• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA KETEPATAN PEMBERIAN ANTIBIOTIK BERDASARKAN PANDUAN ATS/IDSA 2019 DENGAN PERBAIKAN KLINIS PADA PASIEN PNEUMONIA KOMUNITAS RAWAT INAP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA KETEPATAN PEMBERIAN ANTIBIOTIK BERDASARKAN PANDUAN ATS/IDSA 2019 DENGAN PERBAIKAN KLINIS PADA PASIEN PNEUMONIA KOMUNITAS RAWAT INAP"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

1

HUBUNGAN ANTARA KETEPATAN PEMBERIAN ANTIBIOTIK BERDASARKAN PANDUAN ATS/IDSA 2019 DENGAN PERBAIKAN

KLINIS PADA PASIEN PNEUMONIA KOMUNITAS RAWAT INAP

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Mensiana Ayu Maju NIM : 168114174

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

HUBUNGAN ANTARA KETEPATAN PEMBERIAN ANTIBIOTIK BERDASARKAN PANDUAN ATS/IDSA 2019 DENGAN PERBAIKAN

KLINIS PADA PASIEN PNEUMONIA KOMUNITAS RAWAT INAP

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Mensiana Ayu Maju NIM : 168114174

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini saya persemabahkan untuk:

Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria

Bapa-Mama, saudari-saudariku, kakak-kakak iparku, dan ponakan-ponakanku

Keluarga besar, sahabat-sahabat dan teman-teman Almamaterku Universitas Sanata Dharma “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.”

(4)

x ABSTRAK

Pneumonia yang disebabkan oleh bakteri dapat menyebabkan peradangan paru-paru, jika tidak ditangani dengan tepat dapat mengakibatkan kematian. Ketepatan pemberian antibiotik empiris dapat meningkatkan keberhasilan terapi pada pneumonia dan mencegah timbulnya resistensi bakteri terhadap berbagai macam antibiotik. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai ketepatan pemilihan antibiotik empiris pada pneumonia komunitas dengan menggunakan panduan antibiotik ATS/IDSA 2019, serta hubungannya dengan respon klinis pasien. Penelitian ini merupakan jenis rancangan kohort retrospektif, data diambil dari rekam medis pasien pneumonia komunitas yang di rawat inap dan jumlah sampel yang diambil minimal sebanyak 30. Data rekam medis yang diperoleh kemudian dianalisis dengan uji statistik independent sampel t-test atau uji Mann-Whitney sebagai alternatifnya. Hasil analisis menunjukkan terdapat perbedaan rata-rata perbaikan klinis yang meliputi suhu tubuh, detak jantung dan laju pernapasan antara penderita CAP yang menggunakan antibiotik empiris sesuai panduan ATS/IDSA 2019 dan yang menggunakan antibiotik empiris tidak sesuai panduan ATS/IDSA 2019 (p-value <0,05) serta, tidak terdapat perbedaan rata-rata perbaikan klinis yaitu tekanan darah sistolik antara penderita CAP yang menggunakan antibiotik empiris sesuai panduan ATS/IDSA 2019 dan yang menggunakan antibiotik empiris tidak sesuai panduan ATS/IDSA 2019 (p-value >0,05) di RSUP Dr. Sardjito.

Kata Kunci : Antibiotik, Community Acquired Pneumonia(CAP), Panduan ATS/IDSA 2019, Perbaikan Klinis.

(5)

xi ABSTRACT

Pneumonia caused by bacteria can cause inflammation of the lungs, if not treated properly it can lead to death. The accuracy of giving empiric antibiotiks can increase the success of therapy in pneumonia and prevent the emergence of bacterial resistance to various kinds of antibiotiks. The aim of this study was to assess the appropriateness of empiric antibiotik selection in community pneumonia using the 2019 ATS/IDSA antibiotik guide, as well as its relationship with patient clinical response. This research is a type of retrospective cohort design, the data were taken from the medical records of community pneumonia patients who were hospitalized and the number of samples taken was at least 30.The medical record data obtained were then analyzed by statistical independent sample t-test or the Mann-Whitney test as a the alternative. The results of the analysis show that there is a difference in the mean clinical improvement including body temperature, heart rate and respiratory rate between CAP patients who use empirical antibiotiks according to the 2019 ATS/IDSA guidelines and those using empirical antibiotiks that are not according to the 2019 ATS / IDSA guidelines (p-value <0.05) and, there was no difference in the mean clinical improvement, namely systolic blood pressure between CAP patients who used empirical antibiotiks according to the 2019 ATS / IDSA guidelines and those using empirical antibiotiks not according to the 2019 ATS / IDSA guidelines (p-value >0.05 ) at Dr. Sardjito.

Keywords: Antibiotiks, Clinical Improvement, Community Acquired Pneumonia (CAP), 2019 ATS/IDSA Guidelines

(6)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi

PRAKATA ... vii

ABSTARK ...x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ...xv

PENDAHULUAN ...1

METODE PENELITIAN ...3

Desain dan Subjek Penelitian ... 3

Pengambilan Data ... 5

Analisis Data ... 5

HASIL DAN PEMBAHASAN ...7

KESIMPULAN ...17

SARAN ...17

DAFTAR PUSTAKA ...18

LAMPIRAN ...21

(7)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Karakteristik Pasien CAP di RSUP Dr. Sardjit………...…………...8 Tabel II. Terapi Antibiotik Empiris Pada Pasien CAP di RSUP

Dr. Sardjit………...……….12 Tabel III. Rata-Rata Perbaikan KlinisPada Penderita CAP Yang

Menggunakan Antibiotik Empiris Sesuai Panduan ATS/IDSA

(8)

xiv

DAFTAR GAMBAR

(9)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Ethical Clearance ... 22

Lampiran 2. Surat Perizinan Penelitian RSUP Dr. Sardjito ... 23

Lampiran 3. Sertifikat CE&BU ... 24

Lampiran 4. Pengumpulan Data ... 25

Lampiran 5. Definisi Operasional ... 28

(10)

1 PENDAHULUHAN

Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit). Pneumonia merupakan infeksi saluran napas bawah, yang masih tetap menjadi masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003). Pneumonia merupakan salah satu infeksi yang sering ditemukan pada usia lanjut. Terdapat lebih dari sejuta kasus pneumonia yang memerlukan perawatan di Amerika Serikat, 600.000 kasus di antaranya pada pasien di atas 65 tahun (Mulyana, 2019). Data South East Asian Medical Information Center (SEAMIC) Health Statistik 2001 influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

Pneumonia selalu masuk dalam 10 besar penyakit di Indonesia. Pada tahun 2013, pneumonia ditemukan dengan prevalensi 3,1% di Sumatera Barat. Di Kota Padang jumlah kunjungan pengobatan pneumonia mengalami kenaikan dari tahun 2008 hingga 2013, dengan 5.878 kasus pada 2008 dan 8.970 kasus pada 2013 (M. A. Sari et al., 2018). Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2016 (Data Tahun 2015) di DIY secara keseluruhan, angka penemuan kasus pneumonia adalah 18,06%, sedangkan Profil Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2016 secara keseluruhan, angka penemuan kasus pneumonia adalah 23,13% (Dinkes DIY, 2016). Dari data ini dapat dilihat adanya kenaikan pada kasus pneumonia dari tahun 2015 sampai tahun 2016.

