• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara maritim dengan luas wilayah laut terluas, yakni 7.900.000 kilometer persegi, dan memiliki garis pantai sepanjang 54.716 kilometer yang membentang mulai dari Samudera Hindia, Samudera Pasifik, Laut Arafura, Laut Timor, dan laut-laut yang lebih kecil (Country Profile Of Indonesia, 2004). Letak Indonesia yang strategis, yakni secara astronomis terletak pada 6°LU-11°LS dan 95°BT-141°BT, sehingga Indonesia memiliki iklim tropis basah, yang kaya akan keanekaragaman hayati, khususnya keanekargaman jenis ikan yang ada di perairan lautnya.

Perairan Selat Sunda merupakan perairan laut yang berada di sisi barat Provinsi Banten, yang berbatasan langsung oleh Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, dan Kota Cilegon, dan juga berbatasan dengan Provinsi Lampung di sebelah baratnya. Perairan Selat Sunda dipengaruhi oleh dinamika dua lautan, yakni Laut Jawa yang berada di utara, dan Samudera Hindia di sebelah selatan. Dengan adanya pertemuan massa arus air laut yang berasal dari Laut Jawa dan arus laut dari berasal dari Samudera Hindia, yang masing-masing arus ini membawa, kemudian mengangkat berbagai kandungan hara dalam air laut menuju permukaan air laut, menyebabkan perairan Selat Sunda menjadi tempat terskonsentrasinya berbagai unsur hara. Unsur hara tersebut sangat dibutuhkan oleh berbagai organisme perairan, terutama plankton yang berperan sebagai sumber makanan dari ikan-ikan yang berukuran lebih kecil, contohnya ikan teri, yang kemudian ikan teri ini menjadi sumber makanan untuk ikan-ikan yang berukuran lebih besar yang berada di permukaan air laut, seperti ikan selar, ikan tembang, ikan kembung, ikan tongkol, dan ikan cakalang.

(2)

2 Pola dan keberadaan ikan pelagis sangat ditentukan oleh faktor kondisi lingkungan. Kondisi lingkungan yang dimaksud ialah seperti, suhu, konsentrasi klorofil-a, salinitas, dan cuaca. Untuk memperoleh berbagai informasi kondisi lingkungan tersebut terdapat dua cara, yakni melalui pengukuran langsung dilapangan dan pengukuran secara tidak langsung, yakni melalui data penginderaan jauh. Pengukuran langsung di lapangan memerlukan waktu yang lama, tenaga, serta diperlukan biaya yang besar, karena mengingat luas Perairan Selat Sunda yang cukup luas, yakni seluas 1730,86 km persegi. Akan tetapi melaui pengukuran dengan data penginderaan jauh, akan lebih mudah dilakukan, memakan waktu yang lebih singkat, dan biaya yang murah, serta menghasilkan informasi yang akurat. Dengan inilah, kemudian yang mendorong untuk memanfaatkan data penginderaan jauh untuk mengamati keadaan oseanografi yang ada di Perairan Selat Sunda, yang kemudian data ini dapat dijadikan dasar penentuan zona tangkapan ikan pelagis melaui analisis secara spasial.

Mengingat proses penangkapan ikan pelagis, nelayan di Selat Sunda masih mengandalkan naluri alamiah tanpa adanya kepastian zona yang berpotensi untuk melakukan penangkapan ikan, yang disebabkan oleh belum adanya informasi zona tangkapan ikan pelagis yang akurat, maka penelitian mengenai zonasi potensi sebaran ikan pelagis perlu dilakukan, untuk mengoptimalkan hasil tangkapan ikan nelayan.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan atas latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang mendasari penelitian ini, yakni:

1. Wilayah Perairan Selat Sunda yang luas menyebabkan sulitnya melakukan pengukuran secara langsung dilapangan untuk mendapatkan informasi kondisi oseanografi Perairan Selat Sunda yang berfungsi sebagai faktor penentu keberadaan ikan pelagis, sehingga diperlukan ekstraksi informasi yang cepat, tepat, dan berbiaya murah, ekstraksi informasi tersebut, ialah menggunakan data penginderaan jauh.

(3)

3 2. Belum adanya informasi mengenai zona sebaran ikan pelagis di Perairan

Selat Sunda, menyebabkan belum optimalnya hasil tangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan di Perairan Selat Sunda.

1.3. PERTANYAAN PENELITIAN

1. Seberapa akurat informasi suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a yang dihasilkan melaui data penginderaan jauh?

2. Dimanakah zona yang berpotensi untuk penangkapan ikan?

1.4. TUJUAN PENELITIAN

1. Menganalisis citra MODIS Aqua untuk ekstraksi data suhu permukaan laut dan kandungan klorofil-a di Perairan Selat Sunda pada musim timur. 2. Menyusun peta zona potensi sebaran ikan pelagis di Perairan Selat Sunda

pada musim timur.

1.5. MANFAAT PENELITIAN

1. Meningkatkan peran penginderaan jauh di bidang kelautan untuk pemantauan zona berpotensi untuk penangkapan ikan.

2. Mengoptimalkan proses penangkapan ikan nelayan di Perairan Selat Sunda.

(4)

4

1.6. LANDASAN TEORI

1.6.1. PENGINDERAAN JAUH

Menurut Lillesand dan Kiefer, 1979, menyatakan bahwa penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap objek, daerah, atau gejala yang dikaji. Penginderaan jauh menurut sumber tenaganya dapat dibedakan menjadi dua, yakni penginderaan jauh sistem aktif dan penginderaan jauh sistem pasif (Sutanto, 1986). Penginderaan jauh sistem pasif menggunakan sumber tenaga yang berasar dari radiasi elektromagnetik dari sinar matahari, sedangkan penginderaan jauh sistem aktif menggunakan sumber tenaga yang berasal dari sumber tenaga buatan manusia, contohnya sistem LIDAR (Light Detection and Rangging). Di dalam penginderaan jauh sistem pasif energi yang berasal dari pancaran sinar matahari yang masuk ke bumi, apabila mengenai objek dapat terjadi interaksi dengan objek, yakni ada yang dipantulkan, ditembus, diserap, dihamburkan, dibiaskan, dan dipancarkan. Penginderaan jauh dapat diaplikasikan dalam menentukan daerah penangkapan ikan pada wilayah perairan tertentu. Dalam hal ini, yang teridentifikasi bukanlah keberadaan ikan secara langsung, tetapi melaui pendekatan tertentu dengan parameter atau fenomena alam yang menandakan kemungkinan adanyaikan di suatu tempat, sebagai contohnya ialah suhu yang berpotensi dengan jenis ikantertentu dan konsentrasi klorofil-a yang berfungsi sebagai sumber penyedia bahan makan bagi ikan.

