• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2JM) Kabupaten Barru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Rencana Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2JM) Kabupaten Barru"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

FINAL REPORT

X-1

BAB X

ASPEK LINGKUNGAN DAN SOSIAL DALAM

PEMBAGUNAN BIDANG CIPTA KARYA

10.1 Aspek Lingkungan

Kebijakan nasional penataan ruang secara formal ditetapkan bersamaan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (UU 24/1992), yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 (UU 26/2007). Kebijakan tersebut ditujukan untuk mewujudkan kualitas tata ruang nasional yang semakin baik, yang oleh undang-undang dinyatakan dengan kriteria aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Namun, setelah lebih dari 25 tahun diberlakukannya kebijakan tersebut, kualitas tata ruang masih belum memenuhi harapan. Bahkan cenderung sebaliknya, justru yang belakangan ini sedang berlangsung adalah indikasi dengan penurunan kualitas dan daya dukung lingkungan. Pencemaran dan kerusakan lingkungan bahkan makin terlihat secara kasat mata baik di kawasan perkotaan maupun di kawasan perdesaan.

(2)

FINAL REPORT

X-2 hidup yang harus ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah jauh lebih besar ketimbang manfaat (benefit) ekonomi yang diperoleh.

Dengan diberlakukannya kebijakan nasional penataan ruang tersebut, maka tidak ada lagi tata ruang wilayah yang tidak direncanakan. Tata ruang menjadi produk dari rangkaian proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, penegasan sanksi atas pelanggaran tata ruang sebagaimana diatur dalam UU 26/2007 menuntut proses perencanaan tata ruang harus diselenggarakan dengan baik agar penyimpangan pemanfaatan ruang bukan disebabkan oleh rendahnya kualitas rencana tata ruang wilayah. Guna membantu mengupayakan perbaikan kualitas rencana tata ruang wilayah maka Kajian Lingkungan Hidup Strategis [KLHS] atau Strategic Environmental Assessment [SEA] menjadi salah satu pilihan alat bantu melalui perbaikan kerangka pikir [framework of thinking] perencanaan tata ruang wilayah untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup.

Pengarusutamaan (mainstreaming) pembangunan berkelanjutan telah ditetapkan sebagai landasan operasional pelaksanaan pembangunan, seperti tercantum dalam RPJP dan RPJM Nasional. Lebih dari itu, selain UUD 45, UU tentang Lingkungan Hidup, UU tentang Penataan Ruang serta UU Otonomi Daerah telah menegaskan arti pentingnya lingkungan hidup. Secara filosofis maupun fenomena riel, pendekatan konsep keruangan sangat identik dengan fenomena lingkungan hidup yang dinamis dan sistemik.

(3)

FINAL REPORT

X-3 Dalam konteks mekanisme implementasi strategi pembangunan, perhatian pada lingkungan hidup ini seyogyanya ditempatkan sejak awal proses penetapan strategi sampai dengan pelaksanaannya. Sejumlah studi dan upaya untuk mengenalkan serta menerapkan kajian lingkungan hidup strategis telah dilakukan sejak 5 (lima) tahun terakhir atas inisiatif KLH, Bappenas, dan Depdagri. Orientasi kegiatan tidak saja menyangkut pembangunan regional dan pembangunan daerah tetapi juga pembangunan sektoral, serta pengujian konsep, kebijakan, metode, dan teknis analisis.

Menyadari bahwa instrumen lingkungan hidup yang tersedia saat ini baru pada tingkat proyek (pelaksanaan AMDAL), maka masih dibutuhkan satu alat kaji pada tingkat strategis, setara dengan strategi pembangunan nasional maupun daerah. Bahkan dalam Peraturan Pemerintah tentang AMDAL dinyatakan bahwa salah satu instrumennya yaitu AMDAL Regional telah dihapuskan, sehingga sebuah format kajian mengenai lingkungan hidup pada aras strategis dalam konteks pembangunan semakin diperlukan.

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau yang secara internasional dikenal sebagai Strategic Environmental Assessment (SEA), dalam satu dekade terakhir dapat dikatakan masih dalam tahap awal pengembangan di Indonesia. Yang dimaksud dengan tahap awal adalah bahwa KLHS baru dalam tahap penapisan (screening) dan pelingkupan (scoping) serta masih dalam bentuk kajian yang belum diimplementasikan secara riel. Dengan kata lain, KLHS belum menjadi bagian dari kebijakan pembangunan nasional. Namun dari pengalaman selama ini, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa KLHS sudah sampai pada taraf sangat dibutuhkan, dan perlu segera diterapkan secara riel serta diformalkan dalam konteks kebijakan nasional maupun daerah.

(4)

FINAL REPORT

X-4 konstitusi, kelembagaan maupun pendekatan, metode, dan teknis pelaksanaannya telah dicoba untuk dirumuskan. Tentunya alternatif-alternatif ini perlu diujicoba pula, khususnya dalam konteks kebijakan penyelenggaraannya.

Memahami permasalahan dan tantangan di atas, maka sasaran pembangunan lingkungan hidup yang ditetapkan pemerintah dapat dirinci sebagai berikut:

A. Meningkatkan kualitas air permukaan (sungai, danau, dan situ), sekaligus pengendalian dan pemantauan terpadu antarsektor. B. Terkendalinya pencemaran pesisir dan laut melalui usaha

konservasi tanah.

C. Meningkatkan kualitas udara, khususnya di daerah perkotaan, melalui kebijakan transportasi yang ramah lingkungan.

D. Pengurangan penggunaan bahan perusak ozon (BPO) secara bertahap.

E. Meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim global.

F. Pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan sesuai dengan IBSAP (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan) 2003–2020.

G. Meningkatkan upaya pengelolaan sampah perkotaan dengan menempatkan faktor lingkungan sebagai penentu kebijakan.

H. Meningkatkan sistem pengelolaan limbah B3.

I. Tersusunnya informasi dan peta wilayah yang rentan terhadap kerusakan lingkungan dan bencana alam (banjir, kekeringan, gempa bumi, tsunami, dan lainnya).

J. Tersusunnya aturan pendanaan bagi pelestarian lingkungan hidup yang inovatif.

(5)

FINAL REPORT

X-5 L. Meningkatkan kesadaran rakyat akan pentingnya konservasi

lingkungan hidup dan sumberdaya alam.

Sementara itu, pembangunan lingkungan hidup secara khusus diarahkan untuk:

A. Mengarusutamakan (mainstreaming) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke seluruh bidang pembangunan.

B. Meningkatkan koordinasi pengelolaan lingkungan hidup di tingkat nasional dan daerah.

C. Meningkatkan upaya harmonisasi pengembangan hukum lingkungan dan penegakannya secara konsisten terhadap pencemaran lingkungan.

D. Meningkatkan upaya pengendalian dampak lingkungan akibat kegiatan pembangunan.

E. Meningkatkan kapasitas lembaga pengelola lingkungan hidup, baik di tingkat nasional maupun daerah, terutama dalam menangani permasalahan yang bersifat akumulatif, fenomena alam yang musiman, dan bencana.

F. Membangun kesadaran rakyat agar peduli pada isu lingkungan hidup dan berperan aktif sebagai kontrol-sosial dalam memantau kualitas lingkungan hidup; dan

G. Meningkatkan penyebaran data dan informasi lingkungan, termasuk informasi wilayah-wilayah rentan dan rawan bencana lingkungan dan informasi kewaspadaan dini terhadap bencana.