Salah satu klasifikasi pneumonia adalah Pneumonia Komunitas (Community Acquired Pneumonia) atau CAP. Infeksi saluran napas bawah termasuk pneumonia komunitas menduduki urutan ke-3 dari 30 penyebab kematian di dunia. Angka kematian pneumonia komunitas pada rawat jalan 2%, rawat inap 5-20%, lebih meningkat pada pasien di ruang intensif yaitu lebih dari 50%. Sekitar 20-40% pasien pneumonia komunitas memerlukan perawatan rumah sakit dan

(11)

2

sekitar 5-10% memerlukan perawatan intensif (PDPI, 2014). Di Indonesia, pneumonia termasuk dalam 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit. Angka kematian pada pasien rawat jalan 1% dan pada pasien rawat inap meningkat menjadi sekitar 25%, sehingga diperlukan tatalaksana yang adekuat dan optimal untuk mencegah peningkatan angka kematian (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

Meningkatkan perawatan pasien dewasa dengan pneumonia yang didapat dari komunitas (CAP) telah menjadi fokus banyak organisasi yang berbeda, dan beberapa telah mengembangkan pedoman untuk manajemen CAP. Dua yang paling banyak dirujuk adalah dari Infectious Diseases Society of America (IDSA) dan American Thoracic Society (ATS). Menanggapi tentang perbedaan antara pedoman masing-masing, IDSA dan ATS membentuk komite bersama untuk mengembangkan dokumen pedoman CAP terpadu (Mandell et al., 2007). Rekomendasi antibiotik untuk pengobatan empiris CAP pada panduan ATS/IDSA didasarkan pada memilih agen yang efektif melawan mayor penyebab bakteri CAP yang dapat diobati (Metlay et al., 2019). Kriteria keparahan CAP pada panduan ATS/IDSA 2019 telah divalidasi dan mendefinisikan CAP parah pada penderita dengan melihat satu kriteria mayor atau tiga atau lebih kriteria minor (Metlay et al., 2019) yang telah ditetapkan. Kriteria mayor terdiri atas 2 kriteria yaitu syok septik dengan kebutuhan vasopresor dan kegagalan pernafasan yang membutuhkan ventilasi mekanis, sedangkan kriteria minor terdiri dari 9 kriteria yaitu frekuensi pernapasan ≥ 30 napas/menit, rasio PaO2/FIO2 ≤ 250, infiltrat multilobar, kebingungan/disorientasi, uremia (nitrogen urea darah tingkat ≥ 20 mg/dl), leukopenia (sel darah putih/leukosit, < 4.000 sel/ml), trombositopenia (trombosit, < 100.000/ml), hipotermia (suhu inti, < 36,8 0C), dan hipotensi yang membutuhkan resusitasi cairan dengan agresif (Metlay et al., 2019).

Intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi bakteri terhadap antibiotik. Hal tersebut tidak hanya berdampak pada morbiditas dan mortalitas, tetapi juga memberi dampak negatif terhadap ekonomi dan sosial yang sangat tinggi (PerMenkes, 2011), dengan demikian diperlukan pertimbangan

(12)

3

yang tepat dalam menentukan antibiotik empiris. Pemberian antibiotik yang tepat sangat dianjurkan agar terjadi perbaikan klinis pada pasien pneumonia, oleh karena itu akan dilakukan suatu penelitian dengan judul “Hubungan Antara Ketepatan Pemberian Antibiotik Berdasarkan Panduan ATS/IDSA 2019 dengan Perbaikan Klinis pada Pasien Pneumonia Komunitas Rawat Inap”.

METODE PENELITIAN

Desain dan Subjek Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain Observasional analitik. Metode observasi adalah survei atau penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi. Rancangan penelitian ini adalah kohort retrospektif karena paparannya (dalam penelitian ini berupa pemberian antibiotik) telah dinilai atau diberikan sebelum dilakukannya penelitian ini dan hasil outcomenya sudah ada.Variabel bebas (independen) dalam penelitian ini adalah ketepatan pemberian antibiotik empiris berdasarkan panduan ATS/IDSA 2019, sedangkan variabel tergantung/terikat (dependen) adalah rata-rata lama perbaikan klinis yang meliputi suhu tubuh, detak jantung (nadi), frekuensi pernapasan, dan tekanan darah sistolik pada penderita CAP yang menggunakan antibiotik empiris sesuai panduan ATS/IDSA 2019 dan tidak sesuai panduan ATS/IDSA 2019.

Populasi target dalam penelitian ini adalah pasien usia ≥ 18 tahun dengan pneumonia yang dirawat inap di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta selama tahun 2019. Sampel penelitian adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria penelitian yaitu: kriteria inklusi yang terdiri dari, pasien usia ≥18 tahun dengan pneumonia komunitas yang dirawat inap di rumah sakit, mendapat terapi antibiotik untuk pneumonia, rekam medis lengkap (diagnosa, jenis kelamin, usia, nitrogen urea darah, laju pernapasan/Respiration Rate, tekanan darah, suhu tubuh, denyut jantung, leukosit, lama perbaikan klinis, lama tinggal di RS) dan kriteria eksklusi berupa, ibu hamil atau menyusui, pasien dengan transplantasi organ atau

(13)

4

stem cell yang mengonsumsi obat imunosupresan, pasien dengan sistem imun yang rendah seperti pada pasien dengan HIV, pasien pneumonia komunitas yang memutuskan pulang atas permintaan sendiri atau pulang paksa, pasien dengan komorbid (gagal jantung, gagal ginjal kronik/akut, TBC).

Gambar 1. Skema pengambilan data Jumlah penderita CAP dengan usia ≥ 18

tahun periode Juli-Desember 2019 sebanyak 95 data rekam medis

Inklusi sebanyak 84 data rekam medis

Data rekam medis yang digunakan 40 data Eksklusi sebanyak 44 data rekam medis 18 data Pasien meninggal, 2 data pasien pulang paksa,

24 data adanya komorbid (gagal ginjal

kronis, gagal ginjal akut, gagal jantung kongestif, susp. TBC).

(14)

5 Pengambilan Data

Peneliti melakukan pengumpulan data sekunder berupa rekam medis. Pengambilan data menggunakan teknik purposive sampling, jenis purposive sampling digunakan karena semua sampel yang dipilih berdasarkan kriteria inklusi yang telah ditetapkan untuk dimasukan ke dalam penelitian hingga jumlah sampel telah tercapai. Data yang diambil terdiri dari diagnosa, jenis kelamin, usia, nitrogen urea darah, laju pernapasan/Respiration Rate, tekanan darah, suhu tubuh, denyut jantung, leukosit, lama perbaikan klinis, lama tinggal di RS dan terapi antibiotik yang diperoleh. Penelitian ini telah mendapat izin dari Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada dengan nomor surat No. : KE/FK/ 0381/EC/2020 dan pihak RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta dengan nomor surat No. : LB.02.01/XI.2.2/6913/2020.

