• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pola Konsumsi Pangan di Provinsi Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pola Konsumsi Pangan di Provinsi Jawa Barat"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN

DI PROVINSI JAWA BARAT

RATNA CAHYANINGSIH

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN

DI PROVINSI JAWA BARAT

RATNA CAHYANINGSIH

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(3)

RINGKASAN

RATNA CAHYANINGSIH. Analisis Pola Konsumsi Pangan di Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh YAYUK FARIDA BALIWATI.

Pangan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia yang berperan penting dalam meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat. Terpenuhinya kebutuhan pangan tersebut dapat dilihat dari ketersediaan pangannya. Namun, ketersediaan pangan yang cukup untuk seluruh penduduk di suatu wilayah belum menjamin terhindarnya penduduk dari masalah pangan dan gizi. selain ketersediaannya juga perlu diperhatikan dari aspek pola konsumsi rumah tangga atau keseimbangan kontribusi diantara jenis pangan yang dikonsumsi, sehingga dapat memenuhi standar gizi yang dianjurkan.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis pola konsumsi pangan di Provinsi Jawa Barat. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: (1) Menganalisis pola konsumsi pangan sumber karbohidrat dan protein menurut tipe daerah; (2) Menganalisis pola konsumsi pangan sumber karbohidrat dan protein menurut golongan pengeluaran; dan (3) Menganalisis tingkat dan keanekaragaman konsumsi pangan menurut tipe daerah dan golongan pengeluaran.

Desain penelitian ini merupakan time series. Penelitian dilakukan di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat dengan melakukan analisis data sekunder Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2005 dan 2007. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive/sengaja dengan alasan Jawa Barat memiliki jumlah penduduk yang cukup besar baik di perkotaan maupun pedesaan. Jumlah penduduk tahun 2005 di Provinsi Jawa Barat sebanyak 39 960 869 jiwa, sedangkan di provinsi lain seperti Jawa Timur sebanyak 36 294 280 jiwa, Jawa Tengah sebanyak 31 977 968 jiwa.

Data yang diolah dan dianalis pada penelitian ini adalah data sekunder hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) untuk Provinsi Jawa Barat tahun 2005 (data modul) dan 2007 (data panel). Data tersebut meliputi data konsumsi pangan rata-rata per kapita seminggu menurut jenis makanan berdasarkan golongan pengeluaran per kapita sebulan yang mencakup 214 jenis pangan yang meliputi data kuantitas dan nilainya pada berbagai tipe wilayah (pedesaan, perkotaan, dan pedesaan+perkotaan).

Pengolahan data dilakukan dengan “Program Aplikasi Perencanaan Pangan dan Gizi” yang dikembangkan oleh Heryatno, Baliwati, Martianto, & Herawati (2004). Analisis data dilakukan secara deskriptif. Analisis dibedakan menurut tipe daerah (pedesaan, perkotaan dan pedesaan+perkotaan) dan golongan pengeluaran. Penentuan pola konsumsi pangan berdasarkan kuantitas, kkal/kap/hari dan kontribusi energi (%).

(4)

(78.9% tahun 2005 dan 75.7% tahun 2007) daripada perkotaan (76.2% tahun 2005 dan 71.0% tahun 2007), namun kontribusi energi terigu di pedesaan (16.6% tahun 2005 dan 20.4% tahun 2007) lebih rendah daripada perkotaan (20.8% tahun 2005 dan 25.6% tahun 2007).

Pola konsumsi pangan sumber protein hewani didominasi oleh ikan baik di pedesan, perkotaan maupun pedesaan+perkotaan wilayah Provinsi Jawa Barat. Kuantitas konsumsi ikan di pedesaan sebesar 43.0 gr/kap/hari (tahun 2005) dan 37.6 gr/kap/hari (tahun 2007), perkotaan sebesar 44.5 gr/kap/hari (tahun 2005) dan 40.6 gr/kap/hari (tahun 2007) dan pedesaan+perkotaan sebesar 43.5 gr/kap/hari (tahun 2005) dan 39.4 gr/kap/hari (tahun 2007). Kontribusi energi dari ikan lebih tinggi di pedesaan (24.9% tahun 2005 dan 22.1% tahun 2007) daripada perkotaan (17.1% tahun 2005 dan 15.9% tahun 2007). Susu merupakan pangan yang memiliki laju peningkatan paling tinggi, baik di pedesaan, perkotaan maupun pedesaan+perkotaan yaitu sebesar 31.0, 20.3 dan 27.3.

Pola konsumsi pangan sumber protein nabati didominasi oleh kacang kedelai baik di pedesan, perkotaan maupun pedesaan+perkotaan wilayah Provinsi Jawa Barat. Kuantitas konsumsi kacang kedelai di pedesaan sebesar 25.4 gr/kap/hari (tahun 2005) dan 24.9 gr/kap/hari (tahun 2007), perkotaan sebesar 29.4 gr/kap/hari (tahun 2005) dan 30.0 gr/kap/hari (tahun 2007) dan pedesaan+perkotaan sebesar 27.6 gr/kap/hari (tahun 2005) dan 27.9 gr/kap/hari (tahun 2007). Kontribusi energi dari kacang kedelai tahun 2005 di perkotaan (23.1%) lebih tinggi daripada pedesaan (19.5%), sedangkan pada tahun 2007 di pedesaan (21.9%) lebih tinggi daripada perkotaan (21.2%).

Pola konsumsi pangan sumber karbohidrat di Provinsi Jawa Barat adalah beras dan terigu. Kondisi tersebut terlihat di setiap golongan pengeluaran, baik pada tahun 2005 maupun 2007. Pola konsumsi pangan sumber protein hewani menurut golongan pengeluaran di Provinsi Jawa Barat yaitu ikan, daging ruminansia, daging unggas dan susu. Untuk pola konsumsi pangan sumber protein nabati didominasi oleh kacang kedelai. Kondisi tersebut terlihat di setiap golongan pengeluaran. Kacang tanah juga menjadi pola konsumsi pangan, namun tidak merata di setiap golongan pengeluaran.

Tingkat konsumsi energi di pedesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Kelompok pangan yang mendominasi adalah kelompok padi-padian. Hal ini karena tingkat pendapatan di perkotaan relatif lebih tinggi daripada di pedesaan. Skor PPH di Provinsi Jawa Barat masih belum mencapai ideal yaitu 100. Skor PPH di perkotaan (77.5 tahun 2005 dan 80.3 tahun 2007) lebih tinggi daripada di pedesaan (71.7 tahun 2005 dan 75.2 tahun 2007) dan skor PPH tahun 2007 lebih tinggi dibandingkan tahun 2005. Hal ini menunjukkan mutu keragaman konsumsi pangan di perkotaan lebih beragam dibandingkan di pedesaan.

(5)

Judul Skripsi : Analisis Pola Konsumsi Pangan di Provinsi Jawa Barat Nama mahasiswa : Ratna Cahyaningsih

NIM : A54104006

Disetujui

Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS NIP : 131 669 944

Diketahui

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP : 131 124 019

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Pola Konsumsi Pangan di Provinsi Jawa Barat”. Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan atas semua keikhlasan bantuan yang telah

diberikan, yaitu kepada:

1. Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan, dan dorongan dengan penuh pengertian sejak awal penyusunan hingga terselesainya skripsi ini.

2. Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan arahannya selama ini.

3. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku dosen pemandu seminar dan penguji atas arahan dan saran yang diberikan.

4. Seluruh Staf Pengajar GMSK yang telah memberikan bekal pendidikan dan

wawasan serta staf administrasi yang telah membantu penulis.

5. Bapak, ibu dan adikku tercinta yang selalu memberikan kasih sayang, doa,

dukungan dan perhatian kepada penulis.

6. Keluarga besar Woso Sirus dan Mat Asim yang juga selalu memberikan

dukungan dan kasih sayang kepada keluarga penulis.

7. Kakak-kakakku, mbak Ulik, dan mas Ipung yang selalu memberikan

semangat, dukungan dan perhatian untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Teman-teman satu bimbingan, mbak Anna dan Merry atas semangatnya

serta mbak Anggit atas bantuan, kerjasama dan dukungannya.

9. Sahabat-sahabatku, Devi P, Venny, Any, Rizka, Nanad, Angel, Yesa, Henny,

Friska, Adhin, Ira, Dewi, Meita, Ima, Noni, Yuli, Ari, dan teman-teman GMSK 41 lainnya atas bantuan, semangat, serta keceriaan yang diberikan.

10. Semua teman Wardhatul Jannah (Shofi, Ulil, Astri, Mimi, Hasti dkk) dan teman KKP di Caringin, Bogor (Agita, Marni, Desty, Anggy, dan Rocky) atas kerja sama, dukungan, dan keceriaan selama ini serta kepada berbagai

pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Bogor, Agustus 2008

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Madiun pada tanggal 27 Maret 1986 dari ayah Tumiran dan ibu Kasih. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan di MI Bahrul Ulum Kebonsari Madiun pada tahun 1998. Pada tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan di MTs Negeri

Doho Dolopo Madiun. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 1 Geger Madiun dan lulus pada tahun 2004.

Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Gizi Masyarakat

dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian. Semasa kuliah, penulis pernah aktif dalam organisasi kemahasiswaan Koperasi Mahasiswa, Bina Desa GMSK,

Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia (HMPPI) pada tahun 2006-2007 dan pengurus Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi Pertanian (Himagita) periode tahun 2005-2006 dan 2006-2007. Selain itu penulis juga pernah menjadi

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Kegunaan ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Pola Konsumsi Pangan ... 5

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan ... 13

Karakteristik Umum Data Susenas ... 15

KERANGKA PEMIKIRAN ... 21

METODE ... 22

Desain, Tempat dan Waktu ... 22

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 22

Pengolahan dan Analisis Data ... 22

Definisi Operasional ... 26

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

Keadaan Umum Wilayah ... 28

Geografis dan Topografis ... 28

Demografi dan Sosial Ekonomi ... 28

Produksi Pangan ... 31

Pola Konsumsi Pangan ... 33

Menurut Tipe Daerah ... 33

Menurut Golongan Pengeluaran ... 52

Tingkat dan Keragaman Konsumsi Pangan Menurut Tipe Daerah dan Golongan Pengeluaran ... 74

KESIMPULAN DAN SARAN ... 84

Kesimpulan ... 84

Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 87

(9)

DAFTAR TABEL

Susunan pola pangan harapan (PPH) nasional tahun 2020 ...

Pengelompokan dan jumlah jenis pangan dalam data Susenas

2005 dan 2007 ...

Variabel/klasifikasi, skor dan kriteria desa 2000 ... Pengelompokan golongan pengeluaran dalam Susenas menurut

Badan Pusat Statistik tahun 2005 dan 2007 ... Skor dan susunan pola pangan harapan (PPH) ...

Persentase jumlah penduduk pencari kerja berdasarkan

pendidikan ...

Target ketersediaan dan produksi wilayah Provinsi Jawa Barat

tahun 2007 ...

Pola konsumsi pangan sumber karbohidrat penduduk di Provinsi

Jawa Barat menurut tipe daerah tahun 2005 dan 2007 ... Pola konsumsi pangan sumber protein hewani penduduk di

Provinsi Jawa Barat menurut tipe daerah tahun 2005 dan 2007... Pola konsumsi pangan sumber protein nabati penduduk di Provinsi

Jawa Barat menurut tipe daerah tahun 2005 dan 2007 ... Pola konsumsi pangan sumber karbohidrat dan protein penduduk

di Provinsi Jawa Barat menurut tipe daerah tahun 2005 dan 2007 ... Konsumsi energi beras menurut bentuk pangan dan tipe daerah di

Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ... Konsumsi energi terigu menurut bentuk pangan dan tipe daerah di

Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ... Konsumsi energi ikan menurut bentuk pangan dan tipe daerah di

Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ... Konsumsi energi telur menurut bentuk pangan dan tipe daerah di

Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ... Konsumsi energi daging unggas menurut bentuk pangan dan tipe

daerah di Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ...

Konsumsi energi kacang kedelai menurut bentuk pangan dan tipe daerah di Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ...

(10)

18.

daerah di Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ... Kontribusi energi pangan sumber karbohidrat menurut golongan

pengeluaran dan tipe daerah di Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ...

Kontribusi energi pangan sumber protein hewani menurut golongan pengeluaran dan tipe daerah di Provinsi Jawa Barat

tahun 2005 dan 2007 ...

Kontribusi energi pangan sumber protein nabati menurut golongan pengeluaran dan tipe daerah di Provinsi Jawa Barat tahun 2005

dan 2007 ... Rekap pola konsumsi pangan sumber karbohidrat dan protein

penduduk di Provinsi Jawa Barat menurut golongan pengeluaran

tahun 2005 dan 2007 ...

Situasi komposisi pangan penduduk di Provinsi Jawa Barat

menurut tipe daerah tahun 2005 dan 2007 ...

Konsumsi pangan sumber protein hewani di pedesaan wilayah

Provinsi Jawa Barat menurut tipe daerah tahun 2005 dan 2007 ...

Konsumsi pangan sumber protein hewani di perkotaan wilayah

Provinsi Jawa Barat menurut tipe daerah tahun 2005 dan 2007 ...

Konsumsi pangan sumber protein hewani di pedesaan+perkotaan wilayah Provinsi Jawa Barat menurut tipe daerah tahun 2005 dan

2007 ...

Situasi konsumsi pangan penduduk provinsi Jawa Barat menurut

tipe daerah dan kelompok pangan tahun 2005 dan 2007 ...

Rincian rata-rata konsumsi energi per kapita per hari menurut tipe daerah tahun 2005 dan 2007 ...

Rincian rata-rata konsumsi protein per kapita per hari menurut tipe daerah tahun 2005 dan 2007 ...

(11)

ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN

DI PROVINSI JAWA BARAT

RATNA CAHYANINGSIH

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(12)

ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN

DI PROVINSI JAWA BARAT

RATNA CAHYANINGSIH

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(13)

RINGKASAN

RATNA CAHYANINGSIH. Analisis Pola Konsumsi Pangan di Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh YAYUK FARIDA BALIWATI.

Pangan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia yang berperan penting dalam meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat. Terpenuhinya kebutuhan pangan tersebut dapat dilihat dari ketersediaan pangannya. Namun, ketersediaan pangan yang cukup untuk seluruh penduduk di suatu wilayah belum menjamin terhindarnya penduduk dari masalah pangan dan gizi. selain ketersediaannya juga perlu diperhatikan dari aspek pola konsumsi rumah tangga atau keseimbangan kontribusi diantara jenis pangan yang dikonsumsi, sehingga dapat memenuhi standar gizi yang dianjurkan.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis pola konsumsi pangan di Provinsi Jawa Barat. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: (1) Menganalisis pola konsumsi pangan sumber karbohidrat dan protein menurut tipe daerah; (2) Menganalisis pola konsumsi pangan sumber karbohidrat dan protein menurut golongan pengeluaran; dan (3) Menganalisis tingkat dan keanekaragaman konsumsi pangan menurut tipe daerah dan golongan pengeluaran.

Desain penelitian ini merupakan time series. Penelitian dilakukan di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat dengan melakukan analisis data sekunder Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2005 dan 2007. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive/sengaja dengan alasan Jawa Barat memiliki jumlah penduduk yang cukup besar baik di perkotaan maupun pedesaan. Jumlah penduduk tahun 2005 di Provinsi Jawa Barat sebanyak 39 960 869 jiwa, sedangkan di provinsi lain seperti Jawa Timur sebanyak 36 294 280 jiwa, Jawa Tengah sebanyak 31 977 968 jiwa.

Data yang diolah dan dianalis pada penelitian ini adalah data sekunder hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) untuk Provinsi Jawa Barat tahun 2005 (data modul) dan 2007 (data panel). Data tersebut meliputi data konsumsi pangan rata-rata per kapita seminggu menurut jenis makanan berdasarkan golongan pengeluaran per kapita sebulan yang mencakup 214 jenis pangan yang meliputi data kuantitas dan nilainya pada berbagai tipe wilayah (pedesaan, perkotaan, dan pedesaan+perkotaan).

Pengolahan data dilakukan dengan “Program Aplikasi Perencanaan Pangan dan Gizi” yang dikembangkan oleh Heryatno, Baliwati, Martianto, & Herawati (2004). Analisis data dilakukan secara deskriptif. Analisis dibedakan menurut tipe daerah (pedesaan, perkotaan dan pedesaan+perkotaan) dan golongan pengeluaran. Penentuan pola konsumsi pangan berdasarkan kuantitas, kkal/kap/hari dan kontribusi energi (%).

(14)

(78.9% tahun 2005 dan 75.7% tahun 2007) daripada perkotaan (76.2% tahun 2005 dan 71.0% tahun 2007), namun kontribusi energi terigu di pedesaan (16.6% tahun 2005 dan 20.4% tahun 2007) lebih rendah daripada perkotaan (20.8% tahun 2005 dan 25.6% tahun 2007).

Pola konsumsi pangan sumber protein hewani didominasi oleh ikan baik di pedesan, perkotaan maupun pedesaan+perkotaan wilayah Provinsi Jawa Barat. Kuantitas konsumsi ikan di pedesaan sebesar 43.0 gr/kap/hari (tahun 2005) dan 37.6 gr/kap/hari (tahun 2007), perkotaan sebesar 44.5 gr/kap/hari (tahun 2005) dan 40.6 gr/kap/hari (tahun 2007) dan pedesaan+perkotaan sebesar 43.5 gr/kap/hari (tahun 2005) dan 39.4 gr/kap/hari (tahun 2007). Kontribusi energi dari ikan lebih tinggi di pedesaan (24.9% tahun 2005 dan 22.1% tahun 2007) daripada perkotaan (17.1% tahun 2005 dan 15.9% tahun 2007). Susu merupakan pangan yang memiliki laju peningkatan paling tinggi, baik di pedesaan, perkotaan maupun pedesaan+perkotaan yaitu sebesar 31.0, 20.3 dan 27.3.

