• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Resiliensi Keluarga 1. Definisi Resiliensi Keluarga - Maulida Khikmawati BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Resiliensi Keluarga 1. Definisi Resiliensi Keluarga - Maulida Khikmawati BAB II"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

A. Resiliensi Keluarga

1. Definisi Resiliensi Keluarga

Menurut McCubbin dan McCubbin (1988), resiliensi keluarga merupakan pola perilaku positif dan kemampuan fungsional yang dimiliki oleh individu dan keluarga yang ditampilkan dalam situasi sulit atau menekan. Pola perilaku positif dan kemampuan fungsional ini menentukan kemampuan keluarga untuk pulih dengan tetap mempertahankan integritasnya sebagai sebuah kesatuan dengan tetap mempertahankan dan memperbaiki kesejahteraan anggota keluarga dan unit keluarga secara keseluruhan.

(2)

Ketahanan keluarga menurut UU No. 10 tahun 1992 merupakan kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan, serta mengandung kemampuan fisik-material dan psikis mental spiritual guna hidup mandiri, mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dan meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin. (Kamus Istilah Kependudukan dan Keluarga Berencana, 2011)

Sementara itu, The National Network for Family Resilience pada 1995, menyebutkan bahwa ketahanan keluarga menyangkut kemampuan individu atau keluarga untuk memanfaatkan potensinya dalam menghadapi tantangan hidup, termasuk kemampuan untuk mengembalikan fungsi-fungsi keluarga seperti semula dalam menghadapi tantangan dan krisis (Puspitawati, 2012).

Werner (dalam Walsh, 1996) mengemukakan bahwa keluarga merupakan faktor yang sangat memengaruhi resiliensi. Krisis dan tantangan memiliki dampak terhadap seluruh anggota keluarga dan proses di dalam keluargalah yang dapat membantu memulihkan krisis dan hubungan di dalam keluarga.

(3)

2. Komponen Resiliensi Keluarga

Resiliensi keluarga tidak bisa dilepaskan dari faktor risiko dan faktor pelindung (Walsh, 2006). Faktor risiko adalah faktor yang mendorong munculnya hasil yang negatif pada keluarga. Sedangkan faktor pelindung adalah faktor yang mengurangi kemungkinan munculnya hasil negatif tersebut (Mackay dalam Wandasari, 2012).

Untuk mengurangi hasil negatif ini, maka Walsh (2006) menyebutkan bahwa proses kunci dari resilensi keluarga yang berperan sebagai faktor pelindung. Ketiga proses kunci tersebut adalah sistem keyakinan, pola organisasi dan proses komunikasi.

a. Sistem Keyakinan

Walsh (2006) menjelaskan bahwa sistem keyakinan keluarga merupakan inti dari semua keberfungsian keluarga dan merupakan dorongan yang kuat bagi terbentuknya resiliensi. Keluarga menghadapi krisis dan kesulitan dengan memberi makna pada kesulitan tersebut dengan cara mengaitkan dengan lingkungan sosial, nilai-nilai budaya dan spritiual, generasi yang sebelumnya, dan dengan harapan serta keinginan di masa yang akan datang. Bagaimana keluarga memandang masalah dan pilihan penyelesaiannya dapat membuat keluarga mampu mengatasi masalah tersebut atau malah menjadi putus asa dan tidak berfungsi dengan baik.

(4)

diabaikan serta apa yang dipersepsikan (Wright, Watson & Bell; Walsh, 2006). Wright dkk. menjelaskan bahwa sistem keyakinan keluarga meliputi nilai, pendirian, sikap, bias dan asumsi yang bergabung dan membentuk dasar pemikiran yang memicu respon emosional, mengarahkan keputusan, dan mengatur tingkah laku (Walsh, 2006). Walsh mengemukakan tiga area kunci dalam sistem keyakinan keluarga yaitu: memberi makna pada kesulitan, pandangan yang positif, serta transenden dan spiritualitas dengan penjelasan sebagai berikut :

1) Memberi makna pada kesulitan

Pandangan keluarga bahwa kesulitan yang sedang dialami adalah hal yang masuk akal dan mengambil hikmah dari apa yang terjadi merupakan hal yang sangat penting bagi resiliensi (Antonovsky; Walsh, 2006). Keluarga yang melihat kesulitan sebagai tantangan berasama dan hal yang wajar terjadi dalam kehidupan keluarga mampu mendorong keluarga untuk bertahan dan bangkit dari kesulitan tersebut (Walsh, 2006).