Analisis Data

Analisa data dilakukan di Pusat Kajian CE&BU Universitas Gadjah Mada dengan menggunakan program IBM SPSS Statistiks 22. Uji statistik yang digunakan yaitu independent sampel t-test jika data berdistribusi normal, apabilah data tidak berdistribusi normal maka dipakai uji alternatifnya yaitu uji Mann-Whitney. Dalam penelitian ini menggunakan taraf kepercayaan 95% (α = 0,05). Data rekam medis yang digunakan dalam penelitian akan dilihat keparahan CAP untuk melihat ketepatan penggunaan antibiotik berdasarkan panduan ATS/IDSA 2019. Penentuan keparahan CAP berdasarkan panduan ATS/IDSA 2019 dapat dilihat dari satu kriteria mayor atau dapat dilihat dari tiga kriteri minor atau lebih kriteria minor. Kriteria mayor terdiri atas 2 kriteria yaitu syok septik dengan kebutuhan vasopresor dan kegagalan pernafasan yang membutuhkan ventilasi mekanis, sedangkan kriteria minor terdiri dari 9 kriteria yaitu frekuensi pernapasan ≥ 30 napas/menit, rasio PaO2/FIO2 ≤ 250, infiltrat multilobar, kebingungan/disorientasi, uremia (nitrogen urea darah tingkat ≥ 20 mg/dl), leukopenia (sel darah putih/leukosit, < 4.000 sel/ml), trombositopenia (trombosit,

(15)

6

< 100.000/ml), hipotermia (suhu inti, < 360C), dan hipotensi yang membutuhkan resusitasi cairan dengan agresif (Metlay et al., 2019). Data rekam medis yang ada tidak lengkap, sehingga dalam menentukan keparahan CAP pada kriteria minor dari 9 hanya bisa melihat 5 kriteria saja yaitu leukosit, trombosit, nitrogen urea darah (BUN), frekuensi pernapasan, dan hipotermia.

Pada orang dewasa yang di rawat inap dengan tingkat keparahan CAP tidak parah panduan merekomendasikan antibiotik empiris berupa kombinasi β-laktam dan makrolida atau monoterapi dengan fluoroquinolone respirasi, sedangkan pada orang dewasa yang di rawat inap dengan tingkat keparahan CAP parah panduan merekomendasikan antibiotik empiris kombinasi berupa β-laktam dan makrolida atau β-laktam dan fluoroquinolone respirasi (Metlay et al., 2019). Pada penelitian ini pasien akan dikategorikan menjadi, pasien yang menggunakan antibiotik empiris berdasarkan panduan ATS/IDSA 2019 dan pasien yang menggunakan antibiotik empiris tidak berdasarkan panduan ATS/IDSA 2019. Setelah dikelompokkan maka data akan dilihat lama perbaikan klinis dan lama tinggal di RS untuk masing-masing pasien.

Kriteria untuk menentukan perbaikan klinis berdasarkan panduan ATS/IDSA 2019 dilihat dari kriteria suhu, detak jantung, laju pernapasan, tekanan darah, saturasi oksigen, kemampuan makan dan status mental normal. Panduan ATS/IDSA 2007 menjelaskan nilai dari kriteria pasien stabil secara klinis yaitu suhu tubuh ≤ 37,8 0C, detak jantung ≤ 100 kali/menit, laju pernapasan ≤ 24 kali/menit, tekanan darah sistolik ≥ 90 mmHg, saturasi oksigen arteri ≥ 90% atau pO2 ≥60 mmHg dalam ruangan, kemampuan mempertahankan asupan oral, dan status mental normal. Pada rekam medis di RS tidak semua kriteria pasien stabil secara klinis berdasarkan panduan ATS/IDSA dicantumkan, sehingga pada penelitian ini kriteria pasien stabil secara klinis dari 7 kriteria hanya dilihat 4 kriteria saja yaitu tekanan darah sistolik, suhu tubuh, detak jantung, dan laju pernapasan. Data perbaikkan klinis akan dilihat dari pemeriksaan tanda-tanda vital pada asuhan keperawatan pada Rekam Medis pasien, dilihat pada hari keberapa

(16)

7

pasien mengalami perbaikan klinis, sedangkan lama tinggal di RS akan dilihat dari hari pertama pasien di rawat inap sampai hari pasien diperbolehkan pulang.

Hipotesis dalam penelitian ini adalah adanya hubungan antara ketepatan pemberian Antibiotik empiris berdasarkan panduan ATS/IDSA 2019 terhadap perbaikan klinis pada pasien pneumonia komunitas rawat inap.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan data yang telah diperoleh dari RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, jumlah penderita pneumonia komunitas dengan usia lebih dari/sama dengan 18 tahun periode Juli-Desember 2019 sebanyak 95 data rekam medis. Rekam medis yang masuk dalam kriteria inklusi sebanyak 84 data, sebanyak 44 data dieksklusi dikarenakan terdapat 18 data pasien meninggal, terdapat 2 data pasien pulang paksa, dan terdapat 24 data adanya komorbid (gagal ginjal kronis, gagal ginjal akut, gagal jantung kongestif, susp. TBC). Dalam penelitian ini rekam medis pasien pneumonia komunitas yang digunakan sebanyak 40 data dan yang sesuai panduan ATS/IDSA 2019 sebanyak 20 data serta tidak sesuai panduan ATS/IDSA 2019 sebanyak 20 data.

(17)

8

Tabel I. Karakteristik Pasien CAP di RSUP Dr. Sardjito

Karakteristik n %

Terapi antibiotik empiris Sesuai panduan ATS/IDSA - CAP tidak parah - CAP parah

Tidak sesuai

panduan ATSIDSA - CAP tidak parah - CAP parah 20 0 18 2 100 90 10 Usia (Tahun) 19-40 41-50 51-60 >60 4 5 8 23 10 12,5 20 57,5 Lama rawat inap (hari) pasien CAP

Sesuai panduan ATS/IDSA 1-5 ≥ 6 Tidak sesuai panduan ATS/IDSA 1-5 ≥ 6 11 9 4 16 55 45 20 80 Lama perbaikan suhu tubuh (hari)

1-5 ≥ 6 37 3 92,5 7,5 Lama perbaikan tekanan darah sistolik (hari)

1-5

≥ 6 39

1

97,5 2,5 Lama perbaikan detak jantung/nadi (hari)

1-5 ≥ 6 34 6 85 15 Lama perbaikan laju pernapasan (hari)

1-5 ≥ 6 36 4 90 10 Keterangan: n = jumlah keseluruhan; % = persentase

(18)

