4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Indeks Panen dan Produksi Tanaman
Indeks panen menunjukkan distribusi bahan kering dalam tanaman yang menunjukkan perimbangan bobot bahan kering yang bernilai ekonomis dengan total bobot bahan kering tanaman pada saat panen. Nilai indeks panen tinggi menunjukkan varietas mampu mendistribusikan asimilat lebih banyak ke dalam polong. Nilai indeks panen berbeda nyata antar varietas yang diteliti pada MT-2007 (Tabel 6). Varietas Garuda 3, Gajah dan Jerapah tampak mempunyai nilai indeks panen lebih tinggi dibandingkan Pelanduk, Sima, Turangga dan Kidang. Nilai indeks panen rendah yang ditunjukkan Pelanduk, Sima, Turangga dan Kidang menunjukkan bahwa varietas-varietas ini lebih banyak mengakumulasikan bahan keringnya dalam tajuk dibandingkan dalam polong.
Tabel 6. Nilai indeks panen kacang tanah pada dua musim tanam Varietas MT-2007 MT-2010 Badak 0.50 bc 0.34 Gajah 0.53 ab 0.32 Garuda3 0.61 a 0.31 Jerapah 0.54 ab 0.25 Kancil 0.47 bc 0.32 Kelinci 0.50 bc 0.24 Kidang 0.37 d 0.23 Mahesa 0.49 bc 0.25 Panter 0.49 bc 0.32 Pelanduk 0.41 cd 0.24 Sima 0.40 cd 0.25 Turangga 0.40 cd 0.25 KK 11.90 26.89
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%
Pada MT-2010, nilai indeks panen tidak berbeda antar varietas dan nilainya juga lebih rendah daripada MT-2007. Pada MT-2010, kondisi cuaca lebih basah dan lama penyinaran lebih sedikit (Tabel 3), populasi dan jarak tanam yang digunakan lebih rapat (250 000 tanaman/ha) dibandingkan pada MT-2007 (125 000 tanaman/ha). Populasi yang lebih rapat ditambah kondisi cuaca yang basah ini tampaknya mendorong persaingan tajuk antar tanaman untuk
mendapatkan cahaya sehingga asimilat lebih banyak diakumulasikan ke tajuk. Hasil uji ragam gabungan dua lokasi pada karakter Indeks Panen menunjukkan pengaruh genetik (varietas) lebih kuat daripada pengaruh lingkungan (Lampiran 6).
Walaupun terdapat perbedaan dalam pendistribusian bahan kering tetapi berdasarkan hasil sidik ragam tidak ditemukan adanya perbedaan produktivitas polong dan biji antar varietas-varietas kacang tanah yang diuji baik pada MT-2007 dan 2010 (Tabel 7). Perbedaan tidak ditemukan, baik pada hasil polong dan biji per tanaman maupun dugaan produktivitasnya, yang merupakan konversi hasil ubinan ke dalam hasil per hektar.
Tabel 7. Hasil polong dan biji kacang tanah berdasarkan bobot keringnya pada MT-2007 dan MT-2010
Varietas MT-2007 MT-2010
Polong Biji Polong Biji Polong Biji Polong Biji …t/ha… ..per tanaman.. …t/ha… ..per tanaman.. Badak 2.33 1.35 14.96 10.08 3.82 1.57 20.52 8.41 Gajah 2.25 1.43 17.39 11.07 2.56 1.71 13.06 8.43 Garuda3 1.69 1.16 13.51 9.25 2.44 1.66 13.02 9.17 Jerapah 2.20 1.49 16.77 11.39 2.23 1.48 11.01 7.25 Kancil 2.35 1.63 18.82 13.02 3.15 2.05 14.69 9.58 Kelinci 2.03 1.41 16.24 11.23 2.58 1.61 12.66 7.95 Kidang 2.18 1.20 17.47 9.63 1.86 1.21 10.39 6.74 Mahesa 2.05 1.27 16.44 10.15 2.22 1.34 11.17 6.77 Panter 1.92 1.20 14.94 9.29 3.06 2.07 17.65 11.86 Pelanduk 2.22 1.42 17.72 11.34 2.30 1.40 17.75 10.80 Sima 2.10 1.32 16.82 10.58 3.19 1.94 17.08 10.37 Turangga 1.87 1.27 14.96 10.14 2.31 1.52 12.32 8.16 KK 31.2 36.9 30.8 36.2 35.2 18.6 15.7 16.9
Produktivitas tanaman merupakan puncak dari berbagai proses yang terjadi dalam siklus hidup tanaman (Khanna-Chopra 2000). Setiap fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman berpengaruh terhadap produksi. Berikut ini disajikan kapasitas dan aktivitas source dan sink tanaman untuk mendapatkan gambaran mengenai karakter-karakter yang mempengaruhi hasil polong dan pengisian biji kacang tanah.
4.2. Source
Source merupakan bagian tanaman yang berkontribusi dalam menyediakan
asimilat untuk pengisian biji. Varietas-varietas kacang tanah yang diuji dibandingkan kapasitas dan aktivitas sourcenya selama fase pengisian biji. Secara umum, data menunjukkan adanya perbedaan antara varietas kacang tanah dalam kapasitas source tetapi tidak dalam aktivitasnya.
4.2.1. Kapasitas Source
Pengamatan kapasitas source meliputi nilai Indeks Luas Daun, bobot
kering tajuk, yang terdiri dari bobot batang dan daun, kandungan klorofil, kerapatan stomata serta tinggi batang utama dan percabangan. Tinggi batang utama dan percabangan termasuk kedalam kapasitas source karena selain batang dan cabang dapat berfungsi sebagai sink temporal pada pengisian biji juga dapat mempengaruhi pertambahan luas daun dan efektifitas fotosintesis kanopi.
4.2.1.1. Indeks Luas Daun (ILD)
Daun merupakan source utama tanaman penghasil asimilat. Luasan daun dapat menggambarkan besarnya kapasitas source tanaman. Luas daun merefleksikan kapasitas fotosintesis dan produksi bahan kering (El Hafid et al. 1998; Anyia and Herzog 2004). Luas daun per unit luas area dimana tanaman tumbuh dikenal dengan istilah Indeks Luas Daun (ILD). ILD, laju fotosintesis kanopi dan sudut daun merupakan penentu produksi bahan kering (Yoshida 1972).
Tabel 8 menyajikan data rata-rata Indeks Luas Daun kacang tanah tiap fase tumbuh pada MT-2007 dan MT-2010. Hasil uji ragam MT-2007 menunjukkan adanya perbedaan antar varietas pada luasan daun per unit area tumbuh hanya pada periode lanjut menjelang panen (91 HST), sedangkan pada MT-2010 perbedaan antar varietas ditemukan pada periode awal pembentukan ginofor (42 HST). Kondisi ini diduga karena pertanaman hanya diberi pestisida hingga 70 HST sehingga setelah 70 HST nilai ILD bertumpu pada ketahanan varietas terhadap serangan hama penyakit. Kondisi agroklimat pada MT-2011 lebih basah daripada MT-2007 dengan tingkat keawanan tinggi dan lama penyinaran yang lebih rendah diduga mempengaruhi pertumbuhan tajuk. Nilai ILD pada MT-2007
lebih kecil daripada MT-2010, hal ini diduga karena perbedaan dalam metode pengukuran luas daun. Pada MT-2007, pengukuran ILD menggunakan 20 daun contoh, sedangkan pada MT-2010 pengukuran menggunakan seluruh daun yang ada dalam tanaman. Dugaan nilai ILD yang diperoleh pada MT-2007 diduga lebih kecil dari nilai ILD sesungguhnya, sedangkan nilai ILD pada MT-2010 diduga lebih mendekati nilai sesungguhnya.
Tabel 8. Rata-rata Indeks Luas Daun kacang tanah tiap fase tumbuh pada MT-2007 dan MT-2010 Varietas MT-2007 MT-2010 ILD 42 HST ILD 70 HST ILD 91 HST ILD 42 HST ILD 56 HST ILD 70 HST ILD 84 HST Badak 0.59 1.70 1.74 bcd 1.45 bc 4.69 5.60 5.79 Gajah 0.78 2.55 1.07 bcd 3.27 ab 5.18 5.79 4.08 Garuda3 0.78 1.58 0.43 d 3.79 a 4.96 4.83 3.49 Jerapah 0.80 1.95 0.99 cd 3.10 ab 6.77 9.39 5.88 Kancil 0.87 2.12 1.14 cd 2.96 abc 5.73 5.50 6.61 Kelinci 0.76 2.81 1.74 bcd 1.27 c 4.09 5.86 6.49
Kidang 1.08 2.61 2.42 abc 2.83 abc 6.49 8.07 7.74
Mahesa 0.84 1.67 1.52 bcd 2.72 abc 5.81 8.22 7.76 Panter 0.86 2.96 2.16 a-d 1.88 bc 4.30 4.98 6.19 Pelanduk 0.65 2.03 1.71 bcd 2.94 abc 6.03 10.61 9.23 Sima 1.08 3.44 3.62 a 2.11 abc 5.76 7.67 10.92 Turangga 1.08 3.10 3.07 ab 1.88 bc 4.82 7.49 7.12 KK 29.7 32.6 18.8 37.0 31.7 39.6 17.4
Keterangan:angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
Tanaman kacang tanah akan dapat menerima 95% sinar matahari apabila tanaman mempunyai ILD melebihi nilai kritisnya yang berkisar 3 – 4 (McCloud et
al. 1980). Kiniry et al. (2005) menemukan bahwa nilai ILD antara 5-6 dan nilai k 0,60-0,65 merupakan nilai yang lebih tepat untuk kacang tanah. Dari Tabel 8,
pada MT-2010 tampak bahwa nilai ILD Badak, Kelinci, Panter dan Turangga pada periode awal pembentukan polong (42 HST) belum mencapai atau baru mendekati nilai 3. Kelinci dan Panter pada awal pengisian polong (56 HST) rataan indeks luas daunnya juga belum mencapai nilai 5.
Dari hasil uji korelasi Pearson pada MT-2010 (Lampiran 9) didapatkan bahwa ILD tidak berkorelasi dengan hasil/bobot polong, akan tetapi ILD pada 42
dan 56 HST nyata berkorelasi positif dengan kualitas polong (persentase polong penuh) dengan nilai r masing-masing 0,66 dan 0.62. Pada 70, 84 dan 91 HST, ILD nyata berkorelasi negatif dengan persentase polong penuh dan Indeks Panen (Lampiran 8 dan 9). Adanya korelasi ini mengindikasikan bahwa luas daun pada fase awal pertumbuhan merupakan hal penting yang menentukan pengisian dan kualitas polong kacang tanah, sedangkan luasan daun hijau yang tinggi pada periode setelah puncak pengisian polong cenderung mengurangi kualitas polong. 4.2.1.2. Bobot Kering Tajuk
Tabel 9 dan 10 menyajikan bobot kering batang dan daun pada MT-2007 dan 2010. Berdasarkan hasil uji ragam didapatkan adanya perbedaan kemampuan akumulasi bahan kering dan pembagiannya antar varietas-varietas kacang tanah. Pada MT-2007, beberapa varietas secara statistik menunjukkan perbedaan kemampuan akumulasi bahan kering dalam batang dan daun pada periode pembentukan polong (42 HST), pengisian polong (70 HST) dan pemasakan biji (91 HST). Setelah fase pengisian biji (70 – 91 HST), rata-rata bobot kering daun pada sebagian besar varietas menurun, sedangkan bobot kering batang konstan dan bobot kering polong terus meningkat. Pada Sima, Turangga dan Kidang, rata-rata bobot kering daun setelah periode pengisian biji hingga menjelang panen masih lebih baik daripada varietas lain. Hal ini menunjukkan masih banyak daun hijau pada saat menjelang panen.