2) Pandangan positif

(5)

pandangan positif juga terlihat pada inisiatif dan usaha yang gigih anggota keluarga dalam menghadapi kesulitan, serta menguasai situasi yang dapat dikendalikan dan menerima situasi yang tidak dapat dikendalikan.

3) Transenden dan spiritualitas

Transenden memberikan makna, tujuan dan hubungan di luar diri seseorang, keluarganya dan masalah yang dihadapi (Walsh, 2006). Transenden memberikan kejelasan mengenai kehidupan seseorang dan memberi dukungan ketika mengalami stres. Nilai-nilai transenden dapat membuat seseorang meNilai-nilai kehidupan dan hubungannya dengan orang lain sebagai sesuatu yang berharga dan penting. Di dalam kelaurga, nilai-nilai transenden dapat membuat mereka melihat kenyataan dari sudut pandang yang lebih luas dan selalu memunculkan harapan.

(6)

b. Pola Organisasi

Untuk menghadapi krisis dan kesulitan secara efektif, keluarga harus menggerakan dan mengatur sumber daya mereka, menahan tekanan, dan mengatur kembali submber daya tersebut sesui dengan kondisi yang berubah (Walsh, 1998). Pola organisasi keluarga dipertahankan oleh norma-norma eksternal dan internal dan dipengaruhi oleh budaya dan sistem keyakinan keluarga. Terdapat tiga elemen dari pola organisasi yaitu fleksibilitas, keterhubungan, dan sumber daya sosial dan ekonomi dengan penjelasan sebagai berikut : 1) Fleksibilitas.

Fleksibilitas mencakup kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan dengan bangkit kembali, mengatur ulang dan beradaptasi dengan situasi yang berubah. Fleksibilitas juga dapat terwujud dengan tetap dilaksanakannya kegiatan dan kebiasaan yang rutin dilakukan keluarga sehingga dapat menjaga kontinuitas dan mengembalikan stabilitas keluarga yang dapat mendorong resiliensi. Pola kepemimpinan yang otoritatif, kerja sama dalam pengasuhan serta adanya kesetaraan dan saling menghargai juga merupakan salah satu bentuk fleksibilitas yang dapat mendorong terbentuknya resiliensi.

2) Keterhubungan

(7)

keluarga dengan ikatan yang kuat cenderung merasa puas dan terhubung dengan apa yang ada di dalam keluarga tersebut (Walsh, 2006). Bentuk keterhubungan dalam keluarga adalah saling mendukung, bekerja sama, komitmen serta tetap menghormati perbedaan, keinginan dan batasan individu.

3) Sumber daya sosial dan ekonomi

Dalam menghadapi situasi krisis, keluarga besar dan jaringan sosial dapat menyediakan bantuan, dukungan emosional dan adanya rasa keterikatan terhadap sebuah kelompok. Ketika keluarga mengalami kesulitan dalam menghadap masalah di dalam keluarga, maka mereka cenderung akan meminta bantuan di luar seperti keluarga besar, teman, tetangga dan komunitas mereka. Selain itu, untuk dapat memperkuat keberfungsiannya, keluarga juga harus memperoleh kestabilan ekonomi dengan tetap menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan keluarga.

c. Proses Komunikasi

(8)

penyelesaian masalah yang kolaboratif, seperti yang dijelaskan sebagai berikut.

1) Kejelasan

Kejelasan dalam berkomunikasi mencakup informasi yang disampaikan secara langsung, tepat, spesifik, jujur dan masing-masing anggota memiliki informasi dan pemahaman yang sama mengenai situasi krisis yang dihadapi, serta adanya keterbukaan komunikasi di dalam keluarga.

