• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. ANALISIS MUTU MINYAK SAWIT KASAR

Mutu minyak sawit kasar (crude palm oil/CPO) merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dalam proses produksi CPO. Pengolahan dan penyimpanan yang kurang baik dapat merusak mutu CPO. Kerusakan mutu CPO ini akan berdampak pada daya jual dari CPO tersebut. Karakteristik mutu CPO juga menjadi salah satu hal yang berpengaruh terhadap sifat reologi CPO. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Fasina et al. (2006) viskositas dari minyak nabati biasanya dapat ditentukan berdasarkan parameter sifat kimia dan sifat termofisiknya seperti bilangan penyabunan, bilangan Iod, banyaknya atom karbon per residu asam lemak, dan densitas. Berdasarkan SNI 01-2901-2006 sifat kimia yang paling berpengaruh terhadap mutu CPO adalah kadar air dan kotoran, asam lemak bebas, dan bilangan iod. Hasil analisis mutu sampel CPO yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 6 dan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 6. Analisis mutu kadar air dan kotoran, asam lemak bebas dan bilangan iod sampel CPO

Sampel CPO

Parameter Kadar air dan kotoran

(%)

Asam lemak bebas (%) Bilangan iod (g iod/100 g) CPO A 0.33a 5.80a 50.38a CPO B 0.69b 3.88b 51.30a CPO C 0.68b 3.84b 52.47b CPO D 0.67b 4.58c 54.15c

Persyaratan mutu* maks 0.5 maks 0.5 50-55

Nilai yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p <0.05)

*BSN 2006

Hasil analisis mutu keempat sampel CPO pada Tabel 6 menunjukkan bahwa tidak semua mutu CPO memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI 01-2901-2006. Selain itu dari Tabel 6 juga terlihat bahwa keempat sampel CPO yang dianalisis mempunyai karakteristik mutu yang berbeda-beda. Perbedaan mutu pada keempat sampel CPO ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain perbedaan keadaan lingkungan perkebunan (jenis tanah dan unsur hara), perbedaan umur tanaman kelapa sawit, atau perbedaan proses penanganan penyimpanan yang tidak sama antar pabrik pengolahan CPO.

Kadar air dan kotoran merupakan salah satu faktor mutu yang perlu diperhatikan dalam proses produksi CPO. Hal ini dikarenakan kadar air dan kadar kotoran yang tinggi dapat mempercepat reaksi kimia lainnya yang akan merusak mutu dari CPO. Kadar air merupakan banyaknya kandungan air yang terdapat dalam sampel. Kadar air yang tinggi pada minyak dan lemak dapat mempercepat proses hidrolisis minyak dan lemak sehingga menghasilkan asam lemak bebas yang menyebabkan ketengikan (Ketaren 2005).

Kadar kotoran merupakan bahan-bahan yang tidak larut dalam minyak. Tingginya kadar kotoran pada CPO biasanya terjadi akibat adanya kontaminasi CPO selama proses pengolahan, penyimpanan, dan transportasi (Naibaho 1998). Tingginya kadar kotoran pada CPO

(2)

mempercepat terjadinya ketengikan pada minyak dan berpengaruh terhadap karakteristik aliran minyak (Sathivel et al. 2003). Pada analisis kadar kotoran sampel yang digunakan adalah sampel CPO yang sudah dianalisis kadar airnya. CPO tersebut kemudian dianalisis kadar kotorannya dengan metode penyaring vakum dan menggunakan pelarut n-heksana. Penyaringan vakum dipilih agar penyaringan kotorannya lebih cepat. Pemilihan pelarut n-heksana ini dikarenakan kotoran-kotoran yang terkandung dalam CPO tidak akan larut sehingga kotoran dapat tersaring.

Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa kadar air dan kotoran keempat sampel CPO hanya CPO A yang masih memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI 01-2901-2006. Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan ANOVA dengan uji lanjut Duncan, CPO A menunjukkan hasil yang berbeda nyata` terhadap CPO B, CPO C, dan CPO D pada taraf signifikansi 0.05 (p<0.05) (Lampiran 2). Pada CPO, secara alami terdapat air yang tidak dapat dipisahkan. Jumlah air pada CPO dapat meningkat akibat proses pengolahan CPO itu sendiri seperti pada proses steaming. Selai itu, kenaikan kadar air CPO juga terjadi saat penyimpanan. Kenaikan kadar air saat penyimpanan akibat adanya udara limbah atau kebocoran coil pemanas pada tangki pemanas (Ritonga 2004).

Asam lemak bebas merupakan parameter mutu CPO yang paling cepat berubah. Tingginya kadar asam lemak bebas pada CPO akan berdampak terhadap penurunan rendemen minyak sehingga mengakibatkan kerugian bagi perusahaan. Kadar asam lemak bebas biasanya dijadikan indikator awal terjadinya kerusakan lemak atau minyak. Pembentukan asam lemak bebas dapat mempercepat kerusakan oksidatif lemak atau minyak karena asam lemak bebas lebih mudah teroksidasi jika dibandingkan dalam bentuk esternya (Ketaren 2005).

