• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Post Power Syndrome. Menurut Yusuf (2009: 24) Post power syndrome terjadi karena belum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Post Power Syndrome. Menurut Yusuf (2009: 24) Post power syndrome terjadi karena belum"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

16

A. Post Power Syndrome 1. Pengertian post power syndrome

Menurut Yusuf (2009: 24) Post power syndrome terjadi karena belum mempersiapan mentalnya dengan sempurna, meskipun seseorang mempunyai banyak uang dan tidak ada masalah secara materi, orang tersebut masih sering gamang menghadapi masa pensiun, jadi meskipun pensiun sudah siap, namun mental belum siap, sehingga dapat menjalankan masa pensiun dengan menyenangkan.

Menurut Suparni dan Astutik (2016:68) Post power syndrome adalah gejala-gejala pasca kekuasaan yang muncul berupa gejala-gejala-gejala-gejala kejiawaan dan emosi yang kurang stabil yang timbul karena perubahan peran menimbulkan gejala ketidakstabilan psikis yang muncul saat seseorang meninggalkan jabatan atau kekuasaan, karena adanya perasaan tidak dihormati lagi.

Menurut Elia (dalam Rahmad dan Suyanto, 2016: 77-94) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan post power syndrome adalah kumpulan gejala. Power adalah kekuasaan. Jadi, terjemahan dari post power syndrome adalah gejala pasca kekuasaan. Gejala ini umumnya terjadi pada orang-orang yang tadinya mempunyai kekuasaan atau menjabat satu jabatan, namun ketika sudah tidak menjabat lagi, seketika itu terlihat gejala-gejala kejiwaan atau emosi yang kurang stabil. Gejala itu biasanya bersifat negatif, khawatir itulah yang diartikan post power syndrome.

(2)

Post power syndrome terjadi bukanlah karena situasi pensiun atau

menganggur tersebut, melainkan bagaimana cara individu menghayati dan merasakan keadaan baru tersebut, pendapat ini didukung oleh Semiun (dalam Yulian. 2013: 23-28). Apabila individu tidak bisa menerima kondisi baru itu dan merasa kecewa dan pesimis maka akan timbul konflik batin, ketakutan dan rasa rendah diri. Sebaliknya individu yang telah pensiun memaknai kondisi ini dengan optimisme yang tinggi akan menghadapi masa pensiun ini dengan percaya diri.

Berdasarkan berbagai difinisi post power syndrome di atas maka dapat disimpulkan bahwa post power syndrome adalah gejala-gejala pasca kekuasaan yang muncul berupa gejala-gejala kejiwaan seperti gejala ketidakstabilan psikis yang muncul saat seorang meninggalkan jabatan atau kekuasaannya, serta gejala emosi yang kurang stabil yang timbul karena perubahan peran dari individu itu sendiri fungsi tubuh baik itu jasmani dan rohani. Gangguan ini terjadi karena adanya perasaan ingin mempertahankan status sosialnya di masyarakat yang tetap dianggap penting dan dihormati lagi.

2. Gejala-gejala post power syndrome

Gejala-gejala post power syndrome menurut Suparni dan Astutik (2016: 66) gejala post power syndrome terjadi pada orang-orang yang tadinya mempunyai kekuasaan atau mempunyai jabatan di tempat kerja, sehingga ketika sudah tidak menjabat lagi, akan terlihat gejala-gejala yang kurang stabil, dan individu merasa adanya gejala fisik.

(3)

Menurut Elia (dalam Rahmat dan Suyanto, 2016: 77-94) akan dirasakan individu dalam meliputi beberapa gejala, diantaranya:

a. Gejala fisik

Gejala fisik yang terjadi pada orang-orang yang menderita post power

syndrome biasanya tampak menjadi jauh lebih cepat tua dibandingkan pada waktu

dia masih menjabat. Tampak diduga tiba-tiba rambutnya menjadi putih, berkeriput, menjadi pemurung, malas dan mungkin sakit-sakitan.

b. Gejala emosi

Gejala emosi yang terjadi pada orang-orang yang menderita post power

syndrome misalnya cepat mudah tersinggung, merasa tidak berharga, ingin menarik

diri dari lingkungan pergaulan, ingin bersembunyi dan lain-lain. c. Gejala perilaku

Gejala perilaku yang terjadi pada orang-orang yang menderita post power

syndrome misalnya seorang individu malu bertemu dengan orang lain, lebih mudah

melakukan pola-pola kekerasan atau menunjukan kemarahan baik di rumah atau tempat lain.

