BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori 1. Buku Ajar
Salah satu komponen sistem pembelajaran yang memegang peranan penting dalam pencapaian Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) adalah buku ajar. Menurut Suharjono ( 2001) buku ajar adalah buku yang digunakan sebagai buku pelajaran dalam bidang studi tertentu, yang merupakan buku standar yang disusun oleh pakar dalam bidangnya untuk maksud-maksud dan tujuan instruksional, yang dilengkapi dengan sarana-sarana pengajaran yang serasi dan mudah dipahami oleh para pemakainya disekolah-sekolah dan perguruan tinggi sehingga dapat menunjang suatu progam pengajaran.
Buku ajar merupakan salah satu sumber belajar dan bahan ajar yang banyak digunakan dalam pembelajaran. Buku ajar memang merupakan bahan ajar sekaligus sumber belajar bagi siswa yang konvensional. Namun meskipun konvensional dan sudah dipergunakan cukup lama dan banyak yang menganggap tradisional, buku pelajaran masih cukup mampu memberikan kontribusi yang baik pada pembelajaran. Beberapa materi pembelajaran tidak dapat diajarkan tanpa bantuan buku pelajaran.
Definisi lain, menurut Mintowati (2003) buku ajar merupakan salah satu sarana keberhasilan proses belajar mengajar. Buku ajar merupakan suatu kesatuan unit pembelajaran yang berisi informasi, pembahasan serta evaluasi. Buku ajar yang tersusun secara sistematis akan mempermudah peserta didik dalam materi sehingga mendukung ketercapaian tujuan pembelajaran. Maka dari itu, buku ajar harus disusun secara sistematis, menarik, aspek keterbacaan tinggi, mudah dicerna, dan mematuhi aturan penulisan yang berlaku.
Buku ajar termasuk salah satu buku pelajaran. Buku pelajaran yang dimaksud adalah karya tulis yang digunakan guru dalam proses belajar mengajar, maka semua karya tulis tersebut termasuk buku pelajaran. Buku ajar adalah sebuah karya tulis yang berbentuk buku yang digunakan oleh guru dalam proses belajar mengajar (Lubis, 2004).
Berdasarkan definisi buku ajar di atas, maka disimpulkan bahwa yang dimaksud buku ajar adalah sebuah karya tulis yang berbentuk buku dalam bidang tertentu, yang merupakan buku standar yang digunakan guru dan siswa dalam proses belajar mengajar untuk maksud-maksud dan tujuan instruksional, yang dilengkapi dengan sarana-sarana pengajaran yang serasi dan mudah dipahami oleh pemakainya di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi sehingga dapat menunjang progam pengajaran. Buku ajar disusun dengan alur dan logika yang sesuai rencana pembelajaran, buku ajar disusun sesuai kebutuhan belajar siswa dan buku ajar disusun untuk mencapai tujuan pembelajaran atau kompetensi.
Unsur-unsur penting dalam pengertian buku ajar adalah sebagai berikut (1) buku ajar merupakan buku pelajaran yang ditunjukan bagi siswa pada jenjang tertentu. (2) Buku ajar selalu berkaitan dengan mata pelajaran tertentu. (3) Buku ajar merupakan buku standar. (4) Buku ajar ditulis untuk tujuan instruksional tertentu. (5) Buku ajar ditulis untuk menunjang suatu progam pengajaran tertentu. (Arifin, 2009)
Dengan adanya buku ajar kegiatan belajar mengajar disekolah menjadi lebih lancar dan efektif. Dengan adanya buku ajar, keterampilan dan pengetahuan dasar siswa telah diperoleh sebelum masuk ke kelas sehingga selama di kelas dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pemantapan ingatan, pemahaman konsep, berfikir kritis dan pengembangan pengetahuan.
Buku ajar menyediakan fasilitas bagi kegiatan belajar mandiri, baik tentang substansinya maupun tentang penyajiaanya. Penggunaan buku ajar merupakan bagian dari budaya buku, yang menjadi salah satu tanda masyarakat maju. Dipandang dari proses pembelajaran, buku ajar mempunyai peranan penting. Jika tujuan pembelajaran adalah menjadikan
siswa memiliki berbagai kompetensi, maka perancangan buku ajar harus memasukkan sejumlah prinsip yang dapat digunakan untuk mencapai hal tersebut adalah perancangan sejumlah soal latian yang berbasis multipel representasi (Khaeruddin, 2012).
Greene dan Petty (1981), merumuskan beberapa peranan dan kegunaan buku ajar sebagai berikut : 1) Mencerminkan suatu sudut pandang yang tangguh dan modern mengenai pengajaran serta mendemontrasikan aplikasi dalam bahan pengajaran yang disajikan. 2) Menyajikan suatu sumber pokok masalah atau subject matter yang kaya, mudah dibaca dan bervariasi, yang sesuai dengan minat dan kebutuhan para siswa, sebagai dasar bagi program-program kegiatan yang disarankan di mana keterampilan-keterampilan ekspresional diperoleh pada kondisi yang menye- rupai kehidupan yang sebenarnya. 3) Menyediakan suatu sumber yang tersusun rapi dan bertahap mengenai keterampilan-keterampilan ekspresional. 4) Menyajikan (bersama-sama dengan buku manual yang mendampinginya) metode-metode dan sarana-sarana pengajaran untuk memotivasi siswa. 5) Menyajikan fiksasi awal yang perlu sekaligus juga sebagai penunjang bagi latihan dan tugas praktis. 6) Menyajikan bahan atau sarana evaluasi dan remedial yang serasi dan tepat guna.
Di negara-negara berkembang dengan jumlah guru yang terbatas, buku ajar menjadi sangat penting dan merupakan satu-satunya sarana untuk kurikulum. Tanpa adanya buku ajar, keterampilan, konsep dan bahan yang diperlukan dalam proses belajar mengajar, mengakibatkan kurikulum yang akan diterapkan disekolahan tersebut tidak dapat terlaksana dengan baik. Tidak adanya sumber informasi lain yang lebih luas, menjadikan buku ajar lain sebagai sumber bahan dan informasi yang amat sangat penting sekali dan sering buku ajar dijadikan satu- satunya sumber bahan dan informasi pengajaran bagi guru. Lebih- lebih, baik guru maupun siswa tidak mempunyai akses pada bahan ajar dan sumber belajar alternatif, buku ajar dijadikan satu-satunya dasar untuk pengujian dan penilaian (evaluasi).
Oleh karena itu, peran buku mempunyai dampak langsung pada apa yang diajarkan di sekolah dan bagaimana buku itu diajarkan, sehingga pengembangan materi kurikulum merupakan hal yang sangat penting. Jadi, adanya mekanisme untuk meninjau kembali dan mengawasi kualitas buku ajar yang dipakai di kelas dalam kaitannya dengan relevansi, muatan, pendekatan pendidikan dan efektivitas, juga untuk memastikan penyediaan buku ajar mencerminkan kebijakan pemerintah.
Nasution (2008: 103), buku ajar merupakan alat pengajaran yang paling banyak digunakan diantara alat pengajaran lainnya. Buku ajar telah digunakan sejak manusia bisa menulis dan membaca. Adapun manfaat buku ajar, Nasution (2008) menyebutkan: 1) Buku pelajaran membantu guru melaksanakan kurikulum karena disusun berdasarkan kurikulum yang berlaku, 2) Buku pelajaran juga merupakan pegangan dalam menentukan metode pengajaran. 3) Buku pelajaran memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengulangi pelajaran atau mempelajari pelajaran baru. 4) Buku pelajaran dapat digunakan untuk tahun-tahun berikutnya dan bila direvisi dapat bertahan dalam waktu yang lama. 5) Buku pelajaran yang uniform memberi kesamaan mengenai bahan dan standar pengajaran. 6) Buku pelajaran memberikan kontinuitas pelajaran di kelas yang berurutan, sekalipun guru berganti. 7) Buku pelajaran memberikan pengetahuan dan metode mengajar yang lebih mantap bila guru menggunakannya dari tahun ke tahun.
Buku ajar haruslah mempunyai sudut pandang yang jelas, terutama mengenai prinsip-prinsip yang digunakan, pendekatan yang dianut, metode yang digunakan serta teknik-teknik pengajaran yang digunakan. Buku ajar sebagai pengisi bahan haruslah menyajikan sumber bahan yang baik. Susunannya teratur, sistematis, bervariasi, dan kaya akan informasi. Di samping itu harus mempunyai daya tarik kuat karena akan mempengaruhi minat siswa terhadap buku tersebut. Oleh karena itu, buku ajar itu hendaknya menantang, merangsang, dan menunjang aktivitas dan kreativitas siswa (Sakri, 2008).
Tidak kalah pentingnya, buku ajar harus berfungsi sebagai penarik minat dan motivasi peserta didik dan pembacanya. Motivasi pembaca bisa timbul karena bahasa yang sederhana, mengalir dan mudah dipahami. Motivasi bisa timbul karena banyak gagasan dan ide-ide baru. Motivasi bisa timbul, karena buku ajar tersebut mengandung berbagai informasi yang relevan dengan kebutuhan belajar peserta didik dan pembaca. Namun dalam penelitian ini tidak akan dibahas lebih jauh tentang buku ajar tetapi difokuskan kepada kelayakan buku ajar BSE (Buku Sekolah Elektronik) Sosiologi 2 terhadap siswa.
