• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN. Pada hakekatnya pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN. Pada hakekatnya pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1.1. Latar Belakang

Pada hakekatnya pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara bertujuan untuk mewujudkan kehidupan seluruh masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera lahir dan batin. Dalam rangka mencapai tujuan luhur tersebut, pembangunan dilakukan pada seluruh bidang kehidupan masyarakat, yang meliputi bidang ekonomi, sosial budaya, politik, dan pertahanan keamanan, serta ideologi.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia (KPP RI) menegaskan bahwa pembangunan di berbagai bidang tersebut ditujukan untuk seluruh penduduk, tanpa membedakan laki-laki atau perempuan, namun kenyataannya hasil pembangunan ini belum dirasakan sama antara laki-laki dan perempuan. Kesenjangan gender masih terjadi di berbagai bidang pembangunan. Kondisi ini dapat ditunjukkan dari adanya perbedaan akses, kontrol, dan manfaat pembangunan di berbagai bidang antara laki-laki dan perempuan (KPP RI, 2007a).

Ketimpangan gender merupakan masalah global. Hal ini dapat dilihat dari nilai indeks pembangunan yang berkaitan dengan gender, yaitu gender-related development index (GDI) yang dibandingkan dengan nilai human development index (HDI). Indeks ini menangkap ketidaksetaraan pencapaian dalam pembangunan antara perempuan dan laki-laki. Semakin besar kesenjangan gender dalam pembangunan manusia dasar, semakin rendah GDI sebuah negara secara relatif terhadap HDI negara tersebut. Nilai GDI Indonesia, yaitu 0.704 harus diperbandingkan dengan nilai HDI Indonesia, yaitu 0.771. Disini nampak bahwa

(2)

nilai GDI Indonesia adalah 99 persen dari nilai HDI-nya. Dari 136 negara yang memiliki nilai HDI dan GDI, 80 negara mempunyai rasio yang lebih baik daripada Indonesia (UNDP, Undated).

Ketimpangan gender tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang, namun juga ditemui di negara-negara maju seperti Jepang. Yoshio (2000) menyebutkan bahwa meskipun Jepang telah memiliki konstitusi (dideklarasikan pada 3 November 1946) yang di dalamnya secara tegas menetapkan persamaan hak laki-laki dan perempuan, namun setengah abad setelah pengumuman kon-stitusi tersebut, realita dalam masyarakat Jepang menunjukkan bahwa persamaan gender yang ideal seperti yang diungkapkan dalam konstitusi, belum tercapai.

Pentingnya pencapaian kesetaraan peran perempuan dan laki-laki dalam pembangunan akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai suatu negara, serta membaiknya kesejahteraan masyarakat. Leadbetter (2008) menegaskan bahwa manfaat ekonomi dari kesamaan gender akan meningkatkan output dan mengembangkan kapasitas masyarakat. Pemberdayaan ekonomi perempuan memberikan kemungkinan bagi semua negara untuk mempunyai beberapa kombinasi dari peningkatan poduktivitas, lebih sedikit tekanan, dan kesehatan yang lebih baik.

Oleh sebab itu pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender yang dilandaskan pada Pasal 27 UUD tahun 1945 dan diperkuat melalui ratifikasi Konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman, CEDAW) ke dalam UU No. 7 tahun 1984, serta Landasan Aksi dan Deklarasi Beijing hasil Konferensi Dunia tentang Perempuan

(3)

Keempat di Beijing pada Tahun 1995 (KPP RI, 2000). Untuk lebih memberi ketegasan pada pentingnya pengarusutamaan gender di Indonesia, pada tahun 2000 lahir Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Inpres ini lalu diikuti dengan terbitnya aturan-aturan yang lebih rendah dan lebih operasional, yaitu Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 132 Tahun 2003 yang merupakan penyempurnaan dari Surat Edaran Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. 050/1232/SJ Tanggal 26 Juni 2001 tentang Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender. Sebagai panduannya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan juga telah menerbitkan Panduan Pelaksanaan Inpres No.9 Tahun 2000.

Perempuan memiliki peran yang besar dalam pembangunan, khususnya dalam sektor pertanian yang merupakan penghasil pangan bagi keperluan manusia. Meier (1995) mengemukakan bahwa setidaknya terdapat 3 (tiga) kontribusi penting perempuan di negara berkembang, yaitu (1) sebagai penyumbang pendapatan dalam rumahtangga, (2) menjaga status nutrisi anak, dan (3) berperan penting ketika terjadi krisis ekonomi.