Seorang yang mengalami post power syndrome biasanya dapat diketahui dari gejala-gejala yang dialaminya. Morce dan Rice (dalam Suparni dan Astutik, 2016: 69-70) membagi gejala post power syndrome menjadi dua, yaitu:

a. Gejala fisik

Gejala fisik yang sering muncul yaitu layu, sayu, lemas, tidak bergairah, dan mudah sakit-sakitan.

(4)

b. Gejala psikis

Gejala psikis yang sering tampil antara lain ialah apatis, depresi, semuanya “serba salah”, tidak pernah merasa puas dan beputus asa, atau tanda-tanda sebaliknya, yaitu menjadi mudah ribut, tidak toleran, cepat tersinggung, gelisah, cemas, eksplosif mudah meledak, agresif dan suka menyerang baik dengan kata-kata atau ucapan bahkan dengan benda-benda, dan sebagainya. Bahkan tidak jarang menjadi beringas setengah sadar.

Dinsi (dalam Suparni dan Astutik, 2016: 70) yaitu gejala fisik misalnya tampak layu, terlihat tua, tubuh lebih lemah. Gejala emosi misalnya mudah tersinggung, masih belum bisa menerima kenyataan. Gejala perilaku misalnya senang berbicara mengenai kehebatan dirinya dimasa lalu baik di rumah ataupun di tempat umum.

Menurut Supeno (dalam Rahmat dan Suyanto, 2016: 77-94) individu mengalami post power syndrome menunjukan adanya gangguan baik sikap maupun perilaku. Gaya sikap atau perilaku merupakan manifestasi dari reaksi-reaksi kejiwaan yang terjadi pada diri individu-individu tersebut. Gangguan sikap dan perilaku tersebut adalah

a. Reaksi eksposif, seperti kehilangan kendali, emosi meledak-ledak, marah-marah, serta agresi verbal dan fisik

b. Memperlihatkan gejala frustasi yang ditandai dengan timbulnya kecemasan dan depresi

(5)

d. Selalu mengenang hal-hal yang menyenangkan di masa lalu sehingga timbul sikap-sikap yang kadang tidak diterima oleh keluarga.

Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa gejala-gejala yang memengaruhi post power syndrome yaitu gejala fisik, gejala emosi, dan gejala perilaku.

3. Faktor-faktor penyebab post power syndrome

Pada beberapa pekerja ada yang sudah tidak bekerja (menganggur, pensiun, tidak menjabat lagi, dan lain-lain) oleh banyak individu dilihat sebagai suatu yang negatif paling parah dan paling tidak diinginkan yang dapat menyebabkan post

power syndrome.

Menurut Suparni dan Astutik (2016: 69) Faktor post power syndrome antara lain penurunan berbagai aspek seperti fisiologis, psikis, fungsi fisik, kognitif, regulasi emosi, minat, sosial, ekonomi dan religiusitas.

Menurut Kartono (dalam Suparni dan Astutik, 2016: 68) faktor penyebab

post power syndrome adalah:

a. Individu merasa terpotong atau tersisih dari orbit resmi, yang sebenarnya ingin memiliki dan dikuasai terus menerus.

b. Individu merasa sangat kecewa, sedih, sengsara berkepanjangan.

c. Emosi negatif yang sangat kuat dari kecemasan-kecemasan hebat yang berkelanjutan.

(6)

Sedangkan menurut Morce dan Rice (dalam Suparni dan Astutik, 2016: 68) faktor penyebab post power syndrome adalah:

a. Merasa kehilangan penghasilan

b. Konsep diri negatif sehingga cenderung bekerja sangat berlebihan ketika masih produktif dan mengalami kekecewaan ketika memasuki masa pensiun.

c. Pensiun dinilai sebagai akhir dari segalanya di mana individu akan kehilangan jabatan, merasa kesepian dan ditinggalkan oleh teman-teman yang masih bekerja.