(6)

FINAL REPORT

X-6 Kegiatan pokok yang tercakup antara lain penyusunan tata ruang dan zonasi untuk perlindungan sumberdaya alam, terutama wilayah-wilayah yang rentan terhadap gempa bumi tektonik dan tsunami, banjir, kekeringan, serta bencana alam lainnya.

10.1.1 Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)

Mengacu pada UU SPPN, UU Lingkungan Hidup, dan RPJM 2004-2009 serta UU Otonomi Daerah berikut arahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dari Dirjen PUOD, konsep KLHS secara filosofis dan konseptual sangat relevan menjadi bagian pokok arah kebijakan pembangunan, dengan mengingat bahwa pembangunan lingkungan merupakan dasar bagi pembangunan berkelanjutan. Konsep KLHS memiliki kapasitas untuk menjadi payung yang mengintegrasikan permasalahan riel dan kebutuhan pembangunan dengan proses pengambilan kebijakan pembangunan yang lebih bersifat holistik dan sistemik bukan kepentingan pragmatis sektoral semata yang sarat dengan konflik dan perilaku eksploitatif sumberdaya alam. Bahkan dari sisi kepentingan politik, penerapan konsep KLHS memiliki potensi sebagai integrator kekuatan-kekuatan politik yang berkembang melalui mekanisme dinamika partai politik, yaitu kampanye politik dan sistem pemilihan umum.

Tabel 10. 1. Kriteria Penapisan Usulan Program/Kegiatan Bidang Cipta Karya

No Kriteria Penapisan

Penilaian Urain

Pertimbangan

Kesimpulan: (Signifikan/Tidak)

1. Perubahan Iklim

2.

(7)

FINAL REPORT

X-7 3.

Peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan

4.

Penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya

5.

Peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan,

6.

Peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat

7.

Peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan *)Dalam Pendataan

Namun demikian, permasalahan yang muncul dan menjadi perhatian untuk dicarikan terobosan solusinya dalam kondisi saat ini adalah pada tatanan metode penerapannya, karena dalam acuan struktur kebijakan khususnya dalam kaitannya dengan institusionalisasinya masih ditemui inkonsistensi, serta belum terdefinisi secara operasional dan sistematik. Belum lagi dengan adanya kemungkinan ketidakserasian antarkebijakan sektoral yang seringkali menimbulkan konflik, dimana masing-masing kebijakan sektoral dipayungi oleh kekuatan hukum yang setara tingkatannya (antar Undang-Undang, Peraturan Presiden hingga Peraturan Daerah).

(8)

FINAL REPORT

X-8 dimana keterlibatan rakyat yang secara riel terkait langsung dengan fenomena lingkungan hidup menjadi kuncinya. Pada prakteknya, sesuai dengan definisi yang tertuang dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Tata Ruang (UU No. 26 tahun 2007), di manapun ada kehidupan atau kegiatan manusia pasti terkait secara sistem atau fungsional dengan permasalalan lingkungan hidup. Oleh karena itu menjadi semakin mendesak untuk dilakukan terobosan dalam merumuskan development administration KLHS (terkait dengan sistem politik, sosial-budaya-ekonomi dan birokrasi) mengikuti konteks perkembangan kepentingan pembangunan Indonesia masa kini dan mendatang.

Menyadari banyaknya permasalahan lingkungan hidup yang berskala regional ataupun nasional bahkan lintas negara, dan tidak cukup memadainya instrumen AMDAL yang hanya berorientasi pada skala proyek, kini telah dikembangkan satu instrumen yang berskala regional sampai internasional pada tataran strategis. Instrumen ini kemudian dipopulerkan dengan istilah Strategic Environment Assessment (SEA), yang kemudian diterjemahkan sebagai Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). KLHS kini tidak hanya menjadi perhatian, tetapi juga telah ditetapkan sebagai mandatory atau directive di sejumlah negara di Asia dan Afrika, Australia, dan Selandia Baru, serta beberapa badan dunia seperti Uni Eropa, World Bank, dan Asian Development Bank.

(9)

FINAL REPORT

X-9 dikatakan masih “nearly SEA”. Namun, sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran dan kebutuhan penyelesaian masalah lingkungan hidup pada tataran regional dan strategis di Indonesia, maka instrumen KLHS ini dituntut untuk segera menjadi acuan dasar dalam mengkaji kebutuhan, perumusan tujuan, dan strategi pembangunan nasional maupun daerah.

Tuntutan ini semakin kuat sejalan dengan UU SPPN (Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional) dan RPJM 2004 – 2009. Sesuai dengan perannya masing-masing, maka KLH, Bappenas, dan Depdagri semakin intensif bekerja untuk merumuskan KLHS ini sebagai satu instrumen nasional dan regional. Bahkan KLHS ini telah diupayakan untuk menjadi pegangan utama dalam merumuskan setiap strategi pembangunan berikut monitoring dan evaluasinya, baik dalam konteks kewilayahan maupun sektoral.

Ada dua definisi KLHS yang lazim diterapkan, yaitu definisi yang menekankan pada pendekatan telaah dampak lingkungan (EIA-driven) dan pendekatan keberlanjutan (sustainability-(EIA-driven). Pada definisi pertama, KLHS berfungsi untuk menelaah efek dan/atau dampak lingkungan dari suatu kebijakan, rencana atau program pembangunan. Sedangkan definisi kedua, menekankan pada keberlanjutan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya.

Definisi KLHS untuk Indonesia kemudian dirumuskan sebagai proses sistematis untuk mengevaluasi pengaruh lingkungan hidup dari, dan menjamin diintegrasikannya prinsip-prinsip keberlanjutan dalam, pengambilan keputusan yang bersifat strategis [SEA is a systematic process for evaluating the environmental effect of, and for ensuring the integration of sustainability principles into, strategic decision-making.

(10)

FINAL REPORT

X-10 lingkungan dan keberlanjutan dipertimbangkan secara inheren dalam kebijakan, rencana dan program [KRP]. Posisinya berada pada relung pengambilan keputusan. Oleh karena tidak ada mekanisme baku dalam siklus dan bentuk pengambilan keputusan dalam perencanaan tata ruang, maka manfaat KLHS bersifat khusus bagi masing-masing hirarki rencana tata ruang wilayah [RTRW]. KLHS bisa menentukan substansi RTRW, bisa memperkaya proses penyusunan dan evaluasi keputusan, bisa dimanfaatkan sebagai instrumen metodologis pelengkap (komplementer) atau tambahan (suplementer) dari penjabaran RTRW, atau kombinasi dari beberapa atau semua fungsi-fungsi diatas.

Penerapan KLHS dalam penataan ruang juga bermanfaat untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) dan atau instrumen pengelolaan lingkungan lainnya, menciptakan tata pengaturan yang lebih baik melalui pembangunan keterlibatan para pemangku kepentingan yang strategis dan partisipatif, kerjasama lintas batas wilayah administrasi, serta memperkuat pendekatan kesatuan ekosistem dalam satuan wilayah (kerap juga disebut “bio-region” dan/atau “bio-geo-region”). Sifat pengaruh KLHS dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu KLHS yang bersifat instrumental, transformatif, dan substantif. Tipologi ini membantu membedakan pengaruh yang diharapkan dari tiap jenis KLHS terhadap berbagai ragam RTRW, termasuk bentuk aplikasinya, baik dari sudut langkah-langkah prosedural maupun teknik dan metodologinya.

