasilitasi pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa. Penggunaan model
treffinger hasil belajar siswa yaitu pemahaman materi, transfer
pengetahuan, ketrampilan berpikir kritis, kemampuan memecahkan masalah, dan kemampuan berkomunikasi.
Dampak pengiring adalah kemampuan yang didapat siswa akibatnya terciptanya suasana belajar dengan menggunakan suatu model. Sehingga dalam model treffinger membuat siswa mempunyai pemaham yang baru, dapat menstransfer pengetahuan, ketrampilan berfikir kritis, kemampuan memecahkan masalah, dan kemampuan berkomunikasi. Dampak Intruksional dan Dampak Pengiring Model Pembelajaran
treffinger di jelaskan pada gambar 2.1 sebagai berikut. Gambar 3.1
Dampak Pengiring dan Intruksional Model Pembelajaran treffingrer
2.1.9 Penerapan Model Pembelajaran Treffinger
Sebelum dilakukan pembelajran dibutuhkan sesuatu perencanaan yang berkaitan dengan pelaksanaan menggunakan suatu model tertentu. Maka ibutuhkan juga suatu langkah atau sintaks pembelajaran. Pemetaan ini sangat
Cara berfikir Kritis
Mampu Berkerjasama
Mampu mengidentifikasi permasalahan yang diberikan
Pola berpikir sistematis Cara Penyelesaian
yang kreatif Mampu dalam memecahkan
permasalahan yang diberakan
Mampu dalam mengkomunikasi pengetahuan yang didapat
Keterangan : Dampak instruksional Dampak pengiring T R E F F I N G E R
Mampu untuk menguraikan pengetahuan dalam kehidupan
bermanfaat sebagai patokan pembuatan Rencana Pelaksanan Pembelajaran (RPP). Berikut adalah pemetaan sintak dan langkah-langkah yang akan dilaksanakan dalam penerapan pembelajaran tematik dengan menggunakan model pembelajaran
treffinger.
Tabel 2.5
Prosedur pelaksanaan pembelajaran tematik dengan meggunakan model treffinger
Langkah Kegiatan guru Kegiatan siswa
Pendahuluan
Guru menyampaikan atau
menjelaskan tujuan yang akan divapai setelah pembelajaran
Siswa mendengarkan penjelasan guru
Guru menjelaskan secara garis besar materi yang akan dipelajari hari itu dan membagi siswa dalam beberapa kelompok
Siswa mendengarkan penjelasan guru, lalu mengatur tempat duduk sesuai dengan kelompoknya Kegiatan inti
Basic tool Guru memberikan suatu masalah
terbuka dengan jawaban lebih dari satu penyelasaian
Siswa membaca dan memahami masalah terbuka
guru membimbing siswa
melakukan diskusi untuk
menyampaikan gagasan atau
idenya sekaligus memberikan
penilaian pada masing-masing kelompok
siswa melakukan diskusi untuk
menyampaikan gagasan atau
idenya dan menuliskannya
Practice with process
guru membimbing dan
mengarahkan siswa untuk
berdiskusi dengan memberikan contoh analog
Siswa berdiskusi dan
menganalisis contoh analog yang diberikan
guru meminta siswa membuat contoh dalam kehidupan sehari-hari
Siswa membuat contoh yang diminta guru
Working
with real
problems
guru memberikan suatu masalah dalam kehidupan sehari-hari,
Siswa membaca dan memahami masalah
guru membimbing siswa
membuat pertanyaan serta
penyelesaian secara mandiri,
Siswa membuat pertanyaan serta penyelesaian secara mandiri
guru membimbing siswa
menyebutkan langkah-langkah
dalam menyelesaikan suatu
masalah,
siswa menyebutkan
langkah-langkah dalam menyelesaikan suatu masalah
Guru memberikan reward. Siswa yang skornya tinggi
menerima reward, siswa yang lain memberikan tepuk tangan
Penutup
Guru membimbing siswa untuk membuat kesimpulan materi yang telah dipelajari
2.1.10 Peningkatan Kreativitas Belajar Melalui Model Treffinger
Model treffinger merupakan salah satu metodel pembelajaran yang dapat di gunakan dalam pembelajaran di tingkat sekolah dasar. Melalui model treffinger dapat membantu siswa dalam mengembangkan ketrampilan berpikir dan ketrampilan mengatasi masalah. Hal tersebut juga dapat membantu siswa mengembangkan keterampilannya untuk berpikir dan keterampilan dalam memecahkan suatu masalah sehingga dapat melatih akan peserta didik untuk berpikir kritis.
