• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIFAT DASAR, KETERAWETAN, DAN FINISHING KAYU TUMIH (Combretocarpus rotundatus Miq.) ASAL KALIMANTAN TENGAH QISTHYA OCTA ISTNAINY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SIFAT DASAR, KETERAWETAN, DAN FINISHING KAYU TUMIH (Combretocarpus rotundatus Miq.) ASAL KALIMANTAN TENGAH QISTHYA OCTA ISTNAINY"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

SIFAT DASAR, KETERAWETAN, DAN FINISHING KAYU

TUMIH (Combretocarpus rotundatus Miq.) ASAL

KALIMANTAN TENGAH

QISTHYA OCTA ISTNAINY

DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sifat Dasar, Keterawetan, dan Finishing Kayu Tumih (Combretocarpus rotundatus Miq.) Asal Kalimantan Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2014

Qisthya Octa Istnainy

(4)

ABSTRAK

QISTHYA OCTA ISTNAINY. Sifat Dasar, Keterawetan, dan Finishing Kayu Tumih (Combretocarpus rotundatus Miq.) Asal Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh TRISNA PRIADI.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sifat dasar, keterawetan, dan

finishing kayu tumih asal Kalimantan Tengah serta menganalisis pengaruh

pengeringan awal dengan oven dan microwave terhadap sifat keterawetan dan

finishing-nya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kayu tumih berwarna cokelat

kemerahan, bertekstur kasar, berserat lurus, permukaan kayu mengkilap, dan bercorak. Pori-pori kayu tersusun dalam pola tata baur, didominasi oleh pori soliter meski dijumpai juga pori yang bergabung radial 2-3 sel. Diameter pori antara 68.50-510.90 µm dan berisi tilosis. Serat kayu tergolong kelas mutu III dengan panjang serat tergolong sedang (1338.39 µm). Kayu tumih lebih disarankan sebagai bahan baku mebel karena memiliki penampilan yang dekoratif, disamping sebagai bahan konstruksi (kelas kuat II; berat jenis = 0.63). Hasil uji keterawetannya memperlihatkan bahwa kayu tumih sukar diawetkan karena retensinya hanya 1.67-2.93 kg m-3 dan penetrasinya 13.22-40.66% atau 2.99-8.50 mm. Sifat finishing-nya tergolong baik (Grade 4B; ASTM D3359-02). Hasil uji finishing ini tidak dipengaruhi secara nyata oleh perlakuan cara pengeringan awal dan pengawetan borax yang diberikan.

Kata kunci: anatomi, Combretocarpus rotundatus, finishing, keterawetan, tumih.

ABSTRACT

QISTHYA OCTA ISTNAINY. Basic Properties, Treatability, and Finishing Properties of Tumih (Combretocarpus rotundatus Miq.) Wood from Central Kalimantan. Supervised by TRISNA PRIADI.

Tumih wood is a lesser-known wood species that has been used as construction material limitedly in some areas of Borneo Island. This study aimed to analyze the basic properties, treatability, and finishing properties of tumih wood and to analyze the influence of initial drying using oven and microwave to wood’s treatability and finishing properties. The result showed that tumih wood has reddish-brown colour, rough-texture, straight-grain, lustrous, and decorative. Pore distribution is diffuse, dominated by solitary but sometimes in radial-multipled of 2-3 cells. Pore diameter ranged between 68.50-510.90 µm, and contained tylosis.

Its fiber was classified as quality class III and had medium length (1338.39 µm). The specific gravity of tumih wood was 0.63 that belongs to strength class II. Tumih wood is suitable for furniture manufacturing. Based on this study, the treatability of this wood was difficult because the preservative retention and penetration were 1.67-2.93 kg m-3 and 13.22-40.66% or 2.99-8.50 mm, respectively. Its finishing property was good (Grade 4B) based on ASTM D3359-02, which was not affected by pre-drying treatment and borax preservation. Keywords: anatomy, Combretocarpus rotundatus, finishing, treatability, tumih.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Departemen Hasil Hutan

SIFAT DASAR, KETERAWETAN, DAN FINISHING KAYU

TUMIH (Combretocarpus rotundatus Miq.) ASAL

KALIMANTAN TENGAH

QISTHYA OCTA ISTNAINY

DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(6)
(7)

Judul Skripsi : Sifat Dasar, Keterawetan, dan Finishing Kayu Tumih (Combretocarpus rotundatus Miq.) Asal Kalimantan Tengah Nama : Qisthya Octa Istnainy

NRP : E24100012

Disetujui oleh

Dr Ir Trisna Priadi, MEngSc Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Fauzi Febrianto, MS Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya dan segala kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Sifat Dasar, Keterawetan, dan Finishing Kayu Tumih (Combretocarpus rotundatus Miq.) Asal Kalimantan Tengah” dengan baik. Sripsi ini merupakan tugas akhir yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Trisna Priadi, MEngSc selaku dosen pembimbing yang telah sabar mendidik hingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini, serta terima kasih pula kepada Bapak Prof Dr Ir Imam Wahyudi, MS (Ketua Sidang) dan Ibu Eva Rachmawati, Shut MSi (Dosen Penguji dari Departemen KSHE) atas saran yang telah diberikan pada skripsi ini. Selain itu, kepada Ibu Esti Prihatini, Bapak Irsan Alipraja, Bapak Kadiman dan Bapak Suhada dari Laboratorium Sifat Dasar Kayu Bagian Teknologi Peningkatan Mutu Kayu Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB, serta Bapak Roni dari Laboratorium Anatomi Tumbuhan Pusat Penelitian Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) Bogor, yang telah membantu penulis selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayahanda Ahmad Ipni, Ibunda Siti Nurlailah, dan adik-adik tercinta (Syevie Atliase Septiany dan Dzihny Selia Novida) serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayang yang telah diberikan. Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Zevy Augrind Limin, Rifsi Irdiana Febrian, Novi Ari Christanty, Ermy Puspitasari, Anugerah Menggala Putra, Rizky Rosilia, Helga Dara Dwin K, Fauzan Fahrussiam, Yusuf Zawawi, Novan Danuwihardi, Gina Lugina Aprilina, Nurul Azizah, M. Nur Alifudin, Gisella Indira Maharani, Windi Ayu Prawitasari, Novi Handayani, Nur Islamiah Latif, Anggi Herdiansyah, Winda Astuti, Winda Rahmalia, Sri Wahyuni, Irine, Susleni Murtianah, Linda Karlina Sari, Catur Wulandari, Syaiful Bahri, serta teman-teman THH 47 lainnya yang telah memberikan bantuan, semangat, dan doa untuk penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penyusunan atau penulisan skripsi ini. Namun demikian penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak dalam rangka pemanfaatan kayu kurang dikenal dengan lebih baik lagi.

Bogor, November 2014

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 Kayu Tumih 2 Struktur Anatomi Kayu 3 Keterawetan Kayu 4 Finishing Kayu 4 METODE 4

Waktu dan Tempat Penelitian 4 Bahan 5 Alat 5 Prosedur dan Analisis data 5 Persiapan Bahan Baku 5 Pengamatan Struktur Anatomi Kayu 5 Pengujian Sifat Fisis Kayu 8 Pembuatan Larutan Bahan Pengawet dan Larutan Pereaksi 8 Pengujian Sifat Keterawetan Kayu 8 Pengujian Sifat Finishing Kayu 10 Analisis Data 11 HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Sifat Anatomi Kayu 12 Sifat Fisis Kayu 16 Sifat Keterawetan Kayu 17 Sifat Finishing Kayu 19 SIMPULAN DAN SARAN 21

(10)

Saran 22

DAFTAR PUSTAKA 22

LAMPIRAN 25

RIWAYAT HIDUP 28

DAFTAR TABEL

1 Persyaratan dan nilai serat kayu sebagai bahan baku pulp 7 2 Klasifikasi keterawetan berdasarkan tingkat penetrasi dengan metode

perendaman dingin 9

3 Klasifikasi hasil pengujian daya lekat bahan finishing 11 4 Dimensi serat kayu tumih dari empulur ke kulit 14 5 Dimensi dan nilai turunan dimensi serat kayu tumih 16

6 Sifat fisis kayu tumih 16

7 Nilai pengujian daya lekat bahan finishing pada kayu tumih 20 DAFTAR GAMBAR

1 Morfologi tumbuhan Combretocarpus rotundatus Miq. 3

2 Penyusunan sayatan pada object glass 6

3 Bagian-bagian serat yang diukur 7

4 Penampang lintang 12

5 Penampang lintang perbesaran 10x 13

6 Struktur anatomi kayu tumih perbesaran 160x 13

7 Penampang serat kayu tumih 13

8 Panjang serat kayu tumih dari empulur ke arah kulit 15 9 Nilai retensi bahan pengawet boraks pada kayu tumih yang dikeringkan

dengan pengeringan awal menggunakan oven dan microwave 17 10 Nilai penetrasi bahan pengawet boraks pada kayu tumih yang dikeringkan

dengan pengeringan awal menggunakan oven dan microwave

berdasarkan kedalaman masuknya bahan pengawet 17

11 Nilai penetrasi bahan pengawet boraks pada kayu tumih yang dikeringkan dengan pengeringan awal menggunakan oven dan microwave

berdasarkan luas penampang contoh uji 18

12 Kadar air kayu tumih yang dikeringkan dengan pengeringan awal

menggunakan oven dan microwave 18

13 Hasil pengujian daya lekat bahan finishing pada kayu tumih 20 DAFTAR LAMPIRAN

1 Pengambilan contoh uji 26

2 Hasil analisis sidik ragam uji daya lekat bahan finishing (taraf 5%) 26 3 Cara penentuan diameter pori pada perbesaran 30x 26

4 Pengeringan awal dengan microwave 26

5 Proses pengawetan kayu tumih 27

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki lebih kurang 4000 jenis pohon. Sekitar 75% atau 3001 jenis diantaranya telah berhasil diidentifikasi dan disimpan sebagai koleksi di Xylarium Bogoriense Badan Litbang Kehutanan. Sampai saat ini koleksi contoh kayu yang disimpan tersebut telah mencakup 591 marga (genus) dari 94 suku (family) yang terbagi dalam kelompok kayu perdagangan (commercial species), kayu kurang dikenal (lesser known species), dan kayu sangat kurang dikenal (least

known wood species) (Pustekolah 2013). Berdasarkan publikasi Mandang (2013),

telah terdeskripsi anatomi kayu dari 422 marga dengan lebih dari 4000 jenis kayu Asia Tenggara yang sebagian besar tumbuh di Indonesia. Hasil pembandingan dengan daftar jenis kayu yang dibuat oleh Oey (1950) dalam Mandang (2013) ternyata ada 281 marga, 577 jenis kayu yang belum tercakup dalam buku PROSEA 5(1), 5(2), dan 5(3). Jenis inilah yang termasuk dalam the least known

wood species.