(11)

FINAL REPORT

X-11 A. KLHS dengan Kerangka Dasar Analisis Mengenai Dampak

Lingkungan Hidup/AMDAL (EIA-Mainframe)

KLHS dilaksanakan menyerupai AMDAL yaitu mendasarkan telaah pada efek dan dampak yang ditimbulkan RTRW terhadap lingkungan hidup. Perbedaannya adalah pada ruang lingkup dan tekanan analisis telaahannya pada tiap hirarhi KRP RTRW. B. KLHS sebagai Kajian Penilaian Keberlanjutan Lingkungan

Hidup (Environmental Appraisal)

KLHS ditempatkan sebagai environmental appraisal untuk memastikan KRP RTRW menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, sehingga bisa diterapkan sebagai sebuah telaah khusus yang berpijak dari sudut pandang aspek lingkungan hidup.

C. KLHS sebagai Kajian Terpadu/Penilaian Keberlanjutan (Integrated Assessment Sustainability Appraisal)

KLHS diterapkan sebagai bagian dari uji KRP untuk menjamin keberlanjutan secara holistik, sehingga sudut pandangnya merupakan paduan kepentingan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Dalam prakteknya, KLHS kemudian lebih ditempatkan sebagai bagian dari kajian yang lebih luas yang menilai atau menganalisis dampak sosial, ekonomi dan lingkungan hidup secara terpadu.

D. KLHS sebagai pendekatan Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya Alam (Sustainable Natural Resource

(12)

FINAL REPORT

X-12 alam. Model a) menekankan pertimbanganpertimbangan kondisi sumberdaya alam sebagai dasar dari substansi RTRW, sementara model b) menekankan penegasan fungsi RTRW sebagai acuan aturan pemanfaatan dan perlindungan cadangan sumberdaya alam. Aplikasi-aplikasi pendekatan di atas dapat diterapkan dalam bentuk kombinasi, sesuai dengan : hirarki dan jenis RTRW yang akan dihasilkan/ditelaah, lingkup isu mengenai sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang menjadi fokus, konteks kerangka hukum RTRW yang dihasilkan/ditelaah, kapasitas institusi dan sumberdaya manusia aparatur pemerintah selaku pelaksana dan pengguna KLHS, serta tingkat kemauan politis atas manfaat KLHS terhadap RTRW.

Pelingkupan merupakan proses yang sistematis dan terbuka untuk mengidentifikasi isu-isu penting atau konsekuensi lingkungan hidup yang akan timbul berkenaan dengan rencana KRP RTR Wilayah dan Kawasan. Berkat adanya pelingkupan ini, pokok Bahasan dokumen KLHS akan lebih difokuskan pada isu-isu atau konsekuensi lingkungan dimaksud.

(13)

FINAL REPORT

X-13 A. Telaah daya dukung dan daya tampung lingkungan,

B. Telaah hubungan timbal balik kegiatan manusia dan fungsi ekosistem.

C. Telaah kerentanan masyarakat dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim dan bencana lingkungan.

D. Telaah ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.

Alternatif yang dikembangkan dapat mencakup : a) substansi pokok/dasar RTRW (misalnya: pilihan struktur dan pola ruang), b) program atau kegiatan penerapan muatan RTRW (misalnya: pilihan intensitas pemanfaatan ruang), dan/atau c) kegiatan-kegiatan operasional pengelolaan efek lingkungan hidup (misalnya: penerapan kode bangunan yang hemat energi).

Pengambilan keputusan dilakukan untuk memilih alternatif terbaik yang bisa dilaksanakan yang dipercaya dapat mewujudkan tujuan penataan ruang dalam kurun waktu yang ditetapkan. Alternatif terpilih tidak hanya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial akan tetapi juga dapat menjamin terpeliharanya fungsi lingkungan secara terus menerus. Berbagai metodologi yang lazim diterapkan dalam pengambilan keputusan, antara lain: compatibility [internal dan eksternal] appraisal, benefit-cost ratio, analisis skenario dan multikriteria, analisis risiko, survai opini untuk menentukan prioritas, dll.

Sesuai dengan kebutuhannya, kegiatan pemantauan dan tindak lanjut dapat diatur berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Pada dasarnya efektivitas penerapan rekomendasi KLHS berkaitan langsung dengan efektivitas RTRW bagi wilayah rencananya, sehingga tata laksananya bisa mengikuti aturan pemantauan efektivitas RTRW.

(14)

FINAL REPORT

X-14 masyarakat. Namun demikian, tingkat keterlibatan atau partisipasi masyarakat sangat bervariasi bergantung pada aras (level of detail) RTRW, peraturan perundangan yang mengatur keterlibatan masyarakat, serta komitmen dan keterbukaan dari pimpinan organisasi pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah. Secara umum boleh dikatakan bila KLHS diaplikasikan pada tingkat nasional atau provinsi, maka keterlibatan atau partisipasi masyarakat harus lebih luas dan intens dibanding KLHS pada tingkat kabupaten atau kota. Bila KLHS diaplikasikan untuk tingkat kabupaten, kota, atau kawasan, maka proses pelibatan masyarakat atau konsultasi publik harus dilakukan sedini mungkin dan efektif. Hal ini disebabkan cakupan muatan RTRW yang bersifat operasional memiliki ragam penerapan yang variatif dan bersinggungan langsung dengan kegiatan masyarakat.

Secara spesifik, harus ada ketersediaan waktu yang cukup bagi masyarakat untuk menelaah, memberikan masukan, dan mendapatkan tanggapan dalam proses KLHS. Kegiatan ini juga mensyaratkan adanya tata laksana penyaluran aspirasi masyarakat, termasuk pada tahap pengambilan keputusan.

(15)

FINAL REPORT

X-15 kedua hal diatas akan terjadi, misalnya pengintegrasian beberapa komponen kerja di tahap-tahap tertentu dan memisahkannya pada tahap yang lain. Dapat pula terjadi situasi dimana tidak semua komponen kerja perlu dilaksanakan atas alasan-alasan tertentu tanpa mengurangi nilai penting dari pelaksanaan KLHS itu sendiri.

Kecenderungan penurunan kualitas lingkungan terkait dengan tata ruang wilayah sebagai produk dari rangkaian proses penataan ruang, yang diawali tahapan perencanaan tata ruang, oleh karena itu, perbaikan kuaitas rencana tata ruang wilayah menjadi mutlak dan sangat strategis untuk segera direalisasikan guna menghambat laju penurunan kualitas lingkungan dan daya dukung lingkungan. KLHS bisa menjadi pilihan alat bantu untuk memperbaiki kualitas rencana tata ruang wilayah melalui perbaikan kerangka berfikir perencanaan tata ruang, yang berimplikasi pada perbaikan prosedur/proses dan metodologi/muatan perencanaan.

