• Tidak ada hasil yang ditemukan

VIII. NILAI EKONOMI EROSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VIII. NILAI EKONOMI EROSI"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

VIII. NILAI EKONOMI EROSI

Pada bab ini akan dibahas tentang pengukuran nilai ekonomi dampak erosi lahan budidaya intensif terhadap on-farm di sub-sistem hulu waduk serta eksternalitas yang terjadi pada sub-sistem ekologi bendungan-waduk. Pengukur-an nilai ekonomi didekati dengPengukur-an konsep biaya on-site maupun off-site erosi serta harga bayangan ketebalan lapisan tanah melalui konsep user cost. Pembahasan nilai ekonomi erosi diawali dengan deskripsi dinamika cadangan atau stok dan ekstrasi sumberdaya ketebalan lapisan tanah (soil depth atau SD) dan kapasitas tampungan waduk.

8.1. Cadangan dan Ekstrasi Sumberdaya

Dinamika stok ketebalan lapisan tanah ditunjukkan dalam kolom SD; dan tingkat ekstrasinya diwakili oleh variabel kehilangan lapisan tanah kumulatif (CSL) pada setiap periode (Tabel 22 dan 23). Dinamika stok kapasitas waduk diwakili oleh volume tampungan mati yang belum terisi (Vsa2b) dan ekstrasi

setiap periode digambarkan oleh volume sedimen baru yang masuk ke dalam waduk setiap tahun (Vms) sebagaimana seperti yang terdapat pada Tabel 24.

Berdasarkan dinamika kondisi fisik ketebalan lapisan tanah pada Tabel 22 dapat diperoleh gambaran bahwa ekstrasi SD setiap periode di wilayah Sub-sub DAS Sumber Brantas paling tinggi terjadi pada lahan tegal, kemudian secara berurutan diikuti oleh lahan kebun dan sawah. Pada akhir horizon waktu (2020), CSL yang dihasilkan paket pola tanam apel pada lahan tegal relatif lebih besar daripada lahan kebun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada wilayah Sub-sub DAS yang sama dapat terjadi CSL yang bervariasi menurut klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan dan pola tanam.

(2)

Tabel 22. Ketebalan Lapisan Tanah dan Kumulatif Kehilangan Tanah Setiap Periode dari Aktivitas Optimal Sub-Sub DAS Sumber Brantas Menurut Klasifikasi Fungsi dan Kemiringan Lahan

Tahun

Sawah I Sawah II Tegal I Tegal II Kebun I

Pd-Pd-Sy Pd-Pd-Sy Kentang-Wortel Apel Apel SD CSL SD CSL SD CSL SD CSL SD CSL (cm) (mm) (cm) (mm) (cm) (mm) (cm) (mm) (cm) (mm) 2003 87.04 87.04 87.04 87.04 87.04 2004 87.04 0.03 87.03 0.05 86.91 1.31 86.95 0.89 87.00 0.41 2005 87.03 0.07 87.03 0.11 86.78 2.63 86.86 1.77 86.96 0.83 2006 87.03 0.10 87.02 0.16 86.65 3.94 86.77 2.66 86.92 1.24 2007 87.03 0.13 87.02 0.21 86.51 5.25 86.69 3.55 86.87 1.65 2008 87.02 0.17 87.01 0.27 86.38 6.57 86.60 4.43 86.83 2.07 2009 87.02 0.20 87.01 0.32 86.25 7.88 86.51 5.32 86.79 2.48 2010 87.02 0.23 87.00 0.37 86.12 9.19 86.42 6.21 86.75 2.89 2011 87.01 0.27 87.00 0.43 85.99 10.51 86.33 7.09 86.71 3.31 2012 87.01 0.30 86.99 0.48 85.86 11.82 86.24 7.98 86.67 3.72 2013 87.01 0.33 86.99 0.53 85.73 13.13 86.15 8.87 86.63 4.13 2014 87.00 0.37 86.98 0.59 85.60 14.45 86.06 9.75 86.59 4.55 2015 87.00 0.40 86.98 0.64 85.46 15.76 85.98 10.64 86.54 4.96 2016 87.00 0.43 86.97 0.69 85.33 17.07 85.89 11.53 86.50 5.37 2017 86.99 0.47 86.97 0.75 85.20 18.39 85.80 12.41 86.46 5.79 2018 86.99 0.50 86.96 0.80 85.07 19.70 85.71 13.30 86.42 6.20 2019 86.99 0.53 86.95 0.85 84.94 21.01 85.62 14.19 86.38 6.61 2020 86.98 0.57 86.95 0.91 84.81 22.33 85.53 15.07 86.34 7.03

Sumber: Olahan data

Ekstrasi SD setiap periode pada paket pola tanam kentang-wortel yang terjadi di wilayah Sub-sub DAS Bango relatif jauh lebih tinggi daripada di wilayah Sumber Brantas (Tabel 23); yakni 0.31 cm/th untuk Sub-sub DAS Bango dan 0.13 cm/th untuk Sumber Brantas. Kehilangan ketebalan lapisan tanah (Soil Loss atau SL) setiap periode maupun kumulatifnya (CSL) pada paket pola tanam Jg-Jg-Sy yang terjadi di wilayah Sub-sub DAS Metro menunjukkan angka yang paling tinggi; urutan berikutnya ditempati wilayah Lesti dan Amprong. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pola tanam yang sama pada lahan tegal kemiringan I (0–15%) akan terjadi keragaman CSL menurut Sub-sub DAS. Keragaman tersebut tidak hanya terjadi pada lahan tegal kemiringan I, namun juga pada klasifikasi fungsi lahan yang lain. Hal itu terjadi karena adanya keragaman tingkat erosi menurut wilayah. Dari kondisi tersebut selanjutnya perlu digali deskripsi hubungan antara tingkat erosi dan biaya erosi; yakni deskripsi

(3)

yang mencerminkan apakah suatu paket pola tanam yang menghasilkan tingkat erosi tinggi akan mempunyai biaya erosi yang tinggi. Untuk itu dapat ditinjau dari harga bayangan ketebalan lapisan tanah yang diuraikan pada sub-bab 8.3.

Tabel 23. Ketebalan Lapisan Tanah dan Kumulatif Kehilangan Tanah Setiap Periode dari Aktivitas Optimal pada Lahan Tegal Kemiringan I Menurut Sub-Sub DAS (cm)

Tahun

Bango Sb Brantas Amprong Lesti Metro

Kentang-Wortel Kentang-Wortel Jg-Jg-Sy Jg-Jg-Sy Jg-Jg-Sy SD CSL SD CSL SD CSL SD CSL SD CSL 2003 89.65 0 87.04 0 89.25 0 86.46 0 84.84 0 2004 89.34 0.31 86.91 0.13 89.15 0.10 86.33 0.13 84.51 0.33 2005 89.04 0.61 86.78 0.26 89.05 0.20 86.19 0.27 84.19 0.65 2006 88.73 0.92 86.65 0.39 88.95 0.30 86.06 0.40 83.86 0.98 2007 88.42 1.23 86.51 0.53 88.85 0.40 85.93 0.53 83.54 1.30 2008 88.11 1.54 86.38 0.66 88.75 0.51 85.79 0.67 83.21 1.63 2009 87.81 1.84 86.25 0.79 88.64 0.61 85.66 0.80 82.89 1.95 2010 87.50 2.15 86.12 0.92 88.54 0.71 85.53 0.93 82.56 2.28 2011 87.19 2.46 85.99 1.05 88.44 0.81 85.39 1.07 82.24 2.60 2012 86.89 2.76 85.86 1.18 88.34 0.91 85.26 1.20 81.91 2.93 2013 86.58 3.07 85.73 1.31 88.24 1.01 85.13 1.33 81.59 3.25 2014 86.27 3.38 85.60 1.44 88.14 1.11 84.99 1.47 81.26 3.58 2015 85.97 3.68 85.46 1.58 88.04 1.21 84.86 1.60 80.94 3.90 2016 85.66 3.99 85.33 1.71 87.94 1.31 84.73 1.73 80.61 4.23 2017 85.35 4.30 85.20 1.84 87.84 1.41 84.59 1.87 80.29 4.55 2018 85.04 4.61 85.07 1.97 87.74 1.52 84.46 2.00 79.96 4.88 2019 84.74 4.91 84.94 2.10 87.63 1.62 84.33 2.13 79.63 5.21 2020 84.43 5.22 84.81 2.23 87.53 1.72 84.19 2.27 79.31 5.53

Sumber: Olahan data

Apabila dinamika perubahan SD dan CSL setiap periode tersebut (Tabel 22 dan 23) disajikan dalam bentuk grafik, maka dapat diperoleh kecenderungan hubungan antara stok dan ekstrasi ketebalan lapisan tanah. Dalam hal ini CSL dianalogikan sebagai tingkat ekstrasi SD selama horizon waktu. Dalam bentuk grafik dinamika SD dan CSL pada lahan tegal kemiringan I dengan pola tanam Jg-Jg-Sy di wilayah Sub-sub DAS Metro disajikan pada Gambar 8. Kurve CSL berbentuk linier mencerminkan perubahan ekstrasi intertemporal yang konstan, sehingga menjadikan bentuk kurva SD juga linier, karena proporsi menurunnya SD ditentukan oleh kendala transisi pada persamaan (6.2). SL adalah konstan

(4)

karena besaran SL merupakan hasil bagi antara tingkat erosi dan berat jenis tanah; sementara tingkat erosi setiap hektar lahan tetap pada setiap periode.