Kayu tumih (Combretocarpus rotundatus Miq.) merupakan salah satu jenis kayu kurang dikenal. Penggunaan kayu tumih saat ini masih terbatas di beberapa daerah di Kalimantan sebagai bahan baku konstruksi bangunan. Pengetahuan sifat dasar kayu tumih sangat penting agar pemanfaatan kayu ini dapat lebih maksimal.

Pada proses pemanfaatan suatu jenis kayu diperlukan pengetahuan mengenai sifat dasar dan pengolahan kayu untuk tujuan yang paling optimal. Sifat dasar kayu tersebut meliputi sifat antomi, fisis, mekanis, dan kimia. Diantara keempat sifat dasar tersebut, pengetahuan akan struktur anatomi sel-sel penyusun kayu menjadi penting karena sifat fisis, mekanis, dan kimia sangat bergantung pada struktur anatomi sel penyusun kayu (Purnawati et al. 2012). Sifat fisis dan mekanis kayu bergantung pada faktor inherent dalam kayu terutama ketebalan dinding sel, porsi kayu awal-akhir, persentase kayu gubal-teras, micro fibril angle (MFA), dan proporsi masing-masing sel penyusun kayu. Kayu dengan porsi rongga sel yang lebih banyak cenderung lebih permeabel sehingga lebih mudah dikeringkan dan diawetkan. Kayu dengan kadar lignin tinggi cenderung lebih kaku sehingga sulit dibengkokkan. Kayu dengan berat jenis (BJ) tinggi umumnya sulit dalam pengerjaannya, tetapi permukaannya relatif halus. Selain itu, kayu berkadar ekstraktif tinggi umumnya lebih awet tetapi sulit untuk dikeringkan (Wahyudi 2013).

Kayu merupakan bahan organik yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin, dan zat ekstraktif yang dapat terdegradasi oleh pengaruh lingkungan baik secara fisik karena perubahan kadar air maupun secara kimiawi karena pengaruh radiasi ultraviolet (Kalnins dan Feist 1993). Selain itu, kayu juga dapat terdegradasi oleh organisme perusak kayu seperti rayap tanah, rayap kayu kering, jamur, kumbang, dan marine borer. Kayu yang ditempatkan di dalam atau di luar ruangan membutuhkan perlindungan dari organisme perusak kayu, bahan kimia, panas, goresan, sinar matahari, dan hujan. Cara untuk menjaga dan meningkatkan masa pakai kayu yaitu dengan pengawetan kayu; sedangkan agar daya tahan kayu

(12)

2

seperti kekuatan dan penampilannya tetap terpelihara adalah dengan mengaplikasikan bahan finishing ke permukaan kayu.

Pengawetan kayu merupakan proses memasukkan bahan pengawet (bahan kimia beracun terhadap faktor perusak kayu) ke dalam kayu dengan atau tanpa tekanan. Finishing kayu merupakan kegiatan pelaburan bahan finishing (cat,

varnish, dan stain) pada permukaan kayu untuk meningkatkan kualitas kayu.

(Darmawan dan Purba 2009). Produk-produk kayu dapat di-finishing dengan berbagai jenis bahan finishing kayu baik yang interior maupun eksterior. Bahan

finishing untuk penggunaan interior diantaranya polyurethan, melamine formaldehide, dan ultran varnish (Purwanto 2011), sedangkan yang eksterior

diantaranya adalah ultran lasur dan ultran politur. Peningkatan mutu kayu umumnya ditujukan untuk memperbaiki sifat kayu sehingga mutu kayu secara keseluruhan menjadi lebih baik.

Mengingat penelitian ilmiah mengenai kayu tumih hingga saat ini masih sangat terbatas, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sifat dasar (struktur anatomi dan sifat fisis), keterawetan dan finishing-nya, serta menganalisis pengaruh pengeringan awal kayu tumih dengan oven dan dengan

microwave terhadap sifat keterawetan dan mutu finishing-nya.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menganalisis sifat dasar, keterawetan, dan sifat

finishing kayu tumih. Pengaruh pengeringan awal menggunakan oven dan microwave terhadap sifat keterawetan dan finishing kayu juga akan dianalisis.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberikan informasi mengenai sifat dasar, keterawetan, dan

finishing kayu tumih yang tergolong jenis kayu kurang dikenal, serta dapat

memberikan informasi mengenai penggunaan kayu tumih secara tepat, sehingga memperkaya pengetahuan tentang sifat kayu kurang dikenal dan teknik pengolahannya.

TINJAUAN PUSTAKA

Tumih (Combretocarpus rotundatus Miq.)

Tumih adalah jenis pohon penghasil kayu yang berasal dari hutan gambut di daerah Kalimantan, Papua, dan Sumatera (Wahyunto et al. 2005 dalam Istomo dan Valentino 2012). Tumbuhan ini termasuk dalam famili Anisophyllaceae. Pohon berukuran sedang sampai besar dengan tinggi mencapai 40 m dan diameter batang mencapai 100 cm jika kondisi lingkungan tumbuh mendukung seperti yang tumbuh di kawasan Taman Nasional Sebangau (Maimunah 2014). Pohon tumih memiliki permukaan kulit tidak teratur dengan belahan gembur berwarna

(13)

keabu-3 abuan. Pohon tidak bergetah, memiliki bunga bertangkai dan berwarna kuning, dan apabila daun digosokkan maka akan mengeluarkan serbuk berwarna putih (Thomas 2013). Menurut Saito et al. (2005), dalam upaya merehabilitasi lahan gambut, tumih sangat tepat digunakan untuk penanaman awal karena cepat tumbuh dan toleran terhadap kondisi kering dan terbuka. Jenis ini juga toleran terhadap radiasi matahari dan suhu tanah yang tinggi. Pohon Tumih dapat berfungsi sebagai pionir di lahan hutan gambut yang rusak, karena mampu tumbuh di areal yang selalu tergenang oleh air (Maimunah 2014). Kayu tumih juga ditemukan di hutan kerangas. Jenis ini merupakan tumbuhan yang tegakan berdirinya masih diproduksi masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan kayu bangunan (Kissinger et al. 2013).

Pohon Pancang

Semaian

Bunga Buah masak

Gambar 1 Morfologi tumbuhan Combretocarpus rotundatus Miq.

Sumber: Panduan Lapang Identifikasi Jenis Pohon Hutan (Thomas 2013).

Struktur Anatomi Kayu

Identifikasi kayu merupakan langkah pertama dalam proses pemanfaatan kayu agar tepat guna dan efisien. Apabila proses identifikasi tidak cermat maka

(14)

4

akan mengakibatkan kasalahan dalam penggunaan maupun pengolahannya. Identifikasi kayu yang tepat yakni berdasarkan pada ciri anatomi kayu (Mandang

et al. 2012). Ciri anatomi kayu meliputi ciri makroskopis dan mikroskopis kayu.

Ciri makroskopis kayu adalah ciri yang terlihat pada kayu tanpa harus menggunakan mikroskop. Biasanya ciri ini dapat dilihat hanya dengan bantuan lup dengan perbesaran 10-15 kali. Menurut Mandang dan Pandit (2002), ciri umum kayu yang diamati secara makroskopis meliputi warna, tekstur, arah serat, kilap, kesan raba, bau, dan rasa, serta kekerasan. Ciri mikroskopis kayu yang diamati adalah dimensi serat meliputi panjang serat, diameter serat, diameter lumen, dan tebal dinding serat. Ciri ini dapat diamati hanya dengan menggunakan mikroskop.

Keterawetan Kayu

Keterawetan adalah ukuran kemampuan suatu jenis kayu ditembus oleh bahan pengawet. Tingkat keterawetan kayu diukur dengan melihat retensi dan penetrasi bahan pengawet pada kayu. Menurut Karlinasari et al. (2010), Retensi merupakan banyaknya bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu yang biasanya dinyatakan dalam kg m-3 atau g cm-3, sedangkan penetrasi merupakan kedalaman masuknya bahan pengawet ke dalam kayu. Penetrasi dinyatakan dalam persen luas penampang contoh uji atau satuan jarak (mm atau cm). Retensi dan penetrasi menentukan keberhasilan suatu proses pengawetan dan sangat berpengaruh terhadap masa pakai kayu.

