• Tidak ada hasil yang ditemukan

FOCUS UPMI. Vol. 6 No. 1 (2016) ISSN Media Elektronik:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FOCUS UPMI. Vol. 6 No. 1 (2016) ISSN Media Elektronik:"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Vol. 6 No. 1 (2016) 29 - 37

ISSN Media Elektronik: 1979-2204

Peran Lembaga Bantuan Hukum Dalam Memberikan Jasa Bantuan Hukum Secara

Cuma-Cuma Kepada masyarakat Yang Tidak Mampu Ditinjau Dari Undang-Undang

No 16 Tahun 2016 Tentang Bantuan Hukum

Ali Mukti Tanjung1

1Magister Ilmu Hukum, Universitas Pembinaan Masyarakat Indonesia, Medan Abstract

Legal aid is a medium that can be used by all people in the context of claiming their rights to the existence of treatment that is not in accordance with the applicable law. This is based on the importance of legal protection for every human being as a subject of law in order to ensure law enforcement. Legal aid is defending the community regardless of background, ethnicity, origin, ancestry, color, ideology, political beliefs, rich and poor, religion, and the group of people defended. But in reality there are still many people who cannot afford to pay for legal advisor services in accompanying their cases. Even though he has facts and evidence that can be used to alleviate or show the truth in the case, so that their case does not go to court. Though legal aid is a right of the poor that can be obtained without paying. The inability of the community financially to claim their rights in accordance with legal procedures, demands the establishment of a policy so that they can submit a civil or criminal case without being hit by fees, therefore a procedure is required to submit a case for free without needing to pay the case fee (prodeo). So for those who are less able, can file a suit for free called a litigation in a prodeo.

Keywords: Legal aid, Law No. 16 of 2016, Poor people

Abstrak

Bantuan hukum merupakan suatu media yang dapat digunakan oleh semua orang dalam rangka menuntut haknya atas adanya perlakuan yang tidak sesuai dengan kaedah hukum yang berlaku. Hal ini didasari oleh arti pentingnya perlindungan hukum bagi setiap insan manusia sebagai subyek hukum guna menjamin adanya penegakan hukum. Bantuan hukum itu bersifat membela masyarakat terlepas dari latar belakang, etnisitas, asal usul, keturunan, warna kulit, ideologi, keyakinan politik, kaya miskin, agama, dan kelompok orang yang dibelanya. Namun pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang tidak mampu untuk membayar jasa penasihat hukum dalam mendampingi perkaranya. Meskipun ia mempunyai fakta dan bukti yang dapat dipergunakan untuk meringankan atau menunjukkan kebenarannya dalam perkara itu, sehingga perkara mereka pun tidak sampai ke pengadilan. Padahal bantuan hukum merupakan hak orang miskin yang dapat diperoleh tanpa bayar. Adanya ketidakmampuan masyarakat secara finansial untuk menuntut haknya sesuai dengan prosedur hukum, menuntut untuk diadakannya suatu kebijaksanaan sehingga dapat mengajukan suatu perkara perdata maupun pidana dengan tidak terbentur oleh biaya, oleh karena itu diperlukan suatu prosedur untuk mengajukan perkara secara cuma-cuma tidak perlu membayar biaya perkara (prodeo). Sehingga bagi pihak yang kurang mampu, dapat mengajukan gugatan secara cuma-cuma yang disebut dengan berperkara secara prodeo.

Kata kunci: Lembaga Bantuan Hukum, Masyarakat Tidak Mampu, Undang-Undang No 16 Tahun 2016

© 2016 Jurnal Focus UPMI

1. Pendahuluan

Dilihat pada zaman sekarang ini masyarakat mengangap bahwa jasa bantuan hukum sangat mahal sehingga masyakat yang terjerat dengan hukum mereka enggan untuk melaporkan suatu permasalahan hukum kepada Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum dikarenakan mengingat bahwa jasa hukum itu sangat mahal sehingga masyarakat yang tidak paham hukum membiarkan begitu saja permasalahan hukum yang ia hadapi tanpa meminta jasa perlindugan hukum kepada Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum.

Bantuan hukum merupakan suatu media yang dapat digunakan oleh semua orang dalam rangka menuntut haknya atas adanya perlakuan yang tidak sesuai dengan kaedah hukum yang berlaku. Hal ini didasari oleh arti pentingnya perlindungan hukum bagi setiap insan manusia sebagai subyek hukum guna menjamin adanya penegakan hukum. Bantuan hukum itu bersifat membela masyarakat terlepas dari latar belakang, etnisitas, asal usul, keturunan, warna kulit, ideologi, keyakinan politik, kaya miskin, agama, dan kelompok orang yang dibelanya. Namun pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang tidak mampu untuk membayar jasa penasihat hukum dalam mendampingi perkaranya.

