• Tidak ada hasil yang ditemukan

DOKUMENTASI DAN INFORMASI HUKUM, BAGIAN HUKUM, BIRO HUKUM DAN HUMAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DOKUMENTASI DAN INFORMASI HUKUM, BAGIAN HUKUM, BIRO HUKUM DAN HUMAS"

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 1

Pendahuluan

1.1.

Latarbelakang Permasalahan

Pertanyaan yang paling mendasar yang perlu dijawab adalah: apa kontribusi teknologi dalam negeri terhadap pembangunan nasional? Jawaban atas pentanyaan ini akan menjadi tolok ukur bagi perkembangan Sistem Inovasi Nasional (SINas) di setiap negara, termasuk Indonesia.1 Akan tetapi untuk

menjawab pertanyaan ‘sederhana’ ini, maka perlu didahului dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang anatomi permasalahannya.

Sesungguhnya banyak kelembagaan di Indonesia yang melakukan kegiatan riset. Setiap institusi pendidikan tinggi wajib melakukan kegiatan riset sebagaimana amanah Tridharma Perguruan Tinggi. Tiga tugas pokok institusi pendidikan tinggi negeri maupun swasta adalah melakukan kegiatan pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Selain instansi pendidikan tinggi, di Indonesia juga terdapat banyak lembaga riset pemerintah dan non-pemerintah.2

Keberadaan lembaga riset yang banyak, aktivitas riset yang rutin dan masif, serta dukungan pembiayaan dari berbagai sumber ternyata belum menjadi jaminan bahwa akan mampu menghasilkan teknologi yang secara langsung dapat ditranslasi menjadi produk barang dan/atau jasa yang bermanfaat bagi masyarakat. Faktanya, sampai saat ini masih sangat sedikit teknologi domestik yang dihasilkan oleh akademisi, peneliti, atau perekayasa di dalam negeri yang diadopsi oleh industri untuk menghasilkan produk barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan publik. Tidak banyak juga teknologi yang dikembangkan di dalam negeri yang digunakan oleh masyarakat, maupun oleh berbagai lembaga pemerintah, baik untuk peningkatan kualitas pelayanan publik maupun sebagai landasan pembuatan kebijakan dan regulasi.

Rendahnya adopsi teknologi tersebut antara lain berakar pada kenyataan bahwa intensitas dan kualitas komunikasi dan interaksi antara lembaga riset atau perguruan tinggi (sebagai aktor pengembang teknologi) dengan industri atau pengguna teknologi lainnya yang masih sangat terbatas. Hal ini mengakibatkan ketidakpaduan (mismatch) antara teknologi yang dihasilkan dengan kebutuhan

1 Sistem Inovasi Nasional adalah sistem aliran teknologi dan informasi antara

kelembagaan pengembang-pengguna teknologi, didukung oleh kelembagaan terkait lainnya, yang menjadi kunci dari proses inovatif pada suatu negara.

2 Dibawah koordinasi Kementerian Negara Riset dan Teknologi terdapat 7

kelembagaan yang tugas pokoknya menyelenggarakan riset atau kegiatan yang terkait dengan implementasi hasil riset. Kelembagaan riset tersebut berstatus sebagai Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK). Selain LPNK tersebut, pada masing-masing kementerian teknis juga terdapat Badan Penelitian dan Pengembangan masing-masing. Kelembagaan riset non-pemerintah terdapat di beberapa industri besar, selain juga ada yang berupa lembaga riset independen yang diselenggarakan oleh masyarakat.

(2)

industri atau para pengguna teknologi lainnya. Masalah ini merupakan masalah yang paling serius dan mendasar (fundamental problem) dalam upaya mewujudkan

SINas.

Berfungsinya SINas tidak hanya membutuhkan: [1] keberadaan lembaga pengembang teknologi yang produktif dan berkualitas;3 [2] industri yang dikelola

dengan baik dan didukung tenaga kerja terampil dan/atau terdidik yang produktif serta kelimpahan bahan baku; dan [3] fasilitasi aktif dari pemerintahan serta kebijakan dan regulasi yang mendukung pewujudan ekosistem yang kondusif; tetapi juga membutuhkan [4] niat dan motivasi yang tinggi antara pihak pengembang dan pengguna teknologi untuk berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain berdasarkan asas kesetaraan dan saling menguntungkan (mutualistik).

Paradigma yang lalu (yang diyakini keliru) adalah menempatkan pihak pengembang teknologi (institusi pendidikan tinggi dan lembaga riset) sebagai penjuru SINas, yang secara dominan mewarnai ‘genre’ teknologi yang dikembangkan. Pendekatan yang lebih dominan bersifat supply-push ini ternyata

gagal dalam mempersuasi industri dan pihak pengguna lainnya untuk mengadopsi teknologi hasil riset oleh perguruan tinggi maupun lembaga riset tersebut.

Kegagalan paradigma yang lalu ini perlu disikapi secara cerdas dan objektif, dengan mengesampingkan kepentingan sektoral ataupun profesi. Tentu perlu telaah komprehensif terhadap anatomi permasalahan dalam implementasi paradigma supply-push yang kurang optimal tersebut, selain juga perlu dilakukan

pencermatan yang matang terhadap alternatif-alternatif untuk memperbaiki paradigma lama tersebut.

Kenyataan ini menjadi argumen yang sangat kuat untuk melakukan penelaahan terhadap posisi SINas Indonesia saat ini dan mencari alternatif pendekatan yang tepat agar pola hubungan pengembang-pengguna teknologi dapat efektif, efisien, dan produktif menghasilkan produk barang dan/atau jasa yang dibutuhkan rakyat Indonesia, yang berarti sekaligus secara nyata akan memberikan kontribusi terhadap pembangunan (perekonomian) nasional.

Upaya mengubah paradigma yang lama dengan paradigma yang baru (untuk pola dan arah hubungan antara pengembang dan pengguna teknologi serta pihak-pihak lain yang terkait), secara substansial dapat disebut sebagai upaya reorientasi arah dan pola hubungan antar-aktor dalam SINas. Diharapkan dengan melakukan reorientasi SINas, maka teknologi domestik yang dihasilkan akan

3 Kualitas kelembagaan pengembang teknologi dilihat dari kualitas akademik

sumberdaya manusia (SDM) yang mengawakinya, ketersediaan sarana dan prasarana riset yang canggih dan sesuai dengan kebutuhan fokus riset yang menjadi tugas pokoknya, ketersediaan dan/atau kemudahan mengakses sumber informasi ilmiah, dan fasilitas pendukung lainnya untuk menciptakan suasana akademik (academic environment) yang

kondusif, serta kemampuannya dalam mendifusikan teknologi yang dihasilkan kepada pengguna potensial.

(3)

lebih berpeluang untuk diadopsi oleh para pengguna, terutama industri dan pelaku produksi lainnya di dalam negeri. Resultan dari adopsi teknologi untuk produksi barang dan/atau jasa ini adalah peningkatan kontribusi nyata teknologi terhadap pembangunan nasional.

Satu hal yang sangat fundamental yang perlu reorientasi adalah anggapan bahwa masalah SINas merupakan permasalah teknologi yang berkaitan dengan ekonomi (economically-related technological problems), padahal sesungguhnya masalah SINas

adalah permasalahan ekonomi yang butuh dukungan teknologi untuk memecahkannya (technologically-related economical problems).

Saat ini, semakin bulat keyakinan dunia (termasuk Indonesia tentunya) bahwa kemajuan perekonomian sangat tergantung pada kinerja SINas-nya, yang pada prinsipnya adalah tergantung pada kapasitas negara dalam mengembangkan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan nyata dan sesuai pula dengan kapasitas adopsi dari para pengguna teknologi. Untuk kasus Indonesia, wujud nyata telah tumbuhkan kesadaran akan pentingnya peran teknologi dalam pembangunan perekonomian nasional tersurat dari ditetapkannya pengembangan sumberdaya manusia (SDM) dan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) sebagai salah satu dari tiga strategi utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), disamping dua strategi utama lainnya, yakni pengembangan potensi ekonomi melalui enam koridor yang telah ditetapkan dan memperkuat konektivitas nasional.4

Kesesuaian teknologi dengan kebutuhan nyata membuka peluang lebih lebar untuk teknologi tersebut dapat diadopsi, namun belum sepenuhnya menjamin bahwa SINas akan otomatis terbangun. Ekosistem yang kondusif sangat dibutuhkan untuk tumbuh-kembang SINas, terutama dalam bentuk kebijakan dan regulasi yang akomodatif, yang memudahkan para aktor SINas untuk berkomunikasi dan berinteraksi serta juga memudahkan proses adopsi teknologi domestik oleh para pengguna di dalam negeri.

Arahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono5 untuk mengutamakan upaya

pemenuhan kebutuhan (demand) pasar domestik menumbuhkan semangat untuk

lebih gigih mewujudkan SINas. Penduduk Indonesia yang saat ini (BPS, 2010) telah mencapai 237 juta, merupakan pasar yang sangat besar dan menjadi target banyak negara asing dalam memasarkan produknya. Para pengembang teknologi dan industri dalam negeri harus bahu membahu membangun sinergi untuk tidak membiarkan pasar domestik Indonesia dibanjiri oleh produk dan/atau jasa dari negara-negara asing.

