• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH

2.1. KONDISI DAN ANALISA KONDISI DEMOGRAFI 2.1.1. Kondisi Demografi

Penduduk tidak saja berperan sebagai obyek pembangunan, tetapi lebih jauh lagi harus berperan sebagai subyek pembangunan. Sebagai obyek pembangunan, penduduk akan berfungsi sebagai sasaran yang akan dijadikan target pembangunan, sedangkan sebagai subyek pembangunan, sumber daya penduduk akan berfungsi sebagai pemikir, perencana, dan pelaksana berbagai program pembangunan yang hasilnya diharapkan mampu meningkatkan kemajuan di berbagai bidang kehidupan.

1. Jumlah Penduduk, LPP, dan Rasio Ketergantungan Anak

Menyadari akan keberadaan penduduk, disalah satu sisi penduduk bisa menjadi potensi manakala SDM dari penduduk tersebut memiliki kualitas tetapi sebaliknya penduduk bisa menjadi masalah tersendiri manakala kurang memiliki kualitas. Adapun karakteristik SDM yang berkualitas adalah diantaranya sehat, memiliki kecerdasan Intelegensi (IQ), memiliki etika, moralitas dan emosi yang baik (EQ), berakhlak mulia (SQ) serta kemampuan bersosialisasi (Sc Q).

Subang merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat yang memiliki jumlah penduduk yang tidak terlalu padat, dimana hasil Sensus tahun 1971, jumlah penduduk Kabupaten Subang adalah 0,90 juta, meningkat menjadi 1,07 juta pada sensus tahun 1980. Pada sensus berikutnya (tahun 1990) telah mencapai 1,21 juta sedangkan jumlah penduduk dalam kurun waktu 1993 – 2008 adalah berkisar antara 1,23 Juta – 1,44 Juta jiwa. Walaupun demikian, LPP-nya pertahun mengalami penurunan masing-masing periode 1971-1980 sebesar 1,72 persen, periode 1980-1990 sebesar 1,25 persen, dan 1990-2000 sebesar 1,01 persen, sedangkan periode 2000 – 2008 adalah sebesar 1.21 persen. Dengan laju pertumbuhan penduduk yang demikian dapat diindikasikan bahwa Kabupaten Subang terbukti mampu melaksanakan program-program kependudukan terutama pengendalian laju pertumbuhan penduduk yang secara faktual selama 3 (tiga) dasawarsa terakhir menunjukan trend pertumbuhan yang semakin menurun, kecuali pada periode 2000 – 2008 yang cenderung mulai meningkat .

Salah satu fokus perhatian para ahli kependudukan yang dilakukan terha-dap suatu populasi penduduk, adalah struktur umur penduduk. Hal ini berkaitan dengan pola populasi penduduk, apakah termasuk dalam pola penduduk muda ataukah pola penduduk tua.

(2)

Aspek lain yang diamati dari struktur umur adalah rasio beban ketergantungan, yaitu suatu ukuran untuk mengamati seberapa banyak penduduk yang termasuk usia non-produktif menjadi beban usia non-produktif. Dalam kaitan ini, yang dimaksudkan dengan usia produktif adalah penduduk yang berusia pada kelompok [15-64] tahun; sedangkan yang dimaksudkan dengan usia non produktif adalah penduduk dalam kelompok usia [0-14] tahun dan [65+] tahun.

Tabel 1. Penduduk Kabupaten Subang Menurut Kelompok Umur, Tahun 1994 - 2008

Tahun [0-14] Kelompok Umur [15-64] 65+ Jumlah tungan Anak (%) Rasio Ketergan

(1) (2) (3) (4) (5) (6) 1994 382 046 801 585 48 256 1 231 887 47,66 1995 356 168 815 844 65 679 1 237 691 43,66 1996 357 642 821 789 61 218 1 240 649 43,52 1997 344 301 850 658 51 200 1 246 159 40,47 1998 337 563 842 744 74 306 1 254 613 40,06 1999 322 870 884 606 67 444 1 274 920 36,50 2000 344 802 889 907 80 690 1 315 399 38,75 2001 341 613 903 335 83 573 1 328 521 37,82 2002 344.920 926 462 80 972 1 352 354 37,23 2003 351.383 948.882 70.740 1.371.005 37,03 2004 346.835 945.245 92.230 1.384.310 36,69 2005 374.025 930.852 87.120 1.391.997 40.18 2006 329.547 974.875 97.712 1.402.134 33.80 2007 348.690 960.004 113.334 1.422.028 36.32 2008 380.233 963.767 104.399 1.448.399 39.45 Sumber : BPS Kab.Subang

Besaran rasio beban ketergantungan anak merupakan hasil bagi antara penduduk usia [0-14] dengan penduduk usia produktif, hal ini dimaksudkan untuk melihat seberapa besar peningkatan jumlah anak yang berusia [0-14) yang pada akhirnya menjadi beban bagi penduduk usia produktif. Angka rasio beban ketergantungan anak secara konseptual digunakan pula sebagai alat ukur monitoring keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) di suatu wilayah, semakin kecil angka ini maka dapat ditafsirkan program KB semakin berhasil dan sebaliknya.

Pada tabel di atas, rasio beban ketergantungan anak memiliki kecenderungan menurun, dimana pada tahun 1994 memiliki rasio tertinggi hingga mencapai 47,66 % artinya setiap seratus orang penduduk usia produktif akan menanggung beban untuk menghidupi 47,66 orang yang dikategorikan anak usia [0-14] dan pada tahun 2006 besaran angka mencapai angka terendah sebesar 33,80 % dan pada tahun 2007 dan 2008 mulai menaik kembali menjadi 36,32 % dan 39.45 %.

(3)

2. Penduduk Miskin

Kemiskinan disamping menunjukkan tingkat pendapatan/kesejahteraan, juga menggambarkan kesenjangan yang terjadi antar kelas kesejahteraan penduduk. Berdasarkan batasan yang digunakan, kemiskinan berarti ketidakmampuan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak, baik kebutuhan makanan maupun kebutuhan non makanan yang sangat mendasar. Dapat dikatakan bahwa kemiskinan merupakan ketertinggalan penduduk untuk menikmati hasil pembangunan yang selama ini telah dicapai.

Dalam hal lebih lanjut permasalahan kemiskinan dikaitkan dengan berbagai dimensi lain kehidupan manusia, seperti kesehatan, pendidikan, serta peranan sosial lainnya. Atau dengan kata lain kemiskinan akan menyebabkan permasalahan lainnya seperti :

 Ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan, papan);

 Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih, dan transportasi);

 Tidak adanya jaminan masa depan (karena tidak adanya investasi untuk pendidikan keluarga);

 Rendahnya kualitas sumberdaya manusia;

Dari paparan serial data BPS Tahun 2006-2008 terlihat persentase penduduk miskin cenderung mengalami penurunan masing-masing sebesar 36.75%, 34,72% dan 31,62%. Namun demikian walapun mengalami penurunan akan tetapi kemiskinan di Kabupaten Subang relatif masih tinggi. Hal itu apabila dikaji lebih mendalam bahwa masih tingginya kemiskinan tersebut salah satunya dikarenakan dampak krisis moneter yang menyebabkan rendahnya lapangan kerja dan mata pencaharian secara berkesinambungan.

Grafik 1B. Jumlah Rumah Tangga (RMT) Miskin Tahun 2006 - 2008.

147,554 401,534 147,175 423,940 139,896 442,393 -50,000 100,000 150,000 200,000 250,000 300,000 350,000 400,000 450,000 2006 2007 2008 JUMLAH RMT MISKIN JUMLAH RMT

Sumber : BPS Kab. Subang

36.75%

34.72%

(4)

Pada tahun 2008, kemiskinan tertinggi terdapat di kecamatan Ciasem (9.218 RMT), Kecamatan Patokbesi (8.748 RMT), Kecamatan Subang (8.583), Kecamatan Blanakan (8.271 RMT) sebagaimana tabel di bawah ini.

Tabel 2. Rumah Tangga Miskin Per Kecamatan Tahun 2008

NO Kecamatan Miskin RMT NO Kecamatan Miskin RMT

1 Sagala herang 2.319 16 Compreng 4,283 2 Jalan cagak 3.471 17 Binong 4.926

3 Cisalak 3.350 18 Ciasem 9.218

4 Tanjungsiang 3.867 19 Pamanukan 5.965 5 Cijambe 3.944 20 Pusakanagara 4.120 6 Cibogo 3.143 21 Legonkulon 2,796 7 Subang 8.583 22 Blanakan 8,271 8 Kalijati 3.775 23 Serang Panjang 2.294 9 Cipeundeuy 3,262 24 Sukasari 4.185 10 Pabuaran 6.869 25 Tambak dahan 4.522 11 Patokbesi 8,748 26 Kasomalang 3.464 12 Purwadadi 4.191 27 Dawuan 3.259 13 Cikaum 5.918 28 Pagaden Barat 4.018

14 Pagaden 6.107 29 Ciater 2.191

15 Cipungara 5.551 30 Pusakajaya 5.286

SUBANG 139.896

Sumber data : BPS

Untuk mengatasi kemiskinan ini banyak peneliti yang menunjuk pendidikan sebagai investasi dalam mengatasi permasalahan tersebut. Baik Adelman dan Morris (1973) maupun Galbraith (1979) mengemukakan bahwa pendidikan merupakan langkah paling strategis di dalam usaha-usaha mengatasi kemiskinan.

Namun demikian, Schiller (1973) mengingatkan bahwa peningkatan keterampilan melalui jenjang pendidikan tidak selalu mampu mengatasi masalah kemiskinan. Dalam hal ini perlu diperhatikan kemampuan perekonomian negara untuk menyerap tenaga kerja tersebut. Di satu pihak, peningkatan keterampilan baru merupakan salah satu faktor penawaran, sementara di lain pihak, tidak pula dapat diabaikan faktor permintaan terhadap tenaga kerja itu sendiri. Dengan perkataan lain, pada gilirannya, pendidikan itu berkaitan dengan pendapatan yang memiliki arti penting di dalam kesejahteraan. Schiller (1973) mengemukakan tiga alasan utama mengenai jenjang pendidikan sangat mempengaruhi tingkat pendapatan. Pertama, tingkat pendidikan akan mempengaruhi tingkat produktivitas, baik secara langsung maupun tidak langsung, sebagai akibat dari meningkatnya pengetahuan dan keterampilan. Kedua, dengan tingkat pendidikan yang semakin tinggi akan terbuka kesempatan kerja yang lebih luas. Ketiga, lembaga-lembaga pendidikan, dalam hal-hal tertentu, dapat berfungsi selaku badan penyalur tenaga kerja. Tersirat dari hal ini bahwa mereka yang berpendidikan tinggi akan mendapat perlakuan

(5)

istimewa dalam pasar kerja. Namun tidak dapat dilupakan bahwa untuk memperoleh pendidikan tersebut diperlukan investasi yang tidak kecil. Namun demikian, Esmara (1986: 378) mengatakan bahwa kenaikan jenjang pendidikan ini tidak hanya berpengaruh kepada tingkat pendapatan melainkan mencakup cakrawala yang jauh lebih luas daripada yang diduga semula. Kenaikan jenjang pendidikan akan mengubah pula tata cara kehidupan, kebiasaan, lapangan kerja, atau dalam hal kebudayaan, sehingga secara keseluruhannya mempunyai dampak yang cukup besar terhadap kehidupan suatu bangsa.

