• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. tidak terlepas dari pertumbuhan dan perkembangan yang dialami oleh setiap individu. Periode

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. tidak terlepas dari pertumbuhan dan perkembangan yang dialami oleh setiap individu. Periode"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Manusia merupakan makhluk yang mengalami perubahan dalam setiap tahap kehidupannya, baik itu perubahan fisik maupun perubahan psikologis. Perubahan tersebut tidak terlepas dari pertumbuhan dan perkembangan yang dialami oleh setiap individu. Periode perkembangan manusia memiliki klasifikasi yang cukup panjang yang dimulai dari tahap prenatal sampai pada dewasa akhir.

Perjalanan dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan ditandai dengan peristiwa panjang yang disebut dengan masa remaja (Papalia, 2009). Santrock (2007) mendefinisikan remaja sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan dewasa yang melibatkan perubahan biologis, kognitif dan sosio emosional. Masa remaja ditandai dengan munculnya pubertas, proses yang pada akhirnya akan menghasilkan kematangan seksual atau fertilitas (Papalia, 2009).

Hall (dalam Santrock, 2007) mengatakan masa remaja yang usianya berkisar antara 12 hingga 23 tahun diwarnai oleh pergolakan. Strom and stress adalah konsep dari Hall yang menyatakan bahwa remaja merupakan masa pergolakan yang dipenuhi oleh konflik dan perubahan suasana hati. Menurut Hall, berbagai pikiran, perasaan dan tindakan remaja berubah-ubah antara kesombongan dan kerendahan hati, niat yang baik dan godaan, kebahagiaan dan kesedihan.

Erikson (dalam Santrock, 2007) menyebutkan masa remaja merupakan tahapan dimana seorang mengalami identity versus identity confussion. Dalam mengeksplorasi dan mencari identitasnya, remaja sering kali bereksperimen dengan berbagai peran. Contohnya saat remaja

(2)

menyukai seorang kawan namun diminggu berikutnya mereka membenci kawan tersebut. Hal inilah yang biasanya dilakukan oleh remaja untuk menemukan identitasnya.

Pemaparan diatas telah menjelaskan mengenai gambaran tahap perkembangan yang dialami remaja. Terlepas dari itu, pada tahap ini remaja juga dihadapkan pada tugas perkembangannya. Setiap tahapan perkembangan manusia terdapat tugas-tugas tertentu yang berasal dari harapan masyarakat yang harus dipenuhi oleh individu yang disebut sebagai tugas perkembangan. Tugas perkembangan remaja dipusatkan pada penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa (Hurlock, 1980).

Sama halnya dengan tugas perkembangan, masalah yang muncul dalam setiap tahap perkembanganpun berbeda-beda. Sejumlah masalah mungkin memiliki kecenderungan lebih besar untuk timbul pada suatu tingkat perkembangan tertentu dibandingkan tingkat perkembangan lainnya. Sebagai contoh rasa takut banyak dialami oleh anak-anak dan masalah penyalahgunaan narkoba lebih banyak dialami di masa remaja (Achenbach & Edelbrock dalam Santrock, 2007).

Salah satu media massa menyebutkan, sebesar 22% pengguna narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar. Jumlah tersebut menempati posisi kedua terbanyak setelah pekerja, yang menggunakan narkoba (Sindonews, 2013). Pengguna narkoba yang berusia 12-21 tahun ditafsir sekitar 14.000 orang dari jumlah seluruh remaja di Indonesia. Jumlah pengguna narkotika, psikotropika dan zat adiktif dikalangan remaja, meningkat jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya (Kompas, 2013).

Untuk daerah Denpasar sendiri, kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan kota Denpasar masih dihadapkan pada permasalahan narkoba yang semakin memprihatinkan (Balipost, 2014). Kepala badan Keluarga Berencana (KB) dan Pemberdayaan Perempuan (PP)

(3)

kota Denpasar juga menambahkan bahwa kasus kenakalan remaja di Denpasar yang terjadi selama tahun 2013 meningkat dari tahun-tahun sebelumnya (diperoleh dari denpasarkota.go.id). Penyalahgunaan narkoba dan benda terlarang lainnya telah mencapai 490 kasus selama periode Januari-Agustus 2014 dan kasus tertinggi adalah kasus di daerah Denpasar (Balipost, 2014).

