• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pulau Belitung yang berdasarkan letak geografisnya berada pada posisi Lintang Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pulau Belitung yang berdasarkan letak geografisnya berada pada posisi Lintang Selatan"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Eksplorasi Tinggalan Arkeologi Bawah Air Belitung Oleh: Shinatria Adhityatama

Pulau Belitung yang berdasarkan letak geografisnya berada pada posisi 2°30’ - 3°15’ Lintang Selatan dan 107°35’ - 108°18’ Bujur Timur pada bagian utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan dan di bagian selatan dengan Laut Jawa, dengan luas wilayah 34.496 km² (Listiyani,2008:20). Pulau ini telah menjadi kawasan tambang timah, jauh sebelum Indonesia merdeka. Dalam catatan sejarah,

penambangan timah di Pulau Belitung dimulai pada abad ke-17 di masa Kesultanan Palembang. Pada masa Kolonial Belanda, Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengambil alih penguasaan penambangan timah di Pulau Belitung.

Penambangan timah yang dilakukan di Pulau Belitung harus diakui menjadi salah satu penyumbang perubahan sosial ekonomi terbesar dalam sejarah pulau tersebut. Berdirinya perusahaan swasta Billiton Maatschappij, atau Billiton Mij, sebuah perusahaan yang menguasai pertambangan, telah mendominasi sejarah Pulau Belitung sejak tahun 1850 hingga 1908. Adanya aktivitas penambangan

di Pulau Belitung turut serta membentuk perubahan demografi dan ekonomi di Pulau ini, mulai dari datangannya kuli tambang dari Singapura dan daratan Cina, maraknya pembukaan lahan untuk lada, hingga ramainya para pedagang yang membawa barang komoditas internasional ke Pulau Belitung.

Letak geografis Pulau Belitung yang strategis menjadikan pulau ini sebagai jalur pelayaran yang

ramai dilalui oleh para pedagang internasional pada jaman dahulu. Hal ini dapat dilihat dari data arkeologi bawah air yang ada di perairan Pulau Belitung, berupa kapal karam yang berada di dasar laut pulau tersebut. Beberapa kapal karam yang ada di perairan Pulau Belitung antara lain Belitung

Wreck dari abad ke- 8-9 di Situs Batu Hitam, situs kapal Tek Sing dari abad ke-18, dan Situs Karang Kijang dari abad 18-19, situs ini terdapat sebaran keramik namun kapalnya tidak ditemukan utuh sehingga sulit untuk di identifikasi (Sofian, 2011). Adanya bukti-bukti kapal karam tersebut

(2)

Barang komoditi yang ditemukan di situs-situs arkeologi bawah air di perairan Pulau Belitung

termasuk dalam kategori komoditi internasional, contohnya temuan berupa keramik.

Ditemukannya keramik di situs-situs arkeologi bawah air di perairan Pulau Belitung menunjukkan telah terjadi hubungan kontak dagang komoditi mewah, mengingat keramik merupakan termasuk barang mewah atau bernilai tinggi pada masa itu. Dari analisis arkeologis, keramik merupakan artefak yang memiliki ciri-ciri asal pembuatannya atau kronologinya. Identifikasi keramik berkorelasi

dengan temuan lain seperti kapal karam yang mengangkut komoditi tersebut, yang merupakan himpunan sejaman dan mengandung informasi nilai data yang sangat tinggi (Harkatiningsih, 2010).

Peran Pulau Belitung sebagai salah satu jalur pelayaran perdagangan sudah cukup jelas, jika dilihat

dari temuan-temuan yang ada di situs arkeologi baik di darat maupun di bawah laut. Dalam penelitian yang dilakukan kali ini, tim berkonsentrasi pada dua situs arkeologi bawah air, yaitu Situs Karangkijang dan Situs Karangpinang. Kedua situs tersebut disinyalir mengandung banyak tinggalan arkeologi yang dapat menambah data bagi kajian arkeologi maritim. Penelitian ini mencoba

merekam dan mengidentifikasi tinggalan yang terdapat di dasar kedua situs tersebut.