(2)

Meskipun ia mempunyai fakta dan bukti yang dapat dipergunakan untuk meringankan atau menunjukkan kebenarannya dalam perkara itu, sehingga perkara mereka pun tidak sampai ke pengadilan. Padahal bantuan hukum merupakan hak orang miskin yang dapat diperoleh tanpa bayar. Adanya ketidakmampuan masyarakat secara finansial untuk menuntut haknya sesuai dengan prosedur hukum, menuntut untuk diadakannya suatu kebijaksanaan sehingga dapat mengajukan suatu perkara perdata maupun pidana dengan tidak terbentur oleh biaya, oleh karena itu diperlukan suatu prosedur untuk mengajukan perkara secara cuma-cuma tidak perlu membayar biaya perkara (prodeo). Sehingga bagi pihak yang kurang mampu, dapat mengajukan gugatan secara cuma-cuma yang disebut dengan berperkara secara prodeo.

Hal tersebut sesuai dengan asas trilogi peradilan yaitu peradilan cepat, sederhana dan murah. Tetapi seringkali bahwa pihak yang miskin karena tidak tahu hak-haknya sebagai tergugat, diperlakukan tidak adil atau dihambat haknya untuk didampingi advokat. Hal ini tentu saja sangat merugikan pihak yang menuntut hak nya dan yang nantinya di proses di pengadilan. Untuk menghalangi terjadinya hal tersebut, dibutuhkan suatu lembaga atau organisasi hukum yang memperjuangkan keadilan dan penegakan hukum seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang mendampingi klien atau pihak yang dirugikan hak nya, dengan catatan klien atau pihak yang akan didampingi perkaranya lemah secara ekonomi atau financial. Hal ini diatur juga di dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2) UndangUndang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang menyatakan bahwa Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum dan Penerima Bantuan Hukum tersebut adalah orang atau kelompok orang miskin.

Peranan Lembaga Bantuan Hukum dalam memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma dalam proses perkara perdata maupun Pidana bagi orang yang tidak mampu / golongan lemah adalah sangat penting. Seorang penasihat hukum dalam menjalankan profesinya harus selalu berdasarkan pada suatu kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan guna mewujudkan suatu pemerataan dalam bidang hukum yaitu kesamaan kedudukan dan kesempatan untuk memperoleh suatu keadilan. Hal tersebut secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 27 ayat (1), yang berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukan nya dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya”. Persamaan di hadapan hukum tersebut dapat terealisasi dan dapat dinikmati oleh masyarakat apabila ada kesempatan yang sama untuk mendapatkan keadilan. Persamaan dihadapan hukum harus diiringi pula dengan berbagai

kemudahan untuk mendapatkan keadilan, termasuk didalamnya pemenuhan hak atas bantuan hukum. Pemberian bantuan hukum seperti yang diatur dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum dalam Bab IV Pasal 8 Ayat 1 dan 2 yang berbunyi Pelaksanaan Bantuan Hukum dilakukan oleh Pemberi Bantuan Hukum yang telah memenuhi syarat berdasarkan Undang-Undang ini. Syarat-syarat Pemberi Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi a. berbadan hukum b. terakreditasi berdasarkan Undang-Undang ini c. memiliki kantor atau sekretariat yang tetap d. memiliki pengurus dan e. memiliki program Bantuan Hukum. Sementara itu fakir miskin merupakan tanggung jawab negara yang diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi: “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara” Berdasarakan Undang-undang sebagaimana yang telah saya sebutkan diatas pada ayat 1 bahwa untuk mendirikan suatu Lembaga Organisasi dibidang Bantuan Hukum harus memenuhi kelima syarat tersebut. Gerakan bantuan hukum sesungguhnya merupakan gerakan konstitusional. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) kemudian mengembangkan konsep Bantuan Hukum Struktural (BHS), konsep yang didasarkan pada upaya-upaya untuk mendorong terwujudnya negara hukum yang menjamin keadilan sosial.

Hukum-hukum yang ditetapkan bukanlah hasil kompromi institusi-institusi negara dan kekuatan pasar dan modal semata, tetapi hukum yang dirumuskan atas dasar tuntutan dan aspirasi masyarakat. Pada tanggal 4 Oktober tahun 2011, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan RUU tentang Bantuan Hukum dalam rangka menjamin hak konstitusional bagi setiap warga negara yang mencakup perlindungan hukum, kepastian hukum, persamaan di depan hukum, dan perlindungan Hak AsasiManusia (HAM). Dengan disahkannya undang - undang ini terdapat 2 (dua) makna. Pertama, melalui undang-undang ini setiap orang, khususnya warganegara tidak mampu berhak atas bantuan hukum dan negara bertanggungjawab memenuhi hak tersebut dengan menyediakan anggaran yang memadai.