Pada MT-2010, perbedaan akumulasi bahan kering dalam batang didapatkan berbeda antar varietas hanya pada 84 HST, yang merupakan akhir periode pengisian biji dan awal periode pemasakan biji. Perbedaan akumulasi bahan kering dalam daun berbeda antar varietas pada 42 HST, 70 HST dan 84 HST.
Akumulasi bahan kering dalam polong pada 70 HST nyata berbeda antar varietas pada MT-2007, akan tetapi menjelang panen (91 HST) bahan kering dalam polong tidak berbeda antar varietas. Pada MT-2010, akumulasi bahan kering dalam polong tidak ditemukan berbeda antar varietas pada semua periode tumbuh (Tabel 9 dan 10).
Tabel 9. Bobot kering batang dan daun kacang tanah pada beberapa periode tumbuh pada MT-2007 BATANG DAUN Varietas ………..……..gram………..….. 42 HST 70 HST 91 HST 42 HST 70 HST 91 HST Badak 2,36 c 8,91 f 13.39 cd 2,00 5,50 c 6.18 c-f Gajah 3,88 bc 14,27 b-e 14.30 cd 2,85 7,49 bc 5.99 c-f Garuda3 3,89 bc 11,58 def 12.05 d 2,82 5,11 c 1.52 g
Jerapah 3,99 bc 12,12 def 15.79 a-d 2,91 6,32 bc 3.83 f
Kancil 4,46 ab 15,79 bcd 18.63 a-d 2,73 6,51 bc 4.42 ef
Kelinci 3,53 bc 10,13 ef 15.12 bcd 2,55 7,67 bc 6.85 cde
Kidang 6,06 a 20,83 a 25.41 a 3,63 8,66 abc 10.30 abc
Mahesa 4,51 ab 12,44 b-f 15.82 a-d 2,66 5,96 c 4.70 def
Panter 3,70 bc 13,29 b-f 18.84 abc 2,95 10,37 ab 8.31 bcd
Pelanduk 3,03 bc 12,45 b-f 20.47 abc 2,12 6,11 c 7.13 cde
Sima 4,82 ab 18,30 ab 25.23 ab 4,10 12,29 a 15.77 a
Turangga 4,56 ab 16,80 abc 20.20 abc 3,63 12,20 a 14.48 ab
KK 25.8 17.1 12.0 27.7 27.8 15.9
Keterangan : Angka-angka dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata menurut uji DMRT pada taraf 0,05.
Tabel 10. Bobot kering batang dan daun kacang tanah pada beberapa periode tumbuh pada MT-2010
Varietas BATANG DAUN
….……….gram ……….. 42HST 56HST 70HST 84HST 42HST 56HST 70HST 84HST Badak 2,8 6,5 11,4 9,9 c 3,1 b 5,3 9,0 bc 6,2 de Gajah 6,6 11,5 12,5 13,7 bc 9,1 a 7,4 8,4 c 6,4 cde Garuda3 4,7 10,2 11,0 8,9 c 5,3 b 7,5 7,9 c 5,0 e Jerapah 4,9 11,9 13,3 12,7 bc 6,1 ab 8,8 8,6 c 6,5 cde Kancil 4,5 10,0 17,0 14,0 bc 6,1 ab 6,8 10,2 bc 6,8 b-e Kelinci 2,6 7,2 11,5 10,1 c 4,7 b 5,8 10,6 bc 5,6 e Kidang 5,3 13,6 16,0 16,5 b 5,6 b 8,7 11,6 ab 8,9 a-d
Mahesa 5,0 11,4 16,4 17,2 b 5,9 ab 9,0 12,1 abc 9,2 abc
Panter 3,4 9,0 10,6 10,6 c 3,8 b 6,6 10,3 bc 6,2 de
Pelanduk 5,5 12,0 22,2 22,4 a 5,9 ab 8,6 16,3 a 11,3 a
Sima 2,8 12,2 16,7 16,3 b 3,5 b 9,8 14,2 ab 9,4 ab
Turangga 3,8 10,2 13,5 13,9 bc 4,3 b 8,0 10,9 bc 7,3 b-e
KK 34.4 23.4 13.9 21.3 32.8 23.6 25.2 20.3
Keterangan : Angka-angka dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata menurut uji DMRT pada taraf 0,05.
41 (a) ( b) Ga m
bar 3 Perbandingan bobot kering polong, daun dan batang pa
da (a) 70 dan 91 HST (MT-2007) dan (b) 70 dan 84 HST (MT-2010).
0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 Badak Gajah Garuda3 Jerapah Kancil Kelinci Kidang Mahesa Panter Pelanduk Sima Turangga
bpol70 daun70 Bat70
0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 Badak Gajah Garuda3 Jerapah Kancil Kelinci Kidang Mahesa Panter Pelanduk Sima Turangga
bpol91 daun91 bat91
0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 Badak Gajah Garuda3 Jerapah Kancil Kelinci Kidang Mahesa Panther Pelanduk Sima Turangga
bpol70 daun70 bat70
0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 Badak Gajah Garuda3 Jerapah Kancil Kelinci Kidang Mahesa Panther Pelanduk Sima Turangga
Beberapa varietas setelah fase puncak pengisian polong/biji (70 HST) masih terus mengakumulasikan bahan kering dalam tajuk sambil terus mengisi bahan kering untuk polong (Gambar 3a). Varietas tersebut contohnya adalah Badak, Kidang, Panter, Pelanduk, Sima dan Turangga. Varietas yang lain seperti Gajah, Garuda3, Jerapah, Kancil, Kelinci dan Mahesa cenderung menambah bobot polong setelah 70 HST dengan bobot tajuk yang hampir tetap, bahkan ada yang menurun. Hal ini menunjukkan kemungkinan adanya proses remobilisasi asimilat untuk pengisian polong/biji. Gambar 3b menunjukkan adanya kecenderungan yang sama pada MT-2010, tetapi karena pengukuran hanya sampai 84 HST perbedaan bahan keringnya belum terlalu tampak. Namun demikian, berdasarkan uji korelasi Pearson (Lampiran 7 dan 8) tidak ditemukan adanya korelasi antara bobot kering daun dan batang dengan bobot/hasil polong tanaman sehingga penurunan bobot kering tajuk pada periode ini tidak berpengaruh terhadap pengisian polong.
4.2.1.3. Kandungan Klorofil Dan Kerapatan Stomata
Aktivitas fotosintesis juga dapat diukur secara tidak langsung dengan mengukur kandungan klorofil pada 2007 dan kerapatan stomata pada MT-2010, dimana keduanya merupakan apparatus fotosintesis. Tabel 11 menyajikan data kadar klorofil dan kerapatan stomata dari 12 varietas kacang tanah yang diuji.
Varietas tidak menunjukkan perbedaan pada kadar klorofil, baik pada fase pembentukan polong (42 HST) maupun pada akhir pengisian biji (70 HST). Kandungan klorofil (mg) per gram berat basah daun dan per satuan luas daun pada 70 HST berkorelasi negatif dengan persentase polong penuh yang ditunjukkan dengan nilai r berturut-turut sebesar -0,58 dan -0.45 dan berkorelasi positif dengan jumlah polong cipo (r = 0.45). Hasil ini mengindikasikan bahwa varietas yang daunnya tetap hijau hingga akhir fase pengisian biji menghasilkan lebih banyak polong yang kurang terisi penuh (keriput) dan cipo.
Stomata penting bagi keluar masuknya CO2 dan air yang dibutuhkan
tanaman dalam proses fotosintesis. Pada kacang tanah, stomata terdapat di permukaan atas dan bawah daun. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya perbedaan antar varietas pada kerapatan stomata permukaan atas dan bawah daun.
Rata-rata kerapatan stomata dari varietas-varietas yang diuji berkisar dari 200-288 stomata/mm2. Jumlah ini masih dibawah rata-rata jumlah stomata kacang tanah hasil menurut Bhagsari dan Brown (1976) yang mencapai 300-400/mm2. Kerapatan stomata bawah berkorelasi positif dengan jumlah polong/tanaman, jumlah polong penuh/tanaman dan jumlah polong cipo/tanaman yang ditunjukkan oleh nilai r berturut turut sebesar 0,55; 0,53 dan 0,54.
Tabel 11. Kadar klorofil dan kerapatan stomata kacang tanah
Varietas
Kadar klorofil
(mg/g bobot basah daun) Kerapatan stomata (mm2) 42HST 70HST Badak 3.352 2.633 266.67 Gajah 4.210 2.727 200.00 Garuda3 3.738 2.492 200.00 Jerapah 3.785 2.955 266.67 Kancil 3.602 2.432 244.45 kelinci 3.712 3.304 266.67 Kidang 3.424 2.546 222.22 Mahesa 3.663 2.639 200.00 Panter 4.152 3.147 222.22 Pelanduk 3.181 2.626 288.89 Sima 4.105 3.268 266.67 Turangga 3.432 2.818 222.22 KK 11.2 15.6 12.7
4.2.1.4. Tinggi Batang Utama Dan Percabangan
Jumlah cabang dan tinggi batang utama hanya diamati pada MT- 2010. Jumlah cabang dihitung pada beberapa periode tumbuh, sedangkan tinggi batang utama hanya diukur pada saat panen. Tabel 12 menyajikan data rata-rata jumlah cabang dan tinggi batang utama kacang tanah pada MT-2010. Pada tabel ini terlihat bahwa perbedaan percabangan antara varietas ditemukan pada periode lanjut (70 dan 84 HST). Hal ini menunjukkan beberapa varietas masih mengalami pertumbuhan bagian vegetatif yang tinggi pada periode pengisian biji. Beberapa varietas ada yang membentuk maksimal 5 cabang, beberapa varietas lain ada yang memiliki hingga 8 cabang. Percabangan yang muncul pada periode lanjut ini merupakan cabang-cabang yang tidak produktif.