Kreativitas adalah hasil belajar dalam kecakapan kognitif, sehingga untuk menjadi kreatif dapat dipelajari melalui proses belajar mengajar. Dan diharapkan dengan adanya pemikiran kritis siswa melalui model treffinger dapat membantu meningkatkan Kreativitas belajar kelas II semester I. Karena dengan meggunakan model treffinger yang menghadapkan siswa kedalam sebuah permasalahan akan meningkatkan kreativitas belajar siswa melalui kerja kelompok. Dan selanjutnya ketika kreativitas belajar anak meningkat maka besar kemungkinan hasil belajar yang diperoleh akan meningkat (Slameto, 2010:138).
2.2 Kajian Hasil-Hasil Penelitian yang Relevan
1. Penelitian yang dilakukan oleh Dian Eprilian A. Sudirman dan Siti Rachmah Sofiami (2015) , yang berjudul “Penerapan Model treffinger Untuk Meningkatkan Aktivitas Dan Hasil Belajar Ipa”. Hasil penelitian ini menunjukkan peningkatan aktivitas dan hasil belajar IPA sebagai berikut: a) terjadi peningkatan nilai rata-rata aktivitas dan presentase ketuntasan secara klasikal. Presentase ketuntasan aktivitas siswa yang mendapat kategori minimal aktif pada siklus I yaitu 57,14% (kategori rendah) dengan nilai rata-rata 60,57% meningkat pada siklus II menjadi 80% (kategori tinggi) dengan nilai rata-rata 79,14. b) Penerapan model treffinger dalam pembelajaran IPA dapat meningkatkan hasil belajar siswa yaitu meningkatnya hasil be;ajar siswadiketahui dari nilai rata-rata hasil belajar pada siklus I sebesar 64, 08 dan siklus II mendapatkan nilai rata-rata sebesar 78, 42. Peningkatan nilai rata-rata-rata-rata siklus I ke siklus II sebesar
15,34. Presentase ketuntasan belajar siswa dari siklus I ke siklus II sebesar 20%.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Novitaningrum Fipien W tahun 2016 yang berjudul “penerapan model pembelajaran treffinger untuk meningkatkan hasil belajar ipa peserta didik kelas III SD Negeri 2 Sobontoro Boyolangu Tulungagung”. Hal ini dibuktikan dengan nilai rata-rata hasil pre test mencapai 68,26, sedangkan pada siklus I menjadi 73,65, dan pada siklus II meningkat menjadi 82,88. Sedangkan tingkat ketuntasan belajar juga mengalami peningkatan yang mulanya 42,30% pada saat pre test, menjadi 57,69% pada siklus I dan meningkat lagi pada siklus II sebesar 80,76%.
3. Muhamad Wahyu Purnama Putra (2014) meneliti tentang Peningkatan
Komunikasi Dan Hasil Belajar Matematika Melalui Penerapan Pembelajaran Kreatif Model Treffinger. Hal tersebut dapat dilihat dari tercapainya indikator-indikator komunikasi dan hasil belajar matematika sebagai berikut 1) kemampuan siswa dalam menjelaskan ide matematika secara lisan, tulisan, gambar, grafik, maupun aljabar, sebelum pelaksanaan tindakan hanya 28,57%, kemudian setelah dilakukan tindakan meningkat menjadi 85,71%, 2) kemampuan siswa menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika, sebelum pelaksanaan tindakan 14,29%, setelah dilakukan tindakan terjadi peningkatan 77,14%, 3) kemampuan siswa dalam berdiskusi matematika, sebelum pelaksanaan tindakan 22,86%, setelah dilakukan tindakan meningkat menjadi 91,43%, 4) nilai siswa yang lebih dari sama dengan 70, sebelum tindakan hanya 22,86%, setelah dilakukan tindakan meningkat menjadi 80%.