2. Buku BSE (Buku Sekolah Elektronik)
Sumber dan pembuat buku teks pelajaran dapat berasal dari berbagai macam. Esensi buku pelajaran adalah memberikan informasi dan materi kepada peserta didik melalui bahan yang berbentuk cetakan. Buku pelajaran memuat materi pelajaran ditambah dengan informasi yang relevan secara menyeluruh dan lengkap sehingga penggunaan buku teks pelajaran dapat digunakan berdampingan maupun tanpa sumber belajar atau media pembelajaran lainnya.
Pada umumnya buku pelajaran dikeluarkan atau diterbitkan oleh penerbit-penerbit yang banyak menawarkan ke tiap-tiap institusi pendidikan. Ini menjadikan satu institusi atau sekolah satu dengan yang lainnya dapat menggunakan buku teks yang berbeda pada materi pelajaran dan tingkatan kelas yang sama. Pemerintah juga menyelenggarakan program BSE (Buku Sekolah Elektronik) dimana BSE merupakan buku teks pelajaran yang disediakan secara gratis dan dapat diunduh (download) serta disebar luaskan tanpa pelanggaran hak cipta. Penerbit yang ingin mengambil keuntungan dari buku BSE ini juga tidak diperbolehkan menetapkan harga melebihi harga maksimal yang ditentukan.
Buku teks pelajaran merupakan bahan ajar dan sumber belajar yang mudah ditemukan dan digunakan. Setiap toko buku memiliki dan menjual buku pelajaran dengan harga yang terjangkau. Dalam penggunaan juga sangat mudah, peserta didik cukup membaca dan memahami materi yang
dituangkan dalam buku tersebut, tidak perlu keterampilan khusus lain yang diperlukan untuk menggunakan buku teks pelajaran. Ini juga yang merupakan bahan cetak ini banyak digunakan.
3. Jenis Buku dan Dampak Teknologi
Setiap saat manusia selalu berhadapan dengan informasi, baik dari media massa, iklan, buku dan jurnal, juga dari orang-orang yang ada di sekelilingnya. Sebagian besar informasi berasal dari pernyataan-pernyataan verbal. Seringkali pernyataan tentang suatu hal yang sama saling bertentangan. Contoh, Pelantikan Habibie sebagai Presiden RI pada tanggal 21 Mei 1998 setelah Soeharto berhenti dari jabatannya sebagai Presiden RI oleh sekelompok ahli hukum dianggap konstitusional, sedangkan oleh sekelompok lainnya dianggap inkonstitusional.
Informasi digunakan untuk membuat kesimpulan. Setiap orang bisa salah dalam mengambil kesimpulan karena menerima informasi yang salah. Para ilmuwan, praktisi hukum, psikolog, dan dokter bisa memberi saran yang salah karena tidak cermat menimbang informasi. Akibatnya, para pengguna jasa mereka sering dirugikan karena terlalu cepat percaya pada informasi yang tidak tepat.
Andi Prastowo (2012: 167-168) mengutip Surahman (2010: 4) yang membedakan jenis buku menjadi empat jenis, yaitu:
1) Buku sumber, yaitu buku yang biasa dijadikan rujukan, referensi, dan sumber untuk kajian ilmu tertentu, biasanya berisi kajian ilmu yang lengkap.
2) Buku bacaan, yaitu buku yang hanya berfungsi untuk bahan bacaan saja, misalnya cerita, legenda, novel dan lain sebagainya.
3) Buku pegangan, yaitu buku yang bisa dijadikan pegangan guru atau pengajar dalam melaksanakan proses pengajaran.
4) Buku teks, yaitu buku yang disusun untuk proses pembelajaran, berisi bahan-bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkan.
Dewasa ini, pendidikan beralih definisi menjadi pelatihan untuk menjadi ‗santapan borjuis’ atau ‗budak kapitalis’. Kinchelo (2014: 17)
menegaskan bahwa ―ketika tujuan pendidikan didefinisikan sebagai proses pelatihan tentang sesuatu yang diperlukan bisnis dan industri secara khusus, maka kualitas pendidikan akan menurun‖. Desakkan ekonomi global membawa masyarakat mencari sertifikat pendidikan demi kelangsungan hidup mereka, yaitu lapangan pekerjaan yang lebih menjanjikan, meski harus ditukar dengan hilangnya esensi pendidikan itu sendiri.
Di sisi lain, teknologi bermain peran secara dominan, dalam hal buku ajar pun muncul buku sekolah elektronik (BSE) dengan tujuan untuk mempermudah para siswa mendapatkan buku ajar, informasi yang berbasis komputerisasi dan alat komunikasi yang super canggih memberikan informasi kepada masyarakat global dari berbagai belahan dunia, sayangnya validitas informasi tersebut masih dipertanyakan, sedangkan persaingan individu abad 21 adalah persaingan berbasis pengetahuan. Hal ini memberi stimulus ―fetisisme materi‖ dan menggiring umat manusia pada ‗penyembahan raja Demos‘ (irasionalitas massa). Sehingga lahir mitos di abad 21 ―siapa yang menguasai teknologi, ia menguasai dunia‖.
Hadirnya internet dapat memberikan banyak informasi dengan cepat, akan tetapi paradoks teknologi informasi ini adalah terfragmentasikannya ilmu pengetahuan. Edward Said (2010) dalam prolog edisi ulang tahun orientalisme yang ke-5 mengatakan bahwa ―.mahasiswa kita saat ini justru sering terganggu oleh pengetahuan yang terfragmentasi (terpecah-pecah) yang sebagian besar bersumber dari internet dan media massa‖.
4. Berpikir Kritis
Definisi yang paling umum dari berfikir adalah berkembangnya ide dan konsep. Bochenski, dalam Suriasumantri. (1983:52) di dalam diri seseorang. Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui proses penjalinan hubungan antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam diri seseorang yang berupa pengertian-pengertian. ―Berpikir‖ mencakup banyak aktivitas mental. Kita berpikir saat memutuskan barang apa yang akan kita beli di toko. Kita berpikir saat melamun sambil menunggu kuliah pengantar sosiologi dimulai.Kita berpikir saat mencoba
memecahkan ujian yang diberikan di kelas. Kita berpikir saat menulis artikel, menulis makalah, menulis surat, membaca buku, membaca koran, merencanakan liburan, atau mengkhawatirkan suatu persahabatan yang terganggu.
Berpikir kristis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan. Berpikir kritis menurut Schafersman, S.D. (1991) adalah berpikir yang benar dalam rangka mengetahui secara relevan dan reliable tentang dunia. Berpikir kritis, adalah berpikir beralasan, mencerminkan, bertanggungjawab, kemampuan berpikir, yang difokuskan pada pengambilan keputusan terhadap apa yang diyakini atau yang harus dilakukan. Berpikir kritis adalah mengajukan pertanyaan yang sesuai, mengumpulkan informasi yang relevan, mengurutkan informasi secara efisien dan kreatif, menalar secara logis, hingga sampat pada kesimpulan yang reliable dan terpercaya.
Menurut Halpen (1996), berpikir kritis adalah memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif dalam menentukan tujuan. Proses tersebut dilalui setelah menentukan tujuan, mempertimbangkan, dan mengacu langsung kepada sasaran merupakan bentuk berpikir yang perlu dikembangkan dalam rangka memecahkan masalah, merumuskan kesimpulan, mengumpulkan berbagai kemungkinan, dan membuat keputusan ketika menggunakan semua keterampilan tersebut secara efektif dalam konteks dan tipe yang tepat. Berpikir kritis juga merupakan kegiatan mengevaluasi-mempertimbangkan kesimpulan yang akan diambil manakala menentukan beberapa faktor pendukung untuk membuat keputusan. Berpikir kritis juga biasa disebut directed thinking, sebab berpikir langsung kepada fokus yang akan dituju.
Tilaar (2011: 15-16) mengutip pendapat Ennis (1996), menyatakan bahwa berpikir kritis adalah suatu proses berpikir reflektif yang berfokus untuk memutuskan apa yang diyakini untuk diperbuat. Hal tersebut dalam berpikir kritis diarahkan kepada rumusan-rumusan yang memenuhi
kriteria tertentu untuk diperbuat. Paul (1990), menyatakan berpikir kritis adalah suatu kemampuan dan disposisi untuk mengevaluasi secara kritis suatu kepercayaan atau keyakinan, asumsi apa yang mendasarinya dan atas dasar pandangan hidup mana asumsi tersebut terletak. Lipman (1991) mendefinisikan berpikir kritis sebagai berpikir yang memfasilitasi keputusan oleh karena didasarkan kepada kriteria yang nyata, yang self-corrective dan substantif dalam konteks.