A. Situs Karangkijang dan Temuannya

Laut Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam tinggalan arkeologi yang terdapat di

dasarnya. Tipe situsnya pun beragam dari yang sangat dalam, >30 meter hingga yang dangkal bahkan terlihat dari permukaan, <10 meter. Situs Karangkijang inilah salha satu tipe situs arkeologi bawah air yang berada di laut dangkal. Kedalaman situs ini hanya sekitar 1,5 – 2 meter di kala air

pasang, jika surut dapat lebih dangkal lagi. Situs ini berada sebalah barat Selat Gaspar, tepatnya di koordinat 45° 22° Lintang Selatan dan 107° 34 ° Bujur Timur (Octavianus, 2011:4).

Nama Situs Karangkijang didapat sesuai penamaan dari warga lokal, atau para nelayan yang sering menangkap ikan di karang ini. Hal ini dilakukan warga lokal untuk membedakan gugusan-gugusan

(3)

Pelabuhan Kota Tanjung Pandan menuju Situs Karangkijang adalah sekitar 40 menit. Sarana kapal yang digunakan adalah kapal nelayan dengan kapasitas maksimal 10 orang, dengan laju kecepatan

kurang lebih 4- 6 knot.

Tim mengetahui keberadaan situs ini berdasarkan informasi dari warga lokal atau nelayan setempat. Mereka menginformasikan bahwa di karang ini terdapat benda antik berupa keramik. Banyak orang menuju sana dan mengambil benda-benda tersebut, yang kita tahu memang banyak sekali

penjarahan benda-benda arkeologi yang berada di bawah air

di perairan Belitung yang sudah berlangsung dari awal tahun 1980-an. Aktivitas pengangkatan yang terkenal dan menimbulkan kontroversi salah satunya adalah yang terjadi di Situs Batu Hitam, atau

yang terkenal dengan sebutan Tang Kargo yang terjadi sekitar tahun 1998. Pengangkatan ini dinilai ilegal karena tidak memiliki ijin dan dilakukan oleh pihak swasta, bahkan seluruh temuan dari situs tersebut dijual ke Singapura dengan harga yang tinggi, sedangkan Indonesia sebagai pemilik tidak menerima sama sekali hasil penjualannya maupun artefaknya. Sejak saat itu para arkeolog giat

melakukan penelitian arkeologi bawah air, dan studi di bidang ini pun mulai diperhatikan, melihat nilai sejarah dan ekonomi yang terkandung di tinggalan arkeologi bawah air sangatlah tinggi.

Proses Pemasangan Baseline, Pengukuran dan Pemasangan Grid Untuk melakukan Perekaman dan Identifikasi Data Arkeologi Bawah Air (Foto: Tjipto)

Metode yang diterapkan di Situs Karang Kijang ini adalah dengan menggunakan teknik perekaman

dan pengukuran baseline dan offset dan dibantu dengan grid agar lebih mudah dalam hal perekaman data. Teknik ini biasa digunakan untuk merekam tinggalan arkeologi bawah air yang

(4)

berbentuk sebaran benda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan melakukan perekaman data, dan cara ini cukup efektif untuk diterapkan di bawah air dengan pengerjaan di bawah air yang cukup

singkat. Namun, khusus Situs Karangkijang yang berada di air dangkal, tim dapat bekerja dengan cukup lama di bawah air.

Jenis temuan yang berada di Situs Karangkijang didominasi oleh temuan keramik. Temuan keramik tersebut menyebar di atas karang dan di hamparan pasir. Dari tinjauan awal dapat diketahui bahwa

temuan keramik tersebut berasal dari Tiongkok/Cina, dengan memerhatikan jenis dan ragam hiasnya. Motif keramik yang ditemukan di Situs Karangkijang adalah keramik biru putih dengan motif fauna yaitu motif naga dan punggung kura-kura (Octavianus, 2011). Kedua motif tersebut memiliki

makna yang mendalam bagi masyarakat Tiongkok/ Cina.