(5)

5 Gambar 1.1. Sistem penginderaan jauh (Sutanto, 1984)

Penginderaan Jauh untuk Kajian Suhu Permukaan Laut

Suhu permukaan laut dapat diekstraksi melaui berbagai cara, yakni secara langsung dengan melakukan pengukuran lapangan dan melalui penginderaan jauh. Pengukuran secara langsung di lapangan menghasilkan pengukuran yang lebih akurat, akan tetapi memakan biaya yang cukup besar dan area pengukuran yang terbatas, dan tidak dapat dilakukan untuk wilayah yang luas. Pengukuran suhu permukaan laut dengan menggunakan bantuan citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan mudah, cepat, murah, mampu mengkaji untuk wilayah yang luas, dan menghasilkan akurasi yang cukup baik. Sistem penginderaan jauh dalam mengenali objek yang ada di permukaan bumi menggunakan spektrum panjang gelombang tertentu dari objek yang diterima oleh sensor.

(6)

6 Tabel 1.1. Spektrum Panjang Gelombang Elekromagnetik

Sumber: Butler et al, 1988

Konsep dasar penginderaan jauh untuk mendeteksi suhu didasarkan oleh konsep dasar radiasi dari hukum plank dalam Sutanto, 1984, yang menyatakan bahwa objek yang berada pada suhu lebih dari -273° C atau 0° K dapat memancarkan energi elektromagnetik.

Ε = 𝐶1𝜆 −6 exp 𝐶2

𝜆𝑇 − 1 Dimana :

E = Jumlah tenaga yang dipancarkan oleh permukaan objek setiap satuan luas pada panjang gelombang tertentu, 𝑊/(𝑐𝑚2𝑚).

𝜆 = Panjang gelombang, mikrometer

T = Suhu absolut, derajat kelvin

(7)

7 exp = Eksponen

𝐶1 = Konstanta radiasi pertama yang besarnya = 2ℎ𝑐2 𝐶2 = Konstanta radiasi kedua yang besarnya ch/K

Berdasarkan atas hukum Wien dalam Sutanto, 1984, menyatakan bahwa semakin tinggi suhu benda yang memancarkan tenaga, semakin besar pula tenaga kinetik yang dipancarkan, semakin tinggi suhu objek semakin pendek pula panjang gelombangnya.

𝜆𝑚 = 𝐴 𝑇 Dimana :

𝜆𝑚 = Panjang gelombang pada pancaran maksimum

A = Konstanta yang besarnya 2898 m °K

T = Suhu absolut benda, 0°K

Sebuah objek memantulkan sinar matahari ataumengemisinya sebagai energi internal berpotensi dengan vibrasi atom dan molekulobyek itu sendiri. Radiasi dari objek ini memberikan ciri khas sebagai identitas dari objek tersebut. Rambatan energi yang merupakan gelombangelektromagnetik mempunyai kecepatan sebesar kecepatan cahaya (2,997924562 x108 m/detik). Energi ini akan ditangkap oleh sensor yang dibawa oleh wahana satelit ataupun wahana pesawat. Hasil tangkapan sensor akan diterima dan dicatatpada suatu alat perekam yang selanjutnya ditransmisikan ke stasiun penerima di bumi (LaViolette, 1994).

(8)

8 Gambar 1.2. Distribusi spektral tenaga yang dipancarkan oleh benda hitam

sempurna dalam berbagai suhu (Lillesand dan Kiefer, 1979)

Ekstraksi suhu permukaan laut dengan menggunakan citra MODIS, terlebih dahulu melalui beberapa proses pengolahan untuk menghasilkan data suhu permukaan laut yang valid, karena nilai yang terdapat pada citra Aqua 1 B, hanya merupakan nilai piksel 0-255, yang tidak memiliki informasi apapun apabila tidak dilakukan koreksi, sehingga nilai piksel ini terlebih dahulu dilakukan koreksi untuk mengubah nilai piksel menjadi nilai radiansi. Adapun persamaan untuk melakukan koreksi untuk mengubah nilai piksel menjadi nilai kecerahan, yakni:

Rb = R_scalesb * (SIb – R_offsetb) Dimana :

Rb = Nilai radiasi saluran ke-b

R_scalesb = Nilai skala (Radiance Scale) saluran ke-b

SIb = Sign Interger saluran ke-b

R_offsetb = Nilai offset (Radiance offset) saluran ke-b

Nilai (Radiance Scale) dan (Radiance offset) diketahui dari metadata citra

(9)

9 Nilai kecerahan pada citra ini kemudian dilakukan koreksi sensor zenith yang berfungsi untuk membetulkan posisi relatif satelit dan titik jatuhnya sinar matahari terhadap bumi, yang mengasumsikan bahwa lautan memiliki bentuk yang non linier, sehingga diperlukan perhitungan sudut zenit matahari. Berikut ini persamaan sensor zenith:

Rz = R_scalez * iz * π / 180 Dimana :

Rz = Nilai radiansi sensor zenith (sudut radian)

R_scalez = Nilai skala (Radiance scale) pada sensor zenith

iz = Sensor Zenith

Setelah dihasilkan nilai kecerahan dan koreksi sensor zenith, maka setelah itu dilakukan masking tutupan awan dengan cara memberi nilai nol pada rentang nilai piksel awan, yakni 0,0 hingga 0,174, supaya pengaruh adanya awan tidak mempengaruhi nilai suhu kecerahan, setelah itu dilakukan konversi nilai kecerahan manjadi nilai suhu kecerahan, dengan persaaman invers fungsi plank:

Tb = c2 / (Vi * ln (1 + c1 / (Vi5 * R ))) Dimana :

Tb = Suhu Kecerahan Air (K)

c1 = Konstanta Radiasi, dengan nilai 1,1910659 x 108 (W m-2 sr-1 (µm-1)-4)

c2 = Konstanta Radiasi, dengan nilai 1,438833 x 104 (K µm) Vi = Central wavelength ( tabel 3)

R = Nilai Radiansi saluran 20, 31 dan 32

Tabel 1.2.Panjang Gelombang Pusat.