Gender dan ketahanan pangan saling berhubungan. Penelitian FAO (Undated) memberikan gambaran umum mengenai perubahan dan peranan mutakhir perempuan dalam ketahanan pangan pada wilayah yang berbeda di dunia, khususnya dalam produsen pangan dan wilayah pertanian.

Dalam hal tidak terpenuhinya hak atas pangan yang layak, perempuan dan anak perempuan adalah kelompok yang paling menderita. Dalam kondisi pangan tersedia dan dapat diperoleh sekalipun, belum tentu perempuan dapat mengguna-kannya. Data FAO (Undated) menunjukkan bahwa di banyak negara, anak

(4)

perempuan yang meninggal jumlahnya dua kali lebih banyak dibandingkan anak laki-laki yang meninggal. Penyebab utamanya adalah kurang gizi dan penyakit-penyakit yang sebenarnya dapat dicegah. Demikian juga pada perempuan dewasa, jumlah yang menderita malnutrisi dua kali lebih banyak dibandingkan laki-laki (Esterlianawati, 2008).

Pentingnya pemenuhan pangan bagi setiap individu telah disadari oleh bangsa-bangsa di dunia. Berbagai pertemuan tingkat dunia telah diselenggarakan untuk menyatukan komitmen bersama. Salah satunya adalah KTT Milenium yang diselenggarakan pada Tahun 2000, dimana tujuan pertama adalah mengurangi kemiskinan dan kelaparan. Pada Tahun 2002 juga dilaksanakan Pertemuan Puncak Pangan Dunia di Roma yang disebut World for Summit, yang semakin mempertegas tentang pentingnya masalah pangan dan keharusan mencapai ketahanan pangan demi memenuhi hak paling mendasar bagi manusia, yaitu hak akan pangan.

Ketahanan pangan menjadi semakin penting, karena pangan bukan hanya merupakan kebutuhan dasar (basic need), tetapi juga merupakan hak dasar (basic right) bagi setiap umat manusia yang wajib dipenuhi (Hariyadi, 2009).

1.2. Permasalahan

International Labor Organization (1999) dalam Adioetomo et al. (2000) menyebutkan bahwa perempuan dan laki-laki adalah bagian dari perekonomian, merupakan konsumen sekaligus pekerja, sebagai anggota rumahtangga dan anggota masyarakat. Nilai-nilai tradisional Indonesia menempatkan laki-laki sebagai pekerja dan perempuan di rumah hingga beberapa waktu terakhir, bahkan di perdesaan nilai-nilai ini masih dipegang. Kondisi ini juga direfleksikan di

(5)

dalam pasar tenaga kerja, dimana perempuan Indonesia masih dianggap sebagai pekerja kelas dua.

Sektor pertanian yang meskipun pangsanya terhadap GNP nasional cenderung menurun, tetapi tetap memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia. Peran perempuan di pertanian sangatlah besar karena perempuan terlibat hampir di seluruh sub sistem agribisnis. Namun fakta menunjukkan bahwa upah yang dibayarkan pada perempuan lebih rendah dari laki-laki. Perempuan menerima penghargaan lebih rendah daripada laki-laki walaupun untuk pekerjaan dan tanggung jawab yang sama. Hal ini mengindikasikan adanya kesenjangan gender di sektor pertanian.

Beberapa masalah gender yang menonjol terjadi di Indonesia Timur di antaranya adalah rendahnya status kesehatan dan pendidikan perempuan dibandingkan laki-laki. Di Sulawesi Tenggara, tingkat buta aksara lebih banyak dialami perempuan daripada laki-laki. Data BPS dan BPM Sulawesi Tenggara (2006) menunjukkan bahwa pada tingkat universitas angka partisipasi sekolah perempuan di Sulawesi Tenggara lebih rendah daripada laki-laki, tetapi tidak berbeda untuk pendidikan dasar. Angka rata-rata putus sekolah perempuan juga lebih tinggi dari pada laki-laki. Sedangkan di bidang ketenagakerjaan jumlah perempuan usia produktif lebih banyak daripada laki-laki, tetapi lebih banyak laki-laki yang memasuki pasar kerja. Pada periode tahun 2002-2005, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan di Sulawesi Tenggara selalu lebih rendah (30-46 persen) daripada TPAK laki-laki (70-76 persen). Menurut Meier (1995), diskriminasi pekerja berkaitan dengan gender dapat dikurangi dengan mempertinggi tingkat pendidikan.