9

Berdasarkan Tabel. I, kelompok pasien yang menggunakan antibiotik empiris sesuai panduan ATS/IDSA 2019 tidak ditemukan pasien dengan kondisi CAP parah ( 0%) dan pasien yang menderita CAP tidak parah sebanyak 20 (100%), sedangkan pada kelompok penderita yang menggunakan antibiotik empiris tidak sesuai ATS/IDSA 2019 dengan CAP parah terdapat pada 2 (10%) penderita dan CAP tidak parah terdapat pada 18 (90%) penderita. Usia rata-rata penderita pneumonia komunitas yang didapat adalah 60,15 tahun dengan usia terendah adalah 19 tahun dan usia tertinggi adalah 86 tahun. Penderita pneumonia komunitas terbanyak berada pada rentang usia > 60 tahun sebanyak 23 (57,5%), kemudian 51-60 tahun sebanyak 8 (20%), lalu dilanjutkan dengan usia 41-50 tahun sebanyak 5 (12,5%) dan terendah pada usia 19-40 tahun sebanyak 4 (10%). Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Munarsih, Natadidjaja dan Syamsudin (2018), dari hasil penelitian tersebut diperoleh jumlah subjek usia lanjut yang menderita pneumonia komunitas menduduki posisi terbanyak yaitu mencapai 56 (57,1%). Hal ini berbeda dari penelitian yang dilakukan oleh Sari, Raveinal dan Noverial (2018), usia terendah yang menderita pneumonia komunitas adalah 60 tahun dan usia tertinggi adalah 94 tahun. Hal ini dikarenakan pada penelitian tersebut kriteria inklusinya adalah penderita pneumonia komunitas pada geriatrik. Pada penelitian ini pasien berjenis kelamin wanita lebih banyak menderita pneumonia komunitas dibandingkan dengan pria yaitu dengan persentase jenis kelamin wanita sebesar 25 (62,5%) dan jenis kelamin pria sebesar 15 (37,5%). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari, Raveinal dan Noverial (2018) yang di lakukan di RS. Dr. M. Djamil Padang tahun 2016, dari 365 pasien pneumonia komunitas didapatkan 198 (54,25%) pasien dengan jenis kelamin wanita dan 167 (45,75%) pasien dengan jenis kelamin pria. Selain itu, penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Sari, Rumende dan Harimurti (2017) dengan perbandingan jenis kelamin pria 75 (47,5%) dan jenis kelamin wanita 83 (52,5%), sedangkan dalam penelitian Rivero-Calle et al. (2016) di Spanyol menemukan bahwa insiden CAP sedikit lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Penelitian tersebut juga mendapatkan hasil dimana insiden CAP dari usia 18 hingga 65 tahun sebanding

(19)

10

antara pria dan wanita, sedangkan dari usia 65 tahun insiden CAP lebih tinggi pada pria dibandingkan pada wanita. Infeksi saluran napas bawah lebih sering terjadi pada kelompok perokok dan mereka yang perokok pasif (Corwin, 2009). Penelitian systematic review dan meta-analysis yang dilakukan oleh Baskaran et al. (2019), menemukan bahwa paparan asap tembakau secara signifikan terkait dengan perkembangan CAP pada perokok aktif dan mantan perokok serta orang dewasa berusia ≥ 65 tahun yang merupakan perokok pasif berisiko lebih tinggi terkena CAP. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Janah dan Martini (2017), jenis kelamin wanita (71%) lebih banyak terpapar asap rokok sebagai perokok pasif dibandingkan pria (29%).

Dalam penelitian ini jumlah penderita yang menggunakan antibiotik empiris sesuai panduan ATS/IDSA 2019 lebih banyak mengalami lama rawat inap 1-5 hari terdapat 11 penderita dibandingkan dengan penderita yang mengalami lama rawat inap diatas/sama dengan 6 hari terdapat 9 penderita, sedangkan jumlah penderita yang menggunakan antibiotik empiris tidak sesuai panduan ATS/IDSA 2019 lebih banyak mengalami lama rawat inap diatas/sama dengan 6 hari terdapat 16 penderita dibandingkan dengan penderita yang mengalami lama rawat inap 1-5 hari terdapat 4 penderita. Lama perbaikan klinis yaitu suhu tubuh, detak jantung, laju pernapasan, dan tekanan darah sistolik dalam penelitian ini secara keseluruhan lebih banyak jumlah penderita yang mengalami perbaikan dalam waktu 1-5 hari dibandingkan jumlah penderita yang mengalami perbaikan dalam waktu diatas/sama dengan 6 hari. Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Munarsih, Natadidjaja dan Syamsudin (2018) tentang Pengaruh Pemberian Antibiotik Berdasarkan Panduan ATS/IDSA 2007 terhadap Lama Tinggal pada Pasien Pneumonia Komunitas di Rumah Sakit, jumlah penderita yang menggunakan antibiotik empiris sesuai panduan lebih banyak mengalami lama rawat inap 1-5 hari (38 penderita) dibandingkan dengan penderita yang mengalami lama rawat inap diatas/sama dengan 6 hari (11 penderita), sedangkan jumlah penderita yang menggunakan antibiotik empiris tidak sesuai panduan lebih banyak mengalami lama rawat inap diatas/sama dengan 6 hari (37 penderita) dibandingkan dengan penderita yang mengalami

(20)

11

lama rawat inap 1-5 hari (12 penderita). Rotter, et al. (2012) dalam penelitiannya yang berjudul The Effects of Clinical Pathways on Professional Practice, Patient Outcomes, Length of Stay, and Hospital Costs: Cochrane Systematic Reviewand Meta-Analysis, menemukan bahwa penerapan panduan di 11 penelitian secara signifikan mengurangi LOS (Length of Stay)/lama tinggal di rumah sakit. Ellen et al. (2014), menerangkan bahwa mengurangi lama tinggal di rumah sakit adalah tujuan umum yang dapat dilakukan dengan beberapa cara salah satunya dengan menerapkan pedoman praktik klinis, secara teori penerapan pedoman praktik klinis dapat membantu pasien mempercepat perawatannya di rumah sakit, selain digunakan untuk perawatan pedoman praktik klinis juga dimaksudkan untuk mengurangi duplikasi dan komplikasi. Munarsih, Natadidjaja dan Syamsudin (2018) dari hasil penelitiannya didapat bahwa pasien-pasien yang diterapi dengan antibiotik tidak sesuai dengan panduan ATS/IDSA 2007 memiliki kecenderungan untuk lebih lama tinggal di rumah sakit sebanyak 10,25 kali lipat dibandingkan dengan yang diberikan terapi sesuai dengan panduan ATS/IDSA 2007. Lebih lanjut dalam penelitian tersebut dijelaskan antibiotik empiris yang diberikan menurut panduan sebelum hasil kultur keluar akan memberikan hasil klinis yang baik karena panduan antibiotik dibuat berdasarkan pola kuman dan telah mempertimbangkan farmakodinamik dan farmakokinetik antibiotik.