Hal ini tentunya menjadi suatu permasalahan yang serius bagi para orangtua dalam medidik anaknya. Orangtua memiliki peranan yang sangat penting agar anak tidak terjerumus dalam obat-obatan terlarang (BNN, 2013). Remaja seringkali menggunakan narkoba sebagai bentuk pelarian terhadap masalah mereka (Sarwono, 2012).

Selain menggunakan narkoba sebagai media pelariannya, ada juga remaja yang merespon masalah mereka dengan memberontak atau bahkan menarik diri. Sarwono (2012) mengatakan pemberontakan yang dilakukan remaja ini biasanya terjadi sebagai reaksi ketidakpuasan remaja terhadap lingkungan sosialnya. Misalnya, ketidakpuasan itu muncul karena orangtua yang terlalu menuntut dan kurang mengerti, dapat pula terjadi karena ketidakpedulian teman sebaya. Permasalahan lain yang juga sering terjadi pada remaja adalah permasalahan di sekolah. Menurut Sarwono (2012) permasalahan di sekolah ini disebabkan karena tuntutan orangtua dan guru terhadap anak agar anak berprestasi tinggi terlepas dari bagaimana kemampuan yang dimiliki anak. Akibatnya anak tersebut takut mengecewakan orangtua namun tidak mampu juga untuk memenuhi tuntutan tersebut, sehingga anak memilih untuk bersifat agresif atau menarik diri. Perilaku agresif atau menarik diri, sejalan dengan pendapat Papalia (2009) yang menyebutkan bahwa masa remaja dikenal sebagai masa pemberontakan yang melibatkan gejolak emosional, konflik dalam keluarga, keterasingan dari masyarakat dewasa, perilaku gegabah dan penolakan nilai-nilai orang dewasa.

(4)

Tidak hanya berbagai respon diatas, respon lainnya juga ditunjukkan oleh remaja ketika dihadapkan pada suatu permasalahan, yakni melalui perilaku bunuh diri. Akhir-akhir ini berita tentang kasus bunuh diri banyak terjadi pada kalangan remaja. Bunuh diri diketahui menduduki peringkat ketiga sebagai penyebab utama kematian pada remaja (National Centre for Health Statistic, 2015). Di Indonesia, pada bulan Februari tahun 2015 silam, terdapat kasus bunuh diri yang dilakukan oleh mahasiswa di salah satu universitas di Bali (Balipost, 2015). Tindakan bunuh diri ini erat kaitannya dengan masalah depresi yang dialami remaja. Santrock (2007) menjelaskan kendali yang tinggi dan tekanan untuk berprestasi yang dilakukan oleh orangtua berkaitan dengan depresi pada remaja yang kemudian menjadikan hal tersebut sebagai faktor yang berperan dalam upaya bunuh diri. Selain itu, depresi dapat juga berawal dari penolakan lingkungan dan relasi yang buruk dengan lingkungan sosial.

Menurut Hurlock (1980) masalah yang timbul pada tahap perkembangan remaja merupakan masalah yang sulit diatasi baik oleh remaja laki-laki maupun remaja perempuan. Terdapat dua alasan bagi kesulitan itu. Pertama, sepanjang masa kkanak, masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh orangtua dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, para remaja merasa diri mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orangtua dan guru-guru.

Sarwono (2012) mengatakan apabila seorang remaja tidak berhasil mengatasi situasi-situasi kritis dan masalah-masalah yang timbul dalam tahap perkembangan ini, maka besar kemungkinan remaja akan terperangkap masuk ke dalam kasus-kasus penyalahgunaan obat, penyalahgunaan seks, depresi, bunuh diri dan kenakalan remaja yang lain. Maka dari itu, untuk menghindari hal tersebut remaja perlu memiliki resiliensi untuk membuat remaja mampu menghadapi konflik dan mampu beradaptasi dalam situasi yang tidak menyenangkan

(5)

sehingga remaja dapat kembali bangkit dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya agar siap dengan tugas perkembangan selanjutnya.

