• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini secara garis besar akan dibahas tinjauan pustaka dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini secara garis besar akan dibahas tinjauan pustaka dan"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

Pada bab ini secara garis besar akan dibahas tinjauan pustaka dan landasan teori yang relevan dan mendukung penelitian ini. Beberapa teori dan ulasan terkait yang akan dibahas pada bab ini antara lain: teori pertumbuhan ekonomi; keterhubungan keterhubungan dan ketergantungan antar wilayah; teori lokasi optimum dan aglomerasi industri; perkembangan, kebijakan dan strategi pengembangan industri di Indonesia; tinjauan studi dampak pembangunan infrastruktur transportasi dalam pembangunan perekonomian suatu wilayah; teori distribusi pendapatan dan studi-studi terdahulu.

Teori pertumbuhan diungkapkan pada pokok bahasan ini sebagai landasan untuk menjelaskan bagaimana perekonomian tumbuh pada suatu negara atau wilayah. Ulasan tentang keterhubungan dan ketergantungan wilayah dipaparkan untuk menegaskan bahwa suatu perekonomian wilayah tumbuh tidak berdiri sendiri, melainkan berhubungan dan bergantung sama lain. Dalam hal ini jaringan infrastruktur transportasi menjadi media untuk memperlancar akses antar wilayah, sehingga terjadi pola interaksi barang dan jasa yang lancar. Teori lokasi optimum dan aglomerasi industri diungkapkan untuk mempertegas bahwa pada prinsipnya industri terbentuk melalui proses pemilihan lokasi yang secara ekonomi menguntungkan dan proses aglomerasi secara ekonomis akan memberikan keuntungan bagi industri. Pada proses pemilihan lokasi optimum murahnya biaya transportasi menjadi salahsatu pertimbangan penting. Salahsatu keuntungan aglomerasi adalah efisiensi dan efektivitas didalam penyiapan infrastruktur transportasi. Sebagai tambahan, teori distribusi pendapatan

(2)

pendapatan dan distribusi pendapatan dapat berubah dan mengalir ke institusi, dan secara spesifik ke institusi rumah tangga.

2.1 Teori Pertumbuhan Ekonomi

Pembangunan menurut literatur-literatur ekonomi pembangunan seringkali didefinisikan sebagai suatu proses yang berkesinambungan dari peningkatan pendapatan riil perkapita melalui peningkatan jumlah dan produktivitas sumber daya (Kartasasmita, 1997). Dari pandangan itu lahir konsep-konsep mengenai pembangunan sebagai pertumbuhan ekonomi. Teori mengenai pertumbuhan ekonomi dapat ditelusuri setidak-tidaknya sejak abad ke-18. Menurut Adam Smith proses pertumbuhan dimulai apabila perekonomian mampu melakukan pembagian kerja (division of labor). Pembagian kerja akan meningkatkan produktivitas yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan. Adam Smith juga menggaris-bawahi pentingnya skala ekonomi. Dengan meluasnya pasar, akan terbuka inovasi-inovasi baru yang pada gilirannya akan mendorong perluasan pembagian kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Seperti yang dijelaskan oleh Kartasasmita (1997), setelah Adam Smith muncul pemikiran-pemikiran yang berusaha mengkaji batas -batas pertumbuhan (limits to growth) antara lain Malthus (1798) dan Ricardo (1917). Setelah Adam Smith, Malthus, dan Ricardo yang disebut sebagai aliran klasik, berkembang teori pertumbuhan ekonomi modern dengan berbagai variasinya yang pada intinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu yang menekankan pentingnya akumulasi modal (physical capital formation) dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (human capital).

(3)

Salah satu pandangan yang dampaknya besar dan berlanjut hingga sekarang adalah model pertumbuhan yang dikembangkan oleh Harrod (1948) dan Domar (1946). Pada intinya model ini berpijak pada pemikiran Keynes (1936) yang menekankan pentingnya aspek permintaan dalam mendorong pertumbuhan jangka panjang. Dalam model Harrod-Domar seperti yang diungkapkan oleh Kartasasmita (1997), pertumbuhan ekonomi akan ditentukan oleh dua unsur pokok, yaitu tingkat tabungan (investasi) dan produktivitas modal (capital output ratio). Agar dapat tumbuh secara berkelanjutan, masyarakat dalam suatu perekonomian harus mempunyai tabungan yang merupakan sumber investasi. Makin besar tabungan, yang berarti makin besar investasi, maka akan semakin tinggi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, makin rendah produktivitas kapital atau semakin tinggi capital output ratio, makin rendah pertumbuhan ekonomi.

Berbeda dengan Harrod-Domar yang memberikan tekanan kepada pentingnya peranan modal, Arthur Lewis (1954) dengan model surplus of labornya memberikan tekanan kepada peranan jumlah penduduk (Kartasasmita, 1997). Dalam model ini diasumsikan terdapat penawaran tenaga kerja yang sangat elastis. Ini berarti para pengusaha dapat meningkatkan produksinya dengan mempekerjakan tenaga kerja yang lebih banyak tanpa harus menaikkan tingkat upahnya. Meningkatnya pendapatan yang dapat diperoleh oleh kaum pemilik modal akan mendorong investasi-investasi baru karena kelompok ini mempunyai hasrat menabung dan menanam modal (marginal propensity to save and invest) yang lebih tinggi dibandingkan dengan kaum pekerja. Tingkat investasi yang tinggi pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

(4)

Model pertumbuhan neoklasik merupakan teori pertumbuhan yang mulai memasukkan unsur teknologi yang diyakini akan berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara (Solow, 1957). Dalam teori neoklasik, teknologi dianggap sebagai faktor eksogen yang tersedia untuk dimanfaatkan oleh semua negara di dunia. Dalam perekonomian yang terbuka, di mana semua faktor produksi dapat berpindah secara leluasa dan teknologi dapat dimanfaatkan oleh setiap negara, maka pertumbuhan semua negara di dunia akan konvergen, yang berarti kesenjangan akan berkurang.

Teori pertumbuhan selanjutnya mencoba menemukan faktor-faktor lain di luar modal dan tenaga kerja, yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Salah satu teori berpendapat bahwa investasi sumber daya manusia mempunyai pengaruh yang besar terhadap peningkatan produktivitas. Menurut Becker (1967) peningkatan produktivitas tenaga kerja ini dapat didorong melalui pendidikan dan pelatihan serta peningkatan derajat kesehatan. Teori human capital ini selanjutnya diperkuat dengan berbagai studi empiris, antara lain untuk Amerika Serikat oleh Kendrick (1976).

Selanjutnya, pertumbuhan yang bervariasi di antara negara-negara yang membangun melahirkan pandangan mengenai teknologi bukan sebagai faktor eksogen, tapi sebagai faktor endogen yang dapat dipengaruhi oleh berbagai variabel kebijaksanaan (Romer, 1990). Sumber pertumbuhan dalam teori endogen adalah meningkatnya stok pengetahuan dan ide baru dalam perekonomian yang mendorong tumbuhnya daya cipta dan inisiatif yang diwujudkan dalam kegiatan inovatif dan produktif. Ini semua menuntut kualitas sumber daya manusia yang meningkat. Transformasi pengetahuan dan ide baru

(5)

tersebut dapat terjadi melalui kegiatan perdagangan internasional, penanaman modal, lisensi, konsultasi, komunikasi, pendidikan, dan aktivitas R & D.

Nurkse (1953) menunjukkan teori pertumbuhan yang menonjolkan peran perdagangan dalam pertumbuhan. Nurske menunjukkan bahwa perdagangan merupakan mesin pertumbuhan selama abad ke-19 bagi negara-negara yang sekarang termasuk dalam kelompok negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Pada abad itu kegiatan industri yang termaju terkonsentrasi di Inggris. Pesatnya perkembangan industri dan pertumbuhan penduduk di Inggris yang miskin sumber alam telah meningkatkan permintaan bahan baku dan makanan dari negara-negara yang tersebut di atas. Dengan demikian, pertumbuhan yang terjadi di Inggris menyebar ke negara lain melalui perdagangan internasional. Kemudian kita lihat bahwa kemajuan ekonomi di negara-negara industri baru yang miskin sumber alam di belahan kedua abad ke-20, seperti Korea, Taiwan, Hongkong, dan Singapura, juga didorong oleh perdagangan internasional.

Dalam kelompok teori pertumbuhan ini ada pandangan yang penting yang dianut oleh banyak pemikir pembangunan, yaitu teori mengenai tahapan pertumbuhan. Dua di antaranya yang penting adalah dari Rostow (1960) serta Chenery and Syrquin (1975). Menurut Rostow, transformasi dari negara yang terkebelakang menjadi negara maju dapat dijelaskan melalui suatu urutan tingkatan atau tahap pembangunan yang dilalui oleh semua negara. Rostow mengemukakan lima tahap yang dilalui oleh suatu negara dalam proses pembangunannya; yaitu tahap Traditional Society, Preconditions for Growth, The Take-off, The Drive to Maturity, dan The Age of High Mass Consumption. Menurut pemikiran Chenery dan Syrquin (1975), yang merupakan

(6)

pengembangan pemikiran dari Collin Clark dan Kuznets, perkembangan perekonomian akan mengalami suatu transformasi (konsumsi, produksi dan lapangan kerja), dari perekonomian yang didominasi oleh sektor pertanian menjadi didominasi oleh sektor industri dan jasa.

