• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN Variasi Gen COI dan Gen COII S. incertulas di Jawa dan Bali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBAHASAN Variasi Gen COI dan Gen COII S. incertulas di Jawa dan Bali"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBAHASAN

Variasi Gen COI dan Gen COII S. incertulas di Jawa dan Bali

Sekuen individu S. incertulas untuk masing-masing gen COI dan gen COII dapat dikelompokkan menjadi haplotipe umum dan haplotipe-haplotipe lain yang merupakan gabungan data sekuen penelitian ini dengan data sekuen yang sudah ada (Tabel 8 untuk gen COI; Tabel 13 untuk gen COII). Haplotipe umum ditentukan berdasarkan sekuen DNA yang paling banyak ditemukan yaitu haplotipe 5 untuk gen COI (Tabel 6) dan haplotipe 1 untuk gen COII (Tabel 11). Fenomena tersebut menunjukkan bahwa berdasarkan penanda gen COI dan gen COII kemungkinan disebabkan oleh adanya aliran gen maternal dari serangga penggerek batang padi pada semua lokasi di Jawa dan Bali.

Fenomena lain pada masing-masing gen mtDNA penelitian ini adalah ditemukan haplotipe baru. Jumlah individu S. incertulas untuk haplotipe baru gen COII yaitu haplotipe 5 yang tersebar di semua lokasi penelitian ini. Hal yang berbeda, pada gen COI S. incertulas untuk haplotipe baru (haplotipe 7, 8, 9) hanya ditemukan satu individu untuk tiap lokasi.

Haplotipe baru yang ditemukan pada gen COII (haplotipe 5, 6, dan 7) menunjukkan variasi subtitusi nukleotida lebih tinggi dibandingkan dengan gen COI. Tiga haplotipe baru pada gen COII (Tabel 13) memiliki jumlah variasi subtitusi tiap individu antara 3-5 nukleotida yang menghasilkan jarak genetik berkisar antara 0.000-0.016 (Tabel 16). Jarak genetik yang lebih kecil (0.000-0.003) terjadi dari variasi yang sedikit pada gen COI dibandingkan gen COII pada penggerek batang padi kuning hasil penelitian ini (Tabel 11). Selain itu, jumlah individu S. incertulas untuk haplotipe baru gen COII yaitu haplotipe 5 tersebar di semua lokasi penelitian ini. Hal yang berbeda, pada gen COI S. incertulas untuk haplotipe baru (haplotipe 7, 8, 9) hanya ditemukan satu individu untuk tiap lokasi. Jarak genetik yang lebih besar pada gen COII S. incertulas tersebut menghasilkan pohon filogeni COII yang lebih memberikan sinyal filogeni dibandingkan gen COI. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan panjang cabang (branch length) pada pohon filogeni. Panjang cabang pada pohon filogeni memberikan gambaran jumlah perubahan nukleotida (Li 1997). Konstruksi

(2)

filogeni gen COII S. incertulas membentuk tiga kluster yang menggambarkan pengelompokkan haplotipe baru yang terpisah dengan haplotipe yang sudah ada (Gambar 17). Kluster A merupakan kluster terbesar yang terdiri atas individu S. incertulas yang memiliki haplotipe umum, haplotipe 2, dan haplotipe 4. Kluster B terdiri atas hanya individu S. incertulas yang memiliki haplotipe 3. Haplotipe baru pada penelitian ini yaitu haplotipe 5 dan haplotipe 6 yang berasal dari individu S. incertulas dari berbagai lokasi di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, mengelompok pada kluster C. Variasi genetik tertinggi (lima substitusi) terdapat pada penggerek batang padi yang dikoleksi di Situbondo (haplotipe 7) menyebabkan haplotipe ini terpisah dari posisi basal untuk kluster A, B, dan C. Filogeni S. incertulas menggunakan gen COI dan gen COII belum memperlihatkan haplotipe yang spesifik dari tiap lokasi. Oleh karena itu, eksplorasi variasi haplotipe lebih lanjut perlu dilakukan di Sumatera, Kalimantan, dan Indonesia bagian timur.