Tabel 12. Rata-rata jumlah cabang dan tinggi batang utama kacang tanah pada MT-2010
Varietas
Jumlah Percabangan Tinggi (cm) 42HST 56HST 70HST 84HST
Badak 5.0 5.2 5.0 d 5.3 cde 75.6 ab
Gajah 6.8 7.3 6.5 a-d 6.7 abc 65.6 bc
Garuda3 6.5 7.3 7.3 ab 6.3 a-d 55.1 c Jerapah 4.7 6.8 7.2 abc 7.2 a 66.1 bc Kancil 6.0 5.3 8.2 a 7.0 a 65.1 bc Kelinci 5.0 5.7 4.8 d 5.5 b-e 72.4 ab Kidang 6.0 6.5 5.8 bcd 6.8 ab 68.1 bc Mahesa 6.0 7.3 6.0 bcd 7.3 a 61.0 bc Panter 4.3 4.8 5.0 d 4.8 e 77.1 ab Pelanduk 6.5 6.3 8.2 a 7.5 a 75.9 ab Sima 5.2 6.3 5.5 bcd 5.2 de 87.9 a Turangga 5.0 5.0 5.2 cd 5.0 de 75.2 ab KK 17.1 17.8 17.8 12.6 6.4
Keterangan:angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
Berdasarkan uji F diperoleh bahwa tinggi batang utama berbeda nyata antar varietas. Sima merupakan varietas dengan tinggi batang utama tertinggi dan Garuda3 adalah yang terendah. Umumnya varietas yang tinggi menghasilkan jumlah cabang yang rendah. Dengan menggunakan uji korelasi Pearson didapatkan bahwa jumlah cabang menunjukkan kecenderungan berkorelasi negatif dengan tinggi batang utama. Varietas dengan jumlah cabang banyak juga nyata berkorelasi positif dengan ILD 42 dan 56 HST. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan tanaman yang bercabang menghasilkan lebih banyak daun pada fase awal pengisian biji.
Banyaknya cabang pada awal fase pembentukan ginofor dan pengisian memungkinkan pembentukan lebih banyak ginofor pada 42 dan 56 HST, ini ditunjukkan dengan adanya korelasi positif antara jumlah cabang dengan jumlah ginofor (Lampiran 9). Hal ini diduga adanya cabang memungkinkan lebih banyak ginofor terbentuk pada buku-buku yang dekat dengan permukaan tanah.
Tinggi batang utama berkorelasi positif dengan jumlah bunga, jumlah ginofor pada 70 dan 84 HST. Hal ini dapat menyebabkan distribusi asimilat untuk pengisian polong menjadi terganggu. Alasan ini dikuatkan dengan hasil korelasi antara tinggi batang utama dengan persentase polong penuh yang negatif dan
dengan jumlah cipo dan persentase polong setengah penuh yang positif. Walaupun demikian, tinggi batang utama berkorelasi nyata dengan hasil polong (jumlah dan bobot polong/tanaman) dengan nilai r sebesar 0,56 dan 0,60.
4.2.2. Aktivitas Source
Biomassa atau bahan kering tanaman merupakan produk laju fotosintesis bersih per unit luas daun dan total area yang aktif berfotosintesis (Khanna-Chopra 2000). Kemampuan tanaman menghasilkan asimilat diamati melalui laju pertambahan luas daun, laju asimilasi bersih dan laju pertambahan bahan kering. 4.2.2.1. Laju Pertambahan Luas Daun
Untuk mengamati pertambahan luas daun digunakan data luas daun pada MT-2010 karena hasilnya diduga lebih mendekati rata-rata luas daun sesungguhnya. Gambar 4 menyajikan pertambahan luas daun dari varietas-varietas yang diuji. Pertambahan luas daun disajikan dalam dua gambar, yaitu Gambar 4a dan Gambar 4b, untuk memudahkan pengamatan.
Pada MT-2010, rata-rata luas daun tanaman pada tiap varietas terus meningkat hingga 70 HST, kemudian kecepatan pertambahannya menurun setelah periode tersebut. Varietas seperti Gajah, Kancil, Badak (Gambar 4a) dan Kidang, Mahesa, Turangga (Gambar 4b) relatif tidak menunjukkan pertambahan luas daun hijau setelah 70 HST, tetapi Kelinci (Gambar 4a) dan Sima, Panter (Gambar 4b) masih menunjukkan pertambahan. Pertanaman kacang tanah mendapat penyemprotan pestisida hingga 70 HST, sehingga kemampuan varietas menghadapi serangan OPT setelah 70 HST tergantung pada ketahananan varietas tersebut. Jerapah, Garuda3 (Gambar 4a) dan Pelanduk (Gambar 4b) setelah 70 HST luasan daun hijau cenderung menurun. Hal ini diduga karena varietas tidak mampu menahan serangan penyakit bercak daun. Rata-rata nilai ILD Sima pada MT-2007 dan 2010 masih bertambah setelah 70 HST (Tabel 8 dan Gambar 4b). Hal ini menunjukkan varietas ini masih banyak mendistribusikan asimilat untuk pembentukan daun baru hingga menjelang panen.
Gambar 4 Pertambahan luas daun pada duabelas varietas kacang tanah (a dan b) pada MT-2010.
4.2.2.2. Laju Asimilasi Bersih (LAB)
Akumulasi bahan kering merupakan Laju Asimilasi Bersih (LAB) menggambarkan efisiensi fotosintesis daun/tajuk dalam menghasilkan bahan kering (Gardner et al. 1991). Nilai LAB tinggi terjadi pada saat tanaman masih muda dan sebagian besar tajuknya mendapatkan sinar matahari langsung. Nilai LAB menurun seiring dengan pertambahan jumlah/luasan daun yang mengakibatkan makin banyak daun saling menaungi. Daun-daun yang ternaungi tidak dapat berfotosintesis dengan baik, apabila hal ini terjadi pada saat tanaman memasuki periode pengisian biji, maka suplai asimilat untuk pengisian biji dapat terganggu. 0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 42HST 56HST 70HST 84HST Indeks Luas Daun
Badak Gajah Garuda3
Jerapah Kancil Kelinci
0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 42HST 56HST 70HST 84HST Indeks Luas Daun
Kidang Mahesa Panther
Pelanduk Sima Turangga
(a)
Tabel 13. Rata-rata Laju Asimilasi Bersih kacang tanah pada 2007 dan MT-2010 Varietas MT2007 MT2010 LAB 26-42 HST LAB 42-70 HST LAB 70-91 HST LAB 42-56 HST LAB 56-70 HST LAB 70-84 HST Badak 22.86 12.95 8.45 5.55 6.65 0.12 Gajah 14.74 18.30 2.56 3.85 2.61 -0.13 Garuda3 29.16 14.89 2.10 5.38 3.15 -2.29 Jerapah 15.37 13.18 4.45 6.17 1.34 0.36 Kancil 14.21 14.74 2.69 4.68 6.70 -0.34 Kelinci 20.32 15.26 4.24 7.05 7.87 -2.53 Kidang 15.33 13.58 3.28 7.10 3.02 1.17 Mahesa 19.93 9.64 5.89 7.93 5.93 -1.53 Panter 28.60 17.75 3.51 8.35 4.98 1.61 Pelanduk 21.77 16.25 6.93 6.36 7.22 -0.31 Sima 26.37 13.27 5.00 10.05 5.52 -0.72 Turangga 30.68 14.71 4.26 9.00 5.48 -0.80 KK 23.7 20.1 70.4 51.8 49.3 48.6
Pada Tabel 13 terlihat bahwa tidak ditemukan perbedaan antar varietas dalam nilai LAB. Hal ini menunjukkan adanya efisiensi tajuk (kanopi) dalam menghasilkan bahan kering tidak berbeda antar varietas. Luasan daun yang makin meningkat dan tidak ditunjang dengan tata letak daun yang memungkinkan penetrasi cahaya yang lebih baik menyebabkan efisiensi tajuk dalam menghasilkan bahan kering tidak meningkat.
4.2.2.3. Laju Akumulasi Bahan Kering
Laju akumulasi/pertambahan bahan kering tanaman per unit luas area per unit waktu atau Laju Tumbuh Tanaman (LTT g/m2/hari) diukur dari selisih bobot bahan kering yang dikumpulkan tanaman pada saat panen dengan bobot bahan kering pada fase pengisian biji (42 dan 70 HST). Nilai LTT pada MT-2007 dan MT-2010 disajikan pada Tabel 14.
Pada MT-2007 terdapat perbedaan antar varietas dalam kecepatan mengumpulkan bahan kering, tetapi pada MT-2010 perbedaan tersebut tidak tampak secara signifikan. Varietas Sima pada periode 42 HST hingga panen menunjukkan akumulasi bahan kering yang lebih cepat daripada Garuda3, Badak, Gajah, Jerapah, Kelinci dan Mahesa. Nilai LTT pada periode 70 HST hingga
panen tampak lebih kecil daripada LTT periode 42 HST hingga panen. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman tidak banyak menambah bahan kering setelah 70 HST hingga panen. Pada MT-2010, nilai LTT pada periode 70 HST hingga panen lebih tinggi daripada LTT periode 42 HST hingga panen yang menunjukkan semua varietas setelah 70 HST masih terus menambah bahan kering dalam jumlah yang cukup besar.
Tabel 14. Laju Tumbuh Tanaman pada dua periode tumbuh kacang tanah pada MT-2007 dan MT-2010 Varietas MT-2007 MT-2010 ……….(g/m2/hari)……… LTT 42-panen LTT 70-panen LTT 42-panen LTT 70-panen Badak 6.45 bc 6.14 48.92 71.85 Gajah 6.65 bc 0.80 31.67 46.92 Garuda3 4.32 c 1.71 31.13 41.83 Jerapah 6.30 bc 2.84 34.74 49.79 Kancil 7.42 abc 2.54 38.53 49.46 Kelinci 6.84 bc 3.07 36.82 46.51 Kidang 9.32 ab 4.80 37.00 47.00 Mahesa 6.38 bc 5.02 33.18 33.77 Panter 7.51 abc 1.93 45.72 67.40 Pelanduk 8.62 ab 7.41 50.41 58.68 Sima 10.50 a 6.81 55.29 73.71 Turangga 8.85 ab 5.55 37.46 46.04 KK 23.6 82.3 28.6 35.3 Rata-rata 7.4±1.7 3.8±2.7 40.1±8.0 52.8±12.5
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
Nilai rata-rata LTT pada MT-2007 yang diperoleh dari periode 42 HST hingga panen hanya mencapai 7,4±1,66 g/m2/hari. Nilai LTT ini lebih rendah daripada nilai rata-rata LTT kacang tanah menurut Ketring et al. (1982), yaitu sebesar 19,8±4,2 g/m2/hari. Hal ini menunjukkan rendahnya bahan kering yang mampu diakumulasikan oleh tanaman. Pada MT-2010, laju pertambahan bahan keringnya sangat tinggi (40.1 ± 8.0 g/m2/hari dan 52.8±12.5). Populasi tanaman
yang lebih banyak dan kondisi agroklimat tampaknya mengakibatkan tanaman mampu menghasilkan bahan kering yang lebih banyak.
Walaupun nilai LAB, kandungan klorofil dan kerapatan stomata tidak menunjukkan adanya perbedaan antar varietas, akan tetapi nilai LTT berbeda nyata antar varietas. Hal ini diduga karena LAB, kandungan klorofil dan kerapatan stomata hanya mengukur kemampuan fotosintesis daun tunggal, sedangkan LTT menunjukkan kemampuan kanopi menghasilkan bahan kering.