Tabel 10.2 Proses Identifikasi Pemangku Kepentingan dan Masyarakat dalam penyusunan KLHS Bidang Cipta Karya

Masyarakat dan Pemangku Kepentingan

Contoh Lembaga

Pembuat keputusan

a. Bupati/Walikota

b. DPRD

Penyusun kebijakan,

rencana dan/atau program Dinas PU-Cipta Karya

Instansi a. Dinas PU-Cipta

Karya b. BPLHD

Masyarakat yang memiliki informasi dan/atau keahlian (perorangan/tokoh/ kelompok)

a. Perguruan tinggi atau lembaga penelitian lainnya

(16)

FINAL REPORT

X-16 c. Forum-forum pembangunan

berkelanjutan dan lingkungan hidup

d. LSM/Pemerhati Lingkungan hidup

e. Perorangan/tokoh

f. kelompok yang memiliki data dan informasi berkaitan dengan SDA

Masyarakat terkena Dampak

a. Lembaga Adat

b. Asosiasi Pengusaha

c. Tokoh masyarakat

d. Organisasi masyarakat

e. Kelompok masyarakat tertentu (nelayan, petani dll)

Tabel 10.3 Proses Identifikasi Isu Pembangunan BerkelanjutanBidang Cipta Karya

Pengelompokan Isu-isu Pembangunan

Berkelanjutan Bidang Cipta Karya Penjelasan Singkat Lingkungan Hidup Permukiman

Isu 1: kecukupan air baku untuk air minum Contoh: Kekeringan, menurunnya kualitas air

Kota ... mempunyai sumber air baku dari sungai ... yang sudah tercemar

(17)

FINAL REPORT

X-17 Isu 3: dampak kawasan kumuh terhadap ualitas lingkungan

Contoh: kawasan kumuh menyebabkan penurunan kualitas lingkungan

Ekonomi

Isu 4: kemiskinan berkorelasi dengan kerusakan lingkungan

Contoh: pencemaran air mengurangi kesejahteraan nelayan di pesisir

Sosial

Isu 5: Pencemaran menyebabkan berkembangnya wabah penyakit Contoh: menyebarnya penyakit diare di permukiman kumuh

Tabel 10.4 Tabel Identifikasi KRP

No. Komponen kebijakan /

rencana / program Kegiatan

Lokasi (Kecamatan / Kelurahan (jika ada))

1.

Pengembangan Permukiman 1).

2). Dst

2.

Penataan Bangunan dan Lingkungan

1). 2). Dst

3.

Pengembangan Air Minum 1).

2). Dst

4.

Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman 1).

(18)

FINAL REPORT

X-18

Tabel 10.5 Kajian Pengaruh KRP terhadap Kondisi Lingkungan Hidup diSuatu Wilayah

No

Pengaruh pada Isu-Isu Strategis Berdasarkan Aspek-Aspek Pembangunan Berkelanjutan**

(19)

Aspek-FINAL REPORT

X-19 4. Pengembangan

Penyehatan Lingkungan Permukiman 1).

2). Dst

Tabel 10.6 Perumusan Alternatif Penyempurnaan KRP

No. Komponen kebijakan, rencana dan/atau program

Alternatif Penyempurnaan KRP

1. Pengembangan Permukiman 1).

2). Dst

2. Penataan Bangunan dan Lingkungan

1). 2). Dst

3. Pengembangan Air minum 1).

2).

4. Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman

1) 2)

Tabel 10.7 Rekomendasi Perbaikan KRP dan Pengintegrasian Hasil KLHS

No. Komponen Kebijakan, Rencana dan/atau Program

Rekomendasi Perbaikan KRP dan Pengintegrasian Hasil KLHS

1. Pengembangan Permukiman

2. Penataan Bangunan dan

(20)

FINAL REPORT

X-20 3. Pengembangan Air minum

4. Pengembangan Penyehatan

Lingkungan Permukiman

10.1.2 AMDAL, UKL-UPL dan SPPLH

AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan keputusan. Hal -hal yang dikaji dalam proses AMDAL : aspek fisik-kimia, ekologi, sosial -ekonomi, sosial budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup di satu sisi merupakan bagian studi kelayakan untuk mel aksanakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, di sisi lain merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Berdasarkan analisis ini dapat diketahui secara lebih jelas dampak besar dan penting terhadap lingk ungan hidup, baik dampak negatif maupun dampak positif yang akan timbul dari usaha dan/atau kegiatan sehingga dapat dipersiapkan langkah untuk menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan dampak positif.

Untuk mengukur atau menentukan dampak besar dan penting tersebut di antaranya digunakan kriteria mengenai :

A. Besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan.

B. Banyaknya komponen lingk ungan hidup lain yang akan terkena dampak.

C. Sifat kumulatif dampak.

D. Berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.

(21)

FINAL REPORT

X-21 F. Intensitas dan lamanya dampak berlangsung.

Menurut PP No. 27/1999 pasal 3 ayat 1 Usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi :

A. Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam.

B. Eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharu.

C. Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, Pencemaran dan keru sakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya. D. Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya.

E. Proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempe ngaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya dan/atau perlindungan cagar budaya.

F. Introduksi jenis tumbuh -tumbuhan, jenis hewan, dan jenis jasad renik.

(22)

FINAL REPORT

X-22 satu proyek. Dengan cara ini proyek -proyek dapat disaring seberapa jauh dampaknya terhadap lingkungan. Di sisi lain studi AMDAL juga dapat memberi masukan bagi upaya -upaya untuk meningkatkan dampak positif dari proyek tersebut.

Dalam PP 51 Tahun 1993 ditetapkan 4 jenis studi AMDAL, yaitu :

A. AMDAL Proyek , yaitu AMDAL yang berlaku bagi satu kegiatan yang berada dalam kewenangan satu instansi sektoral. Misalnya rencana kegiatan pabrik tekstil yang mempunyai kewenangan memberikan ijin dan mengevaluasi studi AMDALnya ada pada Departemen Perindustrian.

B. AMDAL Terpadu / Multisektoral, adalah AMDAL yang berlaku bagi suatu rencana kegiatan pembangunan yang bersifat terpadu, yaitu adanya keterkaitan dalam hal perencanaan, pengelolaan dan proses produksi, serta berada dalam satu kesatuan ekosistem dan melibatkan kewenangan lebih dari satu instansi. Sebagai contoh adalah satu kesatuan kegiatan pabrik pulp dan kertas yang kegiatannya terkait dengan proyek hutan tanaman industri (HTI) untuk penyediaan bahan bakunya, pembangkit tenaga listrik uap (PLTU) untuk menyediakan energi, dan pelabuhan untuk distribusi produksinya. Di sini terlihat adanya keterlibatan lebih dari satu instansi, yaitu Departemen Perindustrian, Departemen kehutanan, Departemen Pertambangan dan Departemen Perhubungan. C. AMDAL Kawasan, yaitu AMDAL yang ditujukan pada satu

(23)

FINAL REPORT

X-23 AMDALnya, karena sudah tercakup dalam AMDAL seluruh kawasan.

D. AMDAL Regional, adalah AMDAL yang diperuntukan bagi rencana kegiatan pembangunan yang sifat kegiatannya saling terkait dalam hal perencanaan dan waktu pelaksanaan kegiatannya. AMDAL ini melibatkan kewenangan lebih dari satu instansi, berada dal am satu kesatuan ekosistem, satu rencana pengembangan wilayah sesuai Rencana Umum Tata Ruang Daerah. Contoh AMDAL Regional adalah pembangunan kota -kota baru.

Secara teknis instansi yang bertanggung jawab dalam merumuskan dan memantau penyusunan AMDAL di In donesia adalah BAPEDAL (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan). Sebagaimana diatur dalam PP 51 tahun 1993, kewenangan ini juga dilimpahkan pada instansi -instansi sektoral serta BAPEDALDA Tingkat I. Dengan kata lain BAPEDAL Pusat hanya menangani studi -studi AMDAL yang dianggap mempunyai implikasi secara nasional. Pada tahun 1999 diterbitkan lagi penyempurnaan ini adalah untuk memberikan kewenangan proses evaluasi AMDAL pada daerah. Materi baru dalam PP ini adalah diberikannya kemungkinan partisipasi masyaraka t di dalam proses penyusunan AMDAL Sebagaimana telah dievaluasi oleh banyak pihak, proses AMDAL di Indonesia memiliki banyak kelemahan , yaitu :

A. AMDAL belum sepenuhnya terintegrasi dalam proses perijinan satu rencana kegiatan pembangunan, sehingga tidak te rdapat kejelasan apakah AMDAL dapat dipakai untuk menolak atau menyetujui satu rencana kegiatan pembangunan.