3. Perkawinan (Nuptialitas)

Perkawinan merupakan media untuk mencapai kesejahteraan hidup manusia dengan membentuk suatu keluarga (suami, istri dan anak). Keluarga adalah merupakan esensi suatu Bangsa, maju mundurnya suatu bangsa sangat tergantung kepada tingkat kesejahteraan masyarakat yang terdiri dari keluarga-keluarga. Secara sosiologis media perkawinan merupakan proses sepasang manusia dalam mencapai kesejahteraan diri. Di lain pihak secara biologis merupakan media untuk mencapai kesejahteraan batin.

Suatu faktor yang mempengaruhi jumlah penduduk usia [0-4] adalah proses perkawinan, di mana faktor umur perkawinan pertama sangat mempengaruhi produktivitas bayi yang lahir di wilayah ini. Prosesi perkawinan [Nuptialitas] merupakan salah satu fenomena sosial dalam kehidupan manusia. Secara sosiologis, media perkawinan merupakan proses sepasang manusia dalam mencari kesejahteraan diri. Di pihak lain secara biologis, media ini merupakan alat kesejahteraan manusia dalam membentuk suatu keluarga besar yang merupakan perbesaran dari keluarga batih

[nucleus family].

Pada tabel di bawah ini, disajikan penduduk perempuan usia sepuluh tahun ke atas di Kabupaten Subang yang pernah kawin menurut kelompok umur perkawinan pertama. Jumlah persentase Wanita yang menikah di bawah usia 16 tahun cenderung fluktuatif menurun hingga pada tahun 2004 mencapai angka terendah 26,32 % di tahun 2004, namun di tahun 2005, 2006, 2007 dan 2008 kembali fluktuatif meningkat masing – masing sebesar 33,50 %, 32,21%, 49,61% dan 49,47%.

Kondisi budaya kawin muda tersebut perlu mendapat perhatian serius, mengingat kondisi ini sangat berpengaruh terhadap Rasio Ketergantungan anak, pertumbuhan penduduk dan permasalahan sosial lainnya.

(6)

Tabel 3. Persentase Penduduk Perempuan Kabupaten Subang Yang Pernah Kawin Menurut kelompok Umur, Tahun 1994 -2005.

Tahun Kelompok Umur Perkawinan Pertama Persentase Jumlah Jumlah < 16 [17 - 18] [19 - 24] 25+ (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1994 43,15 29,85 25,95 1,05 100,00 393 082 1995 44,84 30,71 23,40 0,95 100,00 401 768 1996 46,62 28,90 23,49 0,99 100,00 397 022 1997 41,55 30,42 26,97 1,06 100,00 405 447 1998 41,37 29,53 27,74 1,36 100,00 412 269 1999 40,44 33,86 24,67 1,04 100,00 419 726 2000 47,03 31,11 19,84 2,03 100,00 426 026 2001 39,04 34,26 25,81 0,89 100,00 433 807 2002 46,49 31,40 20,44 1,67 100,00 446.556 2003 40,81 36,48 21,63 1,08 100,00 452.338 2004 26,32 37,33 35,16 1,19 100,00 458.925 2005 33,50 30,51 31,41 4,58 100,00 446.790 2006 32,21 31,76 31,66 4,37 100,00 456.192 2007 49,61 24,47 22,79 3,13 100,00 484.195 2008 49,47 25,19 22,39 2,95 100,00 487.892 Sumber : BPS Kab.Subang 4. Ketenagakerjaan

Sektor ketenagakerjaan merupakan salah satu sektor penting bagi pembangunan khususnya dalam upaya pemerintah untuk mengurangi jumlah penduduk miskin. Ketenagakerjaan merupakan aspek yang amat mendasar dalam kehidupan manusia, karena berkait erat dengan sosial ekonomi.

Disisi lain, pertumbuhan penduduk selalu terkait dengan masalah ketenagakerjaan dan lapangan kerja. Dengan pertambahan penduduk usia kerja akan meningkatkan angkatan kerja, tetapi apabila yang terjadi pertambahan penduduk bukan usia kerja akan meningkatkan beban tanggungan angkatan kerja.

Meningkatnya angkatan kerja sebaiknya di imbangi dengan kesempatan kerja. Hanya saja kesempatan kerja formal yang tersedia sangat terbatas, sehingga peranan sektor informal memberikan peluang yang baik dalam menciptakan lapangan kerja yang mandiri. Sektor informal yang bercirikan pekerja dengan pendidikan rendah, jam kerja tak teratur dan pendapatan yang rendah memerlukan pemecahan diantaranya melalui program-program yang dapat meningkatkan keterampilan dan produktifitas sehingga mempu meningkatkan kemampuan dalam berusaha.

A. Penduduk Usia Kerja

Pada dasarnya aktivitas penduduk berumur 10 tahun ke atas, dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu penduduk yang termasuk ke dalam kelompok angkatan kerja dan penduduk bukan angkatan kerja.

(7)

Penduduk berumur 10 tahun ke atas yang termasuk ke dalam kelompok angkatan kerja adalah pertama, penduduk yang selama seminggu yang lalu mempunyai pekerjaan, termasuk pekerja yang tidak mendapat bayaran dan Kedua, penduduk yang sedang mencari pekerjaan. Kelompok ini juga disebut sebagai kelompok penduduk yang aktif secara ekonomi (the economically active population).

Tabel 4. Penduduk Usia 10 Tahun keatas menurut Kegiatan Utama Seminggu yang lalu di Kabupaten Subang Tahun 1994-2007

Uraian 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) Angkatan Kerja 551.439 (54,82) 561.439 (56,82) 620.549 (61,03) 604.292 (58,51) 603.119 (58,00) 623.522 (58,34) 593.284 (53,87) Bekerja 532.894 (52,97) 532.894 (53,97) 594.810 (58,5) 557.008 (53.93) 567.176 (54,55) 584.292 (54,67) 561.131 (50,95) Mencari Pekerjaan 18.545 (1,85) 18.945 (1,95) 25.739 (2,53) 47.284 (4,58) 35.943 (3,45) 39.230 (3,67) 32.153 (2,92)

Bukan Angkatan Kerja 454.536 (45,18) 454.536 (43,18) 396.238 (38,97) 428.466

(41,49) 436.661 (42,00) 445.188 (41,66) 508.012 (46,13) Sekolah 125.379 (12,46) 127.379 (13,46) 163.116 (16,04) 151.065 (14,63) 142.321 (13,69) 148.492 (13,90) 161.262 (14,64) Mengurus Rmt. 216.779 (21.55) 206.879 (19.55) 156.144 (15.36) 190.868 (18.48) 202.930 (19.52) 219.450 (20.53) 255.887 (23,24) Lainnya 112.378 (11,17) 92.378 (9,17) 76.978 (7,57) 89.533 (8,38) 91.410 (8,79) 77.246 (7,23) 90.863 (8,25) 1.005.975 (100,00) 1.009.875 (100,00) 1.016.787 (100,00) 1.032.758 (100,00) 1.039.780 (100,00) 1.068.710 (100,00) 1.101.296 (100,00) Tabel 4. L a n j u t a n Uraian 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 (1) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) Angkatan Kerja 602.264 (54,44) 650.410 (57,4) 665.904 (57,99) 619.785 (53,49) 664.017 (57,68) 526.130 (43,70) 494.484 (40,78) Bekerja 569.527 (51,48) 581.097 (51,28) 607.747 (52,93) 553.925 (52,93) 577.959 (50,20) 458.118 (38,05) 457.326 (37,71) Mencari Pekerjaan 32.737 (2,96) 69.313 (6,12) 58.130 (5,06) 65.860 (5,68) 86.058 (7,48) 68.012 (5,64) 37.158 (3,06) Bukan Angkatan Kerja 503.967 (45,56) 482.804 (42,60) 482.365 (42,01) 538.925 (46,51) 487.203 (42,32) 677.721 (56,30) 718.220 (59,22) Sekolah 152.903 (13,82) 159.789 (14,10) 156.633 (13,64) 166.205 (14,34) 171.099 (14,86) 142.208 (11,81) 157.138 (12,96) Mengurus Rmt. 244.681 (22,12) 210.762 (18.60) 237.939 (20.72) 211.285 (18.24) 243.846 (21.18) 366.703 (30.46) 376.957 (31.08) Lainnya 106.383 (9,62) 112.253 (9,9) 87.793 (7,65) 161.435 (13,93) 72.258 (6,28) 168.810 (14,02) 184.125 (15,18) 1.106.231 (100,00) 1.133.214 (100,00) 1.148.269 (100,00) 1.158.710 (100,00) 1.151.220 (100,00) 1.203.851 (100,00) 1.212.704 (100,00) Sumber : BPS. Kab.Subang

(8)

Dari Tabel 4 terlihat bahwa sebelum krisis moneter yakni Tahun 1996 jumlah penduduk bekerja menunjukan angka yang paling tinggi dalam kurun waktu 15 tahun terakhir yakni sebanyak 594.810 orang (58.5%), dan setelah itu kemudian mengalami penurunan sejak krisis melanda tahun 1998-2008. Jumlah anak sekolah mencapai puncaknya pada tahun 1996 sebesar 16 % dan menjelang serta pasca krisis mengalami fluktuatif akan tetapi masih lebih rendah dari tahun 1996 yang masih berada di kisaran 11.81 % - 14.86 %. Jumlah pencari kerja yang mengalami peningkatan sebelum krisis moneter 1,85 % - 2,5 % dan setelah krisis berada dikisaran 3-7%. Sedangkan mengurus rumah tangga sebelum krisis berkisar antara 15.36 %-21.55 % dan pasca krisis cenderung meningkat tajam hingga tahun 2008 mencapai 31.08 %. Selanjutnya yang patut mendapat kajian lebih mendalam adalah penurunan jumlah penduduk yang bekerja, peningkatan jumlah pencari kerja, peningkatan penduduk yang bersekolah, mengurus rumah tangga dan lainnya. Fenomena peningkatan penduduk yang bersekolah merupakan investasi positif akan tetapi peningkatan mengurus rumah tangga dan lainnya menandakan bahwa pembangunan kesetaraan gender dalam bidang tenaga kerja masih belum optimal.

