• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. keucut, setiap ujung glugut memiliki bagian seperti ujung daun bambu, tetapi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. keucut, setiap ujung glugut memiliki bagian seperti ujung daun bambu, tetapi"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Rebung adalah tunas muda dari pohon bambu yang tumbuh dari akar pohon bambu. Rebung tumbuh dibagian pangkal rumpun bambu dan biasanya dipenuhi oleh glugut (rambut bambu) yang gatal. Morfologi rebung berbentuk keucut, setiap ujung glugut memiliki bagian seperti ujung daun bambu, tetapi warnanya coklat.

Menurut klasifikasi botani, tanaman bambu termasuk Monocotyledoneae, sebagaimana penggolongan dari tingkat kingdom hingga species sebagai berikut. - Kingdom : Plantae - Division : Spermatophyta - Class : Monocotyledoneae - Order : Liliales - Familiy : Liliaceae - Genus : Asparagus

- Species : Asparagus officinalis L.

Bambu banyak ditanam didaerah tropis Asia. Tanaman ini dapat tumbuh di daratan rendah sampai ditempat dengan ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut. Tidak semua jenis bambu memiliki rebung yang enak dimakan. Beberapa jenis bambu memiliki rebung yang rasanya pahit. Rebung yang biasa dibuat masakan merupakan rebung pilihan.

Rebung dari bambu betung memiliki rasa yang paling enak. Rebung betung berwarna merah kecoklatan dan ujung kelopaknya berwarna ungu. Setiap jenis rebung dilindungi kelopak-kelopak kuat yang berbulu halus.

(2)

Senyawa utama di dalam rebung mentah adalah air, yaitu sekitar 85,63 %. Di samping itu, rebung mengandung protein, karbohidrat, lemak, vitamin A, thiamin, riboflavin, vitamin C serta mineral lain seperti kalsium, fosfor, besi dan kalium. Bila dibandingkan dengan sayuran lainnya kandungan protein, lemak dan karbohidrat pada rebung tidak berbeda jauh.

Komposisi kimia rebung

Kandungan serat pangan pada rebung cukup tinggi yaitu sekitar 2,56 %, lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis sayuran tropis lainnya, seperti kecambah kedelai 1,27 %, ketimun 0,61 % dan sawi 1,01 %. Oleh sebab itu rebung cukup baik untuk dimanfaatkan menjadi jenis bahan makanan olahan lainnya.

Tabel 1. Komposisi kimia rebung per 100 gram bahan

Komposisi Jumlah Air (g) 85,63 Protein (g) 2,50 Lemak (g) 0,20 Glukosa (g) 2,00 Serat (g) 9,10 Fosfor (mg) 50,00 Kalsium (mg) 28,00 Vitamin A (mg) 0,10 Vitamin B1 (mg) 1,74 Vitamin B2 (mg) 0,08 Vitamin C (mg) 7,00 Sumber : Andoko (2003). 5

(3)

Kerupuk

Kerupuk merupakan makanan khas Indonesia dan sudah sangat dikenal oleh masyarakat. Kerupuk sangat beragam dalam bentuk, ukuran, warna, bau, rasa, kerenyahan, ketebalan ataupun nilai gizinya.

Kerupuk adalah salah satu jenis produk makanan kering khas Indonesia. Kerupuk disukai baik sebagai lauk pauk maupun makanan ringan. Kerupuk sangat beragam baik dalam bentuk, ukuran, kenampakan, cita rasa, warna, ketebalan dan nilai gizinya (Praptiningsih, et al., 2003).

Bahan dasar kerupuk adalah pati dengan kandungan amilopektin menentukan daya kembang kerupuk. Semakin tinggi kandungan amilopektin pati maka kerupuk yang dihasilkan akan mempunyai daya kembang yang semakin besar. Pada pembuatan kerupuk sering ditambahkan bahan-bahan lain untuk memperbaiki cita rasa dan nilai nutrisi seperti udang, ikan, telur dan lain-lain (Praptiningsih, et al., 2003).

Tabel 2. Komposisi kimia kerupuk per 100 gram bahan

Komposisi Jumlah Protein (g) 5,64 Lemak (g) 0,85 Karbohidrat (g) 84,38 Air (g) 9,12 Abu (g) 0,65 Sumber : B.P.P.I., (2004). Tepung terigu

Tepung terigu mengandung pati 65 % - 70 % dengan rasio amilosa-amilopektin 74 % dan 26 %. Tergantung jenisnya, gandum mengandung protein sebesar 6-13 % (Praptiningsih, et al., 2003).