Pola konsumsi pangan sumber protein nabati didominasi oleh kacang kedelai baik di pedesan, perkotaan maupun pedesaan+perkotaan wilayah Provinsi Jawa Barat. Kuantitas konsumsi kacang kedelai di pedesaan sebesar 25.4 gr/kap/hari (tahun 2005) dan 24.9 gr/kap/hari (tahun 2007), perkotaan sebesar 29.4 gr/kap/hari (tahun 2005) dan 30.0 gr/kap/hari (tahun 2007) dan pedesaan+perkotaan sebesar 27.6 gr/kap/hari (tahun 2005) dan 27.9 gr/kap/hari (tahun 2007). Kontribusi energi dari kacang kedelai tahun 2005 di perkotaan (23.1%) lebih tinggi daripada pedesaan (19.5%), sedangkan pada tahun 2007 di pedesaan (21.9%) lebih tinggi daripada perkotaan (21.2%).

Pola konsumsi pangan sumber karbohidrat di Provinsi Jawa Barat adalah beras dan terigu. Kondisi tersebut terlihat di setiap golongan pengeluaran, baik pada tahun 2005 maupun 2007. Pola konsumsi pangan sumber protein hewani menurut golongan pengeluaran di Provinsi Jawa Barat yaitu ikan, daging ruminansia, daging unggas dan susu. Untuk pola konsumsi pangan sumber protein nabati didominasi oleh kacang kedelai. Kondisi tersebut terlihat di setiap golongan pengeluaran. Kacang tanah juga menjadi pola konsumsi pangan, namun tidak merata di setiap golongan pengeluaran.

Tingkat konsumsi energi di pedesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Kelompok pangan yang mendominasi adalah kelompok padi-padian. Hal ini karena tingkat pendapatan di perkotaan relatif lebih tinggi daripada di pedesaan. Skor PPH di Provinsi Jawa Barat masih belum mencapai ideal yaitu 100. Skor PPH di perkotaan (77.5 tahun 2005 dan 80.3 tahun 2007) lebih tinggi daripada di pedesaan (71.7 tahun 2005 dan 75.2 tahun 2007) dan skor PPH tahun 2007 lebih tinggi dibandingkan tahun 2005. Hal ini menunjukkan mutu keragaman konsumsi pangan di perkotaan lebih beragam dibandingkan di pedesaan.

(15)

Judul Skripsi : Analisis Pola Konsumsi Pangan di Provinsi Jawa Barat Nama mahasiswa : Ratna Cahyaningsih

NIM : A54104006

Disetujui

Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS NIP : 131 669 944

Diketahui

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP : 131 124 019

(16)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Pola Konsumsi Pangan di Provinsi Jawa Barat”. Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan atas semua keikhlasan bantuan yang telah

diberikan, yaitu kepada:

1. Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan, dan dorongan dengan penuh pengertian sejak awal penyusunan hingga terselesainya skripsi ini.

2. Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan arahannya selama ini.

3. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku dosen pemandu seminar dan penguji atas arahan dan saran yang diberikan.

4. Seluruh Staf Pengajar GMSK yang telah memberikan bekal pendidikan dan

wawasan serta staf administrasi yang telah membantu penulis.

5. Bapak, ibu dan adikku tercinta yang selalu memberikan kasih sayang, doa,

dukungan dan perhatian kepada penulis.

6. Keluarga besar Woso Sirus dan Mat Asim yang juga selalu memberikan

dukungan dan kasih sayang kepada keluarga penulis.

7. Kakak-kakakku, mbak Ulik, dan mas Ipung yang selalu memberikan

semangat, dukungan dan perhatian untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Teman-teman satu bimbingan, mbak Anna dan Merry atas semangatnya

serta mbak Anggit atas bantuan, kerjasama dan dukungannya.

9. Sahabat-sahabatku, Devi P, Venny, Any, Rizka, Nanad, Angel, Yesa, Henny,

Friska, Adhin, Ira, Dewi, Meita, Ima, Noni, Yuli, Ari, dan teman-teman GMSK 41 lainnya atas bantuan, semangat, serta keceriaan yang diberikan.

10. Semua teman Wardhatul Jannah (Shofi, Ulil, Astri, Mimi, Hasti dkk) dan teman KKP di Caringin, Bogor (Agita, Marni, Desty, Anggy, dan Rocky) atas kerja sama, dukungan, dan keceriaan selama ini serta kepada berbagai

pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Bogor, Agustus 2008

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Madiun pada tanggal 27 Maret 1986 dari ayah Tumiran dan ibu Kasih. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan di MI Bahrul Ulum Kebonsari Madiun pada tahun 1998. Pada tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan di MTs Negeri

Doho Dolopo Madiun. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 1 Geger Madiun dan lulus pada tahun 2004.

Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Gizi Masyarakat

dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian. Semasa kuliah, penulis pernah aktif dalam organisasi kemahasiswaan Koperasi Mahasiswa, Bina Desa GMSK,

Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia (HMPPI) pada tahun 2006-2007 dan pengurus Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi Pertanian (Himagita) periode tahun 2005-2006 dan 2006-2007. Selain itu penulis juga pernah menjadi

(18)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Kegunaan ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Pola Konsumsi Pangan ... 5

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan ... 13

Karakteristik Umum Data Susenas ... 15

KERANGKA PEMIKIRAN ... 21

METODE ... 22

Desain, Tempat dan Waktu ... 22

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 22

Pengolahan dan Analisis Data ... 22

Definisi Operasional ... 26

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

Keadaan Umum Wilayah ... 28

Geografis dan Topografis ... 28

Demografi dan Sosial Ekonomi ... 28

Produksi Pangan ... 31

Pola Konsumsi Pangan ... 33

Menurut Tipe Daerah ... 33

Menurut Golongan Pengeluaran ... 52

Tingkat dan Keragaman Konsumsi Pangan Menurut Tipe Daerah dan Golongan Pengeluaran ... 74

KESIMPULAN DAN SARAN ... 84

Kesimpulan ... 84

Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 87

(19)

DAFTAR TABEL

Susunan pola pangan harapan (PPH) nasional tahun 2020 ...

Pengelompokan dan jumlah jenis pangan dalam data Susenas

2005 dan 2007 ...

Variabel/klasifikasi, skor dan kriteria desa 2000 ... Pengelompokan golongan pengeluaran dalam Susenas menurut

Badan Pusat Statistik tahun 2005 dan 2007 ... Skor dan susunan pola pangan harapan (PPH) ...

Persentase jumlah penduduk pencari kerja berdasarkan

pendidikan ...

Target ketersediaan dan produksi wilayah Provinsi Jawa Barat

tahun 2007 ...

Pola konsumsi pangan sumber karbohidrat penduduk di Provinsi

Jawa Barat menurut tipe daerah tahun 2005 dan 2007 ... Pola konsumsi pangan sumber protein hewani penduduk di

Provinsi Jawa Barat menurut tipe daerah tahun 2005 dan 2007... Pola konsumsi pangan sumber protein nabati penduduk di Provinsi

Jawa Barat menurut tipe daerah tahun 2005 dan 2007 ... Pola konsumsi pangan sumber karbohidrat dan protein penduduk

di Provinsi Jawa Barat menurut tipe daerah tahun 2005 dan 2007 ... Konsumsi energi beras menurut bentuk pangan dan tipe daerah di

Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ... Konsumsi energi terigu menurut bentuk pangan dan tipe daerah di

Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ... Konsumsi energi ikan menurut bentuk pangan dan tipe daerah di

Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ... Konsumsi energi telur menurut bentuk pangan dan tipe daerah di

Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ... Konsumsi energi daging unggas menurut bentuk pangan dan tipe

daerah di Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ...

Konsumsi energi kacang kedelai menurut bentuk pangan dan tipe daerah di Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ...

(20)

18.

daerah di Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ... Kontribusi energi pangan sumber karbohidrat menurut golongan

pengeluaran dan tipe daerah di Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ...

Kontribusi energi pangan sumber protein hewani menurut golongan pengeluaran dan tipe daerah di Provinsi Jawa Barat

tahun 2005 dan 2007 ...

Kontribusi energi pangan sumber protein nabati menurut golongan pengeluaran dan tipe daerah di Provinsi Jawa Barat tahun 2005

dan 2007 ... Rekap pola konsumsi pangan sumber karbohidrat dan protein

penduduk di Provinsi Jawa Barat menurut golongan pengeluaran

tahun 2005 dan 2007 ...

Situasi komposisi pangan penduduk di Provinsi Jawa Barat

menurut tipe daerah tahun 2005 dan 2007 ...

Konsumsi pangan sumber protein hewani di pedesaan wilayah

Provinsi Jawa Barat menurut tipe daerah tahun 2005 dan 2007 ...