Pandangan-pandangan yang berkembang dalam teori-teori pembangunan terutama di bidang ekonomi memang mengalir ke arah manusia dan dalam konteks yang lebih luas ke arah masyarakat atau rakyat, sebagai pusat perhatian dan sasaran sekaligus pelaku utama pembangunan. Salah satu harapan atau anggapan dari pengikut aliran teori pertumbuhan adalah bahwa hasil pertumbuhan akan dapat dinikmati masyarakat sampai di lapisan yang paling bawah. Namun, pengalaman pembangunan dalam tiga dasawarsa di Indonesia (1940-1970) menunjukkan bahwa masyarakat di lapisan bawah tidak senantiasa menikmati limpahan hasil pembangunan seperti yang diharapkan itu. Bahkan di banyak negara kesenjangan sosial ekonomi makin melebar. Hal ini disebabkan oleh karena meskipun pendapatan dan konsumsi makin meningkat, kelompok masyarakat yang sudah baik keadaannya dan lebih mampu, lebih dapat memanfaatkan kesempatan, antara lain karena posisinya yang menguntungkan (privileged) karena memiliki faktor produksi yang lebih banyak, sehingga akan memperoleh bagian lebih banyak dari hasil pembangunan. Dengan demikian, yang kaya makin kaya dan yang miskin tetap miskin bahkan dapat menjadi lebih miskin.

Pemikiran-pemikiran pembangunan pada dekade 1950-an dan 1960-an bercirikan pada tujuan pembangunan dan upaya negara untuk mengejar pertumbuhan ekonomi agregat. Sampai saat ini pemikiran ekonomi pembangunan ini masih banyak pengikut dan pendukungnya di berbagai belahan

(7)

dunia, walaupun sesungguhnya bukti-bukti empiris dan uji teoritis menunjukkan bahwa trickle down process tidak pernah terwujud, terutama pada negara-negara yang sedang berkembang. Berdasarkan pada kesadaran bahwa pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan semata memiliki banyak kelemahan, maka berkembanglah berbagai pemikiran lain yang berorientasi pada pembangunan sosial yang tujuannya adalah untuk menyelenggarakan pembangunan yang lebih berkeadilan atau lebih merata.

2.2. Teori Kutub Pertumbuhan

Perkembangan modern dari teori titik pertumbuhan terutama berasal dari karya ahli-ahli teori ekonomi regional Perancis yang dipelopori oleh Francois Perroux. Menurut Perroux, seperti yang disampaikan oleh Adisasmita (2005), pertumbuhan ataupun pembangunan tidak dilakukan di seluruh tata ruang, tetapi terbatas pada beberapa tempat atau lokasi tertentu. Tata ruang diidentifikasikannya sebagai arena atau medan kekuatan yang didalamnya terdapat kutub-kutub atau pusat-pusat. Setiap kutub memiliki kekuatan pancaran pengembangan ke luar dan kekuatan tarikan ke dalam. Teori ini menjelaskan tentang pertumbuhan ekonomi dan khususnya mengenai perusahaan-perusahaan dan industri-industri serta saling ketergantungannya dan bukan mengenai pola geografis dan pergeseran industri baik secara intra maupun secara inter, pada dasarnya konsep kutub pertumbuhan mempunyai pengertian tata ruang ekonomi secara abstrak.

Munculnya dorongan-dorongan pertumbuhan karena adanya ketergantungan industri yang ada di antara berbagai kemudian menciptakan gelombang-gelombang inovasi. Hanya industri-industri yang memiliki

(8)

kemampuan tinggi untuk memindahkan dorongan-dorongan pertumbuhan melalui dampak berantai ke belakang dan ke depan (backward dan forward linkages) termasuk sebagai industri yang mempunyai kekuatan pendorong. Perroux sendiri tidak menggunakan istilah backward dan forward linkage effects. Istilah tersebut dilontarkan oleh Hirschman. Konsep Hirschman didasarkan pada pemahaman matarantai-matarantai keterhubungan (masukan-keluaran) agar industri dan keberartian dalam kaitannya dengan proses pertumbuhan ekonomi yang diciptakan.

Seperti yang diungkapkan oleh Adisasmita (2005), terdapat beberapa ciri penting dari konsep kutub pertumbuhan dapat dikemukakan. Pertama, terdapat keterkaitan internal antara berbagai industri secara teknik dan ekonomi. Kedua, terdapat pengaruh multiplier. Ketiga, terdapat konsentrasi geografis. Sedangkan Growth Pole dapat diartikan dengan 2 (dua) cara, yaitu:

1. Secara Fungsional

Suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri yang sifat hubungannya memiliki unsur-unsur kedinamisan sehingga mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik kedalam maupun keluar (daerah belakangnya).

2. Secara Geografis

Suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole of attraction) yaang menyebabkan berbegai macam usaha tertarik untuk berlokasi disitu dan masyarakat senang datang memanfaatkan fasilitas yang ada dikota.

(9)

Konsep dasar ekonomi dari pada kutub pertumbuhan menurut Adisasmita (2005) adalah:

1. Konsep industri utama dan industri pendorong

2. Konsep polarisasi, pertumbuhan dari pada industri utama dan perusahaan pendorong akan menimbulkan polarisasi unit-unit ekonomi lain ke kutub pertumbuhan.

3. Terjadinya aglomerasi, yang ditandai dengan: a. Scale Economies

• Keuntungan yang timbul bila kegiatan ekonomi dilakukan dengan skala besar.

• Biaya produksi rata-rata rendah, spesialisasi dan efisiensi. b. Localization Economies

Kekuatan pusat pengembangan akan terletak pada keterkaitan yang erat antara beberapa kegiatan produksi yang berada dalam pusat tsb. Kekuatan itu timbul karena kegiatan produksi saling berkaitan dan terkonsentrasi pada pada suatu tempat, maka ongkos angkut bahan baku dan barang jadi akan berkurang. Produksi akan lebih besar karena persediaan bahan baku, tenaga terampil dan pasar terjamin.

c. Urbanization Economies

Seringkali pusat pertumbuhan diletakkan di daerah perkotaan dimana tersedia berbagai fasilitas sosial, sarana industri yang dapat digunakan secara bersama dengan ongkos relative murah. Kunci dari urbanization economies adalah penurunan ongkos produksi karena merupakan kekuatan utama pusat pengembangan dalam memancing industri untuk datang dan memilih lokasi pada pusat tersebut.

(10)

Daya tarik suatu daerah untuk berkembang menjadi pusat pertumbuhan menurut Adisasmita (2005), secara garis besar disebabkan karena 2 (dua) hal, yaitu karena keadaan prasarana dan keadaan pasar. Sedangkan kaitannya antara keberadaan industri dengan keadaan pasar adalah:

1. Industri yang didasarkan pada ketersediaan bahan baku (resources based industri) contoh: bahan pertanian dan bahan makanan

2. Industri dekat pasar (market oriented industri) contoh: industri bahan makanan tidak tahan lama dan industri jasa

3. Industri yang letaknya netral (footloose) contoh: industri pengolahan karena tidak tergantung dari sumber bahan baku tetapi ketersediaan prasarana dan fasilitas.

Sedangkan pusat pertumbuhan menurut Adisasmita (2005) memiliki 4 (empat) ciri, yaitu:

1. Adanya hubungan internal dari berbagai macam kegiatan.

Hubungan internal sangat menentukan dinamika sebuah kota, ada keterkaitan antara satu sektor dengan sektor lain sehingga apabila ada satu sektor yang tumbuh akan mendorong pertumbuhan sektor lain karena saling terkait. Kehidupan kota menjadi satu irama dengan berbagai komponen kehidupan kota dan menciptakan sinergi untuk saling mendukung terciptanya pertumbuhan.

2. Ada efek penggandaan (multiplier Effect)

Keberadaan sektor-sektor yang saling terkait dan saling mendukung akan menciptakan efek penggandaan. Permintaan akan menciptakan produksi baik sektor tersebur maupun sektor yang terkait, sehingga akhirnya akan

(11)

terjadi akumulasi modal. Unsur efek penggandaan sangat berperan dalam membuat kota mampu memacu pertumbuhan belakangnya.

3. Adanya konsentrasi geografis

Konsentrasi geografis dari berbagai sektor atau fasilitas, selain bisa menciptakan efisiensi diantara sektor-sektor yang salng membutuhkan juga meningkatkan daya tarik (attractiveness) dari kota tersebut.

4. Bersifat mendorong daerah belakangnya.

Hal ini antarakota dan wilayah belakangnya terdapat hubungan yang harmonis. Kota membutuhkan bahan baku dari wilayah belakangnya dan menyediakan berbagai kebutuhan wilayah belakangnya untuk dapat mengembangkan dirinya.

Agglomeration Economies adalah pemusatan produksi di lokasi tertentu, pemusatan produksi ini dapat terjadi dalam satu perusahaan atau dalam berbagai perusahaan di satu tempat akan menimbulkan penghematan eksternal (Capello, 2007). Untuk menjelaskan persoalan-persoalan kutub pembangunan harus ditunjang oleh teori-teori lokasi. Di antara teori-teori lokasi yang telah kita pelajari, Central Place Theory dapat dianggap sebagai teori global yang menjelaskan mengenai ketergantungan di antara kegiatan-kegiatan jasa sebagai akibat dari adanya pembagian kerja secara spatial.