Gambar 8. Dinamika Cadangan dan Ekstrasi Ketebalan Lapisan Tanah Lahan Tegal Kemiringan I (0– 5%) pada Pola Tanam Pd-Pd-Sy di Wilayah Sub-Sub DAS Metro

Volume stok air (Vsa1) dari Waduk Sengguruh setiap tahun mengalami

penurunan sebesar 0.45 juta m3 (Tabel 24) karena digantikan oleh sedimen

yang masuk kedalam waduk; yakni sebesar bertambahnya volume stok sedimen (Vss1). Sementara itu, agar manfaat bersih sosial menjadi maksimal,

pengeru-kan sedimen yang dilakupengeru-kan tahun 2007 adalah 0.24 juta m3. Pada kondisi riil di

lapangan, pengerukan telah dilakukan setiap tahun sejak beberapa tahun sebelum 2003 (PJT I, 1998).

Volume sedimen yang masuk Waduk Sengguruh pada tahun 2004 sampai 2006 menggantikan volume stok air sebesar 0.45 juta m3. Khusus pada tahun

2007, volume sedimen yang masuk Waduk Sengguruh sebagian menggantikan volume stok air (Vsa1) sebesar 0.21 juta m3 dan sebagian yang lain (0.24 juta m3)

dikeruk. Volume stok air (Vsa1) berkurang dan volume stok sedimen bertambah

(Vss1), yakni sebesar volume sedimen baru yang masuk.Pengerukan sedimen 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 2000 2005 2010 2015 2020 2025 Periode (Tahun) Soi l De pt h & Soi l Lo ss (cm)

(5)

setiap periode dari tahun 2008 hingga 2020 sebesar volume sedimen baru yang masuk waduk (Tabel 24), yaitu sebesar 0.45 juta m3.

Tabel 24. Pendugaan Volume Stok Air dan Volume Sedimen pada Waduk Sengguruh dan Sutami

Tahun

Sengguruh Sutami Vsa1 Vss1 Vks1 Wo1 Vsa2 Vss2 Vsa2a Vsa2b Wo2

. . . (juta m3) . . . (m3/det) . . . (juta m3) . . . (m3/det) 2003 2.00 0.32 . 26.74 175.12 61.00 146.12 29.00 36.95 2004 1.55 0.77 . 26.74 174.37 61.75 146.12 28.25 36.95 2005 1.10 1.22 . 26.74 173.62 62.50 146.12 27.50 36.95 2006 0.66 1.67 . 26.74 172.87 63.25 146.12 26.75 36.95 2007 0.21 2.11 0.24 26.73 172.12 64.00 146.12 26.00 36.94 2008 . 2.32 0.45 26.73 171.37 64.75 146.12 25.25 36.93 2009 . 2.32 0.45 26.73 170.62 65.50 146.12 24.50 36.93 2010 . 2.32 0.45 26.73 169.87 66.26 146.12 23.75 36.93 2011 . 2.32 0.45 26.73 169.12 67.01 146.12 23.00 36.93 2012 . 2.32 0.45 26.73 168.36 67.76 146.12 22.24 36.93 2013 . 2.32 0.45 26.73 167.61 68.51 146.12 21.49 36.93 2014 . 2.32 0.45 26.73 166.86 69.26 146.12 20.74 36.93 2015 . 2.32 0.45 26.73 166.11 70.01 146.12 19.99 36.93 2016 . 2.32 0.45 26.73 165.36 70.76 146.12 19.24 36.93 2017 . 2.32 0.45 26.73 164.61 71.51 146.12 18.49 36.93 2018 . 2.32 0.45 26.73 163.86 72.26 146.12 17.74 36.93 2019 . 2.32 0.45 26.73 163.11 73.01 146.12 16.99 36.93 2020 2.32 . 19.90 162.36 73.76 146.12 16.24 .

Sumber: Olahan data

Batas fasilitas operasi minimal Waduk Sengguruh adalah elevasi operasi 291.40 m, yakni dengan volume sebesar 1.36 juta m3 (Tabel 4). Secara teknis,

volume stok sedimen (Vss1) lebih besar dari 1.36 juta m3 akan dilakukan

pengerukan sedimen. Pengerukan dilakukan agar turbin pada PLTA Sengguruh tetap berfungsi. Pada tabel 24 tampak bahwa Vss1 pada tahun 2006 sebesar

1.67 juta m3 volume tersebut lebih besar daripada volume stok sedimen yang

diperbolehkan. Agar turbin pada PLTA Sengguruh masih tetap berfungsi, semestinya pada tahun 2006 ada aktivitas pengerukan sedimen sebanyak 0.31 juta m3. Hasil pendugaan volume sedimen yang dikeruk (VKS

1) yang terdapat

dalam Tabel 24 didasarkan pada rumusan kendala pada persamaan (6.3b). Hal tersebut belum mencerminkan batas fasilitas operasi minimal Waduk Sengguruh

(6)

pada elevasi 291.40 m. Oleh karena itu, maka dalam perumusan optimasi dinamik perlu ditambahkan persamaan batas atas dari variabel Vss1 sebesar

1.36 juta m3.

Dari Tabel 24 juga dapat diinformasikan bahwa: (1) pendugaan volume air yang tersimpan pada tampungan efektif Waduk Sutami selama horizon waktu sebesar volume yang dipertahankan (146.12 juta m3), (2) kapasitas tampungan

mati Waduk Sutami pada setiap periode (Vsa2b(t) – Vsa2b (t+1)) semakin

berkurang sebesar 0.75 juta m3, yakni sebesar perubahan volume stok sedimen

dalam waduk (Vss2(t)–Vss2 (t+1)), dan (3) kapasitas tampung mati Waduk

Sutami yang belum terisi hingga akhir horizon waktu sebesar 16.24 juta m3.

Hasil pendugaan volume sedimen yang tertahan dalam Waduk Sutami yang terjadi setiap periode (0.75 juta m3) tersebut jauh lebih kecil dari kondisi riil

di lapangan. Rata-rata yang diperoleh dari data sekunder menunjukan bahwa sedimen yang terjadi tiap tahun sebesar 3.96 juta m3 (Tabel 5). Hal tersebut

terjadi karena tingkat erosi setiap paket pola tanam yang dipergunakan sebagai dasar pendugaan relatif kecil bila dibandingkan dengan keadaan riil.

Perubahan volume kapasitas tampungan mati Waduk Sutami selama horizon waktu disajikan pada Gambar 9. Dengan membandingkan dua periode dapat diinterpretasikan bahwa volume tampungan mati Waduk Sutami (Vsa2b)

selama periode perencanaan terjadi perubahan sebesar 5%. Volume air yang tersimpan dalam tampungan efektif (Vsa2a) adalah konstan sepanjang periode

perencanaan, yakni 146.12 juta m3 yang merupakan asumsi untuk

(7)

Gambar 9. Pendugaan Volume Tampungan Efektif dan Tampungan Mati Waduk Sutami pada Tahun 2003 dan 2020

Deskripsi hubungan antara stok dan ekstrasi sumberdaya di DTA Waduk Sutami-Sengguruh disajikan pada Gambar 10. Sebaran stok sumberdaya selama horizon waktu membentuk kurva linier dengan kelerengan (slope) negatif, sedangkan ekstraksi sumberdaya mempunyai slope positif.

Massa sedimen yang konstan pada setiap periode menghasilkan perubah-an volume sedimen yperubah-ang tertahperubah-an dalam Waduk Sutami (Vss2) menjadi konstan,

yakni sebesar 0.75 juta m3. Kapasitas tampungan mati yang belum terisi

dianalogikan sebagai stok sumber-daya, sedangkan kumulatif volume sedimen baru yang tertahan dalam Waduk Sutami pada setiap periode (kumulatif perubahan Vss2) dianalogikan sebagai ekstrasi stok sumberdaya. Dengan

volume stok sedimen Waduk Sutami yang konstan pada setiap periode, menjadikan pengurangan kapasitas tampungan mati juga konstan (Tabel 24).

Kurva cadangan dan ekstrasi tampungan mati Waduk Sutami pada Gambar 10 mendeskripsikan hubungan antara kapasitas tampungan mati yang

a. Kondisi tahun 2003 b. Kondisi tahun 2020

Vsa2b =12% Vsa2a = 62% Vss2 = 26% Vsa2b = 7% Vsa2a = 62% Vss2 = 31%

(8)

belum terisi (Vsa2b) dan kumulatif sedimen yang masuk (kumulatif perubahan

Vss2) setiap periode. Stok sumberdaya yang cenderung semakin kecil antar

waktu; dan ekstrasi stok sumberdaya tampak semakin besar. Deskripsi yang terjadi tersebut diharapkan mampu menggambarkan dinamika stok dan ekstrasi sumberdaya pada sub-sistem ekologi bendungan-waduk.

Gambar 10. Dinamika Cadangan dan Ekstrasi Tampungan Mati Waduk Sutami

Pengaruh perubahan aktivitas pola tanam terhadap perubahan kapasitas tampungan waduk secara matematis dapat dilihat melalui persamaan (6.10a) untuk Waduk Sengguruh dan persamaan (6.10b) untuk Waduk Sutami. Dari persamaan tersebut dapat mendeskripsikan fenomena arah perubahan yang terjadi serta faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan. Apabila terjadi peningkatan aktivitas pola tanam seluas satu hektar (Xijk) akan menyebabkan: (1) inflow air meningkat sebesar ds, dan (2) kapasitas tampungan waduk menurun

sebesar volume sedimen baru yang tertahan. Besarnya (magnitude) perubahan kapasitas tampungan waduk dipengaruhi oleh berat jenis sedimen (KVS), rasio transportasi sedimen (SDR) setiap Sub-sub DAS, dan tingkat erosi per hektar dari paket pola tanam yang dikelola (eijk).