(21)

12

Tabel. II Terapi Antibiotik Empiris Pada Pasien CAP di RSUP Dr. Sardjito

Terapi antibiotik Jumlah

pasien 40 CAP tidak parah (%) CAP parah (%) Jenis antibiotik Levofloxacin 5 5 (12,5) Ciprofloxacin 1 1 (2,5 ) Cefoperazone 4 4 (10) Moxifloxacin 1 1 (2,5) Ceftazidime 6 4 (10) 2 (5) Meropenem+Levofloxacin 1 1 (2,5) Ceftazidime+Ciprofloxacin 3 3 (7,5) Cefoperazone+Levofloxacin 2 2 (5) Cefotaxime+Azithromysin 1 1 (2,5) Ampi-Sulbactam+Azithromycin 1 1 (2,5) Ceftazidime+Levofloxacin 2 2 (5) Ceftriaxone+Ciprofloxacin 1 1 (2,5) Ceftriaxone+Azitromysin 10 10 (25) Ceftazidime+Azithromysin 1 1 (2,5) Cefotaxime+Ciprofloxacin 1 1 (2,5) Keterangan: % = persentase

Pada penelitian ini penentuan keparahan CAP menggunakan panduan ATS/IDSA 2019, dimana secara keseluruhan terdapat 38 penderita dengan CAP tidak parah dan 2 penderita dengan CAP parah. Panduan ATS/IDSA 2019 merekomendasikan antibiotik empiris dengan tingkat keparahan CAP tidak parah berupa kombinasi β-laktam dan makrolida atau monoterapi dengan fluoroquinolone respirasi. Pada Tabel. II, pemberian antibiotik empiris dengan

(22)

13

tingkat keparahan CAP tidak parah di RSUP Dr. Sardjito diberikan antibiotik laktam yakni antibiotik cefoperazone dan ceftazidime, dan antibiotik kombinasi β-laktam dan fluoroquinolone yakni antibiotik meropenem+levofloxacin, ceftazidime+ciprofloxacin, cefoperazone+levofloxacin, ceftazidime+levofloxacin, ceftriaxone+ciprofloxacin, dan cefotaxime+ciprofloxacin, penerapan terapi antibiotik ini tidak sesuai dengan panduan ATS/IDSA 2019 untuk penderita dengan tingkat keparahan CAP tidak parah. Panduan ATS/IDSA 2019 merekomendasikan antibiotik empiris dengan tingkat keparahan CAP parah berupa antibiotik kombinasi β-laktam dan makrolida atau β-laktam dan fluoroquinolone respirasi. Pemberian terapi antibiotik empiris pada pasien CAP di RSUP Dr. Sardjito dengan tingkat keparahan CAP parah diberikan antibiotik β-laktam yaitu ceftazidime, penerapan terapi antibiotik ini tidak sesuai dengan panduan ATS/IDSA 2019 untuk penderita dengan tingkat keparahan CAP parah. Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Alfina (2019) yang menganalisis perbandingan antara monoterapi dengan dualterapi antibiotik extended empiric pada pasien CAP di RSUP Fatmawati Jakarta, didapatkan tidak ada perbedaan bermakna (p-value = 0,643) antara terapi antibiotik extended empiric monoterapi β-laktam dengan dualterapi β-laktam dan fluoroquinolone, selama 5 hari yang ditandai dengan perbaikan suhu, laju napas dan leukosit darah menuju nilai normal.

Tabel III. Rata-Rata Lama Perbaikan Klinis Pada Penderita CAP Yang Menggunakan Antibiotik Empiris Sesuai Panduan ATS/IDSA

2019 dan Tidak Sesuai Panduan ATS/IDSA 2019 Rata-Rata Perbaikan Klinis Antibiotik Empiris p-value Sesuai ATS/IDSA 2019 (Hari) Tidak Sesuai ATS/IDSA 2019 (Hari) Suhu Tubuh 1.90 2.75 0.046 Detak Jantung/Nadi 2.80 3.95 0.012 Laju Pernapasan 2.20 3.75 0.019

(23)

14

Demam merupakan salah satu tanda terjadinya infeksi aktif, di mana suhu yang tinggi dapat menandakan parahnya infeksi (Pitaloka & Wibisono, 2015). Pasien dikatakan demam jika suhu > 37,8 0C (E. F. Sari et al., 2017). Frekuensi napas/Respiratory Rate yang meningkat menunjukkan adanya penurunan kompliansi atau fungsi paru, yang juga akan berpengaruh terhadap ketersediaan oksigen dalam darah (Pitaloka & Wibisono, 2015). Adanya kekurangan oksigen ditandai dengan keadaan hipoksia, yang dalam proses lanjut dapat menyebabkan kematian jaringan bahkan dapat mengancam kehidupan (Karmiza et al., 2017). Hipoksia merupakan kondisi berbahaya karena dapat mengganggu fungsi otak, hati, dan organ lainnya dengan cepat. Hipoksia dapat dideteksi dengan saturasi oksigen yang rendah dengan gejala yang lain yaitu sesak napas, napas cenderung cepat/takipnea dan detak jantung yang cepat/takikardia (Budi et al., 2019). Demam dan kurangnya pasokan oksigen dapat diperparah dengan tekanan darah yang turun hingga mean arterial pressure (MAP) <60 mmHg atau tekanan darah sistolik <90 mmHg, dimana ketiganya termasuk dalam kriteria sepsis dan syok sepsis. Sepsis cukup banyak terjadi pada pasien pneumonia komunitas (Pitaloka & Wibisono, 2015).

Lama pemberian antibiotik (iv/oral) minimal 5 hari dan bebas demam 48-72 jam, serta tidak lebih dari 1 tanda terkait ketidak stabilan klinis CAP sebelum penghentian terapi, sedangkan lama pengobatan pada umumnya 7-10 hari pada pasien yang menunjukkan respon (perbaikan klinis) dalam 72 jam pertama. Lama pemberian antibiotik dapat diperpanjang jika terapi awal tidak aktif terhadap patogen yang diidentifikasi atau jika diperumit oleh infeksi luar paru, seperti meningitis atau endokarditis (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003). Dalam penelitian ini penderita yang menggunakan antibiotik empiris sesuai panduan ATS/IDSA 2019 lebih banyak yang mengalami perbaikan klinis dalam waktu ≤ 5 hari dibandingkan penderita yang menggunakan antibiotik empiris tidak sesuai panduan ATS/IDSA 2019 dan tetap mengalami perbaikan klinis. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sari, dkk. (2017) yang membandingkan pola terapi antibiotik pada CAP di RS tipe A dan tipe B, dijelaskan bahwa di RS tipe A tampak bahwa pasien CAP yang mendapatkan antibiotik empiris yang sesuai akan

(24)

15

menunjukkan hasil terapi yang membaik lebih banyak dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan terapi antibiotik empiris yang tidak sesuai dengan pedoman ATS/IDSA sementara itu, di RS B walaupun pasien CAP mendapatkan terapi antibiotik yang sebagian besar tidak sesuai dengan pedoman ATS/IDSA tetap menunjukkan outcome terapi membaik.