Central Place Theory dan khususnya mengenai saling ketergantungan fungsional yang diformulasikan oleh Christaller tanpa memperhitungkan adanya hambatan-hambatan geografis-spasial, adalah merupakan titik permulaan untuk menganalisis lebih lanjut mengenai impak pembangunan pada suatu pusat tertentu atau pada pusat-pusat lainnya dan mengenai perubahan-perubahan

(12)

yang terjadi dalam sistem pusat-pusat serta pengendalian pertumbuhan kota (Capello, 2007). Ditinjau dari segi lain terdapat kekurangan-kekurangan, yaitu tempat sentral tidak menjelaskan gejala-gejala pembangunan. Central Place Theory dikategorisasikan sebagai teori statis, yang hanya menjelaskan adanya pola pusat-pusat tertentu dan tidak membahas adanya perubahan-perubahan pola tertentu. Teori Boudeville merupakan teori kutub pertumbuhan yang telah dimodifikasikan, dan dapat digunakan untuk menganalisis gejala-gejala dinamis tersebut.

2.3. Keterhubungan dan Ketergantungan Antar Wilayah

Pembangunan wilayah antar provinsi yang berdekatan akan dapat mengembangkan daya pertumbuhan yang kuat yang terdapat dalam lingkungan suatu provinsi dan dapat pula perkembangan provinsi-provinsi lainnya yang relatif terbelakang. Dalam hubungan ini perlu digairahkan kerja sama antar wilayah (provinsi) secara saling menguntungkan (mutual regional cooperation). Hal ini berarti bahwa produksi dan usaha-usaha pembangunan dikaitkan dengan keuntungan komparatif dan regionalisasi wilayah pembangunan.

Menurut Adisasmita (2005), keterkaitan atau keterhubungan (inter-relationship) dan ketergantungan (interdependency) antar wilayah dapat diperlihatkan dari jaringan arus antar wilayah (termasuk didalamnya arus perdagangan). Dalam suatu negara, arus perdagangan antar wilayah tidak dapat berlangsung berdasarkan keuntungan mutlak (absolute advantage), melainkan didasarkan pada keuntungan komparatif (comparative advantage) saja sudah cukup beralasan untuk melangsungkan perdagangan antar wilayah. Suatu wilayah akan mengekspor barang-barang yang mempunyai keuntungan produksi

(13)

yang relatif lebih kecil atau mengimpor barang-barang yang mempunyai kerugian produksi yang lebih besar (comparative disadvantage). Masing-masing wilayah akan menspesialisasikan produksi pada satu atau beberapa barang tertentu. Wilayah-wilayah yang tidak memproduksi sendiri barang-barang yang dibutuhkan akan membeli barang-barang yang dimaksud dari wilayah-wilayah lain menjadi produsennya. Jelaslah bahwa di antara wilayah-wilayah yang ada mempunyai pengaruh timbal balik dan saling berkepentingan satu sama lainnya dan sedemikian rupa akan menciptakan suatu pola perdagangan antar wilayah.

Lebih lanjut Adisasmita (2005) menyampaikan bahwa regionalisme termasuk dalam kerangka kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang mengelompokkan lingkungan teritorial menjadi wilayah-wilayah sub nasional. Dalam pengelompokkan itu dipertimbangkan dua aspek utama yaitu pola fisik dan pola kegiatan. Pola fisik meliputi pemanfaatan tata ruang untuk permukiman penduduk, fasilitas-fasiilitas produktif, trayek-trayek transportasi, tata guna tanah, dan lain-lainnya. Sedangkan pola kegiatan terdiri dari arus modal, tenaga kerja, komoditas dan komunikasi yang menghubungkan elemen-elemen fisik dalam tata ruang. Dilihat dari pertimbangan integrasi nasional, salah satu fungsi pengembangan wilayah adalah membina dan mengefektifkan keterhubungan antar wilayah yang berspesialisasi secara fungsional dan berorientasi pada pasar secara nasional. Jadi regionalisasi wilayah pembangunan dimaksudkan untuk meningkatkan pembangunan baik sektoral maupun regional secara lebih efektif dan efisien.

Sebuah pendekatan untuk menentukan batas-batas wilayah pada umumnya digunakan jarak (Adisasmita, 2005). Selanjutnya keterkaitan antara wilayah dapat ditunjukkan dalam suatu matrik jarak antar wilayah. Kriteria yang

(14)

digunakan adalah homogenitas kondisi wilayah, kriteria tersebut dapat dinyatakan sebagai karakteristik geografis, sosial, dan ekonomi. Suatu perencanaan wilayah yang semata-mata hanya didasarkan pada kriteria geografis dapat dikatakan kurang bermanfaat ditinjau dari kepentingan analisis ekonomi. Untuk menentukan homogenitas ekonomi dapat digunakan ciri-ciri keserupaan dalam kegiatan-kegiatan produksi, tingkat keterampilan tenaga kerja, dan pendapatan perkapita. Selanjutnya suatu wilayah didefinisikan sebagai suatu gabungan dari sejumlah titik-titik spasial mempunyai kegiatan-kegiatan produksi yang serupa atau tingkat pendapatan per kapita yang sama. Dengan demikian dapat dibedakan dengan mudah antara wilayah-wilayah yang berorientasi pada sektor tersier. Dapat dibedakan pula antara wilayah-wilayah dengan tingkat pendapatan rendah (miskin) dan wilayah dengan tingkat pendapatan tinggi (kaya).

Adisasmita (2008) mengatakan bahwa wilayah dapat pula ditentukan batas-batasnya berdasarkan kriteria interpretasi suatu wilayah dapat dinyatakan sebagai suatu sistem yang terpadu secara spasial. Suatu sistem diartikan sebagai suatu kumpulan variabel-variabel yang saling berkaitan satu sama lain. Berdasarkan kriteria ini tidak boleh mengkonsentrasikan semata-mata pada ketergantungan yang berat sebelah pada segi suplai (wilayah suplai dari suatu pusat permintaan) atau hanya pada segi permintaan (wilayah permintaan dari suatu pusat suplai). Jadi ketergantungan antar wilayah tersebut harus didasarkan pula pada kedua segi yaitu segi permmintaan dan suplai (penawaran). Selanjutnya ketergantungan antar wilayah dapat dilihat dari arus pertukaran dan lalu lintas perdagangannya.

(15)

Konsentrasi kegiatan-kegiatan ekonomi terletak pada tata ruang-tata ruang yang pada umumnya adalah kota-kota. Proses industrialisasi dan urbanisasi ke kota-kota berlangsung terus dan meningkat. Tiap-tiap kota-kota besar mempunyai kota satelit, dan selanjutnya kota-kota satelit tersebut mempunyai desa-desa satelit. Gejala ini sangat penting dalam perkembangan peradaban manusia, perkembangan industri dan perdagangan, dimana pertumbuhan kota telah meningkat pesat.

Interdependensi pertukaran (pembelian dan penjualan) mencerminkan karakteristik suatu perangkat kota-kota regional dalam suatu perangkat yang lebih besar yaitu suatu bangsa atau Negara (Adisasmita, 2005). Wilayah polarisasi didefinisikan sebagai perangkat kota-kota dengan daerah-daerah disekitarnya yang mengadakan pertukaran lebih banyak dengan metropolis tingkat regional dari kota-kota lainnya yang mempunyai orde yang sama di suatu negara. Justifikasi dari pengertian wilayah polarisasi adalah sifat empirik. Daerah-daerah di sekitar pusat mempunyai keterhubungan dan ketergantungan yang sangat erat dengan pusatnya. Jadi wilayah polarisasi berarti tidak autarkis. Artinya bersifat terintegrasi antara pusat dengan daerah komplementernya.

Jaringan transportasi berfungsi menjembatani antara konsep wilayah polarisasi dan pengertian kutub-kutub pertumbuhan (Adisasmita, 2005). Konsep-konsep tersebut merupakan salah satu kunci permasalahan pengembangan wilayah. Suatu kutub pertumbuhan regional merupakan suatu perangkat industri-industri yang berkembang dan terletak di daerah perkotaan dan mendorong lebih lanjut kegiatan-kegiatan ekonomi dan pembangunan pada umumnya ke seluruh wilayah pelayanannya. Jaringan dapat disusun secara sederhana yaitu menghubungkan pusat besar dengan pusat-pusat sedang, dan selanjutnya

(16)

antara pusat sedang dengan pusat-pusat kecil. Pola transportasi semacam ini disebut conventional tree pattern yang mendasarkan pada susunan pohon, yang terdiri dari batang, dahan, cabang dan ranting. Dalam susunan trayek atau rute pelayaran dan penerbangan dikenal trunk route dan feeder route. Jaringan jalan raya meliputi jalan arteri (urat nadi), jalan kolektor dan jalan lokal.

Untuk melayani kegiatan pembangunan dan mobilisasi yang semakin meningkat dan meluas, maka jaringan transportasi nasional harus dikembangkan selaras dengan tingkat pertumbuhan arus muatan di seluruh wilayah. Jaringan transportasi yang menghubungkan masing-masing pusat ke seluruh pusat lainnya dikenal sebagai “polygrid pattern” atau pola segala jurusan seperti penerapan di Negara-negara maju (Adisasmita, 2005).

2.4. Teori Lokasi Optimum dan Aglomerasi Industri

Teori lokasi merupakan sebuah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi. Selain itu, teori lokasi juga dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang lokasi secara geografis dari sumberdaya yang langka, serta pengaruhnya terhadap lokasi berbagai macam usaha atau kegiatan lain (activity). Ruang dikeliingi dengan aktivitas ekonomi, dan seluruh bentuk produksi memerlukan ruang (Capello, 2007). Seluruh wilayah geografis tidak memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan produksi dan pengembangan karena tidak samanya distribusi bahan dasar (raw material), faktor produksi dan permintaan.