2) Ungkapan emosi

Keluarga yang berfungsi dengan baik dapat mengungkapkan emosi yang dirasakannya dengan nyaman baik emosi positif seperti bahagia, berterima kasih, cinta dan harapan maupun emosi negatif seperti sedih, takut, marah dan kecewa. Selain itu, anggota keluarga juga saling memahami apa yang dirasakan oleh anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga yang juga bertanggung jawab terhadap apa yang ia rasakan dengan tidak menyalahkan orang lain atas itu, serta interaksi yang diwarnai dengan hal yang menyenangkan seperti humor.

3) Pemecahan masalah secara kolaboratif

(9)

kemungkinan pemecahan masalah, saling berbagi dalam mengambil keputusan, berfokus pada tujuan dengan mencoba mengambil langkah-langkah konkret dan belajar dari kesalahan.

Pendapat lain dikemukakan oleh Mackay (2003) yang menjelaskan beberapa hal yang mendukung terbentuknya resiliensi keluarga (family resilience) dalam Social Policy Journal of New Zealand yang mencakup aspek kohesivitas keluarga, sistem kepercayaan keluarga, peranan agama, strategi coping dan komunikasi. Aspek tersebut dijabarkan sebagai berikut:

1. Kohesivitas keluarga (family cohesion)

Hubungan emosi antar anggota keluarga adalah hal yang sangat penting dalam menjalankan fungsi keluarga. Keluarga yang memiliki pertalian emosi yang baik, lebih baik dalam menghadapi tantangan untuk mencapai kesejahteraan dan mengatasi tekanan (stress) dengan baik.

Kohesivitas keluarga adalah hubungan emosional yang erat antar masing-masing anggota keluarga sehingga mendukung fungsi keluarga, menimbulkan keinginan untuk terus bersatu dengan keluarganya.

2. Sistem kepercayaan keluarga (family belief systems)

(10)

bagaimanan cara keluarga memandang kehidupan serta menghadapi persoalan hidup yang dimiliki, sehingga berdampak pada kemampuan keluarga untuk menghadapi krisis.

3. Peranan agama (the role of religion)

Scazoni dan Arnett (dalam Mackay, 2003) menjelaskan bahwa kesungguhan beragama memiliki pengaruh positif terhadap komitmen perkawinan dan strategi penyelesaian masalah dalam perkawinan/keluarga.

Dalam hal ini bagaimana peran agama dalam kehidupan keluarga dapat berpengaruh terhadap komitmen keluarga untuk tetap bersatu, menjalankan peran dalam keluarga dan dalam penyelesaian masalah dalam keluarga.

4. Strategi coping (coping strategies)

Strategi menangani masalah dalam keluarga mewakili kompetensi dan resiliensi. Coping mengarah pada respon yang sesuai terhadap tekanan, kompetensi mengarah pada karakteristik yang dibutuhkan untuk melakukan adaptasi yang baik dan resiliensi mencerminkan hasil ketika kompetensi dan coping dilakukan.

(11)

5. Komunikasi (communication)

Komunikasi merupakan aspek kunci dari keberfungsian keluarga. Komunikasi efektif sangat penting dibangun dalam keluarga untuk menentukan pengambilan keputusan, bernegosiasi, menyepakati keputusan bersama, dan hubungan timbal balik satu sama lain dalam kehidupan keluarga.

Komponen resiliensi keluarga juga dikemukakan oleh Otto (dalam McCubin, 1998; Puspitawati, 2012) meliputi hal-hal sebagai berikut : a. Keutuhan keluarga, loyalitas dan kerjasama dalam keluarga b. Ikatan emosi yang kuat

c. Saling menghormati antar anggota keluarga d. Fleksibilitas dalam melaksanakan peran keluarga

e. Kemampuan pengasuhan dan perawatan tumbuh kembang anak f. Komunikasi yang efektif

g. Kemampuan mendengarkan dengan sensitif h. Pemenuhan kebutuhan spiritual keluarga

i. Kemampuan memelihara hubungan dengan lingkungan luar keluarga j. Kemampuan untuk meminta bantuan apabila dibutuhkan

k. Kemampuan untuk berkembang melalui pengalaman l. Mencintai dan mengerti

m. Komitmen spiritual

(12)

Artinya, komponen atau aspek yang telah disebutkan akan mendorong terbentuknya keluarga yang resilien, yakni keluarga yang mampu menghadapi kesulitan, bangkit dengan cara-cara yang positif dari kesulitan tersebut.