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 2000 2005 2010 2015 2020 2025 Periode (tahun) TM yg b el um te risi & E kstr as i TM ku mu la tif (ju ta m3 ) Kumulatif perubahan (VSS2) Tampungan mati yg blm terisi (VSA2B)

(9)

8.2. Pendugaan Biaya On-Site Erosi

Sebagaimana telah dijelaskan di depan, bahwa besarnya biaya on-site erosi didekati dengan nilai sekarang (present value atau PV) dari pendapatan bersih yang akan datang sebagai akibat dari erosi tanah yang terjadi pada saat ini. Pendapatan bersih tersebut secara matematis ditunjukan oleh unsur kedua sebelah kanan tanda sama dengan (right hand side) pada persamaan (6.12a). Dari perubahan PV pendapatan per hektar pola tanam apel (aktivitas pola tanam optimal pada lahan tegal II) dari Sub-sub DAS Sumber Brantas (tabel 20) dan besaran SL setiap tahun pada Tabel 23, maka dapat diperoleh pendugaan besaran biaya on-site erosi yang disajikan pada Tabel 25.

Dari Tabel 25 terdapat tendensi bahwa biaya on-site erosi semakin kecil antar periode. Pendapatan bersih yang diperoleh pada tahun 2004 seiring dengan terjadinya SL akibat aktivitas pertanian selama tahun 2003, yakni sebesar Rp 6.55 juta/mm/ha.

Tabel 25. Pendugaan Biaya On-Site Erosi pada Pola Tanam Apel Lahan Tegal Kemiringan II di Wilayah Sub-Sub DAS Sumber Brantas

Tahun Pendapatan (juta Rp/ha) SL Biaya on-site erosi

PV Delta (mm) (ribu Rp/mm/ha) (juta Rp/mm/ha)

2003 64 126 2004 58 294 5 832 0.89 6 552.81 6.55 2005 52 993 5 301 0.89 5 956.18 5.96 2006 48 173 4 820 0.89 5 415.73 5.42 2007 43 792 4 381 0.89 4 922.47 4.92 2008 39 810 3 982 0.89 4 474.16 4.47 2009 36 189 3 621 0.89 4 068.54 4.07 2010 32 898 3 291 0.89 3 697.75 3.70 2011 29 906 2 992 0.89 3 361.80 3.36 2012 27 186 2 720 0.89 3 056.18 3.06 2013 24 714 2 472 0.89 2 777.53 2.78 2014 22 466 2 248 0.89 2 525.84 2.53 2015 20 423 2 043 0.89 2 295.51 2.30 2016 18 566 1 857 0.89 2 086.52 2.09 2017 16 877 1 689 0.89 1 897.75 1.90 2018 15 342 1 535 0.89 1 724.72 1.72 2019 13 947 1 395 0.89 1 567.42 1.57

(10)

Dengan membandingkan antara besaran PV pendapatan per hektar dan biaya on-site erosi, tampak bahwa biaya on-site erosi pada periode t+1 hampir sama dengan PV pendapatan per hektar pada periode t. Hal tersebut karena pengukuran biaya on-site erosi hanya didasarkan pada pendekatan nilai perubahan produktivitas, serta tanpa mempertimbangkan investasi dalam bentuk biaya pembuatan dan perawatan bangunan teras.

8.3. Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah

Nilai ekonomi dampak erosi dapat didasarkan pada konsep user cost, yaitu melalui harga bayangan atau biaya kesempatan (opportunity cost) pada periode yang akan datang (t+1) yang diakibatkan dari keputusan ekstrasi SD pada periode saat ini (t). Hasil pendugaan besaran biaya disajikan dalam bentuk present value (ρλ1ijk(t+1)) maupun dalam bentuk nominal (λ1ijk(t+1)).

Valuasi ekonomi dampak erosi terhadap kehilangan ketebalan lapisan tanah (soil loss) per hektar didekati dengan harga bayangan (shadow price) yang ditunjukan oleh angka pengganda Lagrange yang terkait dengan kendala transisi (motion equation) ketebalan lapisan tanah. Dari perspektif ekonomi sumberdaya, pengganda Lagrange dari kendala transisi disebut dengan user cost, yakni yang mencerminkan harga bayangan dari state variable. Besarnya harga bayangan dari perumusan optimasi dinamik problem diskrit adalah λ(t+1) (Conrad, 1999;

Sagarra dan Taylor, 1987). Berdasarkan formula Lagrange pada persamaan (6.7), besarnya dampak erosi terhadap SD adalah λ1ijk(t+1). Besaran tersebut

mencerminkan perubahan PV manfaat sosial bersih dari perubahan satu cm SD dari klasiikasi fungsi dan kemiringan lahan ke-i dengan pola tanam optimal ke-j pada Sub-sub DAS ke-k.

(11)

Tabel 26. Pendugaan Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah pada Beberapa Aktivitas Pola Tanam Optimal pada Beberapa Klasifikasi Lahan Wilayah Sub-Sub DAS Sumber Brantas (ribu Rp/cm/ha)

Tahun Pd-Pd-Sy Apel Sawah I λ113(t+1) Sawah II λ122(t+1) Tegal II λ1417(t+1) Kebun I λ1519(t+1) Kebun II λ1623(t+1) PV (ρλt) Nominal (λt) PV (ρλt) Nominal (λt) PV (ρλt) Nominal (λt) PV (ρλt) Nominal (λt) PV (ρλt) Nominal (λt) 2004 1 804.18 1 984.60 1 804.46 1 984.90 177.72 195.50 173.63 190.99 174.89 192.38 2005 1 594.58 1 929.45 1 594.86 1 929.78 157.59 190.68 153.57 185.82 154.81 187.32 2006 1 404.04 1 868.77 1 404.31 1 869.13 139.21 185.28 135.31 180.10 136.51 181.70 2007 1 230.81 1 802.02 1 231.07 1 802.41 122.42 179.23 118.70 173.79 119.84 175.46 2008 1 073.32 1 728.59 1 073.56 1 728.97 107.08 172.46 103.58 166.82 104.66 168.55 2009 930.14 1 647.80 930.36 1 648.19 93.08 164.89 89.82 159.13 90.82 160.90 2010 799.97 1 558.92 800.18 1 559.33 80.29 156.47 77.30 150.64 78.22 152.43 2011 681.63 1 461.14 681.82 1 461.54 68.61 147.07 65.91 141.28 66.74 143.06 2012 574.05 1 353.58 574.21 1 353.95 57.95 136.64 55.54 130.96 56.28 132.71 2013 476.24 1 235.24 476.39 1 235.63 48.21 125.04 46.11 119.58 46.75 121.26 2014 387.32 1 105.07 387.44 1 105.42 39.31 112.16 37.52 107.05 38.07 108.62 2015 306.48 961.87 306.58 962.19 31.19 97.89 29.71 93.23 30.16 94.66 2016 232.99 804.33 233.07 804.62 23.77 82.06 22.59 78.00 22.96 79.25 2017 166.17 631.04 166.24 631.28 17.00 64.55 16.12 61.23 16.39 62.24 2018 105.43 440.40 105.47 440.58 10.81 45.16 10.23 42.75 10.41 43.49 2019 50.21 230.69 50.22 230.77 5.16 23.71 4.88 22.41 4.96 22.81

(12)

Pada Tabel 26 hingga Tabel 29 tampak bahwa harga bayangan ketebalan lapisan tanah (user cost of soil erosion atau UCSE) selama horizon waktu cenderung menurun, baik dalam nilai nominal maupun nilai sekarang. Deskripsi kecenderungan UCSE yang semakin menurun antar periode mirip dengan hasil kajian Walker (1982) dan Van Kooten et al. (1989). Diuraikan bahwa semakin dalam SD, besarnya UCSE tahun berjalan (current) semakin menurun; serta pada SD 12 inchi UCSE semakin kecil antar waktu. Besaran yang terdapat pada Tabel 26 hingga 29 tersebut dapat diinterpretasikan bahwa setiap kenaikan satu cm SL akibat dari akivitas pola tanam ke-j pada lahan ke-i di wilayah ke-k pada periode t akan menyebabkan UCSE periode t+1 sebesar λ1ijk(t+1).

Secara umum dapat dideskripsikan bahwa UCSE terkecil terjadi pada pola tanam tebu pada lahan kebun kemiringan I (0–15%); sedangkan tertinggi dari paket pola tanam Kentang-Wortel pada lahan tegal kemiringan I. Secara spesifik, dari wilayah Sub-sub DAS Sumber Brantas (Tabel 30) terdapat tendensi bahwa harga bayangan ketebalan lapisan tanah dari paket pola tanam Pd-Pd-Sy pada lahan sawah kemiringan I relatif sama dengan lahan sawah kemiringan II. UCSE dari aktivitas optimal tanaman apel pada lahan kebun kemiringan II (≥ 15%) relatif sama dengan kemiringan I; dan pada lahan tegal klasifikasi kemiringan II sedikit lebih tinggi.

Hasil UCSE lahan tegal klasifikasi kemiringan I dengan pola tanam Kentang-Wortel di Sub-sub DAS Sumber Brantas relatif lebih tinggi daripada Bango (Tabel 27). Rata-rata selisih nilai nominal selama horizon waktu sebesar Rp 18 000. UCSE pola tanam Jg-Jg-Sy tertinggi terjadi di wilayah Sub-sub DAS Metro; yang diikuti oleh Lesti dan Amrong.