Konsumsi pangan sumber protein hewani di perkotaan wilayah

Provinsi Jawa Barat menurut tipe daerah tahun 2005 dan 2007 ...

Konsumsi pangan sumber protein hewani di pedesaan+perkotaan wilayah Provinsi Jawa Barat menurut tipe daerah tahun 2005 dan

2007 ...

Situasi konsumsi pangan penduduk provinsi Jawa Barat menurut

tipe daerah dan kelompok pangan tahun 2005 dan 2007 ...

Rincian rata-rata konsumsi energi per kapita per hari menurut tipe daerah tahun 2005 dan 2007 ...

Rincian rata-rata konsumsi protein per kapita per hari menurut tipe daerah tahun 2005 dan 2007 ...

(21)

DAFTAR GAMBAR

Kerangka pemikiran analisis pola konsumsi pangan di Provinsi Jawa Barat ... Grafik konsumsi beras menurut golongan pengeluaran dan tipe

daerah di Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ... Grafik konsumsi jagung menurut golongan pengeluaran dan tipe

daerah di Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ... Grafik konsumsi terigu menurut golongan pengeluaran dan tipe

daerah di Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ... Grafik konsumsi ubi kayu menurut golongan pengeluaran dan tipe

daerah di Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ... Grafik konsumsi ubi jalar menurut golongan pengeluaran dan tipe

daerah di Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ... Grafik konsumsi sagu menurut golongan pengeluaran dan tipe

daerah di Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ... Grafik konsumsi talas menurut golongan pengeluaran dan tipe

daerah di Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ... Grafik konsumsi kentang menurut golongan pengeluaran dan tipe daerah di Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ...

Grafik konsumsi ikan menurut golongan pengeluaran dan tipe daerah di Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ...

Grafik konsumsi daging ruminansia menurut golongan pengeluaran dan tipe daerah di Provinsi Jawa Barat tahun 2005

dan 2007 ... Grafik konsumsi daging unggas menurut golongan pengeluaran

dan tipe daerah di Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ... Grafik konsumsi telur menurut golongan pengeluaran dan tipe

daerah di Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ... Grafik konsumsi susu menurut golongan pengeluaran dan tipe

daerah di Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ... Grafik konsumsi kacang kedelai menurut golongan pengeluaran

dan tipe daerah di Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ... Grafik konsumsi kacang tanah menurut golongan pengeluaran dan

(22)

17.

18.

Grafik konsumsi kacang hijau menurut golongan pengeluaran dan

tipe daerah di Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ...

Grafik konsumsi kacang lain menurut golongan pengeluaran dan

tipe daerah di Provinsi Jawa Barat tahun 2005 dan 2007 ... 63

(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1.

2.

3.

Pola konsumsi pangan sumber karbohidrat penduduk di Provinsi

Jawa Barat menurut golongan pengeluaran tahun 2005 dan 2007 ... Pola konsumsi pangan sumber protein hewani penduduk di

Provinsi Jawa Barat menurut golongan pengeluaran tahun 2005 dan 2007 ...

Pola konsumsi pangan sumber protein nabati penduduk di Provinsi

Jawa Barat menurut golongan pengeluaran tahun 2005 dan 2007 ... 92

97

(24)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia yang berperan

penting dalam meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat. Mendapatkan pangan yang cukup merupakan hak asasi setiap manusia karena pangan

merupakan sumber energi yang diperlukan manusia untuk mempertahankan hidup. Menurut UU No. 7 tahun 1996 tentang pangan, ketahanan pangan

merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,

aman, merata dan terjangkau. Oleh karena itu pemerintah dituntut untuk menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan masalah pangan seperti

ketersediaan pangan, distribusi maupun konsumsi pangan.

Ketersediaan pangan yang cukup untuk seluruh penduduk di suatu wilayah belum menjamin terhindarnya penduduk dari masalah pangan dan gizi.

Kebutuhan pangan untuk konsumsi rumah tangga merupakan hal pokok dalam kelangsungan hidup. Untuk itu, selain ketersediaannya juga perlu diperhatikan

pola konsumsi rumah tangga atau keseimbangan kontribusi diantara jenis pangan yang dikonsumsi, sehingga dapat memenuhi standar gizi yang

dianjurkan. Pola konsumsi pangan rumah tangga dipengaruhi oleh pola makan sebagian besar penduduk, ketersediaan bahan pangan, dan tingkat pendapatan

(Suhardjo 1989).

Tingkat pendapatan merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat

kesejahteraan masyarakat. Peningkatan pendapatan per kapita akan mencerminkan adanya perbaikan dalam kesejahteraan masyarakat dengan

asumsi bahwa peningkatan pendapatan tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan, pendidikan dan pelayanan

kesehatan. Peningkatan pendapatan mempengaruhi kemampuan masyarakat untuk meningkatkan gizinya. Tingkat pendapatan tersebut sangat berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan secara umum.

Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sejak tahun 2005 merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada harga pangan. Hal inilah yang

menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat terhadap pangan sehingga tingkat konsumsi menurun baik dalam segi kualitas maupun kuantitas terutama

(25)

dan dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap status gizi dan kesehatan masyarakat terutama bagi kelompok rawan gizi seperti anak balita dan ibu

hamil/menyusui, sehingga menurunkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Penduduk yang memiliki tingkat pendapatan berbeda akan memiliki pola konsumsi yang berbeda pula. Oleh karena itu penting untuk mengetahui

bagaimana pola konsumsi pangan dari berbagai tipe daerah dan golongan pengeluaran yang berbeda. Selain dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, tingkat

konsumsi pangan juga dipengaruhi oleh letak strategis (kota dan desa) dan budaya daerah setempat.

Berbagai studi empiris mengenai pola konsumsi pangan di Indonesia menunjukkan bahwa pola konsumsi pangan keragaannya berbeda menurut tipe

daerah (perkotaan dan pedesaan), musim dan karakteristik sosial ekonomi (Teklu dan Johnson 1986 diacu dalam Nurfarma 2005). Umumnya daerah

pedesaan berperan sebagai konsumen sekaligus produsen yang menghasilkan pangan, sedangkan daerah perkotaan merupakan daerah konsumen.

Adanya perbedaan tipe daerah antara pedesaan dan perkotaan juga dapat mempengaruhi pola konsumsi pangannya karena tingkat pendapatan antar

kedua tipe daerah tersebut cukup signifikan. Tingkat pendapatan akan mempengaruhi daya beli masyarakat dan dapat menentukan pangan apa saja yang dapat dikonsumsinya.

Di daerah perkotaan persentase pengeluaran untuk konsumsi pangan lebih kecil dibandingkan dari daerah pedesaan. Di perkotaan persentase untuk

pangan tahun 1999 mencapai 63.38 persen sedangkan di pedesaan telah mencapai 70.33 persen. Untuk perkembangan dari tahun 1993, 1996, dan 1999

terlihat persentase pengeluaran untuk konsumsi pangan terus meningkat seiring dengan menurunnya persentase pengeluaran untuk konsumsi bukan pangan

baik di daerah perkotaan maupun di daerah pedesaan (Nurfarma 2005).

Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang terkena dampak

akibat kenaikan harga BBM tahun 2005. Kenaikan harga BBM menyebabkan penurunan konsumsi pangan penduduk terutama masyarakat miskin. Penduduk

di Provinsi Jawa Barat cukup padat yaitu sebanyak 39 960 869 jiwa berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Daerah (Suseda) tahun 2005 dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.29 persen dan tahun 2006 sebanyak 40 737

(26)

Provinsi Jawa Barat terdiri dari 16 kabupaten dan 9 kota. Kabupaten merupakan wilayah pertanian sedangkan kota merupakan wilayah industri.

Perekonomian Provinsi Jawa Barat bertumpu pada sektor pertanian, namun setelah terjadi krisis moneter Provinsi Jawa Barat mengalami pergeseran struktur perekonomian yaitu dari sektor pertanian ke sektor industri. Hal inilah yang

menyebabkan adanya perbedaan antara pedesaan dan perkotaan. Kondisi tersebut juga menimbulkan adanya pergeseran/perubahan pola konsumsi

pangan penduduk di Provinsi Jawa Barat.

Data Modul pada Susenas yang terdiri dari data konsumsi pangan rumah

tangga menggambarkan konsumsi pangan penduduk Indonesia. Data Modul Susenas yang dikumpulkan setiap tiga tahun sekali digunakan untuk memantau

kecukupan konsumsi pangan penduduk. Data konsumsi/pengeluaran rumah tangga merupakan dasar hitung perkiraan jumlah penduduk miskin, sehingga

pemerintah melakukan pengumpulan data konsumsi/pengeluaran secara tahunan agar rumah tangga miskin dapat terdeteksi. Pengumpulan data

konsumsi tahunan tersebut dilakukan secara panel dan dirancang untuk level nasional. Dengan data modul dan panel pemerintah dapat melihat

perkembangan pola konsumsi pangan penduduk. Hal inilah yang melatarbelakangi peneliti untuk melakukan penelitian pola konsumsi pangan dengan menggunakan data Susenas tahun 2005 dan 2007.