3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Resiliensi Keluarga

Simon, Murphy dan Smith (dalam Wandasari, 2012) menjelaskan tiga hal yang dapat memengaruhi resiliensi keluarga :

a. Durasi situasi sulit yang dihadapi

Mencakup berapa lama keluarga tersebut mengalami situasi sulit. McCubbin dan McCubbin (1998) menjelaskan bahwa keluarga yang mengalami situasi sulit dalam jangka waktu yang relatif singkat, hanya memerlukan perubahan dalam keluarga, sedangkan keluarga yang mengalami situasi dalam jangka waktu panjang memerlukan penyesuaian terhadap situasi yang dialami.

b. Tahap perkembangan keluarga

(13)

c. Sumber dukungan internal dan eksternal

Sumber dukungan internal dan eksternal yang digunakan saat menghadapi situasi sulit juga dapat memengaruhi resiliensi (Walsh, 2006). McCubbin dan McCubbin berpendapat bahwa keluarga yang tidak hanya mengandalkan dukungan internal, tetapi juga mencari dukungan dari lingkungan sosial seperti keluarga besar, teman dan anggota komunitasnya menunjukkan resiliensi yang lebih besar (Murphy dan Smith, 2005;Wandasari, 2012)

B. Keluarga

1. Definisi Keluarga

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Depkes RI, 1998 dalam Kertamuda, 2009).

Keluarga merupakan hubungan atau interaksi antara dua orang atau lebih dan mempunyai ikatan darah, ikatan karena pernikahan, kekerabatan yang didalamnya terdapat suatu sistem yang saling mengikat satu sama lain seperti adanya aturan, perbedaan budaya dan perbedaan peran setiap anggota (Kertamuda, 2009).

2. Bentuk-bentuk Keluarga

(14)

aturan-aturan yang berlaku dan juga sistem nilai yang ada. Bentuk keluarga juga erat kaitannya dengan semakin kompleksnya kehidupan saat ini yang ditimbulkan oleh status sosial dan ekonomi dan juga dinamika yang terjadi dalam keluarga Indonesia. Terdapat beberapa tipe/bentuk keluarga, diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Keluarga batih (Nuclear family)

Keluarga batih merupakan satu unit keluarga terkecil yang terdiri atas ayah, ibu dan anak. Keluarga batih tidak menjalin hubungan fungsional yang berorientasi pada kerabat dari keluarga salah satu pihak (Goode; Sunarto; Kertamuda, 2009).

Keluarga batih sebagai keluarga inti memiliki keunggulan, yaitu keakraban yang terjalin dalam hubungan satu anggota keluarga dengan anggota lain. Keakraban dapat menciptakan suatu komunikasi yang baik satu dengan yang lain. Di samping keunggulan dalam komunikasi, keluarga batih di satu sisi memiliki kekurangan, yaitu keterbatasan anggota dalam keluarga sehingga interaksi yang terjadi hanya terbatas pada keterlibatan orang yang di luar keluarga akan sangat sulit diterima.

b. Keluarga luas (Extended family)

(15)

2009). Keluarga luas merupakan keluarga yang di dalamnya termasuk sejumlah keluarga ini adalah salah satu ciri dari keluarga Indonesia, dimana ikatan darah menjadi pemersatu dalam hubungan satu dengan yang lain.

c. Keluarga konjugal atau pertalian (Conjugal family)

Keluarga ini terdiri atas pasangan suami istri beserta anak dan mepunyai hubungan dengan kerabat dari keluarga yang berorientasi pada salah atau kedua belah pihak (Goode; Sunarto; Kertamuda, 2009). Keluarga konjugal yang seringkali ditemui adalah adanya kerabat (bukan ikatan darah) yang tinggal dengan keluarga tersebut.

d. Keluarga dengan orang tua tunggal (Single parent family)

Keluarga dengan orang tua tunggal merupakan keluarga yang hanya salah satu dari orang tua yang tinggal bersama anaknya (mungkin ibu, mungkin ayah) dan bertanggung jawab sepenuhnya atas anak setelah kematian pasangannya, perceraian atau karena kelahiran anak di luar nikah (Hurlock dalam Kertamuda, 2009)