(24)

FINAL REPORT

X-24 AMDAL, akan tetapi suaranya belum sepenuhnya diterima didalam proses pengambilan keputusan.

C. Terdapatnya berbagai kelemahan didalam penerapan studi -studi AMDAL. Dengan kata lain, tidak ada jaminan bahwa berbagai rekomendasi yang muncul dalam studi AMDAL serta UKL dan UPL akan dilaksanakan oleh pihak pemrakarsa.

D. Masih lemahnya metode -metode penyusunan AMDAL, khusunya aspek “sosial budaya”, sehingga kegiatan-kegiatan pembangunan yang implikasi sosial –budayanya penting, kurang mendapat kajian yang seksama.

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan merupakan teknologi pembuatan perencanaan dan keputusan yang berasal dari barat, negara industri yang demokratis dengan kondisi budaya dan sosial berbeda, sehingga ketika program ini diterapkan di negara berkembang dengan kondisi budaya dan sosiopolitik b erbeda, kesulitanpun muncul. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau AMDAL di Indonesia telah lebih dari 15 tahun diterapkan. Meskipun demikian berbagai hambatan atau masalah selalu muncul dalam penerapan AMDAL, seperti juga yang terjadi pada penerapan AMDAL di negara-negara berkembang lainnya. Hambatan tersebut cenderung terfokus pada faktor-faktor teknis, seperti :

A. Tidak Memadainya Aturan Dan Hukum Lingkungan, B. Kekuatan Institusi ,

C. Pelatihan Ilmiah Dan Profesional, D. Ketersediaan Data.

(25)

FINAL REPORT

X-25 dampak, tetapi sebagai tanggapan terhadapa perkembangan barat. Tekanan perkembangan barat untuk menanggapi masalah lingkungan terutama melalui konferensi lingkungan internasional di Stockholm tahun 1972 dan Rio De Janiero tahun 1992 . Berbeda dengan di negara barat, program dan kebijakan lingkungan dibuat karena adanya kebutuhan masyarakat, sehingga inisiatif bersifat “ bottom up ”.

Penerapan AMDAL di Indonesia tidak semudah di negara barat, karena kondisi masyarakat yang berbeda, yang tidak dapat sepenuhnya memberi dukungan terhadap tindakan pemerintah. Walaupun banyak isu lingkungan dalam agenda sosial, tetapi isu tersebut masih dianggap kurang penting. Masyarakat juga cenderung lebih mempertahankan hidup dengan menggantungkan pada sum berdaya alam daripada melakukan tindakan untuk melindungi kehidupan liar, spesies langka dan keanekaragaman hayati. Agenda sosial untuk perlindungan lingkungan tersebut juga lemah dan mempunyai sedikit kesempatan untuk diangkat menjadi agenda politik. Kemi skinan, buta huruf, kurangnya informasi, sangat berkuasanya elit politik dan ekonomi, rejim politik yang terlalu mengontrol dan otoriter, merupakan faktor adanya situasi tersebut.

(26)

FINAL REPORT

X-26 berada di masing -masing sektor kementrian dan propin si bekerja sendiri - sendiri. Komisi dapat menyetujui laporan AMDAL tanpa adanya konsultasi dengan departemen lain yang bertanggung jawab terhadap lokasi proyek, kontrol gangguan dan ijin egiatan. Jadi program AMDAL hanya menyediakan sedikit atau tidak sama sekali kesempatan secara resmi bagi staf pemerintah untuk bekerjasama menghindari atau mengurangi dampak lingkungan selama perancangan proyek dan selama proses kesepakatan pelaksanaan proyek.

Pada umumnya pelaksanaan AMDAL tidak mengikutsertakan partisipasi masyarakat dalam perencanaan proyek dan pengambilan keputusan. Konsultasi dengan masyarakat secara resmi pada proyek-proyek yang diusulkan biasanya hanya dilakukan pada waktu survei untuk mengumpulkan informasi. Konsultasi masyarakat dianggap tidak penting, karena dianggap semua telah sepakat. Kalaupun ada keinginan masyarakat untuk menolak usulan proyek, karakter budaya yang ada akan menghambat pengungkapan keinginan tersebut. Sebaliknya di negara barat, pemerintah justru mensponsori diadakannya konsult asi masyarakat dalam setiap usulan pembangunan, yang mana pertikaian dan perdebatan dapat terjadi, dan semuanya adalah untuk tujuan atau kepentingan bersama.

Dalam kondisi pelaksanaan AMDAL di Indonesia tersebut, faktor budaya seharusnya menjadi perhatian utama disamping faktor teknis, ketika mengkaji kesulitan yang timbul dalam pelaksanaan kebijakan atau program seperti AMDAL, yang berasal dari Barat dan diterapkan di negara dengan budaya yang berbeda.

(27)

FINAL REPORT

X-27 stakeholders (para pihak terkait) duduk di dalamnya, baik wakil dari departemen terkait, pakar dari perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan wakil masyarakat-merupakan kemajuan penting. Demikian penegasan Menteri Negara Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Sonny Keraf saat membuka Workshop Nasional "Pengembangan Kapasitas Desentralisasi Proses Amdal", Senin (31/7 /2000), di Jakarta. Seiring desentralisasi, proses Amdal akan diserahkan ke daerah. Di pusat hanya akan ada satu komisi Amdal yang menilai kegiatan yang mempunyai potensi berdampak negatif secara nasional. Sementara di masing -masing propinsi dan kabupaten/kota akan dibentuk satu komisi Amdal yang menangani proses Amdal di daerah bersangkutan.

"Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 27/1999, semua kebijakan dan proses mengenai Amdal hanya satu pintu. Dengan demikian tidak ada lagi egosektoral yang selama ini mungkin terjadi, di mana sektor lebih menekankan kegiatan produksi dan pertumbuhan ekonomi, sementara Amdal hanya dipandang sebagai dokumen formal yang bisa digarap sambil jalan .

Dalam peraturan pemerintah yang akan diberlakukan November 2000 itu dinyatakan, penilaian Amdal menjadi syarat mutlak pemberian izin usaha. Dengan demikian, tidak akan ada izin usaha sebelum Amdal dianggap memenuhi syarat. Dengan masuknya pelbagai pakar terkait dari perguruan tinggi, diharapkan Amdal bisa menjadi dokumen ilmiah yang berdasarkan kebenaran dan kejujuran. "Kepentingan untuk menjadikan Amdal sebagai rekomendasi murni, tidak dibelenggu kepentingan politis dan ekonomis, harus dikedepankan.

(28)

FINAL REPORT

X-28 suatu kegiatan tanpa memiliki suara untuk menyetujui atau menolak. Hal ini dikuatkan dengan Keputusan Kepala Bapedal No 8/2000, yang mensyaratkan par tisipasi masyarakat dalam proses penilaian Amdal. "Desentralisasi kewenangan Amdal merupakan bentuk penyelesaian masalah yang paling strategis untuk menyerap aspirasi masyarakat, penyederhanaan prosedur Amdal, peningkatan efektivitas pelaksanaan dan keterp aduan serta ketepatan perencanaan daerah.

Penyerahan wewenang proses Amdal dan perizinan ke daerah menimbulkan pelbagai implikasi, antara lain masalah sumber daya manusia. Karena itu, kelembagaan di daerah perlu diperkuat khususnya di level pemerintah.

Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut SPPL, adalah pernyataan kesanggupan dari penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup atas dampak lingkungan hidup dari usaha dan/atau kegiatannya di luar usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL.