Ada tiga unsur yang sering terkait dengan masalah kesempatan kerja, yaitu

pertama, golongan umur penduduk yang akan menuntut kesempatan kerja pada saat sekarang dan waktu yang akan datang; kedua, laju peningkatan golongan umur tertentu dalam pertambahan angkatan kerja di masa yang akan datang; ketiga, pengaruh perkembangan ekonomi yang mampu menyerap angkatan kerja lebih banyak.

Oleh karena itu, untuk memberikan kontribusi yang besar pada angkatan kerja, maka upaya yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi berbasis kerakyatan akan lebih menguntungkan dibanding upaya lainnya.

B. Penduduk Yang Bekerja

Salah satu yang menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan adalah seberapa banyak angkatan kerja yang bisa diserap. Yang sering menjadi sorotan masalah angkatan kerja adalah produktivitas. Hal ini sangat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan penduduk, karena seyogyanya peningkatan ekonomi di berbagai sektor selalu diikuti oleh penciptaan lapangan kerja.

Dilihat dari penyerapan tenaga kerja ternyata sektor pertanian dalam kurun waktu (1994-2007) paling banyak menyerap angkatan kerja yaitu berkisar antara 43,20 - 58,8 persen, tetapi mengalami kecenderungan fluktuatif menurun hingga pada tahun 2007 hanya mencapai 43,23 %. Tenaga kerja di sektor perdagangan, hotel dan restauran mengalami kecenderungan meningkat sampai krisis ekonomi melanda hingga mencapai angka tertinggi pada tahun 1998 sebesar 22,77 %, dan selanjutnya cenderung menurun hingga pada tahun 2005 sebesar 19,77 %, kemudian meningkat kembali di tahun 2006 - 2007 mencapai 28,06 % dan 26,09 % serta sisanya tersebar di berbagai sektor seperti jasa, konstruksi dan lain-lain.

Namun demikian walaupun Penyerapan tenaga kerja sektor pertanian menurun tetapi masih tidak sebanding dengan hasilnya dilihat dari tingkat kontribusi sektor ini

(9)

terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 31.95 % dengan tingkat kepemilikan lahan yang hanya 0.3 ha. Sehingga dari kondisi tersebut, tenaga kerja di sektor pertanian cenderung tidak produktif.

Tabel 5. Jumlah Penduduk Bekerja berdasarkan Mata Pencaharian Utama Tahun 1994-2007

Mata Pencaharian SEBELUM KRISIS KRISIS

1994 1995 1996 1997 1998

1. Sektor Pertanian 58.31 58.31 58.80 58.06 49.89 2. Sektor Pertambangan dan Penggalian 0.13 0.13 0.09 0.42 0.28 3.Industri Pengolahan 8.04 8.04 5.28 5.69 7.80 4.Listrik, Gas dan air bersih 0.10 0.10 - 0.09 0.14 5. Bangunan dan Konstruksi 5.84 5.84 6.13 6.31 3.61 6. Perdagangan, Hotel dan Restauran 13.39 13.39 17.06 15.59 22.77 7. Pengangkutan dan Komunikasi 6.25 6.25 4.84 6.01 7.88 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa 0.12 0.12 0.49 0.50 0.24

9. Jasa-jasa 7.92 7.92 7.31 7.33 7.39

Lanjutan

Mata Pencaharian PASCA KRISIS

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

1.Pertanian 55.90 56.42 57.42 51.30 57.82 52.36 40.37 43.20 43.23 2.Pertambangan dan

Penggalian 0.57 0.15 0.15 0.38 0.17 0.17 0.89 0.72 0.71 3.Industri Pengolahan 4.43 6.73 6.73 7.84 5.23 5.11 7.80 8.13 8.17 4.Listrik, Gas dan air

bersih 0.11 0.08 0.08 - 0.18 0.18 0.44 0.13 0.14 5.Bangunan dan Konstruksi 3.68 4.16 4.16 4.87 3.89 3.65 6.56 3.38 3.35 6.Perdagangan, Hotel dan Restauran 21.28 18.83 18.83 19.26 19.16 22.71 24.10 28.06 26.09 7.Pengangkutan dan Komunikasi 5.45 4.76 4.76 8.04 6.92 9.12 9.57 4.15 4.07 8.Keuangan, Persewaan dan Jasa 0.44 0.76 0.76 0.61 0.51 0.65 0.71 0.19 0.18 9.Jasa-jasa 8.14 7.11 7.11 7.70 6.10 6.05 9.56 14.05 14.06 Sumber Data : BPS Kab.Subang

Tabel 6. Persentase Penduduk 10 Tahun Keatas yang bekerja menurut Status Pekerjaan Utama Tahun 1997 - 2007

Status Pekerjaan Utama Berusaha Sendiri Berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap Berusaha dengan dibantu buruh tetap Buruh / Karyawan Pekerja Keluarga 1997 14.08 30.82 0.37 39.65 15.08 1998 20.07 33.57 0.7 31.23 14.43 1999 19.41 27.91 0.94 38.46 13.28 2000 20.12 24.87 0.65 42.25 12.11 2001 16.49 26.18 0.83 44.70 11.80 2002 24.54 30.42 2.82 30.11 12,11 2003 24.45 26.69 2.37 35.50 10.99 2004 31.40 23.60 4.06 32.41 8,53 2005 22.96 22.44 1.68 43.96 8,96 2006 28.75 3,91 12,99 27.05 27.31 2007 29.50 3.90 12.95 26.29 27,36 Sumber : BPS Kab.Subang

(10)

Dan bila dikaji lebih jauh tenaga kerja penduduk Subang dilihat dari status pekerjaan tahun 1997-2007 umumnya masih didominasi oleh pekerjaan-pekerjaan sebagai buruh dan karyawan yakni berkisar antara 26,29 – 44,70 persen, buruh dengan dibantu buruh tidak tetap berkisar sebesar 3,9-33,57 persen dan berusaha sendiri berkisar antara 14-31 persen. Sedangkan berusaha dengan dibantu pekerja tetap berkisar antara 0,7 – 12,99 persen dan sebagai pekerja keluarga berkisar antara 8-27 persen. Dari gambaran tabel di atas, ternyata masih banyak pekerja yang berstatus pekerja keluarga, namun hal yang menggembirakan adalah meningkatnya status pekerja yang berusaha sendiri dan pekerja yang berusaha dengan dibantu buruh tetap. Artinya bahwa sektor informal menjadi kekuatan dalam perekonomian disamping mulai tumbuhnya investasi di Kabupaten Subang.

C. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)

Secara teoritis, sebetulnya paparan data serial pada grafik di bawah ini juga sekaligus memperlihatkan secara faktual fenomena ketidakmampuan aktivitas perekonomian Kabupaten Subang dalam menyerap pasar kerja. Angka Partisipasi Kerja dalam kurun waktu 1995-2007 memperlihatkan bahwa TPAK mencapai angka tertinggi pada saat sebelum krisis moneter Tahun 1996 sebesar 61,03 % dan selanjutnya memiliki kecenderungan fluktuatif menurun dengan angka terendah pada tahun 2006 yang mencapai 43.70 %, dan naik kembali di tahun 2007 menjadi 49,12%. penurunan tersebut selain disebabkan berkurangnya kesempatan kerja juga disebabkan tingginya perempuan untuk menjadi ibu rumah tangga yang mencapai 365.843 orang atau sekitar 60.16 % dari jumlah perempuan di atas 10 tahun.

Adapun dari tingkat pengangguran terbuka (TPT) memperlihatkan pola yang sedikit berbeda, di mana puncak pengangguran dalam kurun waktu 1995 – 2007 terjadi pada tahun 2005 yang mencapai 12,96 % termasuk mereka yang sedang mencari pekerjaan secara aktif. Hal ini disebabkan selain kesempatan kerja yang relatif rendah juga disebabkan bahwa komposisi penduduk di usia 15 - 64 pada tahun 2005 mencapai 66.87%. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa pada saat kesempatan kerja rendah sementara permintaan terhadap pasar kerja meningkat, maka cenderung pengangguran akan meningkat.

Grafik 2. Perbandingan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja dan Pengangguran Tahun 1995-2007 54.82 3.36 61.03 4.15 58.51 7.82 58 5.96 58.34 6.29 53.87 5.42 56.08 5.44 57.4 4.33 57.99 8.73 53.49 10.63 57.68 12.96 43.70 12.93 49.12 7.51 0 10 20 30 40 50 60 70 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

% ANGKATAN KERJA (TPAK) % PENGANGGURAN (TPT)

(11)

Dari data serial yang dipaparkan maka interprestasi yang muncul adalah masalah pengangguran merupakan suatu masalah serius bagi Kabupaten Subang, dimana kalau diperbandingkan antara kondisi sebelum krisis dan pasca krisis, nampak bahwa kisaran pengangguran sebelum krisis moneter mencapai 3.3.- 4.1 % sedangkan pengangguran pada pasca krisis berada pada kisaran antara 5.36 % - 12.96 % dan pada tahun 2007 ini kembali menurun menjadi 7.51 %. Kondisi tersebut harus menjadi perhatian semua stakeholder, mengingat dampak paling buruk yang akan terjadi adalah dapat menyebabkan penurunan daya beli masyarakat. Di mana effek berantai dari kondisi tersebut adalah munculnya ketidak-mampuan rumahtangga (masyarakat) untuk menyekolahkan anak-anaknya. Yang pada akhirnya akan bermuara pada peningkatan kemiskinan.

Selanjutnya pengamatan dari aspek gender untuk derajat partisipasi penduduk usia kerja dan angka pengangguran terbuka di Kabupaten Subang dapat dilihat pada Grafik 3. di mana bahwa sebelum krisis moneter TPAK baik laki – laki maupun perempuan memperlihatkan angka yang paling tinggi di tahun 1996 yakni 79.21 % dan 42.31%, dan di tahun 2007 yakni 82.03 % dan 45.88 %. Sedangkan untuk tingkat pengangguran memperlihatkan pola yang berbeda bagi perempuan sedangkan untuk laki-laki cenderung sama dimana pengangguran terendah terjadi pada tahun 1996 yang mencapai 3.21 % dan pengangguran tertinggi terjadi pada tahun 2007 mencapai 6.59 %. Rendahnya TPAK Wanita di banding Laki-laki disebabkan oleh tingkat pendidikan wanita lebih rendah di banding laki-laki serta masih adanya perlakuan yang kurang menguntungkan terhadap wanita dimana wanita bukanlah “pencari nafkah keluarga “, padahal diskriminsasi tersebut tidak sepenuhnya benar selama wanita yang bekerja tidak melanggar norma-norma agama.