4 Untuk pelaksanaan MP3EI, telah pula diterbitkan Perpres 32 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) yang menetapkan tiga kelompok kerja (Pokja), yakni: Pokja Sinkronisasi dan Perbaikan Regulasi, Pokja Percepatan Pembangunan Infrastruktur, dan Pokja SDM dan Iptek. Pokja SDM dan Iptek diketuai oleh Menteri Pendidikan Nasional dan wakil ketuanya adalah Menteri Negara Riset dan Teknologi, dengan anggota dari kementerian PPN/Bappenas, Ristek, Diknas, Nakertrans, Keuangan, UKM dan Koperasi, serta dari anggota KIN, Kadin, dan ketua asosiasi profesi dan usaha terkait.

(4)

Sinergi pengembang-pengguna teknologi dalam penguatan SINas merupakan aksi yang tepat dan sepatutnya dilakukan. Akan sangat ideal jika Pemerintahan mampu mewujudkan ekosistem yang kondusif melalui regulasi dan kebijakan yang tepat, serta konsisten dalam menyelenggarakan kepemerintahan yang baik (good governance), sehingga tumbuh-kembang SINas dapat berlangsung secara

sehat, produktif, dan berkelanjutan.

1.2.

Maksud dan Tujuan Penulisan

Terkait dengan performa SINas Indonesia saat ini, segudang pertanyaan bisa muncul dan perlu jawaban. Pertanyaan yang fundamental dan filosofis perlu ditranslasi menjadi pertanyaan-pertanyaan teknis dan operasional agar jawabannya juga menjadi lebih dapat ditindaklanjuti dalam bentuk aksi nyata yang diharapkan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan nyata yang menjadi batu sandungan dalam upaya mewujudkan SINas yang produktif dan menyejahterakan rakyat.6 Tidak hanya menghasilkan jawaban teoritis yang

hanya mengundang perdebatan tak berujung dan membiarkan SINas hanya menjadi sosok yang abstrak.

SINas harus dibumikan menjadi sesuatu yang nyata.7 Hanya jika SINas dibangun

berbasis pada kebutuhan dan persoalan nyata maka teknologi akan berpeluang untuk berkontribusi terhadap pembangunan nasional. Berbagai persoalan terkait rendahnya kontribusi teknologi di Indonesia saat ini diyakini berakar pada tidak relevannya teknologi yang dikembangkan dengan kebutuhan nyata yang dihadapi rakyat, bangsa, dan negara ini.

Persoalan terkait dengan upaya mewujudkan SINas yang produktif dan menyejahterakan rakyat tentu tidak dapat disederhanakan secara berlebihan (over-simplified) hanya menjadi persoalan relevansi teknologi. Disadari betul

bahwa SINas merupakan sistem yang sangat kompleks. Banyak aktor yang ikut berperan, dengan derajat dan jenis partisipasi yang berbeda tentunya. Banyak faktor yang mempengaruhi ekosistem dimana SINas ditumbuhkan, termasuk ekonomi, sosio-kultural, hukum, dan politik. Interaksi dari berbagai aktor dan faktor-faktor yang ikut berpengaruh tersebut yang akan membentuk sosok SINas. Selain kompleks, SINas juga sensitif terhadap dinamika peran para aktor dan faktor-faktor pembentuk ekosistem tumbuhnya.

Maksud Penulisan. Memahami persoalan SINas yang sangat kompleks tersebut, maka penulisan dokumen ‘Cetak Biru’ ini dimaksudkan untuk:

[1] Mengurai kompleksitas SINas agar dapat lebih mudah dipahami (telaah teoritis);

6 Perlu selalu diingat bahwa konsitusi UUD 1945 jelas mengamanahkan bahwa

pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi harus bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan kemajuan peradaban bangsa (Pasal 31 ayat 5).

7 Arahan Menteri Negara Riset dan Teknologi pada Rapat Pimpinan tanggal 25

Oktober 2010 mengingatkan bahwa ‘teknologi perlu dikembangkan berdasarkan realita, bukan idealita’.

(5)

[2] Memahami realita sosok SINas Indonesia saat ini;

[3] Mencoba merajut sosok ideal SINas Indonesia yang lebih produktif dan menyejahterakan rakyat;

[4] Mengidentifikasi dan mengantisipasi dinamika perubahan faktor-faktor yang berpotensi mempengaruhi ekosistem SINas (lingkungan strategis);

[5] Mengembangkan konsepsi SINas Indonesia yang realistis yang diyakini akan mampu diaktualisasikan; dan

[6] Memformulasikan rekomendasi untuk panduan operasional dalam upaya mewujudkan SINas Indonesia sesuai dengan yang diharapkan.

Tujuan Penulisan. Penulisan dokumen cetak biru ini bertujuan untuk digunakan sebagai bahan referensi akademik yang menjadi dasar pertimbangan dalam perumusan kebijakan dan penyusunan regulasi yang terkait dengan upaya mewujudkan SINas Indonesia yang produktif dan menyejahterakan rakyat. Sebagai referensi akademik, dokumen cetak biru ini diharapkan mampu memberikan informasi yang komprehensif, mutakhir, dan relevan dengan kondisi Indonesia, serta memberikan kerangka konsepsi yang objektif dan mungkin-dicapai (achievable) dengan sumberdaya yang dimiliki Indonesia.

Karena tujuannya adalah untuk menjadi landasan dalam pembuatan kebijakan dan/atau regulasi, maka dokumen cetak biru ini walaupun kental berbasis akademik, namun diupayakan agar mudah dan enak dibaca dengan gaya bahasa dan penggunaan terminologi yang lebih bersahabat (reader-friendly), terutama bagi

para pembuat kebijakan dan regulasi.

1.3.

Sistematika Penulisan

Sesuai dengan maksud penulisan dokumen cetak biru ini dan tujuan yang hendak dicapai, maka sistematika penulisan dirinci sebagai berikut:

Bab Judul dan Deskripsi Substansi

I Pendahuluan

Mencakup tentang latar belakang penulisan dokumen, maksud dan tujuan penulisan dokumen, serta rincian sistematika penulisan dokumen.

Latar Belakang memberikan informasi awal tentang persoalan pokok yang dihadapi terkait dengan rendahnya kontribusi teknologi terhadap pembangunan nasional Indonesia, argumen tentang pentingnya membangun SINas yang tepat bagi Indonesia dalam rangka meningkatkan kontribusi teknologi, terutama untuk meningkatkan produktivitas nasional dan kesejahteraan rakyat;

(6)

Maksud dan tujuan menjelaskan tentang niat yang terkandung dalam penyusunan dokumen cetak biru ini dan kemanfaatan yang dapat diperoleh publik dengan tersedianya dokumen ini;

Sistematika menjelaskan tentang tata urut penulisan dokumen yang sekaligus juga merinci tentang substansi isi dokumen.

II Teori Sistem Inovasi Nasional

Mencakup uraian tentang beberapa konsepsi penting termasuk makna inovasi, pendekatan sistem, SINas, dan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-base economy); para aktor inovasi nasional yang terdiri dari

aktor pengembang, pengguna, dan aktor penting lainnya yang ikut menentukan dinamika ekosistem inovasi; dinamika interaksi antar-aktor; dan upaya penciptaan ekosistem yang kondusif untuk tumbuh kembang SINas.

Konsepsi SINas perlu didefinisikan dan dideskripsikan dengan jelas, tegas, dan mutakhir untuk menghindari kerancuan pemahaman antara berbagai aktor yang terlibat langsung, pihak-pihak yang terkait, dan semua individu yang menaruh perhatian tentang SINas. Kesamaan pemahaman tentang konsepsi SINas dan isu/subjek pokok yang terkait akan memudahkan dan mengefektifkan komunikasi antar-pihak;

Aktor inovasi paling tidak terdiri dari para pengembang teknologi (perguruan tinggi, lembaga riset dan pengembangan), pengguna teknologi (industri, masyarakat, dan pemerintah), dan berbagai pihak lainnya yang berperan sebagai mediator, fasilitator, dan regulator;

Interaksi antar-aktor inovasi mencakup komunikasi dan interaksi antara pengembang-pengguna teknologi sehingga dapat secara produktif menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan rakyat dan/atau negara;

Ekosistem inovasi merupakan kondisi atau lingkungan dimana suatu sistem inovasi tumbuh dan berkembang. Keberhasilan (atau ketidakberhasilan) SINas sebagai suatu sistem dalam meningkatkan peran dan kontribusi teknologi terhadap pembangunan nasional merupakan resultan dari interaksi antara aktor-aktor inovasi dengan ekosistem dimana SINas dibangun. Unsur pembentuk ekosistem inovasi dapat berwujud (infrastruktur fisik) maupun tak-berwujud (intangible), misalnya regulasi.