Kondisi Temuan Keramik di Dasar Laut Situs Karangkijang (Foto: Shinatria Adhityatama)

Temuan keramik di Situs Karangkijang ditemukan menyebar di karang dan pasir, baik secara

seporadis maupun mengelompok. Jenis keramik yang ditemukan sebagian besar berupa pecahan mangkok dan fragmen keramik. Dugaan awal dari temuan keramik tersebut, yaitu keramik yang berasal dari masa Dinasti Qing, Tiongkok. Hasil interpretasi ini diketahui melalui studi komparasi

motif hias dari temuan keramik ini. Jika melihat hasil produksi dari keramik-keramik yang ditemukan di Situs Karangkijang, dapat diduga bahwa produk ini bersifat massal (Mass Product), yang artinya bukan barang yang bernilai tinggi. Ciri lain dapat diperhatikan dari pengerjaan pembuatan motif di

(5)

Temuan Keramik di Situs Karangkijang yang Memiliki Motif Punggung Kura-kura dan Fragmen Keramik Lainnya (Foto: Shinatria Adhityatama)

Benda lain yang ditemukan selain keramik adalah beberapa komoditas berbahan kaca, yang

ditemukan bersamaan dengan keramik yang disebutkan diatas. Benda berbahan kaca yang ditemukan berjenis vas dan cawan. Jumlah dari barang berbahan kaca ini tidak telalu banyak, tidak sebanyak seperti keramik-keramik yang berasal dari Tiongkok/Cina. Diduga benda berbahan kaca ini berasal dari Eropa melihat dari motif glasir di kaca. Melihat jumlahnya yang tidak banyak, kemungk

(6)

Temuan Cawan dan Vas Berbahan Kaca yang Ditemukan Bersamaan Dengan Temuan Keramik (Foto: Shinatria Adhityatama)

Selain temuan barang komoditas di situs ini juga ditemukan sisa-sisa kayu yang diduga sebagai sisa kapal/perahu yang pecah. Kondisi kayu yang ada di Situs Karangkijang ini masih relatif baik, masih dalam kondisi kuat. Namun, jumlah sisa kayu yang ditemukan tidak terlalu banyak, hanya berkisar belasan balok dan papan kayu yang terlihat. Sebagian kayu sudah dihinggapi organisme laut, seperti

soft coral . Masih terlihat papan kayu yang diatasnya masih terdapat tumpukan keramik, hal ini sangat menarik karena mungkin masih terjaga konteksnya.

Kemungkinan besar kapal/perahu yang karam di Situs Karangkijang pecah karena menabrak karang, sehingga menyebabkan kayu-kayu papan kapal perahu bertebaran di dasar laut. Kondis diperparah

karena adanya indikasi penjarahan di Situs Karangkijang ini, yang menyebabkan situs ini keluar dari konteksnya. Dari sisa-sisa kayu di situs ini masih dapat sedikit diidentifikasi, melihat masih tampak lubang pasak yang kemungkinan pasak yang digunakan sebagai penyambung terbuat dari bahan

kayu. Jika memang benar pasak yang digunakan kapal/perahu ini dari kayu kemungkinan kapal/perahu ini berasal dari kawasan Asia Tenggara yang melakukan supply komoditas di Perairan Nusantara, namun memang tidak ditemukan tambuko atau tali ijuk yang menjadi ciri khas kapal Asia

(7)

Temuan Sisa Kayu Berupa Papan dan Balok Yang Diduga Dari Kapal/Perahu Yang Mengangkut Barang Komoditas Situs Karangkijang (Foto: Shinatria Adhityatama)

Tim sempat mengambil sampel kayu dari sisa-sisa kapal/perahu untuk melakukan analisis lab, seperti analisis pollen dan pertanggalan C14. Analisis Pollen dilakukan untuk mengetahui jenis kayu yang digunakan oleh kapal/perahu ini, dengan mengetahui jenis kayu kita dapat memprediksi asal

dari kayu tersebut, dari situ akan diketahui asal dari kapal/perahu ini. Selanjutnya analisis C14 atau karbon, hal ini dilakukan untuk mengetahui pertanggalan benda atau umur dari kayu tersebut, dari hasil analisis tersebut kita akan mengetahui estimasi periodisasi dari Situs Karangkijang ini.

Dari pemaparan diatas terlihat cukup jelas bahwa ini merupakan bukti perdagangan yang terjadi di

(8)

terendam di dasar laut Situs Karangkijang berasal dari sekitar abad ke-18 hingga ke-19. Melihat jumlah kuantitas barangnya dapat diduga juga bahwa barang-barang ini merupakan barang

dagangan yang akan didistribusikan ke pasar. Dari jenis kapal/perahu yang diduga tidak terlalu besar, melihat ukuran kayu yang ditemukan, kemungkinan perahu/kapal ini beroperasi di seputaran Selat Sunda dan perairan Laut Jawa. Kapal/perahu ini kemungkinan tidak menjelajah terlalu jauh, hanya

melakukan distribusi dari pulau ke pulau jarak dekat.