Grafik 3. Perbandingan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Menurut Jenis Kelamin, 1995-2007

76.54 39.23 79.21 42.31 78.52 41.13 77.14 40.23 77.42 39.70 73.49 34.77 72.87 26.38 74.94 36.52 73.77 32.56 74.50 33.44 74.85 32.56 71.97 31.85 82.03 45.88 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 TPAK (L) TPAK (P)

(12)

Grafik 4. Perbandingan Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Jenis Kelamin, 1995-2007

4.03 6.92 3.21 6.11 5.45 7.34 5.15 6.54 5.36 8.06 5.435.40 5.98 8.17 3.54 6.87 4.98 6.81 4.46 7.28 5.76 7.15 5.92 7.20 6.59 9.14 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 TPT (L) TPT (P) Sumber : BPS Kab.Subang

Tabel.7 Data Pengangguran Berdasarkan Kecamatan Tahun 2006 – 2007

No. Kecamatan Jumlah Pengangguran

2006 2007 1. Subang 6.064 4.627 2. Cibogo 2.734 1.091 3. Kalijati 1.987 1.698 4. Cipeundeuy 1.434 880 5. Jalancagak 655 650 6. Cisalak 2.562 1.857 7. Sagalaherang 2.747 1.138 8. Pagaden 2.030 1.873 9. Cipunagara 1.771 1.413 10. Binong 3.037 2.374 11. Pamanukan 4.199 2.498 12. Pusakanagara 4.056 1.893 13. Legonkulon 1.064 620 14. Blanakan 2.677 1.253 15. Ciasem 7.761 2.375 16. Purwadadi 1.152 1.148 17. Patokbeusi 3.922 2.681 18. Tanjungsiang 1.357 1.404 19. Cijambe 2.721 1.110 20. Compreng 1.914 1.911 21. Cikaum 2.117 934 22. Pabuaran 2.072 1.730 J U M L A H 60.033 37.158

(13)

Sejalan dengan pertumbuhan investasi antara tahun 2003-2008, terjadi peningkatan jumlah perusahaan maupun penggunaan tenaga kerja. Pada tahun 2003 jumlah perusahaan sebanyak 233 perusahaan menjadi 285 perusahaan pada tahun 2008. Begitu juga dalam hal penggunaan tenaga kerja terjadi peningkatan dari tahun 2003 jumlah tenaga kerja yang bekerja di perusahaan sebanyak 17.675 orang dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 36.308 orang. Implikasi dari hal tersebut, timbul pula persoalan mengenai hubungan industrial, kesejahteraan pekerja, perlindungan tenaga kerja, dan pengeksploitasian pekerja anak dan perempuan serta diskriminasi gender dalam perekrutan tenaga kerja. Untuk mengatasi persoalan di atas, telah dilakukan sosialisasi mengenai berbagai peraturan ketenagakerjaan dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman baik bagi pengusaha maupun tenaga kerja di 120 perusahaan. Kemudian untuk melindungi pekerja anak dari pengeksploitasian digulirkan Program Pengurangan Pekerja Anak dalam rangka menunjang Program Keluarga Harapan (PPA-PKH) dimana 150 orang pekerja anak dikumpulkan di beberapa shelter, yaitu di Kecamatan Subang, Ciasem, Pamanukan, Patokbeusi, dan Pusakanagara dengan didampingi oleh 3 orang pendamping dan 3 orang tutor selama satu bulan. Tujuan dari kegiatan ini, agar para pekerja anak memiliki motivasi untuk kembali ke bangku sekolah, baik melalui pendidikan formal maupun informal bagi yang berminat, sedangkan bagi pekerja anak yang tidak ingin bersekolah dan usianya mendekati usia kerja maka diarahkan untuk diberikan pelatihan keterampilan kerja. Sebagai pilot proyek tindak lanjut dari kegiatan di atas, maka telah dilaksanakan pendidikan keterampilan melalui program Pendidikan Layanan Khusus (PLK), yaitu melalui kerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional.

Pendidikan dan pelatihan bagi pencari kerja sebanyak 2.444 orang (38,09 % dari 6.417 orang ) dalam berbagai bidang kejuruan telah mampu mempekerjakan sebanyak 2.000 orang sedangkan sisanya melakukan usaha mandiri. Sesuai dengan permintaan pasar kerja akan tenaga terampil dan kompeten, maka untuk menjawab permintaan tersebut telah diujikempetensikan sebanyak 200 orang tenaga kerja dan berhak atas sertifikat yang berstandar nasional. Dengan sertifikasi tersebut, tenaga kerja memiliki daya saing dan daya tawar di pasar kerja sehingga dapat mengisi lowongan kerja yang ada. Disamping itu juga keterbatasan lapangan kerja di dalam negeri mendorong masyarakat untuk bekerja di luar negeri. Selama kurun waktu di atas telah dibantu sebanyak 475 orang CTKI baik dalam bentuk pinjaman, subsidi bunga maupun bantuan penyelesaian administrasi keberangkatan CTKI ke luar negeri seperti pembuatan paspor, medical test, dan sebagainya.

Selanjutnya juga telah dilatih sebanyak 27 orang tenaga kerja muda terdidik (TKMT) dan tenaga kerja pembangunan mandiri professional untuk membantu masyarakat desa membangun perekonomian di desa. Melalui peningkatan efektivitas Informasi Pasar Kerja (IPK) telah ditempatkan tenaga kerja didalam negeri sebanyak

(14)

2.500 orang, sedangkan untuk penempatan tenaga kerja ke luar negeri melalui pola Antar Kerja Antar Negara yang terdaftar di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi kabupaten Subang sebanyak 3.714 orang dan penempatanya tersebar di berbagai negara.

Penyusunan Upah Minimum Kabupaten (UMK) setiap tahunnya ada kenaikan sebesar 15 % dari UMK tahun sebelumnya. Akan tetapi pada tahun 2007 dan 2008 kenaikan UMK hanya pada kisaran 10 % dan 8,6 % dari UMK tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan selain karena kondisi perekonomian yang belum stabil, juga ditambah dengan terjadinya krisis keuangan global yang melanda dunia pada pertengahan tahun 2008 sehingga berdampak pada kemampuan perusahaan untuk menaikan upah kerja.

Perubahan paradigma penempatan transmigrasi seiring dengan bergulirnya otonomi daerah mengubah pola penanganan transmigrasi yang semula sentralistik menjadi desentralistik. Dalam artian, daerah pengirim harus melakukan kerjasama penempatan transmigrasi dengan daerah penerima. Selama kurun waktu 2003 – 2008 telah dilakukan kerjasama penempatan transmigrasi di 19 propinsi di luar pulau Jawa dan telah ditempatkan sebanyak 157 kepala keluarga atau 62,8 % dari target 250 kepala keluarga sampai tahun 2009 dan target ini kemungkinan tidak akan tercapai sampai akhir tahun 2009 mengingat kuota pengiriman transmigran ditentukan oleh daerah penerima.

2.1.2. Analisa Kondisi Demografi

Dari kondisi di atas, maka analisa yang dapat disajikan adalah sebagai berikut : Analisa Kekuatan :

1) Peran KB sangat efektif dalam mengatur kelahiran yang berdampak pada pengaturan komposisi umur penduduk dimana angka ketergantungan masih di bawah 50 % yakni sebesar 39.45 % dan lebih jauh lagi berperan dalam mewujudkan keluarga yang berkualitas

2) Rendahnya LPP Kabupaten Subang sebesar 1.21 % dibandingkan dengan rata-rata Kabupaten lain di Jawa Barat sebesar 1.81%

Analisa kelemahan :

1) Tingkat perkawinan di bawah umur selama kurun waktu 12 tahun terakhir relatif tinggi berkisar antara 26-49 %, hal ini bila di biarkan akan menimbulkan LPP cenderung tinggi, munculnya KK Miskin baru atau meningkatnya kasus kematian bayi

2) Kemiskinan yang tinggi sebesar 31.62 % harus mendapat perhatian serius terutama kemiskinan struktural yang disebabkan oleh potensi yang sangat rendah

(15)

baik SDM, modal maupun sulitnya akses terhadap lapangan kerja secara permanen.

3) Masih tingginya angka pengangguran yang masih mencapai 7,5 %

4) Tidak produktifnya tenaga kerja yang bergerak di sektor pertanian sebagai akibat dari sektor pertanian masih tradisional belum mengarah pada peningkatan nilai tambah produksi

5) Perilaku diskriminatif orang tua/dunia usaha terhadap gender yang tergambar pada TPAK (laki-laki) sebesar 82,03 % jauh lebih besar dari TPAK (Perempuan) sebesar 45.88 % serta meningkatnya penduduk yang mengurus rumah tangga hingga mencapai 31.08 %

Analisa Peluang :

1) Komitmen yang tinggi baik di tingkat Pemerintah Pusat, Propinsi maupun stakehoder lainnya terhadap pengentasan permasalahan pengangguran dan kemiskinan.

2) Komitmen yang tinggi baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun Propinsi dalam menekan ledakan jumlah penduduk

Analisa Ancaman :

1) Kesempatan kerja yang dibutuhkan tidak sebanding dengan jumlah pengangguran 2) Tingkat kompetitif tenaga kerja Subang relatif belum mampu mengisi kebutuhan

(16)

2.2. KONDISI DAN ANALISA KONDISI SOSIAL BUDAYA 2.2.1. Kondisi Sosial Budaya

1. Pendidikan

Salah satu komponen krusial dalam kompilasi IPM. ialah indeks pendidikan, di mana indeks ini terdiri atas dua komponen krusial, yaitu rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf untuk penduduk yang berusia 15 tahun ke atas.

A. Tingkat Melek Huruf dan Rata-rata Lama sekolah

Kemampuan membaca dan menulis merupakan kemampuan minimum yang harus dimiliki penduduk, karena banyak informasi yang membutuhkan kemampuan tersebut, bahkan untuk supaya berkembang dalam berbagai aspek kehidupan kemampuan membaca dan menulis ini menjadi dasar bagi setiap penduduk.

