• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kedudukan masa remaja sebagai periode transisional antara masa kanak-kanak dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kedudukan masa remaja sebagai periode transisional antara masa kanak-kanak dan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masa remaja dikenal sebagai salah satu periode dalam rentang kehidupan manusia yang memiliki keunikan tersendiri. Keunikan tersebut bersumber dari kedudukan masa remaja sebagai periode transisional antara masa kanak-kanak dan dewasa (Agustiani, 2009). Masa remaja merupakan peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang berlangsung sejak usia sekitar 10 atau 11 tahun, atau bahkan lebih awal sampai pada masa remaja akhir atau usia dua puluhan awal (Papalia, Olds & Feldman, 2008). Peralihan pada masa remaja melibatkan perubahan besar dalam aspek fisik, kognitif, dan psikososial yang saling berkaitan.

Perubahan yang tampak jelas adalah terjadinya pertumbuhan fisik, yang disebabkan oleh pengaruh hormon menyebabkan tubuh anak mulai mengalami pertumbuhan secara cepat dalam aspek tinggi dan berat badan, perubahan proporsi dan bentuk tubuh hingga menjadi seperti tubuh orang dewasa, dan disertai pula dengan tercapainya kematangan organ-organ reproduksi (Ali & Asrori, 2012; Sarwono, 2012). Perubahan-perubahan fisik itu menyebabkan kecanggungan bagi remaja karena ia harus menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi pada dirinya (Sarwono, 2012).

Pertumbuhan fisik yang cepat tersebut, juga penting untuk disertai dengan perkembangan mental yang tepat, terutama sejak awal masa remaja (Hurlock, 1980).

(2)

Pada masa transisi remaja, selain mengalami pertumbuhan secara fisik, remaja juga menunjukkan perkembangan kognitif yang cukup pesat. Perkembangan kognitif tersebut membuat remaja memiliki cara yang baru dalam proses berpikir sehingga remaja dapat berpikir mengenai kemungkinan-kemungkinan, menguji hipotesis, mencapai logika dan rasio, serta lebih fleksibel dalam mengelola informasi (Ali & Asrori, 2012; Papalia, Olds & Feldman, 2008). Perkembangan kognitif berguna bagi remaja agar siap menghadapi peran-peran serta tugas-tugas barunya sebagai orang dewasa.

Selain mengalami pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitif, remaja juga mulai mengalami perkembangan sosial dan perkembangan moral (Sarwono, 2012). Masa remaja bisa disebut sebagai masa sosial karena sepanjang masa remaja hubungan sosial semakin tampak jelas. Remaja memiliki kecenderungan yang kuat untuk berkelompok dan suka bergabung dengan kelompok remaja yang sejenis (Sa’id, 2015). Pada saat yang sama, perkembangan moral remaja juga tengah berada pada tingkatan konvensional, yaitu suatu tingkatan yang ditandai dengan adanya kecenderungan tumbuhnya kesadaran bahwa norma-norma yang ada dalam masyarakat perlu dijadikan acuan dalam hidupnya (Kohlberg, dalam Ali & Asrori, 2012). Mengacu pada norma-norma yang ada di masyarakat, remaja menjadi menyadari kewajibannya untuk melaksanakan norma-norma tersebut agar remaja dapat lebih diterima di lingkungan sosial.

Agustiani (2009) mengatakan bahwa adanya pertumbuhan dan perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam diri remaja menyebabkan kebutuhan-kebutuhan remaja semakin meningkat. Menurut Sa’id (2015),

(3)

kebutuhan-kebutuhan pada remaja antara lain kebutuhan akan cinta dan kasih sayang, kebutuhan untuk dihargai, dipahami, diterima oleh teman-teman sebaya, serta memperoleh bimbingan dan falsafah hidup yang utuh. Agustiani (2009) juga menambahkan bahwa kondisi meningkatnya kebutuhan remaja, tentunya memunculkan tugas-tugas baru yang harus diselesaikan dan dicapai oleh seorang remaja. Tugas-tugas baru yang harus diselesaikan remaja, berasal dari harapan masyarakat yang harus dipenuhi oleh individu, dan sering disebut dengan tugas-tugas perkembangan.

