BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hakikat Keluarga
1. Pengertian Keluarga
Keluarga merupakan sumber inspirasi pertama dalam melakukan
contoh tingkah laku baik buruk seseorang. Secara etimologis keluarga
dalam istilah Jawa terdiri dari dua kata yakni kawula dan warga. Kawula
berarti abdi dan warga adalah anggota. Artinya kumpulan individu yang
memilik rasa pengabdian tanpa pamrih demi kepentingan seluruh individu
yang bernaung di dalamnya. Hufad (dalam Aziz, 2015 : 15) menjelaskan
bahwa keluarga adalah suatu kelompok sosial yang ditandai oleh tempat
tinggal bersama, kerjasama ekonomi, dan reproduksi yang dipersatukan
oleh pertalian perkawinan atau adopsi yang disetujui secara sosial, yang
saling berinteraksi sesuai dengan peranan-peranan sosial.
Menurut Ahmadi (2007 : 108) menyatakan bahwa :
Menurut Sunarto (2008 : 193) menyatakan bahwa keluarga
merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama bagi
anak-anak dan remaja. Pendidikan keluarga lebih menekankan pada aspek moral
atau pembentulan kepribadian daripada pendidikan untuk menguasai ilmu
pengetahuan.
Menurut Mizal (2014 : 177) menyatakan bahwa :
keluarga salah satu tri pusat pendidikan, pendidikan pertama yang dikenal anak adalah pendidikan dalam keluarga, kedua orang tuanya menjadi pendidik pertama yang ia kenal, seorang anak anak meniru setiap yang ia lihat, dengar, dan ia rasakan dari orang tuanya. Seorang anak akan mengikut setiap hal-hal yang ia dapatkan dalam lingkungan keluarga.
Dalam konsep Islam, sebagaimana dikemukakan Achmad Hufad
(dalam Aziz, 2015 : 17), menjelaskan bahwa kata keluarga dipresentasikan melalui kata ahl. Kata ini terdapat dalam al-Qur‟an degan mempunyai arti yang bermacam-macam. Misalnya dalam QS. al-Baqarah : 126, kata
keluarga diartikan sebagai penduduk suatu negeri. Dalam QS. An-Nisa : 58 mengartikan keluarga sebagai orang yang berhak menerima sesuatu. Selebihnya kata ahl dalam al-Qur‟an ditujukkan pada arti kumpulan laki
-laki dan perempuan yang diikat oleh tali pernikahan dan di dalamnya terdapat orang yang menjadi tanggungannya, seperti anak.
Sehingga keluarga merupakan lingkungan terdekat bagi anak sejak
anak dilahirkan. Di dalam keluarga anak memperoleh banyak pengalaman
dan stimulus untuk tumbuh dan berkembang. Pengaruh keluarga terhadap
perkembangan moral anak sangatlah besar. Dengan melihat perilaku orang
memperhatikan perilaku tersebut, kemudian menirunya dalam jangka
waktu tertentu. Dengan demikian keluarga merupakan tempat yang sangat
efektif untuk menginternalisasikan nilai moral kepada anak.
Peran orang tua bagi pendidikan anak adalah memberikan dasar
pendidikan, sikap, dan keterampilan dasar, seperti agama, budi pekerti,
sopan santun, estetika, kasih sayang, rasa aman, dasar-dasar untuk
mematuhi peraturan, dan menanamkan kebiasaan-kebiasaan dalam
kebaikan, dan keluarga mengajarkan nilai-nilai dan tingkah laku yang
sesuai.
2. Fungsi Keluarga
Dari sisi fungsi, setiap keluarga pada hakikatnya memiliki berbagai
fungsi baik fungsi secara ekonomi, sosial, pendidikan, psikologis, hukum,
reproduksi dan fungsi-fungsi lainnya. Fungsi ekonomi berarti keluarga
menjadi tulang punggung memperoleh sekaligus mengelola kegiatan
ekonomi secara profesional, antara penghasilan dan pengeluaran dapat
tersusun dan terencana secara tepat sehingga tidak besar pasak dari pada
tiang.
Fungsi sosial adalah keluarga merupakan sarana pertama dalam
proses interaksi sosial dan menjalin hubungan yang erat, baik dalam satu
keluarga ataupun secara luas. Begitu pula dengan fungsi psikologi, bahwa
keluaga memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan dan
pengasuhan secara keras, maka anak akan mengikuti pola dan irama atas
model pengasuhan tersebut sehingga terbentuklah karakter yang keras.
Sedangkan fungsi reproduksi, tanpa adanya ikatan yang sah dalam
sebuah keluarga tidak akan menghasilkan keturunan yang sah pula. Selain
beberapa fungsi diatas Helmawati (dalam Aziz, 2015 : 19) juga
menambahkan bahwa fungsi keluarga mencakup : pertama, fungsi agama.
Fungsi ini dilaksanakan melalui penanaman nilai-nilai keyakinan berupa
iman dan takwa. Kedua, fungsi biologis sebagai fungsi pemenuhan
kebutuhan agar berlangsung hidupnya tetap terjaga.
Ketiga, fungsi ekonomi yaitu berhubungan dengan peraturan
penghasilan yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan dalam rumah
tangga. Keempat, fungsi kasih sayang yakni bagaimana setiap anggota
keluarga harus menyayangi satu sama lain. Kelima, fungsi perlindungan
yaitu setiap anggota keluarga berhak mendapatkan perlindungan dari
anggota keluarga lainnya.