Tidak ada sebuah teori tunggal yang bisa menetapkan di mana lokasi suatu kegiatan produksi (industri) itu sebaiknya dipilih. Untuk menetapkan lokasi suatu industri (skala besar) secara komprehensif diperlukan gabungan dari

(17)

berbagai ilmu pengetahuan dan disiplin. Berbagai faktor yang ikut dipertimbangkan dalam menentukan lokasi, antara lain ketersediaan bahan baku, upah buruh, jaminan keamanan, fasilitas penunjang, daya serap pasar lokal dan aksesibilitas dari tempat produksi ke wilayah pemasaran yang dituju (terutama aksesibilitas pemasaran ke luar negeri), stabilitas politik suatu negara dan kebijakan daerah (peraturan daerah).

Industrialisasi telah menjadi kekuatan utama di balik urbanisasi yang cepat di kawasan Asia sejak dasawarsa 1980-an. Berbeda dalam kasus industri berbasis sumberdaya (resource-based industries), industri manufaktur cenderung berlokasi didalam dan di sekitar kota. Pertanian dan industri berdampingan, bahkan kadang berebut lahan di seputar pusat-pusat kota yang pada gilirannya semakin mengaburkan perbedaan baku antara desa dan kota. Industri cenderung mengelompok pada daerah-daerah dimana potensi dan kemampuan daerah tersebut memenuhi kebutuhan mereka, dan mereka mendapat manfaat akibat lokasi perusahaan yang saling berdekatan.

Kota umumnya menawarkan berbagai kelebihan dalam bentuk produktifitas dan pendapatan yang lebih tinggi, menarik investasi baru, teknologi baru, pekerja terdidik dan terampil dalam jumlah yang jauh lebih tinggi di banding perdesaan. Oleh karena itu, dapat dimengerti apabila Aglomerasi (agglomeration), baik aktivitas ekonomi dan penduduk di perkotaan, menjadi isu penting didalam literatur geografi ekonomi, strategi bisnis dan peningkatan daya saing nasional dan studi-studi regional. Persebaran sumberdaya yang tidak merata menimbulkan disparitas dalam laju pertumbuhan ekonomi antardaerah. Ketidakmerataan sumberdaya ini tercermin pada konsentrasi kegiatan ekonomi yang terjadi pada daerah tertentu saja. Daerah-daerah dimana konsentrasi

(18)

kegiatan ekonomi terjadi memperoleh manfaat yang disebut dengan ekonomi aglomerasi (agglomeration economies). Seperti yang dikatakan oleh Bradley dan Gans (1996), bahwa ekonomi aglomerasi adalah eksternalitas yang dihasilkan dari kedekatan geografis dari kegiatan ekonomi. Selanjutnya adanya ekonomi aglomerasi dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Sebagai akibatnya daerah-daerah yang termasuk dalam aglomerasi pada umumnya mempunyai laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang bukan aglomerasi.

Hubungan positif antara aglomerasi geografis dari kegiatan-kegiatan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi telah banyak dibuktikan. Aglomerasi menghasilkan perbedaan spasial dalam tingkat pendapatan. Semakin teraglomerasi secara spasial suatu perekonomian maka akan semakin meningkat pertumbuhannya (Capello, 2007). Daerah-daerah yang banyak industri pengolahan tumbuh lebih cepat dibandingkan daerah-daerah yang hanya mempunyai sedikit industri pengolahan. Alasannya adalah daerah-daerah yang mempunyai industri pengolahan lebih banyak mempunyai akumulasi modal. Dengan kata lain, daerah-daerah dengan konsentrasi industri pengolahan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan daerah yang tidak punya konsentrasi industri pengolahan.

Weber (1929) menekankan pentingnya biaya transportasi sebagai faktor pertimbangan lokasi dan ia telah mengupasnya secara sistematis didalam penelitiannya. Teori Weber secara prinsip menentukan dua kekuatan lokasional primer, yaitu orientasi transpor dan orientasi tenaga kerja. Pada dasarnya pengusaha itu mempunyai kebebasan untuk menempatkan industri atau pabriknya. Dalam kerangka ini semua variabel biaya produksi seperti upah

(19)

buruh, rnanajemen, dan lainnya dianggap tidak menunjukkan variasi secara spasial, berarti harga-harga faktor produksi adalah sama di mana-mana. Bagaimana pengusaha akan meminimisasikan biaya transport? Biaya transport dianggap sebagai suatu variabel penting dalam penentuan lokasi industri. Asumsi yang sangat sederhana ditetapkan yaitu tingkat biaya transportasi adalah flat berdasarkan pada berat muatan dan fasilitas transportasi tersedia ke segala jurusan. Asumsi tersebut tidak sesuai dengan kenyataan, yaitu pada umumnya biaya transportasi untuk hasil akhir seringkali lebih tinggi dari pada untuk bahan baku dan fasilitas transportasi hanya terbatas pada sejumlah rute.

Biaya penanganan (handling cost) mempunyai peranan penting (seringkali begitu tinggi) dalam keseluruhan biaya transpor, tidak hanya dari unsur-unsur biaya keuangan tetapi juga biaya non moneter, seperti kerugian waktu, ketidaknyamanan dan sebagainya. Terbatasnya pelayanan transportasi pada beberapa rute bersama-sama biaya penanganan merupakan faktor penting terhadap pemilihan lokasi industri, yang pada umumnya cenderung menempatkan pada lokasi nodal, yang sering merupakan transportation junctions (simpang transportasi) atau transhipment point di mana transportasi darat dan laut bertemu satu sama lainnya yang kemudian menunjang terbentuknya pusat-pusat industri.

Konsep isodapan (Weber, 1929) menjelaskan bahwa jika suatu tempat (misalnya P) adalah tempat biaya transpor minimum dan sekitar titik tersebut dapat dijangkau dengan suatu tingkat biaya transport tertentu yang lebih tinggi dari pada di tempat P, dengan asumsi bahwa transportasi ke semua jurusan adalah tersedia, maka akan diperoleh suatu lingkaran (a closed curve) disebut isodapan. Rangkaian isodapan seperti ini menggambarkan berbagai tingkat

(20)

biaya transpor yang lebih tinggi dari pada tingkat biaya transpor minimum pada titik P.

Terdapat kemungkinan terjadinya deviasi atau penyimpangan lokasi industri dari titik biaya transportasi minimum, misalnya lokasi industri mendekati lokasi tenaga kerja yang murah, hal ini masih dapat dipertanggungjawabkan jika penghematan dalam faktor per unit (upah buruh) lebih besar atau paling sedikit sama dengan tambahan total biaya transportasi. Jika selisih antara tambahan biaya transpor sama dengan keuntungan-keuntungan biaya non transport yang dapat diperoleh pada suatu tempat alternatif, maka tempat tersebut berada pada isodapan kritis. Jika tempat tersebut terletak di dalam lingkaran kritis, maka tempat tersebut merupakan lokasi produksi yang lebih efisien daripada titik biaya minimum.

Secara teoritis, menurut Weber (1929) tempat optimal (optimal site) adalah tempat di mana biaya-biaya transportasi bagi kombinasi keluaran total adalah yang paling rendah. Dalam praktek, hal ini berarti bahwa yang terbesar di antara ketiga perusahaan tersebut akan menarik perusahaan-perusahaan yang lebih kecil ke suatu lokasi di dalam segmen yang lebih dekat kepada titik biaya transpor minimumnya perusahaan terbesar tersebut. Kerena perubahan posisi lokasi yang harus dilakukan oleh perusahaan terbesar adalah lebih kecil kemungkinannya dari pada yang harus dilakukan oleh perusahaan-perusahaan kecil lainnya, maka deviasi total dari titik-titik biaya transpor minimum dapat dikatakan kecil saja kemungkinannya.

Pemikiran Weber (1929) telah memberikan sumbangan ilmiah dalam banyak aspek. Pertama, Weber berusaha untuk menetapkan lokasi yang optimal dalam arti pemilihan lokasi yang mempunyai biaya minimal, meskipun dalam hal

(21)

ini pengaruh permintaan tidak diperlihatkan. Lokasi dengan biaya minimal tersebut mungkin berorientasi pada tersedianya tenaga kerja atau transportasi ataupun ditentukan oleh keuntungan-keuntungan yang ditimbulkan oleh aglomerasi. Kekuatan aglomerasi terdiri atas minimum besarnya pabrik yang efisien dan keuntungan-keuntungan eksternal. Kekuatan-kekuatan aglomerasi atau terjadinya konsentrasi industri-industri dan kegiatan-kegiatan lainnya itu harus dipahami sepenuhnya untuk dapat menganalisis perkembangan wilayah dan khususnya pertumbuhan daerah urban. Kedua, Weber merupakan pencetus teori lokasi yang dapat digunakan sebagai teori umum, digunakan untuk pemilihan lokasi industri, meskipun pendekatannya masih secara deskriptif dan kasar, tetapi ia telah menjelaskan terjadinya evolusi ekonomi tata ruang dalam arti munculnya strata yang sukses seperti pambangunan industri (pusat-pusat kegiatan ekonomi), terjadinya urbanisasi dan struktur masyarakat kota dianggap mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari strata pertanian.