Lebih lanjut Mason (2007: 341-343) mengutip pendapat Ennis (1996), mendefinisikan konsep berpikir kritis terutama didasarkan pada keterampilan tertentu khususnya keterampilan mengamati, menyimpulkan, generalisasi, penalaran, mengevaluasi penalaran dan sejenisnya; Paul (1990) juga menekankan keterampilan yang terkait dengan berpikir kritis dalam arti lemah (kemampuan untuk berpikir kritis tentang posisi diri sendiri) dan berpikir kritis dalam arti kuat (kemampuan untuk berpikir kritis tentang posisi sendiri, argumen, asumsi, dan pandangan yang luas) termasuk pengetahuan yang mendalam tentang diri sendiri yang membutuhkan baik keberanian intelektual maupun kerendahan hati; Peck (1990) berpendapat bahwa berpikir kritis adalah khusus untuk disiplin tertentu yang tergantung pada pengetahuan yang menyeluruh dan pemahaman isi dan epistemologi dari disiplin; Siegel (1980) berpikir kritis adalah cara untuk memberikan alasan penilaian suatu komponen penting dalam domain disposisional; Martin (1997) menekankan disposisi terkait dengan berpikir kritis menunjukkan bahwa itu dimotivasi oleh dan didirikan pada perspektif moral khususnya nilai-nilai tertentu.
Pendapat senada dikemukakan Anggelo (1995:6), berpikir kritis adalah mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir yang tinggi, yang meliputi kegiatan menganalisis, mensintesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan, dan mengevaluasi.
Dari pendapat tersebut, tampak adanya persamaan dalam hal sistematika berpikir yang ternyata berproses. Berpikir kritis harus melalui beberapa tahapan untuk sampai kepada sebuah kesimpulan atau penilaian.
Penekanan kepada proses dan tahapan berpikir dilontarkan pula oleh Scriven, berpikir kritis yaitu proses intelektual yang aktif dan penuh dengan keterampilan dalam membuat pengertian atau konsep, mengaplikasikan, menganalisis, membuat sistesis, dan mengevaluasi. Semua kegiatan tersebut berdasarkan hasil observasi, pengalaman, pemikiran, pertimbangan, dan komunikasi, yang akan membimbing dalam menentukan sikap dan tindakan (Walker, 2001: 1).
Pernyataan tersebut ditegaskan kembali oleh Angelo (1995: 6), bahwa berpikir kritis harus memenuhi karakteristik kegiatan berpikir yang meliputi: analisis, sintesis, pengenalan masalah dan pemecahannya, kesimpulan, dan penilaian. Berpikir yang ditampilkan dalam berpikir kritis sangat tertib dan sistematis. Ketertiban berpikir dalam berpikir kritis diungkapkan MCC General Education Iniatives. Menurutnya, berpikir kritis ialah sebuah proses yang menekankan kepada sikap penentuan keputusan yang sementara, memberdayakan logika yang berdasarkan inkuiri dan pemecahan masalah yang menjadi dasar dalam menilai sebuah perbuatan atau pengambilan keputusan.
Berpikir kritis merupakan salah satu proses berpikir tingkat tinggi yang dapat digunakan dalam pembentukan sistem konseptual siswa. Menurut Ennis (1985: 54), berpikir kritis adalah cara berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan nalar yang difokuskan untuk menentukan apa yang harus diyakini dan dilakukan. Rand (2003: 16) menegaskan ―secara psikologis, pilihan untuk berpikir atau tidak adalah pilihan untuk fokus atau tidak. Secara eksistensial, pilihan untuk fokus atau tidak adalah pilihan untuk sadar atau tidak. Secara metafisik, pilihan untuk sadar atau tidak adalah pilihan untuk hidup atau mati‖, Berpikir yang kami maksud adalah menyerahkan segala putusan kepada akal, bukan asumsi common sense dengan maksud akal yang dikuasai oleh ego.
Dalam Jurnal oleh Patricia (2010: 197) tentang thinking critically mendefinisikan berpikir kritis secara formal dan informal. Definisi formal yang dijelaskan oleh Facione dan Sanchez (2010)sebagai berikut:
Critical thinking is a process of making reasoned judgments based on the consideration of available evidence, contextual aspects of a situation, and pertinent concepts [Berpikir kritis adalah sebuah proses pembuatan keputusan beralasan berdasarkan pertimbangan bukti yang tersedia, aspek kontekstual dari situasi, dan konsep yang bersangkutan].
Sedangkan definisi secara informal menurut Patricia (2010) adalah sebagai berikut:
less formal and more skeptical definition of critical thinking: deciding what to do and when, where, why, and how to do it [definisi kurang formal dan lebih skeptis terhadap pemikiran kritis: memutuskan apa yang harus dilakukan dan kapan, dimana, mengapa, dan bagaimana melakukannya].
Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa keterampilan berpikir kritis lebih mungkin untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang selalu adanya rasa ingin tahu dalam sebuah proses untuk memecahkan masalah.
Berpikir kritis sebagai suatu usaha. Usaha merupakan kegiatan yang membutuhkan pengorbanan baik tenaga, pikiran maupun materi. Sebagai suatu usaha, berpikir kritis bukan sesuatu yang langsung memberi hasil. Untuk menguasai keterampilan berpikir kritis diperlukan pengorbanan. Sebagai suatu usaha, berpikir kritis pun bukan kegiatan yang mudah dilakukan. Orang perlu belajar dan berlatih untuk dapat menguasainya. Setelah menguasai keterampilan berpikir kritis pun, orang perlu menyadari bahwa kegiatan berpikir kritis merupakan usaha untuk mendapatkan hasilnya. Orang yang berpikir kritis mengetahui bahwa tidak hanya ada satu cara yang benar untuk memahami dan mengevalusi informasi yang diterimanya. Ia juga memahami bahwa cara yang dipilihnya tidak langsung menjamin bahwa ia akan mengerti dan mengevaluasi secara benar informasi yang diterimanya secara aktif dan sistematis. Berpikir kritis adalah pendekatan yang umum terhadap masalah, bukan prosedur khusus yang selalu menghasilkan jawaban benar. Orang yang berpikir kritis harus
berusaha mencoba menggunakan berbagai cara untuk memahami dan mengevaluasi informasi yang diterimanya.
Berpikir kritis sebagai proses yang aktif. Ketika seseorang yang berpikir kritis menerima informasi baik secara lisan maupun tulisan, ia tidak hanya mendengar atau membaca setiap kata. Secara aktif, ia juga mencari arti dari setiap kata dan keterkaitannya serta bertanya ―Apakah informasi ini masuk akal?‖ Berpikir kritis sebagai proses yang sistematis dan masuk akal. Sebagai kegiatan yang sistematis, berpikir kritis menampilkan rangkaian proses yang tertib, teratur dan runut, jelas langkah-langkahnya dari awal hingga akhir. Sebagai kegiatan yang masuk akal, berpikir kritis merupakan kegiatan penyimpulan yang selalu melibatkan alasan-alasan relevan serta menunjukkan hubungan logis antara alasan dan kesimpulan. Dalam mencari arti, seseorang yang berpikir kritis menggunakan prinsip, metode dan teknik berpikir logis. Ia menganalisis informasi yang diterimanya dengan menggunakan proses yang sistematis. Dalam tahap ini orang yang berpikir kritis akan bertanya ―Dengan cara dan aturan apa saya bisa mengerti apa yang ingin disampaikan si pemberi informasi ini?‖.
Berpikir kritis didasarkan atas argumen. Unit dasar analisis dalam berpikir kritis adalah argumen. Sebuah argumen dimulai dengan penjelasan tentang ciri-ciri suatu objek (contoh: Salah satu ciri negara demokrasi adalah kekuasaan tertinggi di tangan rakyat) atau hubungan antara dua objek (contoh: makin tinggi suatu jabatan dalam sebuah negara demokrasi, makin besar pula pengawasan yang harus dilakukan terhadapnya). Argumen juga menunjukkan bukti untuk menunjang dan/atau memperkuat penjelasan (contoh: Indonesia negara demokrasi karena kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat). Orang yang berpikir kritis mampu mengenali, memahami, dan menganalisis argumen sehingga ia mampu menggunakan argumen secara tepat. Ia mampu menemukenali bagian-bagian dari argumen dan merumuskan argumen pemberi informasi dengan kata-kata sendiri. Ia merasa perlu menanyakan ―Apakah argumen dari si pemberi informasi menunjang informasi yang disampaikannya?‖.
Berpikir kritis mencakup pengevaluasian argumen. Orang yang berpikir kritis tidak hanya memahami argumen si pemberi informasi tetapi juga mampu memberi kritik terhadapnya. Ia mampu menentukan apakah argumen si pemberi informasi valid atau tidak. Ia akan memberi pertanyaan pada dirinya ―Haruskah saya menyetujui argumen ini?‖ dan ―Adakah kesalahan dalam argumen ini?‖ Jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu menjadi dasar dari pengevaluasian argumen.
Orang yang berpikir kritis menyelidiki asumsi yang melandasi keputusan, kepercayaan (belief), dan tindakan mereka. Ketika dihadapkan dengan ide-ide baru atau argumen yang persuasif, mereka mengevaluasinya secara hati-hati, memeriksa konsistensi logika yang digunakan, waspada terhadap asumsi-asumsi yang tersirat yang mungkin mendistorsi gagasan utama. Mereka memberi perhatian kepada konteks dari penggunaan ide atau tindakan yang ditampilkan. Orang yang berpikir kritis tidak begitu saja menerima solusi dan pernyataan absolut yang muncul. Mereka skeptis terhadap jawaban sederhana untuk problem yang kompleks. Alih-alih menerima jawaban yang tersedia mendadak atau petuah umum yang sudah klise, mereka lebih mengembangkan cara alternatif dalam memahami situasi dan mengambil tindakan.