Turner dan Helms (dalam Suparni dan Astutik, 2016: 69) menggambarkan penyebab terjadinya post power syndrome dalam kasus kehilangan pekerjaan, yaitu: a. Kehilangan harga diri, hilangnya jabatan menyebabkan hilangnya perasaan

atas pengakuan diri.

b. Kehilangan fungsi eksekutif, fungsi yang memberikan kebanggaan diri. c. Kehilangan perasaan sebagai orang yang memiliki arti dalam kelompok

tertentu.

d. Kehilangan orientasi kerja.

e. Kehilangan sumber penghasilan terkait dengan jabatan terdahulu.

Menurut Rini (dalam Rahmat dan Suyanto, 2016: 77-94) banyak faktor yang memengaruhi seseorang menderita post power syndrome, beberapa faktor antara lain:

(7)

a. Kepuasan kerja dan pekerjaan

Ketika seseorang sudah memasuki masa pensiun secara otomatis kepuasan dalam diri mereka untuk bekerja menjadi salah satu faktor mengalami post power

syndrome.Usia

b. Usia

Usia memang menjadi faktor penentu dalam mengalami gejala post power

syndrome. Karena ketika usia semakin lanjut, maka pola pikir dan perilaku pun

semakin menurun. c. Kesehatan

Kesehatan jelas sekali dapat memengaruhi gejala post power syndrome pada diri seseorang. Semakin tua seseorang, maka gejala kesehatan yang menurun pun akan terlihat.

d. Status sosial sebelum pensiun

Biasanya orang yang menderita gejala post power syndrom mengalami depresi, karena status sosial mereka akan terpengaruhi, sebagaimana menjadi orang biasa lagi.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi post power syndrome yaitu kehilangan harga diri dan jabatan menyebabkan hilangnnya perasaan atas pengakuan diri, kehilangan fungsi eksekutif yang memberikan kebanggaan diri, kehilangan orientasi kerja, kehilangan sumber penghasilan terkait dengan jabatan terdahulu, kepuasan kerja dan pekerjaan, usia, status sosial sebelum pensiun.

(8)

B. Purnawirawan Perwira TNI AD 1. Pengertian purnawirawan

Purnawirawan (disingkat Purn.) adalah sebuah gelar untuk para pensiunan tentara, baik TNI maupun Polri yang sudah tidak aktif lagi di dalam kemiliteran. Gelar ini berbeda dengan veteran, karena gelar veteran hanya diberikan kepada para tentara yang pernah mengikuti pertempuran. Sebutan Purnawirawan sangat melekat pada pensiun Tentara Nasional Indonesia (TNI) saat ini.

Purnawirawan merupakan sebutan pada individu yang mengalami masa pensiun, khusus nya pensiun TNI. Pensiun dapat menimbulkan masalah karena tidak semua orang siap untuk menghadapinya. Pensiun akan memutuskan seseorang dari aktivitas rutin yang telah dilakukan selama bertahun-tahun, selain itu akan memutuskan rantai sosial yang sudah terbina dengan rekan kerja, dan yang paling vital adalah menghilangnya identitas diri seorang yang sudah melekat begitu lama. Pendapat ini didukung oleh Agustina (dalam Rahmat dan Suyanto, 2016: 77-94). Efek psikologis pada masa transisi ke pensiun di antaranya adalah masalah identitas yang disebabkan oleh hilangnya pekerjaan, berkurangnya rasa percaya diri, kesepian, serta timbulnya perasaan cemas dan depresi, menurut Osborne (dalam Nurhayati dan Indriana, 2015: 94-99).

Hurlock (dalam Rahmat dan Suyanto, 2016: 77-94) menyatakan bahwa membagi sikap pensiun kedalam dua kategori, yaitu; pengalihan peran (transformer), yaitu mengubah gaya hidup baru dan menyenangkan diri sendiri. Melepaskan berbagai peran lama dan menjalankan peran baru; Pemeliharaan peran (maintainers) terus bekerja dengan melakukan pekerjaan penggal waktu setelah

(9)

pensiun. Pekerja yang dilakukan merupakan lanjutan dari pekerjaan yang sebelumnya.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian purnawirawan merupakan sebutan pada individu yang mengalami masa pensiun, khusus nya pensiun TNI AD. Seorang yang purna tentunya akan memutuskan individu itu dari aktivitas rutin yang telah dilakukan selama bertahun-tahun, selain itu akan memutuskan rantai sosial yang sudah terbina dengan rekan kerja, dan yang paling vital adalah menghilangnya identitas diri sebagai anggota TNI di mana sudah melekat begitu lama.