Helmawati (2016 : 45-49) mengemukakan bahwa fungsi dalam
keluarga yang hendaknya dilaksanakan agar tercipta keluarga bahagia
yang didambakan, yang diantaranya sebagai berikut :
1. Fungsi agama
Fungsi agama dilaksanakan melalui penanaman nilai-nilai keyakinan berupa iman dan takwa. Penanaman keimanan dan ketakwaan mengajarkan kepada anggota keluarga untuk selalu menjalankan perintah Tuhan Yang Maha Esa dan menjauhi larangan-Nya.
2. Fungsi Biologis
3. Fungsi ekonomi
Fungsi ini berhubungan dengan bagaimana peraturan penghasilan yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan dalam rumah tangga. 4. Fungsi Kasih Sayang
Fungsi ini menyatakan bagaimana setiap anggota keluarga harus menyayangi satu sama lain. Suami hdendaknya mencurahkan kasih sayang kepada istrinya begitu juga sebaliknya. Dan jika telah memiliki anak maka orang tua hendaknya menunjukkan dan mencurahkan kasih sayang kepada anaknya secara tepat.
5. Fungsi Perlindungan
Setiap anggota berkeluarga berhak mendapat perlindungan dari anggota lainnya. Sebagai seorang kepala keluarga dalam keluarga, seirang ayah hendaknya melindungi istri dan anak-anaknya dari ancaman yang akan merugikan di dunia dan di akhirat.
6. Fungsi Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk meningkatkan martabat dan peradaban manusia. Sebagai seorang pemimpin keluarga dalam keluarga, seorang kepala keluarga hendaknya memberikan bimbingan dan pendidikan bagi setiap anggota keluarganya; baik itu istri maupun anak-anaknya.
7. Fungsi Sosialisasi Anak
Selain sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Dalam keluarga, anak pertama kali hidup bersosialisai. Anak mulai belajar berkomunikasi dengan orang tuanya melalui pendengaran dan gerakan atau isyarat hingga anak mampu berbicara.
8. Fungsi Rekreasi
Rekreasi merupakan salah satu hiburan yang baik bagi jiwa dan pikiran. Rekreasi dapata menyegarkan pikiran, menenangkan jiwa, dan lebih mengakrabkan tali kekeluargaan. Rekreasi tidak harus ketempat yang mewah, ramai, jauh dan dapat menghabiskan banyak uang. Rekreasi bersama keluarga dapat dilakukan di tempat yang meringankan keuangan (anggaran/biaya) tetapi bermanfaat banyak.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keluarga satu dengan
yang lain memiliki fungsi yang berbeda, fungsi yang saling terkait antara
fungsi satu dengan fungsi yang lainnya. Bahwa keterkaitan itu pada
prinsipnya sebagai wahana untuk mengembangkan seluruh potensi
serta memberikan kepuasan dan lingkungan sosial yang sehat guna
tercapainya keluarga sejahtera.
3. Pendidikan dalam Keluarga
Pendidikan keluarga dipengaruhi oleh pola asuh orang tua.
Pendidikan menentukan perilaku seseorang. Orang yang berpendidikan
lumayan baik akan tampak pada sikap, ucapan, dan pergaulannya.
Keluarga secara realitas merupakan lembaga pendidikan pertama bagi
pertumbuhan dan perkembangan anak. Anak dipersiapkan untuk mampu
berbahasa, berpendapat, berkreasi, berimajinasi, hingga mampu
memproduk sesuatu adalah berkat pendidikan pertama yang diterimanya
dalam keluarga. Aziz (2015 : 20) menyatakan bahwa keluarga adalah
pengantar atau bekal bagi setiap anak untuk memasuki pendewasaan
secara berpikir, bersikap, bergerak hingga memutuskan sesuatu secara
tepat.
Sehubungan dengan pernyataan tersebut, bentuk aktifitas dalam
keluarga sepenuhnya mendukung proses perkembangan anak baik secara
fisik, psikologis, spiritual serta penciptaan lingkungan yang lain. Sehingga
anak akan tumbuh dan berkembang secara optimal baik dari sisi
intelektual, emosional, spiritual maupun fisiknya.
Dengan kata lain, keluarga merupakan tulang punggung bangsa.
Segala aspek kehidupan masyarakat tidak pernah terlepas dari keluarga.
Penguatan fungsi-fungsi keluarga diharapkan memungkinkan setiap
keluarga yang mandiri dan keluarga yang sanggup menghadapi tantangan
masa depan dengan lebih baik.
Menurut Mizal (2014 : 168) menyatakan bahwa :
pendidikan keluarga memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar, agama, dan kepercayaan, nilai moral, norma sosial dan pandangan hidup yang diperlukan peserta didik untuk dapat berperan dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Pendidikan dalam keluarga pada subtansinya berisi nilai-nilai yang
terkait dengan fungsi dasar yang melekat dalam keluarga. Aziz (2015 : 20)
menyatakan bahwa pendidikan dalam keluarga berisi nilai-nilai
diantaranya memuat nilai kasih sayang, mengatur dan melatih anak,
pembebanan tugas dalam keluarga, nilai tanggung jawab, nilai
pelaksanaan beribadah (spiritual), nilai hidup cermat dan bermanfaat, nilai
akhlak, dan sebagainya. Cakupannya tersebut dapat diperluas tanpa terkait
oleh rencana baku pendidikan keluarga.
Sedangkan Menurut Murati (2016 : 61) mengatakan bahwa the
family as a cell acts only with love and respect and it dominates the
understanding, affection, sacrifice and childcare.