(4)

Protein dalam gandum yang berupa gliadin dan glutenin membantu proses pengikatan air dalam adonan kerupuk. Dengan demikian penambahan tepung gandum dalam pembuatan kerupuk akan meningkatkan kadar air adonan, sehingga akan mempengaruhi proses glatinisasi dan lama pemasakan adonan (Praptiningsih, et al., 2003).

Proporsi penggunaan terigu untuk industri pengolahan bahan pangan di Indonesia relatif besar. Oleh kerena itu, pemanfaatan tepung tapioka sebagai pensubsitusi (mengurangi penggunaan) terigu dalam pembuatan produk olahan diharapkan memberi keuntungan yang cukup besar (Astawan, 2003).

Tabel 3. Komposisi kimia tepung terigu per 100 gram bahan

Komposisi Jumlah Kalori (Kal) 365,00 Protein (g) 8,90 Lemak (g) 1,30 Karbohidrat (g) 77,30 Air (g) 12,00 P (mg) 106,00 Kalsium (mg) 16,00 Fe (mg) 1,20 Bdd 100,00

Sumber : Departemen Kesehatan R.I., (1996).

Tepung tapioka

Tepung tapioka adalah pati yang diperoleh dari ekstraksi ubi kayu melalui proses pemarutan, pemerasan penyaringan, pengendapan pati dan pengeringan. Dalam pembuatan tapioka ditambahkan natrium metabisulfit untuk memperbaiki warna sehingga tapioka menjadi putih bersih (0,1 %) (Radiyati dan Agusto, 2003). Tepung tapioka dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku ataupun campuran pada berbagai macam produk antara lain kerupuk dan kue kering lainnya. Selain

(5)

itu tepung tapioka dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengental (thickener), bahan pengisi, bahan pengikat pada industri makanan olahan (Astawan, 2003).

Tabel 4. Komposisi kimia tepung tapioka per 100 gram bahan

Komposisi Jumlah Kalori (Kal) 362,00 Protein (g) 0,50 Lemak (g) 0,30 Karbohidrat (g) 86,90 Air (g) 12,00 Bdd 100,00

Sumber : Departemen Kesehatan R.I., (1996).

Blanching

Blanching adalah proses pemanasan pendahuluan yang dilakukan terhadap

buah dan sayuran sebelum bahan tersebut dikeringkan, dengan tujuan menonaktifkan enzim, membunuh mikroorganisme, mempercepat pengeringan serta dapat mempertahankan dari kerusakan karena oksidasi selama pengeringan maupun penyimpanan (Woodroof dan Luh, 1975).

Blanching dapat membuat produk hasil penggorengan menjadi lebih

seragam, absorbsi minyak oleh produk dapat berkurang karena adanya glatinisasi pati, mengurangi waktu penggorengan dan dapat memperbaiki tekstur hasil penggorengan (Fuetsel dan Kueneman, 1975). Komersial blanching dapat dilakukan pada temperatur 87,7 oC – 93,3 oC selama 18,5 menit tergantung

kondisi dari bahan (Harris dan Loseqke, 1973).

Proses pencetakan dimaksudkan untuk memperoleh bentuk dan ukuran yang lebih seragam dan lebih menarik. Keseragaman ukuran penting untuk memperoleh penampakan dan penetrasi panas yang merata sehingga memudahkan

(6)

proses penggorengan dan menghasilkan produk garing dengan warna yang lebih seragam (Muchtadi et al., 1979).

Reaksi pencoklatan

Reaksi pencoklatan adalah perubahan wana menjadi kecoklatan pada saat diolah atau selama penyimpanan yang terjadi pada bahan dan produk pangan, pembentukan warna coklat tersebut dapat dipicu oleh aktivitas enzim atau reaksi kimia. Reaksi pencoklatan terdiri dari reaksi pencoklatan enzimatis dan nom enzimatis (Feri, 2010).