2. Fase penyesuaian diri pada pensiun

Fase penyesuaian diri pada saat pensiun menurut Rini (dalam Muhith dan Sitoyo, 2016: 52-52) adalah;

a. Fase Prapensiun (Preretirement Phase)

Fase ini bisa dibagi pada 2 bagian lagi, yaitu remote dan near. Pada remote

phase, masa pensiun masih dipandang sebagai suatu masa yang jauh. Biasanya fase

ini dimulai pada saat orang tersebut pertama kali mendapatkan pekerjaan dan masa ini berakhir ketika orang tersebut mulai mendekati masa pensiun. Sedangkan pada near phase, biasanya orang mulai sadar bahwa mereka akan segera memasuki masa pensiun dan hal ini membutuhkan penyesuaian diri yang baik. Ada beberapa perusahaan yang mulai memberikan program persiapan masa pensiun.

b. Fase Pensiun (Retirement Phase)

(10)

1) Honeymoon Phase

Periode ini biasanya terjadi tidak lama setelah orang memasuki masa pensiun. Sesuai dengan istilah honeymoon (bulan madu), maka perasaan yang muncul ketika memasuki fase ini adalah perasaan gembira karena bebas dari pekerjaan rutinitas.

2) Disenchatment Phase

Pada fase ini pensiun mulai merasa depresi dan merasa kosong. Untuk beberapa orang, pada fase ini mereka merasa ada rasa kehilangan, baik itu kehilangan kekuasaan, martabat, status, penghasilan, teman kerja, atau aturan tertentu.

3) Reorientation Phase

Reorientation Phase yaitu fase di mana seseorang mulai mengembangkan

pandangan yang lebih realistis mengenai alternatif hidup. Mereka mulai mencari aktivitas baru.

4) Stability Phase

Fase ini di mana mereka mulai mengembangkan suatu kriteria mengenai pemilihan aktivitas, di mana mereka dapat merasa hidup tentram dengan pilihannya.

5) End of Retirement

Biasanya fase ini ditandai dengan penyakit yang mulai menggerogoti seseorang, ketidakmampuan dalam mengurus diri sendiri, dan keuangan yang mulai merosot. Peran saat seorang pensiun digantikan dengan peran orang sakit yang membutuhkan orang lain untuk tempat bergantung.

(11)

C. Purnawirawan perwira TNI AD yang mengalami Post Power Syndrome

Post power syndrome adalah gejala-gejala pasca kekuasaan yang muncul

berupa gejala-gejala kejiwaan seperti gejala ketidakstabilan psikis yang muncul saat seorang meninggalkan jabatan atau kekuasaannya, serta gejala emosi yang kurang stabil yang timbul karena perubahan peran dari individu itu sendiri fungsi tubuh baik itu jasmani dan rohani. Gangguan ini terjadi karena adanya perasaan ingin mempertahankan status sosialnya di masyarakat yang tetap dianggap penting dan dihormati lagi.

Mengacu dalam definisi tersebut, terdapat gejala-gejala post power

syndrome yang diantaranya sebagai berikut: gejala fisik; orang tampak menjadi

jauh lebih tua dibandingkan pada waktu dia masih menjabat, muncul perasaan malas untuk menjaga kondisi kesehatan. Gejala emosi; individu merasa cepat mudah tersinggung, hilangnya pengakuan diri di masyarakat sehingga merasa tidak berharga, masih terbayang-bayang masa lalu sehingga belum bisa menerima kenyataan, muncul rasa khawatir, individu merasa belum pernah puas dengan kondisi yang baru, keinginan mempertahankan status sosialnya di masyarakat. Gejala perilaku; individu lebih mudah melakukan pola-pola kekerasan atau menunjukan kemarahan baik di rumah atau tempat lain, mempertahankan dan menjaga pola-pola perilaku sebelum pensiun di masyarakat sehingga penyesuain diri di masyarakat yang kurang baik, melakukan aktivitas atau kegiatan yang sangat berlebih.