Hurlock (1980) mengemukakan beberapa tugas perkembangan yang penting pada masa remaja yaitu: mampu menerima keadaan fisiknya, mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa, mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan jenis, mencapai kemandirian emosional, mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual, memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa, serta mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa. Diharapkan tugas-tugas perkembangan tersebut terpenuhi sehingga remaja dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukannya dan siap untuk memasuki masa dewasa (Agustiani, 2009).

Remaja yang mampu menyelesaikan tugas-tugas perkembangan juga akan memberi kontribusi positif bagi remaja itu sendiri. Havighurst (dalam Ali & Asrori, 2012) menjelaskan bahwa jika remaja berhasil menuntaskan tugas-tugas perkembangan, maka akan menimbulkan fase bahagia dan membawa ke arah keberhasilan dalam melaksanakan tugas berikutnya. Dengan tuntasnya

(4)

tugas-tugas perkembangan, remaja akan merasa bahwa dirinya mampu mengembangkan kemampuan-kemampuan seperti menerima keadaan diri, mengembangkan otonomi, mengembangkan hubungan yang positif terhadap orang lain, menguasai lingkungan sesuai dengan kebutuhan, mengembangkan tujuan hidup, serta merealisasikan pertumbuhan diri. Apabila kemampuan-kemampuan tersebut berhasil dikembangkan oleh remaja, maka dapat dikatakan bahwa remaja telah mencapai kesejahteraan psikologis dalam kehidupannya.

Individu yang mencapai kesejahteraan psikologis dapat meningkatkan kebahagiaan, kesehatan mental yang positif, dan pertumbuhan diri (Handayani, 2010). Kesehatan mental yang positif bukan saja merupakan ketiadaan akan penyakit mental, tetapi juga melibatkan suatu perasaan sejahtera dari sisi psikologis, yang berjalan beriringan dengan perasaan sehat (Keyes & Saphiro, 2004; Ryff & Singer, 1998, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2008). Kesejahteraan psikologis sendiri dalam ilmu psikologi lebih dikenal dengan istilah psychological well-being. Istilah psychological well-being digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan fungsi psikologi positif (Ryff, 1995).

Psychological well-being dapat dicapai apabila individu berupaya untuk mewujudkan tujuan-tujuan hidupnya hingga dapat mengembangkan diri selengkap mungkin, serta mampu mewujudkan kebahagiaan yang disertai dengan pemaknaan hidup (Muslihati, 2014; Ryff, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2008). Psychological well-being dapat menjadikan gambaran mengenai level tertinggi dari fungsi individu sebagai manusia, dan apa yang diidam-idamkannya sebagai

(5)

makhluk yang memiliki tujuan, serta akan berjuang untuk tujuan hidupnya (Snyder & Lopez, dalam Handayani, 2010).

Psychological well-being pada remaja dapat diperoleh, apabila didukung oleh upaya remaja dalam mengembangkan perilaku-perilaku positif, yang berguna bagi remaja untuk mewujudkan tujuan-tujuan hidupnya. Penting untuk menanamkan serta mengembangkan perilaku positif selama masa remaja. Diharapkan perilaku positif tersebut dapat membantu remaja dalam mengembangkan pertumbuhan diri. Hal tersebut sejalan dengan yang diungkapkan oleh Papalia, Olds, dan Feldman (2008) yang menyebutkan bahwa orang yang berada di usia muda akan lebih fokus pada pertumbuhan diri.

Perilaku positif yang mendukung pertumbuhan diri remaja, dapat dimulai dengan remaja berusaha untuk memenuhi harapan-harapan yang sesuai dengan norma di masyarakat. Harapan-harapan tersebut dapat dipenuhi, misalnya dengan remaja memiliki tingkah laku sosial yang bertanggung jawab (Agustiani, 2009). Salah satu perilaku positif di lingkungan sosial yang bertanggung jawab, serta perlu dikembangkan pada masa remaja yaitu perilaku prososial. Remaja perlu untuk mengeksplorasi sisi positif dari perilaku moral seperti perilaku prososial (Santrock, 2007). William (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) menjelaskan pengertian perilaku prososial sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis.