III Potret SINas Indonesia

Untuk menyajikan realita potret SINas Indonesia saat ini, maka akan diulas tentang kinerja perekonomian nasional; dilakukan analisis tentang ekosistem pembangunan nasional, terutama

(7)

kebijakan-kebijakan yang secara langsung mempengaruhi tumbuh-kembang SINas, termasuk kebijakan makro ekonomi, perindustrian dan perdagangan, pendidikan, ketenagakerjaan, dan pembangunan infrastruktur sosial; dan dilakukan pula identifikasi permasalahan dan analisis efisiensi sistem inovasi terkait orientasi pembangunan SINas, peran dan kontribusi aktor inovasi, ketersediaan dan kesiapan infrastruktur inovasi, dan peran pemerintah dalam skenario pengembangan SINas. • Kinerja Ekonomi dan Inovasi mencakup indikator utama kemajuan

perekonomian nasional dan indikator inovasi yang diharapkan berdampak positif terhadap upaya menyejahterakan rakyat;

Analisis Ekosistem SINas dilakukan pencermatan terhadap berbagai regulasi dan kebijakan yang terkait dan akan mempengaruhi kinerja SINas, termasuk kebijakan ekonomi makro, industri dan perdagangan, pendidikan, ketenagakerjaan, dan infrastruktur sosial;

Isu Pokok SINas Indonesia yang perlu mendapat perhatian antara lain adanya perbedaan mindset antara akademisi, bisnis, dan pemerintah; keterbatasan komunikasi antara pelaku inovasi, rendahnya kapasitas adopsi teknologi, dan peran lembaga intermediasi yang belum optimal;

Permasalahan yang Dihadapi perlu secara cermat diidentifikasi sebagai langkah awal sebelum kegiatan-kegiatan peningkatan kinerja SINas diformulasikan. Permasalahan ini termasuk keengganan akademisi untuk keluar dari comfort zone-nya dan

kebutuhan teknologi yang rendah dari kalangan bisnis, terutama karena lebih banyak bisnis di Indonesia adalah perdagangan, bukan industri manufaktur;

Pembangunan SINas Saat Ini dicerminkan dari hasil evaluasi dari berbagai lembaga internasional yang independen dan berbagai sumber data dalam negeri.

IV Menuju SINas yang Diharapkan

SINas yang diharapkan adalah merupakan sistem yang mampu memposisikan teknologi domestik sebagai faktor dominan dalam mendukung perkembangan perekonomian nasional.

Reorientasi Arah dan Prioritas Riset, kesesuaian teknologi yang dikembangkan dengan kebutuhan pengguna (demand-driven)

merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam membangun SINas. Selain itu, dalam rangka membangun kemandirian bangsa, teknologi yang dikembangkan harus pula sesuai dengan potensi sumberdaya nasional;

(8)

mendorong pengembangan SDM yang relevan dengan kebutuhan, membangun semangat kebersamaan antar aktor inovasi, secara bertahan mengubah minset pada pengembang teknologi agar lebih berorientasi pada kebutuhan nyata dan lebih sensitif terhadap persoalan yang dihadapi pengguna teknologi;

Peningkatan Produktivitas dan Relevansi Teknologi Domestik menjadi isu yang sangat penting. Namun demikian, teknologi yang relevan saja memang belum cukup menjadi jaminan bahwa teknologi tersebut akan diadopsi pengguna, karena masih akan tergantung pada kapasitas adopsi pengguna teknologi; peranan lembaga intermediasi akan sangat berat jika teknologi yang dikembangkan tidak relevan dengan kebutuhan dan tidak sepadan dengan kapasitas adopsi pengguna;

Ekosistem Inovasi yang Kondusif dibutuhkan untuk tumbuh-kembang SINas. Ekosistem SINas yang kondusif dapat diwujudkan melalui kebijakan dan regulasi yang tepat di berbagai sektor yang secara langsung mempengaruhi kinerja para aktor inovasi dan interaksi antar-aktor tersebut;

Kontribusi terhadap Pembangunan Nasional pada akhirnya akan dievaluasi berdasarkan kontribusi SINas terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat, disamping sebagai sasaran antaranya adalah pertumbuhan ekonomi, terbangunnya masyarakat berbasis pengetahuan, dan stabilitas keamanan nasional.

V Perubahan Lingkungan Strategis

Walaupun konsepsi dasarnya sama, namun sosok SINas akan bersifat dinamis menyesuaikan dengan dinamika perubahan lingkungan strategis, baik pada tingkat global, regional, maupun nasional.

Dinamika Lingkungan Global yang paling penting adalah semakin kentaranya kecenderungan untuk mendorong pengembangan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan nyata, sehingga lebih berpeluang untuk digunakan dalam proses produksi barang dan/atau jasa. Selanjutnya secara nyata berkontribusi terhadap pertumbuhan perekonomian.

Dinamika Lingkungan Regional ASEAN memperlihatkan bahwa posisi Indonesia secara relatif lebih lamban kemajuan pembangunan ipteknya dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Oleh sebab itu, perlu percepatan dalam mewujudkan dan memperkuat SINas Indonesia yang dimulai dengan perubahan mindset para

pengembang teknologi dan meningkatkan peran dunia usaha dalam pembangunan iptek dan penguatan SINas.

Dinamika Lingkungan Nasional pada tahun 2011 ini ditandai dengan diluncurkannya MP3EI yang menempatkan pembangunan

(9)

iptek sebagai salah satu strategi utama untuk percepatan dan perluasan pembanguan ekonomi Indonesia. Pengakuan atas potensi peran iptek ini diharapkan dapat menjadi momentum yang tepat untuk memperkuat SINas.

VI Konsepsi Pembangunan Sistem Inovasi Nasional

Pembangunan SINas Indonesia sebagaimana yang diamanahkan konstitusi adalah untuk menyejahterakan rakyat dan meningkatkan peradaban bangsa. Oleh sebab itu, ada beberapa aksi yang perlu direalisasikan yakni:

Membangun Inovasi sebagai Sistem, dengan demikian upaya yang dilakukan tidak hanya melakukan perkuatan masing-masing lembaga inovasi tetapi yang lebih utama adalah meningkatkan intensitas interaksi dan komunikasi antar-aktor inovasi, sehingga aliran informasi kebutuhan dan pasokan teknologi yang relevan dan sesuai kapasitas adopsi pengguna dalam berlangsung secara berkesinambungan dan progresif;

Revitalisasi Lembaga Pengembang Teknologi ditujukan untuk memantabkan kapasitasnya dalam pelaksanaan aktivitas riset dan pengembangan, sekaligus meningkatkan kapasitasnya dalam mengakses informasi, mitra kerja potensial, dan sumber pembiayaan serta kapasitasnya dalam mendifusikan teknologi yang dihasilkan; • Peningkatan Kapasitas Adopsi Lembaga Pengguna Teknologi

merupakan salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kontribusi teknologi dalam berbagai sektor pembangunan nasional, terutama tentunya untuk memacu pertumbuhan ekonomi;

Peningkatan Peran Lembaga Intermediasi dioptimalisasi dengan memberikan peran untuk mengidentifikan kebutuhan dan persoalan yang dihadapi para pengguna teknologi, selain peran yang selama ini sudah dimainkan, yakni memasarkan teknologi yang dihasilkan oleh lembaga pengembang;

Penyiapan Kawasan untuk Memfasilitasi Interaksi Antar-aktor Inovasi pada dasarnya merupakan upaya mendorong terbangunan Science and Technology Park (STP). Untuk kasus Indonesia, skenario yang akan diusung adalah merevitalisasi kawasan Puspiptek Serpong dengan menghadirkan lembaga intermedia dan meningkatkan intensitas kolaborasi dengan dunia usaha;

Penumbuh-kembangan Pusat Unggulan yang dapat mendorong percepatan proses penguatan SINas. Pusat unggulan yang didorong untuk tumbuh adalah lembaga atau konsorsium yang fokus pada satu isu pokok yang strategis untuk dijadikan sasaran bersama dalam rangka pengembangan teknologi yang secara nyata

(10)

berkontribusi terhadap percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi nasional;

Mendorong Pembentukan Konsorsium Inovasi yang dapat menjadi model implementasi SINas yang efektif dan produktif dengan menggabungkan lembaga pengembang dan pengguna teknologi, yang dapat pula dilengkapi dengan lembaga intermediasi atau lembaga penunjang lainnya sesuai dengan isu yang menjadi sasarannya;

Revitalisasi Dewan Riset Nasional sebagai lembaga nonstruktural yang sangat potensial untuk ikut berkontribusi dalam pembangunan SINas dirasakan perlu dan mendesak, dimana proses revitalisasi ini dimulai dengan perbaikan komposisi keanggotaannya agar representasi dari komunitas pengembang sebanding dengan dari komunitas pengguna teknologi, ditambah dengan perwakilan dari lembaga intermediasi dan lembaga penunjang lainnya yang strategis peranannya dalam mendukung SINas;

Sinkronisasi dan Perbaikan Regulasi yang dianggap mendesak adalah revisi UU18/2002 atau pebuatan Undang-Undang Sistem Inovasi Nasional, serta juga penyempurnaan peraturan pemerintah turunan dari UU18/2002, terutama PP35/2007 yang telah lama dianggap kurang efektif jika tidak dilengkapi dengan peunjuk teknisnya dari Kementerian Keuangan;

Berbasis Sumberdaya dan Memenuhi Kebutuhan Nasional merupakan ciri SINas yang perlu diprioritaskan untuk dibina dalam rangka membangun kemandirian bangsa, meningkatkan nilai tambah komoditas yang dihasilkan Indonesia, dan membuka kesempatan kerja bagi tenaga kerja Indonesia.

VII Rangkuman dan Rekomendasi

Merupakan bagian akhir dokumen yang menyajikan rangkuman terkait dengan unsur dan isu penting dalam membangun SINas serta rekomendasi kebijakan dan aksi untuk mewujudkan SINas Indonesia yang produktif dan menyejahterakan rakyat.