Pengertian melek huruf adalah banyaknya/persentase penduduk yang berumur 15 tahun ke atas yang mampu membaca dan menulis huruf latin. Kenyataannya masih banyak penduduk usia 15 tahun ke atas atau lebih yang tidak mampu membaca dan menulis. Hal ini dapat disebabkan karena memang sejak lahir sampai sekarang penduduk tersebut belum atau tidak pernah sekolah, atau pernah sekolah tetapi putus sekolah sebelum mampu membaca dan menulis. Kedua kondisi diatas besar kemungkinan disebabkan oleh ketidakmampuan orang tua secara ekonomi untuk menyekolahkan anaknya, ataupun karena kurangnya kesadaran orang tua akan arti pentingnya pendidikan.

Sedangkan Rata-rata lama sekolah adalah lama pendidikan penduduk Subang yang berusia 15 tahun ke atas. Angka tersebut memberikan gambaran tentang seberapa lama penduduk Kabupaten Subang dalam mengenyam pendidikan. Sehingga semakin lama penduduk memperoleh pendidikan, maka semakin tinggi pula kualitas SDM penduduk tersebut dan lebih jauh lagi penduduk tersebut akan lebih memiliki peluang untuk memperoleh hidup yang lebih layak.

Tabel .8 Angka Melek Huruf dan Rata-rata lama sekolah Kabupaten Subang Tahun 1999-2008

Tahun AMH (%) RRLS (Tahun)

1999 86,20 5,40 2000 85,00 5,84 2001 86,80 5,99 2002 87,53 6,14 2003 87,78 6,51 2004 87,85 6,72 2005 88,34 6,75 2006 90,03 6,77 2007 91.17 6,93 2008 91.73 7,01 Sumber : BPS Kab.Subang

(17)

Tabel .9 Angka Melek Huruf dan Rata-rata lama sekolah Per Kecamatan Tahun 2007

NO KECAMATAN AMH RANGKING AMH RRLS RANGKING RRLS

1 2 7 8 9 10 1 Sagala herang 93.96 6 6.76 11 2 Jalan cagak 96.47 1 7.59 4 3 Cisalak 95.16 3 7.75 3 4 Tanjungsiang 94.11 5 6.93 9 5 Cijambe 92.98 7 7.06 6 6 Cibogo 92.68 9 6.98 7 7 Subang 95.23 2 8.24 1 8 Kalijati 94.64 4 7.5 5 9 Cipeundeuy 92.29 11 6.28 17 10 Pabuaran 86.44 21 6.76 12 11 Patokbesi 92.78 8 6.45 15 12 Purwadadi 91.68 12 6.96 8 13 Cikaum 87.63 19 6.1 20 14 Pagaden 90.54 15 6.66 13 15 Cipungara 88.41 16 5.75 22 16 Compreng 81.18 22 6.11 19 17 Binong 88.19 17 6.18 18 18 Ciasem 92.35 10 7.89 2 19 Pamanukan 90.68 14 6.34 16 20 Pusakanagara 87.75 18 6.62 14 21 Legonkulon 91.58 13 6.05 21 22 Blanakan 86.81 20 6.78 10 KAB SUBANG 91.17 6.93

Sumber : BPS Kab. Subang

Tingkat melek huruf di Kabupaten Subang pada tahun 1999 tercatat 86,2 %, tahun 2000 tercatat 85 %, tahun 2001 tercatat 86,80%, tahun 2002 tercatat 87,53 %, Tahun 2003 tercatat 87,78 %, Tahun 2004 tercatat 87.85 %, Tahun 2005 tercatat 88.34%, Tahun 2006 tercatat 90,03% dan Tahun 2007 tercatat 91,17 %. Dari kenaikan tersebut nampaknya bahwa peningkatannya belum signifikan dari kurun waktu 7 tahun terakhir kenaikannya tidak lebih dari 0.7 % kecuali di tahun 2006 dan 2007 yang meningkat tajam hingga mencapai 90,03% dan 91.17%. Dan kecamatan yang memiliki buta huruf terbanyak adalah kecamatan Compreng (81.18%), kecamatan Pabuaran (86,44%) sebagaimana tabel di atas, sedangkan berdasarkan usia, Buta Huruf terbanyak terdapat pada usia diatas 65 tahun ke atas sebesar 47.74 %, usia 60 – 64 tahun sebesar 23 %, usia 55 – 59 tahun sebesar 11.04% sebagaimana tabel di bawah ini.

(18)

Tabel .10 Angka Melek Huruf Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 2007

Kelompok

Umur Tidak dapat Baca Tidak dapat Baca (%)

15 – 19 399 0.37 20 – 24 290 0.32 25 – 29 284 0.30 30 – 34 935 0.91 35 – 39 2.435 1.91 40 – 44 4.158 3.83 45 – 49 6.124 5.83 50 - 54 9.518 10.12 55 – 59 7.395 11.04 60 – 64 13.984 23 65 + 54.100 47.74 JUMLAH 99.622 9.28 Sumber : BPS Kab.Subang

Adapun untuk Rata-rata lama sekolah pada tahun 1999 tercatat 5,4 tahun, tahun 2000 tercatat 5,84 tahun, tahun 2001 tercatat 5,99 tahun, tahun 2002 tercatat 6,14 tahun tahun 2003 tercatat 6,51 tahun, tahun 2004 tercatat 6,72 tahun, tahun 2005 tercatat 6,75 tahun, di tahun 2006 tercatat 6,77 tahun dan di tahun 2007 tercatat 6,93 tahun. Ini berarti bahwa peningkatan rata-rata lama sekolah di Kabupaten Subang mengalami kecenderungan naik tetapi belum signifikan dan masih jauh dari harapan untuk mencapai tahap Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun (dalam pengertian RRLS masih di bawah 9 tahun). Dan kecamatan yang memiliki RRLS terendah adalah kecamatan Cipunagara (5.75 tahun), kecamatan Legonkulon (6,05 tahun) sebagaimana tabel di atas.

B. Tingkat Partisipasi Sekolah

Segmentasi penduduk yang harus mendapatkan kesempatan sekolah secara demografis ditentukan pada selang usia (7-18) tahun, di mana secara operasional kelompok umur tersebut dipilah menjadi tiga; yaitu usia (7-12) tahun untuk tingkat Sekolah Dasar (SD.), usia (13-15) tahun untuk tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP.) dan umur (16-18) tahun untuk tingkat pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).

Pada dua kelompok umur yang pertama, yaitu usia (7-12) tahun dan (13-15) tahun merupakan umur yang krusial dikaitkan dengan adanya program yang dicanangkan oleh pemerintah yaitu Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) – 9 tahun. Dengan demikian, sudah selayaknya-lah apabila pengamatan yang lebih serius diarahkan pada kelompok usia ini. Angka Partisipasi Murni (APM) memberikan informasi yang lebih baik, di mana indikasi jumlah penduduk umur tertentu yang bersekolah pada tingkatan yang

(19)

sesuai dengan kelompok umurnya. Terlihat besaran APM pada tingkat sekolah dasar cenderung naik, dimana kenaikan yang sangat tajam terjadi pada periode tahun 2002-2007 yang berada dikisaran 94,09 % - 98,19 %, demikian juga untuk APM di tingkat SLTP dan SLTA sebagaimana Grafik 5.

Grafik. 5 Angka Partisipasi Murni (APM) SD/MI/PLS, SMP /MTs/PLS dan SMA /MA/PLS

Tahun 1993-2007 80.09 53.15 15.26 81.24 53.48 15.39 82.56 54.23 16.08 82.75 54.29 16.46 83.18 55.23 16.65 83.56 55.36 17.08 84.92 55.80 17.30 83.50 58.90 19.50 87.84 59.70 20.00 94.09 61.00 21.80 94.56 63.30 27.50 95.05 63.54 28.10 95 64.2 31 98.15 77.40 29.50 98.19 78.64 37.17 -10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 APM SD/MI/PLS APM SLTP/MTS/PLS APM SLTA/MA/PLS

Sumber : Dinas Pendidikan Kab. Subang

Grafik 6. Angka Partisipasi Kasar (APK) SD/MI/PLS, SMP /MTs/PLS dan SMA /MA/PLS

Tahun 1993-2007 95.26 56.35 18.12 96.12 58.06 18.26 97.65 60.16 18.78 99.12 63.04 19.03 100.05 65.24 19.17 100.78 67.15 19.56 102.26 69.92 20.16 103.25 68.80 19.94 104.70 73.15 22.90 105.10 77.03 29.50 107.60 77.11 29.86 108.94 78.05 30.35 109 79.4 33 111.53 95.00 37.07 98.11 78.64 37.17 -20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 APK SD/MI/PLS APK SLTP/MTS/PLS APK SLTA/MA/PLS

Sumber : Dinas Pendidikan Kab. Subang

Suatu indikator lain yang dapat digunakan untuk melihat kondisi partisipasi penduduk bersekolah pada Tingkat SD/MI /PLS, SMP /MTs/PLS dan SMA /MA/PLS dengan tidak mempertimbangkan usia siswa pada tingkatan tersebut ialah Angka Partisipasi Sekolah (APK). Pada grafik 6 dipaparkan besaran APK Kabupaten Subang pada kurun waktu 1993-2007.

Suatu interpretasi atas paparan data serial tersebut, bahwa ada peningkatan atas partisipasi segmen usia (7 - 15) tahun dan hal yang sama bila diamati untuk besaran APK usia (16 - 18) tahun. Suatu catatan krusial yang dapat dikemukakan, meskipun deteksi dari rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf yang digunakan dalam kompilasi angka IPM adalah untuk kelompok usia 15 tahun ke atas, akan tetapi tingginya besaran APK pada usia (7 - 18) tahun akan merupakan data investasi dalam meningkatkan angka rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf.

(20)

C. Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan

Pendidikan tertinggi yang ditamatkan penduduk usia 10 tahun ke atas dapat memberikan gambaran akan kondisi dan kualitas sumberdaya manusia secara spesifik. Dari Tabel 11 dapat tergambar bahwa penduduk usia 10 tahun ke atas di Kabupaten Subang secara umum pada tahun 2000-2007 yang menamatkan pendidikan Sekolah Dasar (SD) cenderung fluktuatif berkisar 26,59-38,51 % dan pada tahun 2007 ini meningkat tajam menjadi 35,86 % serta kembali menurun pada tahun 2008 menjadi 32.85 %. Dan fenomena yang harus mendapat perhatian serius adalah masih tingginya penduduk yang belum menamatkan pendidikan setara SD atau yang belum sekolah hingga mencapai 39.89 %, sehingga variabel inilah yang menjadikan permasalahan mendasar dalam upaya meingkakan indeks pendidikan, sedangkan rinciannya dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.