Finishing Kayu

Proses finishing bertujuan untuk melindungi, memelihara dan memungkinkan permukaan kayu untuk dibersihkan. Hasil finishing yang berkualitas dapat diperoleh dengan terlebih dahulu mengetahui sifat anatomi dari kayu yang digunakan, sifat bahan finishing, dan cara pengaplikasian bahan

finishing kayu. Terdapat dua jenis bahan finishing, yaitu pengaplikasian untuk

keperluan interior dan eksterior. Bahan finishing interior lebih menonjolkan pada hasil kenampakan dan kemudahan dalam pembersihan kayu serta diperuntukkan bagi kayu yang hanya membutuhkan perlindungan terhadap air dan sinar matahari dalam jumlah sedikit sedangkan finishing eksterior bertujuan untuk perlindungan kayu dan diperuntukkan bagi kayu yang membutuhkan perlindungan terhadap air dan sinar matahari lebih banyak (Darmawan dan Purba 2009).

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-Juni 2014 di Laboratorium Sifat Dasar Kayu Bagian Teknologi Peningkatan Mutu Kayu Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB, dan di Laboratorium Anatomi Tumbuhan Pusat

(15)

5 Penelitian Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) Bogor.

Bahan

Bahan utama yang digunakan adalah kayu tumih dari sebatang pohon sehat berdiameter 22 cm yang berumur 10 tahun asal Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Bahan lainnya terdiri dari alkohol berbagai konsentrasi (10%, 30%, 50%, 70%, 90%, dan 96%), akuades, gliserin, ethilen, safranin 2%, potassium klorat (KClO3), asam nitrat (HNO3) 50%, toluen, xylol, borax, air, serbuk kunyit, HCl, asam salisilat (C7H6O3), cat propan polyurethan (PU) serta filler.

Alat

Alat yang digunakan terdiri dari meteran, penggaris, gergaji, spidol permanen, mikroskop cahaya, mikrotom, tabung reaksi beserta raknya, waterbath, pipet, kertas saring, botol film, kamera digital, object glass, cutter, tisu, oven,

microwave, desikator, timbangan elektrik, kaliper, gelas piala, gelas ukur, sprayer,

baskom, kertas ampelas, kuas, lakban, dan alat tulis.

Prosedur dan Analisis Data

Persiapan contoh uji

Log kayu tumih yang berasal dari bagian pangkal dan tengah batang digergaji menjadi tiga bagian yaitu satu papan radial dan dua papan tangensial. Papan radial dengan tebal 2 cm untuk contoh uji (CU) anatomi dan fisis kayu, papan tangensial berukuran (10 x 4 x 4) cm3 untuk CU keterawetan dan papan tangensial berukuran (15 x 5 x 2) cm3 untuk CU finishing. CU yang digunakan diambil secara acak.

Pengamatan struktur anatomi kayu

Pengamatan dilakukan secara makro- dan mikroskopis. Pengamatan makroskopis yang meliputi warna, corak, tekstur, arah serat, kilap, kesan raba, kekerasan dan bau dilakukan secara langsung serta dibantu dengan lup, sedangkan foto makroskopis penampang lintangnya dilakukan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 10x dan 30x untuk mengetahui karakteristik pori dan jari-jari kayu serta pengukuran diameter pori pada perbesaran 30x dengan menggunakan aplikasi Motic Image.

Pengamatan mikroskopis diawali dengan persiapan CU untuk pembuatan preparat mikrotom dan maserasi. Proses maserasi menggunakan metode Schulze yang dimodifikasi, sedangkan proses mikrotom dilakukan dengan cara penyayatan penampang lintang (X), radial (R), dan tangensial (T) kemudian diamati dibawah mikroskop cahaya perbesaran 10x dan 45x.

(16)

6

a. Pembuatan preparat mikrotom untuk pengamatan struktur anatomi

Contoh uji yang digunakan diambil dari papan radial yang dihasilkan. Contoh uji berukuran (2 x 2 x 2) cm3 dibuat mewakili bagian kayu dekat kulit (DK), peralihan (P) dan dekat empulur (DE). Proses pembuatan preparat mikrotom diawali dengan merebus contoh uji dalam penangas air (waterbath) selama 14 hari dengan suhu 80 °C agar contoh uji lunak, dan kemudian direndam dalam larutan gliserin dan alkohol dengan perbandingan 1:1 selama 24 jam sebelum disayat. Penyayatan CU dilakukan pada ketiga bidang pengamatan (X, R, dan T) menggunakan mikrotom tipe rotary untuk menghasilkan sayatan setebal 15-25 µm. Sayatan terbaik (tipis dan tidak sobek) kemudian ditetesi safranin 2% sebanyak 3 tetes, lalu didiamkan selama 6 hingga 8 jam. Setelah itu, dicuci bersih dan selanjutnya didestilasi alkohol bertingkat dengan berbagai konsentrasi (30%, 50%, 70%, 90%, dan 96%) masing-masing selama 5-10 menit. Kemudian sayatan direndam dalam xylol selama beberapa saat. Tahap terakhir, sayatan diletakkan diatas object glass (Gambar 2) lalu direkatkan dengan ethilen kemudian ditutup dengan gelas penutup, dan dikeringkan dengan slide warmer pada suhu 60 °C selama 24 jam.

Preparat selanjutnya diamati dibawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 3.2x dan didokumentasikan menggunakan kamera digital. Parameter yang diukur sesuai dengan parameter yang dianjurkan oleh International Association of Wood

Anatomist (IAWA) (Wheeler et al. 1989).

Gambar 2 Penyusunan sayatan pada object glass.

Keterangan: X (penampang lintang), R (penampang radial), T (penampang tangensial), dan pelabelan dengan kertas label.

b. Pembuatan preparat maserasi untuk pengukuran dimensi serat

Pembuatan preparat maserasi mengikuti metode Schultze yang dimodifikasi (Silitonga et al. 1972 dalam Purnawati 2013). Contoh uji berukuran panjang 7 cm dengan tebal 1 cm diperoleh dari papan radial kemudian dibagi menjadi 7 segmen dari empulur ke kulit. Masing-masing segmen selanjutnya dicacah kecil hingga berukuran sebesar batang korek api. Hasil cacahan dimasukkan ke dalam tabung reaksi secara terpisah. Kemudian ditambahkan KClO3 dan larutan HNO3 50% ke dalam tabung reaksi hingga cacahan tersebut terendam seluruhnya. Selanjutnya tabung reaksi dipanaskan di dalam waterbath pada suhu 80°C selama 2 menit atau hingga cacahan menjadi putih kekuningan dan terlihat mulai terjadi pemisahan serat. Setelah itu serat dicuci hingga bebas asam, kemudian ditetesi safranin sebanyak 2-3 tetes dan didiamkan selama 24 jam. Selanjutnya dilakukan dehidrasi bertingkat dengan alkohol berbagai konsentrasi (10%, 30%, dan 50%) masing-masing selama 10-15 menit. Serat hasil maserasi kemudian diletakkan diatas

object glass lalu diamati di bawah mikroskop untuk pengukuran dimensi serat

(panjang dan diameter serat, serta diameter lumen) sebanyak 30 kali ulangan (Gambar 3). Tebal dinding serat dihitung dengan rumus setengah dari selisih antara diameter serat dengan diameter lumen.

(17)

7 Bilangan Runkle = 2 d / c Daya tenun = a / b Fleksibilitas = c / b Koefisien kekakuan = d / b

Gambar 3 Bagian-bagian serat yang diukur. Keterangan: (a) panjang serat, (b) diameter serat,

(c) diameter lumen, dan (d) tebal dinding serat.

Setelah melakukan pengukuran dimensi serat, tahap selanjutnya ialah menghitung nilai turunan dimensi serat yang meliputi Runkle ratio (bilangan

Runkle), Muhlsteph ratio (bilangan Muhlsteph), daya tenun serat,

fleksibilitas, dan koefisien kekakuan, dengan persamaan sebagai berikut:

Keterangan:

a = panjang serat (µm) c = diameter lumen (µm) b = diameter serat (µm) d = tebal dinding serat (µm)

Dimensi serat dan nilai turunannya digunakan untuk menentukan tingkat kecocokan suatu kayu sebagai bahan baku pulp dan kertas. Persyaratan dan nilai mutu serat sebagai bahan baku pulp disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Persyaratan dan nilai serat kayu sebagai bahan baku pulp.