Dari hasil pendugaan harga bayangan ketebalan lapisan tanah di wilayah Sub-sub DAS Metro (Tabel 28) dapat diperoleh kecenderungan bahwa UCSE

(13)

Tabel 27. Pendugaan Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah (dari Beberapa Aktivitas Pola Tanam Optimal pada Lahan Tegal Kemiringan I (0–15%) di Beberapa Wilayah Sub-Sub DAS (ribu Rp/cm/ha)

Tahun

Paket Pola Tanam dan Sub-sub DAS Kentang-Wortel

λ1311k(t+1)

Jg-Jg-Sy λ139k(t+1)

Bango Sb. Brantas Amprong Lesti Metro

PV (ρλt) Nominal (λt) PV (ρλt) Nominal (λt) PV (ρλt) Nominal (λt) PV (ρλt) Nominal (λt) PV (ρλt) Nominal (λt) 2004 2 617.64 2 879.40 2 656.11 2 921.72 1 647.82 1 812.60 1 702.27 1 872.50 1 756.71 1 932.39 2005 2 318.67 2 805.59 2 349.73 2 843.18 1 457.50 1 763.58 1 506.06 1 822.33 1 556.60 1 883.49 2006 2 046.04 2 723.27 2 070.84 2 756.29 1 284.30 1 709.41 1 327.43 1 766.80 1 374.03 1 828.84 2007 1 797.42 2 631.61 1 816.97 2 660.23 1 126.67 1 649.56 1 164.80 1 705.38 1 207.47 1 767.86 2008 1 570.71 2 529.65 1 585.88 2 554.07 983.22 1 583.49 1 016.74 1 637.47 1 055.52 1 699.92 2009 1 363.98 2 416.37 1 375.51 2 436.80 852.66 1 510.55 881.95 1 562.42 916.88 1 624.32 2010 1 175.45 2 290.63 1 184.02 2 307.31 733.85 1 430.06 759.23 1 479.52 790.40 1 540.28 2011 1 003.54 2 151.18 1 009.70 2 164.38 625.72 1 341.28 647.51 1 387.99 675.01 1 446.95 2012 846.77 1 996.64 851.02 2 006.67 527.31 1 243.36 545.79 1 286.95 569.74 1 343.41 2013 703.81 1 825.51 706.58 1 832.69 437.75 1 135.40 453.19 1 175.47 473.69 1 228.64 2014 573.45 1 636.12 575.10 1 640.82 356.24 1 016.39 368.89 1 052.48 386.07 1 101.49 2015 454.57 1 426.64 455.41 1 429.26 282.06 885.22 292.14 916.85 306.12 960.74 2016 346.17 1 195.06 346.45 1 196.05 214.55 740.69 222.26 767.31 233.18 805.01 2017 247.31 939.17 247.27 939.02 153.11 581.44 158.65 602.46 166.64 632.81 2018 157.17 656.52 156.99 655.80 97.20 406.02 100.73 420.78 105.93 442.48 2019 74.96 344.45 74.81 343.75 46.31 212.80 48.00 220.58 50.54 232.21

(14)

Tabel 28. Pendugaan Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah (λ1ij5(t+1)) Beberapa Aktivitas Pola Tanam Optimal pada Beberapa

Klasifikasi Lahan di Sub-Sub DAS Metro (ribu Rp/cm/ha)

Tahun

Jg-Jg-Sy (λ1ij5(T+1)) Jeruk (λ1ij5(T+1))

Tegal I Tegal II Sawah II Kebun I Kebun II

PV (ρλt) Nominal (λt) PV (ρλt) Nominal (λt) PV (ρλt) Nominal (λt) PV (ρλt) Nominal (λt) PV (ρλt) Nominal (λt) 2004 1 756.71 1 932.39 1 740.03 1 914.04 249.22 274.15 186.47 205.12 187.36 206.09 2005 1 556.60 1 883.49 1 540.21 1 863.65 220.67 267.01 165.10 199.77 165.96 200.82 2006 1 374.03 1 828.84 1 358.17 1 807.72 194.65 259.08 145.62 193.81 146.45 194.93 2007 1 207.47 1 767.86 1 192.32 1 745.68 170.93 250.25 127.86 187.20 128.66 188.37 2008 1 055.52 1 699.92 1 041.24 1 676.93 149.31 240.46 111.68 179.87 112.44 181.08 2009 916.88 1 624.32 903.60 1 600.78 129.62 229.62 96.94 171.74 97.64 172.98 2010 790.40 1 540.28 778.21 1 516.51 111.66 217.59 83.50 162.73 84.15 163.98 2011 675.01 1 446.95 663.98 1 423.30 95.30 204.28 71.26 152.75 71.84 154.00 2012 569.74 1 343.41 559.91 1 320.24 80.38 189.54 60.10 141.72 60.62 142.95 2013 473.69 1 228.64 465.11 1 206.37 66.79 173.23 49.94 129.52 50.39 130.70 2014 386.07 1 101.49 378.74 1 080.58 54.39 155.19 40.67 116.04 41.06 117.14 2015 306.12 960.74 300.05 941.69 43.11 135.29 32.23 101.14 32.55 102.15 2016 233.18 805.01 228.37 788.40 32.82 113.30 24.53 84.69 24.79 85.57 2017 166.64 632.81 163.07 619.25 23.44 89.00 17.52 66.53 17.71 67.25 2018 105.93 442.48 103.58 432.66 14.89 62.21 11.13 46.49 11.25 47.01 2019 50.54 232.21 49.38 226.88 7.10 32.60 5.31 24.38 5.37 24.66

(15)

pada pola tanam Jg-Jg-Sy jauh lebih tinggi daripada pola tanam tunggal jeruk. UCSE lahan sawah II dengan pola tanam jeruk relatif lebih tinggi daripada lahan kebun; dan UCSE antara lahan kebun klasifikasi kemiringan I relatif sama dengan kemiringan II.

Harga bayangan ketebalan lapisan tanah pola tanam Pd-Pd-Sy lahan sawah kemiringan I yang tertinggi terjadi pada wilayah Sub-sub DAS Metro kemudian diikuti oleh Lesti, Sumber Brantas dan Bango (Tabel 33). Dari tabel tersebut juga tercermin bahwa harga bayangan ketebalan lapisan tanah beragam menurut wilayah Sub-sub DAS.

Tabel 29. Pendugaan Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah (λ113(t+1)) Pola Tanam Pd-Pd-Sy pada Lahan Sawah

Kemiringan I (0–15%) Menurut Sub-Sub DAS (ribu Rp/cm/ha) Sub-sub DAS

Tahun Bango Sb Brantas Lesti Metro ρλ1131t λ1131t ρλ1132t λ1132t ρλ1134t λ1134t ρλ1135t λ1135t 2004 6 451.87 7 097.05 29 038.25 31 942.07 26 432.21 29 075.43 9 945.91 10940.50 2005 5 702.38 6 899.88 25 664.84 31 054.46 23 361.68 28 267.64 8 790.54 10636.55 2006 5 020.99 6 682.94 22 597.99 30 077.92 20 570.17 27 378.89 7 740.15 10302.13 2007 4 401.52 6 444.26 19 809.83 29 003.56 18 032.30 26 401.09 6 785.20 9934.21 2008 3 838.34 6 181.68 17 275.03 27 821.61 15 725.04 25 325.34 5 917.02 9529.43 2009 3 326.33 5 892.79 14 970.58 26 521.30 13 627.43 24 141.83 5 127.74 9084.10 2010 2 860.84 5 574.97 12 875.54 25 090.79 11 720.42 22 839.78 4 410.17 8594.17 2011 2 437.66 5 225.33 10 970.89 23 517.07 9 986.69 21 407.36 3 757.80 8055.18 2012 2 052.92 4 840.68 9 239.31 21 785.81 8 410.50 19 831.51 3 164.71 7462.22 2013 1 703.15 4 417.52 7 665.09 19 881.26 6 977.53 18 097.91 2 625.51 6809.89 2014 1 385.15 3 952.00 6 233.92 17 786.09 5 674.76 16 190.76 2 135.30 6092.27 2015 1 096.06 3 439.89 4 932.80 15 481.25 4 490.37 14 092.71 1 689.64 5302.82 2016 833.23 2 876.52 3 749.92 12 945.75 3 413.60 11 784.69 1 284.47 4434.35 2017 594.28 2 256.77 2 674.54 10 156.55 2 434.68 9 245.68 916.12 3478.98 2018 377.05 1 575.01 1 696.87 7 088.26 1 544.70 6 452.59 581.24 2427.99 2019 179.55 825.03 808.05 3712.97 735.59 3380.01 276.79 1271.83

Sumber: Olahan data

Dari Tabel 26 hingga 29 tersebut, tampak adanya kecenderungan bahwa UCSE di DTA Waduk Sengguruh-Sutami bervariasi menurut: (1) paket pola tanam, (2) klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan, dan (3) wilayah Sub-sub DAS. Dengan asumsi bahwa penerapanan teknologi di seluruh DTA, harga komoditi dan biaya per hektar yang sama; maka keragaman UCSE bisa jadi disebabkan

(16)

oleh perbedaan nilai produk marjinal dari setiap komoditas (persamaan 6.12a). Karena tingkat erosi yang berbeda mengakibatkan tingkat respon terhadap produk fisik marjinal juga berbeda. Dengan memperhatikan sebaran hasil pendugaan UCSE (Tabel 26 hingga 29) dan tingkat erosi (Tabel 15 dan 16), tidak didapatkan adanya kecenderungan hubungan langsung antara tingkat erosi yang tinggi akan diikuti dengan UCSE yang tinggi.

Pendugaan besaran biaya implisit erosi atau harga bayangan ketebalan lapisan tanah (λ1t+1) juga ditentukan oleh besaran user cost kendala transformasi

kapasitas tampungan Waduk Sengguruh (λ2t+1) dan Sutami (λ4t+1). Berdasarkan

persamaan (6.7) tercermin bahwa marjinal manfaat sosial bersih pada periode ke-t sama dengan harga bayangan atau biaya kesempatan dari ketebalan lapisan tanah dan kapasitas tampungan waduk.

Dari hasil kajian Walker (1982), McConnell (1983), Segarra dan Taylor (1987), Van Kooten et al. (1989), serta Barbier (1990) dapat disimpulkan bahwa beberapa faktor yang mempunyai sumbangan terhadap besaran pendugaan user cost atau harga bayangan ketebalan lapisan tanah adalah: (1) ketebalan lapisan tanah, (2) harga komoditas, (3) produk marjinal fisik dari kehilangan lapisan tanah, (4) harga input, (5) nilai produk marjinal dari input produktif (pf1),

dan (6) tingkat bunga. User cost pada kajian McConnell (1983) dan Barbier (1990) ditunjukkan oleh besaran λ(t); karena perumusan optimasi dinamik didasarkan pada problem kontinyu.