Satelit Kanal 20 Kanal 22 Kanal 23 Kanal 31 Kanal 32 AQUA 3.7803 3.9720 4.0617 11.0263 12.0424 TERRA 3.7803 3.9719 4.0567 11.0073 12.0020

Sumber: ATBD Control Sheet-EOP-SST-MOD

(10)

10 Hasil dari suhu kecerahan ini kemudian dilakukan pengolahan untuk mendapatkan data suhu permukaan laut dengan formula yang berasal dari modul MODIS Ocean Science Team Algorithm Theoretical Basic Document (ATBD), dalam modul tersebut algoritma SPL dari Miami Pathfinder, yakni:

MODIS SPL = c1 + c2 * T31 + c3 * T3132 + c4 *( sec(q) -1) * T3132 Dimana :

Tb 31 = suhu kecerahan air saluran 31 (C) Tb 32 = suhu kecerahan air saluran 32 (C)

Tb3132 = (saluran 32- saluran 31) pengurangan nilai suhu kecerahan

c1,c2,c3,c4 = koefisien suhu permukaan laut (tabel 4) θ = nilai radiansi sensor zenith

Tabel 1.3. Koefisien Suhu Permukaan Laut dari Data MODIS Saluran 31 dan 32 Koefisien T30 – T31 <= 0,7 T30 – T31> 0,7 C1 1.228552 1.692521 C2 0.9576555 0.9558419 C3 0.1182196 0.0873754 C4 1.774631 1.199584

Sumber : MODIS Ocean Science Team Algorithm Theoretical Basic Document (ATBD)

Respon Spektral Terhadap Klorofil-a

Klorofil-a merupakan suatu pigmen yang terdapat pada tubuh fitoplankton dan tumbuhan lainnya yang berada di daratan. Pigmen berfungsi untuk menyerap cahaya matahari yang berfungsi untuk melakukan fotosintesis. Fitoplankton adalah organisme pasif yang di kolom perairan, yang menempati tingkat rantai makanan pertama, pada sistem rantai makanan, tanpa adanya fitoplankton tidak akan ada kehidupan di perairan laut (Naybakken, 1982).

(11)

11 Gambar 1.3. Kurva Karakteristik Absorsi Klorofil-a (Maul, 1985)

Terdapat 3 jenis pigmen pada tumbuhan, yakni a, klorofil-a-b, dan beta karoten dan xantofil, yang kesemuanya mampu menyerap cahaya matahari untuk fotosintesis (Curran, 1985.) Klorofil-a-a merupakan bagian penting dalam proses fotosintesis dan dikandung oleh semua jenis fitoplankton yang ada di laut (Strickland, 1960 dalam Nontji, 1987). Ditinjau dari segi fisiologi, spektrum cahaya, cahaya biru merupakan cahaya terpenting untuk fotosintesis dan pertumbuhan fitoplankton (Wallen dan Geen, 1971 dalam Yentsch, 1974). Hal ini disebabkan absorsi cahaya biru lebih efektif dan mampu menembus tubuh air dengan kedalaman yang cukup dalam, dibandingkan dengan cahaya hijau. Pengamatan klorofil-a melalui penginderaan jauh bergantung pada pigmen tersebut mempengaruhi warna perairan ada emisi cahaya dari pigmen itu sendiri (Maul, 1985). Klorofil-a-a memiliki tingkat absorbsi yang tinggi pada kanal biru dan merah (Curran, 1985). Klorofil-a-a menyerap menyerap cahaya dengan baik pada panjang gelombang 0,43 dan 0,66 mikrometer, sehingga pantulan maksimum terjadi pada panjang gelombang hijau, yang disebabkan oleh

(12)

12 rendahnya serapan radiasi gelombang elektomagnetik pada spektrum hijau. Ekstraksi kandungan klorofil-a dalam air laut, membutuhkan nilai pantulan objek, berbeda dengan ekstraksi untuk suhu permukaan laut yang menggunakan radiansi atau pancaran gelombang elektromagnetik, sehingga terlebih dahulu melakukan konversi nilai kecerahan pada citra MODIS terkoreksi geometrik menjadi nilai reflektansi menggunakan persamaan:

Refb = Ref_scaleb * (Bb – Ref_offsetsb) Dimana :

Refb = Nilai radiasi saluran ke-b

Ref_scalesb = Nilai skala (Reflectance Scale) saluran ke-b

Bb = Saluran ke-b

Ref_offsetb = Nilai offset (Reflectance offset) saluran ke-bNilai

(Reflectance Scale) dan (Reflectance offset) diketahui dari metadata citra.

Nilai pantulan yang dihasilkan dari pengolahan sebelumnya baru dapat dijadikan dasar pengolahan untuk ekstraksi kandungan klorofil-a dalam air laut, dengan menggunakan algoritma dalamATBD 19, yakni:

Klor-a = 10(c0 + c1 * R + c2 * R^2 _ c3 * R^3)

Klor-a =(10 ^ (0.2818 - (2.783* alog10 (B10/B12)) + (1.863* ((alog10( B10/B12)) ^2) - (2.387*((alog10(B10/B12))^3)))) Keterangan : c0 = 0.2818 c1 = -2.7883 c2 = 1,863 a3 = -2,387

R = rasio saluran 10 dan 12, log (saluran 10/saluran 12)

[6]

(13)

13

1.6.2. SENSOR MODIS

MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) merupakan sensor yang terpasang pada satelit Terra dan Aqua, yang mampu mengukur sifat-sifat fisik atmosfer, daratan, dan lautan yang mampu merekam secara kontinu, dengan mekanisme pemindaian melintang arah orbit bumi, dengan lebar sapuan 2330 km, serta menyajikan 36 saluran spektral dengan resolusi spasial yang bervariasi mulai dari 250 meter hingga 1 kilometer (Danoedoro, 2012). Sensor ini melintasi khatulistiwa pada pukul 10.30 waktu lokal. Sensor ini dapat diperoleh secara gratis, serta mampu memeliput hampir seluruh permukaan bumi dalam 2 hari, dan juga memiliki resolusi radiometrik hingga 12 bits yang artinya mampu membedakan 4096 tingkat keabuan.