Perilaku prososial banyak melibatkan altruisme, yaitu suatu minat untuk menolong orang lain dan tidak memikirkan diri sendiri. Meskipun remaja sering

(6)

kali dinyatakan sebagai sosok yang egosentrik dan memikirkan diri sendiri, remaja juga banyak menampilkan tindakan yang bersifat altruistik (Mussen & Morris, dalam Santrock, 2007). Sebagai contoh, perilaku prososial yang dapat dilakukan oleh remaja mulai dari yang sederhana misalnya membantu mengambilkan barang seseorang yang terjatuh, membuang sampah sesuai pada tempatnya, menjadi pendengar yang baik ketika teman sedang mencurahkan perasaannya, menggelar acara konser yang disponsori remaja yang bertujuan untuk menggalang dana bagi korban bencana alam, bahkan ke tingkat perilaku prososial yang lebih besar seperti bersedia mendonorkan darah kepada pasien yang sedang kritis di rumah sakit.

Santrock (2007) menambahkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita dapat melihat perilaku prososial yang dapat dilakukan oleh remaja, misalnya seperti ketika seorang remaja yang bekerja keras namun rela menyisihkan uang di kotak sumbangan gereja setiap minggunya, melakukan kegiatan-kegiatan amal seperti mencuci mobil, penjualan roti bakar, dan acara konser yang disponsori remaja dengan tujuan untuk menggalang dana bagi orang-orang miskin dan membantu anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental.

Beberapa media masa di Indonesia telah berhasil meliput berita terkait perilaku prososial yang dilakukan remaja di berbagai daerah di Indonesia. Salah satu berita yang diliput berasal dari kota Bojonegoro, yaitu mahasiswa Kebidanan dan Keperawatan STIKES ICSADA Bojonegoro menggelar acara donor darah yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran remaja dalam menyumbangkan darahnya kepada sesama (Ulya, 2014).

(7)

Berita lain terkait perilaku prososial remaja yang belum lama ini diliput berasal dari kota Riau, yaitu remaja masjid di Riau melakukan konser amal untuk membantu meringankan beban korban asap di Riau dan sekitarnya. Konser amal tersebut bertujuan untuk meningkatkan dan mengingatkan solidaritas remaja bahwa sebagai warga satu bangsa, apabila terdapat warga di daerah lain yang terkena musibah, remaja seharusnya juga merasa sedih dan peduli atas musibah tersebut (Hermawan, 2015).

Perilaku prososial lebih banyak dilakukan di masa remaja dibandingkan masa kanak-kanak (Eisenberg, Fabes, & Morris, dalam Santrock, 2007). Semakin bertambahnya usia, akan membuat individu makin dapat memahami atau menerima norma-norma sosial (Staub, dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006). Peterson (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) juga menambahkan bahwa bertambahnya usia membuat individu dapat menjadi lebih empati, dapat memahami nilai, ataupun makna dari tindakan prososial yang ditunjukkan.

Tetapi sangat disayangkan, di jaman yang sudah serba praktis ini, faktanya tidak semua remaja bersedia untuk mengembangkan perilaku prososial. Remaja yang tidak mengembangkan perilaku prososial akan cenderung menunjukkan perilaku yang kurang dapat diterima di norma-norma masyarakat, misalnya seperti melakukan perilaku antisosial. Dewasa ini tidak sedikit remaja yang melakukan perilaku antisosial maupun asusila karena tugas-tugas perkembangan di masa remaja kurang berkembang dengan baik (Ali & Asrori, 2012).

Banyaknya pemberitaan di media masa terkait perilaku antisosial yang kini marak dilakukan oleh kalangan remaja, seolah membenarkan hal itu. Bentuk

(8)

perilaku antisosial yang sering kali ditampilkan remaja misalnya mencoba-coba untuk merokok, minum minuman keras, bereksperimen dengan obat-obat terlarang, perkelahian antar pelajar, terlibat dalam perilaku seks beresiko, dan berbagai perilaku yang mengarah pada tindak kriminal.