(11)

Bab 2

Teori Sistem Inovasi Nasional

2.1. Konsepsi Sistem Inovasi Nasional

Memberikan pemahaman yang tepat tentang terminologi dasar dan konsepsi pokok merupakan langkah awal yang sangat strategis dan penting untuk dilakukan, terutama untuk sebuah dokumen yang diproyeksikan untuk digunakan sebagai acuan dalam memformulasikan kebijakan publik dan/atau regulasi yang secara legal sifatnya mengikat semua pihak.

Urgensi memberikan pemahaman yang tepat ini menjadi bertambah ketika pokok bahasannya terfokus pada inovasi, karena kata inovasi sudah sangat populer, digunakan dalam berbagai komunitas, dikaitkan dengan banyak aspek kehidupan, tetapi dengan interpretasi yang sangat variatif. Rentang interpretasi itu mulai dari yang sangat ‘longgar’, yakni inovasi dipadankan sebatas sesuatu yang berbeda (dari yang umumnya sudah diketahui) sampai ke definisi akademik yang lebih teknis dan spesifik. Keadaan menjadi lebih runyam karena di kalangan akademik pun, definisi inovasi masih beragam. Oleh sebab itu, perlu penegasan tentang apa yang dimaksud dengan inovasi yang digunakan dalam dokumen cetak biru Sistem Inovasi Nasional ini.

Ketika yang dibahas adalah SINas, maka pemahaman tentang makna ‘sistem’ juga perlu dimantapkan. Membedah SINas harus menggunakan pisau analisis yang sesuai. Pendekatan sistem diperlukan dalam menganalisis maupun dalam merancang SINas yang cocok. Oleh sebab itu, perlu pemahaman yang tepat tentang konsepsi pendekatan sistem. SINas sebagai suatu sistem yang kompleks tidak bisa dianalisis dengan cara memutilasi komponen-komponennya untuk ditelaah secara terpisah; sebaliknya juga tidak bisa dirancang komponen-komponennya secara parsial baru kemudian dirajut menjadi SINas. Interaksi dinamis antar-aktor, interaksi antara aktor inovasi dengan ekosistemnya, serta dinamikan dan kontinyuitas sirkulasi aliran informasi kebutuhan dan pasokan teknologi merupakan kesatuan utuh yang membentuk SINas.

SINas secara tersurat mengindikasikan bahwa sistem inovasi yang dimaksud berada pada level negara. Namun masih perlu dijelaskan bahwa sistem dimaksud bersifat sentralistik menjadi sebuah sistem tunggal yang besar dan kompleks, atau terdiri dari banyak sub-sistem sesuai dengan karakteristik persoalan dan potensi sumberdaya masing-masing satuan wilayah dalam suatu negara yang diikat oleh satu tujuan kolektif, misalnya untuk menyejahterakan rakyat. Sosok SINas Indonesia yang akan diwujudkan tentu perlu dijelaskan kepada publik agar publik dapat secara nyata, efektif, dan efisien memberikan kontribusinya.

SINas merupakan simpul pengikat antara teknologi dan ekonomi. Pengembangan teknologi dalam kerangka SINas dirancang agar dapat memberikan kontribusi nyata terhadap pertumbuhan perekonomian nasional. Para ekonom era modern yakin bahwa di saat sekarang dan di masa yang akan

(12)

datang mesin utama yang akan mendorong perkembangan perekonomian suatu negara adalah tingkat penguasaan dan aplikasi dari teknologi yang dikuasai tersebut. Oleh sebab itu, pembangunan perekonomian harus berbasis pada pengetahuan (knowledge-based economy, disingkat KBE), tidak dapat lagi hanya

dengan mengandalkan kelimpahan sumberdaya alam.

Pengertian inovasi, konsepsi tentang pendekatan sistem, SINas, dan KBE selanjutnya akan ditelaah secara lebih komprehensif, serta akan pula diberi penegasan pada bab ini tentang pengertian dan konsepsi dasar yang digunakan dalam dokumen cetak biru ini.

Inovasi. Inovasi merupakan sebuah kata yang saat ini sedang ‘naik daun’. Semua komponen masyarakat menggunakan kata ini baik dalam komunikasi sosial maupun pada forum yang lebih formal. Persoalannya adalah walaupun masing-masing pihak menggunakan kata yang sama, namun sangat mungkin bahwa pihak-pihak tersebut mempunyai pemahaman yang berbeda tentang inovasi. Inovasi diadopsi dari Bahasa Latin ‘innovatus’ yang berarti memperbarui. Pada

awalnya inovasi diartikan sebagai suatu proses untuk memperbarui sesuatu yang sudah ada atau menghasilkan sesuatu yang dianggap baru. Untuk melakukan suatu pembaruan berarti seseorang perlu mengubah caranya dalam membuat keputusan, melakukan sesuatu dengan metoda yang berbeda, atau memilih sesuatu yang diluar norma yang berlaku.

Inovasi dapat dimaknai sebagai upaya mengubah nilai-nilai yang selama ini telah menjadi landasan dari suatu sistem. Jika suatu sistem berubah, maka sangat mungkin akan membuka peluang untuk menghasilkan sesuatu yang berbeda, atau sesuatu yang sama sekali baru. Inovasi dapat berkaitan dengan penambahan atas sesuatu yang telah ada, memunculkan unsur yang sama sekali baru, atau melakukan perubahan cara berpikir yang radikal dan revolusioner. Perubahan tersebut dapat terlihat dari produk yang dihasilkan, proses untuk menghasilkan produk tersebut, atau struktur dan fungsi organisasi yang berperan dalam proses produksinya.

Saat ini, inovasi telah menjadi topik yang penting dalam berbagai bidang ilmu, termasuk ekonomi, bisnis, desain, teknologi, engineering, dan sosiologi. Dalam perspektif ekonomi, inovasi harus menghasilkan nilai tambah atau peningkatan produktivitas. Walaupun inovasi lebih sering dikaitkan dengan produk yang dihasilkan, namun dalam perspektif ekonomi, proses untuk menghasilkan produk tersebut juga sama pentingnya. Proses yang dimulai dari ide, kemudian ditransformasi menjadi sesuatu yang bermanfaat.

Inovasi sering dicampur-aduk pengertiannya dengan invensi. Kedua terminologi ini sebetulnya berbeda, invensi adalah proses atau produk baru yang secara nyata berbeda atau sama sekali baru dibandingkan dengan proses atau produk serupa yang telah ada; sedangkan inovasi lebih dilihat dari perspektif kemanfaatan (ekonomi) dari proses dan produk baru yang dihasilkan tersebut.

Ada perumpamaan yang menarik untuk membedakan antara invensi dan inovasi. Invensi merupakan proses konversi uang menjadi ide; sedangkan inovasi

(13)

mengubah ide menjadi uang. Inovator menghasilkan keuntungan finansial dari hasil karyanya; sedangkan inventor menemukan sesuatu yang baru, namun belum tentu dapat menghasilkan uang dari hasil temuannya tersebut.

World Bank (2010) menyatakan bahwa “what is not disseminated and used, is not an innovation”. Berdasarkan ini, maka inovasi harus didiseminasikan (oleh penghasil)

dan dipakai (oleh pengguna), bermakna pula bahwa inovasi harus bermanfaat (terbukti karena dipakai oleh pengguna). Pengguna dalam konteks ini adalah industri/dunia usaha, masyarakat awam, atau pemerintah.8

OECD (2005) menggunakan definisi inovasi: “An innovation is the implementation of a new or significantly improved product (good or service), or process, a new marketing method, or a new organizational method in business practices, workplace organization or external relations”.9 Inovasi merupakan implementasi dari suatu produk, proses, metoda

pemasaran, atau metoda organisasi yang baru atau secara signifikan telah diperbaiki. Produk dapat berupa barang maupun jasa. Metoda organisasi mencakup praktek bisnis, organisasi kerja, atau hubungan dengan pihak eksternal.

Uraian dan referensi di atas memberikan pemahaman bahwa: [1] inovasi merupakan sesuatu (produk, proses, cara pemasaran, atau metoda organisasi) yang baru, yang tentunya hanya dapat terlahirkan dari pemikiran yang kreatif; [2] inovasi selain baru, juga harus pula secara signifikan lebih baik dari produk, proses, cara pemasaran, atau metoda organisasi yang telah dikenal sebelumnya; [3] status yang lebih baik ini, membuka peluang bagi produk dan proses inovatif untuk digunakan dalam berbagai aktivitas manusia, sehingga pada dasarnya inovasi merupakan sesuatu yang bermanfaat; [4] kemanfaatan suatu produk merupakan prasyarat untuk komersialisasi atau untuk peningkatan kesejahteraan sosial.

Pendekatan Sistem. Proses inovasi berlangsung mulai dari munculnya ide di benak para inovator sampai pada termanfaatkannya produk inovatif tersebut. Proses yang panjang ini hampir selalu melibatkan banyak aktor, baik yang terlibat secara langsung dalam aliran ide menjadi produk yang bermanfaat, maupun para aktor yang berperan dalam membangun ekosistem yang kondusif bagi keberlangsungan aliran tersebut. Proses inovatif selalu membentuk suatu sistem yang kompleks. Oleh sebab itu, penelaahan inovasi harus dilakukan dengan pendekatan sistem, tidak dapat dilakukan secara linier.

Interaksi antar-aktor dan interaksi antara aktor dengan ekosistem inovasi bersifat sangat dinamis dan timbal-balik. Telaah secara partial dengan

8 Bandingkan dengan pengertian inovasi yang digunakan pada UU18/2002 pada Pasal 1

butir 9 yang saat ini masih berlaku: “Inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, dan/atau perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara baru untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi”. Pengertian inovasi versi UU18/2002 ini dirasakan sudah tidak pas lagi dengan konteks saat ini.