(14)

14 Tabel 1.4. Rincian tiap saluran spektral pada sensor MODIS

Band λ (µm) Resolusi

Spasial (m) Kegunaan/ Fungsi

Saluran Reflektan (Pantulan)

1 0,620 - 0,670 250 Klasifikasi PL, deteksi serapan klorofil-a, pemetaan indeks luas

liputan daun 2 0,841 - 0,876 250

3 0,459 - 0,479 500

Identifikasi Aerosol, Awan, Ketebalan Optis, Bentuk Awan, Masking Awan,

Salju, Lahan/Tanah 4 0,545 - 0,565 500 5 1,230 - 1,250 500 6 1,628 - 1,652 500 7 2,105 - 2,155 500 8 0,405 - 0,420 1000

Identifikasi Warna Laut, Klorofil-a, Fitoplankton, Biogeo-kimiawi 9 0,438 - 0,448 1000

10 0,483 - 0,493 1000 11 0,526 - 0,536 1000 12 0,546 - 0,556 1000

Identifikasi Sedimen, Atmosfer 13 0,662 - 0,672 1000

14 0,673 - 0,683 1000 Identifikasi Flouresense 15 0,743 - 0,753 1000

Identifikasi Aerosol Atmosfer 16 0,862 - 0,877 1000

17 0,890 - 0,920 1000

Identifikasi Uap Air, Awan 18 0,931 - 0,941 1000

19 0,915 - 0,965 1000

26 1,360 - 1,390 1000 Identifikasi Awan Sirus

Saluran Radian (Pancaran)

20 3,660 - 3,840 1000

Identifikasi Permukaan dan Awan, Suhu, Api dan Vulkanik,

Suhu Muka Laut 21 3,929 - 3,989 1000

22 3,929 - 3,989 1000 23 4,020 - 4,080 1000 24 4,433 - 4,498 1000

Identifikasi Suhu Atmosfer 25 4,482 - 4,549 1000

27 6,535 - 6,895 1000

Identifikasi Uap Air Troposfer 28 7,175 - 7,475 1000

29 8,400 - 8,700 1000 Identifikasi Partikel Awan 30 9,580 - 9,880 1000 Identifikasi Kandunganozon 31 10,780 - 11,280 1000 Pengukuran temperatur permukaan

daratan dan permukaan awan 32 11,770 - 12,270 1000

33 13,185 - 13,485 1000

Mengukur dan mengkaji ketinggian puncak Awan

34 13,485 - 13,785 1000 35 13,785 - 14,085 1000 36 14,085 - 14,385 1000

(15)

15

1.6.3. KEADAAN OSEANOGRAFI

Oseanografi merupakan ilmu yang mempelajari tentang lautan, yang merupakan perpaduan dari berbagai macam ilmu-ilmu dasar, seperti ilmu tanah, ilmu biologi, ilmu kimia, ilmu geografi, ilmu fisika, dan ilmu iklim (Hutabarat, 1984). Lautan memiliki karakteristik yang khas, yang ditinjau dari aspek fisik, kimia, dan biologi. Berbeda wilayah, berbeda pula kondisi fisik, biologi, maupun kimianya. Perbedaan kondisi fisik, kimia, maupun biologi lautan, dapat dicirikan melalui berbagai parameter, yakni suhu, salinitas, arus laut, upwelling, kondisi dasar perairan, dan kandungan fitoplankton dalam air laut. Dengan demikian, dengan adanya perbedaan karakteristik fisik, kimia, dan biologi perairan laut ini menyebabkan perbedaan potensi yang ada pada tiap perairan laut.

(16)

16

Musim

Perubahan Kecepatan dan Arah Arus, suhu, dan salinitas dapat disebabkan oleh adanya angin musim. Perairan di Indonesia sangat di pengaruhi oleh angin musim yang berubah arah sebanyak dua kali dalam setahun (Nontji, 2007). Angin musim barat terjadi pada bulan Desember hingga bulanFebruari, angin musim peralihan ke musim timur terjadi pada bulan Maret hingga bulan Mei, kemudian angin musim timur terjadi pada bulan Juni hingga bulanAgustus, sedangkan untuk musim peralihan ke musim barat terjadi pada bulan September hingga bulan November .Saat Musim barat (Desember-Februari), pada umumnya angin bertiup sangat kencang dan curah hujan tinggi. Ketika musim pancaroba awal tahun (April-Mei) sisa arus dari musim barat mulai melemah dan bahkan mulai berbalik arah hingga di beberapa tempat terjadi arus pusaran. Bulan Juni-Agustus barulah berkembang arus musim timur dan arah arus sepenuhnya berbalik arah menuju ke barat yang akhirnya menuju Laut Cina Selatan. Ketika musim pancaroba akhir tahun, sekitar Oktober-November, pola arus berubah lagi, arah arus sering tak menentu, arah arus ke barat mengendur dan arus ke timur mulai menyerbu (Wyrtki, 1961).

Perairan Selat Sunda merupakan perairan yang sangat dinamik dan memiliki karakteristik yang khas. Hal ini disebabkan pengaruh dari masuknya kedua masa Laut Jawa dan Samudera Hindia. Pergerakan massa air Selat Sunda merupakan kombinasi antara arus pasang surut dan arus musiman. Sepanjang tahun arah aliran arus menuju barat daya, tetapi pada bulan November arahnya berubah menjadi timur (Effendy, 2005). Pada waktu tertentu arus bergerak sangat kuat, tetapi ternyata sirkulasi air antara Laut Jawa dan Samudera Hindia lemah, kecepatan arus bervariasi antara 0,2-0,7 m/detik, dimana kecepatan maksimum terjadi pada bulan Desember dan Agustus ketika angin muson paling kuat dan kecepatan arus kembali melemah pada musim peralihan (Syamsuddin, 1998).

(17)

17

Suhu Permukaan Laut

Suhu Permukaan Laut merupakan besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang yang terkandung dalam suatu benda. Suhu air laut terutama di lapisan permukaan sangat tergantung pada jumlah bahang yang diterima sinar matahari (Weyl, 1970). Suhu di laut merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di perairan laut, hal ini disebabkan suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme. Menurut Ingmanson dan Wallace, 1973, menyatakan bahwa suhu permukaan laut di daerah tropis memiliki rentang suhu 15°C-20°C dan 27°C-29°C. Suhu yang mendekati permukaan laut dengan kedalaman 0-200 meter relatif lebih panas suhunya dari pada yang berada di bawah permukaan laut yang lebih dalam antara kedalaman 200-1000 meter(Hutabarat, 1984). Distribusi suhu pada permukaan laut yang berbeda yang disebabkan oleh adanya intensitas pantulan penetrasi penyinaran matahari (Cuchlaine, 1975). Hal ini ditunjukkan oleh grafik yang ada dibawah ini.