Idris (dalam Aries, 2015) menyatakan, berdasarkan hasil riset yang dilakukan Gerakan Nasional Anti Miras (GeNAM) remaja pengonsumsi miras jumlahnya melonjak drastis hingga menyentuh angka 23% dari total jumlah remaja Indonesia yang saat ini berjumlah 63 juta jiwa atau sekitar 14,4 juta orang. Eka (2014) menjelaskan, Badan Narkotika Nasional (BNN) menemukan bahwa 50% hingga 60% pengguna narkoba di Indonesia adalah kalangan pelajar dan mahasiswa. Jumlah pengguna narkotika, psikotropika, dan zat adiktif berusia remaja sekitar 12-21 tahun ditaksir sekitar 14.000 orang, dari jumlah remaja di Indonesia sekitar 70 juta orang. Eka (2014) juga menambahkan bahwa perilaku seks bebas juga menjadi masalah yang menyumbang angka terbesar dalam kasus kenakalan remaja. Banyak survei yang menunjukkan bahwa lebih dari 40% remaja Indonesia pernah melakukan hubungan seks pranikah.

Memasuki tahun 2015 ini, beberapa media juga telah meliput berita-berita mengenai perilaku antisosial remaja yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Perilaku-perilaku antisosial tersebut cukup meresahkan masyarakat. Basri (2015) memberitakan bahwa Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Sektor Ujungpandang, Makassar, mengungkap gembong perampokan di minimarket bernama Dion, Rabu (21/1/2015) dini hari. Dion ternyata remaja berumur 15 tahun dan telah hampir tiga pekan menjadi buronan polisi dan masuk daftar pencarian orang.

(9)

Kasus lain diperoleh dari Wicaksono (2015) yang memberitakan bahwa dua remaja berusia 16 tahun digelandang ke Polsek Kebayoran Lama karena membegal pengendara sepeda motor di Gandaria, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Korbannya dibacok di bagian kepala belakang dengan sebilah golok. Dari sejumlah kasus yang berhasil diliput media ini, dapat dilihat bahwa perilaku antisosial yang ditunjukkan oleh remaja-remaja Indonesia sudah sampai ke tahap yang memprihatinkan. Kondisi kesejahteraan remaja yang berperilaku antisosial tersebut umumnya rendah, biasanya disebabkan oleh lingkungan yang kurang kondusif dan sifat kepribadian dari diri remaja yang kurang baik, sehingga dapat menjadi pemicu timbulnya berbagai penyimpangan perilaku dan perbuatan negatif yang melanggar aturan dan norma yang berlaku di masyarakat (Septiyan, 2014).

Yuniarti (dalam Mahazir, 2015) menjelaskan bahwa remaja yang melakukan aksi kriminalitas pada dasarnya memiliki keberanian dan energi yang besar, sehingga harus dipertimbangkan untuk disalurkan kepada aktivitas yang bersifat positif. Salah satu aktifitas bersifat positif bagi remaja yang sarat makna, dan perlu banyak dikembangkan di usia remaja adalah perilaku prososial. Remaja yang mengembangkan perilaku prososial berarti telah mengembangkan perilaku yang positif, dan diharapkan dari perilaku yang positif tersebut akan dapat memberikan kontribusi yang positif pula pada kehidupan remaja, terutama bagi psychological well-being remaja itu sendiri.

Peneliti berasumsi bahwa perilaku prososial pada remaja seharusnya tinggi, agar remaja dapat mencapai psychological well-being yang tinggi pula dalam kehidupannya. Apabila remaja tidak berhasil mengembangkan perilaku prososial

(10)

dan cenderung berperilaku antisosial, dikhawatirkan remaja tidak mampu mencapai psychological well-being secara optimal.