Rubenfeld & Scheffer, (2006: 53) Berpikir kritis merupakan sebuah komponen esensial yang memperlihatkan kebiasaan berpikir seperti : percaya diri, perspektif kontekstual, kreativitas, fleksibilitas, rasa ingin tahu, integritas intelektual, intuisi, berpikiran terbuka, tekun dan refleksi. Para pemikir kritis melatih keterampilan kognitif dalam menganalisis, menerapkan standar, membedakan, mencari informasi, memberi alasan logis, memperkirakan, dan mengubah pengetahuan.
Siegel (1980: 156) dalam Reilly & Obermann, (2002: 231) menyatakan berpikir kritis memerlukan evaluasi terhadap ide. Berpikir kritis merupakan berpikir yang rasional. Berpikir kritis ini memerlukan kemampuan untuk mengevaluasi suatu pernyataan dan mengidentifikasi suatu alasan, misalnya bukti yang melandasi evaluasi tersebut. Siegel juga
mengatakan seseorang dapat dikatakan berpikir kritis jika seseorang mampu mengenali kepentingan dan memiliki keyakinan yang kuat terhadap alasan yang mendasari alasannya tersebut. Saat mengkaji tuntutan, mengevaluasi prosedur, atau membuat keputusan, dia mencari alasan yang mendasari pengkajian, evaluasi dan keputusannya.
Solso (2008: 402) mendefinisikan berpikir sebagai ―proses yang membentuk representasi mental baru melalui transformasi informasi oleh interaksi kompleks dari atribusi mental yang mencangkup pertimbangan, pengabstrakan, penalaran, penggambaran, pemecahan masalah logis, pembentukan konsep, kreativitas dan kecerdasan‖. Solso (2008: 402) menjelaskan bahwa ada tiga ide dasar tentang berpikir, yaitu: (1) Berpikir adalah kognitif—terjadi secara ―internal‖, dalam pemikiran—namun keputusan diambil lewat perilaku. Pemain catur dikatakan berpikir dalam menentukan pergerakannya. (2) Berpikir adalah proses yang melibatkan beberapa manipulasi pengetahuan dalam sistem kognitif. Ketika pemain catur sedang merenungkan gerakan, memori masa lalu berkombinasi dengan informasi masa sekarang untuk mengubah pengetahuannya akan situasi. (3) Berpikir bersifat langsung dan menghasilkan perilaku yang ―memecahkan‖ masalah atau langsung menuju solusi. Pergerakan catur selanjutnya dalam pemikiran pemainnya, langsung menuju kepada memenangkan permainan. Tidak semua tindakan berhasil, namun biasanya dalam pemikiran pemain, semua tindakan tersebut langsung menuju pada solusi.
Shirave dan Levy (2012: 124) juga mendefinisikan pemikiran kritis sebagai: strategi kognitif aktif dan sistematis untuk memeriksa, mengevaluasi, dan memahami kejadian, memecahkan masalah dan mengambil keputusan berdasarkan penalaran yang sehat dan bukti yang kuat; menjaga sikap terbuka dan skeptis; mengenali perbedaan antara fakta dan teori; berusaha meraih akurasi faktual dan konsistensi logis; mempertimbangkan dan menyintesiskan informasi secara objektif; melakukan penilaian dan mengambil kesimpulan/inferensi yang masuk akal; mengidentifikasi dan mempertanyakan asumsi dan keyakinan; mencari nilai
tersembunyi atau implisit; memandang kesamaan dan perbedaan antar fenomena; memahami relasi kausal; mereduksi cacat logika dan bias personal, seperti menghindari penyederhanaan yang berlebihan dan generalisasi berlebihan; mengembangkan toleransi atas ketidakpastian dan ambiguitas; mengeksplorasi perspektif alternatif dan penjelasan alternatif serta mencari solusi yang kreatif.
Dewey (dalam Fisher, 2009: 2) seorang bapak tradisi berpikir kritis modern mendefinisikan ‘berpikir reflektif’ sebagai ―Pertimbangan yang aktif, persistent (terus-menerus), dan teliti mengenai sebuah keyakinan atau bentuk pengetahuan yang diterima begitu saja dipandang dari sudut alasan-alasan yang mendukungnya (premis) dan kesimpulan-kesimpulan ( konklusi) lanjutan yang menjadi kecenderungannya‖.
Bagi Dewey (2009) berpikir kritis secara esensial adalah kesadaran aktif—proses di mana seorang individu memikirkan segala hal secara mendetail dan mendalam untuk individu itu sendiri, mempertanyakan segala hal yang mungkin berdasarkan penalaran ilmiah, tidak tinggal diam menerima begitu saja ketika mendapatkan sebuah informasi (skeptis). Dewey (2009) menyebutkan sebagai ―proses pertimbangan yang aktif secara terus menerus‖, hal ini mengindikasikan bahwa Dewey (2009) menuntut individu untuk introspektif akan segala informasi yang diterima.
Sebagaimana Glaser (dalam Fisher, 2009: 3) mendefinisikan berpikir kritis sebagai:
(1) Suatu sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah dan hal yang berada dalam jangkauan pengalaman seseorang; (2) Pengetahuan tentang metode-metode pemeriksaan dan penalaran yang logis; (3) Semacam suatu keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut. Berpikir kritis menuntut upaya keras untuk memeriksa keyakinan atau pengetahuan asumtif berdasarkan bukti pendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang mengakibatkannya.
Tampak jelas Glaser banyak mengadopsi Dewey, yang secara esensial senada dengan Rand (2003: 15) yang menyebutkan bahwa ―berpikir bukan kerja otomatis ... berpikir memerlukan kondisi kesadaran penuh dan terfokus. Tindakan memfokuskan kesadaran ... adalah volisional (atas
kemauan sendiri)‖. Tentu saja jelas kiranya, berpikir membutuhkan kehendak individu untuk fokus, namun manusia adalah hewan unik dan memiliki kemampuan yang unik: berbahasa. Berbahasa sama artinya dengan mengungkapkan apa yang dipikirkan individu yang kemudian menerjemahkannya menjadi simbol bahasa untuk mentransformasikan ide serta struktur logika individu kepada orang lain, maka jelas ungkapan seseorang mengindikasikan struktur logika penuturnya yang kemudian menjadi sebuah informasi.
Tujuan utama pendidikan adalah menegakkan peradaban, kebanyakan orang salah mengartikan peradaban, lazimnya term tersebut ditujukan pada teknologi maju dan bidang material lainnya, Russell (1988: 9) mengatakan bahwa ―peradaban dalam arti penting adalah sesuatu yang terdapat dalam jiwa, bukan pada peralatan materi dari sisi fisik kehidupan. Peradaban juga menyangkut soal pengetahuan dan sebagian lagi soal perasaan‖.
Kewajiban guru abad dua satu adalah mendidik peserta didiknya untuk menyesuaikan diri mereka (murid) dengan era globalisasi, tentu saja yang menjadi tujuan utama dalam pembelajaran di kelas adalah memancing daya keingintahuan murid untuk belajar, berarti mempelajari bagaimana belajar, sejalan dengan hal ini Joyce (2011: 7) menyatakan bahwa instrumen dalam pembelajaran untuk jangka panjang adalah ―bagaimana siswa mampu meningkatkan kapabilitas mereka untuk dapat belajar lebih mudah dan lebih efektif pada masa yang akan datang, baik karena pengetahuan dan skill yang mereka peroleh maupun penguasaan mereka tentang proses belajar yang lebih baik‖ yang berarti mampu memecahkan masalah secara efisien dan menguasai metakognitif, buku ajar seharusnya memuat aspek tersebut.
Kemampuan berpikir kritis dan kreatif sangat diperlukan oleh siswa mengingat bahwa dewasa ini ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat dan memungkinkan siapa saja bisa memperoleh informasi secara cepat dan mudah dengan melimpah dari berbagai sumber dan tempat manapun di dunia. Hal ini mengakibatkan cepatnya perubahan tatanan hidup serta perubahan global dalam kehidupan. Jika para siswa tidak dibekali
dengan kemampuan berpikir kritis dan kreatif maka mereka tidak akan mampu mengolah, menilai dan mengambil informasi yang dibutuhkannya untuk menghadapi tantangan tersebut. Oleh karena itu kemampuan berpikir kritis dan kreatif adalah merupakan kemampuan yang penting dalam mata pelajaran sosiologi.
Dalam bidang pendidikan, Aisyah (2011), mengemukakan bahwa berpikir kritis didefinisikan sebagai pembentukan kemampuan aspek logika seperti kemampuan memberikan argumentasi, silogisme dan pernyataan yang proposional. Menurut Beyer (dalam Wardhani, 2011), ―Berpikir kritis adalah kumpulan operasi-operasi spesifik yang mungkin dapat digunakan satu persatu atau dalam banyak kombinasi atau urutan dan setiap operasi berpikir kritis tesebut memuat analisis dan evaluasi‖.