Hak atas bantuan hukum adalah hak dasar setiap warga negara yang sama kedudukannya dengan hak-hak lain seperti kesehatan, pekerjaan, sandang dan pangan, dan seterusnya. Kedua, negara melalui Departemen Hukum dan HAM bertanggung jawab mengelola program bantuan hukum secara akuntabel, sehingga implementasi program dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dengan menerima bantuan hukum yang profesional, bertanggung jawab dan memenuhi rasa keadilan para pencari keadilan. Dengan adanya program bantuan hukum diharapkan tidak akan terjadi lagi peristiwa perlakuan yang menyimpang terhadap pihak

(3)

yang tidak mampu yang tersangkut pada perkara perdata maupun pidana. Selain itu adanya petunjuk program bantuan hukum bagi golongan masyarakat yang kurang mampu melalui Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara, hal ini tercantum dalam instruksi Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.03-UM.06.02 Tahun 1999. Negara pun menyediakan Posbakum (Pos Bantuan Hukum) yaitu ruang yang disediakan oleh dan pada setiap Pengadilan Negeri bagi Advokat Piket dalam memberikan layanan bantuan hukum kepada Pemohon bantuan hukum untuk pengisian formulir permohonan bantuan hukum, bantuan pembuatan dokumen hukum, konsultasi hukum, memberikan rujukan lebih lanjut tentang pembebasan biaya perkara, dan memberikan rujukan lebih lanjut tentang bantuan jasa Advokat, sebagaimana yang tertera pada Keputusan Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor : 1/DJU/OT.01.03/I/2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Bantuan Hukum.

Pemberian bantuan hukum oleh lembaga bantuan hukum memiliki peranan yang sangat besar yaitu untuk mendampingi kliennya sehingga dia tidak akan diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh aparat negara, demikian juga untuk membela dalam hal materinya yang mana di sini diharapkan dapat tercapainya keputusan yang mendekati rasa keadilan dari pengadilan. Dengan adanya bantuan hukum secara cuma-cuma / gratis maka orang yang tidak mampu yang dalam hal ini dimaksudkan pada tingkat perekonomian, yang terlibat dalam proses perkara perdata akan mendapat keringanan untuk memperoleh penasihat hukum sehingga hak - haknya dapat terlindungi dan proses pemeriksaan perkara perdata maupun pidana tersebut dapat berlangsung sebagaimana mestinya. Di samping itu hal tersebut akan mendorong para penasihat hukum untuk lebih meningkatkan profesionalisme dalam hal memberikan bantuan hukum hal

tersebut di atas perlu dilaksanakan sebab dalam kenyataannya masih ada perlakuan yang tidak baik terhadap para pihak terutama jika ia miskin. Sehingga ini merupakan suatu fenomena yuridis yang membutuhkan suatu sarana atau alat yang kiranya mampu untuk memberikan perlindungan dari penegakan hukum untuk menegakkan hak-hak para pihak. Peristiwa semacam ini jika tidak ditindak lanjuti akan menyebabkan adanya tekanan-tekanan dalam setiap tingkat pemeriksaan yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Mungkin juga hal tersebut memiliki dampak psikologis yang dapat berakibat fatal terhadap diri para pihak. Dan bila hal itu terus terjadi akan menyebabkan wibawa hukum dan pengadilan semakin terpuruk.

1.1 Pengertian Orang Tidak Mampu

Tolak ukur orang tidak mampu atau miskin sampai saat ini masih menjadi masalah yang sulit untuk dipecahkan, bukan hanya di negara-negara berkembang bahkan dinegara-negara yang sudah maju sekalipun masih tetap menjadi masalah. Soerjono Soekanto [1] mengatakan bahwa kemiskinan dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf hidup kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Sejarah mencatat orang kaya dan miskin dapat hidup secara berdampingan dan bukan termasuk masalah sosial, sampai masa perdagangan mulai berkembang dengan pesat di seluruh dunia dan timbulnya nilai-nilai sosial yang baru, yang mana masyarakat mulai menetapkannya taraf hidup tertentu sebagai suatu masalah sosial. Pada masa itu, individu sadarakan kedudukan ekonominya sehingga mereka mampu menilai dan menyatakan apakah dirinya kaya atau miskin. Masalah sosial akan muncul apabila perbedaan ekonomi pada warga masyarakat ditentukan secara tegas

1.2 Pengertian Bantuan Hukum

Bantuan hukum dalam artian luas dapat diartikan sebagai upaya untuk membantu golongan miskin dibidang hukum, sedangkan dalam artian sempit adalah jasa hukum yang khusus diberikan secara cuma-cuma kepada orang miskin baik diluar maupun dalam persidangan pidana, perdata, dan tata usaha. negara, oleh seorang atau lebih yang mengerti mengenai seluk beluk pembelaan hukum, asas-asas dan kaidah hukum dan hak asasi manusia.

Pengertian bantuan hukum menurut penulis adalah pembelaan hukum yang diberikan seorang advokat kepada seorang yang sedang mengalami masalah hukum, suatu perkaranya diperiksa dalam pemeriksaan pendahuluan atau sewaktu dalam proses pemeriksaan perkaranya dimuka pengadilan. Adnan Buyung Nasution dalam buku “Bantuan Hukum Indonesia” [2] menerangkan bahwa, Bantuan hukum ialah sebagai upaya untuk membantu golongan yang tidak mampu dalam bidang hukum upaya ini mempunyai tiga aspek yang saling berkaitan, yakni : Aspek perumusan rumusan hukum, aspek pengawasan terhadap mekanisme untuk menjaga agar aturan-aturan itu ditaati, dan aspek pendidikan masyarakat agar aturan-aturan itu dihayati.