Berdasarkan pemaparan di atas inilah yang mendasari peneliti untuk mengangkat judul penelitian “Hubungan Antara Perilaku Prososial dengan Psychological Well-Being pada Remaja”. Peneliti ingin menguji apakah ada hubungan yang signifikan dan positif antara perilaku prososial dengan psychological well-being pada remaja.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan yang signifikan dan positif antara perilaku prososial dengan psychological well-being pada remaja.

C. Keaslian Penelitian

Penelitian yang berjudul “Hubungan Antara Perilaku Prososial dengan Psychological Well-Being Pada Remaja” merupakan penelitian yang belum pernah dilakukan oleh peneliti lain atau peneliti sebelumnya. Berdasarkan penelusuran peneliti, terdapat beberapa penelitian yang memiliki kemiripan dengan penelitian yang peneliti lakuka

Penelitian terkait psychological well-being yang telah banyak dilakukan. Peneliti menemukan sejumlah lima penelitian kuantitatif yang dilakukan baik dari

(11)

dalam maupun luar negeri. Lokasi penelitian antara lain dilakukan di kota Yogyakarta, Indonesia; New York, Amerika Serikat, kota Amritsar, Punjab, India; kota Chiba, Jepang dan di kota Amman, Jordania (Amawidyati & Utami, 2006; Vrangalova & Savin-Williams, 2011; Sandhu dkk, 2012; Yamaguchi, 2013; Hamdan-Mansour & Marmash, 2007).

Subjek penelitian di kota Yogyakarta yaitu 66 korban gempa (33 laki-laki dan 33 perempuan) usia 20-50 tahun. Subjek penelitian dari New York yaitu 475 remaja usia 17-20 tahun. Subjek penelitian di kota Amritsar, India adalah remaja (99 laki-laki dan 111 perempuan) usia 17-20 tahun. Dari kota Chiba, Jepang subjeknya adalah remaja Amerika usia 12-17 tahun. Terakhir, dari kota Amman, Jordania subjek yang berpartisipasi sebanyak 1.108 mahasiswa (Amawidyati & Utami, 2006; Vrangalova & Savin-Williams, 2011; Sandhu dkk, 2012; Yamaguchi, 2013; Hamdan-Mansour & Marmash, 2007).

Psychological well-being pada penelitian di Indonesia diukur menggunakan adaptasi dari Scale of Psychological Well-Being (SPWB) milik Ryff (dalam Springer & Hauser, 2005). Penelitian di New York dan Jordania mengadaptasi dari Scale of Psychological Well-Being (SPWB) milik Ryff (1995). Berbeda dengan di kota Amritsar, India, subjek diukur dengan skala Friedman Well-Being Scale. Penelitian di kota Chiba, Jepang subjek penelitian diukur dengan Child Behavioral and Emotional Problem Scale (CBEPS) (Amawidyati & Utami, 2006; Vrangalova & Savin-Williams, 2011; Sandhu dkk, 2012; Yamaguchi, 2013; Hamdan-Mansour & Marmash, 2007).

Hasil penelitian yang diperoleh di Yogyakarta, Indonesia yakni ada korelasi positif dan signifikan antara religiusitas dan psychological well-being korban gempa.

(12)

Penelitian di New York, hasilnya adalah remaja yang memiliki orientasi seksual sesama jenis menunjukkan well-being yang lebih rendah dari hasil rata-rata. Dari kota Amritsar, India diperoleh hasil penelitian yaitu identity achievement pada remaja laki-laki berkorelasi positif dengan well-being, self esteem, dan kemampuan sosial, sedangkan pada remaja perempuan menunjukkan kurang keramahan pada tahap foreclosure. Penelitian di Chiba, Jepang diperoleh hasil yaitu remaja yang memiliki kapital sosial yang baik, akan cenderung memiliki kesehatan yang baik, dan terbuka pada orangtua dan teman-temannya. Terakhir, dari kota Jordania, hasil penelitian yang diperoleh yaitu mahasiswa Jordania memiliki skor tertinggi pada dimensi tujuan hidup dan terendah pada dimensi otonomi (Amawidyati & Utami, 2006; Vrangalova & Savin-Williams, 2011; Sandhu dkk, 2012; Yamaguchi, 2013; Hamdan-Mansour & Marmash, 2007).