3. Fungsi Keluarga

Benokraitis (dalam Kertamuda, 2009) mengemukakan lima fungsi dari keluarga yang terdiri dari :

a. Mengatur aktivitas seksual

(16)

seksual yang terjadi antara saudara sedaran atau dikenal dengan inses (incest), seperti hubungan antara kakak dan adik, ayah dan anak kandung, panan dan keponakan, kakek dan cucu.

b. Tempat anak bersosialisasi

Anak menyerap banyak hal dari keluarga seperti sikap, keyakinan, serta nilai-nilai dalam keluarga, dan anak juga belajar kemampuan dalam berinteraksi yang kelak dapat bermanfaat dalam kehidupannya di masa mendatang.

c. Jaminan dan keamanan secara ekonomi

Keluarga sangat berperan dalam pemenuhan kebutuhan baik itu keamanan stabilitas finansial seperti makanan, perlindungan, pakaian dan sumber materi untuk kelangsungan hidup.

d. Pemberi dukungan emosional

Keluarga adalah kelompok utama yang penting karena keluarga memberikan dukungan, cinta dan kebutuhan emosional yang membuat anggota keluarga terpenuhi kebutuhannya, sehinggga membuat mereka bahagia.

e. Tempat status sosial

(17)

pasangan saling berinteraksi yang dapat mencerminkan kelas sosial dari suatu keluarga.

C. Fase-Fase dan Dimensi Duka Cita 1. Fase Duka Cita

Duka cita (grieve) adalah kelumpuhan emosional, tidak percaya, kecemasan akan berpisah, putus asa, sedih dan kesepian yang menyertai di saat kita kehilangan orang yang kita cintai. (Santrock, 2007).

Feldman, dkk. (2007) menjelaskan bahwa duka karena kehilangan – kehilangan seseorang yang dirasakan dekat dan proses menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut- secara praktik dapat memengaruhi semua aspek kehidupan mereka yang ditinggalkan. Kehilangan sering kali membawa perubahan dalam status dan peran (misalnya, dari seorang isteri menjadi janda atau dari seorang nak menjadi seorang piatu). Kondisi tersebut dapat memiliki konsekuensi sosial dan ekonomi-kehilangan teman dan terkadang pemasukan. Akan tetapi, pertama-tama adalah rasa duka – respon emosional yang dialami pada awal fase berduka.

Santrock (2007) menjelaskan bahwa di fase awal, orang yang ditinggalkan akan merasa terkejut, tidak percaya, dan lumpuh, sering menangis atau mudah marah. Fase ini terjadi sesaat setelah kematian dan biasanya berlangsung selama 1-3 hari.

(18)

Muncul tidak lama setelah kematian, dan fase ini sering memuncak di minggu kedua hingga keempat setelah kematian dan biasanya mereda setelah beberapa bulan, tetapi dapat juga bertahan hingga 1-2 tahun.

Fase ketiga, biasanya terjadi 1 tahun setelah kematian. Fase resolusi duka cita ini ditandai dengan mengingat aktivitas sehari-hari dengan orang yang meninggal, kemudian kembali menjalin hubungan baru dengan orang lain.

Sementara itu, menurut Kubbler-Ross dikutip dari blog.kenz.or.id, dijelaskan bahwa ada lima fase yang biasanya dilalui oleh seseorang ketika mengalami duka cita akibat kematian anggota keluarga. Tahapan tersebut terbagi menjadi lima tahap yakni sebagai berikut :

a. Shock (terkejut)

Pada tahapan ini rasa tidak percaya akan kematian orang tua terjadi. Anggota keluarga terkejut, diikuti berbagai macam reaksi psikologis seperti kesedihan, perasaan kehilangan, menangis dan tertekan.

b. Denial (penyangkalan)

Pada tahapan kedua, anggota keluarga berusaha menyangkal kematian dengan mengatakan hal tersebut tidak boleh terjadi karena tidak ingin berpisah dengan salah satu orang tua.

c. Anger (kemarahan)