1. Reaksi pencoklatan enzimatis

Pembentukan warna coklat ini dipicu oleh reaksi oksidasi yang dikatalisis oleh enzim fenol oksidase atau polifenol oksidase. Kedua enzim ini dapat mengkatalis reaksi oksidasi senyawa fenol (misalnya katekol) yang dapat menyebabkan perubahan warna menjadi coklat. Dalam bahan pangan, seperti apel, pisang dan kentang kelompok enzim oksidase tersebut dan senyawa fenol tersedia secara alami. Enzim oksidase akan reaktif dengan adanya oksigen, ketika bahan pangan tersebut terkelupas atau terpotong, maka bagian dalam permukaan akan terpapar oleh oksigen, sehingga akan memicu reaksi oksidasi senyawa fenol dan merubah permukaan bahan pangan menjadi coklat (Feri, 2010).

2. Reaksi non enzimatis

Pada umumnya ada tiga jenis reaksi pencoklatan non-enzimatis, yaitu reaksi maillard, karamelisasi dan pencoklatan akibat oksidasi dari vitamin C (Winarno, 2002).

(7)

a. Reaksi maillard

Reaksi antara gula pereduksi dan gugus amin dikenal sebagai reaksi Maillard. Warna coklat dalam reaksi maillard disebabkan oleh pembentukan melanoidin, yang merupakan kompleks molekul berberat molekul besar. Reaksi ini diawali reaksi antara grup aldehid atau keton pada molekul gula dengan grup amino bebas pada molekul protein atau asam amino membentuk glucosyl amine. Senyawa ini kemudian melalui amadori rearrangement membentuk amino-deoxy-ketose. Produk-produk amadori tidak stabil dan setelah melalui serangkaian reaksi yang kompleks menghasilkan komponen aroma dan flavor, serta pigmen coklat melanoidin (Eskin et al., 1971).

b. Karamelisasi

Gula dalam larutan sangat stabil pada pH 3 - 7. Pencairan gula atau pemanasan larutan gula dengan keberadaan katalis asam atau basa dapat menyebabkan gula mengalami karamelisasi. Karamelisasi menghasilkan warna coklat dan aroma yang disukai. Warna karamel banyak digunakan untuk mewarnai minuman cola dan makanan lain (Eskin et al., 1971).

c. Oksidasi dari vitamin C

Vitamin C merupakan suatu senyawa reduktor yang juga dapat bertindak sebagai precursor untuk pencoklatan non-enzimatis. Asam- asam askorbat berada dalam keseimbangan dengan asam dehidroaskorbat. Dalam suasana asam, cincin lakton asam dehidroaskorbat terurai secara irreversibel dengan membentuk suatu senyawa diketoglukonat (Winarno, 2002).

(8)

Natrium metabisulfit

Sulfitasi merupakan salah satu perlakuan pendahuluan pada pengolahan kerupuk. Tujuan utama dari sulfitasi adalah untuk mengurangi pencoklatan pada waktu pengolahan dan penyimpanan berikutnya. SO2 tidak dapat secara mutlak

menghentikan reaksi pencoklatan tetapi memperlambat reaksi tersebut (Hulme, 1991).

Salah satu aplikasi yang digunakan sebagai sumber sulfur dioksida adalah natrium metabisulfit. Merupakan bahan pengawet yang digolongkan ke dalam garam-garam sulfit. Natrium metabisulfit biasa digunakan pada bahan pangan untuk mencegah pencoklatan enzimatis maupun non enzimatis, sebagai pemutih, penghambat bakteri, kapang, dan khamir (Desrosier, 1988).

Natrium metabisulfit berbentuk serbuk bewarna putih mudah larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol dan berbau khas seperti gas sulfur dioksida, mempunyai rasa asam dan asin. Pada konsentrasi 200 ppm bahan pengawet ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri, kapang dan khamir (Chicester et al., 1975).

Mekanisme menghambat pertumbuhan mikroba oleh senyawa sulfur adalah dengan merusak sel mikroba, mereduksi ikatan sulfit, bereaksi dengan gugus karbonil. Molekul asam sulfit yang tidak terdisosiasi akan masuk kedalam sel mikrobia. Karena sel mikrobia pH nya netral, asam sulfit akan terdisosiasi sehingga dalam sel mikroba banyak terdapat ion H+ yang menyebapkan pH sel menjadi rendah, keadaan ini menyebabkan organ-organ sel mikroba rusak (Winarno dan Betty, 1974).