Seluruh perubahan basa pada haplotipe baru terjadi pada satu basa, dengan demikian dapat disebut sebagai mutasi titik (point mutation) (Li 1997). Selanjutnya, haplotipe baru yang ditemukan pada sekuen gen COI dan COII S. incertulas merupakan hasil perubahan nukleotida yang termasuk dalam substitusi transisi yang terjadi karena subtitusi oleh salah satu basa purin (basa A atau G) atau salah satu basa pirimidin (basa T atau C) (Hoy 2003). Substitusi transisi terjadi pada haplotipe 7 gen COI S. incertulas, transisi terjadi pada nukleotida ke-482 dengan perubahan basa C menjadi T. Pada haplotipe 9, subtitusi transisi terjadi pada nukleotida ke-677 dengan perubahan basa yaitu basa A menjadi basa G (Tabel 8). Perubahan basa DNA tidak selalu menyebabkan perubahan asam amino (Avise 1994). Fenomena tersebut dikenal dengan silent mutation atau mutasi sinonim (Li 1997). Hal ini terlihat pada semua variasi nukelotida pada gen COI dan COII, kecuali perubahan basa nukleotida pada haplotipe 5 dan haplotipe 6 (Tabel 13). Perubahan asam amino pada gen COII S. incertulas tersebut adalah pada basa nukleotida ke-220, basa nukleotida A (kodon AUU) menjadi basa nukleotida G (kodon GUU) (Tabel 13). Kodon AUU menyandi isoleusin, sedangkan kodon GUU menyandi valin. Asam amino berubah jika perubahan basa nukleotida terjadi pada basa nukleotida pertama atau kedua dari susunan tiga basa

(3)

nukleotida (Klug et al. 2006). Walaupun asam amino pada gen COII S. incertulas berubah, asam amino isoleusin dan valin termasuk dalam satu kelompok asam amino non-polar hidrofobik (Nei & Kumar 2000). Oleh karena itu, kemungkinan perubahan asam amino tersebut tidak merubah struktur pada tingkat protein.

Analisis gen COII S. incertulas lebih memberikan informasi variasi genetik dibandingkan gen COI. Oleh karena itu, eksplorasi lebih lanjut variasi genetik S. incertulas dapat menggunakan gen COII sebagai penanda molekular. Informasi variasi haplotipe dapat digunakan untuk mengetahui asal-usul S. incertulas. Eksplorasi variasi genetik lebih lanjut dapat dilakukan terhadap distribusi S. incertulas di Asia untuk mendapatkan gambaran besar pengelompokkan penggerek batang padi yang akan memberikan informasi asal usul penggerek batang padi di Indonesia. Sebagai contoh, di Jepang, variasi haplotipe gen COII digunakan untuk menunjukkan ada dua garis asal-usul O. furnacalis yaitu garis asal usul A yang berasal dari empat pulau utama di Jepang (Hokkaido, Honshu, Shikoku, dan Kyushu) serta Cina. Pada garis asal-usul B yang terdiri atas dua pulau utama di Jepang (Hokkaido dan Kyushu) serta Filipina (Hoshizaki et al. 2008a). Selain itu, hubungan kekerabatan antar indvidu dalam satu spesies dapat diketahui berdasarkan penanda mitokondria. Lange et al. (2004) melakukan penelitian dengan menggunakan gen COII S. excerptalis asal India dan Papua Nugini. Berdasarkan penanda gen COII tersebut menunjukkan bahwa S. excerptalis termasuk ke dalam kluster Crambidae, serta terpisah dengan kluster Pyralidae.

Deteksi Dini S. incertulas

Penentuan spesies penggerek batang padi Famili Crambidae dapat dilakukan dengan menggunakan database sekuen gen COI dan gen COII S. incertulas di Jawa dan Bali sudah ada pada penelitian ini. Selain itu, database sekuen gen COI S. innotata sudah di analisis dan dapat diakses pada GenBank (Nomor Akses: AB495264). Penentuan spesies penggerek batang padi dilakukan pada fase instar ke-1, karena morfologi larva instar ke-1 sulit dibedakan antar spesies. Aplikasi molekular menggunakan gen penanda COII dilakukan untuk identifikasi lima spesies kutu daun pada tanaman jeruk yaitu Planococus citri,

(4)

Paracoccus burnerae, Pseudococcus longispinus, Pseudococcus calceolariae, Pseudococcus viburni (Hemiptera: Pseudococcidae). Serangan serangga pada tanaman jeruk menyebabkan kualitas buah jeruk menjadi rendah. Akibatnya, proses ekspor buah tersebut dari Afrika ke Amerika terganggu (Pieterse et al. 2010).