Berdasarkan hasil analisis mutu CPO yang tertera pada Tabel 6, kadar asam lemak bebas keempat sampel CPO melebihi batas maksimal yang ditetapkan di dalam SNI 01-2901-2006 namun bila mengacu pada SNI 01-2901-1996 dan standar spesifikasi PORAM (The Palm Oil

Refiners Association of Malaysia) asam lemak CPO B, CPO C, dan CPO D masih memenuhi

standar maksimal 5%. Oleh karena itu standar yang ditetapkan SNI 01-2901-2006 perlu ditinjau kembali karena tidak harmonis dengan standar dengan negara lain dan standar maksimal 0.5% dirasa terlalu ketat. Berdasarkan uji statistik dengan ANOVA dan uji lanjut Duncan, keempat sampel CPO mempunyai kadar asam lemak bebas yang berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (p<0.05) (Lampiran 2). Tingginya asam lemak bebas ini akibat terjadinya proses hidrolisis asam lemak akibat tingginya kadar air yang terkandung pada CPO tersebut. Menurut Gunawan (2004) CPO yang mengandung kadar air lebih besar dari 0.15% lebih cepat mengalami proses hidrolisis yang mengakibatkan meningkatnya nilai asam lemak bebas CPO.

Proses hidrolisis pada minyak dan lemak dikatalis oleh adanya enzim lipase atau katalis asam. Pada CPO hidrolis yang dikatalisi oleh enzim lipase kemungkinan terjadinya sangat kecil karena pada proses produksi CPO telah dilakukan proses sterilisasi pada suhu 135 oC. Proses sterilisasi ini bertujuan untuk mematikan enzim lipase sehingga kenaikan asam lemak bebas akibat adanya enzim lipase dapat dicegah (Rohani et al. 2006). Hidrolisis keempat sampel CPO diduga dipercepat dengan adanya katalis asam. Katalis asam pada proses ini dapat berupa asam lemak bebas yang terkandung pada CPO tersebut. Proses hidrolisi pada CPO dapat dilihat pada Gambar 7.

(3)

Gambar 7. Reaksi hidrolisis trigliserida yang menghasilkan asam lemak bebas (List et al. 2005). Pada Tabel 6 terlihat bahwa CPO A memiliki nilai asam lemak bebas yang tertinggi dibandingkan sampel CPO lainnya, jika dilihat dari kadar air dan kadar kotorannya CPO A memiliki kadar air dan kotoran yang paling rendah. Tingginya asam lemak bebas CPO A diduga disebabkan oleh banyaknya asam lemak bebas yang terkandung pada CPO A sehingga mempercepat proses hidrolisis. Selain itu lamanya penyimpanan sampel CPO A sebelum dilakukan analisis dan tingginya suhu saat penyimpanan juga diduga berpengaruh terhadap tingginya asam lemak bebas CPO A.

Bilangan iod merupakan derajat ketidakjenuhan pada minyak atau lemak. Menurut Ketaren (2005) bilangan iod adalah jumlah iod yang diserap dari 100 g minyak atau lemak. Besarnya bilangan iod pada minyak atau lemak tergantung pada asam lemak penyusun minyak atau lemak tersebut. Semakin banyak ikatan rangkap pada asam lemak penyusun minyak tersebut (asam lemak tidak jenuh) maka semakin tinggi bilangan iodnya sedangkan minyak atau lemak yang tersusun atas asam lemak yang tidak memiliki ikatan rangkap (asam lemak jenuh) bilangan iodnya nol.

Berdasarkan uji analisis mutu pada keempat sampel CPO, semua sampel CPO memiliki

bilangan iod berkisar 50-54 g iod/100g minyak dan telah sesuai dengan persyaratan SNI 01-2901-2006. Hal ini dikarenakan CPO tersusun atas 50% asam lemak jenuh dan 50% asam

lemak tidak jenuh (Mertin et al. 2005). Sedangkan berdasarkan uji statistik ANOVA bilangan Iod CPO A dan CPO B berbeda nyata dengan bilangan iod CPO C dan CPO D pada taraf signifikansi 0.05 (p<0.05) (Lampiran 2). Perbedaan bilangan iod ini dikarenakan perbedaan jumlah asam lemak jenuh dan tidak jenuh yang menyusun CPO tersebut.

Menurut beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh Maskan (2003) dan Kim et al. (2010) komposisi asam lemak jenuh dan tidak jenuh juga memengaruhi sifat reologi dari minyak nabati yang diujikan. Kim et al. (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara komposisi asam lemak penyusunnya terhadap viskositas dari minyak nabati tersebut. Minyak nabati yang tinggi asam lemak jenuhnya mempunyai viskositas yang lebih tinggi dibanding minyak nabati yang tinggi asam lemak tidak jenuhnya.