(6)

Indikasi ketimpangan gender di Sulawesi Tenggara dapat juga dilihat dari rendahnya nilai Indeks Pembangunan Gender (IPG). Data Tahun 2002 menunjukkan bahwa dari 30 provinsi di Indonesia, nilai IPG Sulawesi Tenggara adalah sebesar 56.8 yang berada diurutan ke-13, sedangkan nilai IPG rata-rata Indonesia sebesar 59.2. Nilai IPG tertinggi di Indonesia adalah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebesar 66.7 (BPS, BAPPENAS dan UNDP, 2004). Venny (2004) menegaskan bahwa diskriminasi yang terjadi antara perempuan dan laki-laki menunjukkan adanya ketidakadilan dalam masyarakat, dan pembangunan tanpa keadilan gender berakibat pada hasil yang dicapai sampai kapanpun tidak akan pernah maksimal.

Sektor pertanian memberikan sumbangan terbesar1

Meskipun pemerintah telah mengambil berbagai kebijakan untuk mencapai ketahanan pangan di Indonesia, namun sampai saat ini upaya itu belum memberikan hasil yang optimal. Banyaknya kasus kelaparan, kekurangan pangan, dan kasus busung lapar di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Sulawesi Tenggara, menjadi indikasi kuat belum berhasilnya pemerintah memenuhi salah satu hak paling asasi dari seorang manusia, yaitu hak atas pangan. Terlebih lagi terhadap PDRB Sulawesi Tenggara yaitu sebesar 42.37 persen (BPS Sulawesi Tenggara, 2007a). Perempuan juga banyak terlibat di sektor pertanian sebagai tenaga kerja yaitu sebesar 54.25 persen dari total penduduk yang berusia 10 tahun ke atas. Meskipun demikian lebih dari separuhnya berstatus sebagai pekerja yang tidak dibayar. Sementara laki-laki bekerja dengan status berusaha dan dibantu oleh tenaga kerja tak dibayar (BPS dan BPM Sulawesi Tenggara, 2006).

1

Dua lapangan usaha menyumbang 13-14 persen, sedangkan lima lapangan usaha lainnya sumbangannya di bawah 10 persen terhadap PDRB total Sulawesi Tenggara

(7)

kondisi akhir-akhir ini, ketika harga BBM dunia yang terus meningkat yang juga diikuti oleh meningkatnya harga-harga bahan pangan domestik, memungkinkan terjadinya kerawanan pangan di masyarakat semakin besar dan berpotensi menimbulkan gejolak sosial ekonomi dan politik. Kondisi tersebut dapat membahayakan ketahanan nasional, karena ketahanan pangan sangat mempengaruhi ketahanan dan stabilitas nasional.

Terdapat beberapa indikator yang menggambarkan kondisi belum tercapainya ketahanan pangan yang terjadi dalam masyarakat, antara lain dapat dilihat dari kondisi status gizi balita (usia dibawah lima tahun), anak usia sekolah (usia 6-15 tahun) dan status gizi penduduk umur 15 tahun ke atas. Dilihat dari Persentase Balita Menurut Status Gizi, dari 10 kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara, Konawe Selatan (Konsel) merupakan kabupaten dengan jumlah kasus gizi buruk tertinggi (Lampiran 1-3). Berdasarkan Kategori Status Gizi BB/U2

Untuk mencapai ketahanan pangan dalam rumahtangganya, perempuan dan laki-laki melakukan berbagai aktivitas untuk memperoleh penghasilan, baik berupa produk (natura) yang dapat dijadikan bahan pangan bagi anggotanya, atau produk lainnya yang dapat dijual, maupun penghasilan berupa uang tunai yang dapat digunakan untuk membeli berbagai kebutuhan terutama bahan makanan

, kasus gizi buruk di Konsel mencapai 11.4 persen. Dilihat dari Kategori Status Gizi TB/U, di Konsel terdapat sebanyak 28.8 persen kasus gizi buruk. Demikian juga bila dilihat dari Persentase Balita Menurut Status Gizi BB/TB, kasus gizi buruk di Konsel mencapai 10 persen (Departemen Kesehatan, 2008).