Resiliensi merupakan pola adaptasi yang positif dalam menghadapi kesulitan yang signifikan (Masten & Reed, 2002). Ginsburg & Jablow (2006) menjelaskan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit dari keadaan sulit, suatu sifat yang memungkinkan individu untuk eksis di dunia ketika individu hendak bergerak maju dengan optimis dan keyakinan bahkan di tengah kesulitan. Kendall (1999) menjelaskan resiliensi sebagai kemampuan individu untuk beradaptasi dan menempatkan diri dengan baik terhadap pengalaman yang tidak menyenangkan atau dalam situasi permasalahan yang berat.

Mastern & Reed (2002) menyebutkan ada dua hal yang menentukan seseorang dapat dikatakan resilien. Pertama, individu melakukan semuanya dengan baik atau lebih dari baik. Kedua, individu tersebut telah berada dalam keadaan yang menimbulkan ancaman namun tetap memiliki hasil yang baik.

Mastern (dalam Santrock, 2007) melakukan penelitian terkait resiliensi dan menyimpulkan bahwa sejumlah faktor individu seperti fungsi intelektual yang baik, faktor keluarga seperti relasi yang karib dengan figur orang tua, pola asuh yang hangat, dan faktor-faktor diluar keluarga seperti ikatan dengan orang dewasa di luar keluarga yang memiliki sifat prososial, dimiliki oleh remaja yang memiliki resiliensi.

Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Mastern, bahwa pola asuh merupakan salah satu faktor yang dapat membentuk resiliensi pada remaja. Pola asuh autoritatif merupakan salah satu dari tiga tipe pola asuh yang di kemukakan oleh Baumrin (1991). Orangtua dengan pola asuh autoritatif mendorong remaja agar mandiri namun masih membatasi dan mengendalikan aksi-aksi mereka. Orangtua memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk berdialog secara verbal. Orangtua juga bersikap hangat dan mengasuh (Santrock, 2007).

(6)

Orangtua yang menerapkan pola asuh autoritatif bersikap mendorong anak agar terbiasa dengan pendapat orang lain dan berani untuk menyampaikan pendapat personalnya. Orangtua juga berusaha untuk mendengarkan pandangan anak terhadap suatu hal dan melibatkan anak dalam proses pengambilan keputusan (Baumrind, 2005).

Baumrind (2005) menyebutkan dari ketiga tipe pola asuh, pola asuh autoritatif merupakan pola asuh yang paling efektif yang dapat diterapkan oleh orangtua dalam mendidik anak. Steinberg & Silk (2002) menjelasan pola asuh jenis autoritatif dianggap sebagai tipe pola asuh yang paling efektif dengan beberapa alasan. Pertama, orangtua autoritatif mencapai keseimbangan yang baik antara pengendalian dan autonomi sehingga memberikan remaja peluang untuk mengembangkan kemandirian sambil memberikan standar, batasan, dan bimbingan yang diperlukan oleh anak-anak. Kedua, orangtua autoritatif cenderung lebih banyak melibatkan anak dalam dialog verbal dan membiarkan mereka mengekspresikan pandangan-pandanganya. Ketiga, kehangatan dan keterlibatan yang diberikan oleh orangtua yang autoritatif membuat anak lebih bersedia menerima pendidikan orang tua.

Penelitian Rossman & Rea (2005) menunjukkan hasil bahwa pola asuh autoritatif memiliki korelasi yang positif dengan kemampuan beradaptasi pada anak. Slicker (1998) juga menyatakan hal yang sama dalam penelitian yang dilakukannya. Slicker menyebutkan terdapat perbedaan kemampuan penyesuaian diri pada anak berdasarkan tipe pola asuh yang digunakan oleh orang tuanya. Anak yang merasakan orang tuanya menerapkan pola asuh autoritatif menunjukkan penyesuaian diri yang baik.