9 OECD’s Oslo Manual 2005 Guidelines for Collecting and Interpreting Innovation

(14)

pendekatan linier tak akan mampu menjelaskan sistem inovasi secara komprehensif dan benar. Dengan demikian, maka sangatlah penting untuk membekali setiap pihak yang terlibat dalam upaya mewujudkan SINas untuk memahami konsepsi pendekatan sistem.

Perlu dibedakan antara unsur sistem dengan lingkungannya (ekosistem). Hal ini perlu untuk membedakan antara penghela endogen (endogenous drivers), yakni para

aktor yang secara langsung menggerakkan SINas, dengan penghela eksogen (exogenous drivers), yakni para aktor yang memberikan dukungan dalam

mewujudkan ekosistem yang kondusif untuk tumbuh-kembang SINas (Bathelt, 2003). Liu dan White (2001) menggunakan istilah aktor primer dan sekunder. Pemilahan ini hanya untuk membedakan posisi peran para aktor yang terlibat, tetapi akan keliru jika pembagian ini berdampak pada pengisolasian sistem dari lingkungannya (Asheim dan Coenen, 2005)

Pendekatan sistem merupakan buah dari pemikiran sistemik (systems thinking). Mingers dan White (2010) menyatakan bahwa systems thinking is a discipline in its own right, with many theoretical and methodological developments, but it is also applicable to almost any problem area because of its generality.

Selanjutnya, Mingers dan White (2010) merinci bahwa pendekatan sistem (systems approach) mencakup: [1] melihat situasi secara holistik (berarti tidak

bersifat reduksionis), sebagai kumpulan elemen yang berinteraksi satu sama lain dalam suatu lingkungan tertentu; [2] memposisikan hubungan atau interaksi antara elemen lebih penting dari elemen-elemennya sendiri dalam membentuk prilaku sebuah sistem; [3] memahami adanya hirarki/jenjang dalam suatu sistem dan ‘mutual casuality’ dalam masing-masing jenjang maupun antar-jenjang; dan [4]

memahami bahwa manusia akan beraksi sesuai dengan tujuan dan rasionalitas yang berbeda.

Sistem Inovasi Nasional. Sistem Inovasi Nasional (SINas) didefinisikan dalam beberapa versi. Freeman (1987) mendefinisikan SINas sebagai jaringan kelembagaan pemerintah dan/atau swasta yang melaksanakan dan berinteraksi dalam inisiasi, modifikasi, difusi, dan impor teknologi baru; sedangkan Lundvall (1992) mendefinisikan SINas sebagai elemen dan hubungan yang interaktif dalam proses produksi, difusi, dan penggunaan pengetahuan baru yang bernilai ekonomi yang berada dalam atau berasal dari suatu negara.

Definisi yang lebih sederhana dikemukakan oleh Nelson (1993), yang menyatakan bahwa SINas sebagai sekelompok institusi yang interaksinya menentukan kinerja inovatif suatu negara. Sementara Patel dan Pavitt (1994) mengambarkan SINas sebagai kelembagaan-kelembagaan nasional dengan struktur dan kompetensinya yang menentukan laju dan arah pembelajaran teknologi (technological learning)

pada suatu negara.

Definisi SINas yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Metcalfe (1995), yakni sebagai sekumpulan institusi yang secara sendiri dan bersama-sama berkontribusi dalam pengembangan dan difusi teknologi baru serta memberikan kerangka bagi pemerintah dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan

(15)

untuk mempengaruhi proses inovasi. Dengan kata lain, SINas merupakan suatu sistem keterkaitan antar-kelembagaan untuk menciptakan, menyimpan, dan mentransfer pengetahuan, ketrampilan, dan artefak untuk melahirkan teknologi-teknologi baru.

Berdasarkan berbagai definisi di atas, maka ada beberapa pengertian dasar yang dapat ditarik berkaitan dengan SINas, yakni: [1] kegiatan yang dicakup adalah pengembangan, difusi, dan pemanfaatan teknologi; [2] pelakunya terdiri dari beberapa kelembagaan –baik pemerintah maupun swasta- yang berinteraksi satu sama lain secara sinergis; [3] produk yang dihasilkan adalah teknologi ‘baru’ yang mempunyai nilai ekonomi; dan [4] ruang lingkup dalam melaksanakan kegiatan inovasi ini adalah negara.

Definisi SINas yang diusung pada periode 1980-1990an telah menyebutkan bahwa SINas mencakup kegiatan difusi dan pemanfaatan teknologi, serta telah menyebutkan bahwa teknologi yang dimaksud adalah teknologi yang punya potensi untuk dikomersialisasikan. Namun demikian, adopsi teknologi oleh para pengguna teknologi di banyak negara (terutama negara-negara berkembang) masih sangat minimal. Oleh sebab itu, kegalauan akan rendahnya adopsi teknologi tersebut terlihat mewarnai definisi atau deskripsi SINas yang diusung pada kurun waktu tahun 2000-an, yang memberi ketegasan bahwa teknologi yang dihasilkan harus berakhir dengan dimanfaatkannya teknologi tersebut oleh para pengguna.

The World Bank (2010) dengan sangat tegas mencanangkan bahwa sesuatu (baca: teknologi) yang tidak didiseminasikan dan tidak digunakan bukanlah inovasi.

Sharif (2010) mendeskripsikan inovasi sebagai upaya kolektif mengubah ide menjadi sesuatu yang bernilai (turning idea into values). Prakteknya, inovasi harus

diawali dengan menjawab tiga pertanyaan yang sangat fundamental, yakni: [1] what is possible with technology? [2] what is desirable to the society? [3] what is viable in the market?10

Pendekatan dalam membangun SINas secara ekstrim dapat dibedakan menjadi dua, yakni berdasarkan pendekatan supply-push dan pendekatan demand-driven.

Pendekatan supply-push mengutamakan dan dimulai dari proses pengembangan

teknologi oleh institusi pendidikan tinggi dan lembaga riset. Produk teknologi yang dihasilkan kemudian didifusikan kepada pihak pengguna, terutama industri yang akan memanfaatkannya untuk menghasilkan produk komersial berupa barang dan jasa. Proses difusi teknologi tersebut dapat melalui atau tanpa melalui lembaga intermediasi, dapat difasilitasi atau tanpa difasilitasi oleh Pemerintah atau pihak lain yang kompeten.

Pengembangan SINas dengan pendekatan demand-driven mengutamakan dan

dimulai dari pemahaman tentang masalah, kebutuhan, dan preferensi masyarakat yang dapat dideteksi langsung oleh pihak pengembang teknologi maupun melalui

10 Dicuplik dari keynote address oleh Nawaz Sharif (2010) berjudul ‘Governance of

(16)

mitranya dari komunitas bisnis. Sinyal kebutuhan masyarakat ini diterjemahkan oleh industri dalam bentuk kebutuhan teknologi untuk memproduksi barang dan/atau jasa yang sesuai dengan keinginan masyarakat tersebut. Berdasarkan informasi ini, lembaga riset dan/atau institusi pendidikan tinggi mengembangkan teknologi yang relevan dengan kebutuhan.

SINas yang dikembangkan melalui pendekatan demand-driven akan lebih

berpeluang untuk memberikan kontribusi nyata terhadap pembangunan perekonomian, karena lebih berpeluang untuk diadopsi industri. Walaupun demikian, sebagian komunitas akademik dan peneliti menganggap pendekatan

demand-driven akan mengebiri kreativitas ilmiah. Anggapan yang demikian,

mengabaikan kenyataan bahwa kreativitas sesungguhnya lebih terangsang untuk muncul pada kondisi yang ‘tidak nyaman’, misalnya dalam kondisi serba keterbatasan, di bawah tekanan, dalam kerangkeng regulasi yang kaku, dan tentu termasuk dalam kondisi keharusan mengembangkan teknologi sesuai kebutuhan pasar.

Secara teoritis dapat dimunculkan pendekatan yang moderat dan akomodatif, yakni dengan memadukan pendekatan supply-push dan demand-driven. Akan tetapi,

sebagaimana halnya teori fisika, proses aliran hanya akan terjadi jika ada perbedaan derajat antara posisi asal dan posisi sasaran. Maknanya, dalam pengembangan SINas, walaupun pendekatan demand-driven yang dipilih tetapi

tidak berarti ruang untuk pendekatan supply-push digusur habis. Pilihan

pendekatan tersebut lebih untuk menjamin agar aliran teknologi dapat terjadi secara berkesinambungan dan komersialisasi produk yang dihasilkan dapat menjadi pasokan ‘energi’ untuk kontinuitas aliran teknologi tersebut.

Ekonomi Berbasis Pengetahuan (Knowledge-based Economy). Sejak tahun 1960-an mulai muncul keyakinan bahwa perbedaan kemajuan perekonomian antar-negara terkait langsung dengan tingkat penguasaan teknologi dari masing-masing negara (Fagerberg dan Srholec, 2008). Sebelum periode tersebut, kemajuan perekonomian lebih banyak dikaitkan dengan jumlah uang yang terakumulasi (accumulated capital) per tenaga kerja.