2

Status gizi diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Variabel BB dan TB anak ini disajikan dalam bentuk tiga indikator antropometri, yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)

(8)

yang diperlukan seluruh anggota rumahtangga. Upaya-upaya memperoleh penghasilan tersebut dilakukan dengan mengalokasikan waktunya untuk bekerja di dalam usahatani keluarga (on-farm), atau bekerja di luar usahatani keluarga (off-farm), bahkan di luar sektor pertanian (non-farm).

Sebagian besar petani di Sulawesi Tenggara bukanlah petani pangan, yang hasil produksinya dapat langsung dikonsumsi sebagai bahan pangan bagi seluruh anggota rumahtangga. Sebagian petani mengusahakan padi sawah, padi ladang, ubi kayu, jagung, sagu, sayuran, dan nelayan/petambak, namun umumnya petani di daerah ini mengusahakan tanaman perkebunan seperti kakao, jambu mete, dan lada. Komoditas ini harus dijual terlebih dahulu untuk memperoleh penghasilan. Dengan demikian, akses ekonomi menjadi syarat penting untuk memenuhi kebutuhan terhadap pangan. Kenapa ini menjadi penting, karena mereka umumnya harus membeli komoditas pangan yang diperlukan, karena umumnya tidak tersedia di dalam usahataninya. Bila usahatani mereka tidak memberikan pendapatan yang memadai, maka rumahtangga akan menghadapi kerentanan

pangan. Upaya apa yang dilakukan dalam menghadapi kondisi seperti ini?

Apakah pendapatan yang diperoleh dari usahatani non pangan tersebut cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan rumahtangga mereka, terutama kebutuhan akan pangan?

Ketahanan pangan juga sangat terkait dengan beberapa aspek lain di luar ketersediaan pangan itu sendiri. Nainggolan (2007)3

3

Harian Suara Pembaruan (2007)

menyebutkan bahwa masalah kelaparan dan kurang gizi disebabkan bukan hanya oleh kekurangan pangan, tetapi kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan kurangnya akses terhadap

(9)

fasilitas kesehatan, pendidikan, air bersih, dan lingkungan yang saniter. Hal ini menjelaskan bahwa hak atas pangan berkorelasi kuat antara lain dengan hak atas pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan.

Terkait pemenuhan kebutuhan pangan, menarik untuk dikaji mengenai kapabilitas masyarakat (perempuan dan laki-laki), serta peran gender dalam memenuhi kebutuhan tersebut dalam rangka mencapai ketahanan pangan setiap anggota rumahtangganya. Menurut Saliem et al. (2002), memantapkan ketahanan pangan merupakan prioritas utama dalam pembangunan, karena pangan merupakan kebutuhan yang paling dasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa.

Berdasarkan kenyataan yang ditunjukkan dengan terjadinya ketimpangan gender dan belum tercapainya ketahanan pangan di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara, maka menarik untuk dipertanyakan yaitu :

1. Bagaimana peran perempuan dan laki-laki dalam mencapai ketahanan pangan rumahtangga di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara? 2. Faktor-faktor apa yang menentukan keputusan perempuan dan laki-laki untuk

bekerja di luar usahatani keluarga?

3. Faktor-faktor apakah yang menentukan ketahanan pangan rumahtangga di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara?

1.3. Tujuan

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengalisis peran gender dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga di Sulawesi Tenggara, khususnya di Kabupaten Konawe Selatan. Secara spesifik, beberapa tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut.

(10)

1. Menganalisis peran perempuan dan laki-laki dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara.

2. Menganalisis faktor-faktor penentu keputusan perempuan dan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga.

3. Menganalisis faktor-faktor yang menentukan ketahanan pangan rumahtangga di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara.

1.4. Manfaat

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut.

1. Sebagai rujukan bagi pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, da-lam rangka pencapaian kesetaraan gender dan ketahanan pangan di Indonesia. 2. Sebagai bahan pembanding dan referensi untuk studi-studi dengan isu yang

relevan.

3. Bagi penulis, di samping untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam penyelesaian studi doktor, penelitian ini juga merupakan latihan dalam penerapan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh.