Nilai LTT pada periode 42 HST dan periode 70 HST hingga panen berkorelasi negatif dengan indeks panen yang ditunjukkan dengan nilai r sebesar -0.94 dan -0.79. Hal ini mengindikasikan adanya kecenderungan bahwa makin cepat laju akumulasi bahan kering, makin banyak asimilat untuk pertumbuhan tajuk dan semakin sedikit bahan kering yang didistribusikan ke dalam polong/biji.
4.3. Sink
Dalam penelitian ini sink produktif yang diamati adalah bobot polong dan
biji/tanaman. Untuk memahami dan membandingkan kemampuan varietas-varietas kacang tanah dalam menghasilkan sink tersebut dilakukan dengan mengamati kemampuan menghasilkan sink reproduktif, kapasitas sink, aktivitas
sink dan kekuatan sink. Kapasitas sink diartikan sebagai ukuran sink yang dapat
diisi oleh asimilat. Aktivitas sink diartikan sebagai laju pengisian polong/biji atau Laju Tumbuh Polong (LTP). Kekuatan sink menggambarkan dominansi sink untuk mendapatkan asimilat.
4.3.1. Sink Reproduktif
Sink reproduktif merupakan sink yang berpotensi untuk menjadi sink
produktif. Bagian tanaman yang masuk dalam kategori sink reproduktif adalah bunga dan ginofor. Pengamatan yang dilakukan meliputi jumlah bunga dan ginofor, waktu berbunga, lamanya periode reproduktif dan laju pertambahan ginofor. Pada MT-2007 pengamatan bunga tidak dilakukan.
4.3.1.1. Bunga
Tabel 15 menyajikan data waktu bunga muncul dan saat 50% populasi berbunga. Banyaknya bunga yang muncul dihitung setiap hari mulai 26 HST hingga 70 HST. Waktu bunga muncul tidak berbeda nyata antar varietas.
Rata-rata bunga muncul adalah pada 27,8 HST. Masing-masing varietas membutuhkan waktu yang berbeda untuk mencapai 50% populasi berbunga, dimana Mahesa paling lama mencapai 50% populasi berbunga, yaitu pada hari ke-33 setelah tanam. Selisih waktu antara periode bunga dengan waktu panen menggambarkan waktu pengisian polong/biji. Waktu pengisian yang pendek dapat mengakibatkan polong-polong menjadi kurang terisi. Waktu bunga muncul berkorelasi negatif dengan persentase polong penuh (r = -0,65) dan berkorelasi positif dengan persentase polong kurang terisi penuh (r = 0,59), tetapi tidak ditemukan adanya korelasi antara waktu 50% populasi berbunga dengan hasil dan kualitas polong per tanaman. Hal ini dapat diartikan bahwa varietas yang lambat memunculkan bunga cenderung menghasilkan persentase polong penuhnya lebih rendah daripada varietas yang lebih cepat memunculkan bunga.
Tabel 15. Waktu bunga muncul, waktu 50% populasi berbunga, periode reproduktif dan persentase polong penuh kacang tanah pada MT-2010
Varietas Bunga muncul
(HST) 50% populasi berbunga (HST)
Periode
Reproduktif (a) % polong penuh
Badak 28.3 31.0 abc 69.0 abc 66.7
Gajah 27.0 29.0 c 71.0 ab 72.8 Garuda3 27.0 29.3 bc 70.7 ab 71.3 Jerapah 27.0 29.0 c 72.0 a 79.2 Kancil 27.0 28.3 c 72.0 a 73.7 Kelinci 30.3 32.0 ab 68.0 bc 65.7 Kidang 26.7 28.3 c 72.0 a 75.7 Mahesa 28.3 33.0 a 67.0 c 72.3 Panter 27.7 29.3 bc 71.3 a 64.1 Pelanduk 27.7 28.3 c 71.0 ab 68.3
Sima 28.7 31.0 abc 69.0 abc 60.1
Turangga 28.0 31.0 abc 69.0 abc 67.7
KK 8.3 10.1 1.2 6.21
Keterangan:angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
(a) dihitung dari selisih waktupanen 100HST dengan waktu 50% populasi berbunga
Periode reproduktif dimulai dari saat populasi mencapai 50% berbunga hingga panen (Jogloy et al. 2011). Berdasarkan hasil uji F diperoleh bahwa lamanya periode reproduktif berbeda nyata antar varietas. Mahesa merupakan
varietas dengan periode reproduktif paling pendek dibandingkan varietas lain, meskipun perbedaannya hanya terpaut 5 hari.
Berdasarkan rataan jumlah bunga yang muncul pada setiap varietas yang dihitung dari 26 HST hingga 68 HST diperoleh bahwa periode terbanyak menghasilkan jumlah bunga/tanaman adalah pada kisaran 29 – 45 HST, seperti yang terjadi pada Badak, Garuda3, Jerapah, Kancil, Pelanduk, Gajah, Kidang dan Panter (Lampiran 2). Pada varietas Kelinci, Mahesa, Turangga dan Sima bunga-bunga awal terbentuk lebih lambat dan periode pembentukan pembunga-bungaan sedikit lebih panjang (pada kisaran 31-58 HST) dibandingkan dengan varietas lain.
Pembentukan bunga terus berjalan walaupun tanaman memasuki periode pengisian biji. Pertambahan jumlah bunga meningkat cepat pada kisaran 26-42 HST, kemudian laju pertambahannya mulai berkurang pada saat memasuki periode pembentukan dan pengisian polong. Pada varietas Gajah, Jerapah, Kancil, Kidang, Mahesa, Pelanduk dan terutama Garuda3, hampir tidak terjadi penambahan laju jumlah bunga selama periode pembentukan polong dan pengisian biji (42-70 HST) (Gambar 5a). Laju pertambahan bunga pada Badak, Kelinci, Panter, Sima dan Turangga baru mulai terjadi pada awal periode pengisian polong (56 HST), walaupun mulai melambat, pertambahan jumlah bunganya masih cukup besar (Gambar 5b).
(a) (b)
Gambar 5 Pertambahan jumlah bunga duabelas varietas kacang tanah pada MT-2010. 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 26 42 56 68 Jumlah bunga HST Gajah Garuda3 Jerapah Kancil Kidang Mahesa Pelanduk 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 26 42 56 68 Jumlah bunga HST
Badak Kelinci Panter
Berdasarkan hasil uji ragam (Lampiran 5), diperoleh bahwa jumlah bunga yang dihasilkan kacang tanah di pengaruhi oleh sifat genetiknya. Pelanduk menghasilkan rata-rata jumlah bunga/tanaman yang lebih tinggi daripada sebagian besar varietas lain, sementara Mahesa menghasilkan rata-rata bunga total per tanaman paling sedikit. Pelanduk menghasilkan bunga paling banyak, tetapi persentase bunga yang tumbuh menjadi polong hanya 26,3%, sedangkan pada Mahesa sejumlah 34,6% dari total bunga yang dihasilkan tumbuh menjadi polong. Persentase bunga yang menjadi polong untuk semua varietas rata-rata hanya sebesar 25,4 %. Efisiensi pembungaan kacang tanah memang rendah, yaitu hanya 10-20% (Cahaner dan Ashri 1974). Tabel 16 menyajikan data rata-rata jumlah bunga tiap periode, persentase bunga yang menjadi polong dan jumlah polong/tanaman pada MT-2010.
Jumlah bunga berkorelasi positif dengan tinggi batang utama (r = 0.74), yang berarti bahwa tanaman yang habitusnya tinggi akan cenderung menghasilkan lebih banyak bunga daripada yang rendah. Lebih banyak bunga berarti ada kemungkinan menghasilkan lebih banyak ginofor. Tidak semua bunga menjadi ginofor dan tidak semua ginofor menjadi polong.
Tabel 16. Rata-rata jumlah bunga tiap periode, persentase bunga yang menjadi polong dan jumlah polong per tanaman pada MT-2010
Varietas Jumlah bunga %bunga
jadi polong Jumlah polong /tanaman 42 HST 56 HST 68 HST
Badak 32.0 b-e 54.1 63.9 a-e 30.7 19.54 Gajah 38.3 b-e 47.7 50.5 de 26.3 13.38 Garuda3 44.3 a-d 48.1 49.4 de 25.7 11.90 Jerapah 39.1 b-e 50.1 55.5 b-e 22.2 12.51 Kancil 48.3 abc 60.6 67.0 a-d 25.5 16.24 Kelinci 22.0 e 44.5 52.5 cde 26.5 14.36 Kidang 49.3 ab 62.8 66.3 a-d 15.6 10.38 Mahesa 27.9 de 37.6 42.6 e 34.6 14.41 Panter 35.5 b-e 65.1 73.9 abc 26.2 18.22 Pelanduk 57.9 a 74.6 81.6 a 26.3 19.86 Sima 30.9 cde 59.7 76.0 ab 22.3 17.18 Turangga 30.0 de 51.9 61.4 a-e 20.1 11.87
KK 23.8 21.9 19.8 29.5 14.0
Keterangan:angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
Ginofor yang berkembang menjadi polong kebanyakan adalah yang terbentuk dari bunga-bunga awal (Cahaner dan Ashri 1974) atau pada awal pembentukan ginofor, yaitu pada 42 HST (Trustinah 1993). Waktu yang dibutuhkan untuk pembungaan hingga polong masak adalah sekitar 2 bulan (Trustinah 1993; Maria 2000). Berdasarkan peubah bunga yang muncul setiap hari, persentase bunga jadi polong dan jumlah polong/tanaman, maka diduga polong-polong yang dihasilkan berasal dari bunga yang mekar dari awal berbunga hingga 30-40 HST. Bunga dan ginofor yang muncul setelah periode tersebut kemungkinan tidak berkembang menjadi polong sempurna.
4.3.1.2. Ginofor
Pada MT-2007 terdapat perbedaan yang nyata antar varietas pada peubah jumlah ginofor dan polong yang terbentuk, akan tetapi berat kering yang diakumulasi dalam ginofor dan polong tidak berbeda nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa varietas mampu menggantikan jumlah polong yang sedikit dengan ukuran yang lebih besar.
Gambar 6 Pertambahan jumlah ginofor per tanaman pada MT-2007.
Gambar 6 menyajikan data pertambahan jumlah ginofor/tanaman kacang tanah pada MT-2007. Dari gambar ini terlihat bahwa varietas Panter dan Kelinci memiliki keunggulan dalam pembentukan sink reproduktif yaitu lebih banyak
0 10 20 30 40 50 60 42 70 91 Hari Sesudah Tanam Badak Gajah Garuda3 Jerapah Kancil Kelinci Kidang Mahesa Panter Pelanduk Sima Turangga
ginofor dibandingkan varietas lainnya. Beberapa varietas tampak masih menambah jumlah ginofornya pada periode akhir pengisian biji (70-91 HST) seperti Panter, Kelinci, Sima, Badak dan Gajah. Penambahan jumlah ginofor pada periode ini berdampak pada berkurangnya asimilat untuk pengisian biji, bahkan walaupun polong terbentuk, pengisian biji tidak maksimal karena waktu pengisian yang tidak mencukupi.