Sedangkan Ennis (dalam Williawati, 2009:11) mengemukakan, ―Definisi berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan‖. Oleh karena itu, indikator kemampuan berpikir kritis dapat diturunkan dari aktivitas kritis siswa sebagai berikut: 1) Mencari pernyataan yang jelas dari setiap pertanyaan; 2) Mencari alasan; 3) Berusaha mengetahui informasi dengan baik; 4) Memakai sumber yang memiliki kredibilitas dan menyebutkannya; 5) Memperhatikan situasi dan kondisi secara keseluruhan; 6) Berusaha tetap relevan dengan ide utama; 7) Mengingat kepentingan yang asli dan mendasar; 8) Mencari alternatif; 9) Bersikap dan berpikir terbuka; 10) Mengambil posisi ketika ada bukti yang cukup untuk melakukan sesuatu; 11) Mencari penjelasan sebanyak mungkin apabila memungkinkan; 12) Bersikap secara sistematis dan teratur dengan bagian-bagian dari keseluruhan masalah.
Selanjutnya Fisher (dalam Agustine, 2009) menekankan indikator keterampilan berpikir kritis yang penting, meliputi: 1) Menyatakan kebenaran pertanyaan atau pernyataan; 2) Menganalisis pertanyaan atau pernyataan; 3) Berpikir logis; 4) Mengurutkan, misalnya secara temporal, secara logis, secara sebab akibat; 5) Mengklasifikasi, misalnya gagasan
objek-objek; 6) Memutuskan, misalnya apakah cukup bukti; 7) Memprediksi (termasuk membenarkan prediksi); 8) Berteori; 9) Memahami orang lain dan dirinya.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan menggunakan logika untuk membuat, menganalisis mengevaluasi serta mengambil keputusan tentang apa yang diyakini dan dilakukan.
Berpikir kritis merupakan suatu kompetensi yang harus dilatihkan pada peserta didik, karena kemampuan ini sangat diperlukan dalam kehidupan (Schafersman, 1999 dalam Arnyana, 2004). Guru perlu membantu siswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis melalui strategi, dan metode pembelajaran yang mendukung siswa untuk belajar secara aktif.
Salah satu kecakapan hidup (life skill) yang perlu dikembangkan melalui proses pendidikan adalah keterampilan berpikir. Morgan (1999) mengutip pendapat Marzano (1992) memberikan kerangka tentang pentingnya pembelajaran berpikir yaitu: 1) Berpikir diperlukan untuk mengembangkan sikap dan persepsi yang mendukung terciptanya kondisi kelas yang positif, (2) Berpikir perlu untuk memperoleh dan mengintegrasikan pengetahuan, (3) Perlu untuk memperluas wawasan pengetahuan, (4) Perlu untuk mengaktualisasikan kebermaknaan pengetahuan, (5) Perlu untuk mengembangkan perilaku berpikir yang menguntungkan.
Setiap saat manusia selalu berhadapan dengan informasi, baik dari media massa, iklan, buku dan jurnal, juga dari orang-orang yang ada di sekelilingnya. Sebagian besar informasi berasal dari pernyataan-pernyataan verbal. Sering kali pernyataan tentang suatu hal yang sama saling bertentangan. Contoh, Pelantikan Habibie sebagai Presiden RI pada tanggal 21 Mei 1998 setelah Soeharto berhenti dari jabatannya sebagai Presiden RI oleh sekelompok ahli hukum dianggap konstitusional, sedangkan oleh sekelompok lainnya dianggap inkonstitusional.
Informasi digunakan untuk membuat kesimpulan. Setiap orang bisa salah dalam mengambil kesimpulan karena menerima informasi yang salah. Para ilmuwan, praktisi hukum, psikolog, dan dokter bisa memberi saran yang salah karena tidak cermat menimbang informasi. Akibatnya, para pengguna jasa mereka sering dirugikan karena terlalu cepat percaya pada informasi yang tidak tepat.
Bagaimana caranya menghindari kerugian atau kecelakaan yang disebabkan oleh penggunaan informasi yang salah? Moore dan Parker (1986) mengemukakan satu cara, yaitu dengan berpikir kritis. Inti dari berpikir kritis adalah tidak begitu saja menerima atau menolak suatu informasi. Dalam berpikir kritis, informasi dipertimbangkan lebih dahulu sedemikian rupa sebelum diberi ‗vonis‘ diterima atau ditolak. Menurut Moore dan Parker, berpikir kritis memperbesar kemungkinan manusia memperoleh informasi yang benar. Informasi yang benar sangat membantu manusia mengambil tindakan yang tepat. Dengan melakukan pertimbangan yang hati-hati dan cermat sebelum memberi penilaian atau judgment, seseorang bisa terhindar dari penggunaan informasi yang menyesatkan.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa, orang yang berpikir kritis menyelidiki asumsi yang melandasi keputusan, kepercayaan (belief), dan tindakan mereka. Ketika dihadapkan dengan ide-ide baru atau argumen yang persuasif, mereka mengevaluasinya secara hati-hati, memeriksa konsistensi logika yang digunakan, waspada terhadap asumsi-asumsi yang tersirat yang mungkin mendistorsi gagasan utama. Mereka memberi perhatian kepada konteks dari penggunaan ide atau tindakan yang ditampilkan. Orang yang berpikir kritis tidak begitu saja menerima solusi dan pernyataan absolut yang muncul. Mereka skeptis terhadap jawaban sederhana untuk problem yang kompleks. Alih-alih menerima jawaban yang tersedia mendadak atau petuah umum yang sudah klise, mereka lebih mengembangkan cara alternatif dalam memahami situasi dan mengambil tindakan.
Secara umum berpikir kritis meliputi kegiatan: 1) Memperjelas pernyataan yang diterima atau diajukan, 2) Mencari tambahan informasi, 3) Mencari yang tersirat dari yang tersurat atau maksud-maksud yang tersembunyi, dan 4) Mengevaluasi pernyataan berdasarkan hasil ketiga kegiatan sebelumnya. Pernyataan yang terkena oleh empat kegiatan tersebut mencakup baik pernyataan orang lain atau pernyataan diri sendiri. Keempat kegiatan tersebut tidak harus dilakukan secara berurutan. Sering kali kita dapat maju selangkah ke kegiatan berikut, kemudian mundur kembali untuk mengulang kegiatan yang sebelumnya telah dilakukan.
Bentuk konkret dari kegiatan-kegiatan tersebut dapat berupa kegiatan mengajukan pertanyaan, observasi terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pernyataan, membandingkan informasi, mengajukan pernyataan sanggahan, menyampaikan evaluasi terhadap pernyataan yang disertai hasil analisis serta pertimbangkan yang berdasarkan pada berbagai sumber.
Hal utama yang dilakukan dalam kegiatan memperjelas pertanyaan adalah membuat jelas sesuatu yang masih mengandung keaksaan. Dalam kegiatan ini si penerima informasi memberikan tanggapan yang berusaha memperjelas pernyataan sebelum ia memberikan penilaian. Tujuannya adalah memastikan bahwa si penerima informasi benar-benar menangkap apa maksud si penyampai informasi.
Dalam mencari informasi si penerima pesan memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk mendapatkan informasi yang menunjang kejelasan dan fakta-fakta yang mendukung kebenaran pernyataan yang sedang ditanggapi. Selain dengan bertanya, pencarian informasi bisa dilakukan dengan cara melakukan observasi dan melakukan eksperimen untuk membuktikan kebenaran pernyataan.
Seseorang disebut melakukan kegiatan ini jika dalam tanggapannya ia mencari dan memberikan tambahan informasi atau memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk mendapatkan informasi yang menunjang kejelasan dari pernyataan yang di terima. Pertanyaan yang diajukan adalah tentang data-data atau fakta-fakta yang mendukung kebenaran pernyataan yang diterima.
Apa yang tersurat dari suatu pernyataan belum tentu sama dengan yang tersirat. Sering kali seseorang menyampaikan pernyataan-pernyataan yang mengandung makna konotatif sehingga maksud pernyataan tidak dapat begitu saja diterima secara harafiah. Selain itu, sebuah pernyataan dapat disertai dengan motif-motif tertentu yang tak terucapkan. Motif-motif itu bisa saja disembunyikan atau tidak muncul karena si pembuat pernyataan tidak mampu menyampaikannya. Dalam berpikir kritis si penerima informasi tidak hanya puas dengan apa yang jelas terungkap tapi selalu mencari apa yang tidak tampak.