1.5. Lingkup dan Keterbatasan

Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumahtangga. Dari berbagai kajian diketahui bahwa ketersediaan pangan di tingkat nasional ataupun wilayah tidak menjamin tercapainya ketahanan pangan di tingkat rumahtangga. Dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhannya, terutama pangan, laki-laki dan perempuan dalam rumahtangga akan melakukan aktivitas baik di dalam usahataninya, di luar usahataninya ataupun di luar sektor pertanian.

(11)

Rumahtangga petani merupakan fokus utama penelitian ini, karena pertanian merupakan sektor penting di Sulawesi Tenggara yang melibatkan curahan kerja perempuan dan laki-laki serta penyedia pangan bagi masyarakat. Data menunjukkan bahwa sebagian besar kasus kerawanan pangan terjadi di daerah perdesaan yang menjadi basis sektor pertanian. Ketahanan pangan nasional akan tercapai bila setiap individu dalam rumahtangga sebagai unit sosial terkecil telah mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan.

Peran gender dalam pencapaian ketahanan pangan diukur dari : (1) penda-patan yang diperoleh masing-masing gender dari aktivitas produktif di luar usahatani keluarga, dan (2) alokasi waktu perempuan dan laki-laki dalam kegiatan produktif dan reproduktif dalam rumahtangga.

Dalam rumahtangga petani, terdapat bermacam-macam jenis usahatani yang dikelola petani dan keluarganya, baik pertanian tanaman pangan, pertanian non pangan, maupun kombinasi keduanya. Di Sulawesi Tenggara, di samping terdapat rumahtangga petani yang menanam komoditas pangan seperti padi, jagung, singkong, juga terdapat petani yang hanya menanam komoditas perkebunan seperti kakao dan lada, ataupun kombinasi keduanya, ataupun petani yang mengelola usaha perikanan (nelayan dan petambak). Dalam penelitian ini, rumahtangga contoh yang diambil meliputi petani tanaman pangan, pekebun dan nelayan. Untuk menangkap perbedaan perilaku yang mungkin ada antara rumahtangga yang tinggal di daerah yang masuk kategori rawan pangan dan tahan pangan, maka diambil rumahtangga sebagai contoh pada beberapa desa/kelurahan di daerah rawan pangan dan tahan pangan. Perlu disampaikan bahwa di desa yang masuk kriteria rawan pangan, di samping terdapat rumahtangga yang rawan

(12)

pangan, juga terdapat rumahtangga yang tahan pangan. Demikian juga di desa tahan pangan, di samping terdapat rumahtangga tahan pangan, juga terdapat rumahtangga rawan pangan.

Dalam penelitian ini akan dianalisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan perempuan dan laki-laki untuk bekerja dan atau berusaha di luar usahatani keluarganya. Dalam analisis gender, keputusan seorang perempuan atau laki-laki juga dipengaruhi oleh faktor-faktor non ekonomi, misalnya aspek sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat.

Dalam analisis keputusan gender untuk bekerja, kajian dibatasi hanya untuk keputusan perempuan (isteri) dan laki-laki (suami) dalam melakukan aktivitas ekonomi di luar usahatani keluarga. Terdapat dua alasan utama yang mendasari hal ini, yaitu (1) sebagai petani dipastikan bahwa melakukan berbagai aktivitas di dalam usahatani, merupakan kegiatan utama petani dan keluarganya, dan (2) meskipun kegiatan dalam usahatani keluarga merupakan hal yang penting, tetapi dari berbagai studi diketahui bahwa sumber pendapatan utama masyarakat petani dan keluarganya sebagian besar berasal dari luar usahatani. Fenomena ini juga terjadi di lokasi penelitian.

Untuk mengukur pencapaian ketahanan pangan rumahtangga dapat digunakan banyak ukuran. Indikator yang digunakan dalam penelitian adalah frekuensi makan anggota dalam sehari. Ukuran ini merupakan ’indikator langsung’ yang menggambarkan kemampuan rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggotanya. Dalam keadaan normal, sesuai dengan kebiasaan makan masyarakat di Indonesia (termasuk pada masyarakat Kabupaten Konawe Selatan), dalam sehari frekuensi makan adalah tiga kali (sarapan, makan

(13)

siang dan makan malam). Bila kebiasaan makan tersebut berubah, misalnya menjadi dua kali sehari, ini sebenarnya merupakan salah satu bentuk penyesuaian yang dilakukan rumahtangga untuk tetap menjaga keberlangsungan ketersediaan pangan seluruh anggota rumahtangga.