(29)

FINAL REPORT

X-29 sepanjang usaha dan/atau kegiatan tidak melakukan perubahan lokasi, desain, proses, bahan baku dan/atau bahan penolong. Bagi UKL-UPL yang telah dinyatakan sesuai dengan isian formulir atau layak, maka UKLUPL tersebut dinyatakan kadaluarsa apabila usaha dan/atau kegiatan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak rekomendasi atas UKL-UPL diterbitkan.

Prosedur Operasional Standar (Standard Operating Procedure) selanjutnya disingkat SOP adalah upaya yang dilakukan untuk meminimalkan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh usaha dan/ atau kegiatan sesuai prosedur operasional yang berlaku.

Tabel 10.8 Perbedaan Instrumen KLHS dan AMDAL

Deskripsi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal)

a) Rujukan Peraturan Perundangan

i. UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup

ii. Permen LH 09/2011 tentang Pedoman umum

KLHS

i. UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup ii. Permen PPU 10/PRT/M/2008

tentang jenis kegiatan bidang PU wajib UKL UPL

(30)

FINAL REPORT

X-30 b) Pengertian

Umum

Rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan

Kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau

kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Usaha dan/atau Kegiatan adalah segala bentuk aktivitas yang dapat menimbulkan perubahan terhadap rona lingkungan hidup serta menyebabkan dampak terhadap lingkungan.

masuk kriteria sebagai wajib AMDAL (Pemerintah/swasta)

d) Keterkaitan studi

lingkungan dengan:

i. Penyusunan atau

evaluasi RTRW, RPJP dan RPJM

ii.Kebijakan, rencana dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau resiko lingkungan

Tahap perencanaan suatu usaha dan atau kegiatan

e) Mekanisme pelaksanaan

i. pengkajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/

atau program terhadap kondisi lingkungan

i. Pemrakarsa dibantu oleh pihak lain yang berkompeten sebagai

(31)

FINAL REPORT

X-31

Deskripsi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal)

hidup di suatu wilayah; ii. perumusan alternatif dibentuk oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dan dibantu oleh Tim Teknis.

iii. Alternatif rekomendasi untuk rencana/program

Kerangka acuan menjadi dasar penyusunan Andal dan RKL-RPL. Kerangka acuan wajib sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana tata ruang kawasan.

g) Output Dasar bagi kebijakan, rencana, dan/atau

Keputusan Menteri, gubernur dan bupati/walikota sesuai digunakan sebagai alat untuk melakukan

(32)

FINAL REPORT

X-32 i) Pendanaan APBD Kabupaten/Kota i. Kegiatan penyusunan AMDAL (KA,

ANDAL, RKL-

RPL) didanai oleh pemrakarsa,

ii. Kegiatan Komisi Penilai AMDAL, Tim Teknis dan sekretariat Penilai AMDAL dibebankan pada APBN/APBD

iii. Jasa penilaian KA, ANDAL dan RKL RPL oleh komisi AMDAL dan tim teknis dibiayai oleh pemrakarsa. iv. Dana pembinaan dan pengawasan

Masyarakat adalah salah satu komponen dalam kabupaten/kota yang dapat mengakses dokumen pelaksanaan KLHS

Masyarakat yang dilibatkan adalah: i. Yang terkena dampak;

ii. Pemerhati lingkungan hidup; dan/atau

iii. Yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL

Deskripsi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)

Akhir sklus pengambilan keputusan

b. Pendekatan Cenderung pro aktif Cenderung bersifat reaktif c. Fokus

analisis

Evaluasi implikasi lingkungan dan pembangunan

berkelanjutan

(33)

FINAL REPORT

X-33 d. Dampak

kumulatif

Peringatan dini atas adanya dampak komulatif

f. Alternatif Banyak alternatif Alternatif terbatas jumlahnya g. Kedalaman Luas dan tidak rinci

sebagai landasan untuk mengarahkan visi dan

Sempit, dalam dan rinci

h. Deskripsi

Proses dideskripsikan dengan jelas, mempunyai awal dan

Tabel 10.9 Penapisan Rencana Kegiatan Wajib AMDAL No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran

A. Persampahan:

a. Pembangunan TPA Sampah Domestik dengan sistem Control landfill/sanitary landfill:

- luas kawasan TPA, atau - Kapasitas Total

> 10 ha > 100.000 ton

b. TPA di daerah pasang surut:

- luas landfill, atau - Kapasitas Total

(34)

FINAL REPORT

X-34 c. Pembangunan transfer station:

- Kapasitas > 500 ton/hari

d. Pembangunan Instalasi Pengolahan Sampah terpadu:

- Kapasitas > 500 ton/hari

e. Pengolahan dengan insinerator:

- Kapasitas semua kapasitas

f. Composting Plant:

- Kapasitas > 500 ton/hari

g. Transportasi sampah dengan kereta api:

- Kapasitas > 500 ton/hari

B. Pembangunan Perumahan/Permukiman:

a. Kota metropolitan, luas > 25 ha

b. Kota besar, luas > 50 ha

c. Kota sedang dan kecil, luas > 100 ha

d. keperluan settlement transmigrasi > 2.000 ha C. Air Limbah Domestik

a. Pembangunan IPLT, termasuk fasilitas penunjang:

- Luas, atau - Kapasitasnya

> 2 ha

> 11 m3/hari

b. Pembangunan IPAL limbah domestik, termasuk fasilitas penunjangnya:

- Luas, atau - Kapasitasnya

(35)

FINAL REPORT

X-35

No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran

c. Pembangunan sistem perpipaan air limbah:

- Luas layanan, atau - Debit air limbah

> 500 ha

> 16.000 m3/hari

D. Pembangunan Saluran Drainase (Primer

dan/atau sekunder) di permukiman

a. Kota besar/metropolitan, panjang: > 5 km

b. Kota sedang, panjang: > 10 km

E. Jaringan Air Bersih Di Kota Besar/Metropolitan

a. Pembangunan jaringan distribusi

- Luas layanan > 500 ha

b. Pembangunan jaringan transmisi

(36)

FINAL REPORT

X-36

Tabel 10.10 Penapisan Rencana Kegiatan Tidak Wajib AMDAL tapiWajib UKL-UPL

Sektor Teknis CK Kegiatan dan Batasan Kapasitasnya

a. Persampahan

i. Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) dengan sistem controlled landfill atau sanitary landfill termasuk instansi penunjang:

Luas kawasan, atau < 10 Ha Kapasitas total < 10.000 ton ii. TPA daerah pasang surut

Luas landfill, atau < 5 Ha Kapasitas total < 5.000 ton iii. Pembangunan Transfer Station

Kapasitas < 1.000 ton/hari

iv. Pembangunan Instalasi/Pengolahan Sampah Terpadu

Kapasitas < 500 ton v. Pembangunan Incenerator

Kapasitas < 500 ton/hari

vi. Pembangunan Instansi Pembuatan Kompos Kapasitas > 50 s.d. < 100 ton/ha

b. Air Limbah Domestik/ Permukiman

i. Pembangunan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) termasuk fasilitas penunjang

Luas < 2 ha

Atau kapasitas < 11 m3/hari

ii. Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah Luas < 3 ha

(37)

FINAL REPORT

X-37

c. Drainase Permukaan Perkotaan

i. Pembangunan saluran primer dan sekunder Panjang < 5 km

ii. Pembangunan kolam retensi/polder di area/kawasan pemukiman

Luas kolam retensi/polder (1 – 5) ha

d. Air Minum

i. Pembangunan jaringan distribusi:

luas layanan : 100 ha s.d. < 500 ha

Sektor Teknis CK Kegiatan dan Batasan Kapasitasnya

ii. Pembangunan jaringan pipa transmisi

Metropolitan/besar, Panjang: 5 s.d <10 km

Sedang/kecil, Panjang: 8 s.d. M 10 km Pedesaan, Panjang : -

iii. Pengambilan air baku dari sungai, danau sumber air permukaan lainnya (debit)