Gambar 1.4.Grafik perubahan suhu pada kedalaman laut yang berbeda-beda (Open University Course in Oceanography. Unit 3, 1977, dalam Hutabarat, 1984)

meter

(18)

18

Salinitas

Salinitas merupakan konsentrasi rata-rata seluruh garam-yang terdapat di dalam air laut, yang kandungannya dinyatakan dalam perseribu atau permil (Evans dan Hutabarat, 1984). Konsentrasi salinitas dalam air laut dapat dipengaruhi oleh kenaikan suhu permukaan laut, yang menyebabkan terjadinya penguapan air, sehingga banyak kandungan air yang hilang akibat penguapan, kemudian dapat menambah konsntrasi salinitas, kemudian salinitaspun dapat dipengaruhi oleh banyaknya kelimpahan air tawar yang masuk ke dalam perairan laut, hal ini dapat disebabkan oleh tingginya tingkat presipitasi, pencairan es, dan keberadaan muara sebagai hilir dari sungai. Sebagian besar organisme laut hanya dapat hidup pada wilayah yang memiliki perubahan salinitas yang rendah atau cenderung stabil, contohnya ada pada wilayah muara, pada wilayah ini memiliki fluktuasi kandungan salinitas yang selalu berubah-ubah, yang dipengaruhi oleh suplai air tawar dari daerah hulu (Hutabarat, 1984).

Arus Laut

Arus merupakan gerakan air yang sangat luas yang terjadi di seluruh lautan di dunia (Evans dan Hutabarat, 1984). Gerakan air di permukaan laut bukan hanya disebabkan oleh adanya gerakan angin yang berada di atasnya, melainkan adanya faktor-faktor, seperti bentuk topografi dasar lautan dan keberadaan pulau-pulau yang ada di sekitarnya mampu mempengaruhi arah, serta kecepatan arus, dan juga dikontrol oleh adanya gaya coriolis dan arus ekman, gaya coriolis ini mempengaruhi aliran massa air, dimana gaya ini dapat membelokkan arah dari yang yang lurus, yang disebabkan oleh perputaran bumi pada porosnya. Di belahan bumi selatan terjadi pembelokan ke arah kiri, sedangkan di belahan bumi utara terjadi pembelokan ke arah kanan. Semakin bertambahnya kedalaman air, maka arus air akan semakin berkurang kecepatannya dan gaya coriolis akan

(19)

19 semakin besar berperan membelokkan arah arus, bahkan arah arus akan membelakangi arah angin, sehingga angin tidak lagi berperan dalam mengontrol arah dan kecepatan arus, pembelokkan arus ini disebut dengan

Spiral Ekman.

Gambar 1.5. Peristiwa terjadinya Spiral Ekman (Harvey, 1976 dalam Hutabarat, 1984)

Upwelling

Terjadinya peristiwa gerakan arus secara vertikal, yakni upwelling disebabkan oleh adanya gerakan angin. Proses upwelling merupakan suatu proses massa air didorong kearah atas dari kedalaman sekitar 100-200 meter yang terjadi di sepanjang barat pantai di banyak benua (Evans dan Hutabarat, 1984). Upwelling dapat dilihat dengan adanya penurunan SST yaitu dikatakan terjadi anomaly SST ≥ 0,5 °C di bawah rata-rata. Intesitas upwelling semakin meningkat jika penurunan suhu juga semakin tinggi (Kemili Putri dan Muriara R. Putri, 2012). Hembusan angin menyebabkan pembelokkan arah arus air, akibat adanya gaya coriolis. Aliran lapisan permukaan air ini mengarah ke tengah laut, mengakibatkan massa air yang

(20)

20 yang berasal dari lapisan yang dalam, naik menggantikan kekosongan tempat ini. Kenaikan air menuju permukaan ini membawa berbagai material dari dasar perairan, yakni kandungan nutrien, seperti nitrat dan fosfat, sehingga banyak mengandung fitoplankton. Kehadiran fitoplankton yang berfungsi sebagai dasar rantai makan atau produsen yang ada di perairan laut, maka wilayah-wilayah upwelling ini kaya akan polpulasi ikan, khususnya ikan-ikan pelagis.

Gambar 1.6. Proses terjadinya upwelling (Ross, 1977)

Fitoplankton

Fitoplankton merupakan tumbuhan-tumbuhan air yang berukuran sangat kecil yang berfungsi sebagai produsen utama zat-zat organik dalam air laut (Hutabarat dan Evans, 1984). Sama halnya dengan tumbuhan yang ada di daratan, fitoplankton menghasilkan makanannya sendiri melaui proses fotosintesis, proses fotosintesis ini menghasilkan glukosa yang diubah ke dalam susunan karbohidrat, yang kemudian disimpan sebagai cadangan makanan. Proses fotosintesis ini diperoleh melaui penyerapan cahaya matahari oleh klorofil-a atau sering disebut zat hijau daun pada tumbuhan. Klorofil-a merupakan pigmen yang mampu melakukan fotosintesis dan terdapat di seluruh organisme fitoplankton (Barnes dan Huges, 1988). Klorofil-a menyerap pelombang pantulan pada panjang gelombang biru dan merah, tetapi memantulkan gelombang hijau, sehingga

(21)

21 pantulan ini menjadikan klorofil-a berwarna hijau pada panjang gelombang tampak (Raven, Peter H, et al, 2005).

Gambar 1.7. Beberapa contoh fitoplankton (Wickstead, 1965)

Fitoplankton dapat mudah dijumpai pada kedalaman 0-200 meter, hal ini dikarenakan oleh suhu permukaaan laut yang hangat dengan intensitas dan penetrasi penyinaran cahaya matahari yang tinggi menyebabakan fitoplankton dapat dengan mudah melakukan fotosintesis dan dapat tumbuh dengan baik pada kedalaman ini.

Gambar 1.8. Grafik Penyerapan Cahaya Mmatahari yang Masuk Ke Dalam Air (Smith, R. C., and K. S. Baker, 1981 )

Banyaknya kandungan fitoplankton pada wilayah permukaan air laut, menyebababkan pada wilayah ini terjadi peristiwa rantai makanan.