Penyelaman di situs ini dilakukan sebanyak 12 log dive, dilakukan oleh sebanyak 2 tim penyelaman. Kegiatan penyelaman di situs ini dilakukan selama 3 hari, aktivitas yang dilakukan adalah perekaman data dan identifikasi awal temuan. Masing-masing tim beranggotakan dive master, safety divers,

arkeolog bawah air, dan penyelam teknis.

B. Situs Karangpinang dan Temuannya

Pulau Belitung dipercaya telah mengekspor perkakas terbuat dari besi ke Pulau Jawa. Seperti

yang dilaporkan oleh J. A. van der Chijs, sejak tahun 1668 hingga 1682 kapal-kapal dari Belitung berlabuh di Banten dengan membawa sejumlah parang, damar dan malam (wax). Namun, sampai saat ini belum ditemukan data tinggalan arkeologis yang menunjukkan bahwa Pulau Belitung

(9)

Aktivitas Perekaman Data dan Eksplorasi Situs Karangpinang (Foto: Ahmad Surya Ramadhan) Kebutuhan akan besi dan baja di Pulau Belitung jelas meningkat dengan adanya aktivitas pertambangan di Pulau Belitung. Perkakas berbahan besi diperlukan untuk mengolah timah. Kondisi

masyarakat Pulau Belitung yang belum dapat memenuhi kebutuhan tersebut secara mandiri menyebabkan perkakas-perkakas harus diimpor dari luar pulau, seperti dari Cina atau dari Singapura. Bukti adanya pengimporan barang perkakas dari luar pulau yang diduga dari Cina dapat

ditemui di situs arkeologi bawah air Karang Pinang. Hal ini dapat dilihat dari data yang ditemukan (Adhityatama, 2014).

(10)

Aktivitas Peleburan Timah (Sumber: Heidhues, 2008)

Situs Karang Pinang berada 12 mil dari Kota Tanjung Pandan, pada posisi koordinat 2° 47° 49.1’

Lintang Selatan dan 107° 32 °05.6’ Bujur Timur. Pada kedalaman 8 - 12 meter di bawah permukaan air, arus pada situs cukup kuat (medium current). Jarak pandang atau visibility pada situs ini sekitar 6-10 meter, cukup jernih untuk ukuran situs arkeologi bawah air yang biasanya memiliki jarak

pandang terbatas (Adhityatama, 2014).

Proses Pengambilan Sampel Temuan Yang Terdapat di Situs Karang Pinang (Foto: Ahmad Surya Ramadhan)

Suhu di kedalaman 9-11 meter sekitar 30 derajat. Kondisi lingkungan situs ini didominasi oleh terumbu karang dan pasir, konturnya berbentuk slope dan banyak terdapat tiram dan kerang di

(11)

pada kedalaman kurang dari 30 meter. Kondisi tersebut sangat ideal untuk melakukan kerja di bawah air atau penelitian dengan jangka waktu yang cukup lama. Menurut tabel penyelaman,

aktivitas penyelaman di bawah air dapat dilakukan selama sekitar 35- 45 menit.

Temuan pecahan atau fragmen tempayan dan cap di Situs Karang Pinang (Foto: Shinatria Adhityatama).

Dibalik hamparan pasir Situs Karang Pinang terdapat banyak pecahan atau fragmen tempayan dan guci yang terbuat dari bahan tanah liat (terakota). Pecahan tempayan ini sebagian terkubur oleh

pasir dan sudah ditumbuhi terumbu karang (soft coral). Sebagian temuan masih dalam kondisi baik. Walaupun sudah pecah dan terdapat terumbu karang, namun masih dapat diidentifikasi. Di bagian atas tempayan yang ditemukan, terdapat sebuah cap dengan tulisan dengan aksara Tiongkok/Cina, dugaan awal cap tersebut berasal dari Dinasti Ming. Temuan ini berada di kedalaman sekitar 6-7

(12)

Foto 5 . Fragmen piring keramik (Foto: Shinatria Adhityatama)

Fragmen keramik yang diidentifikasi sebagai pecahan dari sebuah piring juga ditemukan di Situs

Karang Pinang. Di bagian dalam fragmen berbahan porselin dan berglasir seladon ini terdapat motif bunga. Temuan ini berada di kedalaman sekitar 8 meter, terhampar di permukaan pasir. Keramik ini menurut dugaan awal bergaya akhir Dinasti Song atau dimungkinkan awal Dinasti Ming. Adanya temuan ini dan temuan pecahan tempayan yang disebutkan di atas, dapat dikatakan bahwa situs ini

berasal dari abad ke 13 – 16 masehi.