Dari nilai nominal biaya implisit erosi yang terjadi pada pola tanam Pd-Pd-Sy lahan tegal kemiringan I di Wilayah Bango dari Tabel 29 didapatkan kurva user cost intertemporal seperti yang terdapat pada Gambar 11. Kurva biaya implisit erosi mempunyai kelerengan atau

(17)

slope negatif. Kodisi tersebut mencerminkan biaya kesempatan semakin kecil antar periode. Hal itu dapat diinterpretasikan bahwa biaya kesempatan setiap periode yang akan datang semakin kecil karena ketersediaan lapisan tanah (sebagai sumberdaya) di daerah penelitian relatif tebal. Sementara itu, apabila pergerakan user cost yang semakin meningkat selama periode perencanaan (time horizon) mencerminkan sumberdaya yang tersedia semakin sedikit.

Gambar 11. Kurva Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah dari Pola Tanam Pd-Pd-Sy pada Lahan Sawah Kemiringan I (0–15%) Sub-Sub DAS Bango

Pada Gambar 12 menjelaskan hubungan antara UCSE dan SD; yakni antara hasil pendugaan λ1ijk(t+1) 0 500 1000 1500 2000 2500 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020 Periode (Tahun) No mina l harga ba yan gan ( user c ost) So il D ep th ( r ib u Rp /cm/ ha)

(18)

yang terdapat pada Tabel 23 dan perubahan SD yang terdapat pada Tabel 27. Kurva tersebut menunjukan hubungan yang positif; yang menggambarkan penurunan ketebalan lapisan tanah (SD) akan diikuti dengan UCSE yang semakin kecil seiring dengan bertambahnya periode waktu.

Perubahan biaya implisit erosi didasarkan pada kerangka logika turunan parsial fungsi Lagrange persamaan yang berkenaan dengan perubahan state variable ketebalan lapisan tanah sebagaimana seperti yang terdapat pada persamaan (6.12a). Dalam tataran teoritis, salah satu syarat dalam pemecahan optimasi dinamik adalah kondisi orde pertama yang berkenaan dengan perubahan state variable sama dengan nol (Conrad, 1999 dan Chiang, 1992). Pengganda Lagrange antar waktu; yakni (λt+1–λt) mencerminkan tambahan nilai

marjinal manfaat bersih dari fungsi tujuan karena tambahan satu unit sumberdaya. Disamping itu dari beberapa peneliti (McConnell, 1983; Saliba, 1985; dan Segarra dan Taylor, 1987) telah mengapli-kasikannya untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan biaya implisit erosi.

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 84 85 86 87 88 89 90 H arg a ba ya ng an (use r co st ) S o il Depth (r ibu R p/cm/ha)

(19)

Gambar 12. Kurva Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah dari Pola Tanam Kentang-Wortel pada Lahan Tegal I (0–15%) Sub-Sub DAS Bango

Selama periode harizon waktu, pendugaan UCSE yang terjadi di DTA Waduk Sutami dan Sengguruh menunjukan perubahan yang semakin meningkat (Tabel 30). Besaran UCSE yang terdapat pada tabel tersebut mencerminkan bahwa aktivitas optimal akan mendatang kerugian sebesar λt+1 apabila pada

periode t sumberdaya ketebalan lapisan tanah dipertahankan tidak dieksploitasi. Perubahan UCSE (

λ

&1ijk) meningkat antar waktu.

Tabel 30 Perubahan Harga Bayangan Ketebalan Lapisan Tanah (λ1t+1 –λt)

dari Beberapa Aktivitas Optimal Menurut Sub-Sub DAS Selama Horizon Waktu (ribu Rp/cm/ha)

Tahun

Bango Sumber Brantas

Sawah I Tegal I Sawah I Tegal I

Pd-Pd-Sy (λ131) Kn-Wrl (λ3111) Pd-Pd-Sy (λ132) Kn-Wrl (λ3112) λt λt+1-λt λt λt+1-λt λ(t) λ(t+1)-λ(t) λt λt+1-λt 2004 7097.05 20656.81 31942.07 14430.37 2005 6899.88 -197.18 20127.28 -529.54 31054.46 -887.61 14042.45 -387.91 2006 6682.94 -216.94 19536.77 -590.51 30077.92 -976.54 13613.33 -429.12 2007 6444.26 -238.67 18879.16 -657.61 29003.56 -1074.36 13138.87 -474.46 2008 6181.68 -262.59 18147.72 -731.44 27821.61 -1181.95 12614.55 -524.33 2009 5892.79 -288.89 17335.04 -812.68 26521.30 -1300.31 12035.36 -579.19 2010 5574.97 -317.82 16432.97 -902.07 25090.79 -1430.51 11395.82 -639.54 2011 5225.33 -349.64 15432.55 -1000.42 23517.07 -1573.72 10689.90 -705.93 2012 4840.68 -384.65 14323.91 -1108.64 21785.81 -1731.26 9910.94 -778.96 2013 4417.52 -423.16 13096.22 -1227.70 19881.26 -1904.55 9051.65 -859.29

(20)

2014 3952.00 -465.52 11737.53 -1358.69 17786.09 -2095.17 8103.99 -947.66 2015 3439.89 -512.11 10234.73 -1502.80 15481.25 -2304.84 7059.11 -1044.88 2016 2876.52 -563.37 8573.37 -1661.36 12945.75 -2535.49 5907.29 -1151.82 2017 2256.77 -619.75 6737.58 -1835.79 10156.55 -2789.20 4637.84 -1269.45 2018 1575.01 -681.76 4709.88 -2027.69 7088.26 -3068.29 3238.98 -1398.86 2019 825.03 -749.98 2471.07 -2238.81 3712.97 -3375.29 1697.78 -1541.20

Sumber: Olahan data

Perubahan UCSE antar waktu sebesar λ1ijk(t+1) – λ1ijk(t) atau yang

bertanda negatif pada Tabel 30 dapat diinterpretasikan bahwa aktivitas optimal pada periode t akan mendatang kerugian sebesar λ(t+1) bila pada periode t tidak terjadi pengurangan ketebalan lapisan tanah. Dengan demikian hasil pendugaan UCSE bisa dipergunakan sebagai dasar pijakan logika untuk mendeteksi eksploitasi ketebalan lapisan tanah.

Dari kajian Segarra dan Taylor (1987) menunjukkan bahwa pertumbuhan atau perubahan UCSE, dipengaruhi oleh tingkat bunga (r), dikurangi kontribusi soil depth terhadap keuntungan pada periode saat ini dan ditambah dampak perubahannya pada periode sesudahnya (t+1). Disamping itu, ditentukan oleh pengaruh SD terhadap pengurangan produktivitas lahan pada periode (t+1). Kondisi tersebut dapat disimak pada persamaan (4.19b).

Penelitian yang dilakukan oleh McConnell (1983) menjelaskan bahwa tingkat perubahan UCSE ( ) meningkat seiring dengan perkembangan tingkat bunga (r) dan mempunyai hubungan negatif dengan besarnya tambahan sumbangan SD terhadap keuntungan tahun berjalan (persamaan 4.29d). Saliba (1985) mengungkapkan bahwa secara tidak langsung tingkat perubahan nilai marjinal SD ( ) tergantung pada tingkat bunga (r), nilai costate variable tahun berlaku λ(t), harga komoditas (p1 & p2), dan pengaruh produktivitas tanah

terhadap produksi tanaman [∂f/∂h(s)], serta pengaruh SD terhadap produktivitas [∂h(s)/∂s]. Perilaku tersebut didasarkan pada keterkaitan antar variabel yang terdapat pada persamaan (4.24b). Kajian Barbier (1990) mendapatkan bahwa

ijk i1

λ

&

λ

&

λ

&

λ

&

(21)

fenomena perubahan UCSE ( ) selama horizon waktu dipengaruhi oleh tingkat bunga (r) dan kontribusi lahan terhadap keuntungan periode berjalan, pf2.

Melalui turunan parsial dari persamaan (6.12a) yang berkenaan dengan state variable SD; tingkat perubahan UCSE yang terjadi di DTA Waduk Sutami-Sengguruh (λ1t+1-λt) dipengaruhi oleh: (1) UCSE periode t+1 atau λ1ijk(t+1), (2)

kontribusi perubahan SD terhadap fungsi tujuan (manfaat bersih) pada periode (t+1) karena erosi atau (∂z(⋅)/∂Sijk(t)), (3) harga komoditas (PCi) dan luas lahan

optimal (Xijk(t)), dan (4) produk marjinal SD pada periode t atau (∂Y(⋅)/∂Sijk(t)).