Sungai danau : 50 lps s.d. < 250 lps Mata air : 2,5 lps s.d. < 250 lps iv. Pembangunan Instalasi Pengolahan air lengkap

Debit : > 50 lps s.d. < 100 lps v. Pengambilan air tanah dalam untuk kebutuhan:

Pelayanan masyarakat oleh penyelenggara

SPAM : 2,5 lps - < 50 lps

(38)

FINAL REPORT

X-38

e. Pembangunan Gedung

i. Pembangunan bangunan gedung di atas/bawah

tanah:

1) Fungsi usaha meliputi bangunan gedung perkantoran, perdagangan, perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal dan bangunan gedung tempat penyimpanan: 5000 m2 s.d. 10.000 m2

2) Fungsi keagamaan, meliputi bangunan masjid termasuk mushola, bangunan gereja termasuk kapel, bangunan pura, bangunan vihara, dan bangunan kelenteng : 5000 m2 s.d. 10.000 m2

3) Fungsi sosial dan budaya, meliputi bangunan gedung pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, keudayaan, laboratorium, dan bangunangedung pelayanan umum : 5000 m2 s.d. 10.000 m2

4) Fungsi khusus, seperti reaktor nuklir, instalasi pertahanan dan keamanan dan bangunan sejenis yang ditetapkan oleh menteri

Semua bangunan yang tidak dipersyaratkan untuk

Amdal maka wajib dilengkapi UKL dan UPL ii. Pembangunan bangunan gedung di bawah

tanah yang melintasi prasarana dan atau sarana umum:

(39)

FINAL REPORT

X-39

Sektor Teknis CK Kegiatan dan Batasan Kapasitasnya

perkantoran, perdagangan, perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal dan bangunan gedung tempat penyimpanan: 5000 m2 s.d. 10.000 m2

2) Fungsi keagamaan, meliputi bangunan masjid termasuk mushola, bangunan gereja termasuk kapel, bangunan pura, bangunan vihara, dan bangunan kelenteng : 5000 m2 s.d. 10.000 m2

3) Fungsi sosial dan budaya, meliputi bangunan gedung pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, keudayaan, laboratorium, dan bangunangedung pelayanan umum : 5000 m2 s.d. 10.000 m2

4) Fungsi khusus, seperti reaktor nuklir, instalasi pertahanan dan keamanan dan bangunan sejenis yang ditetapkan oleh menteri

Semua bangunan yang tidak dipersyaratkan untuk Amdal maka wajib dilengkapi UKL dan UPL

iii. Pembangunan bangunan gedung di bawah atau di atas air:

1) Fungsi usaha meliputi bangunan gedung perkantoran, perdagangan, perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal dan bangunan gedung tempat penyimpanan: 5000 m2 s.d. 10.000 m2 2) Fungsi keagamaan, meliputi bangunan masjid

termasuk mushola, bangunan gereja termasuk kapel, bangunan pura, bangunan vihara, dan bangunan kelenteng : 5000 m2 s.d. 10.000 m2

(40)

FINAL REPORT

X-40

f. Pengembangan kawasan permukiman baru

i. Kawasan Permukiman Sederhana untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), misalnya PNS, TNI/POLRI, buruh/pekerja;

Jumlah hunian: < 500 unit rumah; Luas kawasan: < 10 ha

ii. Pengembangan kawasan permukiman baru sebagai pusat kegiatan sosial ekonomi lokal pedesaan (Kota Terpadu Mandiri eks transmigrasi, fasilitas pelintas batas PPLB di perbatasan);

Jumlah hunian: < 500 unit rumah; Luas kawasan: < 10 ha

iii. Pengembangan kawasan permukiman baru dengan pendekatan Kasiba/Lisiba (Kawasan Siap

g. Peningkatan Kualitas Permukiman

i. Penanganan kawasan kumuh di perkotaan dengan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar (basic need) pelayanan infrastruktur, tanpa pemindahan penduduk;

Luas kawasan: < 10 ha

ii. Pembangunan kawasan tertinggal, terpencil, kawasan perbatasan, dan pulau-pulau kecil;

Luas kawasan: < 10 ha

iii. Pengembangan kawasan perdesaan untuk meningkatkan ekonomi lokal (penanganan kawasan agropolitan, kawasan terpilih pusat pertumbuhan

h. Penanganan Kawasan Kumuh Perkotaan

i. Penanganan menyeluruh terhadap kawasan kumuh berat di perkotaan metropolitan yang dilakukan dengan pendekatan peremajaan kota (urban renewal), disertai dengan pemindahan penduduk, dan dapat dikombinasikan dengan penyediaan bangunan rumah susun

(41)

FINAL REPORT

X-41 Jenis Kegiatan Bidang Cipta Karya yang kapasitasnya masih di

bawah batas wajib dilengkapi dokumen UKL-UPL menjadikannya tidak wajib dilengkapi dokumen UKL-UPL tetapi wajib dilengkapi dengan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPLH).

Tabel 10.11 Checklist Kebutuhan Analisis Perlindungan Lingkungan pada Program Cipta Karya

No. Komponen Kegiatan Lokasi Amdal UKL/UPL SPPLH

1. Pengembangan Permukiman 1).

2). Dst

2. Penataan Bangunan dan Lingkungan

1). 2). Dst

3. Pengembangan Air minum

1).

2).

4. Pengembangan

Penyehatan Lingkungan Permukiman

1) 2)

*)Catatan : Belum ada Data

10.2 Aspek Sosial

(42)

FINAL REPORT

X-42 kegiatan yang dilaksanakan untuk melihat dan memastikan bahwa pelaksanaan program telah sesuai dengan kaidah-kaidah pengamanan sosial. Secara garis besar mekanisme penerapan pengamanan sosial dilaksanakan dengan alur sebagai berikut:

A. Wajib melakukan sosialisasi upaya pengamanan lingkungan di setiap tahapan kegiatan/siklus program, dimulai dari kegiatan sosialisasi, perencanaan, pengusulan kegiatan, pelaksanaan konstruksi sampai dengan tahapan pemanfaatan dan pemeliharaan.

B. Menyiapkan usulan kegiatan berdasarkan format standar yang telah disediakan yang memuat spesifikasi teknis, anggaran dan rencana kerja, termasuk dalam hal ini kesesuaiannya dengan ketentuan pengamanan sosial.

C. Semua usulan kegiatan dari masyarakat akan dikaji oleh tenaga ahli dari segi kelayakan, teknis, dan kesesuaian dengan pedoman. D. Menapis usulan kegiatan dari sisi dampak lingkungan berdasarkan

tabel kriteria penapisan lingkungan. Serta jika diperlukan juga melakukan penapisan khusus untuk semua usulan kegiatan masyarakat yang membutuhkan tanah dan perubahan penggunaan air (misal reklamasi, irigasi); proyek ekonomi yang berdampak lingkungan untuk memastikan alignment, air larian, dsb. memenuhi standar praktek yang baik.