Berdasarkan uraian gejala-gejala post power syndrome di atas diketahui bahwa faktor-faktor yang memengaruhi post power syndrome yaitu kehilangan

(12)

harga diri dan jabatan menyebabkan hilangnnya perasaan atas pengakuan diri, kehilangan fungsi eksekutif yang memberikan kebanggaan diri, kehilangan orientasi kerja, kehilangan sumber penghasilan terkait dengan jabatan terdahulu, kepuasan kerja dan pekerjaan, usia, status sosial sebelum pensiun.

Berdasarkan uraian di atas adanya post power syndrome timbul dikarenakan seseorang purnawirawan perwira TNI AD yang dulunya memiliki banyak kegiatan waktu dinasnya dan berbagai jabatan yang diemban, memimpin dan memiliki anggota dalam sebuah intansi dinas. Dimasa pensiun atau purnanya tentunya mengalami kondisi yang berbeda, apabila seorang purnawirawan perwira TNI AD tidak bisa menerima kondisi baru itu dan merasa kecewa dan pesimis maka akan timbul konflik batin, ketakutan sehingga cenderung ingin mempertahankan apa yang sudah individu itu capai sebelumnya, dengan mempertahan aktivitasnya dan status sosialnya di masyarakat, tetap mengisi dengan banyak kegiatan dimasa pensiunnya, sehingga tetap menjaga harga dirinya di masyaratakat. Sehingga seorang Purnawirawan juga akan mengalami kecemasan dan kaget karena terjadi transisi perubahan aktivitas dan status sosialnya.

Mengacu pada uraian tersebut kecenderungan post power syndrome juga muncul pada seorang purnawirawan perwira TNI AD yang telah selesai tugas sebagai anggota TNI, di mana perubahan kondisi dan peran yang belum bisa dilepas oleh purnawirawan perwira TNI AD sehingga muncul kecenderungan post power

(13)

D. Kerangka teori penelitian

Kecenderungan

Post Power Syndrome

Gejala post power syndrome - Gejala fisik

- Gejala emosi - Gejala perilaku

Keterangan

: Fokus Kajian

: Variabel yang tidak diteliti

: Gejala-gejala post power syndrome : Batas kajian

Purnawirawan Perwira TNI AD

Afeksi Kognisi Psikomotorik

- Pemahaman diri negatif - Penerimaan diri negatif - Keinginan untuk menghargai

-

Aktivitas fisik menurun

-

Menunjukan sikap

pemarah

-

Mudah tersinggung Adaptif

Tidak adaptif

Faktor post power syndrome - Kehilangan harga diri dan jabatan

menyebabkan hilangnnya perasaan atas pengakuan diri - Kehilangan fungsi eksekutif yang

memberikan kebanggaan diri - Kehilangan orientasi kerja

- Kehilangan sumber penghasilan terkait dengan jabatan terdahulu - Kepuasan kerja dan pekerjaan,

usia, status sosial sebelum pensiun.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut analisa penulis, dari beberapa pendapat tokoh agama dan masyarakat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pelaksanaan perkawinan lotre yang terjadi di

sudut dan sisi segitiga sebagai berikut. Sisi yang terletak dihadapan sudut yang terkecil dari suatu segitiga merupakan sisi yangterpendek. Sisi yang terletak di hadapan sudut

Dengan didirikannya perbengkelan/workshop PT IAS maka pada tahap permulaan akan mengurangi dan pada akhirnya diharapkan untuk meniadakan sejauh mungkin ketergantungan

Berdasarkan penelitian pemisahan zirkonium (Zr) dan hafnium (Hf) memakai campuran solven TBP- D2EHPA dan resin amberlite XAD-16 diperoleh hasil sebagai berikut:

Pertumbuhan golongan industri minuman di Sulawesi Tengah cukup tinggi, yaitu sebesar 16,53 persen dan berada pada urutan kedua dari jenis sektor industri mikro dan kecil.

[r]

Gambar Hasil Pengamatan Terhadap Organisme Jenis Makanan Ikan Batak ( Neolissochilus sumatranus ). Cocconeis

Pada pengujian warna dengan metode kertas tumerik sebelumnya kertas tumerik dibuat dengan menggunakan kertas saring yang telah digunting ukuran kecil, selanjutnya