Berdasarkan penjelasan diatas bahwa pendidikan dalam keluarga
mengatur, mendidik, memahami dan bertanggung jawab kepada anak
dengan memberikan kasih sayang, dan menanamkan akhlak. Menurut
Endang Purwaningsih (dalam Aziz, 2015 : 21) menjelaskan bahwa
keluarga sebagai lembaga pendidikan pertama memiliki peran yang amat
penting khususnya dalam penyadaran, penanaman dan pengembangan
Menurut Helmawati (2016 : 50) menyatakan bahwa :
Keluarga sebagai lingkungan pendidikan yang pertama sangat berpengaruh dalam membentuk pola kepribadian anak. Di dalam keluarga anak pertama kali berkenalan dengan nilai dan norma. Pendidikan keluarga memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar, agama, kepercayaan, nilai-nilai moral, norma sosial dan pandangan hidup yang diperlukan anak.
Menurut Fuad Ihsan (dalam Wahyu, 2012 : 247) menyatakan
bahwa keluarga bertanggung jawab membahagiakan anak untuk dunia dan akhirat dengan memberinya pendidikan agama sesuai dengan tuntunan Allah sebagai tujuan akhir hidup muslim. Tanggung jawab ini
dikategorikan juga sebagai tanggung jawab kepada Allah.
Bahwa keluarga mendidik anaknya mendasakan pada kaidah-kaidah agama dan menekankan proses pendidikan pada pendidikan agama
dengan tujuan menjadikan anak-anaknya menjadi orang yang saleh dan senantiasa takwa dan iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian pendidikan keluarga pada hakikatnya merupakan fungsi dari
istitusi keluarga itu sendiri yang harus terlaksana secara menyeluruh. Sehingga anggota keluarga memiliki pengalaman yang banyak yang diperoleh dari proses pendidikan keluarga yang dilaksanakan. Pendidikan
keluarga yang mencakup berbagai nilai dan ruang lingkup secara alami dalam kehidupan sehari-hari.
4. Tujuan Pendidikan dalam Keluarga
Dunia pendidikan semakin dipertanyakan tingkat keberhasilannya
dalam masyarakat yang berakhlak mulia dan matang tingkat
secara umum maka letak kegagalan yang utama pada hakikatnya lahir dari
pendidikan dalam keluarga. Menurut Aziz (2015 : 23) menjelaskan bahwa
pendidikan keluarga merupakan dasar untuk mengembangkan pendidikan secara umum yang nantinya diperoleh di sekolah ataupun perguruan tinggi. Bahkan pendidikan karakter, pendidikan ahlak, ataupun budi pekerti pada tahap pertama adalah tanggung jawab dalam keluarga.
Sehingga keluarga memegang peranan penting dalam menciptakan
anggotannya dalam insan yang berkarakter. Disitulah letak pentingnya
pendidikan keluarga sebagai dasar penciptaan manusia Indonesia yang
unggul secara intelektual maupun emosional.
Keluarga merupakan unit dasar sosial terkecil di masyarakat yang menentukan suatu kelompok masyarakat menjadi kelompok yang kuat, yang berdampak pula pada suatu bangsa dan negara yang kuat. (Dewi,
2011 : 163). Dengan kata lain, keluraga merupakan tulang punggung bangsa. Segala aspek kehidupan masyarakat tidak pernah terlepas dari keluarga. Maka pendidikan dalam keluarga pada hakikatnya bertujuan
menanamkan dasar-dasar pengetahuan secara lahiriah maupun batiniah melalui berbagai upaya agar terlahir manusia yang berakhlak mulia dan unggul dalam berbagai bidang.
Pendidikan keluarga pada ranah kognitif dan psikomotorik lebih menekankan pada pembekalan manusia yang kreatif, kritis, dan terampil melalui kepemilikan life skills yang matang serta memiliki kesiapan
5. Pola Pengasuhan Anak dalam Keluarga
Pola pengasuhan anak erat kaitannya dengan kemampuan suatu
keluarga atau rumah tangga dalam hal memberikan perhatian, waktu, dan
dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial anak-anak
yang sedang dalam masa pertumbuhan. Orang tua yang berperan dalam
melakukan pengasuhan pada kasus ini terdiri dari beberapa definisi yaitu
ibu, ayah, atau seseorang yang berkewajiban membimbing atau
melindungi. Orang tua merupakan seseorang yang mendampingi dan
membimbing anak dalam beberapa tahap pertumbuhan, yaitu mulai dari
merawat, melindungi, mendidik, mengarahkan dalam kehidupan baru anak
dalam setiap tahapan perkembangannya untuk masa berikutnya.
Alfiana (2013 : 7) menjelaskan bahwa pola asuh yaitu sistem, cara
atau pola yang digunakan atau diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
terhadap anak. Sistem atau cara tersebut meliputi cara mengasuh,
membina, mengarahkan, membimbing dan memimpin anak. Pola ini tentu
saja dalam setiap keluarga mempunyai pola yang berbeda antara satu
keluarga dengan keluarga yang lainnya.