Subyek disebut melakukan kegiatan ini jika dalam tanggapannya dia menuliskan asumsi-asumsi dan implikasi dari pernyataan yang dikemukakan. Subyek dapat pula menunjukkan maksud dari pernyataan yang tidak tertulis langsung dalam pernyataan tapi terkandung di dalamnya; atau jika subyek tidak hanya puas dengan apa yang jelas terungkap tapi selalu mencari apa yang tidak tampak dari pernyataan yang ditanggapi. Contoh:
Pernyataan yang akan ditanggapi:
―Tentu saja Pak Atmo bersedia berhenti dari jabatannya sebagai presiden. Siapa yang mau mengurusi negara yang kacau-balau seperti Indonesia saat ini?‖
Tanggapan:
Pernyataan di atas menyiratkan beberapa kemungkinan penafsiran makna selain ―Pak Atmo mau berhenti dari jabatan presiden.‖ Pertama, Pak Atmo tidak mau mengurusi negara Indonesia lagi; kedua, saat ini Indonesia sedang dalam keadaan kacau-balau; ketiga, tanpa didesak Pak Atmo akan minta berhenti dari jabatannya; keempat, Pak Atmo hanya mau jadi presiden kalau Indonesia tidak kacau-balau. kelima, Pak Atmo tidak mau bertanggung jawab atas kekacauan yang berlangsung di Indonesia; keenam, tidak ada yang mau jadi presiden Indonesia selama keadaan Indonesia masih kacau-balau; serta beberapa penafsiran makna tersirat lainnya.
Penafsiran atas apa yang tersirat dari sebuah pernyataan belum tentu sesuai dengan maksud si pemberi informasi dan kenyataan yang sebenarnya terjadi. Oleh karena itu dalam kegiatan mencari yang tersirat dari tersurat harus dilakukan secara hati-hati. Makna-makna tersirat itu harus diuji
kebenarannya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan penjelas, observasi terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pernyataan, membandingkan informasi, dan mengaitkannya pada konteks yang ada pada saat pernyataan itu diajukan. Kegiatan memperjelas pernyataan dan mencari tambahan informasi juga harus dilakukan dalam kegiatan mencari yang tersirat dari yang tersurat.
Tujuan dari berpikir kritis adalah mengevaluasi pernyataan untuk menentukan apakah pernyataan itu ditolak, diterima atau ditunda ‗vonis‘-nya. Evaluasi dilakukan dengan melibatkan hasil-hasil yang diperoleh dari tiga kegiatan berpikir kritis yang disebutkan di atas. Cara mengevaluasi pernyataan adalah dengan mengujinya. Empat cara berikut ini dapat dilakukan: 1) Menguji apakah pernyataan tersebut bertentangan dengan hasil pengamatan sendiri. 2) Menguji apakah pernyataan itu bertentangan dengan latar belakang pengetahuan penerima. 3) Menguji apakah sumber informasi cukup kredibel (dapat dipercaya). 4) Menguji apakah pernyataan itu bertentangan dengan informasi lain yang dikemukakan oleh sumber yang setara kredibilitasnya.
Pernyataan dianggap meragukan dan perlu ditolak apabila hasil pengujian terhadapnya menunjukkan hasil yang negatif. Artinya, pernyataan yang diuji menunjukkan adanya pertentangan-pertentangan terhadap hasil pengamatan, latar belakang pengetahuan penguji, dan berbagai pendapat para ahli, ditambah dengan adanya informasi yang menyatakan bahwa si pemberi pernyataan diragukan kredibilitasnya.
Pernyataan dapat diterima apabila pengujian terhadapnya menunjukkan hasil yang positif. Dengan kata lain pernyataan itu dapat dipercaya kebenarannya apabila tidak bertentangan dengan hasil pengamatan sendiri, latar belakang pengetahuan, dan berbagai pendapat para ahli, serta apabila si pemberi pernyataan memiliki kredibilitas yang tinggi. Jika hanya sebagian dari pengujian yang menunjukkan hasil positif, maka penerima pernyataan perlu mencari tambahan informasi, memperjelas pernyataan, dan mengujinya kembali. Sampai pada satu titik tertentu, jika
pernyataan tidak dapat melewati semua pengujian hanya sebagian saja yang memenuhi maka keputusan apakah menerima, menolak, atau menunda ‗vonis‘ tergantung pada si penerima informasi. Berpikir kritis tidak menyediakan jawaban pasti dan memang bukan jawaban. Berpikir kritis adalah sebuah cara penyelesaian masalah yang membantu mengarahkan penggunanya kepada jawaban-jawaban yang lebih mungkin benar.
Rath et al (1966) menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan kemampuan berpikir kritis adalah interaksi antara pengajar dan siswa. Siswa memerlukan suasana akademik yang memberikan kebebasan dan rasa aman bagi siswa untuk mengekspresikan pendapat dan keputusannya selama berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran.
Sedangkan berpikir kreatif adalah berpikir secara konsisten dan terus menerus menghasilkan sesuatu yang kreatif/orisinil sesuai dengan keperluan. Penelitian Brookfield (1987) menunjukkan bahwa orang yang kreatif biasanya (1) sering menolak teknik yang standar dalam menyelesaikan masalah, (2) mempunyai ketertarikan yang luas dalam masalah yang berkaitan maupun tidak berkaitan dengan dirinya, (3) mampu memandang suatu masalah dari berbagai perspektif, (4) cenderung menatap dunia secara relatif dan kontekstual, bukannya secara universal atau absolut, (5) biasanya melakukan pendekatan trial and error dalam menyelesaikan permasalahan yang memberikan alternatif, berorientasi ke depan dan bersikap optimis dalam menghadapi perubahan demi suatu kemajuan.
Marzano (1988) mengatakan bahwa untuk menjadi kreatif seseorang harus: (1) bekerja di ujung kompetensi bukan ditengahnya, (2) tinjau ulang ide, (3) melakukan sesuatu karena dorongan internela dan bukan karena dorongan eksternal, (4) pola pikir divergen/ menyebar, (5) pola pikir lateral/imajinatif.
Berfikir Kreatif adalah menghubungkan ide atau hal-hal yang sebelumnya tidak berhubungan. Dalam kenyataan teknik modern timbul semboyan yang menarik (jargon) atau istilah khas yang menjadi bahasa
golongan tertentu. Begitu pula tak terkecuali Berfikir Kreatif yang memiliki empat kata khas yaitu imajinatif. Tidak dapat diramalkan. Divergen dan lateral.
Definisi Berfikir Kreatif yang diberikan dalam Bab ini adalah menghubungkan ide atau hal-hal sebelumnya tidak berhubungan. Definisi ini memerlukan pejajaran fakta dalam pikiran kita. Apabila fakta itu digabungkan maka terlihatlah hubungan menyeluruh yang baru dan dapatlah ditemukan sesuatu. Sejarah ilmu pengetahuan memberikan banyak contoh penemuan baru semacam itu. Fakta telah diketahui sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu dan menunggu seseorang untuk menunjukkan hubungan antara fakta tersebut.
Kember (1997) menyatakan bahwa kurangnya pemahaman pengajar tentang berpikir kritis menyebabkan adanya kecenderungan untuk tidak mengajarkan atau melakukan penilaian keterampilan berpikir pada siswa. Seringkali pengajaran berpikir kritis diartikan sebagai problem solving, meskipun kemampuan memecahkan masalah merupakan sebagian dari kemampuan berpikir kritis (Pithers RT, Soden R., 2000).
Faktor yang menentukan keberhasilan program pengajaran keterampilan berpikir adalah pelatihan untuk para pengajar. Pelatihan saja tidak akan berpengaruh terhadap peningkatan keterampilan berpikir jika penerapannya tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan, tidak disertai dukungan administrasi yang memadai, serta program yang dijalankan tidak sesuai dengan populasi siswa (Cotton K., 1991).
Secara umum pembelajaran IPS harus mengikuti aturan yang ada dalam Standar Isi, salah satunya berpikir kritis. Namun, dalam materi sejarah strategi pembelajaran berpikir kritis ini dapat dilakukan melalui sajian sejumlah fakta yang didapat dari bacaan atau sumber lainnya. Anak didik dilatih menginterpretasikan untuk membangun suatu struktur proses perubahaan peristiwa. Dalam hal ini secara langsung telah dilatih anak didik memahami bahwa suatu peristiwa memiliki proses perubahan. Ini salah satu ciri khas yang tidak diperoleh anak didik melalui pembelajaran lainnya.
Setelah terbentuk pola perubahan, anak dilatih berpikir kritis pada setiap perubahan. Latihan pertama, adalah anak disuruh mencari fakta, membuat konsep dan menemukan sebab-akibat dari setiap proses perubahan dalam peristiwa sejarah. Latihan pertama, anak didik ditantang untuk membuktikan terjadi perubahan melalui fakta (kejadian) masing-masing proses perubahan (how), kapan terjadinya perubahan (when), dimana terjadinya (where) dan siapa pelakunya (Who). Latihan kedua, peserta didik dilatih menginterpretasi untuk menentukan konsep setiap fakta (kejadian) dengan memunculkan pertanyaan ‗apa namanya itu‘ (What)? Terakhir, peserta didik dilatih mencari penyebab dari masing-masing perubahan, dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan, mengapa terjadi perubahan (Why)? Demikian selanjutnya untuk perkembangan setiap perubahan dalam peristiwa sejarah latihan berulang ini akan membentuk keterampilan berpikir kritis seperti yang dimuat dalam kurikulum 2006. Salah satu contohnya yaitu, Kerajaan Samudera Pasai mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1297 – 1326 M? apa penyebabnya? Siapa rajanya? bagaimana pemerintahannya? mengapa ia mencapai puncak kejayaan? kapan terjadinya?