Tujuan

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis pola konsumsi

pangan di Provinsi Jawa Barat. Sedangkan tujuan khususnya yaitu:

1. Menganalisis pola konsumsi pangan sumber karbohidrat dan protein

menurut tipe daerah.

2. Menganalisis pola konsumsi pangan sumber karbohidrat dan protein

menurut golongan pengeluaran.

3. Menganalisis tingkat dan keanekaragaman konsumsi pangan menurut

(27)

Kegunaan

Hasil penelitian tentang analisis pola konsumsi pangan di Provinsi Jawa

Barat diharapkan dapat memberikan informasi yang berkaitan dengan pola konsumsi pangan penduduk Jawa Barat kepada pemerintah dan instansi terkait. Dengan demikian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam program

peningkatan kesejahteraan mayarakat dan perbaikan gizi serta sebagai bahan evaluasi terhadap program yang telah dilakukan berkaitan dengan pangan dan

(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Pola Konsumsi Pangan

Penelitian Junaidi (1997) menggunakan data primer yang beralokasi di

Pulau Bungin, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat mendefinisikan pola konsumsi sebagai suatu kebiasaan tentang makan dan jenis makanan yang

dikonsumsi oleh mayoritas masyarakat sebagai refleksi dari keadaan lingkungan, sosial dan budaya masyarakat. Penelitian tersebut dilakukan dengan metode

deskriptif. Gambaran pola konsumsi pangan meliputi: jenis bahan pangan pantangan (taboo) dikonsumsi, frekuensi makan, jumlah konsumsi pangan, jumlah konsumsi energi dan zat gizi serta mutu konsumsi pangan (PPH). Dalam penelitian ini diperoleh gambaran pola konsumsi pangan pada musim hujan dan

musim kemarau menunjukkan bahwa beras sebagai sumber karbohidrat dan sekaligus sumber protein nabati dan ikan merupakan sumber protein hewani. Hampir tidak ada perbedaan frekuensi makan penduduk antar musim hujan dan

musim kemarau. Umumnya penduduk makan tiga kali sehari.

Penelitian Ariani (1993) menggunakan data Susenas 1990, pola

konsumsi didefinisikan sebagai jenis pangan dan jumlah energi yang dikonsumsi penduduk. Penelitian tersebut menggunakan metode analisis deskriptif untuk

melihat gambaran pola konsumsi dan analisis model Almost Ideal Demand System (AIDS) untuk melihat permintaan pangan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan beras menjadi pola pangan pokok tunggal di Sumatera Barat, sedangkan dari Sulawesi Selatan dan Jawa Timur mempunyai pola konsumsi

pangan pokok yang lebih dari satu. Pada umumnya semakin tinggi kelompok pengeluaran, semakin tinggi pula tingkat konsumsi beras, terutama rumah

tangga di Sulawesi Selatan dan Jawa Timur. Dengan demikian dapat diartikan ada hubungan positif antara pendapatan rumah tangga dengan konsumsi beras.

Penelitian Nurnaningsih (2003) tentang pengembangan pola konsumsi pangan penduduk dengan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH) di Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat. Pola konsumsi adalah susunan

makanan yang mencakup jenis dan jumlah bahan makanan rata-rata per orang per hari yang umum dikonsumsi penduduk Kabupaten Tasikmalaya pada tahun

2001 dan proyeksi untuk tahun 2005 dengan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). Penelitian tersebut menggunakan data sekunder yaitu data Pemantauan

(29)

Hasil penelitian Nurnaningsih (2003) berdasarkan data PKG tahun 2001, beras merupakan bahan makanan yang paling banyak dikonsumsi dari berbagai

jenis bahan makanan sumber karbohidrat. Beras merupakan pangan pokok yang dikonsumsi masyarakat Kabupaten Tasikmalaya. Hasil penelitian Hardinsyah, Setiawan dan Baliwati (1987) menyebutkan bahwa beras merupakan pangan

pokok yang dikonsumsi masyarakat Jawa Barat pada berbagai tingkat pendapatan, baik di desa maupun di kota. Ketergantungan pola konsumsi yang

tinggi terhadap beras ini, akan menghambat kebijakan pemerintah dalam program diversifikasi pangan.

Junaedi (2005) mendefinisikan pola konsumsi sebagai jenis pangan dan jumlah energi yang dikonsumsi penduduk. Penelitian ini menggunakan analisis

deskriptif untuk melihat pola konsumsi berbagai jenis telur dan pengeluarannya, sedangkan untuk menganalisis dinamika pola konsumsi berbagai jenis telur,

dilakukan dua analisis yaitu analisis tingkat konsumsi telur dan analisis tingkat partisipasi konsumsi telur. Hasil penelitian menunjukkan krisis ekonomi

menurunkan tingkat partisipasi konsumsi berbagai jenis telur baik di kota maupun di desa dan terjadi substitusi dari satu jenis telur lain baik menurut wilayah

maupun kelompok pendapatan. Tingkat partisipasi konsumsi berbagai jenis telur secara umum lebih tinggi di perkotaan dibanding di pedesaan dan meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan.

Hasil penelitian Dianarafah (1999) menggunakan data Susenas tahun 1996 untuk Provinsi Jawa Timur mendefinisikan pola konsumsi sebagai jenis

pangan dan jumlah energi yang dikonsumsi penduduk. Penelitian tersebut menggunakan metode analisis deskriptif untuk melihat pola konsumsi pangan

yang diartikan sebagai banyaknya pangan yang dikonsumsi rumah tangga selama seminggu yang lalu. Pola konsumsi pangan di Jawa Timur, baik di

pedesaan maupun perkotaan dari tahun 1990, 1993 dan 1996 tidak terdapat perubahan pola konsumsi yang signifikan. Pangan pokok yang dominan adalah

beras, sedangkan pangan sumber protein hewani yang paling banyak adalah ikan, daging, telur dan susu. Sebagian besar kalori dan protein didapat dari

kelompok pangan padi-padian baik di pedesaan maupun perkotaan.

Penelitian yang dilakukan oleh Fachrina (2005) dengan menggunakan data Susenas tahun 2002 mendefinisikan pola konsumsi sebagai jumlah dan

jenis pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang dalam waktu

(30)

menggunakan metode analisis deskriptif. Pengelompokan pola konsumsi pangan dilihat dari persen kontribusi energi dari pangan pokok dan pangan hewani

dengan batas terhadap total kalori dan protein lebih dari 5 persen. Hasil penelitian ini menunjukkan konsumsi dan pola konsumsi pangan pokok dan hewani pada rumah tangga miskin di pedesaan dan perkotaan di lima provinsi di

pulau Jawa masih didominasi oleh beras, ikan segar dan telur ayam ras.

Pola konsumsi pangan hewani merupakan susunan pangan hewani

terhadap total konsumsi protein hewani. Kriteria penentuan pola konsumsi protein ini analog dengan penentuan pola konsumsi pangan pokok (BPS 1984

diacu dalam Martianto 1995), seperti yang pernah dilakukan oleh Hardinsyah (1988). Berdasarkan kriteria tersebut, jenis sub kelompok komoditas pangan

dimasukkan ke dalam pola konsumsi pangan pokok adalah komoditas yang mempunyai kontribusi energi minimal 5 persen dan untuk pangan hewani

mempunyai kontribusi protein minimal 5 persen juga.

Berdasarkan data Susenas (1981), Badan Pusat Statistik menyusun

enam tipe pola konsumsi pangan pokok di Indonesia yaitu: (1) Pola beras ditemukan di semua provinsi di Sumatera (kecuali Lampung), DKI Jakarta, Bali,

Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan semua provinsi di Kalimantan (2) Pola beras-jagung di Sulawesi Utara, (3) Pola beras-umbi di Lampung dan D.I. Yogyakarta, (4) Pola beras-jagung-umbi di Jawa Tengah,

Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Utara, (5) Pola beras-umbi-sagu-jagung di Maluku, dan (6) Pola beras-umbi-sagu di Irian Jaya.

Menurut Martianto (1995), pola konsumsi hewani adalah susunan pangan hewani yang diurutkan menurut besarnya kontribusi protein masing-masing

jenis/sub kelompok pangan hewani terhadap total protein pangan hewani. Hasil penelitian menunjukkan ikan segar, ikan olahan dan telur sangat berperan dalam

menyumbang protein hewani dan ketiga jenis pangan ini masuk ke pola konsumsi pangan hewani di hampir seluruh provinsi. Hampir semua provinsi,

ikan segar dan olahan memegang peranan utama. Peranan daging ternak dominan ditemukan di Jawa Timur-desa dan Timor Timur desa+kota. Pola

konsumsi pangan hewani di Provinsi D.I. Yogyakarta nampak paling unik diantara Provinsi lainnya. Susu merupakan penyumbang protein terbesar di wilayah desa, sedangkan di wilayah kota peranan telur paling menonjol diantara

(31)

Berbagai kajian terdahulu mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang berperan dalam pembentukan pola konsumsi pangan adalah faktor ketersediaan.