1.3 Lembaga Bantuan Hukum (LBH)

Pengertian Lembaga Bantuan Hukum adalah suatu wadah yang terorganisir dengan baik yang bertujuan untuk memberikan bantuan hukum, yaitu [3]:

(4)

a. Memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat luas yang tidak mampu dan/atau buta hukum tanpa membedakan agama, suku, ras, keyakinan politik maupun latar belakang social dan budaya. Menumbuhkan, mengembangkan, dan memajukan pengertian dan penghormatan akan nilai-nilai negara hukum dan hak-hak asasi manusia pada umumnya dan khususnya meninggikan kesadaran hukum dalam masyarakat baik kepada pejabat maupun warga negara biasa agar sadar akan hak-hak dan kewajiban sebagai subyek hukum.

b. Membina dan memperbaharui hukum dan pelaksanaan hukum sesuai dengan tuntutan jaman. 2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis yaitu pendekatan masalah melalui penelitian hukum dengan melihat norma hukum yang berlaku yang akan menghasilkan teori-teori tentang eksistensi dan fungsi hukum dalam masyarakat. Penelitian ini juga menekankan pada praktek di lapangan dikaitkan dengan aspek hukum atau perundangan-undangan yang berlaku bekenaan dengan objek penelitian yang dibahas dan melihat norma - norma hukum yang berlaku kemudian dihubungkan dengan kenyataan atau fakta-fakta yang terdapat dalam masyarakat.

2.1 Jenis Data

Di dalam melakukan penelitian ini, jenis data yang diperlukan adalah :

1. Data primer yaitu data yang didapatkan langsung dari objek penelitian lapangan (field research) yaitu di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan.

2. Data sekunder yaitu data yang telah diolah dan merupakan data yang diperoleh dari bahan kepustakaan hukum yang terkait dengan masalah penelitian, antara lain mencakup dokumen, buku, hasil penelitian yang berwujud laporan, dan sebagainya. Data-data sekunder tersebut berbentuk bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier di jelaskan sebagai berikut:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat, yang mengatur masalah pelaksanaan bantuan hukum dalam beracara secara cuma - cuma (prodeo) oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan yang terdiri dari :

a) Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b) Kitab Undang - Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);

c) Undang - Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;

d) Undang - Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum;

e) HIR/RBg;

f) Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma - Cuma;

g) Instruksi Menteri Kehakiman RI No . M 01-UM.08.10 Tahun 1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Putusan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat yang Kurang Mampu Melalui Lembaga Bantuan Hukum

h) Instruksi Menteri Kehakiman Republik Indonesia NomorM.03- UM.06.02 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Bantuan Hukum Bagi Golongan Masyarakat Kurang Mampu Melalui Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara

i) Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor : 1/DJU/OT.01.03/I/2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Bantuan Hukum Lampiran.

j) Praturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Dan Penyaluran Dana Bantua Hukum

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan pada dasarnya memberikan penjelasan secara teoritis terhadap rumusan-rumusan peraturan yang dijadikan dasar hukumnya dan atau menjelaskan secara teoritis bahan hukum primer, seperti pendapat para ahli yang terdapat dalam literatu yang digunakan serta dokumen yang diperlukan.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum ini pada dasarnya memberikan penjelasan atas berbagai istilah yang digunakan, baik yang terdapat dalam peraturan - peraturan sebagaimana dikemukakan, maupun istilah asing yang digunakan oleh para ahli. Bahan hukum tertier ini dapat berupa kamus umum baik kamus bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa Belanda maupun kamus bahasa hukum.

(5)

a) Penelitian kepustakaan (Library Research) Penelitian kepustakaan (Library Research) merupakan penelitian yang dilakukan terhadap buku-buku karya ilmiah, undang - undang dan peraturan - peraturan terkait lainnnya. Bahan penelitian kepustakaan ini diperoleh penulis dari :

1. Perpustakaan Daerah Sumatra Utara 2. Perpustakaan daearah Kota Medan 3. Buku - buku serta bahan kuliah yang

penulis miliki.

b) Penelitian Lapangan (Field Research) Penelitian lapangan merupakan penelitian yang diperoleh langsung di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, serta pihak - pihak yang terkait dengan pelaksanaan bantuan hukum dalam beracara secara cuma - cuma (prodeo) oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan tersebut.2.2 Jenis Penelitian 2.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Studi dokumen, meliputi pengambilan data - data atau dokumen- dokumen yang terdapat di lapangan baik berupa berkas maupun dokumen hukum lainnya pada instansi yang relevan dengan objek penelitian.