Walaupun teori Weber (1929) mempunyai kelemahan-kelemahan, tetapi kontribusinya secara esensial dalam pengembangan wilayah dapat dicatat, bahwa ia merupakan perintis dalam analisis lokasi yaitu mengenai munculnya pusat-pusat kegiatan ekonomi (industri). Pusat-pusat kegiatan ekonomi tersebut yang kemudian diidentifikasikan sebagai wilayah nodal (pusat-pusat perkotaan). Dapat dicatat pula bahwa Weber telah mengembangkan pula dasar-dasar analisis pasar; model Weber termasuk kategori satu unit produksi satu unit pasar ataupun banyak unit produksi satu unit pasar. Gejala aglomerasi lokasional kemudian diperluas oleh Hoover (1948), terutama dikaitkan dengan keuntungan-keuntungan urbanisasi yang ditimbulkan oleh aglomerasi, yang dibedakan dengan keuntungan lokalisasi (localization economies). Isard menamakan pula

(22)

keuntungan lokalisasi. Aspek ini mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam analisis aglomerasi. Keuntungan lokalisasi yaitu terkonsentrasinya perusahaan-perusahaan yang termasuk dalam industri yang sejenis pada suatu lokasi tunggal tertentu akan menimbulkan keuntungan-keuntungan yang dinikmati oleh semua perusahaan tersebut. Sebagai ilustrasi yaitu beberapa buah industri tekstil akan memperoleh manfaat berupa biaya listrik yang lebih rendah jika mereka bersama-sama membangun sebuah pabrik pembangkit tenaga listrik dari pada masing-masing mendirikan instalasi pembangkit tenaga berkapasitas listrik besar yang berkapasitas kecil secara sendiri-sendiri.

Keuntungan urbanisasi (urbanization economies) diasosiasikan dengan pertambahan dalam jumlah total, penduduk, tenaga kerja terampil, hasil industri, pendapatan dan kemakmuran (Adisasmita, 2005). Keuntungan-keuntungan ini memperkaitkan kegiatan-kegiatan industri dan sektor-sektor lain secara agregatif. Di daerah perkotaan besar dapat diperoleh pelayanan kota, public utilities dan jasa komunikasi, demikian pula tersedia tenaga terampil yang spesialistis, fasilitas hukum, administrasi perusahaan dan berbagai jasa pelayanan lainnya yang tidak terdapat di kota-kota yang relatif kecil. Secara eksternal kekuatan-kekuatan aglomerasi memberikan sumbangan sebagai kekuatan-kekuatan konsentrasi, oleh karena itu kekuatan konsentrasi tersebut seharusnya jangan dikaitkan hanya pada salah satu faktor saja melainkan pada beberapa faktor yang relatif menentukan. Dapat dikemukakan pula bahwa pengaruh urbanisasi yang ditimbulkan oleh aglomerasi itu sangat luas, tidak hanya terbatas pada sektor ekspor dan sektor-sektor yang menunjang ekspor, jasa perorangan, pendidikan, dan penyediaan jasa kemasyarakatan lainnya. Kegiatan-kegiatan ini cenderung proporsional terhadap besarnya pusat-pusat perkotaan.

(23)

Analisis aglomerasi di atas menjelaskan pengelompokan kegiatan-kegiatan ekonomi pada suatu lokasi tertentu, tetapi tidak menekankan pada kecenderungan pertumbuhan regional yang berkesinambungan sebagai akibat dari pengelompokan tersebut. Proses pengelompokan kegiatan-kegiatan selama suatu jangka waktu dijelaskan dalam analisis polarisasi, sedangkan aglomerasi itu dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari proses polarisasi (Adisasmita, 2005).

2.5. Perkembangan, kebijakan dan Strategi pengembangan Industri di Indonesia

Pada banyak kasus di berbagai negara, manufaktur/industri telah menjadi kontributor utama bagi pertumbuhan perekonomian nasional. Hal ini sejalan dengan hipotesa Kaldor yang mengatakan bahwa manufaktur (industri) merupakan mesin pertumbuhan ekonomi wilayah (Priyarsono, 2011). Meski pada negara maju banyak terjadi kasus proses “deindustrialisasi” karena menurunnya kontribusi sektor manufaktur yang disertai dengan meningkatnya kontribusi sektor jasa, fenomena tersebut tidak lantas membawa kita pada kesimpulan bahwa proses industrialisasi di tingkat global telah berhenti. Hipotesa penulis, telah terjadi proses pergeseran lokasi/proses industrialisasi, yang tadinya secara masif terjadi di negara maju bergeser ke negara berkembang. Proses ini erat kaitannya dengan semakin mahalnya faktor produksi di negara maju, dan sebaliknya di negara berkembang faktor-faktor produksi tersebut relatif lebih murah. Berkembangnya spesialisasi, keunggulan komparatif dan keunggulan kompetetif suatu negara juga mendorong industri untuk membentuk pengelompokan pada wilayah-wilayah yang dapat menekan biaya produksi. Kondisi ini menurut penulis menjadikan negara berkembang memiliki

(24)

kesempatan yang lebih baik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan industri. Walaupun terdapat persoalan kompleks yang menyebabkan proses industrialisasi pada banyak kasus mengalami hambatan/stagnasi, namun penulis percaya bahwa industri masih tetap dapat diharapkan menjadi motor pertumbuhan ekonomi banyak negara.

Proses industrialisasi di Indonesia ditengarai mulai berkembang pada awal tahun 1990-an yang ditandai dengan meningkatnya peran sektor industri dalam struktur perekonomian nasional. Meski didalam beberapa penelitian, seperti halnya yang dilakukan oleh Priyarsono (2011) diungkapkan bahwa berdasarkan data ekonomi 2003-2008 ada indikasi saat Indonesia mengalami proses de-industrialisasi, namun temuan ini menurut hemat penulis dapat menjadi peringatan dan sekaligus motivasi bagi pemerintah untuk dapat mendorong lebih kuat pertumbuhan sektor industri, dengan pertimbangan bahwa selama ini sektor ini telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan pada pertumbuhan perekonomian nasional, penyerapan tenaga kerja dan berperan dalam mereduksi angka kemiskinan. Walaupun dalam beberapa studi ditemukan bahwa ada gejala deindustrialisasi namun secara nyata dalam struktur perekonomian nasional, sektor industri masih memiliki kontribusi yang cukup signifikan dan masih dapat diharapkan menjadi salahsatu motor utama pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Temuan studi yang mengungkapkan bahwa terjadi proses deindustrialisasi, menurut penulis mengandung pesan bahwa sudah saatnya perlu campur tangan pemerintah agar proses industrialisasi yang menguntungkan ekonomi nasional tetap terjaga pertumbuhannya. Temuan-temuan bahwa produktivitas dan output industri tertentu di Indonesia mengalami

(25)

stagnasi atau bahkan penurunan kinerja sehingga pada potret perekonomian tercermin adanya proses de-industrialisasi merupakan peringatan serius agar pemerintah memberikan perhatian khusus dan mendesain suatu kebijakan yang dapat mendukung kinerja dan pertumbuhan industri. Dengan melihat pentingnya kontribusi sektor industri yang ada pada saat ini, sudah selayaknya pemerintah melakukan upaya dan mendesain kebijakan yang dapat mempertahankan pertumbuhan industri di Indonesia agar kinerja perekonomian nasional tetap positif. Dalam beberapa kebijakan dan action plan pemerintah dalam rangka menciptakan iklim kondusif bagi investasi secara teori akan menjadi akselerator bagi berkembangnya aktifitas Industri, dan pada gilirannya mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Jika ke depan Pemerintah Indonesia menjaga konsistensi kebijakan pro industri, niscaya proses industrialisasi yang tengah terjadi di Indonesia dapat terus berjalan dan momentum pertumbuhan industri di tanah air dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, menekan angka kemiskinan dan menyerap tenaga kerja.

Dalam sejarah perkembangan pembangunan ekonomi di Indonesia yang dimulai pada era Soekarno kebijakan arah pembangunan bangsa ini sangat menitikberatkan pada kemandirian bangsa (inward looking) hal ini bisa dilihat dari gencarnya pemerintah dalam melakukan privatisasi perusahaan asing maupun perusahaan swasta domestik. Bahkan hingga saat ini arah kebijakan pembangunan ekonomi inward looking masih bisa dirasakan manfaatnya. Semangat pembangunan saat itu adalah bahwa klaim Negara dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum diwujudkan dengan penguasaan Negara terhadap SDA dan Industri yang berhubungan dengan pemenuhan hajat hidup

(26)

masyarakat Indonesia dikuasai sepenuhnya oleh Negara. Pada masa orde lama inilah soekarno meletakkan dasar dari pembangunan nasional yang sangat fundamental yaitu membangun karakter nasional (national character building) hal ini mutlak dilakukan karena meskipun Indonesia sudah merdeka tetapi secara perekonomian bangsa belum bisa mandiri karena banyak sector usaha masih dikuasai oleh perusahaan belanda. Dalam rangka mewujudkan ekonomi bangsa yang mandiri dan mewujudkan klaim Negara terhadap kesejahteraan umum inilah yang kemudian pemerintah melakukan nasionalisasi perusahaan asing yang kemudian perusahaan-perusahaan inilah yang saat ini dikenal sebagai BUMN.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 dikatakan, upaya menumbuhkan daya saing nasional menjadi isu pembangunan sektor industri (Idris, 2007). Sejak tahun 2005, pemerintah telah melaksanakan berbagai upaya untuk mewujudkan daya saing industri nasional yang lebih baik, antara lain melalui peningkatan kualitas dan ketersediaan infrastruktur (energi, transportasi dan komunikasi), upaya meningkatkan jaminan keamanan dan hukum, perbaikan iklim usaha agar semakin kondusif bagi dunia bisnis, pemberantasan korupsi dan berbagai pungutan serta mendukung berbagai upaya lain untuk mengurangi berbagai hambatan birokrasi bagi tumbuhnya industri. Disisi lain, ada kelemahan struktural sektor industri itu sendiri, seperti masih lemahnya keterkaitan antar industri, baik antara industri hulu dan hilir maupun antara industri besar dengan industri kecil menengah, belum terbangunnya struktur klaster (industrial cluster) yang saling mendukung, adanya keterbatasan berproduksi barang setengah jadi dan komponen di dalam negeri, keterbatasan industri berteknologi tinggi, kesenjangan kemampuan

(27)

ekonomi antar daerah, serta ketergantungan ekspor pada beberapa komoditi tertentu.