Sebagai contoh, beberapa daerah yang terkenal sebagai penghasil ikan seperti Sulawesi Selatan dan Maluku pengeluaran masyarakat untuk membeli (mengkonsumsi) ikan juga tinggi (Pakpahan dan S.H. Suhartini 1990 diacu dalam

Martianto 1995; Martianto, Briawan, Dwiriani 1993), demikian juga di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai daerah penghasil daging (Pakpahan dan S.H.

Suhartini 1990 diacu dalam Martianto 1995).

Menurut Nurnaningsih (2003), kelompok pangan hewani yang paling

banyak dikonsumsi di Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat adalah ikan, sedangkan daging ruminansia dan susu merupakan pangan hewani yang sedikit

dikonsumsi penduduk. Kedelai merupakan komoditi dari kelompok kacang-kacangan yang paling banyak dikonsumsi. Biasanya dalam bentuk tahu, tempe,

tauco dan kecap.

Daud (1986) menggunakan data Susenas 1981 menganalisis pola

konsumsi penduduk Indonesia, dimana pola konsumsi suatu masyarakat umumnya dilihat dari tingkat konsumsi, pengeluaran/belanja maupun

share/proporsi dari pengeluarannya untuk suatu komoditi tertentu. Pola konsumsi sebagian penduduk Indonesia sangat dipengaruhi oleh keragaman daerah (pedesaan dan perkotaan di Jawa dan luar Jawa), yaitu: kelompok padi/ubi

masih merupakan kelompok makanan yang paling besar nilai konsumsinya baik di Jawa, luar Jawa dan Indonesia untuk kelompok sayur-sayuran lebih banyak

dikonsumsi di Jawa meskipun dengan perbedaan konsumsi yang relatif kecil. Dianarafah (1999) dari hasil penelitiannya di Jawa Timur dengan

menggunakan data Susenas tahun 1996 terlihat bahwa: (1) pangsa pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi pangan lebih besar dari non pangan, walupun

pendapatan per kapita tinggi dan (2) pengeluaran yang terbesar digunakan untuk konsumsi kelompok padi-padian terutama beras kemudian disusul oleh kelompok

sayur dan ikan. Hal ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Martianto (1995) bahwa di Jawa lebih dominan konsumsi untuk daging. Dari

perbedaan ini nampak bahwa setiap wilayah itu secara spesifik akan mempunyai perbedaan dalam pola konsumsinya.

Penelitian Ariani et al. (2000) diacu dalam Nurfarma (2005) dengan menggunakan data Susenas tahun 1996 dan 1999 dengan mengelompokkan ke

(32)

pendapatan (rendah, sedang, dan tinggi) dan mata pencaharian (pertanian, industri, perdagangan dan jasa) menunjukkan bahwa di pedesaan proporsi

pengeluaran untuk padi-padian masih menempati porsi yang tertinggi di antara berbagai kelompok pangan. Dengan penelitian lanjutan dengan melihat dampak krisis ekonomi terhadap pola konsumsi terlihat bahwa krisis ekonomi

menyebabkan terjadinya pergeseran pola pengeluaran pangan rumah tangga baik di pedesaan maupun di perkotaan. Pada periode tahun 1996-1999 (masa

krisis) telah terjadi peningkatan untuk kelompok padi-padian akan tetapi terjadi penurunan pada kelompok pangan hewani, sayuran dan buah-buahan,

berdasarkan pembagian atas wilayah, kelompok pendapatan dan sumber mata pencaharian.

Latif, Atmarita, Minarto, Basuni, Tildan (2000) melakukan penelitian pola konsumsi pangan rumah tangga pasca krisis ekonomi menemukan bahwa krisis

memperburuk ketahanan pangan rumah tangga dengan berkurangnya konsumsi sumber pangan hewani, terutama daging, ayam, telur, dan buah-buahan,

sehingga terjadi perubahan pola pangan yang cenderung mengkonsumsi lebih banyak jenis padi-padian, baik di perkotaan maupun pedesaan pada semua

kelompok pendapatan. Secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan rumah tangga menjadi semakin memburuk selama krisis ekonomi. Walaupun proporsi dan nilai nominal pengeluaran pangan lebih tinggi

dibandingkan sebelum krisis (tahun 1996) namun secara riil menurun tajam karena tingginya harga komoditas pada masa krisis (sebelum periode akhir 1997

sampai pertengahan 1998).

Jenis serta jumlah pangan dalam pola konsumsi pangan di suatu wilayah

biasanya berkembang dari pangan setempat atau pangan yang ditanam di tempat tersebut untuk jangka waktu yang panjang. Selain itu kelangkaan pangan

dan kebiasaan bekerja dari keluarga berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan (Suhardjo et al. 1988 diacu dalam Widiamurti 1998).

Pola konsumsi pangan ditentukan oleh tiga faktor yang paling dominan, yaitu: 1) kondisi ekosistem yang mencakup penyediaan bahan makanan alami, 2)

kondisi ekonomi yang menentukan daya beli, dan 3) pemahaman konsep kesehatan dan gizi (Suharjo 1989). Tingkat pendapatan keluarga mempunyai hubungan yang erat terhadap perubahan konsumsi pangan, walaupun terdapat

kenaikan pendapatan, namun tidak selalu diikuti oleh perubahan konsumsi

(33)

Menurut Kyrk (1933) diacu dalam Lumbantobing (2005) terdapat tiga cara menguraikan tingkat konsumsi yaitu: (1) dilihat dari jenis atau macam dan jumlah

barang dan jasa yang dikonsumsi rumah tangga, (2) dilihat dari pengelompokan penggunaan komoditi, dan (3) menurut nilai (pengeluaran) dari komoditas yang dikonsumsi. Berdasarkan kategori konvensional, barang dan jasa yang

dikonsumsi rumah tangga dikelompokkan ke dalam konsumsi pangan, perumahan, pakaian, pendidikan, kesehatan, dan rekreasi. Studi empiris tentang

pola konsumsi dan pengeluaran rumah tangga umumnya menggunakan cara pertama menurut Kyrk (1933) yaitu menganalisis pola konsumsi menurut jenis

dan jumlah barang yang dikonsumsi, serta mengelompokkan jenis pengeluaran menurut kategori konvensional (Suryana 1988 diacu dalam Lumbantobing 2005).

Hasil penelitian Kuntjoro (1984) tentang analisis permintaan bahan makanan mendefinisikan pola konsumsi sebagai jenis pangan dan jumlah energi

yang dikonsumsi penduduk. Penelitian tersebut menggunakan metode analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pola

konsumsi pangan pada berbagai golongan pendapatan dan daerah yang berbeda. Rumah tangga yang berpendapatan lebih tinggi memperlihatkan

konsumsi yang inelastis terhadap pangan nabati, tetapi elastis terhadap pangan hewani. Sebaliknya bagi tingkat pendapatan yang lebih rendah, lebih elastis terhadap pangan nabati. Hal serupa dilakukan oleh Hermanto (1985) yang

meneliti tentang pola konsumsi di daerah pedesaan Jawa Timur.

Arifin dan Saliem (1992) diacu dalam Lumbantobing (2005) menunjukkan

penelitian pola konsumsi pangan pokok di beberapa provinsi di Indonesia dengan menggunakan data Susenas tahun 1979, 1984, dan 1987 diperoleh hasil bahwa

tingkat konsumsi beras di daerah pedesaan secara umum relatif lebih tinggi daripada di perkotaan, demikian pula halnya untuk konsumsi jagung dan

umbi-umbian. Akibatnya pengeluaran untuk padi-padian merupakan proporsi terbesar diantara pengeluaran pangan yang lain.

Menurunnya pendapatan secara negatif berdampak pada kualitas dan pola konsumsi rumah tangga. Dengan tingkat pendapatan yang sangat terbatas,

banyak rumah tangga miskin terpaksa merubah pola makanan pokoknya ke barang-barang paling murah dengan jumlah yang berkurang (Irawan dan Romdiati 2000). Hasil studi yang dilakukan Irawan (1999) menemukan bahwa

(34)

baik kualitas maupun kuantitas, seperti dari nasi ke jagung atau umbi-umbian dan dari sebanyak tiga kali menjadi satu atau dua kali makan sehari.

Pengukuran pola konsumsi dapat menggunakan pendekatan komposisi zat gizi (energi, protein hewani dan nabati) yaitu dengan melihat kontribusi energi maupun protein pangan, selain itu juga dapat dilakukan dengan pendekatan

komposisi kelompok pangan yaitu melalui pola pangan harapan (PPH). Pola pangan harapan adalah suatu pedoman komposisi beragam pangan yang

mampu menyediakan energi dan zat gizi yang dibutuhkan oleh rata-rata penduduk dengan jumlah yang cukup dan seimbang serta memberikan mutu

makanan yang baik. PPH berguna sebagai instrumen sederhana menilai situasi ketersediaan konsumsi pangan berupa jumlah dan komposisi pangan menurut

jenis pangan secara agregat. PPH dapat digunakan untuk perencanaan dan ketersediaan serta perumusan kebijaksanaan pangan dan perencanaan

pertanian di suatu wilayah. Perencanaan pertanian dan pangan dengan adanya PPH akan mengetahui banyaknya pangan yang harus disediakan untuk

konsumsi penduduk agar terpenuhi kecukupan gizi dengan mutu yang lebih baik (Ariani, Hidayat, Clara 1995).