Tabel 11. Penduduk 10 Tahun keatas menurut Tingkat Pendidikan yang ditamatkan di Kabupaten Subang Tahun 2000-2007 Tingkat

Pendidika n

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Jumlah

(%) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%)

[1] [2] [3] [4] (5) (6) (7) (7) (8) (7) Tdk/Blm Pernah Sekolah & Tidak/Belum Tamat SD 444.782 (40,38) 453.655 (41,01) 488.365 (43,09) 442.553 (38,54) 409.680 (35,36) 420.798 (36,55) 542.614 (45,07) 453.030 (37,36) 485.379 (39,89) SD 420.115 (38,15) 426.056 (38,51) 412.629. (36,41) 448.792. (39,08) 420.430. (36,82) 364.824. (31,69) 320.125. (26,59) 434.848. (35,86) 399.717 (32,85) SLTP 133.364 (12,11) 126.630 (11,45) 132.075 (11,65) 145.745 (12,69) 220.675 (19,04) 206.481 (17,94) 193,692 (16,09) 182,114 (15,02) 168.161 (13,82) SLTA 90.735 (8,24) 86.117 (7,79) 88.313 (7,79) 90.406 (7,87) 91.510 (7,90) 131.511 (11,42) 120.229 (9,99) 115.577 (9,53) 118.272 (9,72) DIATAS SLTA 13.300 (1,12) 13.773 (1,24) 11.832 (1,04) 20.753 (2,81) 16.415 (1,41) 27.606 (2,39) 27.191 (2,26) 27.135 (2,24) 45.265 (3,72) Jumlah 1.101.296 (100,00) 1.106.231 (100,00) 1.133.214 (100,00) 1.148.269 (100,00) 1.158.710 (100,00) 1.151.220 (100,00) 1.203.851 (100,00) 1.212.704 (100,00) 1.16.794 (100,00) Sumber : BPS Kab.Subang

D. Jumlah DO SD, SLTP dan SLTA

Salah satu indikator yang berpengaruh terhadap rata-rata lama sekolah adalah tingginya DO. Apabila kita perhatikan dari data di bawah ini penurunan DO SD terjadi secara signifikan terlebih pada tahun 2005 yang hanya sebanyak 154 orang dan di tahun 2007 kembali menurun menjadi 110 orang. Pada tingkat SLTP jumlah DO di tahun 2002-2004 mencapai angka tertinggi di atas 450 siswa dan menurun drastis pada tahun 2005 – 2007 di kisaran 77-81 siswa. Demikian pula pada tingkat SLTA, jumlah DO menurun drastis di tahun 2006 dan 2007 menjadi 69 dan 86 siswa.

Variabel yang mempengaruhi DO disamping alasan ekonomi, sebagian lainnya karena alasan non ekonomi, seperti : kawin muda, pekerja di bawah umur dan budaya kontraproduktif lainnya.

(21)

Grafik 7. Jumlah DO SD/MI/PLS, SMP /MTs/PLS dan SMA /MA/PLS Tahun 1993-2007

635 315 248 615 306 216 598 295 194 536 312 206 546 282 187 573 245 167 506 226 157 491 243 127 434 132 171 434 462 207 358 459 206 362 458 238 154 81 125 223 81 69 110 77 86 -100 200 300 400 500 600 700 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Jumlah Anak DO DI SD Jumlah Anak DO DI SLTP Jumlah Anak DO DI SLTA

Sumber : Dinas Pendidikan Kab. Subang

E. Jumlah Angka Melanjutkan Sekolah ke SLTP dan SLTA

Salah satu indikator lainya yang berpengaruh terhadap rata-rata lama sekolah adalah angka melanjutkan sekolah. Dari data yang ada terlihat bahwa untuk AMS SD ke SLTP mengalami kenaikan signifikan pada periode Tahun 2001-2007 berada di kisaran 81.5 % - 98.5 % . Namun untuk AMS SLTP ke SLTA pada tahun 1993 – 2005 mengalami kenaikan yang tidak signifikan berada dikisaran antara 52-57 % dan di tahun 2006 -2007 meningkat signifikan menjadi 68% dan 69%.

Grafik 8. AMS SD ke SMP dan SMP ke SMA Tahun 1993-2007

65.23 52.12 66.45 52.34 67.15 52.75 67.53 53.25 68.68 53.35 69.26 53.78 70.56 54.35 69.76 54.94 81.50 55.07 83.40 54.98 87.98 55.50 89 57.3 91.00 59.00 98.00 68.00 98.50 69.00 -10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 SD - SLTP SLTP - SLTA

Sumber : Dinas Pendidikan Kab. Subang

Permasalahan pendidikan di Kabupaten Subang secara umum sangat dipengaruhi oleh :

- Faktor ekonomi

Permasalahan ekonomi sangat berdampak terhadap dunia pendidikan, dimana layanan pendidikan akan relatif sulit dirasakan bagi keluarga miskin.

Kemampuan yang terbatas terhadap akses layanan pendidikan dasar, menjadikan tingkat pendidikan keluarga miskin cenderung rendah. Penyebab utama masalah ini adalah terbatasnya jangkauan fasilitas pendidikan, tingginya biaya pendidikan,

(22)

(termasuk didalamnya ongkos transport, dan kebutuhan lainnya) serta tingkat pendapatan yang cukup rendah.

Terbatasnya akses pendidikan bagi keluarga miskin ditunjukkan oleh banyaknya kepala keluarga yang tidak mempunyai ijazah. Angka Putus Sekolah juga merupakan salah satu indikator mutu pendidikan yang terkait dengan kondisi kemiskinan masyarakat. Berdasarkan Hasil Penelitian BPS Tahun 2005 di daerah pantura, terlihat bahwa sebanyak 64,5 persen kepala keluarga tidak sekolah/tidak tamat sekolah dasar. Hal yang mungkin melatarbelakangi tingginya angka tersebut adalah budaya kawin muda yang masih sering terjadi di daerah tersebut.

TABEL 12. PERSENTASE KEPALA KELUARGA MISKIN BERDASARKAN IJAZAH/STTB TERTINGGI YANG DIMILIKI

KEPEMILIKAN IJAZAH PEGUNUNGAN PEDATARAN PANTAI

[1] [2] [3] [4] TIDAK PUNYA 47.5 45.9 64.5 SD/MI/SEDERAJAT 44.5 34.5 19.4 SLTP/MTs/SEDERAJAT 7.1 19.2 16.1 SLTA/MA/SEDERAJAT 0.8 0.3 0 DIATAS SLTA - - - JUMLAH 100.0 100.0 100.0

Sumber : Hasil Penelitian BPS Tahun 2005

Kondisi di atas berdampak kepada tingginya angka buta huruf di Kabupaten Subang. Disinyalir bahwa besarnya angka buta huruf merupakan produk masa lalu (karena banyak terjadi pada penduduk berusia tua) dan sebagian besar terjadi pada keluarga miskin. Pada tabel berikut terlihat bahwa persentase buta huruf pada keluarga miskin rata-rata sebesar 31 persen. Kondisi ini jelas sangat berpengaruh terhadap kualitas SDM.

Dalam hal kemampuan untuk bersaing di dalam pasar lapangan kerja, keluarga miskin yang juga buta huruf akan lebih terpinggirkan dan hanya mampu bekerja pada jenis pekerjaan dengan upah yang sangat rendah.

TABEL 13. PERSENTASE KELUARGA MISKIN BERDASARKAN KEMAMPUAN MEMBACA DAN MENULIS

STATUS PENDIDIKAN DAPAT MEMBACA & MENULIS BUTA HURUF JUMLAH

[1] [2] [3] [4]

PEGUNUNGAN 63.0 37.0 100

PEDATARAN 73.9 26.1 100

PANTAI 71.0 29.0 100

Sumber : Hasil Penelitian BPS Tahun 2005

Kondisi miskin juga seolah ditularkan kepada generasi berikutnya, sebab mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menyekolahkan anaknya. Meskipun persentase keluarga miskin yang mempunyai anak yang tidak sekolah cukup

(23)

rendah (sekitar 5 persen), namun hal ini tidak boleh diabaikan karena akan berdampak terhadap angka partisipasi sekolah.

TABEL 14. PERSENTASE KELUARGA MISKIN

BERDASARKAN KEBERADAAN ANAK USIA SEKOLAH (7-15 TAHUN) YANG TIDAK BERSEKOLAH

DAERAH ADA TIDAK ADA JUMLAH

[1] [2] [3] [4]

PEGUNUNGAN 5.9 94.1 100

PEDATARAN 2.7 97.3 100

PANTAI 4.9 95.1 100

Sumber : Hasil Penelitian BPS Tahun 2005

TABEL 15. PERSENTASE KELUARGA MISKIN BERDASARKAN ALASAN TIDAK MENYEKOLAHKAN ANAK

ALASAN PEGUNUNGAN PEDATARAN PANTAI

[1] [2] [3] [4]

a. Tidak Ada Biaya 71.4 80.0 100.0

b. Merasa Tidak Perlu 7.2 10.0 0.0

c. Lainnya 21.4 10.0 0.0

JUMLAH 100.0 100.0 100.0

Sumber : Hasil Penelitian BPS Tahun 2005

- Faktor Budaya

Fenomena yang perlu di cermati adalah masalah budaya yang kontradiktif dimana ada anggapan bahwa anak yang paling penting adalah membantu orang tua bekerja sebagai petani atau pekerjaan lainnya. Padahal dengan perilaku tersebut anak akan tertinggal dalam mempersiapkan masa depannya, apalagi bahwa pekerjaan pertanian tersebut hanya sekedar buruh tani yang jelas-jelas sudah kelebihan tenaga kerja tidak produktif (over employment).

2. Kesehatan

Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, telah dilakukan berbagai upaya kesehatan, yakni promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif. Upaya tersebut tercermin antara lain melalui kegiatan penyuluhan kesehatan, pelayanan kesehatan, pembinaan kesehatan, pemberantasan penyakit menular dan lain-lain. Untuk melihat hasil upaya tersebut, dapat dilihat dari perkembangan derajat kesehatan berupa Angka Harapan Hidup dan indikator lainnya seperti Angka Kematian Bayi, Angka Kematian Ibu, status gizi masyarakat,, kondisi kesehatan lingkungan, Kondisi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), Kondisi Sarana dan Prasarana Pelayanan serta lainnya.