Fragmen keramik buli-buli (Foto: Shinatria Adhityatama)

Temuan lainnya adalah fragmen bagian badan buli-buli. Temuan ini berada di kedalaman sekitar 7 meter, tertimbun oleh pasir dan terdapat kerang yang menempel di permukaan luar

fragmen. Buli-buli dapat dikatakan tidak terlalu banyak ditemukan di Situs Karang Pinang, temuan di situs ini didominasi oleh fragmen atau pecahan tempayan.

(13)

Temuan fragmen kowi no. 1 untuk mengolah timah (Foto: Shinatria Adhityatama).

Selain temuan keramik yang sudah dijelaskan di atas, ada satu jenis temuan yang sangat menarik perhatian, yaitu berupa tumpukan kowi berbahan besi. Kowi tersebut ditemukan dalam keadaan ditempeli terumbu karang dan kerang, sehingga pada awalnya sangat sulit dikenali. Besi

sangat mudah ditempeli dan ditumbuhi terumbu karang dan organisme laut lainnya. Temuan tersebut berada di kedalaman sekitar 9 meter, berupa satu tumpuk kowi dan satu tumpuk wajan yang tergeletak di hamparan pasir putih di dasar laut.

Setelah direndam dan dibersihkan dari terumbu karang yang menempel di permukaan dalam maupun luar, dapat dilihat bahwa kowi tersebut disusun, diperkirakan sebanyak tujuh lapis. Dari situ dapat diperkirakan bahwa kowi tersebut merupakan pesanan atau barang dagangan yang dibutuhkan oleh komunitas pengolah atau penambang timah di Pulau Belitung. Tiap kowi rata-rata

memiliki ukuran tebal 0,8 cm, tinggi 20 cm, dan diameter 45 cm. Kondisi kowi tersebut 50% utuh. Berdasarkan ukurannya kowi yang ditemukan di Situs Karang Pinang tersebut diperkirakan digunakan oleh industri pengolah timah kecil atau industri rumah tangga, yaitu oleh orang-orang

(14)

Kowi diperkirakan digunakan untuk mengolah hasil tambang berupa timah, yang pada jaman tersebut aktivitas produksinya sangat tinggi. Melihat bentuknya yang cekung ke dalam dan

ukurannya, dapat diprediksi bahwa kowi tersebut digunakan pada tahap akhir pengolahan timah, yaitu untuk memisahkan timah dengan elemen mineral lainnya. Dalam proses pengolahan timah, terdapat tiga proses yang harus dilakukan, yaitu penambangan, pengolahan, dan pemisahan.

Pada tahap pertama, timah yang ditambang masih mentah, biasanya masih bercampur

dengan tanah dan mineral lainnya. Langkah kedua, timah mentah dipanaskan dengan wajan dalam suhu yang tinggi. Langkah ketiga timah dipisahkan dari mineral dan material lainnya dengan menggunakan kowi. Data sejarah menyebutkan bahwa orang-orang Cina menggunakan kayu bakar

yang sangat banyak, sehingga diperoleh suhu yang tinggi, kemudian kowi tersebut ditaruh di atas kayu bakar tersebut untuk melebur biji timah (Novita, 2008).

Foto 10 & 11. Temuan wajan dan kowi no.2 ( Foto: Shinatria Adhityatama)

Temuan ini sangat menarik karena di situs pengolahan timah pun, tidak ditemukan artefak atau perkakas berupa kowi. Salah satu alasan mengapa kowi tersebut tidak ditemukan di darat atau di tempat penambangan timah, karena mengingat langkanya perkakas yang berbahan besi atau baja pada masa itu, para pekerja atau pemakai cenderung membawanya ketika pergi, atau kemungkinan

lain dilebur lagi untuk dijadikan sesuatu yang lebih berguna bagi mereka. Oleh karena itu, kowi sangat sulit ditemukan di situs-situs penambangan timah pada saat ini (Adhityatama,2014).