Pengasuhan merupakan sebuah proses interaksi yang terus menerus
antara orang tua dengan anak yang bertujuan untuk mendorong
pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal, baik secara fisik,
mental maupun sosial, sebagai sebuah proses interaksi dan sosialisasi yang
Menurut Rakhmawati (2015 : 6-7) menjelaskan bahwa pola
pengasuhan anak dalam garis besarnya, didefinisikan menjadi tiga macam,
antara lain sebagai berikut.
a. Pola asuh Otoriter
Pola asuh otoriter merupakan pengasuhan yang dilakukan dengan cara memaksa, mengatur, dan bersifat keras. Orang tua menuntut anaknya agar mengikuti semua kemauan dan perintahnya. Jika anak melanggar perintahnya berdampak pada konsekuensi hukuman atau sanksi. Pola asuh otoriter dapat memberikan dampak negatif pada perkembangan psikologis anak. Anak kemudian cenderung tidak dapat mengendalikan diri dan emosi bila berinteraksi dengan orang lain. Bahkan tidak kreatif, tidak percaya diri, dan tidak mandiri. Pola pengasuhan ini akan menyebabkan anak menjadi stres, depresi, dan trauma. Oleh karena itu, tipe pola asuh otoriter tidak dianjurkan.
b. Pola asuh Permisif
c. Pola asuh demokratis
Pola asuh ini, orang tua memberikan kebebasan serta bimbingan kepada anak. Anak dapat berkembang secara wajar dan mampu berhubungan secara harmonis dengan orang tuanya. Anak akan bersifat terbuka, bijaksana karena adanya komunikasi dua arah. Sedangkan orang tua bersikap obyektif, perhatian, dan memberikan dorongan positif kepada anaknya. Pola asuh demokratis ini mendorong anak menjadi mandiri, bisa mengatasi masalahnya, tidak tertekan, berperilaku baik terhadap lingkungan, dan mampu berprestasi dengan baik. Pola pengasuhan ini dianjurkan bagi orang tua. Rakhmawati (2015 : 6-7)
Berdasarkan demikian, dapat disimpulkan bahwa pola asuh keluarga saling keterkaitan antara pola asuh satu dengan yang lainnya. Pola asuh keluarga yang memiliki cara berbeda-beda dalam mendidik anak merupakan awal dari keluarga dapat mempengaruhi sifat kepribadian dan perilaku anak. Anak menjadi baik atau buruk tergantung orang tua dalam mendidik anak-anaknya atau pola asuh keluarga terhadap anak.
B. Hakikat Moral
1. Pengertian Moral
atau kebijaksanaan, kata moral mempunyai arti yang sama dengan ethos (Yunani) yang kemudian menurunkan kata etika. Dalam bahasa Arab kata moral berarti “budi pekerti”, adalah sama dengan akhlak. Dalam bahasa Indonesia moral dikenal dengan arti “kesusilaan”.
Moral atau kesusilaan adalah keseluruhan norma yang mengatur
tingkah laku manusia di masyarakat untuk melaksanakan
perbuatan-perbuatan yang baik dan benar. Perlu diingat baik dan benar menurut
seseorang, tidak pasti baik dan benar bagi orang lain. Moral dipakai untuk
memberikan penilaian atau predikat terhadap tingkah laku seseorang.
Widjaja (dalam Samsuri, 2015 : 1) menjelaskan bahwa moral
adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan (akhlak).
Menurut Kaur (2015 : 22) menyatakan bahwa :
Moral is defined as right conduct, not only in our immediate social relations, but also in our dealings with our fellow citizens and with the whole of human race.
Bouman (Daroeso, 1989 : 22) menyatakan bahwa moral adalah
suatu perbuatan atau tingkah laku manusia yang timbul karena adanya
interaksi antara individu-individu di dalam pergaulan. Pendapat
Kusrahmadi (2007 : 123) menjelaskan bahwa moral adalah bidang
kebidupan manusia dilihat dari kebaikan manusia. Norma moral dipakai
sebagai tolak ukur segi kebaikan manusia.
Berdasarkan pendapat diatas dapat dijelaskan bahwa moral adalah
perbuatan atau tingkah laku baik dan buruk berdasarkan pergaulan dan
2. Objek Moral
Perbuatan yang akan dilakukan merupakan obyek yang ada dalam
suara hati manusia. Menurut Daroeso (1989 : 25) dalam diri manusia ada
dua suara :
a. Suara hati yang mengarah ke kebaikan.
b. Suara was-was yang mengajak ke keburukan.
Menurut Driyakarya (dalam Daroeso, 1989 : 26) meskipun pada
dasarnya manusia itu selalu cenderung berbuat baik, tetapi kesadaran
seperti di uraikan di atas tidaklah datang dengan sendirinya. Kesusilaan
harus di ajarkan dengan contoh yang baik, sehingga dengan demikian
dapatlah terbentuk manusia susila lahir dan batin.
Kesimpulan dari uraian di atas, bahwa obyek moral adalah tingkah
laku perbuatan baik buruk manusia. Menurut Daroeso (1989:26) objek
moral adalah tingkah laku manusia, tindakan manusia, baik secara
individu maupun kelompok. Dalam melakukan perbuatan tersebut manusia
didorong oleh tiga unsur, yaitu :
a. Kehendak, yaitu pendorong pada jiwa manusia yang memberi alasan
pada manusia untuk melakukan perbuatan;
b. Perwujudan dari kehendak yang berbentuk cara melakukan perbuatan
dalam segala situasi dan kondisi;
c. Perbuatan tersebut dilakukan dengan sadar dan kesadaran inilah yang
3. Perkembangan Moral Anak
Manusia sejak lahir mempunyai potensi moral yang merupakan
peralatan hidup sebagai makhluk sosial. Potensi moral tersebut tumbuh
dan berkembang dalam hubungan pergaulan dalam sesama manusia alam
dan masyarakat dan akhirnya terbentuklah kesadaran moral dengan
tahap-tahap perkembangan seperti :
a. Teori Perkembangan Moral menurut Jean Piaget
Jean Piaget menyusun teori perkembangan moralnya yang
dikenl sebagai teori struktural-kognitif. Teori ini melihat
perkembangan moral sebagai suatu hasil interaksi antara pelaksana
aturan, pengikut atau pembuatnya secara individual dengan kerangka
jalinan aturan yang bersangkutan yang menunjukkan esensi moralitasi
itu. Fokus teori ini ada pada sikap, perasaan (afeksi), serta kognisi dari
individu terhadap perangkat aturan yang bersangkutan, Kurtines
(Samsuri, 2015 : 50).