Berdasarkan sekuen hasil penelitian ini, deteksi awal selanjutnya dapat menggunakan metode lebih mudah, cepat, ekonomis yaitu Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP). Metode RFLP ini telah digunakan untuk mengetahui variasi haplotipe gen COI dan gen COII O. nubilalis. Karakteristik gen-gen mtDNA O. nubilalis tersebut menemukan 26 titik mutasi dari 1414 individu yang berasal dari 15 lokasi di Amerika Utara. Hasil pemotongan menggunakan enzim restriksi pada metode RFLP tersebut menunjukkan polimorfisme yang rendah. Polimerfisme yang rendah tersebut terlihat pada situs pemotongan menggunakan enzim restriksi DdeI, HaeIII, MspI, dan Sau3AI untuk tiap gen mtDNA O. nubilalis. Selain itu, hasil situs pemotongan enzim restriksi tersebut menunjukkan hanya ada sepuluh haplotipe yang ditemukan (Coates 2004).

Metode-metode analisis variasi DNA tersebut dapat dilakukan untuk eksplorasi lanjutan data base variasi haplotipe S. incertulas di Indonesia. Pemantauan S. incertulas dengan melakukan analisis DNA digunakan sebagai penanda genetik organisme.

Pemantauan serangan S. incertulas secara genetik perlu dilakukan untuk mengetahui kelimpahan dan distribusi serangga tersebut di Indonesia. Di Cina, pemantauan terhadap penggerek batang padi C. suppressalis telah dilakukan sejak tahun 1990. Pengendalian C. suppressalis dilakukan terhadap data distribusi serangga tersebut pada beberapa daerah di dataran rendah dan mediterania Cina. Berdasarkan pemantauan C. suppressalis tersebut diketahui bahwa kelimpahan C. suppressalis disebabkan oleh faktor iklim, aktivitas manusia, tipe kultivar padi, serta keberadaan musuh alami (Li & Li 1996). Selanjutnya, analisis secara molekular C. suppresalis dilakukan untuk mengetahui keragaman genetik serangga tersebut di Cina. Analisis tersebut menggunakan penanda molekular pada genom inti dan genom mitokondria. Penelitian tersebut menyatakan bahwa

(5)

analisis variasi genetik menggunakan gen mtDNA lebih menunjukkan tingkat diferensiasi dibandingkan dengan DNA inti. Berdasarkan mtDNA, variasi haplotipe pada C. suppressalis yaitu gen COI terdapat 27 haplotipe, gen COII terdapat 24 haplotipe, gen NADH dehydrogenase subunit 1 (ND1) terdapat 25 haplotipe, dan gen large ribosomal RNA subunit 16 (16S lrRNA) terdapat 22 haplotipe. Selanjutnya, analsis variasi genetik menggunakan DNA inti pada empat lokus mikrosatelit menunjukkan haplotipe yang tidak signifikan pada empat lokus dengan rata-rata heterozigositas antara 0.591 sampai 0.725. Selain itu, berdasarkan data haplotipe pada gen mtDNA dan mikrosatelit DNA inti, populasi C. suppressalis di Cina terbagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok Cina bagian tengah (CC), kelompok Cina bagian utara dan timur laut (NN), dan kelompok Cina bagian barat daya (SW) (Meng et al. 2008).

Aplikasi dan Rencana Penelitian Selanjutnya

Metode molekular sekuen DNA dapat digunakan untuk identifikasi secara akurat. Agusti et al. (2005) membandingkan persentase parasitoid pada O. nubilalis menggunakan teknik morfologi dan molekular. Berdasarkan identifikasi morfologi tidak ada perbedaan antara parasitoid pada larva ngengat penggerek jagung tersebut. Sedangkan analisis molekular dengan meneggunakan gen COI diperoleh dua spesies parsitoid pada larva ngengat ini yaitu Lydella thompsoni (Herting) dan Pseudoperichaeta nigrolineata (Walker) (Diptera: Tachinidae). (Agusti et al. 2005).