Angka Harapan Hidup (AHH) adalah salah satu indikator kesehatan yang digunakan untuk menjelaskan tinggi rendahnya Umur Harapan Hidup waktu lahir dan lebih jauhnya indikator ini menggambarkan taraf hidup suatu negara, karena kaitannya yang sangat erat dengan Indeks Mutu Hidup (IMH) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Umur Harapan Hidup waktu lahir menunjukan adanya peningkatan dimana tahun 2000

(24)

mencapai 66,20 tahun, tahun 2001 mencapai 66,43 tahun, tahun 2002 mencapai 67,21 tahun, tahun 2003 mencapai 67,54 tahun, tahun 2004 mencapai 67,81 tahun, tahun 2005 mencapai 67,87 tahun, tahun 2006 mencapai 68,39 tahun dan tahun 2007 mencapai 68,52 tahun. Adapun indikator kesehatan lainnya antara lain :

A. Angka Kematian Bayi (AKB)

Suatu hal lain yang menarik, kondisi suatu wilayah dapat dilihat dari aspek derajat kesehatan, di mana derajat kesehatan itu sendiri diukur dengan menggunakan angka kematian bayi (AKB.). Berdasarkan kriteria daerah yang direkomendasikan Stan

D'Souza1 dari aspek AKB. atau derajat kesehatan, maka diinterpretasikan, pada tahun

1980 wilayah kabupaten Subang termasuk daerah soft-rock dan pada kurun waktu 1990-2007 berdasarkan kriteria Stan D'Souza, Kabupaten Subang masih berada dalam posisi daerah intermediate-rock. Artinya bahwa kematian bayi terjadi karena faktor sosial dan budaya sehingga memerlukan intervensi penyadaran yang cukup intensif di masyarakat.

Tabel 16. Angka Kematian Bayi (AKB), Rata-rata Umur Wanita Perkawinan Pertama Di Kabupaten Subang, 1980-2007

Sumber: BPS. Kab.Subang.

Catatan: *) = angka harapan hidup waktu lahir.

1

Menurut "B-Pichart classification"-Stan D'Souza (1984) dalam Brotowasisto (1990), Angka kematian Bayi membagi daerah menjadi 3 (tiga) wilayah; yaitu:

1. Daerah dengan AKB diatas 100 per seribu kelahiran bayi hidup sebagai daerah soft-rock, di mana sebagian besar kejadian kematian bayi disebabkan oleh penyakit menular.

2. Daerah dengan AKB 30-100 per seribu kelahiran hidup dikategorikan sebagai daerah intermediate-rock, yang memerlukan perubahan sosial untuk menurunkan AKB-nya.

3. Daerah dengan AKB di bawah 30 per seribu kelahiran bayi hidup diklasifikasikan sebagai daerah hard-rock, yaitu hanya sebagian kecil saja kematian yang disebabkan oleh penyakit menular dan sebagian besar disebabkan oleh kelahiran bawaan atau congenital.

Tahun AKB Kriteria Wilayah Angka Harapan Hidup*)

1980 129,02 Soft-rock 48,50 1990 74,67 Intermediate-rock 59,00 1994 60,60 Intermediate-rock 62,87 1995 57,33 Intermediate-rock 62,46 1996 56,00 Intermediate-rock 62,83 1997 51,50 Intermediate-rock 64,30 1998 48,81 Intermediate-rock 64,32 1999 55,38 Intermediate-rock 65,00 2000 50,23 Intermediate-rock 66,20 2001 49,36 Intermediate-rock 66,43 2002 47,67 Intermediate-rock 67,21 2003 42,39 Intermediate-rock 67,54 2004 41,00 Intermediate-rock 67,81 2005 40,67 Intermediate-rock 67,87 2006 45,00 Intermediate-rock 68,39 2007 43.36 Intermediate-rock 68,52

(25)

Pada tahun 2000 dilaporkan kasus kematian bayi sebanyak 424 dari 28176 kelahiran hidup, tahun 2001 sebanyak 219 kasus dan tahun 2002 sebanyak 327 kasus, dan pada tahun 2003 sebanyak 299 kasus sedangkan pada tahun 2004 sebanyak 195 kasus, pada tahun 2005 sebanyak 184 kasus, pada tahun 2006 sebanyak 175 kasus yang terdiri dari 130 kasus neonatal dini (0-7 hari), 31 kasus neonatal lanjut (7-28 hari) dan 14 kasus kematian bayi (28 hari -12 bulan), pada tahun 2007 sebanyak 170 kasus dari 29.003 kelahiran hidup yang terdiri dari 157 kasus kematian neonatal (0-28 hari) dan pada tahun 2008 sebanyak 162 kasus. Adapun rinciannya sebagai berikut :

Tabel 17. Jumlah Kematian Bayi menurut Puskesmas di Kabupaten Subang Tahun 2003-2008 NO PUSKESMAS 2003 2004 2005 2006 2007 2008 1 SAGALAHERANG 6 5 4 6 6 4 2 SERANGPANJANG 0 1 1 3 JALANCAGAK 8 7 3 6 7 8 4 KASOMALANG 2 1 2 3 4 4 5 PALASARI 3 5 3 7 5 5 6 CISALAK 11 4 5 5 1 6 7 TANJUNGSIANG 5 6 3 5 5 9 8 TANJUNG WANGI 6 6 3 8 3 2 9 CIRANGKONG 1 1 1 4 1 10 CIBOGO 3 11 1 1 11 5 11 CIKALAPA 28 15 24 8 7 6 12 SUKARAHAYU 16 14 9 8 10 10 13 KALIJATI 21 7 11 12 7 2 14 RAWALELE 13 8 7 5 9 5 15 CIPEUNDEUY 12 9 20 10 4 6 16 PABUARAN 4 3 3 1 4 17 PRINGKASAP 3 1 2 0 3 2 18 PATOKBEUSI 1 2 3 1 2 1 19 RANCABANGO 7 7 5 2 1 3 20 PURWADADI 12 6 9 5 6 6 21 CIAKUM 7 4 7 5 4 5 22 PAGADEN 9 7 7 3 3 5 23 GUNUNGSEMBUNG 8 2 5 10 4 0 24 CIPUNAGARA 9 8 11 9 8 4 25 COMPRENG 5 2 1 2 3 3 26 JATIREJA 8 11 3 4 2 2 27 BINONG 3 5 10 3 2 28 TAMBAK DAHAN 2 2 3 1 4 29 WANAJAYA 4 2 5 4 1 30 CIASEM 2 3 4 2 31 MANDALAWANGI 3 1 6 1 5 4 32 JATIBARU 0 3 5 33 PAMANUKAN 15 4 5 6 4 12 34 BATANGSARI 7 6 2 3 1 7 35 PUSAKANAGARA 6 2 5 5 3 36 KARANGANYAR 6 5 6 3 4 2 37 LEGONKULON 13 13 4 5 3 4 38 BLANAKAN 2 8 2 2 8 5 39 CILAMAYAGIRANG 1 4 0 4 2 40 Pagaden Barat 0 0 0 0 0 0 JUMLAH 270 195 184 175 170 162

(26)

Menurut Singarimbun (1988: vii-viii) bahwa beberapa faktor memiliki kekuatan untuk menurunkan angka kematian, khususnya kematian bayi dan anak, yaitu:

a. kemajuan dalam bidang ekonomi dan meningkatnya taraf hidup; b. kemajuan dalam bidang pengetahuan kedokteran dan teknologi; c. perbaikan sanitasi dan higiena; dan

d. peningkatan persediaan makanan dan perbaikan gizi.

Satu sama lain faktor-faktor tersebut saling berkaitan dan tidak mudah untuk melihat mana yang lebih penting.

Resiko kematian bayi yang tinggi dialami oleh bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kawin muda. Resiko kematian bayi ini pada ibu yang kawin pada umur di bawah 16 tahun 30 persen lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang kawin pada umur 20 tahun ke atas (Adioetomo, 1984). Pada umumnya kawin muda mempunyai korelasi positif dengan umur muda mempunyai anak pertama dan ini berkaitan pula dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Caldwell dan McDonald (1981) ditemukan pula di Indonesia bahwa pendidikan, terutama pendidikan ibu, berpengaruh sangat kuat terhadap kelangsungan hidup anak dan bayinya. Hal ini didukung pula oleh Utomo dan Hatmadji (1982) yang menyimpulkan dari survei fertilitas-mortalitas tahun 1973 bahwa di antara berbagai faktor yang diteliti: pendidikan ibu, umur perkawinan pertama, pekerjaan, indeks fasilitas rumah tangga dan lama kebiasaan menyusui, maka pendidikan berpengaruh paling signifikan dan terkuat. Kemudian dengan menggunakan data SUPAS 1976, diperoleh informasi yang berharga tentang perbedaan AKB dan AKA (Angka Kematian Anak) antara berbagai kelompok pendidikan ibu. AKB dan AKA dua kali lipat lebih tinggi pada ibu yang tidak pernah sekolah dibanding dengan ibu yang berpendidikan SLTP ke atas. Tampak pula bahwa dengan hanya berpendidikan SD sudah bisa menurunkan AKB dan AKA sekitar 10 persen. Selanjutnya ditunjukkan pula bahwa kematian menjadi semakin tinggi apabila ibu yang tidak pernah sekolah tadi tinggal di pedesaan.

Dikaitkan dengan pemberian ASI dihubungkan dengan penyakit diare, Feachem dan Koblinsky (1984) melakukan peninjauan terhadap 35 penelitian di 14 negara, ternyata 83 persen dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberian ASI secara eksklusif lebih memberikan perlindungan dibanding dengan pemberian ASI hanya sebagian. Ditemukan pula bahwa 88 persen yang diberi ASI secara eksklusif lebih terlindung dibanding yang tidak diberi ASI; dan 76 persen yang diberi ASI sebagian menunjukkan lebih terlindung dibanding dengan yang tidak diberi ASI.

Dikatakannya pula bahwa pemberian ASI pada anak berumur di atas satu tahun ternyata tidak memberikan efek perlindungan terhadap morbiditas diare. Dengan demikian pemberian ASI sebaiknya dilakukan terhadap bayi, bukan terhadap anak. Tidak demikian halnya dengan kehamilan yang dikaitkan dengan pemberian ASI.

Bila seorang bayi meninggal, maka masa menyusui pun terputus. Memperpanjang masa menyusui dengan menunda datangnya ovulasi, maka pemberian ASI ini akan melindungi si ibu dari kehamilan.

(27)

Bila bayinya meninggal dan masa menyusui berhenti, ia akan kehilangan perlindungan itu (Singarimbun dan Hull, 1977).