2.3 Analisa Data

Data-data yang telah diolah sebelumnya dianalisis lebih lanjut untuk mendapatkan suatu kesimpulan dari permasalahan yang ada. Dalam hal ini akan dianalisis secara kualitatif yaitu didasarkan pada peraturan perundang - undangan, teori ahli termasuk pengetahuan yang didapatkan kemudian diuraikan dengan kalimat - kalimat.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Peran Lembaga Bantuan Hukum Kota Medan Dalam Memberikan Jasa Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma Kepada Masyarakat Yang Tidak Mampu Ditinjau Dari Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.

Dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum Pasal 1 menyatakan bahwa :

1. Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.

2. Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin.

3. Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini. Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam Pasal 54 KUHAP (Kitab Undang Hukum Acara Pidana), dalam Pasal 3 No 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum Menjelaskan : 1. penyelengaraan Bantuan Hukum bertujuan

untuk menjamin dan memenuhi hak bagi penerima Bantuan Hukum untuk mendapatkan akses keadilan

2. mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum

3. menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia

4. mewujudkan Peradilan yang efektif, efesien, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Sejarah Lahirnya dan Ruang Lingkup Bantuan Hukum Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum Pengukuhan Indonesia sebagai negara hukum pada pasal 1 ayat (3) UUD 1945, memberi pesan adanya keinginan kuat agar negara menjamin terselenggaranya persamaan kedudukan dalam hukum, antara lain ditandai dengan diaturnya hak setiap orang untuk mendapatkan perlakuan yang sama didepan hukum, serta jaminan bagi setiap orang untuk mendapatkan keadilan (justice for all dan access to justice). Hak-hak ini sesungguhnya merupakan hak-hak dasar setiap orang yang bersifat universal. Konsep ini menjadi penting untuk dipahami, karena selama ini Negara selalu dihadapkan pada kenyataan adanya sekelompok masyarakat yang miskin atau tidak mampu sehingga tidak dapat terpenuhi haknya untuk mendapatkan keadilan yang semestinya terpenuhi berdasarkan konsep Negara hukum. Untuk mewujudkan gagasan Negara hukum tersebut, maka Negara memiliki kewajiban untuk menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan keadilan. Dengan kata lain, Negara harus menjamin terselenggaranya bantuan hukum bagi orang miskin atau orang yang tidak mampu sehingga tidak ada yang luput dari akses keadilan sebagai amanat konstitusi. Pasca perubahan ketiga mulai bergulir wacana akan pentingnya Undang-Undang Bantuan Hukum, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia bersama-sama dengan elemen sipil lainnya menggulirkan berbagai program dengan tajuk “ justice for the poor” dan “access to justice”. Gagasan ini disambut baik oleh berbagai pihak dan diperkuat dengan dibentuknya dalam nota kesepahaman antara bappenas dengan lembaga internasional. Wacana pentingnya keberadaan Undang-Undang Bantuan Hukum semakin menguat ketika dalam proses pembahasan Rancangan

(6)

Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Rancangan Undang-Undang Advokat, dibahas juga masalah bantuan hukum. Selain itu momentum lahirnya Undang-Undang Bantuan Hukum juga tidak lepas dari dua peristiwa penting. Pertama, diselenggarakannya pertemuan puncak mengenai bantuan hukum yang dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kedua, disusunnya strategi nasional Bappenas yang juga mencakup isu peningkatan access to justice. Dalam program Bappenas itulah disebutkan program pemerintah untuk membuat Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum. Hal ini disambut positif oleh kelompok masyarakat sipil dengan disusunnya naskah akademik dan draft Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum versi masyarakat sipil. Dengan dimotori oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, sekelompok masyarakat sipil menyusun naskah akademik dan draft Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum. Proses perumusan naskah akademik dan draft Rancangan Undang-Undang bantuan Hukum itu sendiri tidak terlepas dari hasil rapat kerja nasional Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia pada tahun 2005. Rakernas Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia memandatkan kepada badan pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia untuk menginisiasi pembentukan undang-undang tentang Bantuan Hukum. Berdasarkan kesepakatan seluruh peserta rakernas pada saat itu, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum Surabaya mendapat tugas untuk melakukan penelitian dan inisiasi awal tentang pembentukan Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum. Setelah dilakukan penelitian kemudian disusunlah naskah akademik dan batang tubuh Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum.