Menurut Atmaka (Samsuri, 2015 : 51-52) mengatakan bahwa
Pengamatan Piaget tersebut dapat diringkaskan dalam skema sebagai
berikut.
Secara rinci skema tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) Pada level 1
Pada anak sekitar usia 1 sampai 2 tahun, pelaksanaan peraturan
peraturan. Semua geraknya masih belum dibimbing oleh pikiran
tentang adanya peraturan yang harus ditaatinya.
2) Pada level II
Pada usia sekitar 2 sampai 6 tahun, sudah mulai ada kesadaran
akan adanya peraturan, namun menganggap peraturan itu bersifat
suci, tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun, merubah
peraturan merupakan kesalahan besar. Dalam pelaksanaan
peraturan mereka ini masih bersifat egosentrik, berpusat pada
dirinya.
3) Pada level III
Pada usia sekitar 7 sampai 10 tahun pelaksanaan peraturan sudah
mulai bersifat sebagai aktivitas sosial, sifat egosentrik sudah mulai
ditinggalkan. Dalam tahap ini sudah ada keinginan yang kuat
untuk memahami peraturan, dan setia mengikuti peraturan
tersebut. Sifat heteronomi mulai bergeser pada sifat otonomi.
4) Pada level IV
Pada usia sekitar 11 sampai 12 tahun kemampuan berpikir anak
sudah mulai berkembang. Pada tahap ini sudah ada kemampuan
untuk berpikir abstrak, sudah ada kesadaran bahwa peraturan
merupakan hasil kesepakatan bersama. Tahap ini merupakan tahap
kodifikasi atau tahap pemantapan peraturan.
Dari kesimpulan di atas bahwa keputusan moral anak berubah
dikatakan bahwa perkembangan moral terdapat pergeseran yang
sifatnya alami, yang terjadi secara bersamaan dengan atau segera
setelah peralihan koginitif dari pemikiran praoperasional ke arah
pemikiran operasional, di sekitar usia tujuh tahun. Pergeseran
berlangsung, sehingga anak yang bersangkutan untuk pertama kalinya
menyadari maksud sendiri, dan memanfaatkan informasi daam
mengadakan pertimbangan moral yang menyangkut orang lain.
b. Teori Perkembangan Moral menurut Lawrence Kohlberg.
Menurut Kohlberg (Budiningsih, 2013 : 28) menjelaskan
bahwa tahap perkembangan penalaran moral sebenarnya dipostulatkan
pada pemikiran Dewey, yang memandang perkembangan moral ke
dalam 3 tingkatan yaitu : (1) tingkat pra-moral atau pre-conventional,
(2) tingkat conventional, dan (3) tingkat autonomous.
Adapun tahap-tahap perkembangan moral menurut Kohlberg
yang disarikan oleh Hardiman (Budiningsih, 2013 : 29) sebagai
berikut:
1. Tingkat Pra-Konvensional
Pada tingkat ini seseorang sanggap tanggap terhadap aturan-aturan
kebudayaan dan penilaian baik atau buruk, tetapi ia menafsirkan
baik atau buruk ini dalam rangka maksimalisasi kenikmatan atau
akibat-akibat fisik dari tindakannya (hukuman fisik, penghargaan,
tukar-menukar kebaikan). Kecenderungan utamanya dalam
mencapai maksimalisasi kenikmatan (hedonistis). Tingkat ini
dibagi 2 tahap :
Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan
Pada tahap ini, baik atau buruknya suatu tindakan ditentukan
oleh akibat-akibat fisik yang akan dialami, sedangkan arti atau nilai
manusiawi tidak diperhatikan. Menghindari hukuman dan
kepatuhan buta terhadap penguasa dinilai baik pada dirinya.
Tahap 2 : Orientasi instrumentalistis
Pada tahap ini tindakan seseorang selalu diarahkan untuk
memenuhi kebutuhannya sendiri dengan memperalat orang lain.
Hubungan antara manusia dipandang seperti hubungan dagang.
Unsur-unsur keterbukaan, kesalingan dan tukar-menukar
merupakan prinsip tindakannya dan hal-hal itu ditafsirkan dengan cara fisik dan pragmatis. Prinsip kesalingannya adalah, “kamu
mencakar punggungku dan aku akan ganti mencakar punggungmu”.
2. Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini seseorang menyadari dirinya sebagai
seorang individu di tengah-tengah keluarga, masyarakat dan
bangsanya. Keluarga, masyarakat, bangsa dinilai memiliki
kebenarannya sendiri, karena jika menyimpang dari kelompok ini
akan terisolasi. Maka itu, kecenderungan orang pada tahap ini
mengindentifikasi dirinya terhadap kelompok sosialnya. Kalau
pada tingkat pra-konvensional perasaan dominan adalah takut, pada
tingkat ini perasaan dominan adalah malu. Tingkat ini terdiri dari 2
tahap :
Tahap 3 : Orientasi kerukunan atau orientasi good boy-nice girl.