Persyaratan Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV

Syarat Nilai Syarat Nilai Syarat Nilai Syarat Nilai Panjang serat (µm) 2200 100 1600-2200 75 900-1600 50 900 25 Bilangan Runkle 0.25 100 0.25-0.50 75 0.50-1.00 50 1.00 25 Perbandingan Muhlsteph (%) 30 100 30-60 75 60-80 50 80 25 Daya tenun 90 100 70-90 75 40-70 50 40 25 Fleksibilitas 0.80 100 0.60-0.80 75 0.40-0.60 50 0.40 25 Koefisien kekakuan 0.10 100 0.10-0.15 75 0.15-0.20 50 0.20 25 Jumlah Nilai 451-600 600 301-450 450 151-300 300 150 150

Sumber: Departemen Pertanian (1976)

(18)

8

Pengujian sifat fisis kayu

Sifat fisis yang diuji yaitu kadar air, berat jenis, dan kerapatan. Prosedur pengujian kadar air (KA) berdasarkan standar DIN 52 183, sedangkan pengujian berat jenis (BJ) dan kerapatan (ρ) berdasarkan standar DIN 51 182. Contoh uji yang digunakan berukuran (4 x 2 x 2) cm3 dari contoh uji keterawetan kayu dan (5 x 2 x 2) cm3 yang berasal dari contoh uji finishing kayu. Contoh uji ditimbang untuk mendapatkan berat awal (W0), kemudian diukur volume awal nya (V0) menggunakan prinsip Archimedes. Selanjutnya contoh uji dikeringkan dengan oven dengan suhu (103 ± 2) °C selama 48 jam hingga konstan untuk mendapatkan berat kering oven (W1). KA awal CU digunakan sebagai acuan dalam mendapatkan berat kering tanur estimasi (BKT estimasi) yang selanjutnya digunakan untuk menentukan berat CU ketika sudah memiliki KA 14%. Contoh uji diharapkan mencapai 14% sesuai dengan KA kering udara. Persamaannya yaitu:

Keterangan:

KA = kadar air (%) W0 = berat kayu segar (g)

W1 = berat kering tanur (g)

BKTestimasi = berat kering tanur estimasi (g)

BJ = berat jenis

V0 = volume kayu segar (cm3)

ρ = kerapatan kayu (g cm-3

)

ρstandar = kerapatan air pada suhu 4 °C (1 g cm-3)

Pembuatan larutan bahan pengawet dan larutan pereaksi

Larutan bahan pengawet yang dibuat adalah boraks dengan konsentrasi 5% sebanyak 10 liter. Larutan pereaksi terdiri dari pereaksi A dan B. Pereaksi A terbuat dari serbuk kunyit sebanyak 10 g dicampur dengan alkohol 96% sebanyak 100 ml (konsentrasi 10%); sedangkan Pereaksi B terbuat dari 20 ml HCl yang dilarutkan dalam 80 ml alkohol kemudian dijenuhkan dengan asam salisilat (AWPA A3-77 1997).

Pengujian keterawetan kayu

Keterawetan kayu diukur berdasarkan standar SNI 03-5010.1-1999. Contoh uji yang digunakan adalah CU yang telah dikeringkan dalam oven dan dalam

microwave hingga mencapai kondisi kering udara (± 14%), masing-masing 5 buah

berukuran (10 x 4 x 4) cm3. Dimensi CU diukur dengan kaliper untuk mendapatkan volume kayu (V), setelah itu kedua ujung CU dicelupkan ke dalam parafin cair untuk menghindari masuknya larutan bahan pengawet melalui arah longitudinal, dan ditimbang beratnya (B0). CU selanjutnya direndam dalam larutan boraks pada suhu kamar selama 48 jam, kemudian ditiriskan. CU lalu

(19)

9 ditimbang untuk mendapatkan berat setelah diawetkan (B1), kemudian dikeringudarakan untuk pengujian penetrasi.

Retensi (R) bahan pengawet dihitung dengan persamaan:

Keterangan:

R = retensi (kg m-3)

B0 = berat kayu sebelum diawetkan (g)

B1 = berat kayu setelah diawetkan (g)

V = volume kayu yang diawetkan (cm3)

K = konsentrasi bahan pengawet yang digunakan (%)

Pengujian penetrasi bahan pengawet dilakukan dengan cara: CU yang telah

mencapai kondisi kering udara dipotong menjadi 2 bagian sama panjang. Terhadap masing-masing bidang potong dilakukan penyemprotan larutan bahan pereaksi A dan dibiarkan hingga mengering. Setelah itu, pada permukaan yang sama disemprotkan pereaksi B. Apabila terjadi perubahan warna (dari kuning menjadi merah-orange) menandakan adanya boron dalam kayu. CU selanjutnya dikeringudarakan untuk memperoleh perubahan warna yang lebih jelas. Pengukuran penetrasi dilakukan menggunakan kertas millimeter blok, yang dapat dihitung dengan 2 cara yaitu:

a. Berdasarkan kedalaman masuknya bahan pengawet ke dalam kayu

Keterangan:

Xp = rata-rata penetrasi (mm)

Xi = kedalaman bahan pengawet yang masuk (mm) n = banyaknya pengukuran (n)

b. Berdasarkan luas penampang kayu

Keterangan: P = penetrasi (%)

a = kedalaman daerah yang berwarna merah (mm) A = luas penampang kayu (mm2)

Klasifikasi keterawetan kayu berdasarkan tingkat penetrasi disajikan pada Tabel 2. Klasifikasi ini digunakan untuk pengawetan dengan perendaman dingin. Tabel 2 Klasifikasi keterawetan berdasarkan tingkat penetrasi dengan metode

perendaman dingin. Kelas Penetrasi (%) Mudah > 90 Sedang 50-90 Sukar 10-50 Sangat sukar < 10

(20)

10

Persyaratan retensi dan penetrasi bahan pengawet berdasarkan SNI 03-5010.1-1999 yaitu:

1. Retensi bahan pengawet sebesar 8.00 kg m-3 untuk penggunaan di bawah atap, dan 11.00 kg m-3 untuk penggunaan di luar atap.

2. Penetrasi bahan pengawet sebesar 5 mm.

Pengujian Sifat Finishing Kayu

Contoh uji yang digunakan berukuran (15 x 5 x 2) cm3 sebanyak 20 buah, dengan bahan finishing berupa polyurethan (PU) yang dikhususkan bagi produk interior. Polyurethan merupakan bahan finishing yang memiliki daya pembentukan lapisan film paling tinggi. Lapisan film ini berfungsi untuk memproteksi kayu yang telah di-finishing agar tidak mudah meresap air, air garam, maupun minyak serta tidak terjadi perubahan pada stabilitas dimensi kayu (Wijaya dan Santosa 2014). Proses finishing dilakukan dengan menggunakan kuas. Proses pengaplikasian bahan finishing dimulai dengan mengampelas permukaan kayu menggunakan ampelas nomor 180 searah serat kayu. Kemudian kayu diberi filler (Impra Wood Filler WF-115) hingga merata pada seluruh permukaan kayu dan dibiarkan mengering. Selanjutnya lapisan kembali diampelas dengan ampelas nomor 240 sampai warna asli kayu terlihat lagi. Selanjutnya pelaburan sanding sealer (Propan PU Sanding Sealer PUSS-741-NY) pada permukaan kayu yang telah diberi filler. Apabila telah mengering, lapisan cat tersebut diampelas mengambang dengan ampelas nomor 400. Setelah itu dilakukan pelaburan top coating (Propan PU Clear Gloss PUL-745-2K). Pelaburan sanding sealer dan top coating dilakukan sebanyak dua kali untuk menghasilkan kualitas finshing yang lebih baik (menurut tata cara yang diberikan oleh PT. Propan Raya).

Proses pengujian bahan finishing kayu pada penelitian ini menggunakan metode pengujian daya lekat bahan finishing sesuai dengan standar ASTM D3359-02. Prosedur pengujian yang dilakukan adalah membuat 11 goresan dengan dengan jarak 2 mm per goresan. Goresan dibuat saling tegak lurus sehingga didapatkan kotak-kotak kecil sebanyak 100 kotak hasil dari goresan tegak lurus tersebut. Selanjutnya membersihkan serbuk kayu dari hasil goresan yang dilakukan agar memudahkan proses pengujian dengan plester. Plester lalu ditempelkan pada permukaan kayu dan secara cepat plester tersebut ditarik pada arah 45° dari permukaan kayu. Kerusakan lapisan dapat terlihat dari banyaknya kotak yang terkelupas. Hasilnya diklasifikasikan menurut nilai hasil uji daya lekat bahan finishing berdasarkan ASTM D3359-02 sebagaimana pada Tabel 3.

(21)

11 Tabel 3 Klasifikasi nilai pengujian daya lekat bahan finishing.

Description

Surface Grading

ISO

Grading

ASTM

The edges of cuts are completely smooth, none of the

squares of the lattice is detached. GT O 5B

At the intersection of the grid lines small fragments of the painting chipped off, chipped off surface about 5% of the section.

GT 1 4B

The painting chipped off along the edges of cut and/or at the intersections of the grid lines; chipped off surface about 15% of the sections.

GT 2 3B

The painting chipped off along the edges of cut partly or in broad strips and/or the painting from individual sections totally or partly chipped off completely; chipped of surface about 35% of the sections.

GT 3 2B

The painting chipped off along the edges of cut in broad strips and/or the painting from individual sections totally or partly chipped off completely; chipped of surface about 65% of the sections.

GT 4 1B

Each degree of flaking that cannot even be classified by classification 4.