Tabel. III, menunjukkan rata-rata lama perbaikan klinis antara penderita yang menggunakan antibiotik empiris sesuai panduan ATS/IDSA 2019 dengan penderita yang menggunakan antibiotik empiris tidak sesuai panduan ATS/IDSA 2019. Uji statistik yang dilakukan menggunakan uji Mann-Whitney dikarenakan data pada penelitian ini tidak terdistribusi normal. Hasil analisis statistik menunjukkan terdapat perbedaan bermakna (p-value < 0,05) pada perbaikan suhu tubuh, detak jantung, dan laju pernapasan sehingga, dari hasil yang diperoleh dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan rata-rata lama perbaikan klinis yaitu suhu tubuh, detak jantung, dan laju pernapasan antara penderita yang menggunakan antibiotik empiris sesuai panduan ATS/IDSA 2019 dengan penderita yang menggunakan antibiotik empiris tidak sesuai panduan ATS/IDSA 2019. Hasil analisis statistik pada perbaikan klinis yaitu tekanan darah tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p-value > 0,05), antara penderita yang menggunakan antibiotik empiris sesuai panduan ATS/IDSA 2019 dengan penderita yang menggunakan antibiotik empiris tidak sesuai panduan ATS/IDSA 2019. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang sudah ada yakni penelitian yang dilakukan oleh Sari, dkk. (2017), penelitian tersebut membandingkan pola terapi antibiotik pada CAP di RS tipe A dan tipe B. Adapun penelitian tersebut menunjukkan hasil yang jelas, penderita CAP di RS tipe A yang menggunakan antibiotik empiris yang sesuai ATS/IDSA akan memberikan hasil terapi perbaikkan pasien pada hari ke-5 dibandingkan dengan pemberian antibiotik empiris yang tidak sesuai (p = 0,007). Lebih lanjut dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa di RS tipe B tidak ditemukan adanya antibiotik yang sesuai namun penderita yang menggunakan antibiotik empiris tidak sesuai ATS/IDSA sebanyak 76,5% mengalami perbaikan setelah 5 hari. Dalam penelitian tersebut tidak dijelaskan luaran perbaikan klinis apa saja yang dilihat dalam menilai terapi

(25)

16

perbaikan pada penderita CAP. Almazrou Mazrou (2013), menjelaskan bahwa penerapan pedoman klinis yang efektif dapat meningkatkan hasil klinis, mengurangi lamanya rawat inap, rujukan, kunjungan gawat darurat (UGD), frekuensi pemantauan dan mengurang biaya. Fauzia (2015) memaparkan ada beberapa hal yang penting diperhatikan dalam menyusun pedoman antibiotik salah satunya yakni antibiotik yang dipilih selaras dengan pola patogen dan sensistivitas lokal. Lebih lanjut Liapikou dan Tarres (2013) menjelaskan salah satu alasan untuk menyatakan bahwa pedoman CAP harus lokal adalah karena etiologinya dapat berbeda antara negara dan wilayah yang berbeda, berkaitan dengan pola resistensi. Oleh sebab itu dalam menerapkan pedoman antibiotik harus memperhatikan etiologi yang terjadi.

Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu dalam rekam medis yang sudah di ambil tidak dijelaskan faktor resiko untuk MRSA dan P. Aeruginosa, sehingga dalam penelitian ini untuk penentuan antibiotik empiris faktor resiko untuk MRSA dan P. Aeruginosa tidak dimasukkan. Data rekam medis yang ada tidak lengkap sehingga dalam menentukan keparahan CAP dari kriteria minor dari 9 hanya bisa melihat 5 kriteria saja yaitu leukosit, trombosit, nitrogen urea darah (BUN), frekuensi pernapasan, dan hipotermia serta, dalam menentukan perbaikan secara klinis berdasarkan panduan ATS/IDSA dari 7 kriteria hanya dilihat 4 kriteria saja yaitu tekanan darah sistolik, suhu tubuh, detak jantung, dan laju pernapasan.

(26)

17 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian Hubungan Antara Ketepatan Pemberian Antibiotik Berdasarkan Panduan ATS/IDSA 2019 dengan Perbaikan Klinis pada Pasien Pneumonia Komunitas Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan bermakna nilai rata-rata antara penderita CAP yang menggunakan antibiotik empiris sesuai panduan ATS/IDSA 2019 dan tidak sesuai panduan ATS/IDSA 2019 terhadap lama perbaikan klinis yang meliputi suhu tubuh, detak jantung dan laju pernapasan, serta tidak terdapat perbedaan bermakna nilai rata-rata antara penderita CAP yang menggunakan antibiotik empiris sesuai panduan ATS/IDSA 2019 dan tidak sesuai panduan ATS/IDSA 2019 terhadap lama perbaikan klinis yaitu tekana darah sistolik.

SARAN

Saran untuk penelitian selanjutnya agar memasukkan faktor resiko untuk MRSA atau P. Aeruginosa dalam penentuan antibiotik empris agar dapat mengetahui secara jelas ketepatan pemberian antibiotik empiris pada data rekam medis berdasarkan panduan ATS/IDSA 2019 dan diharapkan semua kriteria perbaikan klinis yakni suhu, detak jantung, laju pernapasan, tekanan darah, saturasi oksigen, kemampuan makan dan status mental normal dapat dimasukkan dalam penelitian agar dapat menyesuaikan dengan perbaikan klinis berdasarkan panduan ATS/IDSA 2019. Diharapkan juga bagi penlitian selanjutnya untuk melihat hasil kultur untuk masing-masing penderita CAP agar dapat mengetahui bahwa pemberian antibiotik untuk pasien sudah sesuai.

(27)

18

Daftar Pustaka

Alfina, L. N. R. M. R. (2019). Analisis Perbandingan Antara Monoterapi dengan Dualterapi Antibiotik Extended Empiric pada Pasien Community-Acquired Pneumonia di RSUP Fatmawati Jakarta. J Sains Farm Klin 6(2),147–157, 6(2), 147–157.

Almazrou Mazrou, S. (2013). Expected benefits of clinical practice guidelines: Factors affecting their adherence and methods of implementation and dissemination. Journal of Health Specialties, 1(3), 141. https://doi.org/10.4103/1658-600x.120855

Baskaran, V., Murray, R. L., Hunter, A., Lim, W. S., & McKeever, T. M. (2019). Effect of tobacco smoking on the risk of developing community acquired pneumonia: A systematic review and meta-analysis. PLoS ONE, 14(7), 1–18. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0220204

Budi, D. B. S., Maulana, R., & Fitriyah, H. (2019). Sistem Deteksi Gejala Hipoksia Berdasarkan Saturasi Oksigen Dengan Detak Jantung Menggunakan Metode Fuzzy Berbasis Arduino. Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi Dan Ilmu Komputer., 3(2), 1925–1933. http://j-ptiik.ub.ac.id

Corwin, J. E., 2009. Buku Saku: Patofisiologi. Sistem Pernapasan. Jakarta: EGC. 538,542.