B. PENGARUH SUHU TERHADAP DENSITAS MINYAK SAWIT KASAR

Densitas merupakan hasil pengukuran masa setiap satuan volume benda. Semakin tinggi densitas suatu benda maka semakin besar pula massa setiap volumenya. Menurut Noureddini et

al. (1992) estimasi densitas pada minyak nabati merupakan hal yang penting dalam desain

proses seperti destilasi, kasus pindah panas, dan proses pengaliran dalam pipa. Pengaruh suhu katalis

(4)

0.88 0.89 0.90 0.91 0.92 20 25 30 35 40 45 50 55 D ens it as ( g/m L ) Suhu (oC) CPO A CPO B CPO C CPO D terhadap densitas CPO dapat dilihat pada Gambar 8 dan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.

Gambar 8. Pengaruh suhu terhadap densitas CPO.

Berdasarkan Gambar 8 terlihat bahwa terjadi kecenderungan penurunan densitas terhadap penurunan suhu pada keempat sampel CPO. Pada suhu 25 oC densitas keempat sampel CPO berkisar antara 0.90-0.91 g/mL sedangkan pada suhu 55 oC densitasnya menurun mencapai 0.88-0.89 g/mL. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Narvaez et al. (2008) pada 224 sampel minyak sawit dari perkebunan di Malaysia didapatkan nilai densitas minyak sawit pada suhu 50 oC berkisar antara 0.8896-0.8891 g/mL sedangkan menurut Eddy dan Ekop (2007) densitas minyak sawit yang berasal dari perkebunan di Nigeria pada suhu 30 oC adalah 0.8940 g/mL. Pada penelitian ini, densitas CPO pada suhu 30 oC berkisar 0.90-0.91 g/mL dan pada suhu 50 oC densitasnya sekitar 0.89 g/mL. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa densitas CPO pada penelitian ini tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan densitas CPO yang berasal Malaysia dan Nigeria. Persamaan densitas CPO dari perkebunan Indonesia, Malaysia, dan Nigeria ini sangat dipengaruhi oleh polymorphism dari CPO, formasi kristal, stabilitas gliserida, dan kondisi pemanasan dan pendinginan (Eddy dan Ekop 2007). Selain itu, berdasarkan uji korelasi dengan Pearson pada keempat sampel CPO di suhu 25 oC menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara kadar air dan kotoran terhadap densitas CPO dengan Pearson

correlation -0.954 (Lampiran 4). Hal ini berarti 95 % perbedaan densitas keempat sampel CPO

pada suhu 25 oC dipengaruhi oleh kadar air dan kotoran. Tanda negatif pada Pearson correlation menunjukkan hubungan yang tidak searah antara densitas dan kadar air dan kotoran CPO. Meskipun densitas minyak dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, namun semua penelitian yang telah dilakukan oleh Noureddini et al. (1992), Rodenbush et al. (1999), dan Eddy dan Ekop (2007) mengenai densitas minyak sawit menyebutkan bahwa densitas minyak sawit menurun terhadap kenaikan suhu.

Menurut Noureddini et al. (1992) beberapa minyak nabati yang telah diteliti menunjukkan kecenderungan penurunan densitas secara linier terhadap peningkatan suhu. Penurunan densitas disebabkan terjadinya peningkatan volume CPO dengan massa yang konstan pada suhu yang tinggi. Peningkatan volume ini disebabkan pecahnya molekul-molekul minyak

(5)

akibat suhu yang tinggi sehingga molekul-molekul menempati volume yang lebih besar dibandingkan saat suhu rendah (Cuah et al. 2008)

Hasil uji statistik korelasi dengan menggunakan uji korelasi dengan Pearson menunjukkan keempat sampel CPO mempunyai nilai Pearson correlation lebih dari -0.9 (Lampiran 5). Hal ini berarti terdapat korelasi yang sangat kuat antara pengaruh suhu terhadap perubahan nilai densitasnya. Tanda negatif pada Pearson correlation menunjukan korelasi yang tidak searah antara pengaruh suhu dengan densitas CPO. Berdasarkan uji regresi, penurunan densitas terhadap peningkatan suhu mengikuti persamaan 11.

= 𝑏 − 𝑚(𝑇) (11) Di mana  adalah densitas dengan satuan g/mL, T adalah suhu dengan satuan oC, b adalah intersep dan m adalah negatif gradien. Persamaan regresi CPO A, B, C, dan D dapat dilihat pada Tabel 7 dan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6.