(15)

Melihat konteks temuan di atas dapat dilihat bahwa perkakas dan komoditi mewah seperti keramik berada dalam satu pengiriman (shipments) melalui laut, dengan menggunakan sarana kapal

laut. Hal ini menandakan adanya kebutuhan akan komoditas tersebut di Belitung. Melihat jenis komoditi yang dibawa dapat diinterpretasikan bahwa kapal yang membawa komoditi tersebut adalah kapal kargo yang cukup besar yang mampu menyeberangi antarpulau atau bahkan benua.

Kemungkinan kapal ini tenggelam karena manabrak karang atau gosong saat menuju kota Tanjung Pandan. Namun, sangat disayangkan data tentang sisa kapal tidak ditemukan di Situs Karang Pinang. Jika sisa-sisa kapal dapat ditemukan, maka akan lebih mudah untuk mengidentifikasi jenis kapalnya. Perlu dilakukan ekskavasi bawah air untuk menyingkap pasir dan menemukan kayu kapal dan data

lainnya.

Dari data yang ditemukan di atas dapat diketahui pula bahwa permintaan akan barang-barang berupa keramik dan perkakas kowi cukup tinggi, karena dikirim dalam kapasitas yang banyak.

Penelusuran lebih lanjut tentang persebaran komoditi tersebut, baik yang berupa perkakas maupun benda-benda bernilai tinggi seperti keramik perlu dilakukan. Dengan mengetahui sebaran tersebut kita dapat mengenali komunitas-komunitas yang menggunakan komoditi tersebut secara lebih

dekat.

C. Analisis

Berdasarkan fungsinya keseluruhan artefak yang ditemukan pada survei di Situs Karangkijang, karangpinang dan Batuitam dapat dikelompokkan sebagai benda, bahan dan perkakas. Artefak yang termasuk dalam kelompok benda adalah gelas, mangkuk, piring, pasu, guci, buli-buli, tempayan, teko, winejar dan botol. Berdasarkan bahannya, artefak-artefak yang diklasifikasikan dalam kelompok benda adalah keramik dan kaca. Berdasarkan jumlah dan sebarannya yang mengelompok, benda-benda tersebut diperkirakan merupakan barang komoditi. Adapun pengepakan barang-barang komoditi tersebut disusun dalam sebuah tempayan.

(16)

Secara khusus, pengamatan terhadap teknik pembuatan dan teknis hias pada mangkuk keramik dari situs Karangkijang menunjukkan barang-barang yang akan dipasarkan di Belitung tersebut bukan merupakan barang eksklusif (Foto 11). Berdasarkan artefak keramiknya, ketiga situs tersebut memiliki kronologi yang berbeda. Situs Karangkijang diperkirakan berasal dari abad ke 19 M, Situs Karangpinang diperkirakan berasal dari antara abad ke 16 - 18 M.

Teknik buat dan teknik hias pada keramik dari Situs Karangkijang yang menunjukkan komoditi dagang yang dibawa bukan barang eksklusif

Artefak yang termasuk dalam kelompok bahan adalah kayu dan batu andesit. Artefak kayu yang ditemukan di lokasi penelitian merupakan bagian dari kapal yang tenggelam, sedangkan batu andesit yang merupakan bahan dari penyeimbang kapal (balast). Artefak kayu dari Situs Karangkijang merupakan bagian dari papan kapal, hal ini dapat dilihat dari bekas lubang pada kayu tersebut. Lubang pada kayu tersebut berbentuk bulat dan persegi. Berdasarkan bentuk lubang tersebut kemungkinan kapal yang tenggelam di Situs Karangkijang ini menggunakan pasak dan paku.

Pengamatan terhadap kedalaman perairan di sekitar Situs Karangkijang yang hanya 2 m dan 1,5 m pada saat surut, tidak memungkinkan kapal yang berukuran besar berlayar di perairan tersebut. Jika dikaitkan dengan temuan arkeologi yang merupakan komoditi dagang maka diperkirakan kapal yang tenggelam di Situs Karangkijang merupakan tongkang atau setidaknya perahu yang berukuran relatif kecil untuk mengangkut komoditi dagang yang melayari jalur-jalur pendek antarpulau (interinsuler).