(19)

menyesalinya. Hal tersebut seperti menyalahkan Tuhan, menyalahkan situasi dan orang lain, dokter, tim medis dan hal lainnya.

d. Mourning (berkabung)

Fase ini merupakan fase yang berlangsung cukup lama, bisa berlangsung beberapa bulan atau mungkin beberapa tahun. Perasaan depresi, rasa bersalah, rasa kehilangan, kesepian, panik dan menangis tanpa pemicu yang jelas bisa saja ditampakkan dalam fase ini, bahkan bisa termanifestasi dalam penyakit fisik ringan.

e. Recovery (pemulihan)

Pada fase ini, anggota keluarga mulai pulih dari perasaan kehilangan seiring dengan berjalannya waktu. Anggota keluarga yang ditinggalkan mulai bisa menjalani aktivitas sehari-hari dengan baik dan telah menerima kehilangan tanpa kesedihan seperti sebelumnya.

(20)

Tidak ada waktu spesifik mengenai berapa lama seseorang berduka. Anak mungkin melalui kedukaan lebih cepat dibandingkan orang dewasa. Diperkirakan biasanya satu tahun merupakan jangka waktu yang umum untuk berduka, dan merasa sedih dan berduka setelah setahun mengindikasikan adanya masalah. Dibutuhkan 2 tahun atau lebih sebelum orang-orang mengatur kembali hidupnya dan mencapai keseimbangan emosional yang stabil. Namun, akan tetap ada pengingat dan kemunculan tiba-tiba pada kedukaan yang mendalam (Brooks, 2011).

2. Dimensi Duka Cita

Menurut Jacob (dalam Santrock, 2007) duka cita tidaklah sederhana, tidak hanya sekedar pernyataan emosi, tetapi lebih kompleks, proses yang lambat laun terjadi, bersifat multi-dimensi. Hal tersebut meliputi:

a. Kerinduan terhadap orang yang meninggal

b. Rasa cemasa karena perpisahan dengan orang yang meninggal

c. Reaksi yang bersifat tiba-tiba terhadap kehilangan yang mengakibatkan emosi tumpul, kelumpuhan dan ketidakpercayaan, dan ledakan kepanikan atau penuh dengan air mata yang berlebihan

(21)

D. Dinamika Resiliensi Keluarga pada Keluarga yang Salah Satu Orang tuanya telah Meninggal

Nevid dkk. (2003) menjelaskan bahwa peristiwa menyedihkan kehilangan orang yang dicintai seperti pasangan atau orang tua menjadi peristiwa perubahan hidup yang menjadi sumber stres dan membutuhkan penyesuaian diri yang amat sulit.

Bagi anak, kematian orang tua merupakan “kehilangan terburuk”. Anak

telah kehilangan sosok tempat ia bergantung untuk mendapatkan keamanan dalam hidup, dan orang tua yang masih hidup kehilangan pendampingnya (Brooks, 2011).

Setelah kematian salah satu orang tua, orang tua yang masih hidup menghadapi tanggungjawab baru untuk melindungi anak-anaknya sendiri (Schonfeld & Quackenbush, 2009). Kematian salah satu orang tua, mengubah bentuk keluarga yang awalnya terdiri dari ayah, ibu dan anak menjadi keluarga dengan satu orang tua/single parent family. Keluarga dengan orang tua tunggal merupakan keluarga yang hanya salah satu dari orang tua yang tinggal bersama anaknya (mungkin ibu, mungkin ayah) dan bertanggungjawab sepenuhnya atas anak setelah kematian pasangannya (Hurlock dalam Kertamuda, 2009).

(22)

akan berpisah, putus asa, sedih dan kesepian yang menyertai di saat seseorang kehilangan orang yang dicintai (Santrock, 2007).

Selain dinamika psikologis yang dialami masing-masing anggota keluarga, Feldman, dkk. (2007) menjelaskan bahwa duka karena kehilangan –kehilangan seseorang yang dirasakan dekat dan proses menyesuaikan diri

dengan kondisi tersebut– secara praktik dapat memengaruhi semua aspek kehidupan mereka yang ditinggalkan. Kehilangan sering kali membawa perubahan dalam status dan peran (misalnya, dari seorang isteri menjadi janda atau dari seorang anak menjadi seorang piatu). Kondisi tersebut dapat memiliki konsekuensi sosial dan ekonomi.