Sesuai dengan yang disampaikan oleh Idris (2007), Perindustrian Tujuan pembangunan industri nasional baik jangka menengah maupun jangka panjang ditujukan untuk mengatasi permasalahan dan kelemahan baik di sektor industri maupun untuk mengatasi permasalahan secara nasional, yaitu (1) Meningkatkan penyerapan tenaga kerja industri, (2) Meningkatkan ekspor Indonesia dan pember-dayaan pasar dalam negeri, (3) Memberikan sumbangan pertumbuhan yang berarti bagi perekonomian, (4) Mendukung perkembangan sektor infrastruktur, (5) Meningkatkan kemampuan teknologi, (6) Meningkatkan pendalaman struktur industri dan diversifikasi produk, dan (7) Meningkatkan penyebaran industri.

Bertitik tolak dari hal-hal tersebut dan untuk menjawab tantangan di atas maka kebijakan dalam pembangunan industri manufaktur diarahkan untuk menjawab tantangan globalisasi ekonomi dunia serta mampu mengantisipasi perkembangan perubahan lingkungan yang sangat cepat. Persaingan internasional merupakan suatu perspektif baru bagi semua negara berkembang, termasuk Indonesia, sehingga fokus dari strategi pembangunan industri di masa depan adalah membangun daya saing industri manufaktur yang berkelanjutan di pasar internasional. Untuk itu, strategi pembangunan industri manufaktur ke depan dengan memperhatikan kecenderungan pemikiran terbaru yang berkembang saat ini, adalah melalui pendekatan klaster dalam rangka membangun daya saing industri yang kolektif.

(28)

2.6. Tinjauan Studi Dampak Pembangunan Infrastruktur Transportasi Dalam Pembangunan Perekonomian Suatu Wilayah

Dampak Investasi infrastruktur dan pembangunan ekonomi merupakan topik yang selalu menarik didiskusikan. Salah satu diskusi mendalam mengenai hubungan infrastruktur dan perekonomian muncul sekitar tahun 1980an yaitu dengan dipublikasikannya studi yang dilakukan oleh Aschauer (1989) yang menganalisa kontribusi akumulasi kapital pada sektor publik terhadap perubahan produktivitas dari sektor swasta di Amerika Serikat. Sesuai yang diungkapkan oleh Saragih (2010), temuan dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa infrastruktur dasar seperti, jalan, bandara, sistem angkutan masal, air minum dan drainase memiliki pengaruh yang signifikan terhadap produktivitas perekonomian Amerika Serikat. Selain itu, penelitian terebut juga menunjukkan bahwa keterlambatan dalam pengeluaran pembangunan infrastruktur berperan dalam perlambatan produktivitas. Temuan lain yang menunjukkan akan pentingnya infrastruktur selanjutnya dipertajam kembali oleh Canning (1999), seperti yang diungkapkan pada Saragih (2010), dimana secara umum hasil studi ini mendukung apa yang ditemukan oleh Aschauer (1989) bahwa infrastruktur secara statistik signifikan mempengaruhi output.

Infrastruktur dapat menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya pertumbuhan ekonomi sendiri juga dapat menjadi tekanan bagi infrastruktur. Pertumbuhan ekonomi yang positif akan mendorong peningkatan kebutuhan akan berbagai infrastruktur. Infrastruktur tidak hanya penting untuk pertumbuhan ekonomi, namun juga penting bagi kesejahteraan masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Ali dan Pernia (2003) menunjukkan bahwa pembangunan proyek infrastruktur dapat mengurangi kemiskinan dan jumlah

(29)

pengangguran suatu negara. Berdasarkan pemaparan di atas, peran infrastruktur penting sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi dan menjamin adanya pemerataan hasil pembangunan. Data statistik penggunaan pinjaman negara-negara peminjam IBRD-International Bank for Reconstruction and Development, sebagai salahsatu lembaga pemberi kredit dibawah manajemen Bank Dunia, sepanjang periode tahun 2003-2008 masih menempatkan sektor infrastruktur sebagai salahsatu sektor utama untuk menempatkan investasi pembangunan (Worldbank, 2008). Mayoritas negara peminjam IBRD merupakan Negara-negara berkembang dari berbagai belahan dunia yang tengah giat-giatnya melakukan pembangunan untuk mengangkat perekonomian negaranya. Data statistik tersebut menjadi semacam bukti bahwa sebagian besar pengambil kebijakan di berbagai negara mempercayai bahwa investasi pada sektor infrastruktur merupakan salahsatu langkah yang paling efektif untuk mendongkrak pertumbuhan perekonomian negaranya.

Seperti yang diungkapkan oleh Saragih (2010), berdasarkan studi yang dilakukan oleh Aschauer (1989), Bonaglia et al. (2000) yang menganalisa hubungan antara investasi infrastruktur terhadap pertumbuhan Total Factor Productivity (TFP) di Italia, menunjukkan bahwa investasi pada infrastruktur terbukti dapat memberikan dampak yang positif terhadap pertumbuhan TFP, output dan pengurangan biaya. Secara umuminvestasi pada sektor transportasi merupakan pilihan yang memberikan dampak paling besar terhadap ekonomi dibandingkan jenis infrastruktur lain.Sementara itu, menurut Banister and Berechman (2000), investasi pada bidang transportasi diyakini akan membantu membuka area baru bagi produksi pertanian, menciptakan pasar untuk barang

(30)

Banister mengungkapkan bahwa infrastruktur transportasi yang lebih baik juga akan membuat industri menjadi lebih kompetitif, mencegah negara resesi dan membangkitkan tenaga kerja dalam jangka pendek.Sebagai tambahan, banister juga menyampaikan bahwa investasi di sektor transportasi dapat digunakan untuk mendukung industri dan untuk meningkatkan cakupan geografi ekonomi, melalui peningkatan aksesibiltas untuk wilayah-wilayah terbelakang, mendukung peremajaan kota serta mendukung area-area yang lebih makmur untuk menghadapi pertumbuhan.

Argumentasi positif tentang investasi di sektor transportasi diatas, menurut Banister and Berechman (2000) sangat tepat diaplikasikan pada negara-negara yang sedang melewati tahap pembangunan (negara berkembang). Pertanyaannya adalah apakah argumen yang sama tetap relevan diterapkan pada ekonomi maju (negara industri) dimana infrastruktur telah terbangun dengan baik, dimana sistem pasar yang lebih rumit berlaku dan dimana biaya transportasi hanya berpengaruh sedikit terhadap biaya produksi. Kualitas tinggi infrastruktur transportasi selalu diasumsikan sebagai prasyarat penting untuk pembangunan ekonomi, namun asumsi ini belum pernah diinvestigasi secara mendalam. Melalui penelitiannya, Banister and Berechman (2000) mengungkapkan bukti-bukti historis dari proyek infrastruktur di beberapa negara untuk mengetahui efektifitas dan produktivitas investasi publik di bidang infrastruktur dalam rangka pembangunan ekonomi dan mengidentifikasi interaksi antara investasi infrastruktur dengan pembangunan ekonomi. Keyakinan yang berkembang adalah bahwa investasi publik pada sektor infrastruktur akan membangkitkan ekonomi. Banyak program pembangungan jalan raya pada

(31)

walaupun argumen-argumen yang disampaikan belum cukup jelas. Berdasarkan bukti empiris Banister (2000) menemukan ternyata investasi kapital di sektor transportasi tidak secara otomatis memberikan keuntungan berupa pertumbuhan ekonomi. Yang ada, dalam kondisi tertentu, investasi ini memang memberikan eksternalitas potisif, misalkan berupa peningkatan aksesibilitas, berkembangnya jaringan jalan, semakin pendeknya waktu tempuh dalam melakukan perjalanan, serta dampak positif lain berupa perbaikan lingkungan.

Sebagai tambahan, untuk menguatkan argumen akan pentingnya investasi infrastruktur transportasi didalam pembangunan ekonomi dapat disampaikan pula bahwa didalam ilmu ekonomi regional, pembangunan ekonomi suatu wilayah tidak berkembang dengan aktivitasnya sendiri, melainkan tidak terlepas dengan aktivitas perekonomian yang terjadi di wilayah lain. Hubungan perekonomian antar wilayah ini dapat dianalisa dengan melihat struktur keterkaitan antar sektor pada wilayah dimaksud. Pada dasarnya, kemajuan ekonomi yang terjadi di satu wilayah, diyakini akan membawa efek kucuran (spill-over effects) positif terhadap wilayah lain di sekitarnya. Dengan keyakinan ini, pengambil kebijakan tidak jarang mengambil tindakan untuk memperbaiki akses hubungan antar wilayah melalui pembangunan sarana/prasarana transportasi agar efek kucuran yang positif dapat lebih mudah terjadi pada wilayah dimaksud.