4. Leni Rosaria (2012) meneliti tentang Penerapan pembelajaran Model
Treffinger Untuk Meningkatan Kreativitas Belajar Matematika Siswa
Kelas V Sekolah Dasar Negeri 001 Enok Kecamatan Enok Kabupaten Indragiri Hilir. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran
treffinger diperoleh keterangan bahwa data aktivitas siswa meningkat pada
tiap siklus nya. Rata-rata aktivtas belajar siswa pada siklus I pertemuan 1 secara klasikal sudah tergolong kreative karena pada rentang prosentse
40%-60%. siklus I pertemuan 1 secara klasikal masih tergolong kurang kreative karena pada rentang prosentase 60%-80%. siklus I pertemuan 1 secara klasikal tergolong kreative karena pada rentang prosentase 60%-80%. siklus II pertemuan 1 secara klasikal sudah tergolong kurang kreative karena pada rentang perentse 60%-80%. siklus II pertemuan II secara klasikal masih tergolong kurang kreative karena pada rentang 60%-80%. siklus II pertemuan III secara klasikal masih tergolong kurang kreative karena pada rentang presentase 80%-100%.
5. Nur indah sari (2016) meneiti tentang penerapam model pembelajaran
treffinger dengan bantuan media audiovisual untuk meningkatkan aktivitas
dan hasil belajar IPA terpadu pada siswa kelas VII SMP Frater Makasar. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran treffinger diperoleh keterangan bahwa data aktivitas siswa meningkat pada tiap siklus nya. Peningatan aktivitas belajar siswa kelas VII SMP Frater Makasar siklus 1 dan 2 dengan presentase 50,15% menjadi 80,05%. Peningkatan hasil belajar siswa kelas VII SMP Frater Makasar siklus 1 dan 2 dengan presentase 37,38% menjadi 86,48%.
6. Nurlaila (2013) meneliti tentang Penerapan Pembelajaran Model treffinger Untuk Meningkatkan Kreativitas Belajar Matematika Siswa Kelas V Di MIS Dasul Qalam Senayang Kel. Senayang Kec. Senayang Kab. Lingga. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran treffinger diperoleh keterangan bahwa data aktivitas siswa meningkat pada tiap siklus nya. Siklus 1 sebanyak 12 orang atau sebesar 70,59% telah mengalami ketuntasan, Siklus 2 mengalami penigkatan menjadi 14 orang atau 82,35%, siklus 3 mengalami peningkatan yang cukup signifikan menjadi 16 orang atau 82,35%.
7. Dwi Retnowati dan Budi Murtiyasa (2013) meneliti tentang Upaya Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Dispopisi Matematis Menggunakan treffinger. Dari hasil penelitian Model treffinger menunjukkan bahwa siswa yang dapat mengaplikasikan konsep atau algoritma dalam pemecahan masalah sebanyak 10 siswa (43,48%), siswa
yang memberi tanggapan tentang jawaban siswa lain sebanyak 9 siswa (39,13%), siswa yang dapat membuat kesimpulan sebanyak 7 siswa (30,43%), siswa yang percaya diri terhadap kemampuan atau keyakinan sebanyak 10 siswa (43,48%), siswa yang mengajukan pertanyaan sebanyak 8 siswa (34,78%), dan siswa yang bekerjasama atau berbagi pengetahuan sebanyak 12 siswa (52,17%). siklus II juga terdiri dari dua pertemuan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa siswa yang dapat mengaplikasikan konsep atau algoritma dalam pemecahan masalah sebanyak 17 siswa (73,91%), siswa yang memberi tanggapan tentang jawaban siswa lain sebanyak 12 siswa (52,17%), siswa yang dapat membuat kesimpulan sebanyak 10 siswa (43,48%), siswa yang percaya diri terhadap kemampuan atau keyakinan sebanyak 15 siswa (65,22%), siswa yang mengajukan pertanyaan sebanyak 13 siswa (56,52%), dan siswa yang bekerjasama atau berbagi pengetahuan sebanyak 18 siswa (78,26%).