Sementara itu, kontribusi variabel SD terhadap fungsi tujuan pada periode t+1 sangat bervariasi. Keragaman tersebut dipengaruhi oleh perubahan SL karena variasi tingkat erosi, mengingat dalam (∂z(⋅)) terkandung variabel tingkat erosi. 8.4. Pendugaan Biaya Off-Site

Pendugaan besaran biaya off-site erosi (off-site cost of erosion atau OFCE) didekati dengan harga bayangan (shadow price) yang ditunjukan oleh angka pengganda Langrange yang terkait dengan kendala transisi kapasitas tampungan waduk. PV dari OFCE per periode cenderung menurun; sedangkan nilai nominalnya konstan sepanjang horizon waktu (Tabel 31). OFCE tersebut dapat diinterpretasikan bahwa biaya kesempatan setiap satu m3 air yang

tersimpan pada tahun ke-t sebesar λt+1. Sebagai contoh, OFCE pada Waduk

Sengguruh (λ2t+1) tahun 2004 sebesar 97.43; yang bisa diartikan bahwa setiap

satu m3 yang tersimpan sejak akhir tahun 2003 mempunyai biaya kesempatan

sebesar Rp 97.43. Besaran OFCE gabungan pada Tabel 31 dimaksudkan untuk memberikan valuasi dampak erosi terhadap sedimentasi waduk menjadi satu nilai. Penentuan nilai gabungan dengan pertimbangan perbedaan proporsi sedimen yang tertahan pada masing-masing waduk. OFCE yang terjadi di Waduk Sengguruh relatif lebih besar daripada Waduk Sutami. Hal itu karena

(22)

harga bayangan dari kapasitas tampungan Waduk Sengguruh dipengaruhi oleh harga per unit produksi listrik PLTA Sengguruh (PE1) dan harga per unit produksi

listrik PLTA Sutami (PE2); sedangkan pada Waduk Sutami hanya dipengaruhi

oleh PE2. Besaran OFCE disamping ditentukan oleh PE juga dipengaruhi oleh

harga air untuk pengairan (PI) serta industri (PM).

Pada Tabel 31 tampak bahwa nominal OFCE setiap periode adalah konstan sepanjang horizon waktu. Hal tersebut bisa terjadi karena PE1 , PE2, PI

dan PM diasumsikan tetap sepanjang horizon waktu.

Secara manual, hasil pendugaan OFCE yang terdapat pada Tabel 31 dapat dihitung berdasarkan persamaan (6.11c) untuk Waduk Sengguruh dan persamaan (6.11b) untuk Sutami. Disamping itu, dari kedua persamaan tersebut dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mem-pengaruhi harga bayangan dari kapasitas tampungan waduk.

(23)

Tabel 31. Pendugaan Biaya Off-Site Erosi (Rp/m3) Selama Horizon Waktu

Tahun

Sengguruh Sutami Gabungan*)

PV (ρλ2t+1) Nominal (λ2t+1) PV (ρλ4t+1) Nominal (λ4t+1) PV (ρλt+1) Nominal (λt+1) 2004 97.43 107.17 89.00 97.90 110.17 101.61 2005 88.57 107.17 80.91 97.90 100.15 101.61 2006 80.52 107.17 73.55 97.90 91.05 101.61 2007 73.20 107.17 66.87 97.90 82.77 101.61 2008 66.55 107.17 60.79 97.90 75.25 101.61 2009 60.50 107.17 55.26 97.90 68.41 101.61 2010 55.00 107.17 50.24 97.90 62.19 101.61 2011 50.00 107.17 45.67 97.90 56.53 101.61 2012 45.45 107.17 41.52 97.90 51.39 101.61 2013 41.32 107.17 37.74 97.90 46.72 101.61 2014 37.56 107.17 34.31 97.90 42.48 101.61 2015 34.15 107.17 31.19 97.90 38.61 101.61 2016 31.04 107.17 28.36 97.90 35.10 101.61 2017 28.22 107.17 25.78 97.90 31.91 101.61 2018 25.66 107.17 23.44 97.90 29.01 101.61 2019 23.32 107.17 21.31 97.90 26.37 101.61 2020 21.20 107.17 19.37 97.90 23.98 101.61

Sumber: Olahan data

Keterangan: *) 0.4 Sengguruh + 0.6 Sutami

Dari perspektif ekonomi, apabila biaya pengerukan sedimen lebih besar daripada biaya kesempatan air yang tertahan dalam Waduk Sengguruh, maka untuk mengatasi sedimentasi relatif lebih murah dengan mengatur pola tanam di DTA daripada melakukan aktivitas pengerukan sedimen. Secara riil biaya sedimen sebesar Rp 7,507/m3, sedangkan OFCE yang mencerminkan biaya

kesempatan air yang tertahan dalam Waduk Sengguruh adalah Rp 107/m3. Dari

aspek teknis, kegiatan pengerukan (Vks1) dilakukan apabila stok sedimen

melebihi batas volume pada elevasi 291.50 m yang mengganggu operasi turbin. Pengaturan pola tanam di DTA merupakan salah satu metode penanganan sedimen dalam jangka panjang. Metode tersebut telah diterapkan dalam rangka pengendalian erosi di daerah DAS Kali Brantas melalui berbagai bentuk program maupun proyek dengan dana dari berbagai sumber (sub-bab 2.5.3 dan 2.5.4). Bahkan pada tahun 2002 telah dilakukan “gerakan penanaman sejuta pohon” di

(24)

DTA Sutami yang diprakarsai oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Malang. Namun demikian, pada kenyataannya tingkat sedimentasi waduk masih tetap tinggi (Tabel 5). Berdasarkan efektifitas penggunaan dana proyek (yang telah dilakukan sejak tahun tujuh puluhan) dan dana hasil retribusi terhadap keberhasilan penanganan erosi tersebut belum mencerminkan penanganan yang didasarkan konsep hulu-hilir yang holistik dan komprehensif. Oleh karena itu diperlukan model kelembagaan yang mampu menangani sedimentasi secara komprehensif yang didasarkan pada aplikasi unsur-unsur manajemen secara lengkap (POAC = planning, organizing, actuating dan controlling).

Biaya off-site erosi diusulkan sebagai dasar untuk menetapkan pungutan iuran (retribusi) dari masyarakat dalam rangka menggalang dana untuk kelestarian dan konservasi DTA. Penetapan pungutan iuran didasarkan pada prinsip pengguna air waduk yang membayar dan prinsip penghasil eksternalitas erosi yang membayar.

Penetapan pungutan dengan prinsip pengguna air waduk yang membayar dapat dihitung berdasarkan persamaan (6. 11c) dan (6. 11b). Dari persamaan tersebut dapat ditetapkan besarnya retribusi yang seharusnya dibayar oleh: 1. Pengguna air waduk untuk produksi listrik PLTA Sengguruh adalah 7.74% PE1

dan PLTA Sutami sebesar 23.40% PE2.

2. Pengguna air waduk untuk pengairan adalah 28.77% PI. 3. Pengguna air waduk untuk industri adalah 2.06% PM.

Retribusi yang seharusnya dibayar oleh pengguna air waduk untuk industri sangat kecil karena kontribusi outflow Sutami terhadap volume air untuk industri di daerah hilir sangat kecil, yakni 2.06% (Lampiran 7 baris ke-2). Dalam penetapan nominal retribusi tersebut, yang harus diperhatikan adalah harga air per unit menurut penggunaannya. Oleh karena harga air bervariasi menurut

(25)

dimensi waktu, maka nominal retribusi yang dibebankan pada pengguna air waduk juga harus berubah menurut dimensi waktu.

Berdasarkan persamaan (5.3a), (5.3c) dan (5.3e), dapat dikatakan bahwa persentase sumbangan PE terhadap OFCE dipengaruhi oleh: (1) efisiensi turbin dan generator dan (2) tinggi jatuh efektif. Sementara itu, di daerah DAS Kali Brantas terdapat empat bendungan lain yang dilengkapi dengan PLTA; yaitu bendungan Wlingi, Lodoyo, Tulung Agung dan Selorejo. Setiap bendungan tersebut mempunyai spesifiksi waduk secara fisik yang berbeda, sehingga efisiensi turbin dan generator dan tinggi jatuh efektif juga berbeda. Oleh karena itu, dalam penetapan retribusi air untuk listrik di seluruh DAS Kali Brantas harus berbeda atau bervariasi menurut dimensi ruang. Dengan demikian persentase sumbangan PE terhadap biaya kesempatan kapasitas tampungan suatu waduk tidak berlaku umum, namun spesifik menurut lokasi keberadaan waduk. Hal yang sama juga berlaku untuk persentase sumbangan harga air untuk pengairan dan industri, mengingat kontribusi outflow setiap waduk terhadap pemenuhan air pengairan dan industri yang cenderung berbeda.

Berdasarkan rata-rata harga produksi listrik tahun 2002 dan 2003, secara normatif retribusi yang harus dibayar oleh produsen listrik PLTA Sengguruh adalah Rp 31.11/kWh dan PLTA Sutami sebesar Rp 30.84/kWh. Dari data sekunder tahun 2003, retribusi yang dipungut dari produsen listrik sebesar Rp 15.50 /kWh. Retribusi riil tersebut telah diberlakukan secara umum untuk seluruh PLTA yang ada di wilayah DAS Kali Brantas. Perbedaan besarnya retribusi antara kondisi riil dan perhitungan normatif tersebut perlu diinformasikan kepada pihak otorita dan didiskusikan bagaimana kemungkinan diaplikasikannya metode penetapan retribusi secara normatif tersebut.

(26)

Aplikasi persamaan (6.11b) dan (6.11c) adalah untuk menduga sumbangan (share) masing-masing per unit harga air waduk menurut penggunaannya terhadap biaya kesempatan per m3 kapasitas tampungan waduk. Penentuan

sumbangan tersebut dirasa penting dilakukan, khususnya untuk listrik, mengingat dalam penentuan harga per unit daya listrik telah memasukan unsur biaya pemeliharaan DTA, yakni unsur biaya C-EP (pada sub-sub bab 5.1.3). Rumusan penentuan sumbangan harga produk daya listrik terhadap biaya kesempatan air waduk diharapkan dapat menanggulangi perbedaan pendapat antara pihak otoritas pengelola waduk dan produsen tentang besaran retribusi air untuk PLTA.