Tabel 7. Persamaan regresi pengaruh suhu terhadap densitas CPO Sampel Persamaan regresi R2

CPO A  = 0.950 – 0.001140(T) 0.97 CPO B  = 0.929 – 0.000643(T) 0.92 CPO C  = 0.930 – 0.000786(T) 0.94 CPO D  = 0.933 – 0.000786(T) 0.94

C. SIFAT REOLOGI MINYAK SAWIT KASAR

Minyak dan lemak merupakan bahan pangan yang memiliki sifat reologi yang kompleks karena adanya kristal lemak yang terkandung pada minyak dan lemak tersebut (DeMan 1999). Sifat reologi CPO diukur dengan menggunakan viscometer Haake Rotovisco RV 20 pada suhu pengukuran 25-55 oC dengan shear rate 0-400 s-1. Prinsip kerja Rotovisco RV 20 adalah

mengukur aliran fluida berdasarkan shear rate, shear stress, waktu, dan suhu. Berdasarkan pengukuran reologi pada suhu 25-55 oC, keempat sampel CPO menunjukkan sifat shear thinning atau pseudoplastik namun pada suhu 45-55 oC sifat pseudoplastik keempat sampel CPO menurun mendekati sifat fluida Newtonian. Hal ini dapat dilihat dari kurva hubungan shear rate dan shear stress (rheogram) CPO dan kurva hubungan shear rate dan viskositas terukur CPO (Gambar 9-12). Pada Gambar 9-12 bagian (a) terlihat bahwa kenaikan shear stress terhadap

shear rate keempat CPO pada suhu 25-40 oC tidak proporsional dan membentuk kurva convex (cekung ke bawah) sedangkan pada suhu 45-55 oC kenaikan shear stress terhadap shear ratenya sudah relatif linier. Rheogram yang tidak proporsional dan berbentuk convex menunjukkan sifat aliran fluida non-Newtonian pseudoplastik (Rao 1999). Menurut Milner (1999) bentuk kurva yang tidak proporsional pada fluida pseudoplastik dipengaruhi oleh tingginya bobot molekul pada fluida tersebut. Pernyataan ini didukung oleh Rao (1999) yang menyebutkan bahwa fluida yang mempunyai bobot molekul yang rendah termasuk fluida Newtonian dan mempunyai bentuk kurva yang linier pada kurva hubungan shear rate dan shear stressnya.

Sifat reologi CPO juga dapat ditentukan dari kurva hubungan shear rate dan viskositas terukur CPO. Pada Gambar 9-12 bagian (b) terlihat bahwa pada terjadi penurunan viskositas terukur CPO terhadap peningkatan shear rate. Hal ini menandakan sifat aliran fluida non-Newtonian pseudoplastik. Namun pada suhu 45-55 oC penurunan viskositasnya terhadap

(6)

peningkatan shear ratenya sudah rendah bahkan cenderung konstan. Hal ini berarti telah terjadi sifat aliran fluida CPO sudah mendekati Newtonian.

Gambar 9. Rheogram CPO A pada suhu 25-55 oC (a), hubungan shear rate dan viskositas terukur CPO A pada suhu 25-55 oC (b).

Gambar 10. Rheogram CPO B pada suhu 25-55 oC (a), hubungan shear rate dan viskositas terukur CPO B pada suhu 25-55 oC (b).

0 10 20 30 40 50 60 70 0 100 200 300 400 S h ear s tr es s (P a) Shear rate (s-1) (a) 35 oC 30 oC 25 oC 40 oC 45 oC 50 oC 55 oC 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0 100 200 300 400 Vis k os it as t er u k u r (P a. s) Shear rate (s-1) (b) 35 oC 30 oC 25 oC 40 oC 45 oC 50 oC 55 oC 0 10 20 30 40 50 60 70 0 100 200 300 400 S h ear s tr es s (P a) Shear rate (s-1) (a) 35 oC 30 oC 25 oC 40 oC 45 oC 50 oC 55 oC 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0 100 200 300 400 Vis k os it as t er u k u r (P a. s) Shear rate s-1 (b) 35 oC 30 oC 25 oC 40 oC 45 oC 50 oC 55 oC

(7)

Gambar 11. Rheogram CPO C pada suhu 25-55 oC (a), hubungan shear rate dan viskositas terukur CPO C pada suhu 25-55 oC (b).

Gambar 12. Rheogram CPO D pada ssuhu 25-55 oC (a), hubungan shear rate dan viskositas terukur CPO D pada suhu 25-55 oC (b).

Pada fluida pseudoplastik, penurunan viskositas saat terjadi peningkatan shear rate merupakan hal wajar terjadi. Menurut Munson et al. (2001), pada umumnya minyak dan lemak memiliki sifat pseudoplastik yang mengalami penurunan viskositas saat shear rate meningkat (shear thinning). Penurunan viskositas ini dijelaskan dengan penelitian yang dilakukan oleh Graef et al. (2008) bahwa shear rate yang diterapkan pada bahan pangan yang banyak mengandung lemak berpengaruh terhadap viskositas bahan pangan tersebut. Shear rate akan memecahkan agregat kristal lemak penyusun bahan pangan tersebut sehingga kristal yang terkandung menjadi kristal yang lebih kecil dan menyebabkan penurunan viskositas.