Pada MT-2010 tidak ditemukan adanya perbedaan antar varietas dalam menghasilkan ginofor. Varietas Mahesa, yang menghasilkan total bunga paling sedikit, menghasilkan rataan jumlah ginofor yang lebih banyak dibandingkan varietas lain. Gambar 7 memperlihatkan data persentase bunga yang menjadi ginofor. Banyaknya ginofor yang dihasilkan ternyata tidak selalu menghasilkan polong yang banyak, karena rataan jumlah polong/tanaman Mahesa tidak lebih baik daripada varietas lain (lihat juga Tabel 16).
Gambar 7 Pertambahan jumlah ginofor per tanaman pada MT-2010. Jumlah ginofor yang dihasilkan pada MT-2010 cenderung lebih banyak daripada 2007, akan tetapi persentase ginofor yang menjadi polong pada MT-2010 lebih kecil (Tabel 17). Apabila jumlah polong/tanaman dibandingkan dengan total jumlah ginofor pada 42 HST, maka rata-rata ginofor yang kemudian menjadi polong pada MT-2007 sebesar 46,2%, sedangkan pada MT-2010 hanya sebesar 22,8%. Rata-rata persentase bunga yang menjadi ginofor pada MT-2010 sekitar 88,2 %. 0 20 40 60 80 100 120 42 56 70 84 Hari Sesudah Tanam Badak Gajah Garuda3 Jerapah Kancil Kelinci Kidang Mahesa Panter Pelanduk Sima Turangga
Tabel 17. Persentase ginofor jadi polong pada MT-2007 dan MT-2010 Varietas MT-2007 MT-2010 Badak 35.46 a-d 25.51 Gajah 54.27 a 32.93 Garuda 42.21 a-d 29.71 Jerapah 56.90 a 22.57 Kancil 40.76 a-d 27.96 Kelinci 28.88 bcd 25.85 Kidang 46.94 a-d 15.74 Mahesa 49.72 abc 19.82 Panter 26.47 cd 23.88 Pelanduk 52.40 ab 22.01 Sima 38.98 a-d 25.25 Turangga 24.07 d 16.93 KK 30.4 36.8
Keterangan:angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
Untuk mendapatkan produksi polong dan biji yang maksimal, maka bunga dan ginofor kacang tanah harus banyak terbentuk pada periode awal periode generatif sehingga ada cukup waktu untuk melakukan pengisian biji. Akan tetapi, seperti juga tanaman kacang-kacang lainnya, tidak semua bunga yang terbentuk menjadi ginofor dan tidak semua ginofor menjadi polong. Sehingga peubah jumlah bunga dan ginofor sulit digunakan sebagai indikator keberhasilan produksi kacang tanah.
4.3.2. Kapasitas Sink
Kapasitas sink menggambarkan jumlah dan ukuran sink yang harus diisi. Pengamatan kapasitas sink meliputi jumlah polong, bobot polong dan bobot 100 biji.
4.3.2.1. Jumlah dan Bobot Polong
Jumlah bunga yang muncul menunjukkan adanya perbedaan antar varietas. tetapi jumlah ginofor yang dihasilkan pada fase awal pembentukan ginofor (42 HST) tidak ditemukan adanya perbedaan antar varietas. Perbedaan jumlah ginofor muncul pada fase pengisian biji (70 HST) dan menjelang panen (91 HST). Walaupun terdapat perbedaan dalam ginofor yang dihasilkan, akan tetapi jumlah
polong yang dihasilkan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 18). Sementara itu, bobot polong antara varietas berbeda hanya pada 70 HST, namun perbedaan ini tidak ditemukan lagi pada saat menjelang panen (91 HST) dan saat panen. Hal ini mengindikasikan adanya perbedaan antar varietas dalam kecepatan pengisian biji dan waktu panen. Varietas yang cepat mengisi polong atau biji diduga akan memiliki waktu panen yang juga lebih cepat.
Pada MT-2007, komponen hasil tanaman yang berupa jumlah polong total, polong penuh, cipo dan persentase polong penuh per tanaman tidak menunjukkan perbedaan antar varietas (Tabel 19). Pada Tabel 19 terlihat bahwa tidak semua varietas mampu menghasilkan rata-rata 15 polong/tanaman. Rata-rata jumlah polong/tanaman hanya mencapai 14.50 polong, kecuali Badak yang dapat menghasilkan rata-rata jumlah polong/tanaman sebesar 17.45 polong. Rata-rata jumlah polong/tanaman yang kurang dari 15 ditemukan pada varietas Sima, yaitu sebesar 10.75 polong/tanaman. Rata-rata persentase polong cipo adalah 3.5% dari jumlah polong total per tanaman.
Tabel 18. Rataan jumlah ginofor, jumlah polong dan bobot polong per tanaman pada MT-2007
Varietas Jumlah ginofor Jumlah polong Bobot polong (g) 42 HST 70 HST 91 HST 70 HST 91 HST 70 HST 91 HST Badak 10.67 1.35 abc 34.00 a 9.00 18.67 5.38 d 20.11
Gajah 11.00 1.35 abc 9.67 cd 15.67 19.83 14.02 ab 24.52
Garuda3 13.67 1.14 bcd 14.33 a-d 15.83 17.17 14.50 a 21.60
Jerapah 14.00 1.04 cd 6.17 d 15.67 23.17 11.13 a-d 24.74
Kancil 13.33 1.06 cd 22.83 a-d 19.33 20.50 13.47 abc 21.89
Kelinci 20.67 1.50 ab 30.33 ab 16.33 22.83 13.02 abc 23.32
Kidang 15.50 1.07 cd 17.67 a-d 16.00 18.00 12.17 a-d 21.45
Mahesa 12.00 1.02 cd 10.50 bcd 8.33 17.83 6.50 cd 20.45
Panter 18.17 1.59 a 27.17 abc 20.17 21.17 13.81 ab 27.65
Pelanduk 11.17 0.89 d 11.33 bcd 12.33 18.67 8.97 a-d 20.33
Sima 14.67 1.40 abc 20.17 a-d 14.17 21.83 10.89 a-d 29.51
Turangga 13.67 1.22 a-d 30.33 ab 11.33 15.67 7.29 bcd 23.23
KK 32.8 20.5 27.2 31.9 20.3 33.4 24.3
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%
Kecepatan pengisian polong/biji mengindikasikan adanya perbedaan antar varietas. Varietas yang cepat mengisi polong/biji akan menghasilkan lebih
banyak jumlah polong yang terisi penuh daripada varietas yang lebih lambat dalam pengisian polong/biji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase polong penuh hanya cenderung berbeda (Pr>F 0.06) antar varietas. Jerapah, Mahesa, Kancil dan Pelanduk hanya cenderung berbeda persentase polong penuhnya dengan Kelinci dan Sima (Tabel 19).
Pada MT-2010, varietas yang diuji menunjukkan perbedaan dalam menghasilkan ginofor pada awal fase pembentukan ginofor (42 HST) dan fase pengisian (70 HST), akan tetapi jumlah polong yang terbentuk tidak berbeda antar varietas (Tabel 20). Varietas hanya menunjukkan kecenderungan perbedaan jumlah polong pada 56 dan 70 HST (Pr>F 0.08 dan 0.06), akan tetapi pada fase lanjut/fase akhir pengisian (84 HST) ditemukan perbedaan antar varietas. Pada 84 HST, varietas Pelanduk dan Mahesa menghasilkan lebih banyak jumlah polong/tanaman daripada Badak, Kelinci, Sima dan Garuda3. Walaupun jumlah polong/tanaman berbeda antar varietas, tetapi bobot polong pada tiap fase tidak menunjukkan perbedaan antar varietas. Hal ini diduga bahwa varietas dengan jumlah polong lebih sedikit mengisi sink dengan ukuran yang lebih besar.
Tabel 19. Rata-rata jumlah polong total, polong penuh, cipo dan persentase polong penuh per tanaman kacang tanah pada MT-2007
Varietas Jumlah polong total Jumlah polong penuh Jumlah polong cipo Persentase polong Penuh Badak 17.45 12.44 5.01 70.43 Gajah 15.53 11.17 4.36 71.44 Garuda3 12.38 9.67 2.71 78.41 Jerapah 16.19 14.04 2.15 87.21 Kancil 16.17 13.75 2.42 84.83 Kelinci 15.42 9.59 5.84 63.85 Kidang 14.29 10.75 3.54 73.52 Mahesa 13.71 11.67 2.04 85.10 Panter 12.60 9.21 3.39 71.90 Pelanduk 15.63 12.63 3.00 81.33 Sima 13.88 8.67 5.21 62.01 Turangga 10.75 8.09 2.67 73.16 KK 23.2 25.6 18.6 12.8
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
58
Tabel 20. Rataan jum
lah ginofor, jum
lah
polong dan bobot polong per tanam
an pada MT-2010 Varietas Jum lah Ginofor Jum lah Polong Bobot polong (g) 42HST 56HST 70HST 84HST 56HST 70HST 84HST 56HST 70HST Badak 11.50 bc 39.33 58.17 abc 64.83 6.83 13.67 14.00 cd 2.18 10.60 Gajah 32.83 a 35.33 39.00 bc 33.00 14.50 14.50 15.33 bcd 5.90 11.77 Garuda3 24.50 ab 29.17 33.50 c 27.50 10.33 14.33 12.67 d 4.75 12.52 Jerapah 24.33 ab 39.00 34.00 c 37.33 13.50 12.50 17.00 bcd 4.88 9.28 Kancil 17.50 bc 28.67 49.83 bc 42.00 11.50 20.33 18.50 a-d 4.42 12.27 Kelinci 16.17 bc 28.33 58.50 abc 42.67 7.83 15.33 13.50 cd 2.30 13.17 Kidang 19.33 abc 41.33 49.00 bc 46.33 11.33 14.33 19.67 a-d 4.15 11.28 Mahesa 19.00 abc 29.67 48.67 bc 51.00 11.50 11.50 22.50 ab 5.33 18.02 Panther 11.83 bc 32.83 60.17 ab 61.33 12.17 14.17 21.83 abc 3.98 9.78 Pelanduk 19.67 abc 38.33 82.00 a 63.00 13.50 23.67 25.83 a 4.73 16.78 Sim a 6.83 c 34.50 59.50 abc 59.50 4.28 12.93 13.30 cd 4.28 12.93 Turangga 13.50 bc 35.00 63.17 ab 55.17 9.00 15.17 18.17 a-d 3.12 13.72 KK 28.2 29.5 25.2 30.8 18.5 26.5 24.8 20.7 32.9 Ket era nga n : A ng ka -an gk a y ang di ik ut i h uru f y an g sam a pa da kol om y ang sam a t id ak be rb eda ny at a m enu ru t u ji DM R T pa da t ar af 5%
Pada MT-2007 ditemukan bahwa tidak semua polong terisi penuh biji. Untuk mengetahui proses pengisian, maka pada MT-2010 dilakukan pengamatan polong yang terisi biji tetapi tidak penuh, yang disebut dengan polong setengah penuh. Kriteria polong penuh, setengah penuh dan cipo dapat dilihat pada Lampiran 2. Polong cipo merupakan polong yang pada saat kering berkerut tidak berisi, sedangkan polong setengah penuh adalah polong yang saat kering bentuk polongnya sempurna, tetapi pada saat dibuka biji tidak mengisi polong dengan penuh. Adanya polong setengah penuh menggambarkan proses pengisian biji yang belum selesai.