Penetapan pungutan dengan prinsip penghasil eksternalitas erosi yang membayar dapat diturunkan dari persamaan (6.10c) dan (6.10d). Penetapan biaya eksternal erosi yang ditimbulkan oleh setiap hektar lahan yang berada di daerah Sub-sub DAS Metro didasarkan pada persamaan :

0.58 ∗KVS ∗ SDR5 ∗ eij5 ∗ λ4(t+1) (8.1)

Sedangkan untuk daerah Sub-sub DAS selain Metro didasarkan pada persamaan berikut :

{0.40 ∗ KVS ∗ SDRk ∗ eijk ∗ λ2(t+1)} +

{0.58 ∗ KVS ∗ SDRk ∗ eijk ∗ λ4(t+1)}, k = 1, 2, ..., 3 (8.2)

Dimana koefisien 0.40 dan 0.58 merupakan efisiensi tangkapan sedimen pada Waduk Sengguruh dan Sutami; KVS merupakan berat jenis sedimen; SDR ialah rasio transportasi sedimen; eijk adalah tingkat erosi lahan budidaya intensif pada

klasifikasi fungsi dan kemiringan lahan ke-i dengan pola tanam ke-j di daerah Sub-sub DAS ke-k; serta λ2(t+1) dan λ4(t+1) masing-masing adalah OFCE (Tabel

(27)

lahan non-budidaya intensif; yakni dengan notasi tingkat erosi Eijk dan luas lahan

Lijk. Dimana i adalah pekarangan, semak dan hutan.

Dengan mencermati persamaan (6.10) dan (6.11) dapat dikatakan bahwa besaran biaya eksternal erosi per hektar lahan ditentukan oleh variabel teknis (ET, KVS, SDR, eijk atau Eijk) dan harga air baku menurut penggunaannya (PE1,

PE2, PI dan PM). Oleh karena eijk suatu pola tanam berbeda menurut lokasi dan

cenderung terjadi perubahan harga air untuk berbagai kegunaan, maka besarnya retribusi yang dibebankan kepada penghasil eksternalitas erosi harus bervariasi menurut lokasi dan dinamik menurut dimensi waktu.

Bertitik tolak dari sumber sedimentasi waduk yang berasal dari sampah rumah tangga, maka persamaan (8.1) dan (8.2) memungkinkan dikembangkan untuk menghitung pungutan iuran penyebab sedimentasi waduk pada umumnya. DTA Bendungan Sutami-Sengguruh meliputi daerah perkotaan yang termasuk pada wilayah administrasi Pemerintah Daerah Kota Batu dan Kota Madya Malang, maka dana untuk kelestarian dan konservasi DTA bisa berasal dari pengelola pusat perbelanjaan maupun pasar tradisional sebagai penghasil sampah tingkat primer. Apabila pungutan diambil langsung pada tingkat rumah tangga akan dihadapkan pada kesulitan operasional karena jumlah penduduk yang sangat besar. Untuk menetapkan besarannya pungutan tersebut perlu dikembangkan penelitian lanjutan.

Berkaitan dengan pungutan jasa lingkungan dan biaya eksternalitas erosi tersebut perlu dikaji bagaimana mekanisme penerapannya dan siapa yang bertanggung jawab. Dalam hal ini diperlukan panitia khusus yang mampu mengelola dana dari dan untuk masyarakat di daerah hulu maupun hilir.

Retribusi dengan prinsip penghasil eksternalitas erosi yang membayar, dewasa ini belum diterapkan. Oleh karena itu konsep tersebut perlu

(28)

disosialisasikan dan dikaji lebih mendalam bagaimana kemungkinannya bisa diterapkan di lapangan.

Bentuk kurva biaya off-site erosi (OFCE) pada Gambar 13 agak berbeda bila dibandingkan dengan harga bayangan ketebalan lapisan tanah (UCSE) pada Gambar 11, namun mempunyai arah kelerengan (slope) yang sama. Kurva OFCE menunjukkan perubahan yang semakin menurun antar periode.

Gambar 13. Kurva Biaya Off-Site Erosi

Pendugaan besaran biaya off-site erosi yang terdapat pada Tabel 32 pada kondisi harga listrik, harga air baku untuk pengairan dan industri tahun 2003. Besaran biaya tersebut akan mengalami perubahan bila terjadi perubahan pada harga listrik, harga air baku untuk pengairan dan industri maupun harga komoditas pertanian yang dikelola pada daerah sub-sistem hulu waduk.

Berdasarkan nilai pada kolom “MARGINAL” output GAMS dari persamaan kapasitas waduk, keseimbangan air tersimpan dan sedimen yang tertahan dalam waduk, didapatkan fenomena bahwa :

1. Harga bayangan dari air yang masuk ke Waduk Sengguruh (Vma1)sama

dengan harga bayangan kapasitas tampungan waduk (Vkp1) maupun air

yang tersimpan dalam Waduk Sengguruh (Vsa1). 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020 2022 Periode (tahun) B iay a of f-si te er os i ( R p /m 3 )

(29)

Tabel 32. Perubahan Biaya Off-Site Erosi (Rp/m3) pada Waduk Senguruh

(λ2 (t+1) – λ2 (t)) dan Waduk Sutami (λ4 (t+1) – λ4 (t)) Tahun Sengguruh Sutami

ρλ2(t) ρλ2 (t+1)-ρλ2 (t) ρλ4 (t) ρλ4 (t+1)-ρλ4 (t) 2004 97.43 89.00 2005 88.57 -8.86 80.91 -8.09 2006 80.52 -8.05 73.55 -7.36 2007 73.20 -7.32 66.87 -6.69 2008 66.55 -6.65 60.79 -6.08 2009 60.50 -6.05 55.26 -5.53 2010 55.00 -5.50 50.24 -5.02 2011 50.00 -5.00 45.67 -4.57 2012 45.45 -4.55 41.52 -4.15 2013 41.32 -4.13 37.74 -3.77 2014 37.56 -3.76 34.31 -3.43 2015 34.15 -3.42 31.19 -3.12 2016 31.04 -3.10 28.36 -2.84 2017 28.22 -2.82 25.78 -2.58 2018 25.66 -2.57 23.44 -2.34 2019 23.32 -2.33 21.31 -2.13 2020 21.20 -2.12 19.37 -1.94

Sumber: Olahan data

2. Harga bayangan air yang masuk dari daerah sub-sub DAS Metro ke WadukSutami (VmaM) sama dengan harga bayangan kapasitas tampungan

waduk (Vkp1) maupun air yang tersimpan dalam WadukSutami (Vsa2).

3. Harga bayangan sedimen yang masuk ke Waduk Sengguruh (Vms) sama dengan harga bayangan kapasitas tampungan WadukSutami (Vkp2).

Dengan demikian, maka untuk menduga OFCE bisa didasarkan pada harga bayangan kapasitas waduk atau air yang tersimpan dalam waduk.

8.5. Ikhtisar

Ketersediaan sumberdaya ketebalan lapisan tanah (soil depth atau SD) intertemporal membentuk kurva yang mempunyai kelerengan (slope) negatif, sedangkan pada ekstrasinya (soil loss atau SL) mempunyai slope positif. Bentuk kedua kurva tersebut adalah linier; yakni dengan perubahan ekstrasi intertemporal SL yang konstan. Pengurangan SD ditentukan oleh SL yang merupakan hasil bagi antara tingkat erosi yang terjadi dan berat jenis tanah.

(30)

Perubahan SL yang konstan menyebabkan perubahan volume sedimen yang tertahan dalam waduk yang konstan pada setiap periode. Dengan demikian pengurangan kapasitas tampungan mati mempunyai perubahan yang konstan.

Biaya on-site erosi didekati dengan PV dari pendapatan bersih yang diperoleh pada periode t+1 yang sejalan dengan terjadinya SL karena aktivitas pola tanam selama periode t. Pendapatan pengelolaan komoditas apel lahan tegal II di daerah Sub-sub DAS Sumber Brantas pada tahun 2004 sebesar Rp 6.55 juta per mm SL. Besaran pendugaan biaya on-site erosi tersebut belum mempertimbangkan investasi konservasi tanah. Dari hasil analisis menunjukkan tendensi bahwa biaya on-site erosi semakin menurun antar periode.

Dari pemecahan optimasi intertemporal dari model daerah tangkapan air (Model-DTA) dapat diperoleh gambaran fenomena biaya implisit erosi atau harga bayangan ketebalan lapisan tanah atau user cost of soil erosion (UCSE) sebagai berikut:

1. Pendugaan nilai nominal maupun nilai sekarang semakin menurun dengan semakin bertambahnya periode dengan perubahan yang semakin besar. 2. Bervariasi menurut paket pola tanam, klasifikasi fungsi lahan dan daerah

Sub-sub DAS.

3. Tingkat erosi yang tinggi tidak selalu diikuti dengan UCSE yang tinggi.

Kecenderungan semakin menurunnya UCSE selama horizon waktu ditunjukkan oleh kurva dengan kelerengan negatif. Kodisi tersebut mencerminkan biaya kesempatan SD semakin menurun antar periode, dan perubahan UCSE semakin besar.

Tendensi UCSE yang semakin menurun antar waktu karena SD yang terdapat pada lokasi penelitian relatif tebal. Hal tersebut sejalan dengan hasil

(31)

kajian peneliti sebelumnya bahwa semakin tebal SD (12 inchi), besarnya UCSE tahun berjalan semakin menurun.

Dari pengganda Lagrange rumusan optimasi dinamik problem diskrit dapat diinterpretasikan bahwa setiap perubahan satu cm SL akibat akivitas pola tanam ke-j pada lahan ke-i di daerah ke-k pada periode t akan menyebabkan perubahan manfaat sosial bersih (marginal of social net benefit) DTA Bendungan Sutami-Sengguruh UCSE pada periode t+1, yaitu sebesar λ1ijk(t+1).

Keragaman UCSE yang terjadi di DTA Bendungan Sengguruh-Sutami disebabkan oleh perbedaan nilai produk marjinal di setiap komoditas yang membentuk paket pola tanam menurut lokasi. Hal tersebut karena tingkat erosi setiap komoditas berbeda antar daerah menyebabkan produk fisik marjinal bervariasi, meskipun diasumsikan bahwa tingkat teknologi sama di seluruh wilayah Sub-sub DAS. Dengan demikian, walaupun tingkat harga diasumsikan sama akan didapatkan nilai produk marjinal beragam.