GT 5 0B

Sumber: ASTM D3359-02 (2004)

Analisis data

Pengolahan data untuk pengujian struktur anatomi, sifat fisis, dan keterawetan kayu menggunakan metode deskriptif sedangkan untuk pengujian sifat finishing kayu dengan metode rancangan acak lengkap (RAL) 1 faktor 4 taraf. Aplikasi pengolah data yang digunakan yaitu Microsoft Excel 2007 dan SAS 9.1.3. Apabila uji F-hitung pada taraf 5% menunjukkan hasil yang berpengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan. Model matematis untuk RAL adalah sebagai berikut :

Rancangan acak lengkap (RAL) Yij = µ + τi + εij

Keterangan :

Yij = nilai pengamatan daya lekat bahan finishing pada perlakuan τ (pengeringan awal)

ke- i (oc, op, mc, dan mp ) dan ulangan ke- j (5 kali ulangan)

µ = rataan umum

τi = pengaruh perlakuan τ(pengeringan awal) ke- i (oc, op, mc, dan mp)

εij = kesalahan percobaan τ pada perlakuan ke- i (oc, op, mc, dan mp) dan ulangan ke- j (5 kali ulangan)

oc = oven control op = oven pengawetan mc = microwave control mp = microwave pengawetan

(22)

12

HASIL DAN PEMBAHASAN

Struktur Anatomi Kayu

Hasil pengamatan makroskopis menunjukkan bahwa kayu tumih berwarna cokelat kemerahan, bertekstur kasar, berserat lurus, permukaan kayu mengkilap, dan memiliki kesan raba berlilin. Kayu tidak memiliki bau khas dan tergolong kayu keras karena sukar disayat pada arah tegak lurus serat. Gambar 4a menunjukkan perbedaan yang nyata antara kayu awal-akhir, sehingga memungkinkan kayu memiliki corak indah (dekoratif) (Gambar 4b dan 4c). Menurut Wahyudi (2013), kayu dengan lingkar tumbuh yang jelas, berpori tata lingkar, dan/atau memiliki perbedaan warna yang tegas antara bagian gubal dan teras maupun antara bagian kayu awal-akhir berpotensi untuk menghasilkan corak yang unik dan indah.

(a) (b) (c)

Gambar 4 Penampang lintang log kayu tumih (a) dengan porsi kayu awal-akhir yang nyata (v), corak kayu pada penampang tangensial (b), dan corak kayu pada penampang radial (c).

Hasil pengamatan mikroskopis menunjukkan bahwa kayu tumih memiliki jari-jari dua ukuran (Gambar 5b), dengan sel parenkim yang tergolong parenkim paratrakeal aliform sayap tipis (Gambar 5b dan 6a). Porinya tergolong tata baur didominasi oleh pori soliter, meski dijumpai juga pori bergabung radial 2-3 sel (Gambar 5). Diameter pori berkisar 68.5-510.9 µm dengan nilai rerata 219.73 µm. Menurut Pandit dan Ramdan (2002), dengan rerata diameter >200 µm maka kayu tumih termasuk dalam pori berdiameter besar. Frekuensi pori berkisar 1.40-1.93 pori mm-2. Semakin mendekati empulur, jumlah pori per satuan luas semakin banyak (0.71-2.92 pori mm-2) sehingga lebih porous. Hal ini membuktikan bahwa kerapatan kayu tumih cenderung semakin besar (0.93-1.09 g cm-3) dari empulur hingga kulit.

Pori kayu tumih berisi tilosis (Gambar 5b dan 6a). Menurut Wahyudi (2013), kayu yang banyak mengandung tilosis atau endapan di dalam rongga sel akan lebih sukar dikeringkan dan diawetkan karena tilosis akan menghalangi pergerakan keluarnya air saat dikeringkan dan masuknya bahan pengawet ke dalam kayu saat kayu diawetkan. Oleh karena itu, kayu yang mengandung banyak tilosis atau endapan dalam rongga sel perlu diberi perlakuan yang bertujuan untuk

(23)

13 mengurangi kadar bahan penghalang tersebut sebelum kayu dikeringkan dan diawetkan agar pergerakan masuk-keluarnya air berjalan dengan baik.

(a) (b)

Gambar 5 Penampang lintang kayu tumih dengan perbesaran 10x (a) dan penampang lintang perbesaran 30x (b); dengan parenkim paratrakeal aliform sayap tipis (p), jari-jari tebal (R), jari-jari tipis (r), serta tilosis (t) dalam sel pori.

(a) (b) (c)

Gambar 6 Struktur anatomi kayu tumih dengan perbesaran 160x pada penampang lintang (a), penampang radial (b), penampang tangensial (c); dengan pori (o), tilosis (t), parenkim paratrakeal aliform sayap tipis (p), dan jari-jari (r).

Gambar 7 menunjukkan hasil proses pengukuran dimensi serat kayu tumih dengan berbagai perbesaran. Perbesaran 500x digunakan untuk mengukur panjang serat kayu tumih (Gambar 7a) dan perbesaran 2250x digunakan untuk mengukur diameter serat dan diameter lumen (Gambar 7b).

(a) (b)

Gambar 7 Panjang serat kayu tumih dengan perbesaran 500x (a) dan diameter serat kayu tumih dengan perbesaran 2250x (b).

Hasil pengukuran rata-rata dimensi serat dari segmen empulur ke arah kulit disajikan pada Tabel 4. Dimensi serat yang diukur meliputi panjang serat, diameter serat, diameter lumen, dan tebal dinding serat.

(24)

14

Tabel 4 Dimensi serat kayu tumih dari empulur ke kulit.

Segmen Panjang serat

(µm)

Diameter serat (µm)

Diameter lumen (µm)

Tebal dinding serat (µm) 1 (DE)* 1090.00 27.81 15.33 6.24 2 1254.17 30.57 17.90 6.33 3 1276.67 27.14 12.67 7.24 4 1359.58 29.81 11.90 8.95 5 1441.67 30.10 6.10 12.00 6 1485.83 30.95 12.76 9.10 7 (DK)* 1460.83 30.48 21.24 4.62 Rerata 1338.39 29.55 13.99 7.78

Keterangan: *DE (dekat empulur), DK (dekat kulit).

Rerata panjang serat kayu tumih sebesar 1338.39 µm, diameter serat 29.55 µm, diameter lumen 13.99 µm, dan tebal dinding serat 7.78 µm. Berdasarkan klasifikasi IAWA (Wheeler et al. 1989), maka kayu tumih dikategorikan memiliki panjang serat sedang karena rerata panjang serat kayu tumih berada di interval 900-1600 µm dan diameter serat kayu tumih tergolong besar (0.025-0.04 mm atau 25-40 µm). Berdasarkan Tabel 4, dapat diketahui bahwa panjang serat kayu tumih cenderung meningkat dari segmen empulur ke arah kulit. Serat terpendek terdapat pada segmen nomor 1 sebesar 1090.00 µm dan serat terpanjang terdapat pada segmen nomor 6 sebesar 1485.83 µm. Kenaikan panjang serat kayu tumih dari empulur hingga kulit terkait dengan sifat kayu muda (juvenil) yang berbeda kecepatan pertumbuhan sel kayunya dengan kayu dewasa. Sebagaimana menurut Praptoyo dan Puspitasari (2012), pertumbuhan diameter serat kayu yang cepat akan menghambat pertumbuhan panjang dari sel-sel kayu tersebut. Bagian kayu yang dibentuk pada awal periode pertumbuhan yaitu kayu juvenil, umumnya memiliki kecepatan tumbuh yang lebih cepat daripada kayu dewasa.

Parameter yang paling berperan dalam menentukan bagian kayu juvenil ialah panjang serat. Metode penentuan kayu juvenil berdasarkan panjang serat dapat dilihat dari perubahan panjang serat dari empulur hingga kulit (Pandit 2000). Panjang serat yang bertambah secara progresif dan cepat merupakan bagian kayu juvenil dan selanjutnya konstan pada bagian kayu dewasa. Gambar 8 menunjukkan bahwa nilai panjang serat pada segmen 1-6 (empulur hingga kulit) masih terus meningkat. Kemudian pada segmen 6-7 panjang serat mulai konstan, berarti segmen 1-6 dapat disebut sebagai bagian kayu juvenil, sedangkan ketika panjang serat mulai konstan (segmen 6-7), periode pembentukan kayu dewasa telah dimulai.

(25)

15

Gambar 8 Panjang serat kayu tumih dari empulur ke arah kulit. Tebal dinding serat kayu tumih menurut Wagenfeuhr (1984) dalam Supartini dan Husien (2008), tergolong sedang (6-8 µm). Tebal dinding serat pada segmen 1-6 semakin meningkat, kemudian menurun pada segmen 6-7. Panshin dan de Zeeuw (1980) menyatakan bahwa variasi tebal dinding serat dari empulur ke kulit pada hardwood umumnya menunjukkan adanya peningkatan. Hal ini dikarenakan peningkatan tebal dinding serat pada kayu awal cenderung lebih rendah daripada peningkatan tebal dinding serat pada kayu akhir.

Hasil pengukuran kualitas serat kayu tumih disajikan pada Tabel 5 yang menunjukkan bahwa serat kayu tumih memiliki nilai (scoring) 300 sehingga tergolong pada Kelas Mutu III. Serat yang termasuk Kelas Mutu III diduga dapat menghasilkan lembaran kertas dengan kekuatan sobek, retak dan tarik yang sedang (Husien dan Budi 2006).

Kualitas serat kayu ditentukan berdasarkan nilai dimensi serat dan turunannya yang terdiri dari panjang serat, bilangan Runkle, bilangan Muhlsteph, daya tenun, fleksibilitas, dan koefisien kekakuan. Berdasarkan Departemen Pertanian (1976), nilai bilangan Runkle kayu tumih tergolong rendah (dengan

scoring 25). Hal ini menunjukkan bahwa serat tersebut memiliki dinding yang

tipis tetapi diameter lumen lebar sehingga pulp yang dihasilkan lebih mudah digiling dan memiliki daerah ikatan antar serat yang lebih luas. Serat kayu tumih memiliki bilangan Muhlsteph tergolong sedang yakni dengan hasil scoring sebesar 50. Semakin tinggi bilangan Muhlsteph, maka luas permukaan serat semakin kecil sehingga luas daerah ikatan dan kontak antar serat menurun sehingga lembaran kertas yang dihasilkan cenderung memiliki katahanan tarik dan ketahanan retak yang rendah. Daya tenun serat kayu tumih dengan scoring 100 menandakan bahwa daya tenun serat kayu ini tinggi. Semakin tinggi nilai daya tenun menandakan serat tersusun lebih rapat sehingga kertas yang dihasilkan memiliki kekuatan sobek yang lebih tinggi. Nilai fleksibilitas dari serat kayu tumih termasuk sedang yakni 50. Hal ini mengindikasikan bahwa kayu tumih memiliki dinding yang tipis. Serat dengan nilai fleksibilitas tinggi menandakan tebal dindingnya relatif tipis. Pulp yang dihasilkan mudah menggepeng dan memiliki kekuatan tarik yang tinggi. Nilai koefisien kekakuan serat kayu tumih sebesar 25 tergolong rendah, menandakan dinding serat yang tipis dengan diameter serat yang lebar menjadikan pembentukan lembaran kertas lebih fleksibel sehingga kualitas jalinan ikatan antar seratnnya bagus (Purnawati et al. 2012).