8. Desty Indah Puspitaningrum dan Bambang Priyono Darminto (2016) meneliti tentang penerapan model pembelajaran treffinger untuk meningkatkan kreativtas dan hasil belajar siswa. . Dari hasil penelitian Model treffinger menunjukkan bahwa siswa kelas VIII E SMP N 5 Purworejo mengalami peningkatan pada setiap siklusnya. Siklus I masih sedikit siswa yang berani mempersentasikan hasil diskusinya Siswa yang mencapai skor 14 yaitu ada 17 siswa dengan persentase kreativitas belajar siswa 53,125%, sehingga belum memenuhi indikator keberhasilan yang ditetapkan Siswa yang mencapai ketuntasan minimal 75 yaitu ada 19 siswa dengan persentase ketuntasan belajar siswa 59,375%, sehingga belum memenuhi indikator keberhasilan. Pada siklus II meningkatnya kreativitas siswa pada siklus II dilihat dari banyaknya siswa yang mencapai skor 14 yaitu ada 23 siswa dengan persentase kreativitas belajar siswa 71,85%. Sedangkan meningkatnya hasil belajar siswa ditandai dengan 23 siswa yang mencapai KKM dan persentase ketuntasan siswa telah mencapai 74,19% pada siklus II.
9. Arif Fiyanto dan Amaliyah Ulfah (2018) meneliti tentang Upaya Peningkatan Hasil Belajar dan Kreativitas Siswa Dalam Pembelajaran IPS Melalui Model Treffinger Pada Kelas V SD Muhammadiyah Ambarketawamg 2 Tahun Pelajaran 2016/2017. Hasil penelitian menunjukkan hasil belajar dan kreativitas siswa dalam pembelajaran IPS dengan menggunakan model pembelajaran Treffinger mengalami peningkatan. Ketuntasan hasil belajar pada pra siklus yaitu 8 siswa (32%), ketuntasan pada siklus 1 menjadi 14 siswa (56%), dan ketuntasan pada siklus 2 sebesar 21 siswa (84%). Hasil kreativitas siswa pada pra siklus terdapat 4 siswa (16%) yang mendapat skor ≥ 26, pada siklus I terdapat 12 siswa (48%), pada siklus II terdapat 20 siswa (80%). Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa model Treffinger dapat meningkatkan hasil belajar dan kreativitas siswa dalam pembelajaran IPS kelas V SD Muhammadiyah Ambarketawang 2.
10. Nurul Fatimah (2010) meneliti tentang Pengunaan Model Pembelajaran Treffinger Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Kognitif Peserta Didik Pada Materi Optika Geometris Kelas X Man Blora Tahun Pelajaran 2014/2015. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran treffinger diperoleh keterangan pada materi geometris dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik. Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata perolehan nilai post test kelas eksperimen yaitu sebesar 78,69, sedangkan pada kelas kontrol sebesar 71,54. Berdasarkan uji rata-rata dengan menggunakan uji t diperoleh thitung = 2,921 dan ttabel = 1,671. Karena thitung > ttabel berarti Ho ditolak dan Ha diterima yang menunjukkan bahwa hasil belajar peserta didik dengan penggunaan model pembelajaran treffinger lebih tinggi dibanding dengan metode eksperimen pada materi optika geometri. 11. Novita Sari Purba (2017) Penggunaan Model Pembelajaran Treffinger
Untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Pada Pelajaran Pkn Di Kelas Iv Sdn 101771 Tembung T.A 2016/2017. Setelah penggunaan model pembelajaran Treffinger diperoleh peningkatan motivasi belajar siswa sangat baik. Hal tersebut dapat dilihat secara klasikal pada siklus I dengan
skor rata-rata 55,59% meningkat menjadi 83,99% pada siklus II. Dan juga secara individual telah mengalami peningkatan berdasarkan persentase setiap indicator motivasinya dengan skor rata-rata pada siklus I sebesar 38,59% meningkat menjadi 91,66% pada siklus II.