Pada skala tingkat usahatani, hasil kajian peneliti sebelumnya dapat diiventarisasi beberapa faktor yang mempunyai sumbangan terhadap besaran UCSE. Faktor-faktor tersebut adalah: (1) ketebalan solum, (2) harga komoditas, (3) produk marjinal fisik dari kehilangan lapisan tanah, (4) harga input, (5) nilai produk marjinal dari input produktif (pf1), dan (6) tingkat bunga. Pada skala DTA

Bendungan Sutami-Sengguruh diperoleh hasil bahwa besaran UCSE juga ditentukan oleh besaran user cost kendala transformasi kapasitas tampungan Waduk Sengguruh dan Sutami; yakni λ2(t+1) dan λ4(t+1).

Berdasarkan hasil kajian peneliti sebelumnya, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat perubahan UCSE (

λ

&1ijk), yaitu: (1) tingkat bunga (berpengaruh positif), (2) kontribusi SD terhadap pendapatan per ha pada periode t (berpengaruh positif), (3) kontribusi SD terhadap pendapatan per ha

(32)

pada periode t+1 (berpengaruh negatif), dan (4) nilai marjinal SD terhadap penurunan produktivitas pada periode t+1. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan UCSE, (λ1ijk(t+1) - λ1ijk(t)) di DTA Bendungan

Sutami-Sengguruh adalah: (1) UCSE periode t+1 atau λ1ijk(t+1), (2) perubahan

kontribusi SD terhadap pendapatan per ha pada periode (t+1) karena erosi SL atau (∂z(⋅)/∂Sijk(t)), (3) harga komoditas (PCi) dan luas lahan optimal (Xijkt), dan

(4) produk marginal SD pada periode t atau (∂Y(⋅)/∂Sijk(t)).

Alokasi lahan intertemporal di daerah sub-sistem hulu waduk dapat menghasilkan sedimen yang tertahan dalam Waduk Sutami sebesar 0.75 juta m3; volume tersebut jauh lebih kecil daripada sedimen yang terjadi setiap tahun

(3.96 juta m3). Selama periode horizon waktu terjadi pengurangan tampungan

mati sebesar 5%. Dari pemecahan optimasi menjadikan volume stok air (Vsa1)

dari Waduk Sengguruh setiap tahun mengalami penurunan sebesar 0.45 juta m3, karena digantikan oleh sedimen yang masuk kedalam waduk; yakni sebesar

bertambahnya volume stok sedimen (Vss1). Untuk mendapatkan manfaat sosial

bersih maksimal, aktivitas pengerukan sedimen dilakukan sejak tahun 2007 sebesar 0.24 juta m3; serta dari tahun 2008 hingga 2019 dilakukan pengerukan

sedimen sebesar volume sedimen baru yang masuk.

Massa sedimen yang konstan setiap periode menyebabkan perubahan volume sedimen yang tertahan dalam waduk menjadi konstan. Deskripsi hubungan antara stok dan tingkat ekstrasi sumberdaya pada sub-sistem ekologi bendungan-Waduk Sutami, dicerminkan dari kapasitas tampungan mati yang dianalogikan sebagai stok sumberdaya dan kumulatif volume sedimen baru yang dianalogikan sebagai ekstrasi sumberdaya. Volume sedimen baru yang tertahan dalam waduk setiap periode yang konstan menjadikan pengurangan kapasitas tampungan mati adalah konstan.

(33)

Biaya off-site erosi (Off-site Cost of Erosion atau OFCE) mencerminkan biaya kesempatan setiap m3 air yang tersimpan pada tahun ke-t; yakni sebesar

λ2(t+1) untuk Waduk Sengguruh dan λ4(t+1) untuk Waduk Sutami. Sebagai

contoh, OFCE Waduk Sengguruh tahun 2004 atau λ2(t+1) sebesar 97.43; yang

bisa diartikan bahwa setiap satu meter kubik air yang tersimpan pada akhir periode tahun 2003 mempunyai biaya kesempatan sebesar Rp 97.43. Biaya kesempatan air yang tersimpan dalam waduk mengekspresikan nilai ekonomi air waduk. Terjadi fenomena bahwa PV dari OFCE semakin menurun antar waktu. Hasil pendugaan OFCE dapat dipergunakan sebagai dasar perhitungan pungutan iuran (retibusi) dari masyarakat untuk menjaga kelestarian dan konservasi DTA. Penetapan retribusi menggunakan prinsip: (1) pengguna air waduk yang membayar, dan (2) penghasil eksternalitas erosi yang membayar. Perhitungan besarnya pungutan kepada pengguna air waduk didasarkan pada persamaan (6.11b) dan (5.11c); sedangkan untuk penghasil eksternalitas erosi dari persamaan (8.1) dan (8.2).

Secara normatif retribusi yang harus dibayar oleh produsen listrik PLTA Sengguruh adalah 7.74% PE1 dan PLTA Sutami sebesar 23.40% PE2;

sedangkan dari pengairan dan industri masing-masing adalah 28.77% PI dan 2.06% PM. Pada DAS Kali Brantas terdapat beberapa bendungan yang tersebar di bagian hulu, tengah dan hilir, maka besarnya persentase tersebut tidak berlaku umum di seluruh daerah DAS Kali Brantas. Hal itu karena pada setiap bendungan mempunyai karakteristik fisik waduk yang berbeda, sehingga besarnya persentase bersifat spesifik lokasi. Dengan demikian besarnya pungutan iuran nominal akan bervariasi menurut dimensi ruang dan waktu; karena karga air baku untuk berbagai penggunaan akan selalu berubah menurut waktu.

(34)

Berdasarkan data rata-rata harga listrik di tingkat produsen tahun 2002 dan 2003 didapatkan fenomena bahwa besarnya retribusi dari produsen listrik secara normatif lebih besar daripada retribusi riil yang telah dipungut oleh pihak otorita pada tahun 2003. Oleh karena itu metode penetapan pungutan (retribusi) tersebut perlu disosialisasikan kepada pengambil keputusan dan dikaji lebih mendalam kemungkinan diaplikasikannya metode penetapan retribusi tersebut.

Penetapan biaya eksternal erosi per hektar lahan yang berada di daerah Sub-sub DAS Metro didasarkan pada persamaan : 0.58 KVS ∗ SDR5 ∗ eij5 ∗

λ4(t+1). Penetapan biaya eksternal erosi untuk daerah Sub-sub DAS selain

Metro didasarkan pada persamaan : {0.40 KVS ∗ SDRk ∗ eijk ∗ λ2(t+1)} + {0.58

KVS ∗ SDRk ∗ eijk ∗ λ4(t+1)}. Dasar penetapan tersebut berlaku juga untuk

menduga biaya eksternal erosi dari lahan non-budidaya intensif; yakni dengan notasi tingkat erosi Eijk dan luas lahan Lijk. Dimana i adalah lahan pekarangan,

semak dan hutan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa besaran biaya eksternal erosi per hektar lahan ditentukan oleh variabel teknis (ET, KVS, SDR, eijk atau Eijk) dan harga air baku menurut penggunaannya (PE1, PE2, PI dan PM).

Pungutan iuran dengan prinsip penghasil eksternalitas yang membayar tidak saja dibebankan pada pengelola lahan budidaya intensif, namun juga pada lahan non-budidaya intensif. Oleh karena sumber sedimentasi Waduk Sengguruh juga berasal dari sampah rumah tangga, maka metode penetapan pungutan tersebut dapat dikembangkan untuk diterapkan pada penghasil sampah utama. Untuk itu perlu penelitian lanjutan yang terkait dengan sumber sedimentasi waduk selain yang berasal dari erosi lahan.

Gambar

Tabel 22.  Ketebalan Lapisan Tanah dan Kumulatif Kehilangan Tanah Setiap  Periode dari Aktivitas Optimal Sub-Sub DAS Sumber Brantas Menurut   Klasifikasi Fungsi dan Kemiringan Lahan
Tabel 23.  Ketebalan Lapisan Tanah dan Kumulatif Kehilangan Tanah   Setiap Periode dari Aktivitas Optimal pada Lahan Tegal  Kemiringan I Menurut Sub-Sub DAS (cm)
Gambar 8. Dinamika Cadangan dan Ekstrasi Ketebalan Lapisan Tanah  Lahan Tegal Kemiringan I (0– 5%) pada Pola Tanam Pd-Pd-Sy  di Wilayah Sub-Sub DAS Metro
Tabel 24.  Pendugaan Volume Stok Air dan Volume Sedimen pada Waduk  Sengguruh dan Sutami
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penyusunan Upah Minimum Kabupaten (UMK) setiap tahunnya ada kenaikan sebesar 15 % dari UMK tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan selain karena kondisi perekonomian

Preparing Future Teachels: lslam, Knowtedge and Character Proceeding of the L't lnterna{onat Seminar on Teacher Education, Pekanbaru, lndonesia.. 290 x

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala kasih, berkat dan rahmatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Peningkatan Minat Dan Prestasi

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga Skripsi dengan judul “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif

Berdasarkan hasil penelitian terhadap sebaran kuesioner yang dilihat dari aspek ekonomi, sosial budaya dan lingkungan menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan

Penelitian ini menggunakan data sekunder, baik itu data laporan keuangan perusahaan yang telah diaudit dan dipublikasikan, data nilai indeks merek hasil publikasi media,

Alat ini bekerja secara otomatis mengikuti besar atau kecilnya copypaste temperatur udara dan dapat diukur dalam.. satuan Celcius maupun dalam

Catatan dan Tanggapan Penilai terhadap dokumen dan/atau keterangan guru (catat kegiatan yang dilakukan). ‐ Guru merekomendasikan siswa yang perlu mendapatkan layanan