Pada tahap ini orang berpandangan bahwa tingkah laku
yang baik adalah yang menyenangkan atau menolong orang-orang
lain serta diakui oleh orang-orang lain. Orang cenderung bertindak
menurut harapan-harapan lingkungan sosialnya, hingga mendapat pengakuan sebagai “orang baik”. Tujuan utamanya, demi hubungan
sosial yang memuaskan, maka ia pun harus berperan sesuai dengan
harapan-harapan keluarga, masyarakat atau bangsanya.
Tahap 4 : Orientasi ketertiban masyarakat.
Pada tahap ini tindakan seseorang didorong oleh
keinginannya untuk menjaga tertib legal. Orienasi seseorang adalah
otoritas, peraturan-peraturan yang ketat dan ketertiban sosial.
Tingkah laku yang baik adalah memenuhi kewajiban, mematuhi
hukum, menghormati otoritas, dan menjaga tertib sosial merupakan
tindakan moral yang baik pada dirinya.
3. Tingkat Pasca-Konvensional atau Tingkat Otonom
Pada tingkat ini, orang bertindak sebagai subyek hukum
dengan mengatasi hukum yang ada. Orang pada tahap ini sadar
kesejahteraan umum, maka jika hukum tidak sesuai dengan
martabat manusia, hukum dapat dirumuskan kembali. Perasaan
yang muncul pada tahap ini adalah rasa bersalah dan yang menjadi
ukuran keputusan moral adalah hati nurani.tingkat ini terdiri dari 2
tahap :
Tahap 5 : Orientasi kontrak sosial
Tindakan yang benar pada tahap ini cenderung ditafsirkan
sebagai tindakan yang sesuai dengan kesepakatan umum. Dengan
demikian orang ini menyadari relativitas nilai-nilai pribadi dan
pendapat-pendapat pribadi. Ada kesadaran yang jelas untuk
mencapai konsensus lewat peraturan-peraturan prosedural. Di
samping menekankan persetujuan demokratis dan konstitusional,
tindakan benar juga merupakan nilai-nilai atau pendapat pribadi.
Akibatnya, orang pada tahapan ini menekankan pandangan legal
tapi juga menekankan kemungkinan mengubah hukum lewat
pertimbangan rasional. Ia menyadari adanya yang mengatasi
hukum, yaitu persetujuan bebas antara pribadi. Jika hukum
menghalangi kemanusiaan, maka hukum dapat diubah.
Tahap 6 : Orientasi prinsip etis universal.
Pada tahap ini orang tidak hanya mengundang dirinya
sendiri sebagai subyek hukum, tetapi juga sebagai pribadi yang
harus dihormati. Respect for person adalah nilai pada tahap ini.
yang sesuai dengan suara hati dan prinsip moral universal. Prinsip
moral ini abstrak, misalnya : cintailah sesamamu seperti mencintai
dirimu sendiri, dan tidak kongkrit. Di dasar lubuk hati terdapat
prinsip universal yaitu keadilan, kesamaan hak-hak dasar manusia,
dan hormat terdapat martabat manusia sebagai pribadi.
Selanjutnya dengan adanya tahap-tahap perkembangan moral,
Lawrence Kohlberg mengemukakan empat sifat dalam perkembangan
moral itu. Sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut :
a) Pekembangan setiap tahap selalu sama (stage development is
invariant).
Seseorang harus mengikuti tahap demi tahap secara berurutan dan
seseorang tidak dapat mencapai suatu tahap dengan tidak melalui
tahap-tahap sebelumnya.
b) Dalam perkembangan tahap, seseorang tidak dapat memahami
penalaran moral.
Dalam perkembangan moral seseorang, orang yang berada dalam
tahap kedua, kiranya tidak dapat memahami penalaran pada tahap
keempat; paling bisa tahap ketiga.
c) Dalam perkembangan tahap, seseorang secara kognitif tertarik
untuk berfikir satu tahap di atas tahapnya sendiri.
Seseorang yang berasa dalam tahap pertama akan dirangsang untuk
berfikir pada tahap kedua, dan tahap kedua oleh tahap ketiga dan
kognitif pada tahap yang lebih tinggi lebih memadai bilamana
dibandingkan dengan cara berfikir pada tahap di bawahnya, sebab
dapat memecahkan masalah secara lebih baik.
d) Dalam tahap perkembangan ini, tindakan dari tahap ketahap
disamping oleh terciptanya oleh cognitive disequeilibrium.
Bilamana seseorang merasa tidak cukup mampu untuk
menyelesaikan suatu dilema moral yang dihadapinya, ia akan
dirangsang untuk melakukan pertimbangan-pertimbangan yang
lebih memadai dalam memecahkan dilema moral yang
dihadapinya.
Akhirnya tahapan-tahapan dari Jean Piaget dan Lawrence
Kohlberg mengandung 3 karakteristik sebagai berikut :
1) Tahapan itu adalah keseluruhan yang terstruktur atau sistim
berfikir yang terorganisasi. Setiap individu konsisten pada tingkat
pertimbangan moral.
2) Tahapan membentuk satu keteraturan gerakan dari satu tahap
kepada tahap yang lebih tinggi dan tidak pernah mundur. Setiap
individu tidak pernah meloncati sesuatu tahap. Ini berarti
keseluruhan tahapan itu dialami dan dilalui secara maju dari
tingkat terendah sampai kepada tingkat tertinggi.