Tidak bisa dihindarkan bahwa fase duka dan perasaan kehilangan dalam keluarga mempengaruhi kondisi keluarga. Beralihnya bentuk keluarga menjadi keluarga dengan orang tua tunggal membuat fungsi keluarga berubah dan membutuhkan penyesuaian kembali selama fase krisis. Oleh karena itu, keluarga harus memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan situasi sulit secara positif agar dapat kembali bangkit dari masa krisis yang dialami.

(23)

kesatuan dengan tetap mempertahankan dan memperbaiki kesejahteraan anggota keluarga dan unit keluarga secara keseluruhan.

Untuk mengurangi dampak negatif dari kejadian sulit yang dialami seperti kematian salah satu orang tua, maka Walsh (2006) menyebutkan bahwa proses resilensi keluarga berperan sebagai faktor pelindung. Ketiga proses kunci tersebut adalah sistem keyakinan, pola organisasi dan proses komunikasi.

Walsh (2003) mengemukakan tiga area kunci dalam sistem keyakinan keluarga yaitu: memberi makna pada kesulitan, pandangan yang positif, serta transenden dan spiritualitas. Pada kunci kedua yakni pola organisasi, terdiri dari fleksibilitas, keterhubungan, dan sumber daya sosial dan ekonomi. Kunci ketiga yakni proses komunikasi, terdiri dari kejelasan, ungkapan emosi dan penyelesaian masalah yang kolaboratif.

Untuk mencapai keluarga yang resilien pasca-kematian salah satu orang tua, diperlukan proses yang panjang dan berbeda-beda pada masing-masing keluarga. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, tidak menjelaskan apakah salah satu keluarga dinyatakan resilien atau tidak, melainkan untuk meneliti dinamika resilensi dalam keluarga. Dinamika resiliensi keluarga dijabarkan melalui aspek-aspek resiliensi keluarga, yang memberikan gambaran bagaimana keluarga tersebut menghadapi dan menjalani fase duka sebagai masa sulit dalam keluarga.

(24)

Gambar 1. Kerangka berfikir penelitian Keluarga Inti

Salah satu orang tua meninggal

1. Menghadapi duka cita

sebagai masa sulit yang dialami oleh keluarga

2. Kesulitan yang dihadapi

setelah kematian salah satu orang tua

1. Pola keyakinan 2. Sistem organisasi 3. Komunikasi

(25)

Gambar

Gambar 1. Kerangka berfikir penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Keluarga dan penderita mampu merawat anggota keluarga dengan masalah kesehatan hipertensi. Ketidakmampuan keluarga mengenal masalah hipertensi. 1) Jelaskan pada

Ketidakmampuan keluarga mengenal masalah stroke (NIC). 1) Jelaskan pada keluarga mengenai stroke. 2) Diskusikan dengan keluarga tentang penyebab stroke. 3) Evaluasi kembali

1) Diskusikan dengan keluarga dalam mengambil keputusan dengan tindakan masalah stroke.. 2) Motivasi keluarga untuk mengambil keputusan mengenai nyeri. 3) Evaluasi kembali

tangan yang dilapisi dengan kain bersih dan kering. Tangan yang lain menahan kepala bayi untuk menahan. posisi defleksi dan membantu lahirnya kepala.

Pelaksanaan proses belajar mengajar PAI di sekolah tidak luput dari kesulitan-kesulitan apalagi bagi siswa yang tidak di dukung oleh lingkungan keluarga,

Financial distress merupakan suatu kondisi dimana perusahaan sedang menghadapi masalah kesulitan keuangan menurut Platt dan Platt (2002) Financial distress

pada bahan komposit tersebut rendah, maka tidak akan mampu menahan tekanan yang lebih besar sehingga menyebabkan retakan (cracking). Keretakan juga dapat diakibatkan dari

3) Persistentsinya (ketetapan dan kelekatannya) pada tujuan kegiatan. 4) Ketabahan, keuletan, dan kemampuannya dalam menghadapi rintangan dan kesulitan untuk