Analisis genetik menggunakan gen COI juga dapat digunakan untuk menentukan terbentuknya dua biotipe parasitoid Sturmiopsis parasitica (Curran) (Diptera: Tachnidae) di Afrika. Kedua biotipe tersebut yang dibedakan berdasarkan sekuen divergen gen COI sebesar 5.3%. Analisis filogeni pada serangga tersebut juga menunjukkan polimorfisme intras spesies S. parasitica (Ditrich et al. 2005). 

Penelitian ini memberikan data dasar bahwa sekuen DNA gen COII pada ngengat S. incertulas memiliki variasi yang lebih tinggi dibandingkan gen COI. Dengan demikian, untuk analisis atau aplikasi selanjutnya dapat menggunakan gen COII.

(6)

Berdasarkan sekuen DNA gen COII hasil penelitian ini (Lampiran 6) dapat dilanjutkan dengan metode RFLP (Hoy 2003) yaitu dengan menganalis jenis enzim restriksi yang memotong gen COII. Pola pita DNA hasil pemotongan gen COII dengan enzim restriksi dipilih pola yang spesifik yang mencirikan masing-masing spesies penggerek batang padi.

Selain itu, metode RFLP dapat dilakukan juga untuk menganalisis jumlah haplotipe (Kourti 2006). Analisis RFLP ini telah dilakukan pada empat populasi penggerek batang jagung Sesamia nonagriodes (Lepidoptera: Noctuidae) dari Mediteranean (Yunani dan Spanyol) berdasarkan sekuen gen COI dan gen COII yang sudah dihasilkan (Kourti 2006). Lima enzim restriksi yaitu BglIII, EcoRI, EcoRV, SacI, dan XhoI digunakan dalam RFLP dan berhasil menemukan dua haplotipe ngengat S. nonagriodes (Kourti 2006).

Berdasarkan hasil penelitian ini, dalam pelaksanaan metode RFLP pada gen COII, suhu annealing pada PCR untuk RFLP perlu ditingkatkan menjadi 55

o

C dari suhu 50 oC yang digunakan dalam penelitian ini. Dengan meningkatkan suhu annealing amplifikasi gen COII menjadi 55 oC, maka dapat dihasilkan amplikon tunggal (data tidak dipublikasikan) sebagai sumber fragmen DNA untuk analisis RFLP.  

 

Referensi

Dokumen terkait

Dengan berdasarkan SK Mendikbud No.025/O/1995 tentang Petunjuk Teknis Ketentuan Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya Prayitno dan kawan-kawan

Bila suatu indikator pH kita gunakan untuk menunjukkan titik akhir titrasi maka indikator harus berubah warna tepat pada saat titran menjadi ekivalen dengan

Proses pembuatan ammonium sulfat [(NH4)2SO4] dengan metode reaksi netralisasi asam – basa dapat berlangsung menggunakan bahan baku ammonia (NH3) sebagai basa dan asam

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas di kelas V SD Negeri 104228 Sei Mencirim Kutalimbaru TA 2017/2018 dapat disimpulkan : (1) Model pembelajaran Bermain

Mensikapi kaum feminis yang ingin ‘membongkar’ orientasi pesantren, dengan pendidikan berbasis gender, dan menghendaki para- digmatik, egaliter, fleksibel dan

Adapun kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah rata-rata populasi hama pada pertanaman padi Varietas Ciherang yang dikelola secara PHT lebih tinggi dibandingkan dengan

Dengan ditemukannya kandungan serat dan phytochemical pada kulit jeruk, seperti yang terkandung dalam tepung gandum, maka pengolahan limbah kulit jeruk menjadi tepung

Kedua muka mempunyai guratan ganda dan kedua tepi mempunyai guratan tunggal atau satu polos (untuk tepi pengaman).. Kikir