Pemerintah Indonesia memiliki perhatian yang besar terhadap sektor infrastruktur, termasuk halnya infrastruktur transportasi. Berbagai kebijakan pemerintah seperti paket infrastruktur yang tertuang pada berbagai peraturan serta peningkatan anggaran stimulus fiskal pada bidang infrastruktur menunjukkan perhatian pemerintah yang sangat besar pada pembangunan infrastruktur. Perhatian pemerintah yang besar pada sektor infrastruktur ini

(32)

sangatlah tepat mengingat beberapa temuan studi mengindikasikan pentingnya infrastruktur terkait dengan dampaknya terhadap perekonomian.Pemerintah Indonesia sendiri telah menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun 2012 sebesar 7 persen. Untuk mencapai target tersebut maka infrastruktur harus didorong agar bisa menstimulasi iklim usaha dan tidak menimbulkan hambatan dalam distribusi barang. Seperti disampaikan oleh ketua Bappenas, diperkirakan sekitar Rp 1,400 trilliun dibutuhkan untuk investasi sektor infrastruktur selama periode 2010-2014. Menurut data Bappenas, alokasi anggaran infrastruktur yang ideal adalah 5-6% dari PDB, dan saat ini Indonesia memiliki anggaran infrastruktur sebesar sekitar 3.25% dari PDB. Alokasi anggaran ini diharapkan akan meningkat secara bertahap hingga mencapai 5% dari PDB pada tahun 2014. Alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur yang masih terbatas menyebabkan kondisi infrastruktur Indonesia saat ini masih tertinggal dengan negara-negara lain. Menurut Global Competitiveness Report 2009-2010, peringkat daya saing infrastrukur Indonesia berada di peringkat 96 dari 133 negara. Sedangkan Thailand (41), Malaysia (27) dan China (66). Menyadari, masih lemahnya kondisi infrastruktur, pembenahan infrastruktur juga menjadi perhatian penting dalam program 100 hari kerja Kabinet Bersatu ke II bidang perekonomian.

Uraian-uraian temuan studi yang disampaikan diatas dapat menjelaskan bagaimana investasi infrastruktur transportasi berpengaruh positif terhadap perekonomian.Secara khusus berkaitan dengan topik penelitian, dapat disampaikan bahwa temuan diatas memperkuat pendapat yang berkembang bahwa investasi infrastruktur transportasi dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja (atau mengurangi pengangguran) serta dapat meningkatkan

(33)

kesejahteraan masyarakat melalui distribusi pendapatan pada institusi rumah tangga.

Dari kajian aspek ekonomi dan hasil penelitian terhadap dampak investasi infrastruktur dan dengan melihat fakta mengenai kondisi infrastruktur saat ini di Jawa Barat maka investasi infrastruktur transportasi sangat diperlukan dan harus segera diperbaiki. Mengingat patut diduga bahwa keterkaitan infrastruktur transportasi dalam meningkatkan perekonomian Jawa Barat melalui kinerja sektor sektor unggulan termasuk industri sangat besar. Sektor industri dan sektor sektor unggulan lainnya juga sangat besar dalam penyerapan tenaga kerja Jawa Barat,

Dari hasil penelitian ini juga dapat diketahui lebih detail bagaimana dan seberapa besar investasi di bidang infrastruktur transportasi akan memberikan dampak terhadap peningkatan kinerja perekonomian secara umum maupun terhadap sektor-sektor ekonomi, peningkatan pendapatan faktor produksi serta peningkatan pendapatan institusi di Jawa Barat. Sektor sektor unggulan yang berperan dalam perekonomian Jawa Barat diduga akan mendapatkan manfaat paling besar jika ada peningkatan atau perbaikan kondisi investasi infrastruktur transportasi di Jawa Barat. Sektor tersebut utamanya adalah sektor industri.

Keterkaitan sektor sektor unggulan seperti sektor industri tersebut terhadap ketersediaan infrastruktur transportasi diduga tinggi sehingga peningkatan investasi di infrastruktur transportasi akan meningkatkan kinerja sektor industri lebih baik sehingga dapat memperbaiki kinerja sektor industri yang selama beberapa tahun terakhir mengalami peranan yang semakin menurun dalam perekonomian Jawa Barat. Peningkatan kinerja sektor industri juga akan

(34)

mendorong sektor sektor pendukung sehingga mendorong perekonomian lebih besar lagi (efek multiplier)

Kinerja sektor sektor unggulan termasuk sektor industri yang semakin membaik akibat perbaikan dan peningkatan investasi di bidang infrastruktur transportasi tersebut memberi dampak terhadap penyerapan tenaga kerja yang lebih besar. Hal ini akan memperbaiki tingkat pengangguran yang diharapkan akan lebih rendah. Peningkatan penyerapan tenaga kerja terutama oleh sektor sektor unggulan pada akhirnya akan mendorong peningkatan pendapatan rumah tangga.

Infrastruktur transportasi juga berperan dalam penciptaan pendapatan (generating income) bagi perekonomian Jawa Barat melalui balas jasa permintaan faktor produksi (tenaga kerja dan modal). Peningkatan pendapatan akan meningkatkan permintaan akan barang dan jasa dan selanjutnya akan berdampak pula terhadap penyerapan tenaga kerja dan pendapatan rumah tangga sebagai bagian dari pelaku ekonomi akan meningkat. Peningkatan pendapatan berbagai golongan rumah tangga berdasarkan faktor produksi yang dimiliki (tenaga kerja dan kapital), selanjutnya akan berdampak kepada distribusi pendapatan masyarakat sesuai dengan kepemilikan faktor produksinya tersebut. Dengan penelitian ini juga akan diketahui bahwa peningkatan infrastruktur transportasi akan memperbaiki distribusi pendapatan rumah tangga melalui peningkatan pendapatan rumah tangga golongan rendah yang sebagian besar beada di sektor pertanian, industri maupun perdagangan sebagai buruh yang lebih baik. Mengingat sektor unggulan seperti pertanian, industri dan perdagangan dan restoran adalah sektor sektor yang juga sebagai penyerap

(35)

tenaga kerja terbesar sejalan dengan perbaikan infrastruktur transportasi di Jawa Barat.

2.6.1. Dampak Investasi Infrastruktur Transportasi

Kualitas tinggi infrastruktur transportasi selalu diasumsikan sebagai prasyarat penting untuk pembangunan ekonomi, namun asumsi ini belum pernah diinvestigasi secara mendalam (Banister and Berechman, 2000). Melalui bukunya, Banister mencoba mengungkapkan bukti-bukti historis dari proyek infrastruktur di beberapa negara untuk mengetahui efektifitas dan produktivitas investasi publik di bidang infrastruktur dalam rangka pembangunan ekonomi dan mengidentifikasi interaksi antara investasi infrastruktur dengan pembangunan ekonomi. Penelitian Banister ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan untuk memastikan ada tidaknya keuntungan nyata dari proposal investasi infrastruktur yang diusulkan.

Keyakinan bahwa investasi publik pada sektor infrastruktur akan membangkitkan pertumbuhan ekonomi seringkali dijadikan sebagai alasan bagi alokasi sumberdaya untuk sektor transportasi. Banyak program pembangungan jalan raya pada negara maju dan negara berkembang diajukan atas dasar alasan tersebut diatas, walaupun argumen-argumen yang disampaikan belum cukup jelas. Di USA, sebagai contoh, Pemerintahan Clinton mengusulkan investasi penting pada sektor infrastruktur. Walau publik mendukung usulan tersebut, namun Konggres menolaknya karena alasan pendanaan (budget). Usulan investasi pada sektor infrastruktur popular bagi pengguna jalan karena dengan peningkatan kualitas infrastruktur akan mendukung gaya hidup mereka yang sangat mobile dengan kendaraan bermotor. Sektor industri, secara tradisional

(36)

juga mendapatkan keuntungan dengan investasi infratruktur ini, karena infrastruktur transportasi yang lebih baik akan membuat industri menjadi lebih kompetitif, mencegah negara resesi dan membangkitkan tenaga kerja dalam jangka pendek (Banister and Berechman,2000). Alasan-alasan yang dikemukakan ini nampaknya cukup logis, terutama pada kasus negara dan kota yang telah memiliki kualitas infrastruktur yang tinggi.

Lebih lanjut Banister and Berechman (2000) mengatakan bahwa respons yang sama terjadi di UK ketika diumumkan Program Jalan untuk Kesejahteraan - Roads for Prosperity yang dijalankan Departemen Transportasi UK. Program ini merupakan perluasan investasi sektor infrastruktur di UK yang pada saat itu digalakkan untuk mengatasi kemacetan. Pada saat itu Pemerintah melipatgandakan investasi dari rencana semula dan dapat dikatakan sebagai komitmen untuk menyediakan infrastruktur yang lebih baik untuk Pasar Tunggal Uni Eropa dan menghadapi tantangan tahun-tahun mendatang. Argumen yang mendasari program tersebut adalah perlunya investasi untuk mendukung industri dan untuk meningkatkan cakupan geografi ekonomi, melalui peningkatan aksesibiltas untuk wilayah-wilayah terbelakang, mendukung dan mengarahkan peremajaan kota serta mendukung area-area yang lebih makmur untuk menghadapi pertumbuhan. Program ini menghasilkan peningkatan lalu-lintas jalan yang cukup signifikan (bertambah 35%) pada tahun 1980-an dan prospek peningkatan lalu-lintas dua kali lipat dari 1988 sampai dengan 2025. Pada saat tersebut sesuatu harus dilakukan dan pemerintah memutuskan bahwa pembangunan jalan merupakan alternatif yang diambil. Salahsatu tujuan fundamental dari program peningkatan jalan adalah untuk membantu pertumbuhan ekonomi dengan mereduksi biaya transportasi. Walau di kemudian

(37)

hari ketika review program peningkatan jalan tersebut dilakukan, sangat sedikit argumen yang menyebutkan kontribusi program terhadap pertumbuhan ekonomi, keamanan dan peremajaan kota.