Keyakinan bahwa ada keterkaitan yang kuat antara kemajuan perekonomian dengan tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan ‘mazhab’ ekonomi baru, yakni ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy selanjutnya disingkat KBE) yang menunjukkan bahwa dalam

perkembangannya, ekonomi saat ini semakin bergantung pada kemajuan pengetahuan dan teknologi, informasi, dan tenaga kerja berketerampilan tinggi. Untuk dapat memberikan dampak nyata dan langsung, maka sumberdaya ekonomi ini harus mudah diakses oleh dunia usaha dan para penguna lainnya.11

KBE pada prinsipnya merupakan ekonomi yang secara langsung berbasis pada produksi, distribusi, dan penggunaan pengetahuan dan informasi. Saat ini banyak

11 OECD (2005) mendefinisikan ekonomi berbasis pengetahuan sebagai: ‘an expression coined to describe trends in advanced economic towards greater dependence on knowledge, information, and high skill levels, and the increasing need for ready access to all of these by the business and public sectors’.

(17)

upaya yang dilakukan oleh para ahli ekonomi untuk menjelaskan secara langsung (baik secara teoritis maupun pengembangan model) tentang kontribusi pengetahuan dan teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi. Teori Pertumbuhan Baru (New Growth Theory) mencerminkan upaya untuk memahami tentang peran

pengetahuan dan teknologi dalam mendorong produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Investasi di bidang riset dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, serta manajerial merupakan determinan penting KBE.

Selain besaran nilai investasi untuk pengembangan pengetahuan dan teknologi, kelancaran distribusi pengetahuan (baik melalui jalur formal maupun informal) juga merupakan faktor esensial yang mempengaruhi kinerja perekonomian. Penguasaan pengetahuan dan teknologi yang tinggi tetapi hanya terisolir di kalangan akademik atau periset semata tidak akan memberikan dampak terhadap kinerja perekonomian. Intensitas hubungan dan kelancaran aliran pengetahuan dan teknologi antar-aktor dalam sistem inovasi akan menjadi faktor penentu kinerja perekonomian.

Lapangan kerja dalam konteks KBE akan lebih banyak membutuhkan tenaga kerja dengan ketrampilan tinggi atau berpendidikan tinggi, mengingat bahwa dinamika perubahan pengetahuan dan teknologi berlangsung dalam tempo yang cepat. Walaupun demikian, pendidikan dan ketrampilan tinggi tersebut perlu mempunyai relevansi yang juga tinggi dengan persoalan dan kebutuhan nyata. Oleh sebab itu, untuk mendukung KBE, institusi pendidikan tinggi perlu dirancang agar selain mampu menyelenggarakan pendidikan yang secara akademik berkualitas, juga harus pula memahami persoalan dan kebutuhan nyata agar dapat mengemas kurikulum yang relevan terhadap persoalan dan kebutuhan nyata tersebut.12

Upaya untuk menaksir kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan perekonomian dilakukan antara lain dengan menghitung Total Factor Productivity (TFP). Namun demikian, tidak semua pakar ekonomi sependapat bahwa TFP bisa

mencerminkan kontribusi teknologi. Kelemahan teoretis dan ketidakkonsistenan empiris dari hasil perhitungan pada berbagai negara dengan tingkat kemajuan teknologi yang berbeda menjadi lahan subur untuk perdebatan. Kesimpulan dari kajian yang dilakukan oleh Lipsey dan Carlaw (2001) patut direnungkan: “There is no reason to believe that changes in TFP in any way measure technological change”.

Prinsip dasarnya adalah bahwa teknologi hanya memberikan kontribusi jika digunakan dalam proses produksi untuk menghasilkan produk barang/jasa yang dibutuhkan konsumen. Adopsi teknologi akan terjadi jika pihak pengembang teknologi memahami kebutuhan pihak pengguna. Dalam konteks komersialisasi, pengguna yang dimaksud adalah industri yang memahami kebutuhan dan preferensi konsumen.

Produk teknologi yang pengembangannya tidak berorientasi pada kebutuhan nyata tentu akan sulit dijual ke pengguna. Upaya yang umum dilakukan untuk 12 Elaborasi lebih mendalam mengenai isu ini dapat dibaca pada Lakitan

(2009):”Kebijakan Pengembangan dan Implementasi Sistem Inovasi Nasional: menjembatani pendidikan, riset, industri, dan konsumen”. Jurnal Dinamika Masyarakat 8(1):1501-1516.

(18)

merangsang atau mempercepat difusi teknologi adalah membentuk lembaga intermediasi. Akan tetapi, lembaga intermediasi akan sulit berfungsi efektif jika teknologi yang ditawarkan adalah sesuatu yang tidak dibutuhkan, atau dibutuhkan tapi kalah handal secara teknis dan/atau kurang kompetitif secara ekonomi.

Ada kesulitan dalam mengevaluasi ekonomi berbasis pengetahuan, antara lain karena keterbatasan dan mutu indikator terkait pengetahuan yang saat ini tersedia. Indikator yang berbasis pada nilai investasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semata (seperti jumlah belanja riset dan pengembangan, jumlah dan kualitas personel pengembang teknologi) belum cukup untuk memberikan gambaran tentang kinerja KBE.

Indikator dari sisi keluaran kegiatan riset dan pengembangan serta distribusinya diyakini akan lebih relevan, misalnya data stok pengetahuan dan kelancaran aliran distribusi/difusinya, intensitas interaksi antara aktor sistem inovasi, serta tingkat ketrampilan dan relevansi pendidikan tenaga kerja.

OECD (1996) mengidentifikasi empat gugus indikator penting yang perlu dikembangkan teknik pengukurannya (secara statistik) untuk mengevaluasi kinerja KBE, yakni indikator terkait: [1] knowledge stocks and flows, [2] knowledge rates of return, [3] knowledge networks, dan [4] knowledge and learning.

Gugus indikator [1] memperlihatkan pentingnya mengetahui penambahan stok pengetahuan per satuan input pada kegiatan riset dan pengembangan, serta mengetahui kelancaran aliran pengetahuan dan teknologi dari penyedia ke pengguna. Gugus indikator [2] merupakan indikasi dari besarnya perolehan sosial dan kemanfaatan bagi publik per satuan input kegiatan riset dan pengembangan. Gugus indikator [3] memberikan indikasi tentang proses aliran dan intensitas interaksi antara aktor inovasi. Sedangkan gugus indikator [4] melingkupi indikator ‘human capital’, mengukur kemanfaatan bagi publik untuk

investasi di bidang pendidikan dan pelatihan, atau kegiatan lain yang terkait langsung dengan upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

2.2. Aktor Inovasi Nasional

Walaupun dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU No. 18/2002) menggunakan terminologi kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun nuansanya menyiratkan bahwa perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, badan usaha, dan lembaga penunjang merupakan aktor-aktor inovasi.13

Kompleksitas SINas tercermin antara lain dari banyaknya aktor yang terlibat dan ikut menentukan atau mempengaruhi kinerja sistem ini. Untuk memudahkan pemahaman dan agar kompleksitas ini tidak mengaburkan esensi dasar dari 13 Pasal 6 ayat (1) UU18/2002 menetapkan bahwa ‘kelembagaan ilmu pengetahuan dan

teknologi terdiri atas unsur perguruan tinggi, lembaga litbang, badan usaha, dan lembaga penunjang’.

(19)

SINas, maka ada baiknya aktor yang banyak tersebut dipilah menjadi: [1] aktor utama (primer) yang terlibat langsung dalam proses aliran teknologi, mulai dari pengembangannya sampai pada penggunaannya untuk menghasilkan produk barang dan/atau jasa yang dibutuhkan konsumen; dan [2] aktor penunjang (sekunder) yang berperan dalam membentuk ekosistem yang kondusif agar aktor-aktor utama dapat unjuk kinerja secara optimal.

Aktor utama terdiri dari para pengembang/penyedia teknologi, para pengguna teknologi, dan para pihak yang memfasilitasi dan/atau melakukan intermediasi interaksi dan komunikasi antara penyedia dan pengguna teknologi. Perguruan tinggi dan lembaga penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud UU18/2002 merupakan unsur penting dari pengembang/penyedia teknologi. Namun demikian pengembang/penyedia teknologi tidak hanya terbatas pada dua unsur tersebut, tetapi mencakup semua pihak yang secara nyata melakukan kegiatan pengembangan teknologi, misalnya institusi riset non-pemerintah, unsur pelaksana riset dan pengembangan pada industri, dan para periset individual.14

Pengembang Teknologi. OECD (2002) membuat klasifikasi lembaga riset dan pengembangan (R&D) berdasarkan pengelola, pemegang kendali kebijakannya, penyandang dana, dan orientasi komersialisasi produk riset yang dihasilkannya (Gambar 1). Berdasarkan kriteria ini maka ada empat kelompok lembaga R&D, yakni: [1] perguruan tinggi (higher education), [2] lembaga R&D bisnis (business enterprise), [3] lembaga R&D pemerintah (government), dan [4] lembaga R&D

nirlaba (private non-profit). Pengelompokan ini digunakan dalam mengevaluasi

kinerja lembaga riset dan pengembangan negara-negara dunia.

UU18/2002 hanya mengenal dua lembaga pengembang teknologi, yakni perguruan tinggi dan lembaga penelitian dan pengembangan. Seluruh perguruan tinggi di Indonesia, negeri maupun swasta, mengemban tiga tugas pokok yang dikenal sebagai tridharma perguruan tinggi, yakni melakukan pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Namun demikian, mayoritas perguruan tinggi di Indonesia masih lebih dominan terkonsentrasi pada kegiatan pendidikan dan pengajaran. Kiprah dan kontribusinya terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masih belum kentara. Hal ini antara lain disebabkan karena kegiatan riset masih lebih diposisikan sebagai

‘academic exercises’, belum fokus pada upaya untuk menghasilkan invensi dan

inovasi.