Strategi tersebut membuktikan dua hal dalam pengajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, yaitu: 1) Dengan menggunakan konteks yang relevan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis sekaligus meningkatkan prestasi akademisnya. 2) Cara penilaian yang memerlukan telaah yang lebih dalam, mendorong siswa untuk belajar secara lebih bermakna daripada sekedar belajar untuk menghapal.
Pertanyaan diberikan setelah memperoleh fakta-fakta dari setiap peristiwa sejarah yang akan dipelajari. Hal ini menunjukkan bahwa informasi yang diberikan telah disusun oleh pendidik dengan konsep yang jelas sehingga tidak memberikan pengalaman bagi siswa untuk menentukan informasi yang diperlukan untuk membangun konsep sendiri. Salah satu karakter seorang yang berpikir kritis adalah self regulatory, sehingga pengajaran tersebut dapat dikombinasikan dengan strategi lain agar siswa
dapat menentukan informasi secara mandiri. Sehingga setiap siswa memperoleh kesempatan untuk menyampaikan argumentasi dari jawaban pertanyaan yang diberikan. Penulis beranggapan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang dapat mendorong siswa untuk berpikir kritis dapat dimasukkan ke dalam study guide sebagai salah satu sumber belajar.
Pembelajaran kolaboratif melalui diskusi kelompok kecil juga direkomendasikan sebagai strategi yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis (Resnick L., 1990; Rimiene V., 2002; Gokhale A.A., 2005). Dengan berdiskusi siswa mendapat kesempatan untuk mengklarifikasi pemahamannya dan mengevaluasi pemahaman siswa lain, mengobservasi strategi berpikir dari orang lain untuk dijadikan panutan, membantu siswa lain yang kurang untuk membangun pemahaman, meningkatkan motivasi, serta membentuk sikap yang diperlukan seperti menerima kritik dan menyampaikan kritik dengan cara yang santun.
5. Taksonomi Tujuan Pembelajaran
Taksonomi Bloom yang baru, yang dikembangkan oleh Anderson adalah berupa alat bantu yang dapat mempermudah guru dan juga dapat menjadi alat bantu pembuatan instrumen pembelajaran. Widodo (2005) melakukan ulasan singkat mengenai taksonomi tujuan pembelajaran Bloom dkk. Ia melakukan perbandingan taksonomi tujuan pembelajaran yang diuraikan Bloom, Engelhart, Furst, Hill dan Krathwohl (1956) dalam buku ―The Taxonomy of Educational Objectives, The Classification of Educational Goals, Handbook I: Cognitive Domain‖ dan edisi revisi dalam buku ―A Taxonomy for Learning and Teaching and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives‖ yang di tulis oleh Anderson, Krathwohl, Airasian, Cruikshank, Mayer, Pintrich, Raths, dan Wittrock (2001). Widodo menyimpulkan bahwa Seperti halnya dengan taksonomi yang lama, penggunaan taksonomi tujuan pembelajaran yang baru ini juga sangat membantu guru dalam menyusun soal untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa. Dengan memperhatikan jenis pengetahuan dan jenis proses kognitif guru akan lebih mudah dalam mengembangkan soal sebab
jenis pengetahuan dan proses kognitif yang dituntut sudah lebih jelas, sedangkan taksonomi tujuan pembelajaran yang baru memiliki dua kelebihan yaitu: (1) dimensi pengetahuan dan dimensi proses kognitif dipisah sehingga guru dapat segera mengetahui jenis pengetahuan mana yang belum diukur. (2) taksonomi yang baru memungkinkan pembuatan soal yang bervariasi untuk setiap jenis proses kognitif. Apabila dalam taksonomi yang lama, hanya dikenal jenjang C1, C2, C3, dst. Dalam taksonomi yang baru tiap jenjang menjadi 4 kali lipat sebab ada 4 macam pengetahuan.
Dari kajian tersebut dapat disimpulkan bahwa taksonomi tujuan pembelajaran yang baru dapat membantu guru dalam kegiatan pembelajaran, seperti dalam buku ―A Taxonomy for Learning and Teaching and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives‖ yang di tulis oleh Anderson, Krathwohl, Airasian, Cruikshank, Mayer, Pintrich, Raths, dan Wittrock (2001) dan telah di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Agung Prihantoro (2010) dengan judul ―Kerangka Landasan untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen: Revisi Taksonomi Pendidikan Bloom‖.
Anderson dkk memisahkan jenis pengetahuan dan proses kognitif sebagaimana berikut:
Tabel 2.1 Matriks Tujuan Pembelajaran Dimensi
Pengetahuan
Dimensi Proses Kognitif
1. M en gin gat 2. M em ah ami 3. M en gap li k asik a n 4. M en gan ali sis 5. M en ge valu asi 6. M en cip ta A. Pengetahuan Faktual B. Pengetahuan Konseptual C. Pengetahuan Prosedural D. Pengetahuan Metakognitif
Sumber: Matriks Tujuan Pembelajaran (Anderson dkk, 2010: 40)
Tabel tersebut dapat membantu guru dalam merumuskan tujuan pembelajaran secara sistematis dan efisien, serta dapat menyesuaikan tingkat-tingkat kemampuan peserta didik dengan tujuan dalam pembelajaran, yaitu tujuan global atau kompetensi inti (KI) atau standar kompetensi (SK), tujuan pendidikan atau kompetensi dasar (KD) dan tujuan
instruksional atau indikator, untuk memperjelas langkah yang tepat bagi guru dalam merumuskan dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar.
Bagi guru, tujuan global harus diperinci menjadi tujuan-tujuan yang lebih spesifik dan fokus pada rencana dan praktek mengajar. Tujuan global dibutuhkan untuk ―menggugah imajinasi‖, tetapi sulit untuk menjadi panduan aktivitas pembelajaran, maka guru membutuhkan tujuan yang lebih spesifik (Anderson dkk, 2010: 24). Perbedaan ketiganya dapat diringkas sebagai berikut:
Tabel 2.2 Perbedaan Tujuan Global, Pendidikan dan Instruksional
Tingkat Pencapaian
Tingkat Tujuan
Global Pendidikan Instruksional
Cakupan Luas Sedang Sempit
Waktu untuk mencapainya
Satu tahun atau lebih (sering kali bertahun-tahun)
Dalam hitungan minggu atau bulan
Dalam hitungan jam atau hari
Fungsi Menjadi visi Merancang kurikulum Menyiapkan rencana pelajaran Contoh manfaat Merencanakan kurikulum tahunan Merencanakan unit pelajaran Merencanakan aktivitas, pengalaman dan latihan harian Sumber: Perbedaan Tujuan Global, Pendidikan dan Instruksional (Anderson dkk, 2010: 26)
Dari perbedaan tersebut maka nampak jelas, tujuan instruksional adalah hasil analisis guru dengan menyesuaikan keadaan kelasnya dan tujuan pendidikan. Untuk mempermudah guru dalam merumuskan tujuan instruksional, Anderson dkk membagi secara rinci setiap jenis pengetahuan menjadi beberapa subjenis pengetahuan sebagai perangkat analisis untuk
membantu menentukan jenis pengetahuan yang spesifik dan sistematis dalam kegiatan belajar dan pembelajaran sebagai berikut:
Tabel 2.3 Jenis dan Subjenis Pengetahuan
Jenis dan Subjenis Contoh
A. Pengetahuan Faktual; ―Elemen-elemen dasar yang harus diketahui siswa untuk mempelajari suatu disiplin ilmu atau untuk menjelaskan masalah-masalah dalam disiplin ilmu tersebut‖.
1. Pengetahuan tentang terminologi.
2. Pengetahuan tentang detail-detail elemen-elemen yang spesifik.
Kosakata teknis, simbol-simbol musik. Sumber-sumber daya alam pokok, sumber-sumber informasi yang reliabel
B. Pengetahuan Konseptual; ―Hubungan-hubungan antar elemen dalam sebuah struktur besar yang memungkinkan elemen-elemennya berfungsi secara bersama-sama‖.
1. Pengetahuan tentang klasifikasi dan kategori.
2. Pengetahuan tentang prinsip dan generalisasi.
3. Pengetahuan tentang teori, model dan struktur.
Periode Waktu Geologis, bentuk kepemilikan usaha bisnis.
Rumus Pytagoras, Hukum penawaran dan permintaan.
Teori evolusi, struktur Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
C. Pengetahuan Prosedural; ―Bagaimana melakukan sesuatu, mempraktikkan metode-metode penelitian, dan kriteria-kriteria untuk menggunakan keterampilan algoritme [urutan logis pengambilan keputusan untuk pemecahan masalah], teknik dan metode‖.
1. Pengetahuan tentang keterampilan dalam bidang tertentu dan algoritme.
2. Pengetahuan tentang teknik dan metode dalam bidang tertentu.
3. Pengetahuan tentang kriteria untuk menentukan kapan harus menggunakan prosedur yang tepat.
Keterampilan-keterampilan dalam melukis dengan cat air, algoritme pembagian seluruh bilangan.
Teknik wawancara, metode ilmiah.