Kemampuan beradaptasi dan penyesuaian diri yang baik memiliki keterkaitan dengan karakteristik resiliensi. Individu dikatakan sebagai individu yang resilien apabila mampu untuk beradaptasi dengan lingkungan yang tidak menyenangkan. Hal tersebut yang kemudian membuat peneliti mengasumsikan bahwa pola asuh autoritatif juga memiliki hubungan dengan

(7)

resiliensi. Maka dari itu penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara pola asuh autoritatif dengan resiliensi pada remaja di Denpasar.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara pola asuh autoritatif dengan resiliensi pada remaja di Denpasar ?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pola asuh autoritatif dengan resiliensi pada remaja di Denpasar.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kajian pemikiran dalam ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Positif terkait dengan resiliensi pada remaja di Denpasar serta Psikologi Perkembangan mengenai hubungan antara pola asuh autoritatif dengan resiliensi pada remaja di Denpasar.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi orangtua, hasil penelitian ini dapat membantu orangtua dalam memilih pola asuh yang tepat serta mampu untuk menerapkan perilaku dan tindakan dalam memberikan pendidikan karakter pada anak.

b. Bagi remaja, penelitian ini diharapkan dapat membantu remaja dalam merespon dan beradaptasi terhadap setiap peristiwa tidak menyenangkan yang terjadi.

(8)

E. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian yang serupa telah dilakukan sebelumnya, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Wulansari (2013) yang meneliti mengenai hubungan pola asuh demokratis orangtua dan lingkungan sekolah dengan kecerdasan emosional anak siswa SD kelas V Keceme I, Sleman. Penelitian ini mengambil sampel siswa-siswa kelas V SD dengan teknik sampling adalah sampel total. Sampel diambil dengan jumlah 46 orang siswa. Data hasil penelitian diuji dengan menggunakan teknik regresi berganda dan korelasi parsial. Terdapat beberapa perbedaan antara penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilaksanakan ini, perbedaan tersebut diantaranya terdapat pada jenis dan jumlah variabelnya. Pada penelitian ini hanya terdapat dua variabel, yaitu variabel pola asuh autoritaif dengan variabel resiliensi. Selain itu, perbedaan juga dapat dilihat dari karakteristik subjek penelitian. Pada penelitian ini subjek penelitiannya adala remaja siswa-siswi SMA. Perbedaan juga dapat dilihat dari segi teknik pengambilan sampel serta analisis data yang digunakan. Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel two stages cluster random sampling dengan teknik analisis data menggunakan uji person product moment.

Penelitian lain yang juga memiliki kemiripan dengan penlitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Asiyah (2013) yang meneliti tentang pola asuh demokratis, kepercayaan diri dan kemandirian mahasiswa baru. Penelitian ini mengambil sampel mahasiswa baru fakultas dakwah IAIN Sunan Ampel dengan jumlah sampel sebanyak 131 orang mahasiswa. Sampel diambil dengan menggunakan teknik proportional random sampling dan dianalisis dengan menggunakan uji regresi berganda dan korelasi parsial. Perbedaan yang dapat dilihat dengan penelitian ini adalah variabel penelitian, yakni variabel pola asuh autoritatif dengan resiliensi. Sampel penelitian merupakan remaja siswa-siswi SMA yang diambil dengan

(9)

menggunakan teknik two stages cluster random sampling. Uji analisis yang digunakan adalah pearson product moment.

Sagone & Elvira (2013) juga melakukan penelitian yang serupa dengan judul “Relationship between Besilience, Self Efficacy and Thinking Styles in Italian Middle Adolescent”. Penelitian ini memiliki tiga variabel yaitu variabel resiliensi, efikasi diri dan gaya berfikir. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja pertengahan yang berusia 13 sampai 15 tahun dengan jumlah 130 orang, 70 orang laki-laki dan 60 orang perempuan. Sampel diambil dengan menggunakan teknik simple random sampling dan uji analisis dengan menggunakan uji pearson linear correlation dan uji t-test. Perbedaan yang dapat dilihat dengan penelitian yang akan dilakukan kali ini adalah variabel penelitian, yaitu variabel resiliensi dengan pola asuh autoritatif. Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel yang berbeda, yaitu two stages cluster random sampling. Teknik analisis yang digunakan juga berbeda, pada penelitian ini uji analisis dilakukan dengan menggunakan uji pearson product moment.