0 10 20 30 40 50 60 70 0 100 200 300 400 S h ear s tr es s (P a) Shear rate (s-1) (a) 35 oC 30 oC 25 oC 40 oC 45 oC 50 oC 55 oC 0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14 0.16 0.18 0 100 200 300 400 Vis k os it as t er u k u r (P a s) Shear rate s-1 (b) 35 oC 30 oC 25 oC 40 oC 45 oC 50 oC 55 oC 0 10 20 30 40 50 60 0 100 200 300 400 S h ear s tr es s (P a) Shear rate (s-1) (a) 35 oC 30 oC 25 oC 40 oC 45 oC 50 oC 55 oC 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0 100 200 300 400 V is k os it as t er uk ur ( P a s) Shear rate (s-1) (b) 35 oC 30 oC 25 oC 40 oC 45 oC 50 oC 55 oC

(8)

Goncalves (2010) menyatakan bahwa ketergantungan viskositas terukur terhadap shear

rate merupakan sifat alami dari suatu fluida. Perilaku pseudoplastik menunjukkan adanya

perubahan struktur fluida yang mengakibatkan berkurangnya hambatan aliran bahan dengan adanya peningkatan shear rate. Triantafillopoulus (2005) juga berpendapat bahwa pada aliran pseudoplastik, shear rate yang tinggi cenderung meluruskan dan menyejajarkan arah gerakan molekul yang mengakibatkan menurunnya gaya gesekan dan hambatan untuk mengalir sehingga viskositas larutan menurun, sedangkan pada shear rate yang rendah hanya sedikit molekul yang dapat diluruskan dan disejajarkan arah gerakannya sehingga pada kondisi ini viskositasnya meningkat. Hal ini juga diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Singh dan Heldman (2001) yang menyatakan bahwa saat fluida pseudoplastik mendapatkan shear rate, partikel-partikel yang terdistribusi secara acak akan mengatur dirinya sejajar dengan arah aliran sehingga viskositas menurun.

D. PENGARUH SUHU TERHADAP SIFAT REOLOGI MINYAK SAWIT

KASAR

1. Pengaruh Suhu Terhadap Parameter Model Fluida

Sifat reologi CPO juga dapat dijelaskan dengan menggunakan model analisis fluida. Model analisis yang digunakan pada pengukuran sifat reologi CPO adalah model power

law. Model power law merupakan model yang paling sederhana dan mudah untuk

diaplikasikan pada pengukuran sifat aliran fluida. Model power law menggunakan parameter indeks tingkah laku aliran (n) dan indeks konsistensi (K) untuk menjelaskan sifat aliran suatu fluida.

Nilai n dan K pada model power law didapatkan dengan memplotkan log shear rate sebagai absisal (x) dan log shear stress sebagai ordinat (y) sehingga didapatkan persamaan regresi linier seperti pada persamaan 12.

Log  = a + b (log ) (12) dimana log  adalah log dari shear stress, a adalah log indeks konsistensi (K), b adalah indeks tingkah laku alir (n), dan log adalah log dari shear rate. Contoh hubungan log

shear rate dan shear stress pada CPO A dapat dilihat pada Gambar 13.

Nilai n dan K pada keempat sampel CPO dapat dilihat pada Tabel 8 dan Tabel 9. Berdasarkan Tabel 8 dan Tabel 9 dapat dilihat bahwa sifat aliran fluida dari CPO adalah pseudoplastik. Hal ini ditunjukkan dengan nilai n CPO yang kurang dari 1 dan nilai K lebih dari 0. Selain itu, Tabel 8 dan Tabel 9 juga menunjukkan penurunan nilai n dan penurunan nilai K terhadap kenaikan suhu.

(9)

Gambar 13. Hubungan log shear rate dan log shear strees CPO A pada suhu 25 oC ulangan 1.

Peningkatan nilai n dan K pada keempat sampel CPO ini mengindikasikan adanya perubahan sifat aliran pada CPO. Semakin tinggi suhu dari CPO maka semakin menurun sifat pseudoplatik dari CPO tersebut. Hal ini terlihat dari nilai n dari CPO yang melebihi 0.9 bahkan hampir mendekati 1 yang menunjukkan sifat fluida Newtonian. Perubahan sifat fluida pada merupakan hal yang wajar terjadi bahkan beberapa bahan pangan mempunyai sifat reologi yang lebih dari satu (Bourne 2002). Menurut Valez-Ruiz (2002) sifat reologi pada suatu fluida sangat dipengaruhi oleh sifat fisik fluida tersebut, jumlah padatan, ukuran partikel penyusun fluida dan distribusi partikel tersebut di dalam fluida. Perubahan sifat aliran fluida pada CPO ini diduga dikarenakan terjadinya pemecahan kristal-kristal lemak akibat pengaruh peningkatan suhu. Pemecahan kristal lemak ini berpengaruh terhadap penurunan jumlah solid fat content (SFC) pada CPO. Menurut Liang et al. (2008) SFC mempunyai pengaruh yang besar terhadap sifat reologi lemak. Selain itu mikrostruktur dari lemak juga memengaruhi sifat reologinya.