(26)

16

Tabel 5 Dimensi dan nilai turunan dimensi serat kayu tumih.

Kriteria Nilai Scoring*

Panjang serat (µm) 1338.39 50 Bilangan Runkle 1.82 25 Bilangan Muhlsteph (%) 74.65 50 Daya tenun 133.48 100 Fleksibilitas 0.47 50 Koefisien kekakuan 0.27 25 Total scoring 300

Kelas mutu III*

*Departemen Pertanian (1976)

Dengan demikian, maka kayu tumih tidak disarankan untuk bahan baku pembuatan pulp dan kertas karena tidak memenuhi persyaratan. Menurut Supartini dan Husien (2008), persyaratan bahan baku untuk pup dan kertas serta papan serat diharuskan memiliki total scoring 301-450 pada aspek panjang serat, bilangan Runkle, bilangan Muhlsteph, daya tenun, fleksibilitas, dan koefisien kekakuan. Potensi kayu tumih akan lebih baik jika digunakan sebagai bahan baku mebel, mengingat bahwa kayu tumih memiliki corak yang indah sehingga akan menghasilkan mebel dengan bernilai dekoratif.

Sifat Fisis Kayu

Hasil pengukuran sifat fisis kayu tumih disajikan pada Tabel 6. Nilai rerata kadar air kayu tumih dari segmen empulur hingga kulit yaitu 63.34% dengan rerata kerapatan 1.02 g cm-3 dan berat jenis 0.63 sehingga tergolong dalam Kelas Kuat II menurut PKKI NI-5 (1961). Berat jenis kayu tumih semakin meningkat dari segmen dekat empulur hingga dekat kulit (Tabel 6). Menurut Panshin dan de Zeeuw (1980), meningkatnya berat jenis dari empulur hingga kulit disebabkan oleh peningkatan ketebalan dinding sel dari empulur hingga kulit. Dinding sel yang semakin tebal membuat kekuatan kayu cenderung meningkat.

Tabel 6 Sifat fisis kayu tumih.

Segmen Kadar air (%) Kerapatan (g cm-3) Berat jenis

Dekat empulur 66.84 0.93 0.56

Peralihan 62.63 1.04 0.64

Dekat kulit 60.54 1.09 0.68

Rerata 63.34 1.02 0.63 (Kelas Kuat II)**

**PKKI NI-5 (1961)

Berdasarkan hasil pengujian sifat fisis (kerapatan dan berat jenis) serta prediksi kelas kuatnya, kayu tumih lebih disarankan untuk bahan baku mebel. Kriteria utama kayu yang cocok sebagai bahan baku mebel atau furniture yakni kayu bercorak menarik (dekoratif) dengan tekstur sedang-halus, memiliki berat jenis sedang (0.55-0.75) karena produk dari kayu yang terlalu keras maupun berat akan menyulitkan dalam pemindahan produk tersebut, memiliki keawetan alami cukup tinggi (Kelas Awet II-III), dan memiliki sifat keterekatan serta

(27)

finishing-17 nya baik (Wahyudi 2013). Selain itu, kayu tumih dapat pula digunakan sebagai bahan konstruksi. Hal ini dikarenakan kelas kuat kayu tumih yang termasuk dalam Kelas Kuat II, memenuhi persyaratan pemanfaatan kayu sebagai bahan bangunan (Supartini dan Husien 2008).

Sifat Keterawetan Kayu

Nilai retensi bahan pengawet boraks pada kayu tumih dengan pengeringan awal menggunakan oven berkisar 2.53-2.93 kg m-3, sedangkan dengan microwave sebesar 1.67-2.09 kg m-3 (Gambar 9). Waktu pengeringan menggunakan

microwave lebih cepat dari oven yakni 72 menit berbanding 3 hari. Gambar 10

menunjukkan nilai penetrasi bahan pengawet pada kayu yang pengeringan awalnya dengan oven berkisar 4.22-8.50 mm sedangkan dengan microwave sebesar 2.99-6.89 mm. Persentase luas masuknya bahan pengawet boraks dengan pengeringan awal menggunakan oven sebesar 21.22-40.66% dan dengan

microwave sebesar 13.22-30.84% (Gambar 11). Berdasarkan klasifikasi

keterawetan menurut Smith dan Tamblyin (1970), maka penetrasi bahan pengawet boraks pada kayu tumih dengan metode perendaman dingin tergolong rendah. Dengan demikian kayu tumih dapat dikatakan sulit diawetkan, atau dengan kata lain memiliki tingkat keterawetan yang rendah.

Gambar 9 Nilai retensi bahan pengawet boraks dalam kayu tumih yang dikeringkan dengan pengeringan awal menggunakan oven dan

microwave.

Gambar 10 Nilai penetrasi bahan pengawet boraks dalam kayu tumih yang dikeringkan dengan pengeringan awal menggunakan oven dan

(28)

18

Gambar 11 Nilai penetrasi bahan pengawet boraks dalam kayu tumih yang dikeringkan dengan pengeringan awal menggunakan oven dan

microwave berdasarkan luas penampang CU.

Hasil pengujian retensi dan penetrasi bahan pengawet boraks pada kayu tumih menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan awal menggunakan microwave relatif lebih rendah dari oven yang ditunjukkan pada Gambar 9, 10, dan 11. Hal ini dikarenakan kadar air pada CU microwave lebih besar dari CU oven (Gambar 12).

Gambar 12 Kadar air kayu tumih yang dikeringkan dengan pengeringan awal menggunakan oven dan microwave.

Pengujian keterawetan pada kayu tumih menunjukkan bahwa hasil retensi bahan pengawet boraks lebih rendah dari standar yang ditetapkan yakni sebesar 8.00 kg m-3 untuk penggunaan di bawah atap dan 11.00 kg m-3 untuk penggunaan di luar atap, tetapi penetrasinya memenuhi, yakni 5 mm (SNI 03-5010.1-1999). Tingginya nilai retensi tidak selalu berkorelasi dengan tingginya nilai penetrasi. Hal tersebut diduga disebabkan oleh kerapatan dan ukuran pori kayu. Berdasarkan pengamatan struktur anatomi kayu tumih, diameter porinya tergolong besar dan terdapat tilosis didalamnya. Meskipun ukuran pori kayu tumih besar, tetapi kayu tumih memiliki kerapatan yang cukup tinggi serta ditemukan tilosis di dalam pori sehingga kayu cenderung sulit untuk diawetkan.

Nilai retensi dan penetrasi bahan pengawet ke dalam kayu tumih dapat dibandingkan dengan nilai retensi dan penetrasi pada kayu maniani hasil penelitian Purnawati (2013) yang memiliki nilai berat jenis kayu yang hampir sama (kayu tumih 0.63 dan kayu maniani 0.61). Dengan menggunakan metode

Sukar

Sangat sukar

(29)

19 perendaman dingin selama 48 jam, penelitian Purnawati (2013) menunjukkan bahwa nilai retensi bahan pengawet pada kayu maniani sebesar 0.80-1.10 kg m-3 dan nilai penetrasinya sebesar 3.25-4.00 mm. Hasil retensi kayu maniani tidak berbeda jauh dengan nilai retensi kayu tumih (1.67-2.93 kg m-3), walaupun nilai penetrasi kayu tumih sebesar 2.99-8.50 mm jauh lebih tinggi dari kayu maniani. Secara keseluruhan, hasil penyerapan bahan pengawet boraks ke dalam kayu tumih dan kayu maniani tergolong rendah karena nilai retensi bahan pengawet berada dibawah standar SNI 03-5010.1-1999. Hal ini menunjukkan bahwa teknik pengawetan menggunakan metode rendaman dingin 48 jam kurang efektif dalam penyerapan bahan pengawet ke dalam kayu yang memiliki BJ tinggi dalam hal ini kayu tumih dan maniani. Berdasarkan kondisi kerapatan kayu yang tinggi dengan diameter pori umumnya kecil-sedang, dan terdapat endapan didalam pori kayu tumih, diperlukan metode pengawetan lain yang lebih efektif seperti perendaman panas-dingin dan vakum tekan.