Penelitian lain dilakukan oleh Zakeri, Jowkar & Razmjee (2010) mengenai “Parenting Styles and resiliency”. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan pola asuh dengan resiliensi. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitaif dengan menggunakan analisis t-test. Responden dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang berjumlah 350 orang (235 perempuan dan 115 laki-laki) yang diseleksi dengan menggunakan metode acak, multi-stages. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif antara penerimaan dan keterlibatan tipe pola asuh dengan resiliensi. Sikap yang hangat, mendukung dan pola asuh yang berpusat pada anak berhubungan dengan perkembangan resiliensi pada anak. Orangtua membantu anak untuk menjadi kebal dalam kondisi stres dengan menciptakan hubungan yang dekat dan positif dengan anak. Penelitian ini juga menyebutkan pola asuh autoritatif dianggap

(10)

sebagai faktor pelindung yang dapat meningkatkan kemampuan untuk mengatasi peristiwa kehidupan negatif dan krisis.

Khalid dan Aslam (2012) juga melakukan penelitian yang serupa dengan judul “Relationship of Perceived Parenting with psychological Distress & Resiliency among adolescent”. Responden dalam penelitian ini adalah remaja yang berusia 15-18 tahun dengan jumlah 200 orang, 100 orang laki-laki dan 100 orang perempuan. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Penelitian ini menunjukan hasil, pola asuh autoritatif memiliki hubungan yang positif dengan resiliensi dan hubungan yang negatif dengan kesulitan psikologis. Pola asuh authoritarian dan permisif memiliki hubungan yang negatif dengan resiliensi dan hubungan yang positif dengan kesulitan psikologis.

Penelitian serupa lainnya juga dilakukan oleh Ritter (2005) dengan judul “Parenting style: their impact on the development of adolescent resiliency”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola asuh – autoritatif, authoritarian atau permisif – yang memiliki hubungan terhadap resiliensi. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja yang berumur 16-18 tahun yang diambil dengan menggunakan teknik random sampling. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa remaja dengan level resiliensi tinggi memiliki keterkaitan dengan pola asuh autortatif. Sedangkan pola asuh authoritarian dan permisif menghasilkan resiliensi dengan level rendah. Ritter (2005) berfokus untuk melihat tipe pola asuh yang mana yang dapat meningkatkan resiliensi pada remaja dan tipe pola asuh mana yang dapat menghambat.

Penelitian yang dilakukan oleh Zakeri, Jowkar & Razmjee (2010), Khalid dan Aslam (2012) dan Ritter (2005) memiliki kemiripan dengan penelitian yang akan dilakukan kali ini. Kemiripan dapat dilihat dari segi variabel dan responden dalam penelitian. Pada penelitian sebelumnya pola asuh yang digunakan adalah pola asuh autoritatif, authoritarian dan permisif, kemudian dilihat pola asuh mana yang memiliki hubungan paling signifikan terhadap

(11)

resiliensi. Sementara pada penelitian ini hanya menggunakan satu tipe pola asuh saja, yaitu pola asuh autoritatif yang kemudian ingin dilihat hubungannya dengan resiliensi. Selain itu, perbedaan juga dapat dilihat dari segi demografis, yaitu perbedaan letak geografis tempat dilakukan penelitian serta budaya yang melatarbelakangi subjek penelitian, bahwa penelitian ini dilakukan di Indonesia sementara penelitian yang didapat diatas dilakukan diluar Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

underwear rules ini memiliki aturan sederhana dimana anak tidak boleh disentuh oleh orang lain pada bagian tubuhnya yang ditutupi pakaian dalam (underwear ) anak dan anak

JURUSAN/PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI'AH FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG.. Nama Dosen Hari Jam Mata Kuliah Smt Kelas

Analisis stilistika pada ayat tersebut adalah Allah memberikan perintah kepada manusia untuk tetap menjaga dirinya dari orang-orang yang akan mencelakainya dengan jalan

Dari hasil pengujian ini dapat disimpulkan semakin kuat budaya organisasi dan semakin tinggi komitmen dosen akan meningkatkan kinerja mereka dalam mencapai tujuan PTS

Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan beberapa hal mengenai penelitian ini, yakni (1) guru dalam melaksanakan pendekatan kontekstual pada pembelajaran cerpen

Latar Belakang: Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak siap atau labil dapat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui untuk mengetahui program atau aturan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja yang paling sering dilakukan, serta program K3 apa saja

Sebagai sebuah tinjauan, proses evolusi pada pencarian himpunan hitting minimal melalui Algoritma Genetika yang dikemukakan di dalam tulisan hanyalah merupakan salah satu