Tujuan utama pendekatan PPH adalah untuk membuat rasionalisasi pola konsumsi pangan yang dianjurkan yang terdiri dari kombinasi anekaragam pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi dan sesuai cita rasa, serta

dikembangkan sesuai dengan potensi sumberdaya lokal. Pencapaian tujuan tersebut dipengaruhi beberapa faktor, yaitu kondisi/situasi pangan saat ini,

kondisi yang diharapkan, kondisi dan potensi sosial ekonomi maupun agroekologi serta aspek regulasi dan kebijakan pangan baik tingkat global,

nasional maupun lokal.

Prinsip dasar perencanaan kebutuhan pangan dengan PPH adalah

tersedianya pangan yang beranekaragam yang sesuai dengan kecukupan gizi penduduk setempat. Selain itu PPH disajikan dalam kelompok pangan untuk

memberikan keleluasaan menentukan pilihan jenis pangan yang diinginkan diantara kelompoknya dengan memperhatikan aspek pola konsumsi atau

preferensi jenis pangan penduduk dan aspek potensi wilayah setempat.

Pola pangan harapan (PPH) digunakan dalam perencanaan pangan suatu wilayah. Perencanaan pangan dengan pendekatan PPH ditujukan untuk

meningkatkan kualitas konsumsi pangan masyarakat dengan membuat suatu

(35)

dari kombinasi anekaragam pangan yang memenuhi syarat mutu, dalam hal ini komposisi pangan yang sesuai dengan PPH. Perencanaan pangan ini dapat

dilakukan dengan menggunakan dua sumber data, yaitu data konsumsi dan data ketersediaan.

Perencanaan pangan yang bersumber dari data konsumsi dapat

menggunakan data konsumsi dari dua institusi yaitu Biro Pusat Statistik yang mengumpulkan Susenas secara rutin setiap tiga tahun sekali dan Departemen

Kesehatan, khususnya Direktorat Gizi Masyarakat yang mengumpulkan data Pemantauan Konsumsi Gizi (PKG) setiap tahunnya. Data Susenas hanya

tersedia sampai tingkat Provinsi, sedangkan data PKG tersedia di kabupaten/kotamadya. Proses kegiatan yang dilakukan melalui lima langkah

kegiatan, yaitu: 1) evaluasi skor PPH aktual terhadap data konsumsi yang terbaru, 2) proyeksi skor PPH, yaitu penyusunan target skor mutu PPH yang

akan dicapai, 3) penyusunan target penyediaan pangan taraf konsumsi, yaitu menetapkan target konsumsi pangan daerah yang mengacu pada target skor

mutu, 4) penyusunan target penyediaan pangan taraf produksi, dan 5) penetapan strategi dan langkah implementasi.

Pola Pangan Harapan (PPH) mencakup sembilan bahan pangan yaitu: (1) padi-padian yang terdiri dari beras, jagung, terigu, dan padi-padian lainnya, (2) makanan berpati atau umbi-umbian yang terdiri dari kentang, ubi kayu, sagu,

talas dan umbi-umbian lainnya, (3) pangan hewani yang terdiri dari ikan, daging, telur, susu, dan lemak hewani, (4) lemak dan minyak yang terdiri dari minyak

kelapa, minyak jagung, minyak kelapa sawit dan margarine, (5) buah biji berminyak yang terdiri dari kelapa, kemiri, kenari, mete, dan coklat, (6)

kacang-kacangan yang terdiri dari kacang kedelai, kacang tanah, kacang hijau dan kacang-kacangan lainnya, (7) gula yang terdiri dari gula pasir, gula merah dan

gula lainnya, (8) sayur dan buah adalah seluruh jenis sayur dan buah yang biasa dikonsumsi, dan (9) lain-lainnya terdiri dari teh, kopi, bumbu makanan dan

minuman beralkohol (Sembiring 2002).

Setiap negara memiliki potensi pangan dan sosio budaya yang

berbeda-beda. Bagi Indonesia direkomendasikan kelompok padi-padian sebesar 50 persen, makanan berpati 5 persen, pangan hewani 15-20 persen, minyak dan lemak lebih dari 10 persen, kacang-kacangan 5 persen, gula 6-7 persen, buah

dan sayur 5 persen (FAO-MOA 1986 diacu dalam Handini 2006). Susunan pola

(36)

Tabel 1 Susunan pola pangan harapan (PPH) nasional tahun 2020

Sumber : Hardinsyah, Sinulingga, dan Martianto (1996) dalam Sembiring (2002)

Skor PPH yang maksimal adalah 100. Semakin tinggi skor mutu gizi pangan menunjukkan situasi pangan yang semakin beragam dan semakin baik

komposisi dan mutu gizinya. Skor PPH digunakan sebagai indikator mutu gizi pangan dan keragaman konsumsi pangan. PPH berguna sebagai instrumen

sederhana menilai situasi ketersediaan dan konsumsi pangan berupa jumlah dan komposisi pangan menurut jenis pangan secara agregat (Baliwati 2002).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan

Secara teoritis secara umum pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh

faktor ekonomi, sosial, budaya, ketersediaan pangan dan produksi pangan. Menurut Ritche (1967) diacu dalam Nurfarma (2005), faktor ekonomi dan

penduduk merupakan faktor penting yang mempengaruhi konsumsi pangan. Salah satu ukuran keadaan ekonomi rumah tangga adalah pendapatan atau pengeluaran rumah tangga. Menurut Suhardjo (1989), pola konsumsi pangan

keluarga dipengaruhi antara lain oleh pola makanan sebagian besar penduduk sekitarnya, ketersediaan bahan pangan, dan tingkat pendapatan keluarga.

Dalam memilih menu makanan yang mempunyai kandungan energi dan protein yang memadai serta pemilihan komposisi jenis makanan yang tepat,

diperlukan tingkat pengetahuan yang relatif tinggi, terutama tingkat pengetahuan kepala keluarga dan istri yang berperan sangat penting dalam menentukan

keputusan konsumsi rumah tangga (Djauhari & Friyanto 1993).

Budaya menentukan apa yang akan digunakan sebagai makanan, dalam

keadaan bagaimana, kapan seseorang boleh atau tidak memakannya, apa saja yang dianggap taboo (pantangan) dan sebagainya. Unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan penduduk yang kadang-kadang

(37)

tertentu karena alasan-alasan tertentu, sementara itu ada pangan yang dinilai sangat tinggi baik dari segi ekonomi maupun sosial (Suhardjo 1989).

Jumlah anggota rumah tangga juga mempengaruhi kecukupan konsumsi pangan pada suatu rumah tangga. Bagi rumah tangga dengan anggota rumah tangga yang banyak, jumlah anggota rumah tangga biasanya adalah faktor

penentu dalam memilih jenis bahan makan dan distribusi pangan antara anggota keluarga. Biasanya pada kondisi tersebut, faktor kuantitas lebih diutamakan

daripada faktor kualitas, sehingga diharapkan seluruh anggota keluarga dapat terbagi secara merata (Djauhari & Friyanto 1993).

Menurut Scrimshaw (1967) diacu dalam Aspatria (1996), pola konsumsi pangan dan kecukupan gizi bervariasi antara waktu, tempat dan individu. Pangan

pokok untuk masyarakat, biasanya berasal dari tanaman asli daerah tersebut ataupun tanaman introduksi yang dengan cepat dapat beradaptasi dan mampu

memberikan produksi pangan yang tinggi sesuai dengan kondisi daerah tersebut (Suhardjo 1989). Agar tanaman berproduksi dengan baik, maka suatu tanaman

membutuhkan kondisi fisik lingkungan (ekologi) yang sesuai (Resosoedarmo 1992 diacu dalam Aspatria 1996). Kondisi fisik terdiri dari jenis/tipe tanah,

ketersediaan air, ketinggian tempat, curah hujan, kelembaban dan temperatur udara.

Menurut Syarief dan Martianto (1991) diacu dalam Ariani (1993), jumlah

dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat tidak hanya dipengaruhi oleh produksi, ketersediaan pangan nasional ataupun ketersediaan di pasar, tetapi

juga daya beli masyarakat, kesukaan, pendidikan, nilai sosial budaya yang berlaku di masyarakat dan sebagainya. Ketersediaan pangan suatu rumah

tangga dipengaruhi oleh tingkat pendapatan rumah tangga tersebut. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan orang tidak mampu

membeli pangan, memilih pangan yang bermutu gizi baik dan beragam (Sayogyo 1983). Pendapatan dan harga pangan merupakan faktor penentu daya beli

rumah tangga. Suatu rumah tangga akan memilih pangan untuk dikonsumsi sesuai dengan tingkat daya beli rumah tangga tersebut. Tingkat pendapatan

yang tinggi akan memberi peluang yang lebih besar bagi rumah tangga untuk memilih pangan yang lebih baik dalam jumlah maupun gizinya.