Isu penting yang ingin disampaikan dari narasi diatas adalah apakah infrastruktur transportasi dengan kualitas tinggi merupakan kondisi penting yang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi pada daerah terbelakang atau daerah berkembang. Argumen tradisional dan review yang lebih baru misalkan dari Hart (Banister and Berechman,2000) menyatakan bahwa ternyata pembangunan jalan bukan merupakan kunci penentu bagi pertumbuhan. Situasi Merseyside di UK dapat menjelaskan hal ini. Di Liverpool (kota utama di wilayah Merseyside), program pembangunan jalan dipromosikan pada 1960-an dan 1970-an dengan harapan peningkatan populasi/tenaga kerja, peningkatan produktivitas serta pendapatan, dan pada akhirnya diharapkan akan meningkatkan volume pergerakan barang dan penumpang, terutama yang menggunakan mobil. Padahal sangat jelas bahkan sebelum studi selesai dilakukan bahwa wilayah Merseyside kehilangan populasi/tenaga kerja dan seluruh perekonomian lokal harus direstrukturisasi.Jaringan jalan yang tidak layak pada saat itu bukan komponen kunci dari proses restrukturisasi. Namun demikian, program investasi jalan tetap dilaksanakan sebagai bagian dari strategi.

2.6.2. Debat: sebuah Perspektif sejarah

Debat mengenai hubungan antara investasi infrastruktur transportasi dan pembangunan ekonomi bukanlah hal baru. Investasi bidang transportasi akan membantu membuka area baru bagi produksi pertanian, menciptakan pasar untuk barang serta membuka akses daerah terisolasi dengan kota utama.

(38)

Menurut Banister and Berechman (2000), argumentasi ini barangkali lebih tepat diaplikasikan pada negara-negara yang sedang melewati tahap pembangunan. Pertanyaannya adalah apakah argumen yang sama tetap relevan diterapkan pada ekonomi maju dimana infrastruktur telah terbangun dengan baik, dimana sistem pasar yang lebih rumit berlaku dan dimana biaya transportasi hanya berpengaruh sedikit terhadap biaya produksi.

2.6.2.1. Periode awal 1800-1970: Teori Lokasi

Studi awal yang dilakukan para ahli ekonomi membuka perdebatan apakah pengurangan biaya transportasi akan membawa produk dan area baru ke pasar. Rostow didalam Banister and Berechman (2000) berargumen bahwa investasi pada sektor transportasi membawa kontribusi positif bagi pengembangan sektor batubara, besi, dan industri rekayasa. Namun, sebaliknya Mitchel didalam Banister and Berechman (2000) berpendapat sebaliknya, dengan mengacu pada sejarah sistem transportasi kereta api di UK. Di UK, jalan kerata api lengkap terbangun pada 1852 dan pada saat tersebut ternyata tidak membawa dampak besar yang cepat bagi perekonomian. Memang ada dampak langsung saat fase konstruksi berupa penyerapan tenaga kerja tidak terlatih dan stimulasi industri baja dan besi.

Studi lain yang dilakukan De Vries seperti yang diungkapkan oleh Banister and Berechman (2000) mengenai pengaruh jaringan kanal terhadap perekonomian Belanda juga mengilustrasikan perkembangan debat yang terjadi. Pertumbuhan jaringan kanal di Belanda sangatlah fenomenal sejak 1630-an. Pada awalnya fungsinya sangat penting untuk urusan bisnis dan wisata, namun pad atahun 1800-an perannya tergantikan oleh jalan raya dan rel kereta api.

(39)

Pada akhir investigasi yang dilakukan De Vries menyimpulkan bahwa alasan ekonomi untuk jaringan kanal tidaklah jelas, karena jaringan kanal tersebut hanya berpengaruh pada tingkat kinerja perekonomian, dan bukan tingkat aktual pertumbuhan ekonomi. Namun demikian sistem kanal telah berkontribusi terhadap produksi regional (pada tahun 1670), dan kemudian dilanjutkan perannya dua ratus tahun kemudian (tahun 1850).

Riset yang dilakukan oleh Christaller (1933) di Jerman Selatan menurut Banister and Berechman (2000) adalah paling berpengaruh, karena Christaller menunjukkan hubungan antara biaya transportasi dan distribusi spasial aktivitas ekonomi. Dia mengungkapkan hierarki kota dari beberapa kota pasar, masing-masing dengan biaya transportasi, spesialisasi dan nilai produk yang berbeda. Ketika hierarki kota naik, rentang produk meningkat dan kualitas transportasi meningkat. Pusat-pusat yang lebih besar dapat meningkatkan bagian aktivitas ekonomi mereka dan hal ini pada gilirannya mengakibatkan konsentrasi aktivitas ekonomi dengan pusat-pusat yang lebih sedikit mendominasi wilayah. Peningkatan infrastruktur transportasi memperkuat aksesibilitas dan dominasi kota pusat.

2.6.2.2. Periode awal 1970an – 1980an: Modelling Wilayah dan perkotaan Generasi baru model perkotaan ini menempatkan perumahan dan pekerjaan didalam wilayah-wilayah kota berdasarkan aksesibilitas, ketersediaan lahan, tingkat pendapatan, populasi, tenaga kerja serta berdasarkan kategori dan karakteristik fisik/sosial lainnya. Metode ini memiliki kisah sukses ketika dilakukan modelling struktur kota yang ada dan memprediksi perubahan pada lokasi-lokasi

(40)

dimana diberi pilihan investasi (misalkan jalan), pembangunan baru (misal perumahan) atau perubahan biaya perjalanan (misalkan pricing).

Botham (1983) didalam Banister and Berechman (2000) mengungkapkan hasil studi tentang estimasi kontribusi program pembangunan jalan raya di UK terhadap pembangunan wilayah. Kesimpulan sementara yang didapatkannya adalah dampak pembangunan jalan raya terhadap pembangunan wilayah sangatlah kecil, jika (tidak ada investasi jalan raya) diasumsikan bahwa biaya transportasi tetap sepanjang waktu. Jika kemacetan diasumsikan meningkatkan biaya, dampaknya meningkat, tetapi sangat sulit menilainya. Pada studi lain yang dilakukan oleh Dodgson (1978) seperti yang diungkapkan pada Banister and Berechman (2000), ditemukan dampak pembangunan jalan M62 di UK sangatlah kecil. Pada hasil studi dampak investasi jalan terhadap industri yang diungkapkan oleh Mackie dan Simon (1986) didalam Banister and Berechman (2000) ditemukan bahwa investasi infratruktur jalan raya lebih memberikan dampak langsung berupa perluasan pasar. Beberapa perusahaan merasa bahwa tarif toll menggagalkan pengiritan biaya, namun jalan toll dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas sopir dan kendaraan.

Namun demikian, menurut Banister and Berechman (2000) ada temuan studi lain yang dilakukan Departemen Transportasi UK pada tahun 1993, yang mengemukakan bahwa jalan raya baru menghasilkan efisiensi untuk perdagangan dan industri serta membuat industri menjadi lebih kompetitif. Pada studi-studi lain terungkapkan bahwa pembangunan jalan raya akan memberikan variasi manfaat yang berbeda, bergantung pada tingkat perekonomiannya. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Rephan (1993) didalam Banister and Berechman (2000), ternyata investasi jalan raya memberikan dampak yang lebih

Gambar

Gambar 1. Arus Perputaran Uang dalam Perekonomian  	
  

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan EA ini nantinya akan melibatkan baik program manajemen maupun metodologi dokumentasi berbasis kerangka kerja (framework) yang akan digunakan untuk

Sedangkan perbedaan penelitiaan yang dilakukan Paina dengan penelitian ini adalah pada objek kajian yang mana pada penelitian Paina meneliti tindak tutur komisif khusus

Adalah pendapatan yang diperoleh Pelaku Usaha Pergadaian Syariah dari aktivitas yang berkaitang langsung dan melekat dalam rangka perolehan penyaluran pinjaman

a) Manajemen keuangan pribadi (personal finance) merupakan proses perencanaan dan pengendalian keuangan dari unit individu atau keluarga.. b) Bentuk simpanan di Bank yang dapat

Alhamdulillahirabbil’alamiin, Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan rahmat-Nya pelaksanaan dan penyusunan Tugas Akhir yang berjudul “Implementasi Server

Pada saat transformator memberikan keluaran sisi positif dari gelombang AC maka dioda dalam keadaan forward bias sehingga sisi positif dari gelombang AC tersebut

Koolma dan C.J.M van de schoot ; proyek adalah suatu tugas yang perlu didefinisikan dan terarah ke suatu sasaran yang dituturkan secara kongkrit serta harus

Pada penelitian ini terlihat bahwa PUFA n-3 pada ikan tuna loin segar dan tuna loin pemberian FS selama penyimpanan 4 minggu didominasi oleh DHA dan EPA yang berada pada