3) Tahapan berintegrasi secara hirarkis. Bersifat pada tahapan yang
lebih tinggi termasuk atau lengkap di dalamnya berfikir dalam
yakni “Orientasi pada hukum dan ketertiban”, berarti dalam
konteks itu secara serempak ia juga berfikir dalam tahap-tahap
satu, dua dan tiga. Tetapi belum berfikir pada tahap lima dan
enam.
Demikianlah perkembangan moral seseorang yang diteliti oleh
Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg setelah mengadakan penelitian
perkembangan moral dengan tahap-tahapnya selama puluhan tahun.
Dari dua teori perkembangan moral diatas sebagaimana yang telah
dipaparkan dapat dijadikan pengetahuan dan membuka pemahaman
terhadap perkembangan moral.
4. Kondisi Moral Anak di Indonesia
Masalah yang terjadi pada pemuda Indonesia pada saat ini terdiri
atas 2 masalah, yaitu masalah sosial dan masalah kebangsaan, kedua
masalah tersebut dijabarkan dalam tabel sebagai berikut.
1) Masalah Sosial
No. Masalah Sosial Angka Penyimpangan Tahun Sumber 1.
2.
Penyalahgunaan Narkoba
Hubungan seksual pranikah dan aborsi
-1,5% pemakai narkoba -78% korban tewas akibat
narkorba berusia antara 19-21 tahun
-17% kehamilan di luar nikah
-2,4 jiwa pelaku bermuara
2004
2010
Badan Narkoba Nasional (BNN)
No. Masalah Sosial Angka Penyimpangan Tahun Sumber
3.
4.
Perkelahian, tawuran, dan kekerasan
Kriminalitas remaja
pelaku aborsi hamil diluar nikah
-21.77 kasus HIV/AIDS -48,1% HIV positif perilaku
usia 20-29 tahun
-49,3% penular di kalangan heteroseksual
-40,4% penular melalui jarum
-54% berkelahi -87% berbohong
-8,9% mencoba narkoba -28% merasakan kekerasan
adalah hal biasa
-17% melukai diri sendiri -13% ketergantungan obat
atau minuman -12% depresi
-47% remaja mengaku nakal di sekolahan
-33% tidak memedulikan peraturan sekolah
-93% anak pernah mengalami tindakan kekerasan dirumah dan disekolah
-82% remaja menganggap orangtua otoriter
2003
2013
Hasil survei FEKMI
No. Masalah Sosial Angka Penyimpangan Tahun Sumber -50% mendapatkan
hukuman fisik
-39% mengatakan orangtua pemarah
Tabel 2.1 Masalah Sosial di Indonesia (dalam Salahudin, 2013 : 32-33)
Begitu mengerikan permasalah sosial terjadi karena terdapat
perilaku menyimpang perlu membedakan adanya perilaku yang
menyimpang disengaja maupun tidak disengaja, diantaranya karena pelaku
kurang perhatian dari orang tua, dan ingin diperhatian, sehingga mencari
sensasi membuat permasalahan yang merugikan dirinya sendiri dan
bahkan merugikan orang lain. Bentuk pelanggaran seringkali terjadi pada
remaja-remaja yang gagal menjalani proses perkembangan jiwanya.
2) Masalah Kebangsaan
Adapun masalah kebangsaan yang terjadi saat ini, yaitu:
1) Solidaritas sosial rendah;
2) Semangat kebangsaan rendah;
3) Semangat bela negara rendah
4) Semangat persatuan dan kesatuan rendah.
Adapun menurut Lickona, profesor pendidikan dari Cortland
University mengungkapkan sepuluh tanda kehancuran bangsa :
1) Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja;
3) Pengaruh peer group yang kuat dalam tindakan kekerasan;
4) Meningkatnya perilaku merusak diri;
5) Semakin kaburnya pedoman moral;
6) Menurunnya etos kerja;
7) Rendahnya rasa hormat kepada guru dan orang tua;
8) Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan masyarakat;
9) Membudayanya ketidakjujuran;
10) Adanya rasa curiga dan kebencian di antara sesama.
Perilaku amoral dan inkonstitusional itu menyebabkan
ketidakmampuan dalam hal :
1) Mengembalikan emosi;
2) Mengontrol perilaku;
3) Menganalisis masalah;
4) Mencari solusi;
5) Belajar dari pengalaman;
6) Berpikir panjang;
7) Berpikir kreatif. (Salahudin, 2013 : 35)
Berdasarkan penjelasan di atas, sudah saatnyaorang tua menjaga
dan mendidik anak dengan pendidikan keluarga untuk membina moral
yang baik untuk anak-anaknya, sehingga anak tidak terjerumus dalam
C. Kerangka Berpikir
Bagan 2.2 Kerangka berfikir
D. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan-pertanyaan adalah salah satu cara untuk mendapatkan data
dari informan. Pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada informan
sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk perhatian yang diberikan keluarga kaitannya dengan
membina moral anak ?
2. Bagaimana pendidikan agama yang diberikan keluarga kaitannya dengan
membina moral anak ?
3. Bagaimana kebiasaan keluarga dalam membina moral anak ?
4. Bagaimana peraturan yang diberikan keluarga kaitanya dengan membina
moral anak ?