Tabel 21. Rata-rata jumlah polong total, polong penuh, ½ penuh, cipo, persentase polong penuh dan polong setengah penuh per tanaman kacang tanah pada MT2010 Varietas Jumlah polong total Jumlah polong penuh Jumlah polong ½ penuh Jumlah polong cipo Persentase polong penuh Persentase polong ½ penuh Badak 19.5 12.9 2.4 a 3.3 a-d 66.7 bc 12.9 ab Gajah 13.4 9.8 1.0 cd 2.2 bcd 72.8 ab 6.9 bcd Garuda3 11.9 8.4 1.1 bcd 1.7 d 71.3 abc 9.4 a-d Jerapah 12.5 10.0 0.4 d 1.7 d 79.2 a 3.5 d Kancil 16.2 12.0 0.8 d 2.4 bcd 73.7 ab 4.8 cd Kelinci 14.4 9.5 1.4 a-d 2.9 a-d 65.8 bc 9.7 a-d Kidang 10.4 7.9 0.4 d 1.9 cd 75.7 ab 4.3 cd Mahesa 14.4 10.4 1.1 bcd 2.4 bcd 72.3 ab 7.3 a-d Panter 18.2 11.6 2.0 abc 3.4 abc 64.1 bc 10.8 abc Pelanduk 19.9 13.8 1.6 a-d 4.2 a 68.3 abc 7.7 a-d Sima 17.2 10.7 2.2 ab 3.5 ab 60.1 c 13.8 a Turangga 11.9 8.0 1.2 bcd 2.2 bcd 67.7 abc 9.9 a-d
KK 14.0 15.2 15.9 31.4 6.2 17.9
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%
Pada MT-2010, rata-rata jumlah polong total per tanaman pada saat panen mencapai 14.99 polong/tanaman. Beberapa varietas dapat mencapai rataan lebih dari 19 polong/tanaman, dan beberapa varietas lainnya tidak mencapai rataan 15 polong/tanaman (Tabel 21). Walaupun jumlah polong/tanaman pada 84bHST nyata berbeda antar varietas, tetapi jumlah polong/tanaman saat panen tidak berbeda antar varietas. Kondisi yang sama terjadi pula pada MT-2007, sehingga
dapat disimpulkan bahwa tidak ditemukan adanya perbedaan antar varietas dalam menghasilkan banyaknya polong/tanaman. Berdasarkan hasil uji ragam gabungan dua musim tanam diperoleh bahwa jumlah polong/tanaman merupakan karakteristik genetik (Lampiran 6). Jumlah polong yang mampu dihasilkan tanaman merupakan kapasitas sink, sehingga perlu diupayakan agar potensi genetik ini dapat dimaksimalkan pada periode pembentukan polong.
Jumlah polong/tanaman pada semua varietas relatif sama, tetapi banyaknya polong yang terisi penuh biji berbeda antar varietas. Keadaan ini dapat dijadikan indikator perbedaan varietas dalam mendistribusikan asimilat ke dalam sink. Selain itu, persentase polong penuh per tanaman sebagian besar dipengaruhi oleh faktor genetik.
4.3.2.2. Bobot 100 Butir
Ukuran biji menentukan banyaknya asimilat yang didistribusikan untuk pengisian polong. Bobot 100 butir biji dapat digunakan untuk menentukan besar kecilnya ukuran biji. Semakin tinggi bobot 100 butir biji, semakin besar kapasitas yang harus diisi untuk setiap sink.
Tabel 22. Bobot 100 biji kacang tanah pada dua musim tanam
Varietas MT-2007 MT-2010 ……… gram ………. Badak 37.2 d 40,0 Gajah 60.0 a 41,6 Garuda3 41.8 cd 45,6 Jerapah 54.8 ab 41,7 Kancil 54.5 ab 49,6 Kelinci 41.0 cd 38,0 Kidang 53.1 abc 52,0 Mahesa 53.4 abc 40,5 Panter 38.5 d 38,2 Pelanduk 56.0 ab 43,2 Sima 43.9 bcd 35,1 Turangga 42.0 cd 35,1 KK 7.1 16.1
Keterangan:angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
Tabel 22 menyajikan data bobot 100 butir biji pada dua musim tanam. Pada tabel ini dapat dilihat bahwa bobot 100 butir biji nyata berbeda antar varietas pada MT-2007, sedangkan pada MT-2010 tidak ditemukan perbedaan antar varietas. Pada MT-2007, varietas Gajah, Jerapah, Kancil dan Pelanduk mempunyai bobot 100 biji yang lebih tinggi daripada Panter, Badak, Kelinci dan Garuda3, sedangkan pada MT-2010 ukuran biji semua varietas relatif hamper sama. Kondisi ukuran biji pada MT-2010 diduga dapat mempengaruhi banyaknya asimilat yang dapat disimpan dalam biji, sehingga mempengaruhi ukuran biji yang dihasilkan.
4.3.3. Aktivitas Sink
Laju akumulasi bahan kering dalam polong per unit area per unit waktu atau Laju Tumbuh Polong diukur dari selisih bobot polong pada saat panen dengan bobot ginofor dan polong pada 42 HST (MT-2007) atau pada 56 HST (MT-2010). Pada MT-2010, LTP dihitung dari awal pembentukan polong (56 HST) hingga panen. Perhitungan ini dilakukan karena pada 42 HST sebagian besar tanaman belum membentuk polong sehingga LTP belum dapat dihitung. Tabel 23 menyajikan nilai LTP dari pertanaman pada MT-2007 dan MT-2010. Tabel 23. Laju Tumbuh Polong kacang tanah pada MT-2007 dan MT-2010
Varietas LTP42-panen (MT-2007) LTP 56-panen (MT-2010)
………..g/m2/hari……….. Badak 3.17 10.42 a Gajah 3.73 4.05 bc Garuda3 2.84 4.72 bc Jerapah 3.56 3.48 c Kancil 4.00 5.84 bc Kelinci 3.42 5.88 bc Kidang 3.71 3.54 c Mahesa 3.50 3.31 c Panter 3.10 7.76 ab Pelanduk 3.78 7.40 abc Sima 3.58 7.27 abc Turangga 3.14 5.23 bc Rataan 3.5±0.3 5.7±2.2 KK 31.2 37.1
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%
Pada MT-2007, laju akumulasi bahan kering dalam polong tidak berbeda antar varietas, sedangkan pada MT-2010 laju akumulasi bahan kering dalam polong berbeda antar varietas. Pada MT-2010, varietas Badak dan Panter menunjukkan laju akumulasi bahan kering dalam polong lebih baik daripada varietas-varietas lain, kecuali dengan Pelanduk dan Sima (Tabel 23). Nilai Laju Tumbuh Tanaman merupakan penjumlahan laju akumulasi bahan kering tajuk dan laju akumulasi bahan kering dalam polong. Perbandingan rata-rata LTP dengan rataan LTT pada periode yang sama (Tabel 14) menunjukkan bahwa akumulasi bahan kering dalam tajuk pada MT2007 tidak mendominasi akumulasi bahan kering dalam polong (LTT=7.4±1.7; LTP=3.5±0.3), sedangkan pada MT-2010 laju akumulasi bahan kering dalam tajuk jauh lebih besar daripada nilai LTP (LTT=40.1±8.0; LTP=5.7±2.2).
Hubungan LTP pada periode 42 dan 56 HST hingga panen dengan bobot polong dan bobot biji/tanaman memiliki korelasi positif. Kekuatan hubungan antara LTP dengan bobot polong sebesar 0.99 dan 0.96, sedangkan dengan bobot biji/tanaman sebesar 0.77 dan 0.60 (Lampiran 11 dan 12). Nilai LTP periode 56 HST hingga panen berkorelasi negatif dengan persentase polong penuh (r = -0.71), tetapi pada MT-2007, LTP periode 42 HST hingga panen tidak berkorelasi dengan persentase polong penuh. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak tanaman mengakumulasi bahan kering dalam polong, maka hasil polong dan biji cenderung meningkat, akan tetapi terdapat pula kecenderungan jumlah polong penuhnya menurun. Penurunan jumlah polong penuh ini diduga karena asimilat ditempatkan dalam banyak sink (polong/biji).
4.3.4. Kekuatan Sink (Sink Strength)
Kekuatan sink menunjukkan kemampuan sink untuk mendapatkan asimilat. Dalam penelitian ini kekuatan sink diamati melalui perbandingan laju akumulasi bahan kering dalam polong atau LTP dengan LTT, serta dari persentase polong penuh yang dihasilkan pertanaman.
4.3.4.1. Partition Coefficient
Duncan et al. (1978) memperkenalkan koefisien partisi (PC = Partitioning
Coefficient) yang merupakan rasio antara Pod Growth Rate (LTP) dan Crop
Growth Rate (LTT). Apabila nilai koefisien partisi ≥ 1 berarti laju pertambahan berat kering polong lebih besar atau sama dengan laju pertambahan berat kering tanaman. Semakin tinggi nilai koefisien partisi menunjukkan semakin banyak asimilat didistribusikan ke bagian ekonomis.
Tabel 24 menyajikan data nilai koefisien pembagian asimilat (PC) antara polong dan total bahan kering tanaman saat panen pada tiap varietas. Pada tabel ini ditunjukkan bahwa nilai koefisien partisi, baik pada MT-2007 (PC periode 42 HST-panen) maupun MT-2010 (PC periode 56-panen), tidak berbeda antar varietas. Hal ini menguatkan dugaan bahwa tidak ada perbedaan antar varietas kacang tanah dalam mendistribusikan bagian asimilat yang diperuntukkan untuk mengisi polong/biji. Nilai PC pada MT-2007 lebih besar daripada MT-2010, akan tetapi bahan kering yang dihasilkan pada MT-2010 lebih besar daripada MT-2007. Tabel 24 Nilai koefisien partisi (PC) kacang tanah pada MT-2007 (PC42-panen)
dan MT-2010 (PC56-panen)
Varietas PC 42-panen PC 56-panen
Badak 0.48 0.17 Gajah 0.57 0.10 Garuda3 0.66 0.14 Jerapah 0.58 0.09 Kancil 0.54 0.13 Kelinci 0.49 0.13 Kidang 0.41 0.09 Mahesa 0.55 0.09 Panter 0.41 0.15 Pelanduk 0.44 0.12 Sima 0.35 0.12 Turangga 0.37 0.13 KK 22.9 25.7 Besarnya bagian asimilat yang didistribusikan untuk polong sejak periode 42 HST dan 56 HST hingga panen (PC 42-panen dan PC 56-panen) nyata berkorelasi positif dengan Indeks Panen (r = 0.86 dan 0.61). Pada MT-2010, PC
56-panen juga berkorelasi positif dengan bobot polong/tanaman (r = 0.76), artinya semakin tinggi laju akumulasi bahan kering dalam polong semakin besar kemungkinan tanaman menghasilkan bobot polong/tanaman yang tinggi.