Beberapa keterbatasan penelitian ini adalah (1) indikator ketahanan pangan yang digunakan adalah ukuran kualitatif, yaitu frekuensi makan anggota rumahtangga, bukan intake (konsumsi) energi dan protein, dan (2) meskipun dalam penelitian ini unit analisisnya adalah rumahtangga, namun fokus kajian hanya pada peran suami dan isteri saja, tidak untuk anggota keluarga lainnya. Keterbatasan ini terjadi karena (1) mengukur kandungan gizi yang dikandung keseluruhan jenis pangan yang dikonsumsi dalam sebuah rumahtangga di samping merupakan pekerjaan yang memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang tidak sedikit, juga diperlukan tenaga pencacah dengan keahlian yang memadai, dan (2) dari pengamatan di lapangan nampak bahwa suami dan isteri merupakan pihak yang paling berperan dalam pemenuhan kebutuhan pangan rumahtangga, baik dari sisi sumbangan pendapatan, maupun dari alokasi waktu.

1.6. Kebaruan Penelitian

Analisis gender merupakan suatu analisis sosial yang memfokuskan perhatian pada relasi antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan rumahtangga dan masyarakat secara lebih luas, yaitu terkait peran dan fungsinya masing-masing. Dengan demikian nampak bahwa analisis seharusnya dilakukan secara seimbang terhadap kedua pihak tersebut. Dari analisis gender yang dilakukan beberapa peneliti nampak bahwa pembahasan lebih difokuskan pada perempuan saja. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa fenomena ketimpangan

(14)

gender yang terjadi dalam rumahtangga dan masyarakat, lebih banyak dialami kaum perempuan.

Dalam penelitian ini, pembahasan yang dilakukan difokuskan untuk kedua pihak, yaitu perempuan dan laki-laki secara seimbang tentang peran mereka dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga. Dengan demikian, analisis peran masing-masing gender akan dilihat secara lebih adil dan obyektif. Penelitian yang menganalisis peran gender yang mengaitkannya dengan pencapaian ketahanan pangan rumahtangga petani, merupakan penelitian yang masih langka dilakukan.

Analisis peran yang dilakukan masing-masing gender dengan pencapaian ketahanan pangan rumahtangga, disamping menggunakan analisis kualitatif, juga dilakukan analisis kuantitatif dengan menggunakan model logit. Dari kajian beberapa literatur nampak bahwa pada penelitian peran gender sebelumnya, analisis yang dilakukan lebih cenderung bersifat deskriptif-kualitatif.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya perbedaan pendapat tersebut, peneliti tertarik ingin mengetahui besar pendapatan dan keuntungan usahatani jamur merang, kelayakan usaha, faktor yang

Fasilitas SMA baik negeri maupun swasta di Kabupaten Batang berjumlah 13 buah pada tahun 2007, yang tersebar di 8 kecamatan yaitu : Kecamatan Bandar, Kecamatan Bawang,

Selain itu, penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang tingkat cemaran Salmonella sp pada es krim yang dijual oleh pedagang kaki lima, sehingga dapat menjadi bahan

ED PSAK 7 (Penyesuaian 2015) menambahkan persyaratan pihak-pihak berelasi bahwa suatu entitas berelasi dengan entitas pelapor ketika entitas, atau anggota dari kelompok yang

Pemberian latihan penguasaan strategi seranga hanya diberikan pada saat latihan permainanan (game). Beberapa pelatih ada yang belum memberikan model-model latihan

g) Yang ditetapkan sebagai Calon Ketua Umum untuk mengikuti Ronde Pemilihan 2 adalah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat 3.b;.. h) Ketentuan dan tata cara pemilihan umum Ronde

Apabila dalam perjanjian kerja antara perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya tidak memuat adanya pengalihan

Pada 28 Jun 2005, saya edarkan lembaran kerja kepada semua murid dalam kelas SBT Matematik Tahun 4A manakala untuk Otin, saya memberi satu latihan khas yang mana murid-murid