(22)

22 Fitoplankton dimangsa oleh zooplankton yang bersifat herbivora, kemudian zooplankton dimangsa oleh zooplankton yang berukuran lebih besar, kemudian dimakan oleh ikan-ikan pelagis kecil dan pada akhirnya dimakan oleh ikan pelagis yang berukuran lebih besar. Dengan demikian banyaknya konsentrasi klorofil-a berhubungan dengan konsentrasi fitoplankton dalam air, lalu konsentrasi fitoplankton ini dapat digunakan sebagai pendekatan untuk mengidentifikasi konsentrasi ikan pelagis di perairan laut.

(23)

23

1.6.4. IKAN PELAGIS

Ikan pelagis merupakan jenis ikan yang menghabiskan hidupnya berada di dekat permukaan air laut (Cuchlaine, 1975). Ikan pelagis dibagi 2 menurut ukuran tubuhnya, yakni ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil (Hobday, 2009). Ikan pelagis besar terdiri dari ikan layaran atau marlin, berbagai jenis tuna, ikan cucut, tenggiri, wahoo, tongkol, dan cakalang. Kemudian untuk jenis ikan pelagis kecil terdiri dari ikan teri, ikan selar, ikan tembang, dan ikan kembung. Keberadaan ikan pelagis dipengaruhi oleh kelimpahan fitoplankton dan suhu yang berpotensi dengan syarat hidup ikan pelagis. Ikan pelagis dapat hidup pada suhu 20°C-28°C, dengan kandungan klorofil-a dalam air berkisar pada 0,8 – 2,0 mg/m3, salinitas 32 – 35 0

/00, dan pada kedalaman 0 - 400 meter (Hendiarti, 2003).

(24)

24

1.7. TELAAH PENELITIANSEBELUMNYA

Penelitian terkait penentuan sebaran ikan pelagis dengan menggunakan aplikasi penginderaan jauh telah banyak dilakukan. Terdapat empat penelitian terdahulu yang dijadikan untuk kajian penelitian penulis. Penelitian yang pertama dilakukan oleh Arum Sekar pada tahun 2014. Penelitian ini berjudul: Pengaruh Perubahan Distribusi Suhu Permukaan Laut dan Konsentrasi Klorofil-a Terhadap Hasil Produksi Ikan Pelagis Di Perairan Selatan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi suhu permukaan laut (SPL) dan konsentrasi klorofil-a di musim barat, pancaroba awal tahun, timur dan pancaroba akhir tahun, lalu mengetahui korelasi antara suhu permukaan laut dengan konsentrasi klorofil-a, dan menganalisis hubungan suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a terhadap hasil produksi ikan pelagis di Perairan Selatan Jawa Tengah dan DIY, penelitian ini menggunakan data, yakni citra MODIS level 1b, citra MODIS level 2, data hasil tangkapan ikan pelagis tiap bulan. Metode penelitian ini menggunakankorelasi antara suhu permukaan laut dan klorofil-a dengan jumlah tangkapan ikan pelagis tiap bulan. Kemudian penelitian ini menghasilkan hasil penelitian yakni, peta suhu permukaan laut, peta kandungan klorofil-a, grafik hubungan suhu permukaan laut dan klorofil-a, dan grafik hubungan suhu permukaan laut dan klorofil-a dengan hasil tangkapan ikan pelagis.

Penelitian kedua dilakukan oleh Topan Basuma pada tahun 2009, yang berjudul: Penentuan Daerah Tangkapan Ikan Tongkol Berdasarkan Pendekatan Suhu Permukaan Laut dan Hasil Tangkapan Ikan Di Perairan Binuangeun, Banten. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh sebaran sosio temporal suhu permukaan laut di perairan Binuangeun, memperoleh fluktuasi hasil tangkapan ikan tongkol, menentukan hubungan suhu permukaan laut dengan hasil tangkapan ikan tongkol, dan memprediksi daerah penangkapan ikan tongkol yang potensial. Penelitian ini menggunakan data, yakni citra MODIS level 2, data hasil tangkapan ikan, dan wawancara. Metode penelitian ini menggunakan metode Korelasi suhu permukaan laut dengan hasil tangkapan ikan, dan pembobotan untuk Potensi

(25)

25 daerah tangkapan ikan yang didasarkan oleh ukuran dan jumlah hasil tangkapan ikan. Kemudian penelitian ini menghasilkan hasil berupa peta wilayah potensial tangkapan ikan tongkol, dangrafik hubungan suhu dengan hasil tangkapan ikan.

Penelitian ketiga dilakukan oleh Muhamad Syafi’i pada tahun 2006, dengan judul: Sebaran Konsentrasi Klorofil-a dan Suhu Permukaan Laut Menggunakan Citra Satelit Terra MODIS Di Perairan Natuna. Penelitian ini bertujuan untuk menduga dan mempelajari sebaran konsntrasi klorofil-a di perairan Natuna menggunakan citra satelit Terra MODIS pada musim barat dan timur tahun 2004-2005, lalu menduga dan mempelajari sebaran konsntrasi suhu permukaan laut di perairan Natuna menggunakan citra satelit Terra MODIS pada musim barat dan timur tahun 2004-2005, kemudian mempelajari hubungan sebaran konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut di perairan Natuna dari citra satelit Terra MODIS dengan data hasil pengukuran di lapangan, dan mempelajari hubungan antara kelimpahan konsentrasi klorofil-a dengan suhu permukaan laut berdasarkan data citra satelit Terra MODIS. Sumber data yang digunakan untuk penelitian ini, yakni citra satelit Terra MODIS, citra TOPEX-POSEIDON, dan data lapangan klorofil-a dan SPL dari Pusat penelitian dan pengembangan teknologi minyak dan gas bumi. Kemudian penelitian ini menggunakan metode korelasi antara suhu permukaan laut dan klorofil-a dengan jumlah tangkapan ikan pelagis musim barat dan musim timur. Penelitian ini menghasilkan, peta wilayah potensial tangkpan ikan tongkol, grafik hubungan suhu dengan hasil tangkapan ikan, dan sebaran Konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut.

Penelitian keempat dilakukan oleh Surini pada tahun 2013, yang berjudul: Variabilitas Suhu Permukaan Laut Kaitannya dengan Daerah Penangkapan Ikan Pelagis Kecil Di Perairan Teluk Lampung. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan sebaran dan variabilitas suhu permukaan laut, lalu menentukan komposisi jenis dan jumlah tangkapan, serta ukuran ikan yang dominan tertangkap, menganalisis hubungan suhu permukaan laut dengan hasil tangkapan ikan pelagis, dan memprediksi daerah penangkapan ikan pelagis. Penelitian ini menggunakan sumber data, yakni citra MODIS, dan data hasil tangkapan ikan

(26)

26 pelagis. Penelitian ini menggunakan metode wawancara, analisis korelasi antara suhu permukaan laut dan hasil tangkapan ikan pelagis, dan melakukan pembobotan terhadap Potensi suhu permukaan laut yang ideal dengan ukuran dan jumlah ikan pelagis yang ideal untuk dilakukan penangkapan. Penelitian ini menghasilkan hasil berupa grafik hubungan antara suhu permukaan laut dengan jumlah hasil tangkapan ikan pelagis, dan peta daerah penangkapan ikan pelagis potensial.