Dinkes DIY. (2016). 1 Profil Kesehatan DIY 2016. Dinas Kesehatan DIY, 180. Ellen, M., Baker, G. R., & Brown, A. (2014). The impact of acute care clinical

practice guidelines on length of stay: A closer look at some conflicting findings. Journal of Hospital Administration, 3(4), 25. https://doi.org/10.5430/jha.v3n4p25

Fauzia, D. (2017). Strategi Optimasi Penggunaan Antibiotik. Jurnal Ilmu Kedokteran, 9(2), 55. https://doi.org/10.26891/jik.v9i2.2015.55-64

Janah, M., & Martini, S. (2017). Hubungan Antara Paparan Asap Rokok Dengan Kejadian Prehipertensi Relationship Between Secondhand Smoke And Prehypertension. Jurnal Manajemen Kesehatan Yayasan RS.Dr. Soetomo, 3(2), 131. https://doi.org/10.29241/jmk.v3i1.75

Karmiza, K., Muharriza, M., & Huriani, E. (2017). Left Lateral Positioning With Head Elevation Increase the Partial Pressure of Oxygen on Patients With Mechanical Ventilation. Jurnal NERS, 9(1), 59. https://doi.org/10.20473/jn.v9i1.2979

(28)

19 pneumonia. 1–14.

Mandell, L. A., Wunderink, R. G., Anzueto, A., Bartlett, J. G., Campbell, G. D., Dean, N. C., Dowell, S. F., File, T. M., Musher, D. M., Niederman, M. S., Torres, A., & Whitney, C. G. (2007). Infectious Diseases Society of America/American Thoracic Society Consensus Guidelines on the Management of Community-Acquired Pneumonia in Adults. Clinical Infectious Diseases, 44(Supplement_2), S27–S72. https://doi.org/10.1086/511159

Metlay, J. P., Waterer, G. W., Long, A. C., Anzueto, A., Brozek, J., Crothers, K., Cooley, L. A., Dean, N. C., Fine, M. J., Flanders, S. A., Grif, M. R., Metersky, M. L., & Musher, D. M. (2019). AMERICAN THORACIC SOCIETY Diagnosis and Treatment of Adults with Community-acquired Pneumonia An Of fi cial Clinical Practice Guideline of the American Thoracic Society and Infectious Diseases Society of America. 200. https://doi.org/10.1164/rccm.201908-1581ST

Mulyana, R. (2019). Terapi Antibiotika pada Pneumonia Usia Lanjut. Jurnal Kesehatan Andalas, 8(1), 172. https://doi.org/10.25077/jka.v8i1.987

Munarsih, F. C., Natadidjaja, R. I., & Syamsudin, S. (2018). Pengaruh Pemberian Antibiotik berdasar Panduan terhadap Lama Tinggal pada Pasien Pneumonia Komunitas di Rumah Sakit. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 5(3), 141. https://doi.org/10.7454/jpdi.v5i3.195

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2406/Menkes/Per/XII/2011 Tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2014). Pneumonia komuniti. Pneumonia Komuniti (Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan), https://www.scribd.com/document/374953596/Pneumonia-Komunitas-2014 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Pneumonia komuniti 1973 - 2003.

Pneumonia Komuniti (Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan), 6.

Pitaloka, S., & Wibisono, B. (2015). Beberapa Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kematian Pasien Pneumonia Komunitas Di Rsup Dr. Kariadi Semarang. Jurnal Kedokteran Diponegoro, 4(4), 1495–1502.

Rivero-Calle, I., Pardo-Seco, J., Aldaz, P., Vargas, D. A., Mascarós, E., Redondo, E., Díaz-Maroto, J. L., Linares-Rufo, M., Fierro-Alacio, M. J., Gil, A., Molina, J., Ocaña, D., Martinón-Torres, F., Vargas, D., Mascarós, E., Redondo, E., Díaz-Maroto, J. L., Linares-Rufo, M., Gil, A., … Rivero-Calle, I. (2016). Incidence and risk factor prevalence of community-acquired pneumonia in adults in primary care in Spain (NEUMO-ES-RISK project). BMC Infectious Diseases, 16(1), 1–8. https://doi.org/10.1186/s12879-016-1974-4

(29)

20

Rotter, T., Kinsman, L., James, E., Machotta, A., Willis, J., Snow, P., & Kugler, J. (2012). The Effects of Clinical Pathways on Professional Practice, Patient Outcomes, Length of Stay, and Hospital Costs: Cochrane Systematic Review and Meta-Analysis. Evaluation and the Health Professions, 35(1), 3–27. https://doi.org/10.1177/0163278711407313

Sari, E. F., Rumende, C. M., & Harimurti, K. (2017). Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Diagnosis Pneumonia pada Pasien Usia Lanjut. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 3(4), 183. https://doi.org/10.7454/jpdi.v3i4.51 Sari, I. P., Nuryastuti, T., Asdie, R. H., Pratama, A., & Estriningsih, E. (2017).

Perbandingan Pola Terapi Antibiotik pada Community- Acquired Pneumonia (CAP) di Rumah Ssakit Tipe A dan B. Jurnal Manajemen Dan Pelayanan Farmasi, 7(4), 168–174.

Sari, M. A., Raveinal, R., & Noverial, N. (2018). Derajat Keparahan Pneumonia Komunitas pada Geriatri Berdasarkan Skor CURB-65 di Bangsal Penyakit Dalam RS. Dr. M. Djamil Padang Tahun 2016. Jurnal Kesehatan Andalas, 7(1), 102. https://doi.org/10.25077/jka.v7i1.786

(30)

21

(31)

22 Lampiran 1. Ethical Clearance

(32)

23

(33)

24 Lampiran 3. Sertifikat CE&BU

(34)

25 Lampiran 4. Pengumpulan Data

No. Rekam Medis : Usia : Jenis Kelamin :

Tgl. Masuk : Tgl. Keluar :

Anamnesis I 21-10-2019

- Riwayat pribadi (terutama riwayat penyakit) :

Pemeriksaan jasmani 1 Tanggal : - Tanda vital: suhu:; N:; TD:; frekuensi - Tinggi badan: -; berat badan: -

- Keadaan umum: - Paru-paru:

Pengkajian awal pasien rawat inap dewasa Tanggal: - Tiba diruang rawat dengan cara:

- Alergi:

- Keadaan umum: kesadaran: ; GCS:; TD:; N:; suhu:; RR - Informasi tambahan: -

Pengobatan yang sudah diberikan di instalasi rawat darurat Tanggal:

(35)

26 Asuhan Keperawatan Tgl Tgl Tgl Tgl KU TD (mmHg) Suhu 0C Nadi (x/menit) RR (x/menit)

Pengobatan di rawat inap

(36)

27 Ringkasan pasien keluar dari RS (Tanggal: )

Pemeriksaan fisik:

- KU :; TD:; N:; RR:; suhu: Penatalaksanaan:

- obat:

- Doagnosa akhir:

- Diagnose lain/komplikasi/penyakit penyerta: - Keadaan pulang dari RS:

- cara keluar:

- Obat/ tindakan yang dilanjutkan: - Tanggal :

- Prognosis:

Pemeriksaan penunjang :

(37)

28 Lampiran 5. Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional skala

ketepatan pemberian antibiotik berdasarkan pedomaan ATS/IDSA 2019

Pada orang dewasa yang di rawat inap dengan tingkat keparahan CAP tidak parah panduan merekomendasikan antibiotik empiris berupa kombinasi b-laktam dan makrolida atau monoterapi dengan fluoroquinolone respirasi sedangkan pada orang dewasa yang di rawat inap dengan tingkat keparahan CAP parah panduan merekomendasikan antibiotik empiris kombinasi berupa b-laktam dan makrolida atau b-b-laktam dan fluoroquinolone respirasi

CAP parah pada penderita dapat ditentukan dengan melihat satu kriteria mayor atau dapat dilihat dari tiga kriteri minor atau lebih kriteria minor.