Kriteria yang digunakan untuk menentukan kapan harus menerapkan prosedur hukum Newton, kriteria yang digunakan untuk menilai fisibilitas suatu metode.
D. Pengetahuan Metakognitif; ―Pengetahuan tentang kognisi secara umum dan kesadaran dan pengetahuan tentang kognisi diri sendiri‖.
1. Pengetahuan strategis.
2. Pengetahuan tentang tugas-tugas kognitif.
3. Pengetahuan-diri.
Pengetahuan tentang skema sebagai alat untuk mengetahui struktur suatu pokok bahasan dalam buku teks, pengetahuan tentang penggunaan metode penemuan atau pemecahan masalah.
Pengetahuan tentang macam-macam tes yang dibuat guru, pengetahuan tentang tuntutan beragam tugas kognitif.
Pengetahuan bahwa diri (sendiri) kuat dalam ‗mengkritisi esai, tetapi lemah dalam hal menulis esai; kesadaran tentang tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh diri (sendiri)‘.
Sumber: Jenis dan Subjenis Pengetahuan (Anderson dkk, 2010: 41-42)
Dari jenis pengetahuan di atas, guru membutuhkan klasifikasi proses kognitif untuk menentukan aktivitas pembelajaran. Anderson dkk membuat kategori-kategori pada dimensi proses kognitif secara komprehensif, pengklasifikasian tersebut dimaksudkan agar mudah dalam mengetahui
proses-proses kognitif siswa secara komprehensif dalam tujuan-tujuan pembelajaran, seperti dalam tabel berikut:
Tabel 2.4 Enam Kategori pada Dimensi Proses Kognitif dan Proses-Proses Kognitif Terkait
Kategori Proses Proses Kognitif dan Contohnya
A. Mengingat—Mengambil pengetahuan dari memori jangka panjang. 1. Mengenali
2. Mengingat kembali
(Mengenali tanggal terjadinya peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Indonesia)
(Mengingat kembali tanggal peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Indonesia) B. Memahami—Mengkonstruk makna dari materi pembelajaran, termasuk apa
yang diucapkan, ditulis, dan digambarkan oleh guru. 1. Menafsirkan 2. Mencontohkan 3. Mengklasifikasikan 4. Merangkum 5. Menyimpulkan 6. Membandingkan 7. Menjelaskan
(Memparafrasekan ucapan dan dokumen penting)
(Memberi contoh tentang aliran-aliran seni lukis)
(Mengklasifikasikan kelainan-kelainan mental yang telah diteliti atau dijelaskan) (Menulis ringkasan pendek tentang peristiwa-peristiwa yang ditayangkan di televisi)
(Dalam bahasa asing, menyimpulkan tata bahasa berdasarkan contoh-contohnya) (Membandingkan peristiwa-peristiwa sejarah dengan keadaan sekarang)
(Menjelaskan sebab-sebab terjadinya peristiwa-peristiwa penting pada abad ke-18
di Indonesia)
C. Mengaplikasikan—Menerapkan atau Menggunakan suatu prosedur dalam keadaan tertentu.
1. Mengeksekusi
2. Mengimplementasikan
(Membagi satu bagian dengan bilangan lain, kedua bilangan ini terdiri dari beberapa digit) (Menggunakan hukum Newton kedua pada konteks yang tepat)
D. Menganalisis—Memecah-mecah materi menjadi bagian-bagian penyusunan dan menentukan hubungan antar bagian tersebut dan hubungan antar bagian-bagian tersebut dengan keseluruhan struktur atau tujuan.
1. Membedakan
2. Mengorganisasi
3. Mengatribusikan
(Membedakan antara bilangan yang relevan dan bilangan yang tidak relevan dalam soal matematika)
(Menyusun bukti bukti dalam cerita sejarah menjadi bukti-bukti yang mendukung dan menentang suatu penjelasan historis)
(Menunjukkan sudut pandang penulis suatu esai sesuai dengan sudut pandang politik si penulis)
E. Mengevaluasi—Mengambil Keputusan berdasarkan kriteria dan/atau standar. 1. Memeriksa
2. Mengkritik
(Memeriksa apakah kesimpulan-kesimpulan seorang ilmuwan sesuai dengan data-data penelitian atau tidak)
(Menentukan satu metode terbaik dari dua metode untuk menyelesaikan suatu masalah) F. Mencipta—Memadukan bagian-bagian untuk membentuk sesuatu yang baru dan
1. Merumuskan
2. Merencanakan
3. Memproduksi
(Merumuskan hipotesis tentang sebab-sebab terjadinya suatu fenomena)
(Merencanakan Proposal penelitian tentang topik sejarah tertentu)
(Membuat habitat untuk spesies tertentu demi suatu tujuan)
Sumber: Enam Kategori pada Dimensi Proses Kognitif dan Proses-Proses Kognitif Terkait (Anderson dkk, 2010: 44-45)
Taksonomi tujuan pembelajaran ini dapat dijadikan panduan bagi guru. Taksonomi tujuan pembelajaran yang baru secara sistematis sudah memuat pembelajaran saintifik dan pembelajaran kritis. Fisher (2009 :3) mengutip definisi berpikir kritis Glaser bahwa berpikir kritis adalah:
1) Suatu sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah dan hal-hal yang berada dalam jangkauan pengalaman seseorang; 2) Pengetahuan tentang metode-metode pemeriksaan dan penalaran yang
logis dan semacam suatu keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut .
3) Berpikir kritis menuntut upaya keras untuk memeriksa setiap keyakinan atau pengetahuan asumtif berdasarkan bukti pendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang diakibatkannya.
Menggunakan taksonomi tujuan pembelajaran yang baru, dimulai dengan merumuskan tujuan dengan kata kerja dan kata benda. Kata kerja digunakan untuk menentukan kategori dimensi proses kognitif secara jelas, sedangkan kata benda digunakan untuk menentukan kategori dimensi pengetahuan secara jelas pula. cara mengajarkan sebuah disiplin ilmu (baik murni maupun terapan) secara sistematis. Sedangkan tujuan utama dalam pembelajaran saintifik dan juga pembelajaran kritis adalah agar siswa memiliki keaksaraan ilmiah (scientific literacy).
Laugksch mendefinisikan ―keaksaraan ilmiah‖ (scientific literacy) dalam Neuman (2013: 12) sebagai ―... kapasitas untuk memahami pengetahuan ilmiah; menerapkan konsep, prinsip, dan teori ilmiah;
menggunakan proses-proses ilmiah untuk memecahkan masalah dan mengambil keputusan; serta berinteraksi dalam cara yang mencerminkan nilai-nilai ilmiah inti‖.
Berkaitan dengan pembelajaran komunikatif rasional yang dikembangkan dari gagasan komunikasi rasional Habermas, Mezirow (2009: 91) menjelaskan bahwa:
[... pembelajaran instrumental terkait dengan pembelajaran yang melibatkan pengontrolan atau manipulasi lingkungan, peningkatan kinerja atau prediksi. Kita melakukan validasi dengan menguji secara empiris kepercayaan yang diperselisihkan tentang kebenaran sebuah pendapat bahwa sesuatu adalah sebagaimana yang dikatakan tentangnya. Pembelajaran instrumental terdapat pada pembelajaran mendesain mobil, membangun jembatan, mendiagnosis penyakit, menambal gigi, memperkirakan cuaca, dan mengerjakan hitungan akuntansi, juga dalam penelitian ilmiah dan matematika. Pengembangan logika pembelajaran instrumental bersifat hipotesis-deduktif. Pembelajaran komunikatif terkait dengan pemahaman tentang apa yang dimaksud oleh seseorang ketika ia berkomunikasi dengan kita di dalam percakapan, atau melalui sebuah buku, puisi, karya seni atau pertunjukan tari-tarian. Untuk memvalidasi atau mengesahkan pemahaman dalam pembelajaran komunikatif, kita harus menilai bukan hanya akurasi atau kebenaran dari apa yang sedang dikomunikasikan, melainkan juga tujuan, kelihaian, kejujuran dan ketulusan orang yang berkomunikasi tadi. Mengatakan kepada seseorang bahwa Anda mencintainya bisa mengandung banyak makna .... Tujuan wacana komunikatif adalah agar sampai kepada penilaian terbaik, bukan untuk menilai sebuah klaim kebenaran, seperti pada pembelajaran instrumental.]
Lebih lanjut Mezirow (2009) menyebutkan bahwa pembelajaran komunikatif melampaui pembelajaran instrumental, bukan menafikannya. Pembelajaran sosiologi, harus mengandung unsur kompetensi komunikatif dan analisisnya, ia tidak sekedar memfokuskan diri pada tumpukan fakta belaka, fakta-fakta ditinjau hanya untuk kepentingan akurasi dan kebenaran sebuah proses komunikasi yang di dalamnya juga melibatkan banyak disiplin lain (menjalankan integrasi antar disiplin yang relevan). Dalam pembelajaran komunikatif secara ilmiah, kita juga mengajarkan berpikir kritis baik untuk memvalidasi kebenaran sebuah informasi juga memvalidasi penilaian mengenai tujuan, kelihaian, kejujuran dan ketulusan orang yang