4.3.4.2. Persentase pengisian polong
Trustinah (1993) menyatakan bahwa pada saat panen tidak semua polong yang dihasilkan tanaman terisi biji, tanaman akan menghasilkan polong mature, polong immature, polong cipo dan ginofor. Keserempakan pembentukan dan pengisian polong akan menghasilkan lebih banyak polong yang terisi penuh biji, sehingga diharapkan dapat meningkatkan hasil dan kualitas polong.
Tabel 25 Persentase polong penuh kacang tanah pada dua musim tanam
Varietas MT-2007 MT-2010 Jumlah ginofor 42 HST Jumlah polong /tanaman Polong penuh (%) Jumlah ginofor 42 HST Jumlah polong /tanaman Polong penuh (%) Badak 10.67 17.45 a 70.43 11.50 bc 19.54 66.66 bc Gajah 11.00 15.53 ab 71.44 32.83 a 13.38 72.76 ab Garuda3 13.67 12.38 ab 78.41 24.50 ab 11.90 71.28 abc Jerapah 14.00 16.19 ab 87.21 24.33 ab 12.51 79.20 a Kancil 13.33 16.17 ab 84.83 17.50 bc 16.24 73.74 ab Kelinci 20.67 15.42 ab 63.85 16.17 bc 14.36 65.75 bc Kidang 15.50 14.29 ab 73.52 19.33 abc 10.38 75.72 ab Mahesa 12.00 13.71 ab 85.10 19.00 abc 14.41 72.30 ab Panter 18.17 12.60 ab 71.90 11.83 bc 18.23 64.08 bc Pelanduk 11.17 15.63 ab 81.33 19.67 abc 19.86 68.28 abc Sima 14.67 13.88 ab 62.01 6.83 c 17.18 60.12 c Turangga 13.67 10.75 b 73.16 13.50 bc 11.87 67.74 abc
KK 32.8 23.2 12.8 28.2 14.0 6.21
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%
Rata-rata persentase polong yang terisi penuh pada MT-2007 lebih besar dibandingkan pada MT-2010. Persentase polong penuh pada MT-2007 tidak berbeda antar varietas, sedangkan pada MT-2010 terdapat perbedaan antar varietas. Varietas Jerapah, Kidang, Kancil, Gajah dan Mahesa memiliki persentase polong penuh lebih baik daripada varietas Badak, Kelinci, Panter dan Sima (Tabel 25).
Pada MT-2010, polong yang dihasilkan tanaman diduga banyak yang berasal dari ginofor yang terbentuk hingga 42-HST, kecuali pada Badak, Kelinci, Panter dan Sima. Ketiga varietas ini masih perlu menambah polong lagi, yang berakibat waktu pengisian berkurang sehingga polong cenderung banyak yang kurang terisi. Rata-rata persentase polong penuh dari Badak, Kelinci, Panter dan Sima tampak lebih rendah daripada beberapa varietas lainnya.
Peningkatan populasi tanaman pada MT-2010 tampaknya meningkatkan pembentukan lebih banyak sink potensial (bunga dan ginofor) per tanaman, tetapi jumlah polong yang dapat diisi lebih sedikit. Kondisi ini sesuai dengan yang dilaporkan Cahaner dan Ashri (1974), dimana pada kerapatan tanaman yang lebih tinggi, bunga dan ginofor lebih banyak dihasilkan tetapi hasil polong tidak meningkat, bahkan ditemukan lebih banyak “immature pod” atau polong setengah penuh. Hal ini dikarenakan bahan kering yang dihasilkan harus didistribusikan ke lebih banyak polong sehingga tidak cukup untuk pengisian maksimal. Keadaan ini mengindikasikan sink-sink yang ada tidak cukup kuat untuk mendapatkan lebih banyak asimilat (sink limited).
Pada MT-2007, banyak varietas yang masih perlu menambah polong setelah 42 HST, tetapi pertanaman menghasilkan lebih sedikit asimilat/bahan kering. Sedikitnya bahan kering ini mengakibatkan perkembangan tajuk, bunga, dan ginofor terhambat, sehingga polong-polong yang sudah terbentuk dapat menjadi sink yang kuat dalam mendapatkan asimilat. Persentase pengisian polong pada sebagian besar varietas pada MT-2007 lebih baik daripada MT-2010.
Persentase polong penuh tinggi dapat diperoleh dari jumlah polong total yang relatif lebih sedikit atau karena jumlah polong penuh relatif lebih banyak. Kidang merupakan varietas dengan persentase polong penuh tinggi, tetapi dicapai dengan rata-rata jumlah polong total/tanaman yang rendah. Keadaan ini mengindikasikan adanya kekurangan asimilat untuk pengisian biji pada Kidang. Sementara pada Kancil, persentase polong penuhnya relatif tinggi, hal ini dikarenakan rataan jumlah polong penuh/tanaman relatif banyak dan polong cipo serta ½ penuhnya yang sedikit (Tabel 21 dan 25).
4.4. Translokasi asimilat
Pengamatan translokasi asimilat dilakukan hanya pada MT-2007 dengan mengukur kandungan TNC dalam daun dan batang pada periode pembentukan polong (42 HST) dan akhir pengisian polong (70 HST).
4.4.1. Kadar Total Non-structural Carbohydrate (TNC)
Asimilat yang ditranslokasikan dari source ke sink pada prinsipnya adalah karbon dan nitrogen (Atkins dan Smith 2007). Zheng et al (2001) menyatakan bahwa bentuk asimilat yang diekspor daun kacang tanah dan ditranslokasikan antara source dan sink kemungkinan besar adalah fruktosa. Sukrosa diduga disintesa di batang, akar dan polong. Karbohidrat non-struktural adalah bentuk karbohidrat yang mampu menyediakan energi untuk pertumbuhan. Karbohidrat yang terdapat dalam kelompok Non-structural Carbohydrate terutama terdiri atas pektin, gula dari jenis glukosa, fruktosa, sukrosa dan pati.
Streeter dan Jeffers (1979) menyatakan bahwa polong, batang dan petiole merupakan sumber utama karbohidrat untuk pengisian biji kedelai, sedangkan kandungan TNC dalam daun tidak digunakan untuk mendukung perkembangan biji. Dalam percobaan ini pengamatan kadar TNC dalam daun dan batang hanya diukur pada pertanaman MT-2007 dan hanya pada 6 varietas kacang tanah yang berbeda pola pertumbuhannya yaitu Badak, Sima, Gajah, Jerapah, Kidang dan Kelinci.
Tabel 26. Kadar TNC dalam daun dan batang pada 42 dan 70 HST
Varietas Daun Batang
……….gram per100 gram bahan………..
42 HST 70 HST Selisih 42 HST 70 HST Selisih Badak 23,94 c 33,98 b 10.04 29,29 31,47 2.18 Gajah 39,26 a 30,26 b (-)9.00 33,04 33,12 0.07 Jerapah 25,32 bc 34,83 b 9.52 36,38 38,45 2.07 Kelinci 35,01 ab 27,37 b (-)7.63 37,18 31,27 (-)5.91 Kidang 34,12 abc 48,55 a 14.43 35,66 42,20 6.54 Sima 26,94 bc 28,76 b 1.81 34,62 32,75 (-)1.88 KK 18.1 11.2 10.6 22.5
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
Tabel 26 menyajikan data kadar TNC dalam daun dan batang pada 42 dan 70 HST. Pada tabel ini ditunjukkan bahwa kadar TNC dalam daun pada 42 dan
70 HST berbeda antar varietas, sedangkan kadar TNC dalam batang tidak terdapat perbedaan antar varietas. Selisih kadar TNC antara 42 dan 70 HST dalam daun tidak berbeda antar varietas, tetapi selisih kadar TNC dalam batang berbeda antar varietas.
Apabila antara kadar TNC pada periode pengisian biji dengan jumlah atau persentase polong penuh berkorelasi nyata positif, maka terdapat kemungkinan aliran asimilat untuk pengisian polong/biji. Kadar TNC batang saat 70 HST ditemukan hanya cenderung berkorelasi positif dengan jumlah polong penuh (P>0,06; r = 0.44). Kadar TNC dalam daun dan batang pada 70 HST umumnya masih meningkat, sehingga diduga asimilat untuk pengisian biji lebih banyak diperoleh dari kegiatan fotosintesis pada periode pengisian polong/biji daripada retranslokasi asimilat. Pada varietas Kidang, Badak, Jerapah dan Gajah terdapat selisih positif antara kadar TNC 42 dan 70 HST dalam batang, sedangkan pada Sima dan Kelinci, kadar TNC pada 70 HST lebih rendah daripada saat 42 HST, sehingga nilai selisihnya negatif (Tabel 26).
Persentase polong penuh pada Sima dan Kelinci berada di bawah 70%. Nilai ini lebih rendah daripada persentase polong penuh keempat varietas lainnya. Kondisi ini menimbulkan dugaan bahwa menurunnya kandungan asimilat batang pada 70 HST mengakibatkan penurunan asimilat menuju polong yang berakibat sebagian polong kurang atau tidak terisi.
4.4.2. Translokasi 13C
Pengamatan translokasi karbon dilakukan dengan menggunakan gas isotop
13C sebagai penjejak. Varietas kacang tanah yang digunakan adalah Sima dan
Jerapah. Dua varietas ini dipilih karena keduanya memiliki perbedaan dalam bahan kering yang diakumulasikan, hasil polong dan pengisian polong.
Pada setiap kondisi PAR, varietas Sima mempunyai kemampuan fotosintesis yang lebih tinggi daripada Jerapah. Nilai CER dari kedua varietas mencapai maksimum sekitar 4.5 – 5 µmolCO2/m2/s dengan rata-rata 4,3
µmolCO2/m2/s pada Sima dan 3,3 µmolCO2/m2/s pada Jerapah (Tabel 27). Nilai
ini lebih rendah dari yang dicapai oleh varietas kacang tanah yang digunakan Senoo dan Isoda (2003), yang mencapai 8,8–10,4 µmolCO2/m2/s. Hasil CER yang
yang akan berkontribusi pada rendahnya kemampuan mengakumulasi bahan kering dan produktivitas tanaman. Cuaca pada saat pengukuran tergolong cerah berawan dengan rata-rata PAR sekitar 990,3 µmolCO2/m2/s .