2.3 Kerangka Berfikir
Dalam kenyataannya guru dalam proses pembelajaran senang menggunakan model konvensional melalui metode ceramah dan pembelajaran berpusat pada guru (teacher center). Aktivitas guru dalam pembelajaran adalah menjelaskan materi, menulis catatan, memberi soal, dan dalam memberi tugas pekerjaan rumah (PR). Siswa belum sama sekali terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran, hanya duduk diam dan mendengarkan guru berbicara. Kegiatan pembelajaran ini yang membuat siswa tidak bersemangat untuk belajar dan bosan. Sehingga siswa m enjadi lebih pasif, dan kurang kreatif dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Guru kurang melibatkan siswa dalam pembelajaran seperti meminta siswa untuk aktif membaca, menyimak, menulis, dan berbicara. Kegiatan belajar di dalam kelas siswa untuk terampil berbicara. Agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal, yaitu dengan mengaktifkan siswa dalam pembelajaran melalui keterampilan berbicara.
Hasil belajar adalah proses penilaian yang dilihat dari 3 aspek yaitu
kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan Psikomotorik (keterampilan) melalui
teknik tes dan nontes. Oleh sebab itu perlu adanya penelitian yang mampu meningkatkan hasil belajar. Sehingga model yang tepat untuk memperbaiki proses pembelajaran dikelas dengan menggunakan Model Pembelajaran Treffinger. Model Pembelajaran Treffinger adalah model pembelajaran yang menarik kretivitas siswa dengan melibatkan keterampilan kognitif dan afektif pada tema Tugasku Sehari-hari subtema 2 Tugasku Sehari-hari disekolah KD 3.5 menjelaskan nilai dan kesetaraan pecahan mata uang ; KD 3.3 Menentukan kosakata dan konsep tentang lingkungan geografis, kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya di lingkungan sekitar dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah melalui teks tulis, lisan, visual dan/atau eksplorasi lingkungan.; KD 3.3 Mengidentifikasi jenis-jenis keberagaman karakteristik indivdu disekolah dan
subtema 3 Tugasku Sebagai Umat Beragama KD 4.5 Mengurutkan nilai mata uang serta mendemonstrasikan kesetaraan pecahan mata uang.; KD 4.3
Melaporkan penggunaan kosakata bahasa Indonesia yang tepat atau bahasa daerah hasil pengamatan tentang lingkungan geografis, kehidupan ekonomi, sosial dan budaya di lingkungan sekitar dalam bentuk teks tulis, lisan, dan visual.; KD 4.3
Mengelompokkan jenis-jenis keberagaman karakteristikindividu di sekolah.;
melalui langkah-langkah sebagai berikut: 1) Guru menginformasikan tujuan kompetensi yang akan di capai dalam pembelajaran; 2) guru menyajikan masalah yang dapat mendukung keingin tahuan siswa; 3) siswa mengidentifikasi masalah yang diberi guru; 4) siswa mengungkapkan gagasan dan juga menyepakati jawaban dari masalah; 5) guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan pemecahan masalah; 6) guru mengecek solusi yang telah di peroleh siswa.
2.4 Hipotesis Tindakan
Dari kerangka berfikir yang telah dipaparkan diatas, untuk memecahkan masalah peneliti, maka hipotesis yang ditemukan yaitu:
1. Model Pembelajaran treffinger dapat meningkatkan rata-rata skor kreativitas belajar siswa kelas II SDN Ngablak 1 tehun pelajaran 2018/2019
2. Model Pembelajaran treffinger dapat meningkatkan hasil belajar Matematika siswa
3. Dengan penerapan langkah-langkah model pembelajaran treffinger dapat meningkatkan kreativitas belajar dan hasil belajar siswa kelas II semester 1 SDN Ngablak 1 tahun pelajaran 2018/2019