(17)

Sementara itu karena sisa-sisa kayu di Situs Karangpinang sudah tidak ditemukan lagi maka perkiraan jenis kapal yang tenggelam di situs ini tidak dapat diketahui.

Berdasarkan kondisi lingkungan situs, diperkirakan kapal yang tenggelam di Situs Karangkijang diakibatkan karena menabrak karang yang terdapat di situs tersebut. Kemungkinan penyebab kapal tersebut menabrak karang dapat dikarenakan dua alasan yaitu disebabkan oleh kesalahan navigasi pada saat melintasi perairan yang dangkal atau kondisi cuaca yang buruk. Sementara itu penyebab tenggelamnya kapal di Situs Batuitam kemungkinan dikarenakan kapal tersebut mengalami kebocoran sehingga berusaha untuk berlabuh di pulau terdekat. Hal ini didasari oleh kondisi lingkungan situs yang memiliki kedalaman 17 m dan bagian dasar yang didominasi oleh pasir sehingga diduga kapal tersebut menabrak karang di lokasi lain.

Artefak yang termasuk dalam kelompok perkakas adalah wajan dan wadah logam yang diasumsikan sebagai wadah pelebur. Kedua jenis artefak ini terbuat dari bahan besi dan ditemukan di Situs Karangpinang. Berdasarkan ukurannya, wadah pelebur yang ditemukan di Situs Karangpinang kemungkinan digunakan dalam proses pengolahan timah, yang mana sebelum abad ke 20 M proses peleburan bijih timah masih menggunakan tungku dengan bahan bakar kayu (Gambar 1). Pengamatan terhadap bentuk dan ukuran dari wadah tersebut, diperkirakan bahwa wadah pelebur ini digunakan pada tahap akhir pengolahan timah yaitu untuk memisahkan timah dengan elemen mineral lainnya. Hal ini didasarkan pada bentuknya

yang cekung kedalam sehingga memungkinkan untuk memisahkan timah dengan kandungan mineral lainnya. Hasil analisis laboratorium terhadap kandungan logam yang terdapat pada wadah ini menunjukkan bahwa wadah tersebut terbuat dari besi. Mengingat titik lebur timah sebesar 231,9 oC maka asumsi bahwa wadah logam temuan dari Situs Karangpinang ini adalah wadah pelebur timah. Dari hasil analisis tersebut juga diketahui tidak ditemukan adanya jejak pakai maka dapat diperkirakan bahwa wadah pelebur timah tersebut merupakan barang komoditi. Berdasarkan temuan wadah pelebur timah ini maka diduga kapal yang tenggelam di Situs Karangpinang merupakan kapal

(18)

barang (cargo) yang mengangkut barang-barang komoditi yang akan didistribusikan ke Pulau Belitung.

Gambar

Foto 5 . Fragmen piring keramik (Foto: Shinatria Adhityatama)
Foto 10 &amp; 11. Temuan wajan dan kowi no.2 ( Foto: Shinatria Adhityatama)

Referensi

Dokumen terkait

Hasyim Asy’ari dalam penyebaran Islam di Jawa tahun 1899-1947 ini, menggunakan metode penulisan yaitu menggunakan metode studi literatur yang meliputi

Mengetahui apa saja faktor yang mempengaruhi tidak optimalnya pelaksanaan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Kecamatan

[r]

...” yang kami ajukan untuk dapat mengikuti Intensive-Student Technopreneurship Program 2014 dan menyatakan bahwa invensi/inovasi tersebut benar-benar merupakan

Dapat mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi persepsi mahasiswa terhadap pelayanan administrasi akademik di Universitas Indonusa Esa Unggul, sehingga dapat digunakan sebagai

Selanjutnya, Asy’ariyyah berpendapat bahwa walaupun penyebab adanya alam itu adalah Tuhan, tetapi alam itu terdiri dari sesuatu sehingga akan menimbulkan suatu

Hal itu juga menjadi salah satu rukun dari radd, dengan adanya ahli waris dhawil furud maka harta dapat dibagikan sesuai dengan bagian mereka masing-masing seperti

Tindakan promosi kesehatan pencegahan yang dilakukan oleh petugas, meliputi; penyuluhan sumber penyebab penyakit DBD, perilaku yang mendukung kejadian DBD dan cara