Dalam Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum yang diinisiasi oleh Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum Surabaya terdapat 15 Bab yang meliputi (Ketentuan Umum, Asas dan Tujuan, Kewajiban Negara, Jenis Layanan Bantuan Hukum, Pelaksanaan bantuan Hukum yang berisi tentang ketentuan Syarat, Hak dan Kewajiban Pembela Publik, Penerima Bantuan Hukum, Organisasi Bantuan Hukum, Tata Cara Permohonan Bantuan Hukum, Perhimpunan Bantuan Hukum Nasional (yan berisi tentang tugas dan wewenang, tempat kedudukan, keanggotaan dan Susunan BPHN), Dewan Kehormatan Bantuan Hukum, Kongres, Anggaran, Sanksi Administrasi dan Ketentuan Pidana, Ketentuan Peralihan serta Penutup). Pasca dirumuskannya Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum tersebut, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia bersama Lembaga Bantuan Hukum Jakarta melakukan proses Konsenyering Publik diberbagai wilayah guna mensosialisasikan pentingnya Undang-Undang Bantuan Hukum, mengingat banyaknya masyarakat miskin yang belum mampu mengakses keadilan melalui pemberian bantuan hukum sacara gratis dari negara yang merupakan tanggung jawab negara

(state obligation). Meski Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia telah melakukan pendekatan dan kampanye yang massif terkait arti penting Undang-Undang Bantuan Hukum ini negara masih enggan untuk mengadopsi usulan tersebut. Pada akhirnya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia melakukan rapat konsolidasi bersama dengan 14 Lembaga Bantuan Hukum kantor dibawahnya untuk merumuskan tindak lanjut dari agenda advokasi Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum. Pertemuan tersebut menghasilkan beberapa strategi, salah satunya disepakati untuk mendorong pembentukan peraturan terkait pemberian bantuan hukum di tingkat local, meskipun peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagai peraturan payungnya belum ada.

Pada tahun 2008, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia melakukan audensi ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah untuk melahirkan Undang-Undang Bantuan Hukum bagi masyarakat miskin, buta hukum dan marjinal yang sedang menjalani proses hukum sebagai perwujudan hak-hak konstitusional yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Pada kesempatan itu, Patra M. Zen (Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) ditunjuk menjadi ketua tim pengurus Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum setelah bertemu dengan kepala Bappenas, Paskah Suzetta, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hammid Awaludin. Pasca digantinya Hamid Awaludin sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia oleh Andi Mattalatta, keluarlah surat keputusan pengangkatan Patra M. Zen sebagai ketua tim pengurus Rancangan Undang Bantuan Hukum. Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum itu sendiri kemudian menjadi inisiasi Pemerintah. Dalam perjalanannya kemudian, draft Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum tersebut juga diadopsi menjadi inisiasi Dewan Perwakilan Rakyat. Pada 1 Desember 2009, Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah secara resmi memasukkan Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum kedalam Prolegnas 2009-2014 dan menjadi salah satu dari lima puluh lima Rancangan Undang-Undang prioritas Prolegnas 2010 sebagai Rancangan Undang-Undang inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat. Meskipun Rancangan Undang Undang Bantuan Hukum diadopsi, namun didalam batang tubuh Rancangan Undang-Undang tersebut terdapat banyak perubahan. Hal ini yang mendorong Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia untuk memotori elemen sipil lainnya untuk membentuk koalisi advokasi Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum (KUBAH) pada tahun 2009. Jaringan ini telah beberapa kali menyelenggarakan kegiatan mulai dari workshop, Focus Group Discussion (FGD), dan lain-lain hingga menghasilkan sebuah kertas posisi dan draft Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum versi masyarakat sipil. Draft yang duhasilkan ini merupakan draft tandingan atas Rancangan Undang-Undang versi Pemerintah dan Badan Legislatif Dewan

(7)

Perwakilan Rakyat. Jaringan KUBAH secara terus-menerus mengawal pembahasan Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum mulai dari Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Dewan Perwakilan Rakyat serta monitoring yang dilakukan sejak tahun 2009 hingga Rancangan Undang-Undang tersebut disahkan pada tahun 2011.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia secara resmi ditunjuk oleh Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menjadi ketua Panitia Penyusunan Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum melalui Surat Keputusan Manteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor. PPE.34.PP.01.02 tahun 2009 tentang Pembentukan Panitia Penyusunan Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum. Di sisi internal Pemerintah, melalui Surat Presiden Republik Indonesia Nomor. R.51/Pres/06/2010 tertanggal 24 Juni 2010, Presiden telah menunjuk menteri-menteri terkait yakni Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, dan Reformasi Birokrasi, serta Menteri Keuangan untuk melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang ini di Dewan Perwakilan Rakyat. Sementara itu, melalui Rapat Badan Musyawarah (Bamus) Dewan Perwakilan Rakyat menunjuk Badan Legislasi sebagai perwakilan legislative untuk membahas Rancangan Undang-Undang ini bersama pemerintah. Dimana sebelum surat resmi Nomor. 222/SK/YLBHI/VI/ 2010 sebenarnya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum telah mendesak Presiden Republik Indonesia memberikan mandate kepada para menterinya untuk membahas Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum bersama Dewan Perwakilan Rakyat.

Pembahasan pertama Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum dilakukan Pada tanggal 1 September 2010, dengan agenda pengesahan jadwal rapat, penyampaian pandangan Pemerintah dan tanggapan Badan Legislasi atas pandangan Pemerintah. Pada perjalanannya, Badan Legislasi juga mengundang masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya melalui sarana Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang diselenggarakan lebih dari sembilan kali. Berbagai pihak juga diundang untuk menyampaikan pendapat antara lain dari Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung, dan kelompok masyarakat sipil.