Penelitian mengenai perilaku prososial juga telah cukup banyak dilakukan. Peneliti menemukan sejumlah lima penelitian kuantitatif yang dilakukan baik dari dalam maupun luar negeri. Lokasi penelitian antara lain dilakukan di Semarang, Indonesia; Italia dan tiga penelitian lainnya berasal dari Amerika Serikat (Asih & Pratiwi, 2010; Belgrave, Nguyen, Johnson, & Hood, 2010; McMahon, Todd, Martinez, Coker, Sheu, Washburn, & Shah, 2012; Yoo, Feng, Day, 2012; Caprara & Steca, 2007).

Subjek penelitian di kota Semarang, Indonesia melibatkan guru-guru SMA di lingkungan Universitas Semarang. Penelitian di Amerika Serikat menggunakan 789 remaja Afrika Amerika usia 11-14 tahun. Penelitian berikutnya yang berupa longitudinal study di Amerika Serikat, subjeknya adalah 335 pasangan menikah. Masih dari Amerika Serikat, penelitian berikutnya menggunakan 266 remaja Afrika Amerika

(13)

usia 11-14 tahun (61% perempuan). Terakhir, dari Italia penelitian menggunakan sampel besar dari populasi Italia dengan enam kelompok usia, yaitu usia 20-30 tahun, 31-40 tahun, 41-50 tahun, 51-60 tahun, 61-70 tahun, dan lebih dari 70 tahun (Asih & Pratiwi, 2010; Belgrave, Nguyen, Johnson, & Hood, 2010; McMahon, Todd, Martinez, Coker, Sheu, Washburn, & Shah, 2012; Yoo, Feng, Day, 2012; Caprara & Steca, 2007).

Penelitian di Semarang menggunakan skala perilaku prososial yang disusun dari aspek-aspek perilaku prososial oleh Mussen (1980). Penelitian di Amerika, mengunakan skala Children’s Social Behavior Scale, Self Report milik Crick and Grotpeter (1995). Penelitian longitudinal study di Amerika Serikat menggunakan Inventory of Strength oleh Peterson dan Seligman (2004). Penelitian yang juga dilakukan di Amerika Serikat selanjutnya menggunakan peer report dan teacher report untuk Aggressive and Prosocial Behavior. Penelitian di Italia mengukur perilaku prososial dengan skala milik Caprara, Steca, Zelli & Capanna (2005) yang terdiri dari 16 item (Asih & Pratiwi, 2010; Belgrave, Nguyen, Johnson, & Hood, 2010; McMahon, Todd, Martinez, Coker, Sheu, Washburn, & Shah, 2012; Yoo, Feng, Day, 2012; Caprara & Steca, 2007).

Hasil penelitian di Semarang adalah ada hubungan yang positif dan signifikan antara empati dan kematangan emosi dengan perilaku prososial. Hasil penelitian yang diperoleh di Amerika Serikat yaitu mayoritas subjek memiliki hubungan agresif yang rendah dan tingkat yang lebih tinggi pada perilaku prososial. Penelitian longitudinal study di Amerika Serikat menunjukkan hasil yaitu empati dan perilaku prososial pada remaja berkorelasi positif dengan pengetahuan dan hubungan yang seimbang dengan orangtua. Penelitian di Amerika Serikat yang terakhir, hasilnya

(14)

yaitu paparan kekerasan masyarakat, pengetahuan dan keterampilan pencegahan kekerasan, self efficacy, dan impulsity memainkan peranan penting dalam memprediksi agresi dan perilaku prososial. Penelitian di Italia, memperoleh hasil bahwa perempuan lebih tinggi dalam empati, pengekspresian emosi positif dan perilaku prososial, sedangkan laki-laki lebih tinggi dalam hubungan interpersonal dan pengaturan emosi negatif (Asih & Pratiwi, 2010; Belgrave, Nguyen, Johnson, & Hood, 2010; McMahon, Todd, Martinez, Coker, Sheu, Washburn, & Shah, 2012; Yoo, Feng, Day, 2012; Caprara & Steca, 2007).