Peran Keluarga dalam membina moral anak di Desa Mandiraja
Wetan
Pola asuh keluarga
Pendidikan Agama
Penerapan
norma sosial Peraturan
keluarga
Hasil yang diharapkan dapat Membina moral anak melalui proses Pendidikan dalam
5. Bagaimana fungsi keluarga dalam membina moral anak ?
6. Bagaimana tujuan pendidikan dalam keluarga dalam membina moral anak ?
7. Bagaimana pola pengasuhan anak dalam membina moral anak ?
E. Penelitian yang Relevan
1. Peran Keluarga
Darosy Endah Hysocyamina (UNDIP : 2011) dalam skripsinya yang
berjudul “Peran Keluarga dalam Membangun Karakter Anak”,
mengungkapkan bahwa peran keluarga faktor yang penting dalam pembentukan kepribadian anak. Anak dapat diibaratkan seperti selembar kertas putih kosong yang harus diisi, dalam hal ini peran orang tualah yang
sangat dominan. Orang tua harus mendidik anak semenjak dini agar mereka dapat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan. Komunikasi dua arah yang efektif sangat diperlukan untuk membentuk hubungan yang
harmonis antara orang tua dan anak. Orang tua harus berusaha mendengar dan memahami kemauan anak, dan orang tua harus mampu mengarahkan dan membimbing anak, karena perilaku, tindakan dan sikap anak berawal
dari keluarga. Ciptakan suasana agamis di rumah sehingga akan lebih mudah membentuk Kecerdasan Emosi (EQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ) anak. Pilihkan sekolah untuk anak tingkat TK dan SD di sekolah
yang dasar agama Islamnya bagus sehingga dia akan terbiasa dengan ibadah, doa-doa dan akhlak mulia. Berikan perhatian dan kasih sayang,
2. Pembinaan Moral
Fajar Wahyu Ningrum (UNNES : 2010) dalam skripsinya yang berjudul “Pembinaan Moral Remaja dalam Keluarga di Lingkungan Lokalisasi
Pekerja Seks Komersial Sunan Kuning Kalibanteng Kulon Kecamatan
Semarang Barat ”, mengungkapkan bahwa pembinaan moral remaja dalam
keluarga di lingkungan lokalisasi Sunan Kuning melalui empat cara yaitu
penanaman etika sejak dini, keteladanan orang tua, penanaman nilai agama
sejak dini, dan kejujuran dengan menggunakan model klarifikasi nilai dan
analisis nilai yaitu orang tua mengarahkan remaja untuk menjadi dirinya
sendiri dengan melihat apa yang baik dan apa yang buruk untuk dilakukan
dan memberi kebebasan untuk memahami permasalahan-permasalahan
yang berkaitan dengan moral. Perilaku remaja yang ada di lingkugan
lokalisasi Sunan Kuning mayoritas mereka pernah berbicara kotor atau
kurang sopan, merokok, keluar rumah tanpa ijin selama masih terdekat.
Selain itu mereka juga mempunyai sifat individual dengan kata lain tidak
ikut campur, cuek atau masa bodoh urusan dengan para WPS (Wanita
Pekerja Seks) maupun masalah pribadi tetangganya, tetapi saling
mengormati dan menghargainya cukup tinggi, rasa sosialnya juga cukup
baik. Perilaku remaja yang seperti itu terbentuk melalui kebiasaan yang
dilakukan remaja, pengertian dari orang tua, dan model yang dilihat setiap
harinya. Faktor peghambat pembinaan moral remaja dalam keluarga di
lingkungan lokalisasi Sunan Kuning karena faktor dari dalam (internal)
seperti rasa malas untuk berubah, gengsi, individualis, dan mudah
terpengaruh. Sedangkan faktor yang berasal dari luar (eksternal) seperti
lingkungan lokalisasi penuh dengan perilaku menyimpang yang
ditunjukkan oleh para WPS maupun pelanggannya menjadi faktor terbesar
dalam menghambat pembinaan moral, selain itu media massa (seperti
televisi dan internet) juga menjadi faktor penghambat orang tua dalam
melakukan pembinaan moral bagi remaja.
3. Peran Keluarga dalam Membina Moral Anak
Ahmad Choyruddin (UMS : 2015) dalam skripsinya yang berjudul “Pendidikan Moral Remaja dalam Keluarga Single Parent di Desa
Moggot Kecamatan Geyer Kabupaten Grobogan Tahun 2015”,
mengungkapkan bahwa pendidikan moral dalam keluarga single parent
bisa berjalan dengan baik apabila orang tua tersebut mampu menerapkan
menerapkan metode sesuai dengan kepribadian anaknya serta memiliki
solusi yang bervariasi dalam menangani berbagai kendala, baik itu kendala
intern maupun ekstern. Metode atau cara yang digunakan oleh responden
dalam mendidik moral dalam keluarga mereka adalah menggunakan
metode teladan, metode pembiasaan yang baik, metode nasihat, metode
pengamatan pengawasan dan metode hukuman. Sebagian besar faktor
yang menghambat pendidikan moral dalam keluarga single parent adalah
karena faktor anak yang sering mengabaikan perkataan orang tua, sifat
anak yang cenderung pendiam, kesibukan dan keterbatasan waktu orang
dan keterbatasan ekonomi yang menyebabkan anak mengalami krisis
moral akibat tidak adanya biaya untuk mengenyam pendidikan lebih
tinggi. Diharapkan studi tentang pendidikan moral dalam keluarga single
parent di Desa Monggot Kecamatan Geyer Kabupaten Grobogan ini, dapat
disempurnakan dengan mengadakan penelitian lebih lanjut dari segi lain,
sehingga dapat memberikan gambaran yang lengkap pada pendidikan