Tabel 27. Rata-rata hasil pengukuran kondisi umum tanaman kacang tanah pada fase reproduktif Varietas Suhu udara Suhu daun CER Konduktivitas stomata Transpirasi
….oC…. µmolCO2/m2/s mmol/ m2/s mmol/ m2/s
Sima 35,8 34,0 4,3 0,3 9,6
Jerapah 36,6 34,6 3,3 0,3 10,3
Selama proses feeding berlangsung, suhu dan kelembaban udara di dalam rak plastik dicatat. Suhu di dalam rak plastik tercatat cukup tinggi, yaitu mencapai 40 – 41oC dengan kelembaban udara rata-rata antara 68 - 78 %. Kondisi di dalam rak plastik ini akan mempengaruhi kecepatan laju pertukaran CO2 tanaman. Pada Gambar 8 ditunjukkan bahwa peningkatan suhu daun
menyebabkan penurunan CER, dengan nilai CER = 20.79 + 0.4879 Tdaun (r2 = 52.9). Apabila suhu daun mencapai 40oC, maka CER hanya berkisar 1.27 µmol/m2/s. Temperatur daun C ER ( mmo l/ m2 / s) 37 36 35 34 33 32 31 7 6 5 4 3 2 S 0.856715 R-Sq 52.9% R-Sq(adj) 50.7% CER = 20.79 - 0.4879 Tdaun
Gambar 8 Hubungan meningkatnya suhu daun (T) dengan laju CER. Pada akhirnya rendahnya laju CER ini berdampak pada akumulasi bahan kering tanaman. Rata-rata berat kering tanaman yang diakumulasikan pada umur 10 MST mencapai 25.6 g/tanaman untuk Sima dan 24.2 g/tanaman untuk Jerapah. Hasil ini cukup rendah apabila dibandingkan dengan berat kering tanaman umur
10 MST yang dapat dicapai kedua varietas ini pada percobaan-percobaan sebelumnya (tahun 2007 dan 2008).
Pada percobaan sebelumnya, berat kering Sima per tanaman pada umur 10 MST dapat mencapai 40 – 50 g, sedangkan Jerapah mencapai 30-35 g/tanaman. Rendahnya berat kering yang dihasilkan tanaman ini diduga karena tanaman mendapat perlakuan pindah tanam (transplanting) dan karena tanaman diletakkan di lokasi yang tidak mendapat sinar matahari langsung selama 2 minggu dengan maksud untuk mengurangi deraan stress akibat pindah tanam.
Data pengukuran kadar 13C dalam tiap bagian tanaman pada 1, 2 hingga 4
hari setelah feeding diperoleh hasil disajikan pada Tabel 28. Satu hari setelah
feeding, 13C ditemukan di semua bagian tanaman. Rata-rata rasio 13C/12C (δ13C)
dan nilai %13C atom excess pada varietas Jerapah lebih tinggi daripada Sima. Tanaman memfiksasi karbon dari CO2 udara dalam proses fotosintesis
untuk diubah menjadi senyawa berkarbon. Sebagian besar unsur karbon (98,894%) di atmosfir memiliki berat atom 12, akan tetapi secara alami atmosfir juga mengandung karbon dengan berat atom 13 (1,106%). Untuk melihat kandungan atom 13C dalam tanaman dapat diperoleh dengan mengukur selisih kandungan atom 13C dalam tanaman dengan kandungan atom 13C dalam atmosfir yang disebut dengan 13C % atom excess.
Gambar 9 memperlihatkan nilai 13C % atom excess varietas Sima dan Jerapah. Kedua gambar tersebut menunjukkan bahwa nilai 13C % atom excess pada kedua varietas menurun dengan lamanya hari pengamatan. Penurunan nilai isotop 13C excess dapat disebabkan oleh: (1) tanaman melakukan fotosintesis, sehingga konsentrasi 12C dalam tanaman meningkat; (2) sejumlah karbon ditranslokasikan ke dalam batang, akar dan polong sehingga mengurangi kadar
13C di dalam daun; (3) kegiatan respirasi. Atom isotop 13C juga ditemukan dalam
akar, keadaan ini menunjukkan bahwa akar mendapat suplai karbon hasil fotosintesis dari tajuk. Laju penurunan δ13C pada akar jauh lebih kecil dibandingkan bagian tanaman lain dan nilainya relatif sebanding pada Sima dan Jerapah.
Gambar 9 Nilai % 13C atom excess dalam tanaman kacang tanah varietas Sima (a) dan Jerapah (b).
Adanya translokasi karbon, misalnya dari daun ke batang, maka akan menambah nilai 13C % atom excess dalam batang sehingga mengurangi laju penurunannya. Translokasi atom isotop 13C mengakibatkan laju penurunan pada pengamatan 2-4 hari setelah feeding lebih kecil daripada laju penurunan pada pengamatan 1-2 hari.
Pada varietas Sima (Gambar 9a), sebagian 13C ditranslokasikan dari daun ke batang dan kemudian ke akar dan polong sehingga laju penurunan 13C % atom
excess pada batang dan polong melambat. Penurunan 13C % atom excess seperti
yang ditunjukkan Sima mirip dengan penurunan 13C % atom excess pada penelitian Inanaga dan Yoshihara (1997), meskipun dengan varietas yang berbeda. Kandungan 13C % atom excess pada daun lebih rendah daripada batang dan polong. Hal ini dikarenakan daun memindahkan hasil fotosintesis ke batang, akar dan polong serta melakukan respirasi.
0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 1 2 4 % 13C atom excess hari Batang Daun Akar Polong 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 1 2 4 % 13 C atom excess hari Batang Daun Akar Polong (a) (b)
Tabel 28. Nilai 13C % atom excess dan selisih perubahannya dalam tiap bagian tanaman
Varietas Waktu Batang Daun Akar Polong
Pengamatan %13C Δ %13C Δ %13C Δ %13C Δ Sima 1 hari 0,44 0,27 0,14 0,31 2 hari 0,36 0,08 0,15 0,11 0,12 0,02 0,20 0,10 4 hari 0,32 0,04 0,10 0,05 0,10 0,01 0,17 0,03 Jerapah 1 hari 0,64 0,43 0,13 0,32 2 hari 0,52 0,12 0,37 0,05 0,10 0,02 0,27 0,05 4 hari 0,29 0,23 0,31 0,06 0,09 0,01 0,19 0,08
Perubahan 13C dalam bagian tanaman dapat dilihat pula dengan menggunakan perhitungan kandungan 13C berdasarkan berat (gram), seperti disajikan pada Gambar 10. Pada Gambar 10a, kadar 13C dalam daun, batang dan
polong Sima meningkat pada pengamatan hari ke 2, walaupun perbandingan 13C dan 12C (% atom 13C excess) menurun. Pada pengamatan hari ke 4, kadar 13C dalam kandungan karbon daun, batang dan polong Sima berkurang. Hal ini mengindikasikan adanya translokasi 13C antara daun, batang dan polong, akan tetapi karena tidak ada penambahan 13C lagi, maka pada hari ke 4 kandungan 13C menurun. Kandungan 13C dalam batang Sima sedikit lebih tinggi daripada polongnya. Keadaan ini menunjukkan bahwa batang masih merupakan pesaing polong dalam mendapatkan asimilat dari daun. Pada akar Sima, kadar 13C dalam kandungan karbonnya terus menurun, yang kemungkinan dikarenakan kegiatan respirasi.
Pada varietas Jerapah, laju penurunan nilai 13C % atom excess pada batang dan polong pengamatan hari 2-4 hampir 2 kali lebih tinggi daripada laju penurunan hari 1-2 (Gambar 10b). Kadar 13C di dalam karbon daun, batang, akar dan polong Jerapah terus meningkat selama pengamatan (Gambar 10b). Kandungan 13C dalam polong Jerapah lebih tinggi daripada batang walaupun pada pengamatan hari ke 4 kandungan 13C dalam polong dan batang hampir sama. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa translokasi 13C antar bagian masih terus terjadi, dan bagian bawah tanaman (akar dan polong) mampu mendapatkan 13C lebih banyak.
Gambar 10 Kandungan 13C (g) dalam bagian tanaman kacang tanah varietas Sima (a) dan Jerapah (b).
Hasil dari percobaan ini menunjukkan bahwa aktivitas fotosintesis selama periode pengisian biji merupakan penyuplai utama kebutuhan asimilat untuk pengisian biji kacang tanah, baik pada Sima maupun Jerapah. Perbedaan pola penurunan kadar 13C kemungkinan lebih disebabkan Jerapah memiliki lebih banyak cabang dan tinggi batang utamanya lebih rendah dibandingkan Sima.
4.5. Peran Source dan Sink dalam Mendukung Pertumbuhan dan Hasil Tanaman
Kedua belas varietas kacang tanah yang diuji kemudian dibandingkan berdasarkan karakter-karakter yang ditunjukkan pada dua MT. Data gabungan dari kedua MT yang memiliki ragam homogen, hasil korelasi dan analisis ragam gabungan seperti yang disajikan pada Lampiran 6 dan 7 digunakan sebagai acuan untuk menentukan karakter-karakter yang akan diperbandingkan. Karakter produksi tanaman yang digunakan adalah bobot polong/tanaman, Indeks Panen dan persentase polong penuh. Terdapat korelasi nyata positif antara bobot polong
0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 1 2 4 Kadar 13C (g) hari Batang Daun Akar Polong 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 1 2 4 Kadar 13C (g) hari Batang Daun Akar Polong (a) (b)
dan bobot biji/tanaman (r = 0.78), tetapi tidak ditemukan adanya korelasi antara karakter produksi lainnya.
4.5.1. Perbandingan Varietas Berdasarkan Bobot Polong Per Tanaman
Bobot polong/tanaman diketahui berkorelasi positif dengan karakter kapasitas sink yaitu jumlah polong, jumlah polong penuh, dan bobot biji/tanaman dengan koefisien korelasi berturut-turut 0.83, 0.72 dan 0.78 (Lampiran 7). Karakter jumlah polong/tanaman berkorelasi negatif dengan ILD 42 HST (r = -0.66) dan berkorelasi positif dengan jumlah polong penuh (r = 0.86), sedangkan bobot biji/tanaman berkorelasi positif dengan jumlah polong pada 70 HST (r = 0.71).
Hasil sidik ragam dari karakter ILD 42 HST dan jumlah polong/tanaman dari dua musim tanam menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan perbedaan antar varietas (Pr>F 0.062 dan 0.074) (Lampiran 6). Tabel 29 menyajikan data rataan nilai ILD 42 HST, jumlah polong, bobot polong dan bobot biji/tanaman dari dua musim tanam.
Tabel 29. Rata-rata nilai ILD 42 HST, jumlah polong per tanaman, bobot polong dan bobot biji per tanaman dari dua musim tanam
Varietas ILD 42 HST Jumlah polong 70HST Jumlah polong /tanaman Bobot polong /tanaman Bobot biji /tanaman Badak 1.02 11.33 cd 18.49 17.74 9.25 Gajah 2.02 15.08 a-d 14.45 15.23 10.12 Garuda3 2.29 15.08 a-d 12.14 13.27 8.84 Jerapah 1.95 14.08 a-d 14.35 13.89 9.32 Kancil 1.91 19.83 a 16.20 16.76 11.30 Kelinci 1.01 15.83 abc 14.89 14.45 9.59 Kidang 1.95 15.17 a-d 12.34 13.93 8.18 Mahesa 1.78 9.92 d 14.06 13.80 8.46 Panter 1.37 17.17 abc 15.41 16.29 10.57 Pelanduk 1.80 18.00 ab 17.74 17.74 11.07 Sima 1.59 13.55 bcd 15.53 16.95 10.48 Turangga 1.48 13.25 bcd 11.31 13.64 9.15 KK 14.9 29.2 9.7 31.3 35.4
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%