Penelitian yang dilakukan oleh peneliti tentunya berbeda dari beberapa penelitian yang telah dijabarkan sebelumnya. Variabel penelitian yang peneliti pilih adalah perilaku prososial dan psychological well-being. Telah dijabarkan sebelumnya bahwa di Indonesia belum ada penelitian dengan judul yang sama yang menggunakan kedua variabel tersebut. Lokasi penelitian yang peneliti pilih juga berbeda dari lokasi penelitian-penelitian yang telah dijabarkan sebelumnya. Peneliti memilih lokasi penelitian di kota Denpasar. Lokasi tersebut peneliti pilih karena selain lokasi yang mudah dijangkau oleh peneliti, penelitian dengan variabel perilaku prososial dan psychological well-being juga belum pernah ada yang melakukan di kota Denpasar.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara perilaku prososial dengan psychological well-being pada remaja.

(15)

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis dari penelitan ini adalah untuk memberikan sumbangan kajian pemikiran dalam ilmu psikologi khususnya Psikologi Sosial, Psikologi Perkembangan, dan Psikologi Positif terutama mengenai hubungan antara perilaku prososial dengan psychological well-being pada remaja.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan informasi kepada remaja mengenai hubungan antara perilaku prososial dengan psychological well-being agar remaja tersebut bisa lebih mengembangkan perilaku prososial di masa remajanya dengan harapan agar remaja dapat mencapai psychological well-being yang lebih optimal.

b. Memberikan informasi kepada orangtua remaja mengenai hubungan antara perilaku prososial dengan psychological well-being pada remaja agar orangtua mengajarkan dan mengembangkan perilaku prososial sejak dini dari lingkungan keluarga dengan harapan agar remaja dapat mencapai psychological well-being yang lebih optimal.

c. Memberikan informasi kepada guru maupun pendidik di sekolah mengenai hubungan antara perilaku prososial dengan psychological well-being sehingga guru dan pendidik diharapkan untuk mengajarkan pentingnya mengembangkan perilaku prososial pada masa remaja dengan harapan agar remaja dapat mencapai psychological well-being yang lebih baik.

(16)

d. Memberikan informasi kepada masyarakat luas mengenai hubungan antara perilaku prososial dengan psychological well-being agar masyarakat luas dapat memberi contoh dan teladan kepada remaja untuk mengembangkan perilaku prososial di lingkungan masyarakat agar generasi remaja jaman sekarang dapat mencapai psychological well-being yang lebih baik.

Referensi

Dokumen terkait

Jika anggota yang baginya berlaku ketentuan dalam pasal 76 ayat (2) dan pasal 77 ayat (1) tetap duduk atau memasuki kembali ruangan sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Dalam penelitian ini, data yang digunakan berupa data kuantitatif yaitu data hasil tes populasi yang mengikuti pembelajaran Bahasa Mandarin secara konvensional dan data hasil

Sedangkan untuk pemeriksaan syarat gradasi dan modulus kehalusan butiran tanah putih ini juga tidak layak digunakan sebagai bahan pengganti agregat halus pembuatan

Berdasarkan fenomena tersebut, mahasiswa merasa perlu mengatasi masalah kebiasaan siswa SMAN 15 Padang terhadap sarapan pagi dengan pemberian PIN.Apabila masalah

Universitas Sriwijaya (NPV), internal rate of retrun (IRR), present value ratio (PVR), benefit cost ratio (BCR) dan payback period (PBP) yang dilakukan PT Bumiwarna Agung Perkasa

Pencegahan melalui kuantifikasi resiko untuk mengetahui profil resiko (Risk Profile), menyiapkan modal penyangga (Capital Buffer) dan menetapkan proses dan organisasi

Salah satu faktor yang mempengaruhi etos kerja adalah persepsi terhadap iklim sekolah atau pondok.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat persepsi terhadap iklim

Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh data bahwa tidak terjadi interaksi antara perlakuan jenis formula nutrisi dan ukuran polybag pada parameter pertumbuhan