Metode pengawetan kayu dengan perendaman panas-dingin merupakan proses sederhana untuk mengawetkan kayu kering maupun setengah kering. Pada proses ini, kayu direndam dalam bak pengawetan yang terbuat dari logam kemudian larutan bahan pengawet bersama kayu dipanaskan selama beberapa jam dan dibiarkan tetap terendam sampai larutan dingin. Selain itu, proses ini dapat pula dilakukan dengan memanaskan larutan bahan pengawet dengan kayu secara bersamaan selama beberapa jam, kemudian kayu diangkat dan dimasukkan ke dalam bak lain yang berisi larutan dingin. Pemanasan yang terjadi pada metode rendaman panas-dingin ini membuat udara yang ada di dalam kayu mengembang kemudian keluar dari kayu. Pemanasan dihentikan bila gelembung udara di dalam kayu sudah tidak keluar lagi. Keuntungan metode pengawetan kayu dengan rendaman panas-dingin yaitu penetrasi dan retensi bahan pengawet lebih banyak dari metode rendaman dingin, dapat mengawetkan kayu dalam jumlah banyak secara bersamaan, serta larutan bahan pengawet dapat digunakan berulang kali (Dumanauw 1990).

Proses pengawetan kayu menggunakan vakum tekan melibatkan penggunaan tekanan untuk memaksa bahan pengawet masuk ke dalam kayu. Kayu yang akan diawetkan dimasukkan ke dalam tangki tekanan kemudian tangki tersebut diisi bahan pengawet lalu diberi tekanan. Vakum dapat dilakukan sesaat sebelum bahan pengawet dimasukkan. Hal ini dilakukan untuk mengeluarkan udara dari rongga sel sehingga masuknya bahan pengawet ke dalam kayu akan lebih mudah. Keuntungan metode vakum tekan ini yaitu tingkat retensi dan penetrasi bahan pengawet sangat tinggi, waktu yang dibutuhkan dalam pengaplikasian relatif singkat, dan dapat mengawetkan kayu basah maupun kering (Dumanauw 1990).

Sifat Finishing Kayu

Berdasarkan Tabel 7, hasil pengujian daya lekat bahan finishing kayu tumih tergolong baik (Grade 4B) dengan persentase kehilangan lapisan cat sebesar 0.55%. Hasil pengujian daya lekat bahan finishing dari contoh uji dengan pengeringan awal menggunakan microwave (MCF) lebih tinggi daripada oven (OCF). Klasifikasi nilai uji berdasarkan ASTM D3359-02 (Tabel 7) menerangkan

(30)

20

bahwa Grade 5B pada MCF lebih banyak dari OCF, yakni banyaknya Grade 5B pada MCF sebanyak 4 buah sedangkan pada OCF hanya 1 buah. Hasil ini menunjukkan bahwa adanya perbaikan sifat permukaan dari hasil perlakuan pengeringan awal menggunakan microwave sehingga daya lekat bahan finishing menjadi lebih baik daripada hasil finishing CU oven. Tabel 7 dan Gambar 13 menunjukkan hasil pengujian daya lekat bahan finishing kayu tumih.

Tabel 7 Nilai pengujian daya lekat bahan finishing pada kayu tumih.

Nama CU Nilai uji daya lekat bahan finishing

(%)

Klasifikasi nilai uji berdasarkan ASTM D3359-02 MPF 0.00 5B MPF 0.00 5B MPF 0.30 4B MPF 0.00 5B MPF 0.20 4B MCF 0.00 5B MCF 0.00 5B MCF 4.80 4B MCF 0.00 5B MCF 0.00 5B OPF 0.60 4B OPF 0.00 5B OPF 0.00 5B OPF 0.30 4B OPF 0.00 5B OCF 0.40 4B OCF 0.00 5B OCF 0.80 4B OCF 2.60 4B OCF 0.90 4B Rerata 0.55 4B Keterangan:

MPF = microwave pengawetan finishing MCF = microwave control finishing OPF = oven pengawetan finishing OCF = oven control finishing

(a) (b)

Gambar 13 Hasil pengujian daya lekat bahan finishing pada kayu tumih dengan pengeringan awal menggunakan oven (a) dan microwave (b).

(31)

21 Berdasarkan hasil penelitian Abdika (2007), perlakuan pengeringan

microwave menghasilkan penetrasi yang lebih tinggi dari hasil pengeringan oven.

Hal ini dikarenakan radiasi gelombang mikro menyebabkan air di dalam kayu bergerak cepat, sehingga suhu meningkat dan merata di seluruh bagian kayu. Peningkatan suhu tersebut dapat menghasilkan tekanan uap yang besar. Tekanan uap ini diduga menyebabkan degradasi noktah sel dalam kayu sehingga membuat kayu menjadi lebih permeabel. Oleh karena itu, bahan pelapis (bahan finishing) dapat melekat dengan baik, sehingga hasil daya lekat bahan finishing dengan perlakuan pengeringan awal menggunakan microwave cenderung lebih baik dibandingkan oven.

Pada umumnya daya lekat bahan finishing dipengaruhi oleh ukuran pori, zat ekstraktif, dan kandungan silika pada kayu (Purnama 2009 dalam Purwanto 2011). Kayu dengan pori lebih besar biasanya memiliki daya lekat yang lebih baik, sedangkan kayu yang memiliki zat ekstraktif serta silika yang tinggi dapat menghambat penetrasi bahan finishing. Namun dalam penelitian ini, hasil analisis sidik ragam daya lekat bahan finishing tidak dipengaruhi secara nyata oleh perlakuan pengawetan boraks begitu pula dengan perlakuan pengeringan oven maupun microwave (Lampiran 6). Hal ini diduga berdasarkan perlakuan pengeringan awal, kadar air pada CU oven dan microwave relatif tidak jauh berbeda. Nilai kadar air relatif seragam pada CU oven dan microwave sebab proses perendaman dengan bahan pengawet boraks dilakukan dalam waktu dan wadah yang bersamaan. Kemudian, setelah proses pengawetan selesai dilakukan, baik CU oven maupun microwave dilakukan pengeringan kembali dengan waktu yang sama pula. Selain itu, berdasarkan perlakuan bahan pengawet yang digunakan, pengawet boraks tidak menyebabkan perubahan pada komponen kimia kayu. Perpaduan bahan pengawet boraks diduga cocok dengan bahan finishing

polyurethane (PU) sehingga proses melekatnya bahan finishing pada kayu tumih

tidak terganggu.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa karakteristik anatomi kayu tumih adalah sebagai berikut: kayu berwarna cokelat kemerahan, bertekstur kasar, berserat lurus, permukaan kayu mengkilap, memiliki penampilan yang menarik, dan memiliki kesan raba berlilin. Diameter pori antara 68.50-510.90 µm. Pola penyebaran pori tata baur, didominasi oleh pori soliter terkadang dijumpai pori bergabung radial 2-3 sel, dan berisi tilosis. Serat kayu tergolong Kelas Mutu III dengan panjang serat termasuk sedang yaitu 1338.39 µm. Kayu tumih lebih disarankan sebagai bahan baku mebel karena memiliki penampilan yang dekoratif dengan berat jenis 0.63 (Kelas Kuat II), selain untuk bahan konstruksi.

Berdasarkan hasil pengujian keterawetan kayu tumih dengan rendaman dingin boraks selama 48 jam memperlihatkan bahwa kayu tumih sukar diawetkan karena retensinya hanya 1.67-2.93 kg m-3 dan penetrasinya 2.99-8.50 mm atau

(32)

22

13.22-40.66%. Berdasarkan sifat finishing kayu, daya lekat bahan finishing kayu tumih tergolong baik (Grade 4B; ASTM D3359-02) dengan rerata pengelupasan bahan finishing sebesar 0.55%. Hasil tersebut tidak dipengaruhi secara nyata oleh perlakuan yang diberikan.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kandungan kimia di dalam kayu tumih seperti zat ekstraktif, selulosa, dan lignin untuk mengetahui pengaruh kandungan kimia kayu terhadap sifat keterawetan dan keawetan kayu.

2. Perlu dilakukan penelitian mengenai berbagai teknik atau metode pengawetan terhadap kayu tumih sehingga dapat diketahui teknik pengawetan yang tepat dan terbaik.

DAFTAR PUSTAKA

Abdika A. 2007. Sifat Fisis, Mekanis, dan Keterawetan Beberapa Jenis Kayu yang Dikeringkan dengan Oven Microwave. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2004. Annual Book of

ASTM Standard. Volume 04.10, Wood. D 3359-02. Standard Test Methods

for Measuring Adhesion by Tape Test. America (US): American Society for Testing and Materials.

[AWPA] American Wood Preservers Association. 1997. Books of Standard (Includes standards on preservatives, treatments, method of analysis, and inspection). Grandbury (US): American Wood Preservers Association. [BSN] Badan Standar Nasional. SNI No. 03-5010.1-1999. Pengawetan Kayu

untuk Perumahan dan Gedung. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional Indonesia.

Darmawan W, Purba. 2009. Daya tahan lapisan finishing eksterior beberapa jenis kayu terhadap pengaruh cuaca. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan. 2(1):1-8.

[Deptan] Departemen Pertanian. 1976. Vademecum Kehutanan Indonesia. Direktorat Jendral Kehutanan. Jakarta: Departemen Pertanian.

[DIN] Deutsches Institut für Normung. 1992a. Prüfung von Holz; Bestimmung des Feuchtigkeitsgehaltes. DIN 52 183. Berlin: Beuth Verlag.

[DIN] Deutsches Institut für Normung. 1992b. Prüfung von Holz; Bestimmung der Rohdichte. DIN 52 182. Berlin: Beuth Verlag.

Dumanauw JF. 1990. Mengenal Kayu (edisi baru) [bibliografi]. Yogyakarta (ID): Kanisius [Internet]. [diunduh 2014 Oktober 7]. Tersedia pada: www.books.google.co.id/books?id.

Husien, Budi AS. 2006. Serat eksentrik pada kulit kayu marobamban. Jurnal Ilmu

dan Teknologi Kayu Tropis. 4(2):39-43.