Tabel 8. Indeks tingkah laku alir (n) CPO

Suhu Indeks tingkah laku alir (n)

CPO A CPO B CPO C CPO D

25 oC 0.546a 0.533a 0.781a 0.730a 30 oC 0.672b 0.557a 0.858b 0.735a 35 oC 0.730c 0.735b 0.788b,c 0.777a 40 oC 0.738c 0.760c 0.902b,c 0.788a 45 oC 0.932d 0.930c,d 0.959c 0.899b 50 oC 0.930d 0.945c,d 0.950c 0.970c 55 oC 0.993e 0.986d 0.968c 0.978c

Keterangan: Nilai yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p <0.05).

y = 0.531x + 0.445 R² = 0.994 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 2.0 1.5 1.7 1.9 2.1 2.3 2.5 2.7 log sh ear s tr es s (P a)

(10)

Tabel 9. Indeks konsistensi (K) CPO

Suhu Indeks konsistensi (K)

CPO A CPO B CPO C CPO D

25 oC 2.452c 2.480c 0.368c 0.665d 30 oC 0.702b 1.406b 0.173d 0.450c 35 oC 0.310b 0.280a 0.103c 0.294b 40 oC 0.179a 0.141a 0.070b 0.246a,b 45 oC 0.050a 0.042a 0.038a 0.035a,b 50 oC 0.033a 0.040a 0.035a 0.030a 55 oC 0.020a 0.026a 0.027a 0.020a

Keterangan: Nilai yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p <0.05)

Berdasarkan uji dengan menggunakan ANOVA dan uji lanjut Duncan pada masing-masing sampel CPO, nilai n dan K pada masing-masing-masing-masing sampel CPO berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (p<0.05), namun pada CPO B dan C pada suhu 45-55 oC nilai n keempat sampel CPO tidak berbeda nyata ditaraf signifikansi 0.05 (p>0.05) (Lampiran 7 dan 8). Pada aplikasi pengaliran CPO dengan moda pipa disarankan suhu pengaliran sekitar 45-50 oC karena sifat CPO yang sudah mendekati Newtonian dan nilai K yang sudah rendah (berkisar 0.05-0.02). Nilai K yang semakin rendah menunjukkan jumlah SFC CPO yang rendah pula. Sifat Newtonian dan jumlah SFC yang rendah lebih menguntungkan saat pengaliran karena lebih mudah dialirkan.

2. Pengaruh Suhu Terhadap Viskositas Minyak Sawit Kasar

Viskositas merupakan salah satu parameter rekayasa proses yang penting dalam desain peralatan pengolahan seperti pada kasus pindah panas dan pengaliran pada pipa. Selain itu viskositas juga penting untuk menentukan kualitas dan stabilitas suatu produk pangan. Selama transportasi dan penyimpanan CPO akan mengalami proses pemanasan dan pendinginan yang memengaruhi viskositasnya. Menurut Rao (1999) suhu sangat berpengaruh terhadap viskositas fluida, di mana secara umum viskositas menurun dengan meningkatnya suhu. Pengaruh suhu terhadap viskositas keempat sampel CPO pada shear

rate 100 s-1dapat dilihat pada Gambar 14.

Pada Gambar 14 terlihat bahwa terjadi penurunan viskositas CPO terhadap peningkatan suhu. Hal ini disebabkan adanya penurunan jumlah SFC pada minyak yang disebabkan pemecahan kristal lemak. Selain itu menurut Munson et al. (2001) dan Santos et al. (2004) penurunan viskositas akibat peningkatan suhu juga disebabkan oleh perpindahan molekul-molekul pada minyak dan penurunan tegangan kohesif antar molekulnya yang menyebabkan turunnya viskositas sehingga fluida menjadi lebih mudah mengalir.

Pada Gambar 14 dapat dilihat bahwa pada suhu 25 oC viskositas keempat CPO berbeda-beda sedangkan pada suhu 55 oC viskositas keempat sampel CPO sudah relatif sama. Perbedaan viskositas pada suhu 25 oC diduga disebabkan perbedaan karakteristik kimia, perbedaan jumlah SFC pada keempat sampel CPO tersebut sedangkan viskositas pada suhu 55 oC yang relatif sama diduga disebabkan fraksi olein dan stearin yang sudah tercampur sempurna (homogen) dan SFC yang sudah relatif rendah.

(11)

Keterangan: Huruf yang berbeda pada setiap grafik menunjukan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (p<0.05).