Meskipun demikian, kemajuan teknologi, perkembangan industri susu formula, urbanisasi dan pengaruh kebudayaan Barat telah menyebabkan pergeseran nilai-nilai sosial-budaya masyarakat. Seperti disampaikan oleh Tumbelaka (1981) bahwa memberi susu botol dianggap modern dan menempatkan si ibu pada kedudukan sama dengan ibu-ibu golongan atas.

Fenomena yang ditampilkan tabel 16 menunjukkan hal yang menggembirakan, namun tetap harus menjadi perhatian mengingat kondisi Kematian Bayi di Kabupaten Subang masih dalam taraf intermediat rock yang memerlukan perubahan sosial dan perilaku di masyarakat.

B. Kematian Ibu

Angka Kematian Ibu (AKI) atau maternal mortality rate menunjukkan jumlah kematian ibu karena kehamilan, persalinan dan masa nifas pada setiap 1000 kelahiran hidup dalam suatu kurun waktu tertentu di wilayah tertentu. Angka ini mencerminkan tingkat kesadaran perilaku hidup sehat, status gizi dan kesehatan ibu, keadaan sosial ekonomi, kondisi lingkungan serta fasilitas dan tingkat pelayanan kesehatan prenatal dan obstetri. Beberapa faktor langsung yang mempengaruhi AKI secara langsung adalah status gizi, anemia pada kehamilan, terlambat hamil dan terlalu sering hamil. Beberapa faktor mendasar yang mempengaruhinya adalah tingkat pengetahuan dan pendidikan ibu, lingkungan fisik, budaya dan sosial ekonomi keluarga.

Angka kematian ibu di Kabupaten Subang belum diketahui tetapi dapat dilihat dari jumlah kematian ibu bersalin, tahun 2000 sebanyak 33 kasus dari 26.052 persalinan, tahun 2001 sebanyak 46 kasus dari 27.453 dan tahun 2002 sebanyak 41 kasus dari 27.738, tahun 2003 terdapat 30 kasus dari 27.107 persalinan, pada tahun 2004 terdapat 22 kasus dari 27.501 persalinan, pada tahun 2005 terdapat 20 kasus dari 28.130 persalinan, pada tahun 2006 terdapat 18 kasus dari 28.440 persalinan, yang terdiri dari 4 kasus ibu hamil, 7 kasus ibu bersalin dan 7 kasus ibu nifas, dan pada tahun 2007 terdapat 16 kasus dari 29.003 persalinan, yang terdiri dari 1 kasus ibu hamil, 7 kasus ibu bersalin dan 8 kasus ibu nifas, sedangkan pada tahun 2008 terdapat 17 kasus dari 28.429 persalinan, yang terdiri dari 4 kasus ibu hamil, 6 kasus ibu bersalin dan 7 kasus ibu nifas.

Penyebab kematian ibu pada tahun 2006 adalah perdarahan 6 kasus, PEB/eklampsi 6 kasus, decom 2 kasus, 1 kasus hipertensi esensial dan 1 kasus tidak ada keterangan. Dari 18 kasus tersebut, 3 kasus diantaranya karena terlambat memutuskan, 1 kasus terlambat transportasi, sedangkan 14 kasus lainnya sudah sesuai prosedur, dengan tingkat pendidikan ibu, 10 kasus berpendidikan SD, 3 kasus berpendidikan SLTP, 4 kasus berpendidikan SLTA dan 1 kasus berpendidikan perguruan tinggi. Berdasarkan penolong persalinannya adalah 11 kasus oleh dokter, 2 kasus oleh bidan dan 1 kasus oleh paraji, 13 kasus diantaranya meninggal di rumah sakit dan 5 kasus di rumah.

(28)

Penyebab kematian ibu pada tahun 2007 adalah perdarahan 8 kasus, PEB/eklampsi 6 kasus, dan decom 2 kasus. Uraian dari 16 kasus tersebut adalah sebagai berikut: 8 kasus diantaranya karena terlambat memutuskan, 1 kasus terlambat transportasi, 1 kasus terlambat pelayanan, sedangkan 6 kasus lainnya sudah sesuai prosedur; 2 kasus terlalu muda, 2 kasus terlalu tua, dan 1 kasus terlalu sering; tingkat pendidikan ibu 8 kasus berpendidikan SD, 4 kasus berpendidikan SLTP, 3 kasus berpendidikan SLTA dan 1 kasus berpendidikan perguruan tinggi; berdasarkan penolong persalinannya adalah 14 kasus oleh dokter, 2 kasus oleh bidan dan 1 kasus oleh paraji; berdasrkan tempat 11 kasus diantaranya meninggal di rumah sakit umum daerah, 1 kasus meninggal di rumah sakit swasta, 1 kasus di rumah bersalin swasta, 1 di rumah dan 2 di perjalanan.

Penyebab kematian ibu pada tahun 2008 adalah eklampsi 11 kasus, perdarahan 4 kasus, decomp 1 kasus dan lain-lain 1 kasus. Uraian dari 17 kasus tersebut adalah: 5 kasus diantaranya karena terlambat memutuskan, 3 kasus karena terlambat pelayanan rujukan, sedangkan 9 kasus telah sesuai prosedur. Dilihat dari kondisi ibu, dari 17 kematian ibu adalah 2 kasus terlalu muda, 3 kasus terlalu tua, 1 kasus terlalu sering dan 1 kasus terlalu banyak. Dari tingkat pendidikan ibu, terdiri dari 11 kasus berpendidikan SD, 4 kasus berpendidikan SLTP dan 2 kasus berpendidikan SLTA. Berdasarkan tempat kematian: 15 kasus di RSUD, 1 kasus di PONED dan 1 kasus di RS PTP.

Adapun rincian kasus kematian ibu sebagai berikut :

Tabel 18. Jumlah Kematian Ibu menurut Puskesmas di Kabupaten Subang Tahun 2003 - 2008 NO PUSKESMAS 2003 2004 2005 2006 2007 2008 1 SAGALAHERANG 1 2 SERANGPANJANG 2 3 JALANCAGAK 2 1 2 2 4 KASOMALANG 1 1 1 5 PALASARI 1 1 6 CISALAK 1 1 7 TANJUNGSIANG 2 2 8 TANJUNG WANGI 9 CIRANGKONG 2 10 CIBOGO 2 1 2 11 CIKALAPA 2 4 2 1 12 SUKARAHAYU 1 1 13 KALIJATI 2 1 3 14 RAWALELE 1 15 CIPEUNDEUY 3 1 16 PABUARAN 1 1 1 17 PRINGKASAP 1 18 PATOKBEUSI 1 1 19 RANCABANGO 1 20 PURWADADI 2

(29)

NO PUSKESMAS 2003 2004 2005 2006 2007 2008 21 CIAKUM 1 1 1 22 PAGADEN 3 1 23 GUNUNGSEMBUNG 1 1 24 CIPUNAGARA 25 COMPRENG 1 1 26 JATIREJA 2 27 BINONG 1 2 28 TAMBAK DAHAN 1 1 29 WANAJAYA 1 4 30 CIASEM 2 3 1 1 31 MANDALAWANGI 1 1 2 1 32 JATIBARU 33 PAMANUKAN 2 1 34 BATANGSARI 1 1 2 1 35 PUSAKANAGARA 1 1 1 2 3 36 KARANGANYAR 1 1 2 37 LEGONKULON 1 1 38 BLANAKAN 1 1 2 39 CILAMAYAGIRANG 1 40 PAGADEN BARAT 0 0 0 0 0 0 JUMLAH (KAB/KOTA) 30 22 20 18 16 17

Sumber: : Dinas Kesehatan C. Status Gizi Masyarakat

Masalah utama gizi di Kabupaten Subang masih diwarnai dengan masalah gizi buruk (khususnya pada kelompok umur Balita dan ibu hamil), Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), anemia gizi besi dan kurang vitamin A.

Dari data status gizi Balita yang didapatkan dari pemantauan status gizi (Tabel 19) dapat dilihat bahwa Balita dengan status gizi buruk dan gizi kurang pada setiap tahunnya relatif menurun, sedangkan Balita dengan status gizi baik menunjukkan kecenderungan meningkat.

Tabel 19. Status Gizi Balita di Kab. Subang Tahun 2003- 2008 No Kategori 2003 2004 2005 2006 2007 2008

1. Status gizi buruk 0,71% 0,67 % 0,6% 0,64% 0,62% 0,61% 2. Status gizi

kurang

11,27% 9,57 % 9,0% 8,29% 9,16% 7,88%

3. Status gizi baik 86,53% 88,40 % 89,5% 89,92% 88,61% 90% 4. Status gizi lebih 1,61% 1,36 % 0,9% 1,15% 1,61% 1,51%

Gambar

Tabel  1. Penduduk Kabupaten Subang Menurut Kelompok Umur,  Tahun 1994 - 2008
Grafik 1B. Jumlah Rumah Tangga (RMT) Miskin  Tahun 2006 - 2008 .
Tabel  2. Rumah Tangga Miskin Per Kecamatan   Tahun 2008
Tabel  3. Persentase Penduduk Perempuan Kabupaten Subang Yang Pernah Kawin  Menurut kelompok Umur, Tahun 1994 -2005
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian dan analisis data yang telah dilakukan didapatkan bahwa kemampuan pemecahan masalah mahasiswa tergolong baik sekali pada indikator pertama

Kekurangan ampas di PG selayaknya dapat diatasi karena tebu memiliki kadar ampas yang cukup untuk bahan bakar ketel, dengan instalasi yang seimbang, peralatan yang

Komitmen organisasi adalah dorongan dari dalam individu untuk berbuat sesuatu agar dapat menunjang keberhasilan organisasi sesuai dengan tujuan dan lebih

Tutkimuksessa mukana olevien vuokra-asunnon tarjoajien vertailulla pyritään saamaan kokonaiskuva pääkaupunkiseudun arava- ja korkotukivuokra-asuntojen hakijoista,

cokelat tercipta dari campuran 1.200 macam zat, tanpa satu rasa yang jelas-jelas dominan. Sebagian dari zat itu rasanya sangat tidak enak kalau berdiri sendiri. Karenanya, sampai

Kuesioner ditujukan bagi lima belas orang pemandu dan delapan orang pengunjung Diorama Sejarah Perjalanan Bangsa di lingkungan Arsip Nasional Republik Indonesia yang

adalah untuk melengkapi data sosial ekonomi yang terdapat pada buku profil Desa wih resap. Dalam mengumpulkan data sosial ekonomi ini kami menggunakan metode wawancara

Kita akan melihat berbagai budaya dari luar Indonesia yang dibawa oleh para dai seperti nasyid, hadrah, atau folklor yang tersaji dalam bentuk cerita Islami, tembang islami dan