Pembahasan Panitia Kerja (Panja) awal antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tanggal 12 Oktober 2010 terdapat beberapa isu krusial dalam Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum. Pertama, sehubungan dengan pihak pertama pemberi bantuan hukum; kedua, terkait pihak penerima bantuan hukum; ketiga, sehubungan dengan ruang lingkup seperti beda antara litigasi dan non litigasi; keempat, sehubungan dengan sumber pembiayaan penyelenggara bantuan hukum; kelima, masalah kelembagaan.

Berbagai substansi yang mengalami kebuntuan ini disepakati untuk diselesaikan melalui lobby antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah pada tanggal 25 November 2010. Dalam agenda lobby tersebut pemerintah menawarkan bentuk kelembagaan bantuan hukum nasional secara hukum dan koordinasi dibawah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dengan pelaksana tetap Lembaga Bantuan Hukum, Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) dan pemberi bantuan hukum yang telah terakreditasi. Akibat alotnya perdebatan antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah terkait format kelembagaan bantuan hukum di Indonesia dalam Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum, bahkan hingga akhirnya masa siding keempat tahun 2010-2011, Rancangan Undang-Undang tersebut belum juga dibahas kembali. Karenanya keberadaan payung hukum Undang-Undang Bantuan hukum ini menjadi tertunda. Sampai akhirnya keluarlah kesepakatan untuk penyelenggaraan bantuan hukum dibawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) sebagai pihak pelaksananya. Setelah terjadi kesepakatan itu, melalui siding paripurna Dewan Perwakilan Rakyat yang terselenggara pada tanggal 4 Oktober 2011, Rancangan Undang-Undang bantuan Hukum pada akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang. Kebijakan bantuan hukum ditingkat lokal ini berguna bagi perumusan Peraturan Pemerintah tentang syarat dan tata cara pemberian dan penyaluran dana bantuan hukum, Peraturan Menteri tentang verifikasi dan akreditasi hingga Peraturan Menteri tentang standart bantuan hukum.

Pembelajaran dari masing-masing daerah dalam melaksanakan dan melayani pemberian bantuan hukum dengan sistem pada klausul syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum, proses penyaluran dana pemberian bantuan hukum dan bukti-bukti penggunaan bantuan hukum, pelaksanaan anggaran, pertanggunggjawaban serta pengawasan menjadi modal yang sangat besar untuk kemudian dibahas dan diadopsi pada saat perumusan rancangan Peraturan Pemerintah tentang syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum dan penyaluran dana bantuan hukum [4]. Didalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan hukum dijelaskan bahwa pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang ini [5].Syarat-syarat untuk menjadi pemberi bantuan hukum dijelaskan dalam Pasal 8 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan hukum yaitu “ berbadan hukum, terakreditasi berdasarkan undang-undang ini, memiliki kantor atau secretariat yang tetap, memiliki pengurus, dan memiliki program bantuan hukum [6] didalam Pasal 4 ayat (1), (1), dan (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dejalaskan mengenai ruang lingkup bantuan hukum, yaitu:

(8)

1. Bantuan hukum diberikan kepada penerima bantuan hukum yang menghadapi masalah hukum;

2. Bantuan hukum sebagaimana dimaksud didalam ayat (1) meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun non litigasi

3. Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum penerima bantuan hukum. Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dejalaskan mengenai hak pemberi bantuan hukum yaitu:

4. YLBHI, Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, YLBHI, Jakarta, 2014, halaman 2-8

5. Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang bantuan Hukum.

a. Melakukan rekrutmen terhadap advokat, Paralegal, dosen, dan mahasisiwa fakultas hukum;

b. Melakukan pelayanan bantuan hukum; c. Menyelenggarakan penyuluhan hukum,

konsultasi hukum, dan program kegiatan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan bantuan hukum; d. Menerima anggaran dari negara untuk

melaksanakan bantuan hukum berdasarkan undang-undang ini.

e. Mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang bertangungjawabnya di dalam siding pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

f. Mendapatkan informasi dan data lain dari pemerintah ataupun instansi lain untuk kepentingan pembelaan perkara.

g. Mendapatkan jaminan perlindungan hukum, keamanan dan keselamatan selama menjalankan pemberian bantuan hukum [7]

Berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dejalaskan mengenai kewajiban pemberi bantuan hukum, yaitu:

1. Melaporkan kepada menteri tentang program bantuan hukum;

2. Melaporkan setiap penggunaan anggaran negara yang digunakan untuk pemberian bantuan hukum berdasarkan undang-undang ini;

3. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bantuan hukum bagi advokat, paralegal, dosen, mahasiswa fakultas hukum yang direkrut sebagaiman dimaksud dalam pasal 9 huruf a;

4. Menjaga kerahasiaan data, informasi dan/atau keterangan yang diperoleh dari penerima bantuan hukum berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang;

5. Memberikan bantuan hukum kepada penerima bantuan hukum berdasarkan syarat dan tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini sampai Berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dejalaskan mengenai hak penerima bantuan hukum, yaitu:

1. Mendapatkan bantuan hukum hingga masalah hukumnya selesai dan/atau perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, selama penerima bantuan hukum yang bersangkutan tidak mencabut surat kuasa;

2. Mendapatkan bantuan hukum sesuai dengan standar bantuan hukum dan/atau kode etik advokat; 3. Mendapatkan informasi dan dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan pemberian bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan [8] .

Berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dejalaskan mengenai kewajiban penerima bantuan hukum, yaitu:

1. Menyampaikan bukti, informasi dan/atau keterangan perkara

2. secara benar kepada pemberi bantuan hukum [9]. 4. Kesimpulan

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan Penulis uraikan diatas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan yaitu, sebagai berikut;

1. Peranan Lembaga Bantuan Hukum dalam memberikan Bantuan Hukum Medan secara Cuma-Cuma kepada masyarakat miskin menunjukan sudah efektif dan penanganannya sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma – Cuma

2. Dari data diatas menunjukan bahwa dari awal Januari Tahun 2016 hingga awal Desember 2016 Lembaga Bantuan Hukum Medan memberikan jasa bantun Hukum dalam proses pengaduan 154 pengaduan diantaranya perkara Pidana 54, Perdata 80, Perselisihan hubungan Industrial 19, Tata Usaha negara 1 ini menunjukan sudah efektifnya Lembaga Bantuan Hukum Medan dalam memberikan jasa Bantuan Hukum secara Cuma-Cuma.

(9)

Adapun saran yang dapat penulis berikan sehubungan dengan penulisan Skripsi ini adalah;

1. Perlunya peningkatan dana angaran alokasi yang diberikan negara kepada setiap lembaga lembaga Bantuan hukum yang terakriditasi dalam memberikan jasa bantuan Hukum secara Cuma-Cuma kepada Masyarakat yang tidak mampu. 2. Perlunya pembentukan Organisasi-Organisasi

Bantuan Hukum di setiap daerah agar akses dalam memberikan Bantuan Hukum secara Cuma-Cuma mudah tercapai dan mempermudah masyarakat mendapatkan perlindungan hukum secara Cuma-Cuma, karena Bantuan Huku secara Cuma-Cuma bukan hanya belas kasihan ini termasuk Hak Asasi Manusia.

3. Perlunya sosialisasi Hukum dalam Memberikan jasa perlindungan hukum secara Cuma-Cuma kepada masyarakat, agar masyarakat yang buta hukum paham akan hak-hak mereka sebagai masyarakat indonesia, karena jasa perlindungan Hukum secara Cuma-Cuma adalah bagian dari Hak Asasi Manusia

Daftar Rujukan

[1] Soerjono Soekarno didalam buku pengantar sosiologi

[2] Nasution Adnan Buyung. 1988. Bantuan Hukum di Indonesia. LP3ES: Jakarta.

[3] Hukumonline.com

[4] YLBHI, 2014, Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, YLBHI, Jakarta.

[5] Pasal 1 Angka 3 UU No 16 Tahun 2011 [6] Pasal 8 Ayat 2 UU No 16 Tahun 2011 [7] Pasal 9 UU No 16 Tahun 2011 [8] Pasal 10 UU No 16 Tahun 2011

[9] Tanjung Ali Mukti 2017, Upaya Rehabilitasi Bagi Penyalahguna Narkotika Oleh Badan Narkotika Nasional Kabupaten Serdang Bedagai. Focus Hukum UPMI

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan permasalahan yang dihadapi oleh mitra, maka tim dosen fakultas ekonomi melakukan pengabdian dengan memberikan pelatihan pengelolaan BUMDes yang baik serta

Dari perhitungan diatas didapat hasil penilaian terbesar ada pada V2 yaitu Supplier ke 2 (PCM) dengan bobot 0.9265 sehingga supplier ke 2 (PCM) layak atau dapat

Data koordinat X,Y, dan Z diperoleh dari hasil pengukuran terestris menggunakan Total Station Leica FlexLine kemudian data tersebut diolah menggunakan Software

Penelitian Falikhatun (2007) menghasilkan bahwa variabel informasi asimetri mempunyai pengaruh negatif tetapi signifikan terhadap hubungan partisipasi penganggaran

Berdasarkan faktor - faktor yang mempengaruhi kinerja sistem informasi akuntansi perusahaan diatas, maka faktor yang digunakan untuk mengukur kinerja sistem

21 Hospital Ampang 22 Hospital Selayang 23 Hospital Serdang 24 Hospital Sungai Buloh 25 Hospital Shah Alam 26 Hospital Kajang 27 Hospital Banting W.P Kuala. Lumpur 28

-empat puluh= petang puluh, sekawan welas.. -enak=

Kompetensi pendukung adalah kompetensi yang diharapkan dapat mendukung kompetensi dasar dan kompetensi utama yang ditetapkan oleh program studi sebagai pilihan yang