Lembaga R&D pemerintah termasuk: [1] Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK, sebelumnya dikenal sebagai LPND) yang (salah satu) tugas pokok dan fungsinya adalah melaksanakan kegiatan riset dan pengembangan; dan [2] unit kerja penelitian dan pengembangan pada kementerian dan pemerintah daerah.

14 Pasal 8 ayat (3) UU18/2002 menetapkan lembaga-lembaga yang tergolong sebagai

lembaga litbang, yakni dapat berupa organisasi yang berdiri sendiri, atau bagian dari organisasi pemerintah, pemerintah daerah, perguruan tinggi, badan usaha, lembaga penunjang, dan organisasi masyarakat.

(20)
(21)

Perguruan Tinggi Badan Usaha Lembaga Pemerintah Lembaga Non-Pemerintah

Perguruan Tinggi

TIDAK Apakah secara administratif

dikelola oleh perguruan tinggi?

Apakah dikendalikan atau dominan dibiayai oleh lembaga non-pemerintah?

Perguruan Tinggi YA

Lembaga Pemerintah

TIDAK YA

Apakah secara administratif dikelola oleh perguruan tinggi? YA

Jika kendali dan pembiayaan dilakukan oleh pihak yang berbeda, maka status lembaga riset & pengembangan tersebut

tergantung pada pihak mana yang dominan membiayainya TIDAK Badan Usaha TIDAK TIDAK Perguruan Tinggi Badan Usaha YA

Apakah produknya dijual sesuai harga pasar?

TIDAK

Apakah dikendalikan atau dominan dibiayai oleh badan usaha?

YA

TIDAK

Apakah dikendalikan atau dominan dibiayai oleh pemerintah? YA

Lembaga Riset & Pengembangan

Apakah berada dalam institusi pendidikan tinggi?

YA

Gambar 1. Klasifikasi berdasarkan status formal lembaga riset dan pengembangan

(22)

Sementara kegiatan riset di perguruan tinggi lebih berorientasi pada pengembangan ilmu pengetahuan, maka selayaknya riset yang dilaksanakan oleh lembaga R&D pemerintah lebih fokus pada upaya menyediakan solusi teknologi bagi berbagai permasalahan yang dihadapi rakyat dan negara dan/atau menyediakan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan nyata dalam rangka mendukung pembangunan perekonomian nasional, kesejahteraan rakyat, dan peningkatan peradaban bangsa.15

Banyak industri dan badan usaha lainnya mempunyai unit kerja yang tugas utamanya adalah melakukan riset dan pengembangan, baik riset untuk mendapatkan informasi kebutuhan dan selera konsumen yang akan dijadikan dasar dalam pengembangan strategi pemasaran maupun riset-riset pengembangan produk. Riset yang dilakukan badan usaha jelas berorientasi komersil, walaupun saat ini sering dikemas dengan berbagai ‘bungkus’ lain dalam rangka membangun citra perusahaan atau memanfaatkan kecenderungan preferensi konsumen, misalnya terkait dengan kepedulian mengenai isu lingkungan.

Peningkatan intensitas kegiatan riset oleh badan usaha dapat menjadi indikasi yang positif tetapi sekaligus juga negatif. Positif dalam konteks pengembangan teknologi akan mengalami akselerasi mengingat potensi kekuatan dunia usaha dalam membiayai kegiatan riset dan relevansi teknologi yang dikembangkan juga akan semakin meningkat, karena dunia usaha tidak akan melakukan kegiatan riset jika tidak ada potensi kemanfaatan hasilnya. Dunia usaha akan selalu memposisikan biaya riset sebagai bagian dari investasi.

Kecenderungan peningkatan intensitas riset oleh dunia usaha dapat pula menjadi indikasi negatif, apabila kecenderungan ini merupakan bentuk reaksi dari dunia usaha atas rendahnya relevansi dan/atau mutu teknologi yang dikembangkan oleh perguruan tinggi dan lembaga riset pemerintah. Bukan rahasia umum bahwa saat ini komunikasi dan interaksi antara para pihak pengembang teknologi (perguruan tinggi dan lembaga R&D pemerintah) dengan pihak industri belum terbangun secara intensif.

Walaupun saat ini, lembaga R&D yang berorientasi komersial umumnya masih merupakan unit kerja internal lembaga bisnis, namun cikal-bakal lembaga R&D komersial yang independen sudah mulai nampak tumbuh. Jurang yang masih membentang lebar antara perguruan tinggi atau lembaga R&D pemerintah dengan dunia usaha merupakan peluang untuk tumbuh kembang lembaga R&D independen.

Lembaga R&D swasta nirlaba sudah berkiprah lama di Indonesia dengan sumber pembiayaan umumnya dari lembaga-lembaga internasional. Lembaga R&D nirlaba ini lebih banyak berkiprah di ranah ilmu-ilmu sosial, terutama fokus pada isu-isu hangat pada tataran global, misalnya isu sosial (kesejahteraan rakyat, penyakit menular, pendidikan anak), isu politik dan pemerintahan

15 Sesuai dengan amanah konstitusi UUD 1945, tujuan pembangunan ilmu pengetahuan

dan teknologi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kemajuan peradaban bangsa.

(23)

(demokratisasi, desentralisasi, hak asasi manusia, korupsi), dan isu lingkungan (deforestasi, pencemaran/polusi, perubahan iklim).

Pengguna Teknologi. Badan usaha atau industri merupakan salah satu unsur pengguna teknologi.16 Unsur pengguna lainnya adalah [1] masyarakat pelaku

produksi barang/komoditas/jasa, misalnya petani, nelayan, peternak, pengrajin; dan [2] pemerintah dalam rangka melaksanakan pelayanan publik dan untuk menjaga kedaulatan negara. Badan usaha merupakan pengguna teknologi yang bersifat komersial, sedangkan masyarakat dan pemerintah lebih bersifat bauran antara komersial dan pelayanan publik. Dapat bersifat komersial jika lembaga pengembang teknologinya bukan merupakan lembaga R&D pemerintah, kegiatannya tidak dibiayai oleh pemerintah, atau merupakan lembaga R&D asing.

Sebaliknya, jika pengembang teknologinya adalah lembaga R&D pemerintah, atau kegiatan pengembangan teknologi dimaksud sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah, maka sudah sepatutnya teknologi yang dihasilkan tersebut dapat digunakan oleh pemerintah dan masyarakat secara bebas. Perlu diingat bahwa kepemilikan paten lazimnya adalah ditangan pihak yang membiayai kegiatan pengembangan teknologi yang bersangkutan.

Kapasitas adopsi para pengguna teknologi di Indonesia masih belum besar. Badan usaha di Indonesia masih dominan bergerak di sektor perdagangan, sehingga kebutuhan dan kapasitas adopsi teknologinya relatif rendah. Industri produsen barang dan jasa di Indonesia banyak yang hanya merupakan unit produksi dari sebuah perusahaan multinasional atau hanya bersifat sebagai penerap teknologi asing yang sudah mapan yang dilaksanakan berdasarkan lisensi yang diberikan oleh pihak-pihak pengembang teknologi luar negeri.

Mengingat pada saat ini segmen industri besar cenderung lebih bergantung pada teknologi asing (yang mungkin disebabkan karena kemampuan teknologi nasional belum memadai untuk memasok kebutuhan teknologi tersebut atau mungkin karena alasan lain yang bersifat non-teknis), maka pengguna teknologi domestik yang paling potensial adalah masyarakat awam dan usaha kecil dan menengah (UKM). Oleh sebab itu, harusnya segmen pengguna ini harus dipasok penuh oleh pengembang teknologi domestik.

Kenyataannya, teknologi yang dibutuhkan masyarakat awam dan UKM pun belum sepenuhnya dikuasai oleh teknologi domestik, masih dibanjiri oleh teknologi maupun produk teknologi asing. Misalnya, kebutuhan alat dan mesin pertanian masih dominan diimpor dari berbagai negara, terutama Jepang dan Cina. Untungnya benih padi sudah dapat dipenuhi dari hasil riset dan teknologi dalam negeri.

Pemerintah harusnya menjadi pengguna utama teknologi dalam negeri, terutama teknologi di bidang pertahanan dan keamanan.17 Disamping untuk meningkatkan

16 UU18/2002 hanya menyebutkan badan usaha sebagai aktor pengguna teknologi. 17 Sudah ada arahan dari Presiden RI agar kebutuhan teknologi dan produk teknologi di

(24)

kemandirian bangsa, juga penggunaan teknologi dalam negeri akan menggairahkan kegiatan pengembangan teknologi itu sendiri, karena secara langsung akan meningkatkan aliran dana untuk pembiayaannya.

Penduduk Indonesia yang mencapai 237 juta jiwa dan kebutuhan peralatan utama sistem pertahanan (alutsista) nasional yang besar, mengingat luas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sedemikian besar, merupakan dua argumen utama untuk menjadikan kebutuhan domestik sebagai pasar utama bagi produk teknologi dalam negeri. Orientasi pengembangan teknologi Indonesia perlu lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan dan pemecahan persoalan dalam negeri terlebih dahulu, baru setelah pasar domestik dikuasai (dan teknologi Indonesia sudah lebih kompetitif) maka pertimbangan ekspor teknologi nasional menjadi lebih layak diupayakan.