Gambar 14. Hubungan suhu terhadap viskositas terukur CPO pada shear rate 100 s-1. Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan ANOVA dan uji lanjut Duncan pada masing-masing sampel CPO terlihat bahwa viskositas terukur CPO berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (p<0.05). namun pada suhu 45-55 oC viskositas terukur pada masing-masing CPO sudah berada pada subset yang sama yang berarti viskositasnya sudah tidak berbeda nyata (Lampiran 9) yang disebabkan sudah rendahnya SFC CPO. Berdasarkan data viskositasnya dapat disarankan bahwa sebaiknya CPO dialirkan pada suhu 45-55 oC karena viskositasnya sudah tidak mengalami perubahan dan SFCnya rendah sehingga CPO menjadi lebih mudah mengalir.

Pengaruh suhu terhadap viskositas CPO dapat dijelaskan dari nilai energi aktivasi (Ea) yang didapatkan melalui model persamaan Arrhenius dengan persamaan 13,

a = A exp (Ea /RT) (13)

di mana  adalah viskositas terukur pada shear rate tertentu, A adalah faktor frekuensi, Ea adalah energi aktivasi, R adalah konstanta gas ideal dengan satuan J/mol.K dan T adalah suhu dengan satuan Kelvin.

Energi aktivasi adalah energi minimum yang harus dipenuhi agar reaksi dapat berjalan. Energi aktivasi menggambarkan terjadinya pembentukan lubang atau beberapa ruang tambahan pada bahan pangan akibat pengaruh suhu yang menyebabkan molekul-molekul fluida mengalir. Semakin banyak lubang yang terbentuk maka semakin besar energi aktivasi yang didapatkan (Vitali dan Rao 1985). Selain itu, menurut Cuah et al. (2008) energi aktivasi yang besar menunjukkan indikasi sensitivitas viskositas terhadap suhu. Persamaan Arrhenius dan energi aktivasi dari masing-masing sampel CPO dapat dilihat pada Tabel 10.

Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat bahwa CPO A mempunyai energi aktivasi yang tertinggi 70.32 kJ mol -1 sedangkan CPO D memiliki energi akitivasi yang paling rendah 47.98 kJ mol -1. Hal ini berarti CPO A lebih sensitif terhadap kenaikan suhu sehingga viskositasnya lebih cepat berubah seperti yang tertera pada Tabel 10. Dalam pengaliran

e d c b a a a a b c d a a a e d c b a a a f e d c b a a 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Vis k os it as t er u k u r (P a. s) Suhu (oC) CPO A CPO B CPO C CPO D

(12)

dalam pipa diharapakan CPO yang dialirkan memiliki energi akrtivasi yang kecil agar viskositas CPO tersebut tidak mudah berubah terhadap pengaruh suhu. Perubahan viskositas CPO selama pengaliran berdampak pada besarnya energi yang diperlukan selama pengaliran dan juga berdampak pada mutu dari CPO tersebut

Tabel 10. Persamaan Arrhenius dan energi aktivasi CPO A, CPO B, CPO C, dan CPO D pada shear rate 100 s-1.

Perbedaan energi aktivasi pada keempat sampel CPO diduga adanya korelasi dengan parameter mutu CPO. Oleh karena itu diperlukan uji korelasi antar energi aktivasi, kadar air dan kotoran, asam lemak bebas, dan bilangan iod. Berdasarkan hasil uji korelasi, didapatkan hasil bahwa terdapat korelasi yang signifikan dan kuat antara bilangan iod dan energi aktivasi, sedangkan untuk kadar air dan kotoran serta asam lemak bebas ternyata tidak berpengaruh terhadap perbedaan energi aktivasi keempat sampel CPO (Lampiran 10). Korelasi bilangan iod dan energi aktivasi keempat CPO memiliki Pearson correlation -0.94. Hal ini berarti 94% energi aktivasi dipengaruhi oleh bilangan iod CPO. Tanda negatif pada

Pearson corelation menandakan hubungan yang tidak searah antara energi aktivasi dengan

bilangan iod CPO yang berarti semakin tinggi bilangan iod maka energi aktifasi CPO semakin kecil. Bilangan iod yang tinggi menunjukkan derajat ketidakjenuhan yang tinggi dan memiliki fase yang lebih cair sehingga viskositas CPO tidak mudah berubah akibat pengaruh suhu sedangkan bilangan iod yang rendah memiliki fase padat yang viskositasnya mudah berubah akibat pengaruhi oleh suhu.. Titik Korelasi ini mempunyai persamaan regresi Ea = 387 - 6.24 (iod) di mana Ea memiliki atuan kJ mol -1 dan bilangan iod memiliki satuan g iod/100 g.