Menurut Berg (1986) pendapatan merupakan salah satu faktor yang

menentukan kualitas dan kuantitas pangan yang dibeli. Keluarga dengan tingkat

(38)

yang lebih banyak dibandingkan dengan keluarga yang pendapatannya rendah. Menurut Hukum Engel, pada saat terjadi peningkatan pendapatan, konsumen

akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan persentase yang semakin kecil. Sebaliknya, bila pendapatan menurun, persentase yang dibelanjakan untuk pangan semakin meningkat (Soekirman 2000).

Menurut Mangkuprawira (1988) diacu dalam Ariani (1993), makin tinggi daya beli rumah tangga makin beranekaragam pangan yang dikonsumsi, makin

banyak pangan yang dikonsumsi memiliki nilai gizi tinggi. Tingkat pendapatan yang tinggi memberikan peluang lebih besar bagi keluarga untuk memilih pangan

yang baik berdasarkan jumlah maupun jenisnya. Rendahnya pendapatan menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan dengan jumlah yang

diperlukan (BPS 2003). Pakpahan dan Suhartini (1990) diacu dalam Martianto (1995) juga mengemukakan bahwa salah satu alasan penting yang

menyebabkan konsumsi pangan rumah tangga lebih beragam adalah peningkatan pendapatan rumah tangga.

Karakteristik Umum Data Susenas

Data Susenas mencakup data demografi, kesehatan dan pengeluaran rumah tangga. Data pengeluaran rumah tangga meliputi: (1) konsumsi beragam

jenis pangan per kapita per minggu, (2) konsumsi energi dari masing-masing

jenis pangan per kapita per minggu, (3) pengeluaran pangan dan bukan pangan rumah tangga per kapita per bulan.

Survei Susenas merupakan survei rumah tangga yang dirancang untuk

mengumpulkan data sosial ekonomi yang sangat luas dengan lingkup nasional. Kerangka sampel yang digunakan adalah blok sensus. Suatu blok sensus harus

memenuhi kriteria seperti berikut: (1) setiap wilayah desa/kelurahan dibagi habis menjadi beberapa blok sensus, (2) blok sensus harus mempunyai batas-batas

yang jelas/mudah dikenali baik batas alam maupun buatan (RT, RW, dan sebagainya), dan (3) satu blok sensus harus terletak dalam satu hamparan (BPS

2005a).

Pada dasarnya, data Susenas terdapat dua set kategori yaitu: (1) variabel

pokok yang disebut dengan Kor, yang terdiri dari data karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dan kelompok pangan, serta pendapatan; dan (2) variabel sasaran yang disebut dengan Modul, yang terdiri dari data konsumsi

(39)

Data konsumsi/pengeluaran rumah tangga merupakan dasar hitung perkiraan jumlah penduduk miskin. Mengingat bahwa pengentasan kemiskinan

merupakan program prioritas pemerintah saat ini, maka mulai tahun 2003 BPS berupaya untuk menyediakan data perkiraan penduduk miskin nasional secara tahunan melalui pengumpulan data konsumsi/pengeluaran setiap tahun.

Pengumpulan data konsumsi secara tahunan ini dilakukan secara panel dan hanya dirancang untuk level nasional, dengan target sampel 10 640 rumah

tangga. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mencacah kembali rumah tangga terpilih modul konsumsi, dengan tujuan mendapatkan data yang

terbanding antar tahun (BPS 2006).

Sejak tahun 2003, Susenas Panel dilaksanakan pada bulan

Februari-Maret dengan pertimbangan bahwa hasilnya sudah dapat digunakan untuk penghitungan penduduk miskin pada pertengahan tahun. Dengan terjadinya

krisis ekonomi sejak pertengahan Juli 1997 dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada tahun 2005, maka tingkat kesejahteraan masyarakat secara

dramatis menurun dan tingkat kemiskinan naik, terutama di kalangan pekerja marjinal. Dalam situasi seperti ini peranan data Susenas Panel dalam perumusan

program yang targetnya golongan miskin menjadi lebih penting dari sebelumnya (BPS 2006).

Pola konsumsi penduduk berubah dari waktu ke waktu dan antara daerah

satu dengan lainnya tergantung kepada selera, pendapatan dan lingkungan. Pada gilirannya pola konsumsi menentukan beberapa jenis barang tertentu yang

harus disediakan dan bagaimana distribusinya, terutama dalam hal makanan, agar harga tidak terguncang. Data konsumsi yang dihasilkan dari Susenas Panel

dapat menjadi masukan yang berharga untuk menilai kelayakan persediaan berbagai komoditi, terutama yang strategis. Data kuantitas konsumsi yang dirinci

menurut jenis makanan dalam Susenas Panel dapat digunakan untuk menghitung konsumsi kalori/protein penduduk atau golongan penduduk tertentu.

Bahkan, dengan adanya data harga maka elastisitas permintaan atas kalori/protein yang berasal dari berbagai komoditi dapat dihitung dan digunakan

untuk masukan bagi efektivitas program targeting (BPS 2006).

Data yang disajikan dalam Susenas mencakup 214 jenis pangan dan 104 jenis bukan pangan. Data konsumsi pangan yang ditanyakan adalah data

kuantitas dan nilainya, sedangkan data bukan pangan umumnya hanya berupa

(40)

listrik, air, gas, arang dan bahan bakar minyak (BBM) yang dikumpulkan kuantitasnya. Berikut ini adalah gambaran pengelompokan dan jumlah jenis

pangan Susenas 2005 dan 2007 yang digunakan dalam penelitian ini.

Tabel 2 Pengelompokan dan jumlah jenis pangan dalam data Susenas 2005 dan 2007

No. Kelompok Pangan Jumlah Jenis Pangan

1

Data Susenas umumnya dikumpulkan pada bulan Februari melalui

wawancara langsung kepada rumah tangga terpilih. Responden yang diwawancarai adalah kepala dan isteri kepala rumah tangga, atau anggota rumah

tangga lainnya yang paling mengetahui keluarga yang ditanyakan. Pengumpulan data menggunakan daftar isian yang sudah dipersiapkan dengan metode recall (mengingat kembali). Referensi waktu data konsumsi makanan adalah seminggu yang lalu (jangka waktu tujuh hari berturut-turut) (BPS 2005a).

Pengeluaran untuk konsumsi makanan dan bukan makanan yang dimasukkan ke daftar anggota pengeluaran untuk kebutuhan rumah tangga atau anggota rumah tangga saja, tidak termasuk konsumsi atau pengeluaran untuk

Gambar

Tabel 2  Pengelompokan dan jumlah jenis pangan dalam data Susenas 2005 dan
Tabel 3 Variabel/klasifikasi, skor dan kriteria desa 2000
Gambar 1  Kerangka pemikiran analisis pola konsumsi pangan di Provinsi Jawa
Tabel 4  Pengelompokan golongan pengeluaran dalam Susenas menurut Badan Pusat Statistik tahun 2005 dan 2007
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pola konsumsi bahan pangan sumber protein hewani berdasarkan golongan pendapatan di Kabupaten Cirebon dipengaruhi oleh harga komoditi itu sendiri, harga barang lain dan

Variabel-variabel yang dimasukkan ke dalam model yaitu harga komoditi pangan hewani yang bersangkutan, harga komoditi pangan hewani lainnya dan pendapatan

Menurut wilayah tempat tinggal dan tingkat ketahanan pangan (tabel 7), sumbangan per komoditi pangan terhadap konsumsi energi pada rumah tangga di wilayah perkotaan dan

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Konsumsi dan Kebutuhan untuk Konsumsi Pangan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara Tahun 2005-2015 adalah

Dilihat menurut wilayah tempat tinggal menunjukkan rata-rata konsumsi energi per kapita per hari pada setiap rumah tangga menurut tingkat ketahanan pangan, rumah tangga di

Dalam hal ini, konsumsi ikan lebih tinggi di wilayah perdesaan (koefisien bertanda negatif), sedangkan konsumsi daging dan telur/susu lebih tinggi di wilayah perkotaan

Di dalam Renstra Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan Badan Bimas Ketahanan Pangan, Deptan (2001), dinyatakan bahwa pengembangan konsumsi pangan ditempuh melalui pengembangan

No Kab/Kota Komoditas Pangan Unggulan Sumber Protein Hewani Berdasarkan Nilai LQ >1 1 Jembrana Daging Kambing, Daging Ayam Buras, Daging Ayam Ras Pedaging, Daging Itik, Ikan laut dan