Intermediator/Fasilitator. Pihak ketiga yang tergolong sebagai aktor utama inovasi adalah para pihak yang berperan sebagai intermediator atau fasilitator untuk meningkatkan intensitas komunikasi dan interaksi antara para pengembang dengan para pengguna teknologi. Pada saat ini, peran intermediasi dan fasilitasi ini diharapkan dimainkan oleh pemerintah. Pemerintah tentu dapat membentuk lembaga-lembaga khusus untuk menjalankan fungsi/tugas ini. Untuk menjalankan peran intermediasi, Kementerian Riset dan Teknologi (pernah) mendorong pembentukan lembaga yang dirancang khusus untuk fungsi intermediasi ini, yakni Business Technology Center (BTC) di 8 lokasi, tersebut di

beberapa kota.18 Namun peran intermediasi dari lembaga-lembaga BTC tersebut

kelihatannya masih jauh dari harapan, sebagian penyebabnya berasal dari kapasitas dan kompetensi lembaga yang tidak memadai, dan sebagian lagi karena teknologi hasil pengembangan dalam negeri yang tidak sesuai dengan kebutuhan nyata (tidak relevan), lebih mahal dan/atau kalah handal dibandingkan dengan teknologi sejenis yang sudah tersedia di pasar.

Untuk penguatan peran intermediasi ini, pemerintah melalui Kementerian Riset dan Teknologi juga telah menfasilitasi pendirian Business Innovation Center (BIC)

pada tahun 2008.19 Tujuan utama pendirian BIC adalah untuk mengoptimalkan

pemberdayaan inovasi di Indonesia dalam rangka meningkatkan pembangunan nasional. Sejak tahun 2008 tersebut, BIC telah menerbitkan katalog tahunan hasil-hasil riset yang dianggap berpeluang untuk dikomersialisasikan, melalui serial terbitan buku ‘100 Inovasi Indonesia’ (2008), ‘101 Inovasi Indonesia (2009), dan ‘102 Inovasi Indonesia’ (2010).

strategis untuk meningkatkan kemandirian bangsa.

18 Pendirian BTC ini merupakan tidak lanjut rekomendasi dari hasil kajian ‘Periskop’

yang dilaksanakan pada tahun 2000 atas kerjasama antara Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia dengan Kementerian Pendidikan Jerman. Sejak tahun 2010, BTC yang dikelola BPPT telah dilebur masuk ke dalam organisasi BPPT Engineering.

19 Entah mengapa lembaga-lembaga intermediasi yang dibentuk penamaannya selalu

menggunakan bahasa Inggeris, walaupun lebih banyak orientasinya adalah untuk memediasi antara pengembang teknologi nasional dengan para (calon) pengguna potensial di dalam negeri.

(25)

Visi BIC adalah menjadi lembaga intermediasi inovasi bisnis yang terdepan, dalam menunjang daya saing ekonomi dan Bisnis Indonesia. Hal ini dilakukan dengan mensinergikan elemen-elemen akademisi, bisnis, dan pemerintah (A-B-G) dalam proses inovasi, sehingga dalam waktu 10 tahun, kegiatan inovasi di Indonesia akan menjadi unggulan (benchmark) negara-negara lain di ASEAN

Misi BIC adalah mendorong inovasi di Indonesia, melalui kegiatan intermediasi antara inovator pengembangan teknologi dengan dunia bisnis. Menjadi lembaga intermediasi proses inovasi, untuk menciptakan nilai tambah ekonomi dan bisnis dan daya saing nasional Indonesia.

BIC memberikan beberapa jenis layanan yaitu layanan umum, swasta, akademisi dan pemerintah yang sesuai dengan fungsi dan tujuan BIC. Jenis layanan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

Layanan Umum

1. Kunjungan ke perusahaan-perusahaan

2. Menganalisa dan mengoptimalakan rangkaian nilai proses kerja, perusa-haan, pemasok, membantu mencarikan mitra kerjasama yang tepat dari kalangan ipetek

3. Mengadakan gathering dan seminar dalam hal menjembatani ABG

4. Memberikan secara terus-menerus informasi tentang perkembangan

teknologi baru dan proses produksi

5. Mengidentifikasikan risiko dan mengenali potensinya

6. Memberikan pendampingan pada perusahaan-perusahaan yang inovatif 7. Membuat database yang menampung informasi mengenai proses-proses

inovasi

8. Mengatur pertukaran para pakar yang dibutuhkan dengan keahlian terten-tu

9. Mengatur pertemuan para pakar untuk dapat menjalin kerjasama Layanan untuk Swasta/Bisnis

1. Mempermudah proses pencarian Informasi mengenai Inovasi

2. Mempermudah Pengembangan bisnis dengan penerapan Inovasi 3. Memperluas hubungan dengan pemerintah dan akademisi

4. Menghubungkan para pelaku bisnis dalm hal mendapatkan insentif yang diberikan oleh pemerintah

5. Memberikan Informasi mengenai kajian-kajian teknologi yang sedang berlangsung

(26)

6. Menyusun agenda dan pengaturan pertemuan dengan pusat-pusat kajian teknologi

Layanan untuk Akademisi/Teknisi

1. Membantu mengembangkan produk Inovasi yang sudah ada untuk di komersilkan

2. Membantu dalam hal finansial yang akan dibantu oleh pihak swasta/pelaku bisnis

3. Memberikan jaringan/network pelaku bisnis dalam hal kerjasama terhadap pihak akademisi

4. Memberikan pengetahuan mengenai pasar dan trend yang ada di pasar 5. Membantu menghubungkan kepada pihak dunia usaha dalam hal

ker-jasama

6. Membantu melakukan analisi terhadap pihak dunia usaha yang memiliki interest untuk berinvestasi terhadap riset yang dilakukan

Layanan untuk Pemerintah

1. Memperat hubungan pemerintah dengan pihak swasta/bisnis dan akademisi/teknisi

2. Memberikan dukungan terhadap program-program pemerintah dalam hal inovasi

3. Memajukan pengembangan teknologi inovasi dalam skala nasional

4. Memfasilitasi pemerintah dengan pihak swasta/bisnis dan akademisi/teknisi

5. Memfasilitasi program incentif yang dibuat oleh pemerintah

Sejak 2011, BIC ditempatkan dalam kawasan Puspipitek Serpong sesuai dengan skenario untuk menjadikan kawasan ini sebagai Science and Technology Park (STP),

dimana aktor-aktor utama inovasi akan difasilitasi untuk berada dalam kawasan yang sama. Kedekatan secara fisik diyakini akan mampu merangsang aktor-aktor tersebut untuk meningkatkan komunikasi dan interaksinya. Lembaga-lembaga pengembang, intermediasi, dan pengguna teknologi di kawasan ini diharapkan dapat menjadi model implementasi Sistem Inovasi Nasional.

Aktor/Lembaga Penunjang.20 Selain tiga aktor utama inovasi yang telah

dijelaskan sebelumnya, juga banyak aktor atau lembaga pendukung lainnya yang berperan penting dalam membangun sistem inovasi yang produktif dan berkesinambungan. Lembaga pendukung mencakup lembaga-lembaga yang mempunyai kewenangan dan/atau kapasitas untuk: [1] membuat regulasi

20 Lembaga penunjang sebagai salah satu unsur kelembagaan dalam Sistem Nasional

Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berfungsi memberikan dukungan dan membentuk iklim yang kondusif bagi penyelenggaraan kegiatan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (UU18/2002, Pasal 10 ayat (1)).

Gambar

Gambar 1.  Klasifikasi berdasarkan status  formal lembaga riset dan pengembangan
Gambar 2.  Diagram Konsepsi Sistem Inovasi Nasional (adaptasi dari MEXT, 2002)
Tabel 1.  Synthesis of theoretical rationales for science, technology and innovation policy
Gambar 3.  Peringkat daya tarik Indonesia bagi investor asing
+7

Referensi

Dokumen terkait

15.584.187.000,- (Lima belas milyar lima ratus delapan puluh empat juta seratus delapan puluh tujuh ribu rupiah), dengan ini kami mengumumkan bahwa:.. Rensa

Pokja Pengadaan Jasa Lainnya Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Lingkungan Pemerintah Provinsi Bali akan melaksanakan Pelelangan Sederhana dengan pascakualifikasi

Penelitian dilakukan pada bulan September 2010 di Taman Nasional Manusela, Maluku dengan tujuan untuk mengetahui data ekologi Begonia di habitat alaminya serta tumbuhan

Mohon Hadir tepat waktu dan masing-masing Perusahaan agar membawa Dokumen Penawaran Asli dan Dokumen Kualifikasi Asli + foto copy dokumen.. Demikian undangan kami

Penelitian tentang potensi dan permudaan alam jenis rotan penghasil jernang di kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh dilakukan di seksi wilayah Riau yaitu pada zona rimba (Sungai

[r]

90.000.000 Layanan Jasa Inspeksi Teknis Jasa Enjiniring Fase Konstruksi dan Instalasi Pekerjaan Teknik Sipil Transportasi Usaha Kecil/Non Kecil..

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman tumbuhan dari tingkat semai ke tingkat pohon, di hutan primer ditemukan 95 jenis yang tercakup dalam 43 suku, di hutan primer