Dikategorikan: antibiotik empiris sesuai pedomaan ATS/IDSA 2019 dan

antibiotik empiris tidak sesuai pedomaan ATS/IDSA 2019

Nominal

Rata-rata lama perbaikan klinis

Kriteria pasien stabil secara klinis pada pasien pneumonia komunitas yaitu Suhu tubuh ≤ 37.8 0C, Detak jantung ≤100 kali/menit, Laju pernapasan ≤ 24 kali/menit, Tekanan darah sistolik ≥90 mmHg.

Lama perbaikan tekanan darah sistolik, suhu tubuh, detak jantung, dan laju pernapasan dilihat dari hari keberapa penderita mengalami perbaikan sesuai kriteria dan perbaikan sesuai kriteria tersebut stabil sampai hari penderita CAP diperbolehkan pulang.

(38)

29

Apabila perbaikan klinis baru ada dihari penderita CAP diperbolehkan pulang maka, penderita CAP baru menglami perbaikan klinis dihari tersebut.

Dikategorikan: lama perbaikan klinis ≤ 5 hari dan lama perbaikan klinis > 5 hari.

Lampiran 6.Analisis Statistik

Tests of Normality Sesuai

panduan ATS/IDSA

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig. Hari perbaikan TD sistolik Tepat .527 20 .000 .351 20 .000 Tidak tepat .482 20 .000 .392 20 .000 Hari perbaikan suhu tubuh Tepat .358 20 .000 .408 20 .000 Tidak tepat .229 20 .007 .759 20 .000 Hari perbaikan detak jantung Tepat .326 20 .000 .569 20 .000 Tidak tepat .192 20 .051 .854 20 .006 Hari perbaikan RR Tepat .207 20 .025 .802 20 .001 Tidak tepat .144 20 .200* .891 20 .028

*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction

(39)

30 Means Report Sesuai panduan ATS/IDSA Hari perbaikan TD sistolik Hari perbaikan suhu tubuh Hari perbaikan detak jantung Hari perbaikan RR Tepat N 20 20 20 20 Mean 1.40 1.90 2.80 2.20 Std. Deviation 1.231 2.469 3.270 1.399 Median 1.00 1.00 2.00 2.00 Tidak tepat N 20 20 20 20 Mean 1.55 2.75 3.95 3.75 Std. Deviation 1.638 2.359 2.544 2.268 Median 1.00 2.00 3.50 4.00 Total N 40 40 40 40 Mean 1.48 2.33 3.38 2.98 Std. Deviation 1.432 2.422 2.950 2.019 Median 1.00 1.00 2.00 3.00 NPar Tests Mann-Whitney Test Test Statistiksa Hari perbaikan TD sistolik Hari perbaikan suhu tubuh Hari perbaikan detak jantung Hari perbaikan RR Mann-Whitney U 191.000 133.000 109.000 115.500 Wilcoxon W 401.000 343.000 319.000 325.500 Z -.424 -1.993 -2.514 -2.341

Asymp. Sig. (2-tailed) .672 .046 .012 .019

Exact Sig. [2*(1-tailed

Sig.)] .820

b .072b .013b .021b

a. Grouping Variable: Sesuai panduan ATS/IDSA b. Not corrected for ties.

(40)

31

Biografi Penulis

Penulis bernama Mensiana Ayu Maju. Lahir di Ruteng (Leda), Manggarai-NTT pada tanggal 19 Maret 1998. Penulis merupakan anak dari pasangan Bpk. Maju Mansuradi Mathias dan Ibu Antonia Djenau serta merupakan anak bungsu dari lima bersaudari. Penulis telah menempuh pendidikan di SDI Wae Mata (2004-2010), SMPK Arnoldus Labuan Bajo (2010-2013), SMAK St. Ignatius Loyola Labuan Bajo (2013-2016), hingga perguruan tinggi di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (2016-2020). Penulis pernah terlibat dalam beberapa kegiatan kepanitiaan, antara lain anggota divisi Humas dalam acarara Aksi Osteoporosis Day, anggota divisi Dana dan Usaha dalam acara Pelepasan Wisuda 1, Koordinator Dana dan Usaha dalam acara Pelepasan Wisuda II. Penulis juga terlibat dalam kegiatan Word Health Day (2017) dan mengikuti kegiatan Latihan Kepemimpinan 1 sebagai peserta.

Gambar

Tabel I. Karakteristik Pasien CAP di RSUP Dr. Sardjit……………...…………...8   Tabel II. Terapi Antibiotik Empiris Pada Pasien CAP di RSUP
Gambar 1. Skema pengambilan data……….…….………….…………………….4
Gambar 1. Skema pengambilan data Jumlah penderita CAP dengan usia ≥ 18
Tabel I. Karakteristik Pasien CAP di RSUP Dr. Sardjito
+2

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Jadi, informan-informan yang berada pada negotiated adalah informan yang sama-sama memiliki pengalaman dan prinsip hidup yang lebih mengerti akan pengaplikasian

Modal Sosial Dalam Pengintegrasian Etnis Tionghoa Pada.. Masyarakat Di Deso Pakraman Bali.Bali: Jurnal Sosial

Karena pesan tersebut akan dikirim terlebih dahulu ke SMSC, maka pesan yang berupa teks tersebut akan diubah formatnya menjadi format PDU oleh handphone pengirim

2) Asimilasi Tidak Langsung, yaitu asimilasi yang terjadi antara dua bunyi yang diantara kedua buny tersebut terdapat pemisah oleh satu bunyi atau lebih. Perhatikan

akustik yang dapat diterapkan dalam gedung Teater adalah :.  Penggunaan lampu dengan menghitung kebutuhan cahaya

Karena, memang ilmu nahwu adalah salah satu cabang dari ilmu Bahasa Arab yang membahas tentang bagaimana menyusun kalimat yang sesuai dengan kaidah Bahasa Arab, baik yang berkaitan

Dengan tujuan untuk mengetahui pelaksanaan pembiayaan pensiunan pada Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Bukittinggi penulis dalam proses pengumpulan datanya merasa perlu

(1985) dalam Fanny dan Saputra (2005) menyatakan, ketika sebuah Kantor Akuntan Publik mengklaim dirinya sebagai KAP besar seperti yang dilakukan oleh big four firms, maka