(9)

Natrium metabisulfit bersifat mengikat air dimana natrium metabiuslfit akan berikatan dengan air dimana reaksinya adalah :

Na2S2O5 + H2O 2NaHSO3

Sipayung (1982) menyebutkan bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit yang digunakan untuk mengawetkan bahan pangan kering akan cenderung mengakibatkan kadar air rendah pada bahan tersebut.

Natrium metabisulfit adalah bahan sulfitasi yang tidak karsinogenik dan telah mendapat predikat GRAS (Generally Recognized As Save) dari Food and Drugs Administration (FDA) sejak Agustus 1959. Artinya bahan pengawet ini aman untuk digunakan pada bahan pangan sesuai dengan batas konsentrasi yang diizinkan. Batas maksimum penggunaan sulfur dioksida dalam bahan makanan yang dikeringkan di Amerika Serikat yang ditetapkan FDA yaitu 200 ppm sampai 3000 ppm (Barnet, 1985).

Reaksi penguraian garam sulfit menjadi ion-ion sebagaimana tersebut dibawah digambarkan oleh (Frazier 1976) sebagai berikut :

Na2S2O5 + H2O 2NaHSO3

NaHSO3 + Na+ + HSO3

-HSO3- + H+ H2SO3

H2SO3- + H+ SO2 + H2O

Natrium metabisulfit yang diperdagangkan berbentuk kristal. Pemakaiannya dalam pengolahan bahan pangan bertujuan untuk mencegah proses pencoklatan pada buah sebelum diolah, menghilangkan bau dan rasa getir serta untuk mempertahankan warna agar tetap menarik. Natrium metabisulfit yang berlebihan akan hilang sewaktu pengeringan (Deman, 1980).

(10)

Kontrol pencoklatan

Natrium metabisulfit yang diberikan selain bertujuan mengikat air juga untuk mengontrol pencoklatan yang terjadi pada bahan, karena bahan mengandung juga gula pereduksi. Dimana gula reduksi ini bila bereaksi dengan asam amino selama pengolahan akan menimbulkan warna coklat. Bisulfit juga dapat menghambat proses pencoklatan dimana sulfit bereaksi dengan gugus aldehid atau keton sehingga reaksi antara gula reduksi dengan asam amino tidak terjadi (Apandi, 1984).

Pengeringan

Pengeringan adalah suatu metoda untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari bahan dengan cara menguapkan air tersebut dengan menggunakan energi panas. Biasanya kandungan air dikurangi sampai batas agar mikroba tidak dapat tumbuh lagi di dalamnya (Winarno et al., 1980).

Pengeringan bahan makanan dilakukan manusia sebagai usaha pengawetan dalam tahapan proses rekayasa pengolahan pangan. Pengeringan ditujukan untuk menurunkan kadar air dalam bahan pangan, sekaligus menurunkan aktivitas air. Dengan menurunnya jumlah air bebas hingga mendekati nol, maka pertumbuhan mikroorganisme, aktivitas enzim dan reaksi kimia dalam bahan makanan akan terhenti. Dampaknya, umur simpan bahan pangan akan lebih panjang (Taib et al., 1988).

Keuntungan pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dan volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengepakan dan pengangkutan, dengan demikian diharapkan biaya produksi menjadi lebih murah (Winarno, 2002).

(11)

Pengecilan ukuran akan meningkatkan luas permukaan bahan sehingga akan mempercepat proses pengeluaran air. Sebelum dikeringkan, bahan pangan sebaiknya diblansir untuk menginaktifkan enzim yang dapat menyebabkan perubahan warna pangan menjadi coklat (Buckle et al., 2010).

Mekanisme pengeringan hasil pertanian adalah dengan pemanfaatan panas, berlangsung sebagai akibat konveksi, radiasi dan konduksi. Pada batas-batas tertentu, kandungan air dapat diturunkan sehingga kualitas dari produk pertanian tersebut tetap memenuhi persyaratan seperti yang direncanakan sebelumnya. Dengan adanya pengeringan ini maka diharapkan akan menimbulkan keuntungan-keuntungan (Matondang, 1999).