E. APLIKASI

PENGALIRAN

CPO

PADA

PIPA

BERDASARKAN

DENSITAS DAN SIFAT REOLOGI CPO

Densitas dan sifat reologi merupakan hal penting untuk pengembangan sistem transportasi pipa minyak sawit kasar (Crude Palm Oil/CPO). Pengembangan sistem transportasi moda pipa CPO tanpa mempelajari lebih dalam mengenai bahan yang akan dialirkan akan memiliki nilai akurasi yang rendah (Steffe 1996). Densitas dan sifat reologi CPO berpengaruh terhadap desain pipa yang akan digunakan pada transportasi tersebut, pemahaman lebih rinci mengenai kasus pindah panas pada CPO selama aliran, dan penentuan sifat aliran dari CPO tersebut. Pada transportasi CPO dengan menggunakan pipa banyak hal yang perlu diperhatikan diantaranya adalah parameter mutu CPO dan suhu pengaliran.

Parameter mutu saat pengaliran yang perlu diperhatikan adalah kadar air dan kotoran. Pada saat pengaliran sebaiknya CPO memiliki kadar air dan kotoran yang rendah karena kadar air dan kotoran CPO memengaruhi densitas dari CPO tersebut. Perubahan densitas berdampak pada jenis aliran dari CPO selama di pipa. Kadar kotoran yang tinggi juga mimicu terbentuknya kristal lemak. Pembentukan kristal lemak selama pengaliran akan berdampak pada penyumbatan pipa

Sampel Persamaan Arrhenius Ea, kJ mol-1 R2 CPO A A = 29.74 exp (8458.0/T) 70.32 0.96 CPO B A = 29.67 exp (8439.1/T) 70.16 0.95 CPO C A = 26.56 exp (7463.6/T) 62.05 0.96 CPO D A = 21.45 exp (5771.5/T) 47.98 0.98

(13)

sehingga menghambat aliran CPO. Selain itu, kristal lemak pada CPO juga terbentuk apabila dialirkan pada suhu dibawah suhu melting pointnya (di bawah suhu 40 oC). Pembentukan kristal ini ditunjukkan dengan nilai SFC CPO yang tinggi (berkisar 4-4.6). SFC yang tinggi menyebabkan viskositas CPO semkin tinggi pula dan menyebabkan aliran CPO bersifat non-Newtonian. Oleh karena itu pengaliran CPO melalui moda pipa sebaiknya tidak dialirkan pada suhu dibawah suhu melting pointnya. Sebaiknya CPO dialirkan pada suhu diatas suhu melting

pointnya (di atas 40 oC) karena pada suhu tersebut SFC CPO sudah rendah (< 0.7) akibat pecahnya kristal-kristal lemak karena suhu yang tinggi. SFC yang rendah menyebabkan viskositas CPO yang semakin rendah pula sehingga pada suhu tersebut CPO lebih mudah dialirkan tanpa memerlukan energi yang besar. Selain itu pada suhu diatas suhu melting pointnya, CPO mempunyai sifat aliran Newtonian yang dimana viskositasnya tidak akan berubah terhadap

Gambar

Tabel 6. Analisis mutu kadar air dan kotoran, asam lemak bebas dan bilangan iod sampel  CPO
Gambar 8. Pengaruh suhu terhadap densitas CPO.
Gambar 9. Rheogram CPO A pada suhu 25-55  o C (a), hubungan shear rate dan viskositas  terukur CPO A pada suhu 25-55  o C (b)
Gambar 11. Rheogram CPO C pada suhu 25-55      o C (a), hubungan shear rate dan viskositas                      terukur CPO C pada suhu 25-55  o C (b)
+4

Referensi

Dokumen terkait

karyawan mereka kebutuhan dan apa yang mereka yakini ditawarkan oleh perusahaan. Sehingga dengan meningkatnya rating bintang yang diterima oleh driver ojek

Daging yang dibawa keluar dari Rumah Pemotongan Hewan atau Rumah Pemotongan Unggas, harus diangkut dengan kendaraan pengangkut khusus daging sesuai ketentuan Peraturn

Pada saat dimulainya pengembangan dan pembangunan infrastruktur, nilai buku hak atas sewa tanah tersebut akan dipindahkan ke akun aktiva dalam penyelesaian dan diamortisasi

Banyak syarat dan rukun perkawinan yang menyebabkan suatu perkawinan terpaksa harus dibatalkan, apabila pelanggaran itu dibawa ke Pengadilan Agama dinyatakan fasid

Seorang siswa keperawatan bergantung pada kemampuan teoritis dan pengalaman klinis untuk mendapatkan pengetahuan keperawatan dan rasa percaya diri, analisis,

Dar Dari i kas kasus- us-kas kasus us den dengan gan ku kultur ltur dar darah ah ya yang ng pos positi itif, f, ter terdap dapat at hingga *4 isolat yang ditumbuhi

SUSUNAN PANITIA ini merupakan UNDANGAN RESMI (berlaku sebagai undangan pada Acara Akad Nikah dan Acara Resepsi Pernikahan), maka kepada seluruh panitia tidak

Hal tersebut diatur dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945, kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan serta Wakil Presiden