(27)

27 1 NAMA PENELITI DAN TAHUN PENELITIAN

JUDUL TUJUAN SUMBER DATA METODE

ANALISIS HASIL

Arum Sekar, 2014

Pengaruh perubahan distribusi suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a terhadap hasil produksi ikan pelagis di perairan selatan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta

1. Mengetahui distribusi suhu permukaan laut (SPL) dan konsentrasi klorofil-a di musim barat, pancaroba awal tahun, timur dan pancaroba akhir tahun.

2. Mengetahui korelasi antara suhu permukaan laut dengan konsentrasi klorofil-a.

3. Menganalisis hubungan suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a terhadap hasil produksi ikan pelagis di Perairan Selatan Jawa Tengah dan DIY.

-Citra MODIS level 1b

-Citra MODIS level 2 -Data hasil tangkapan ikan pelagis tiap bulan.

Korelasi antara suhu permukaan laut dan klorofil-a dengan jumlah tangkapan ikan pelagis tiap bulan.

-peta suhu permukaan laut

-peta kandungan klorofil-a

-grafik hubungan suhu permukaan laut dan klorofil-a

-grafik hubungan suhu permukaan laut dan klorofil-a dengan hasil tangkapan ikan pelagis

(28)

28 Topan Basuma,

2009

Penentuan daerah tangkapan ikan tongkol berdasarkan pendekatan suhu permukaan laut dan hasil tangkapan ikan di perairan Binuangeun, Banten

1. Memperoleh sebaran sosio temporal suhu permukaan laut di perairan Binuangeun. 2. Memperoleh fluktuasi hasil

tangkapan ikan tongkol. 3. Menentukan hubungan suhu

permukaan laut dengan hasil tangkapan ikan tongkol. 4. Memprediksi daerah

penangkapan ikan tongkol yang potensial.

-Citra MODIS level 2 -Data hasil tangkapan

ikan -wawancara Korelasi suhu permukaan laut dengan hasil tangkapan ikan. Pembobotan untuk Potensi daerah tangkapan ikan yang didasarkan oleh ukuran dan jumlah hasil tangkapan ikan

-Peta wilayah potensial tangkpan ikan tongkol

-Grafik hubungan suhu dengan hasil tangkapan ikan

Muhamad Syafi’i, 2006

Sebaran konsentrasi klorofil-a-a dklorofil-a-an suhu permukklorofil-a-aklorofil-a-an lklorofil-a-aut menggunakan citra satelit Terra MODIS di perairan Natuna

1. Menduga dan mempelajari sebaran konsntrasi klorofil-a-a di perairan Natuna menggunakan citra satelit Terra MODIS pada musim barat dan timur tahun

2004--Citra satelit Terra MODIS

-Citra TOPEX-POSEIDON

-Data lapangan klorofil-a-a dan SPL

Korelasi antara suhu permukaan laut dan klorofil-a dengan jumlah tangkapan ikan pelagis musim barat dan musim

Sebaran Konsentrasi klorofil-a-a dan suhu permukaan laut

(29)

29 2005.

2. Menduga dan mempelajari sebaran konsntrasi suhu permukaan laut di perairan Natuna menggunakan citra satelit Terra MODIS pada musim barat dan timur tahun 2004-2005.

3.Mempelajari hubungan sebaran konsentrasi klorofil-a-a dan suhu permukaan laut di perairan Natuna dari citra satelit Terra MODIS dengan data hasil pengukuran di lapangan.

4. Mempelajari hubungan antara kelimpahan konsentrasi klorofil-a-a dengan suhu permukaan laut berdasarkan data citra satelit Terra

dari Pusat penelitian dan pengembangan teknologi minyak dan gas bumi

(30)

30 2

MODIS. Surini, 2013 Variabilitas suhu permukaan

laut kaitannya dengan daerah penangkapan ikan pelagis kecil di Perairan Teluk Lampung

1. Menentukan sebaran dan variabilitas suhu permukaan laut.

2. Menentukan komposisi jenis dan jumlah tangkapan, serta ukuran ikan yang dominan tertangkap.

3. Menganalisis hubungan suhu permukaan laut dengan hasil tangkapan ikan pelagis. 4. Memprediksi daerah

penangkapan ikan pelagis.

-Citra MODIS -Data hasil tangkapan

ikan pelagis

-Wawancara

-Analisis korelasi

antara suhu

permukaan laut dan hasil tangkapan ikan pelagis

-Melakukan pembobotan

terhadap Potensi suhu permukaan laut yang ideal dengan ukuran dan jumlah ikan pelagis yang

ideal untuk dilakukan penangkapan -Grafik hubungan antara suhu permukaan laut dengan jumlah hasil tangkapan ikan pelagis

-Peta daerah

penangkapan ikan pelagis potensial

(31)

31 1.8. KERANGKA PEMIKIRAN

Ikan pelagis sebagai salah satu organisme yang hidup di perairan laut keberadaannya ditentukan oleh kondisi oseanografi. Kondisi oseanografi ini diantaranya, yaitu suhu, kandungan substrat dalam air, dan arus. Suhu lingkungan yang berpotensi dapat menciptakan suatu suasana yang nyaman bagi organisme untuk hidup dan berkembang biak dengan baik khususnya bagi ikan pelagis. Kandungan substrat dalam air laut seperti klorofil-a yang dihasilkan dari proses fotosintesis oleh fitoplankton dapat menjadi suatu pendekatan dalam mengidentifikasi kandungan ikan pelagis pada suatu perairan. Hal ini disebabkan karena fitoplankton menjadi sumber penghasil makanan bagi organisme yang ada di perairan laut, banyaknya sumber makanan yang tersedia menyebabkan terjadinya proses rantai makanan, dimana produsen dimakan oleh pemangsa tingkat 1 yakni herbivora, kemudian pemangsa tingkat 1 ini dimakan oleh

Parameter Oseanografi

Konsentrasi klorofil-a

Analisis data SPL dan kandungan klorofil-a yang berpotensi untuk mengetahui sebaran ikan

Zona sebaran potensi ikan pelagis Penginderaan jauh Keberadaan Ikan Pelagis

(32)

32 pemangsa tingkat 2 yakni karnivora, dan pemangsa tingkat 2 ini dimangsa oleh karnivora tingkat 3 yang berukuran lebih besar. Kedua parameter ini dapat diperoleh melalui pemrosesan citra penginderaan jauh dengan cepat, mudah, dan memiliki akurasi yang cukup baik.