Istomo, Valentino N. 2012. Pengaruh perlakuan kombinasi media terhadap pertumbuhan anakan tumih (Combretocarpus rotundatus Miq. Danser).

(33)

23 Kalnins MA, Feist WC. 1993. Increase in wettability of wood with weathering.

Forest Product Journal. 43(2):55-57.

Karlinasari L, Rahmawati M, dan Mardikanto TR. 2010. Pengaruh pengawetan kayu terhadap kecepatan gelombang ultrasonik dan sifat mekanis lentur serta tekan sejajar serat kayu Acacia mangium Willd. Jurnal Teknik Sipil. 17(3): 163-170.

Kissinger, Zuhud E, Darusman LK, dan Siregar IZ. 2013. Keanekaragaman jenis tumbuhan obat dari hutan kerangas. Jurnal Hutan Tropis. 1(1):17-23. Maimunah S. 2014. Uji viabilitas dan skarifikasi benih beberapa pohon endemik

hutan rawa gambut kalimantan tengah. Jurnal Hutan Tropis. 2(1):71-76. Mandang YI, Pandit IKN. 2002. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di Lapangan.

Bogor (ID): Yayasan Prosea Bogor dan Pusat Diklat Pegawai SDM Kehutanan. 194 hal.

Mandang YI. 2013. Xylarium Bogoriense dan Peranannya dalam Penelitian Anatomi dan Pengenalan Aneka Jenis Kayu di Indonesia. Disajikan pada

Diskusi Litbang Anatomi Kayu Indonesia. Bogor (ID): IPB International

Convention Center. 3 Juni 2013.

Pandit IKN. 2000. Metoda Identifikasi Kayu Juvenil. Seminar Nasional III Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) Sumedang.

Pandit IKN, Ramdan H. 2002. Anatomi Kayu: Pengantar Sifat Kayu Sebagai

Bahan Baku. Bogor (ID): Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB.

Panshin AJ, de Zeeuw C. 1980. Textbook of Wood Technology. McGraw-Hill Book Co. Iowa pp 209-272.

[PKKI] Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia. PPKI N1-5. 1961. Bandung (ID): Departemen Pengerjaan Umum dan Tenaga Listrik.

Praptoyo H, Puspitasari R. 2012. Variasi Sifat Anatomi Kayu Sengon (Paraserienthes falcataria (L) Nielsen) dari 2 Jenis Permudaan yang Berbeda. Seminar Nasional Mapeki XV (6-7 November 2012, Makassar). Purnawati R, Wahyudi I, dan Priadi T. 2012. Sifat anatomi kayu Flindersia

pimenteliana F. Muell asal teluk wondama papua barat. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis. 10(2):122-129.

Purnawati R. 2013. Sifat Dasar dan Sifat Pengolahan Kayu Maniani (Flindersia

pimenteliana F.v. Muell) Asal Teluk Wondama Papua Barat [Tesis]. Bogor

(ID):Institut Pertanian Bogor.

Purwanto D. 2011. Finishing kayu kelapa (Cocos nucifera L.) untuk bahan interior ruangan. Jurnal Rimba Ilmu Hasil Hutan. 3(2):31-36.

Pustekolah. 2013. Tujuh Puluh Lima Persen Jenis Kayu di Indonesia sudah Teridentifikasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan [Internet]. [10 Juni 2013, diunduh 2014 September 30]. Tersedia pada www.forda-mof.org./index.php.

Saito H, Shibuya M, Tuah SJ, Turjaman M, Takahashi K, Jamal Y, Segah H, Puntir PE, Limin SH. 2005. Initial screening of fast-growing tree species being tolerant of dry tropical peatlands in Central Kalimantan, Indonesia.

Journal Forestry Research. 2(2):1-10.

Smith DNR, Tamblyin. 1970. Proposed scheme for international standard test for

the resistance of timber to impregnation with preservative. Ministry of

(34)

24

Supartini, Husien N. 2008. Sifat fisik, mekanik, dan anatomi kayu perengat (Helicia sp.). Jurnal RIMBA Kalimantan Fakultas Kehutanan Universitas

Mulawarman. 13(2):83-90.

Thomas A. 2013. Panduan lapang Identifikasi Jenis Pohon Hutan. Kalimantan Forest and Climate Partnership (KFCP).

Wahyudi I. 2013. Hubungan struktur anatomi kayu dengan sifat kayu, kegunaan, dan pengolahannya. Makalah dalam Diskusi Litbang Anatomi Kayu Indonesia.

Wheeler EA, P Baas, dan PE Gasson. 1989. IAWA List of Microscopic Features

for Hardwood Identification. USA: IAWA Bull.

Wijaya IK, Santosa A. Pemanfaatan kayu kelapa sebagai bahan pembuatan

(35)

25

(36)

26

Lampiran 1 Pengambilan contoh uji

Lampiran 2 Penentuan diameter pori pada perbesaran 30x menggunakan aplikasi

Motic Image.

Lampiran 3 Pengeringan awal dengan oven dan microwave

Pengeringan dengan oven Pengeringan dengan microwave

Lampiran 4 Proses pengujian penetrasi bahan pengawet boraks dalam kayu tumih

Hasil penyemprotan dengan pereaksi boron

Cara perhitungan penetrasi bahan pengawet

(37)

27 Lampiran 5 Proses pemberian perlakuan terhadap kayu tumih

(a) (b) (c) (d) (e) (f) (g)

Contoh uji: Kayu tumih (a), Setelah pengeringan (b), Setelah pengawetan (c), Setelah pelaburan filler (d), Setelah pelaburan sanding sealer (e), Setelah pelaburan top coat (f), Setelah pengujian daya lekat bahan

finishing (g).

Lampiran 6 Hasil analisis sidik ragam pengujian daya lekat bahan finishing kayu tumih dengan perlakuan pengeringan awal menggunakan oven dan

microwave.

The GLM Procedure

Dependent Variable: Daya lekat bahan finishing

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 3 3.29750000 1.09916667 0.77 0.5259

Error 16 22.75200000 1.42200000

Corrected Total 19 26.04950000

R-Square Coeff Var Root MSE Daya lekat bahan finishing Mean

(38)

28

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 1992 dari bapak Ahmad Ipni dan ibu Siti Nurlailah. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 89 Jakarta tahun 2010 dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan.

Selama menjadi mahasiswa Fakultas Kehutanan penulis telah mengikuti beberapa kegiatan praktek lapang, yaitu Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cagar Alam Nusakambangan-Baturraden, Gunung Slamet, Jawa Barat tahun 2012, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), KPH Cianjur, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, dan PGT Sindangwangi tahun 2013, dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Kesatuan Bisnis Mandiri Industri Kayu Brumbung (KBM IK Brumbung), Semarang, Perhutani Unit 1 Jawa Tengah tahun 2013.

Selain aktif kuliah penulis juga aktif berorganisasi sebagai Anggota Gentra Kaheman dan UKM Voli IPB tahun 2010-2012, Sekretaris Bidang Eksternal Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan (HIMASILTAN) tahun 2011-2012, Panitia BCR Divisi Medis tahun 2012, Panitia KOMPAK DHH tahun 2012, Sekretaris 1 Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan (HIMASILTAN) tahun 2012-2013, dan Asisten praktikum Pengawetan Kayu tahun 2014. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi yang berjudul “Sifat Dasar, Keterawetan, dan Finishing Kayu Tumih (Combretocarpus rotundatus Miq.) Asal Kalimantan Tengah” di bawah bimbingan Dr Ir Trisna Priadi, MEngSc.

Gambar

Gambar 1 Morfologi tumbuhan Combretocarpus rotundatus Miq.
Gambar 3 Bagian-bagian serat yang diukur.
Tabel  2  Klasifikasi  keterawetan  berdasarkan  tingkat  penetrasi  dengan  metode  perendaman dingin
Gambar  5  Penampang  lintang  kayu  tumih  dengan  perbesaran  10x  (a)  dan  penampang  lintang  perbesaran  30x  (b);  dengan  parenkim  paratrakeal  aliform  sayap  tipis  (p),  jari-jari  tebal  (R),  jari-jari  tipis  (r), serta tilosis (t) dalam sel
+6

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini dapat dimanfaatkan oleh Ibu Yusnita pada Usaha Kerupuk Tempe di Desa Blang Geulanggang Kecamatan Peusangan Kabupaten Bireuen untuk melakukan pemasaran

Ditinjau dari aspek hukum masalah merek menjadi sangat penting, sehubungan dengan persoalan perlu adanya perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi pemilik

Narasi yang sehat – yang adalah hasil dari persepsi yang sehat – diperlukan bukan hanya untuk pemulihan tetapi juga untuk memperkecil prevalensi reviktimisasi. Narasi

Fotografi jalanan ( street photography ) menjadi sarana bagi fotografer Erik Prasetya untuk menggambarkan kota Jakarta secara visual dalam buku foto Jakarta: Estetika Banal..

Penelitian kepustakaan merupakan tahap awal dari kegiatan penelitian, berupa pengumpulan data pustaka sebagai latar belakang ( theoritical background ), terutama tentang

Kendala yang dihadapi dalam penerapan diversi terhadap anak pelaku kejahatan menurut hasil wawancara yang penulis lakukan dengan narasumber ibu Tri selaku jaksa

Begitu pula dengan perkembangan teknologi yang ada sehingga manusia bisa melakukan apa saja dengan duduk di depan komputer berkat adanya internet, pada zaman

[r]