Banyaknya kandungan air dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan dan aktivitas enzim, aktivitas mikroba dan aktivitas kimiawi, yaitu terjadi ketengikan dan reaksi non enzimatis, sehingga menimbulkan sifat-sifat organoleptik, penampakan, tekstur dan cita rasa serta nilai gizi yang berubah, dimana kadar air pada bahan pangan dapat diukur dengan berbagai cara. Metoda yang umum digunakan untuk pengukuran kadar air di laboratorium adalah dengan cara pemanasan dalam oven atau dengan cara destilasi (Syarief dan Hariyadi, 1993).

Pada waktu pengeringan masih berlangsung proses enzimatis. Pengeringan dengan oven lebih baik ditinjau dari segi kecepatan pengeringan dan bahaya serangan jamur pada waktu pengeringan (Tjiptadi, 1982).

Pengeringan dengan alat mekanis (pengeringan buatan) yang menggunakan tambahan panas memberikan keuntungan diantaranya, tidak tergantung cuaca, kapasitas pengeringan dapat dipilih sesuai dengan yang

(12)

diperlukan, tidak memerlukan tempat yang luas, serta kondisi pengeringan dapat dikontrol. Penegeringan ini memerlukan energi untuk memanaskan alat pengering, mengimbangi radiasi panas yang keluar dari alat dan memanaskan bahan (Kartasapoetra, 1994).

Perubahan kimiawi bahan akibat pengeringan

Pada umumnya bahan pangan yang dikeringkan berubah warnanya menjadi coklat. Ini disebabkan oleh reaksi browning non enzimatis antara asam organik dengan gula pereduksi dan antara asam amino dengan gula pereduksi. Reaksi asam amino dengan gula pereduksi dapat menurunkan nilai gizi yang terkandung didalamnya. Case hardening dapat disebabkan oleh adanya perubahan-perubahan kimia tertentu, misalnya terjadi penggumpalan protein pada permukaan karena panas atau terbentuknya dekstrin dari pati (Winarno et al., 1980).

Air dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dari berbagai komponen di samping ikut sebagai bahan pereaksi. Bentuk air dapat ditemukan sebagai air terikat dan air bebas. Air bebas dapat mudah hilang apabila terjadi penguapan atau pengeringan, sedangkan air terikat apabila terjadi penguapan atau pengeringan tetap menempel pada bahan pangan tersebut (Purnomo, 1995).

Gambar

Tabel 1. Komposisi kimia rebung per 100 gram bahan
Tabel 2. Komposisi kimia kerupuk per 100 gram bahan
Tabel 3. Komposisi kimia tepung terigu per 100 gram bahan
Tabel 4. Komposisi kimia tepung tapioka per 100 gram bahan

Referensi

Dokumen terkait

Dari 129 orang pengusaha mikro konveksi di Kelurahan Purwoharjo, hanya dua pengusaha yang berada di luar dusun Serdadi yaitu di dusun Balutan (RW 06).. Lokasi dusun Serdadi cukup

Adapun rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut: (1) Bagaimana penerapan notifikasi atas akuisisi sebagai upaya pencegahan praktik monopoli dan persaingan usaha

Dengan demikian berfikir secara induktif merupakan suatu rekayasa dari berbagai macam kasus yang unik atau khusus yang kemudian dikembangkan menjadi suatu penalaran tunggal

Pembelajaran selalu mempengaruhi bentuk metode yang dipakai oleh seorang guru, Pada Observasi yang peneliti lakukan di kelas VII-C dengan guru bapak Samsul Hadi, peneliti

Peningkatan Kualitas Pendidikan Dan Pelatihan Di Batalyon Artileri M edan 11 / Kostrad M agelang masih belum optimal karena kegiatan protokoler cenderung mengganggu suatu perencanaan

Dengan mencermati isi dari piagam Madinah, bahwasanya piagam tersebut berisi rumusan yang jelas tentang hak-hak dan kewajiban orang Islam di antara mereka sendiri, serta hak-hak

 Pengendalian adalah pengukuran dan perbaikan terhadap pelaksanaan kerja bawahan, agar rencana-rencana yang telah dibuat untuk mencapai tujuan perusahaan dapat terselenggara

Laporan Keuangan ini telah disajikan sesuai dengan Prinsip Akuntansi yang berlaku umum di Indonesia, yaitu Standar Akuntansi Keuangan, peraturan Badan Pengawasan Pasar Modal dan