Penentuan suhu permukaan laut dan kandungan klorofil-a ini menggunakan aplikasi citra MODIS Aqua yang menggunakan citra level 1 b dengan resolusi spasial 1000 meter pada awal musim timur (Juni, Juli, Aguistus) yang dimulai dari bulan Juni 2012 hingga akhir musim timur pada bulan Agustus 2016 citra yang telah diekstraksi SPL dan Klorofil-a, kemudian dilakukan klasifikasi, setelah itu dilakukan uji akurasi. Uji akurasi atau validasi ini dilakukan dengan dua cara, yakni pertama dengan membandingkan hasil pengolahan citra dengan data sekunder yang diakses dari http://www.oceancolor.gsfc.nasa.gov, dengan uji statistik Standart Error. Kemudian kedua data ini dilakukan pemodelan spasial dengan cara metode tumpang susun, kemudian peta dilakukan uji akurasi dengan membandingan luas zona berpotensi untuk penangkapan ikan menggunakan peta prediksi tangkapan ikan pelagis milik BPOL, dengan menggunakan matrix perbandingan. Setelsh itu dilakukan wawancara mendalam kepada nelayan untuk memvalidasi hasil peta yang telah disusun. Kemudian dilakukan revisi dan pendetilan klasifikasi zona tangkapan ikan. Dengan demikian dapat diketahui zona potensi sebaran ikan pelagis dalam musim timur selama 5 tahun.

1.9. BATASAN ISTILAH

1. Oseanografi merupakan ilmu yang mempelajari tentang lautan, yang merupakan perpaduan dari berbagai macam ilmu-ilmu dasar, seperti ilmu tanah, ilmu biologi, ilmu kimia, ilmu geografi, ilmu fisika, dan ilmu iklim (Hutabarat, 1984).

2. Suhu Permukaan Laut merupakan besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang yang terkandung dalam suatu benda. Suhu air laut

(33)

33 terutama di lapisan permukaan sangat tergantung pada jumlah bahang yang diterima sinar matahari (Weyl, 1970)

3. Klorofil-a merupakan pigmen yang mampu melakukan fotosintesis dan terdapat di seluruh organisme fitoplankton (Barnes dan Huges, 1988).

2. Salinitas merupakan konsentrasi rata-rata seluruh garam-yang terdapat di dalam air laut, yang kandungannya dinyatakan dalam perseribu atau permil (Evans dan Hutabarat, 1984).

3. Arus merupakan gerakan air yang sangat luas yang terjadi di seluruh lautan di dunia (Evans dan Hutabarat, 1984).

4. Proses upwelling merupakan suatu proses massa air didorong kearah atas dari kedalaman sekitar 100-200 meter yang terjadi di sepanjang barat pantai di banyak benua (Evans dan Hutabarat, 1984).

5. Fitoplankton merupakan tumbuhan-tumbuhan air yang berukuran sangat kecil yang berfungsi sebagai produsen utama zat-zat organik dalam air laut (Hutabarat dan Evans, 1984).

6. Ikan pelagis merupakan jenis ikan yang menghabiskan hidupnya berada di dekat permukaan air laut (Cuchlaine, 1975).

7. Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap objek, daerah, atau gejala yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1979).

8. MODIS merupakan sensor yang terpasang pada satelit Terra dan Aqua, yang mampu mengukur sifat-sifat fisik atmosfer, daratan, dan lautan yang mampu merekam secara kontinu, dengan mekanisme pemindaian melintang arah orbit bumi, dengan lebar sapuan 2330 km, serta menyajikan 36 saluran spektral dengan resolusi spasial yang bervariasi mulai dari 250 meter hingga 1 kilometer (Danoedoro, 2012).

Gambar

Gambar 1.2. Distribusi spektral tenaga yang dipancarkan oleh benda hitam  sempurna dalam berbagai suhu (Lillesand dan Kiefer, 1979)
Tabel 1.2.Panjang Gelombang Pusat.
Gambar 1.3. Kurva Karakteristik Absorsi Klorofil-a (Maul, 1985)
Gambar 1.4.Grafik perubahan suhu pada kedalaman laut yang berbeda-beda (Open  University Course in Oceanography
+7

Referensi

Dokumen terkait

Opisuju se i objašnjavaju pojmovi komunikacija, verbalna komunikacija, komunikacija u obitelji, komunikacija izmeĎu odgojitelja i djeteta, jezično-govorni razvoj

Pada keadaan yang demikian tanaman akan mampu mengekstrak air dari volume tanah yang lebih dalam dan luas, sehingga mampu menyediaan air lebih banyak untuk mendukung

Pada penelitian ini, Chlorella sp (inaCC M39) dikultur pada media limbah ternak ayam Broiler dengan konsentrasi 20 gram/L.. Limbah yang digunakan merupakan kotoran ayam broiler

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hasil belajar Bahasa Inggris siswa yang dibelajarkan dengan strategi Picture and Picture dan hasil belajar Bahasa Inggris siswa

Jika antara variabel yang satu dengan variabel lainnya mempunyai hubungan, maka variabel yang satu akan berubah akibat perubahan dari variabel lainnya. Dalam memperkirakan

Menurut Moeller (2005), proses pelaporan audit internal dimulai dengan mengidentifikasi temuan-temuan, menyiapkan draf laporan untuk mendiskusikan temuan- temuan dan

SEKRETARIAT/ BIDANG/ KEGIATAN / NAMA PEKERJAAN/ KODE REKENING VOLUME SATUAN LOKASI PERKIRAAN BIAYA (Rp.).. SEKRETARIAT/ BIDANG/ KEGIATAN / NAMA PEKERJAAN/ KODE

perubahan dari bentuk Konstitusi RIS melainkan juga menerangkan mengenai penggantian naskah Konstitusi RIS dengan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. UUDS 1950 ini