E. Memastikan adanya langkah-langkah mitigasi yang memadai. Sebagai acuan pelaksanaan maka keberhasilan dalam pelaksanaan pengamanan sosial dapat diukur dengan menggunakan indikator sebagai berikut:

A. Masyarakat memahami pentingnya tindakan pengamanan sosial. B. Masyarakat tidak mengalami kerugian dengan adanya pelaksanaan

(43)

FINAL REPORT

X-43 C. Tidak terjadi konflik di masyarakat selama dan setelah pelaksanaan

program.

D. Infrastruktur dibangun di atas lahan yang status pemanfaataan lahannya sudah jelas.

E. Menghindari/meminimalkan terjadinya ganti rugi lahan.

F. Masyarakat adat tidak melakukan protes terhadap pelaksanaan program.

G. Tidak terjadi perselisihan/konflik diantara masyarakat adat selama pelaksanaan program.

H. Tidak terjadi/menghindari terjadinya penggusuran.

I. Tidak terjadi /menghindari terjadinya pemukiman kembali.

J. Tidak terjadi pencemaran lingkungan (genangan, banjir, timbulan sampah padat/cair, kebisingan,bau, dll) di lokasi sasaran.

K. Dilaksanakannya langkah mitigasi dan pemantauan dampak lingkungan.

L. Masyarakat tidak melakukan protes atas infrastruktur terbangun.

10.2.1 Aspek Sosial pada Perencanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya

Dalam Standard on Social Responsibility ISO 2006, tanggung jawab sosial mencakup 7 isu pokok yaitu: pengembangan masyarakat, konsumen, praktek kegiatan institusi yang sehat, lingkungan, ketenagakerjaan, hak asasi manusia, dan governance organisasi.

(44)

FINAL REPORT

X-44 A. Proteksi Lingkungan

Tanggung jawab lingkungan ditekankan pada menemukan cara penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan untuk mengurangi dampak operasionalisasi terhadap lingkungan. B. Jaminan Kerja

Terkait dengan kebebasan berserikat bagi pekerja dan pengenalan secara efektif terhadap hak dan kewajiban pekerja, khususnya hak untuk berunding secara kolektif.

C. Hak Asasi Manusia

Pengembangan tempat kerja yang bebas dari diskriminasi dengan mengedepankan etika professional yang memperhatikan kreativitas dan pembelajaran, dan keseimbangan antara pekerjaan terhadap aspek lain di luar pekerjaan.

D. Keterlibatan dalam komunitas

Merupakan tindakan untuk mengoptimalkan dampak dari donasi uang, waktu, produk, jasa,pengaruh, pengetahuan manajemen dan sumber daya lainnya pada masyarakat di mana infrastruktur tersebut dibangun.

E. Standar bisnis

Standar ini meliputi aktifitas secara luas seperti etika, imbalan keuangan, perlindungan lingkungan, standar kerja, dan HAM.

F. Pasar

(45)

FINAL REPORT

X-45 Tabel 10.12 Analisis Kebutuhan Penanganan

Penduduk Miskin Kabupaten

*)Catatan : Belum ada Data

(46)

FINAL REPORT

X-46 a PNPM

Perkotaan

b PISEW

c PAMSIMAS

d PPIP

e .

RIS PNPM

f .

SANIMAS

2 Non Pemberdayaan Masyarakat

a Penyusun an RTBL

b . Dll.

*)Catatan : Belum ada Data

10.2.2 Aspek Sosial pada Pelaksanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya

(47)

FINAL REPORT

X-47 Tabel 10.14 Kegiatan Pembangunan Cipta Karya yang

membutuhkan Konsultasi, Pemindahan Penduduk dan Pemberian Kompensasi serta Permukiman Kembali

No.

Komponen

Program dan

Kegiatan

Tahap I Tahap II Arahan Lokasi

Konsultasi

(48)

FINAL REPORT

X-48 10.2.3 Aspek Sosial pada Pasca Pelaksanaan Pembangunan

Bidang Cipta Karya

Aspek Sosial Merupakan aspek akhir dari seluruh hirarki dari kajian seluruh studi kelayakan. Suatu proyek investasi harus memiliki kohesif dengan masyarakat di lingkungan sekitarnya dan tidak menimbulkan inklusif. Sehingga investasi tersebut tidak menimbulkan gejolak di tengah masyarakat, khususnya masyarakat sekitar kawasan pembangunan. Dinilai layak investasi dan dapat diambil suatu keputusan investasi setelah mempertimbangkan seluruh aspek kajian secara hirarki dan proyek dapat dinyatakan bermanfaat bagi masyarakat.

Pengarusutamaan sosial dalam penyelenggaraan pembangunan bidang Cipta Karya sangat penting untuk mengurangi kesenjangan sosial di dalam memperoleh aksesibilitas, kontrol, partisipasi dan manfaat dari penyelenggaraan pembangunan bidang Cipta Karya.

Aspek sosial pada perencanaan pembangunan bidang Cipta Karya diharapkan mampu melengkapi kajian perencanaan teknis sektoral. Salah satu aspek yang perlu ditindaklanjuti adalah isu kemiskinan. Kajian aspek sosial lebih menekankan pada manusianya sehingga yang disasar adalah kajian mengenai penduduk miskin, mencakup data eksisting, persebaran, karakteristik, hingga kebutuhan penanganannya.

(49)

FINAL REPORT

X-49 (PPIP), Rural Infrastructure Support (RIS) to PNPM, Sanitasi Berbasis Masyarakat (SANIMAS), Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL), dan Studi Evaluasi Kinerja Program Pemberdayaan Masyarakat bidang Cipta Karya.

Menindaklanjuti hal tersebut maka diperlukan suatu pemetaan awal untuk mengetahui bentuk responsif gender dari masing-masing kegiatan, manfaat, hingga permasalahan yang timbul sebegai pembelajaran di masa datang di daerah.

Pelaksanaan pembangunan bidang Cipta Karya secara lokasi, besaran kegiatan, dan durasi berdampak terhadap masyarakat. Untuk meminimalisir terjadinya konflik dengan masyarakat penerima dampak maka perlu dilakukan beberapa langkah antisipasi, seperti konsultasi, pengadaan lahan dan pemberian kompensasi untuk tanah dan bangunan, serta permukiman kembali. Permasalahan yang perlu diantisipasi di masa datang :

A. Konsultasi masyarakat Konsultasi masyarakat diperlukan untuk memberikan informasi kepada masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang mungkin terkena dampak akibat pembangunan bidang Cipta Karya di wilayahnya. Hal ini sangat penting untuk menampung aspirasi mereka berupa pendapat, usulan serta saran-saran untuk bahan pertimbangan dalam proses perencanaan. Konsultasi masyarakat perlu dilakukan pada saat persiapan program bidang Cipta Karya, persiapan AMDAL dan pembebasan lahan

(50)

FINAL REPORT

X-50 pengadaan tanah adalah bahwa semua langkah yang diambil harus dilakukan untuk meningkatkan, atau memperbaiki, pendapatan dan standar kehidupan warga yang terkena dampak akibat kegiatan pengadaan tanah ini.

C. Permukiman kembali penduduk (resettlement). Seluruh proyek yang memerlukan pengadaan lahan harus mempertimbangkan adanya kemungkinan pemukiman kembali penduduk sejak tahap awal proyek. Bilamana pemindahan penduduk tidak dapat dihindarkan, rencana pemukiman kembali harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga penduduk yang terpindahkan mendapat peluang ikut menikmati manfaat proyek. Hal ini termasuk mendapat kompensasi yang wajar atas kerugiannya, serta bantuan dalam pemindahan dan pembangunan kembali kehidupannya di lokasi yang baru. Penyediaan lahan, perumahan, prasarana dan kompensasi lain bagi penduduk yang dimukimkan jika diperlukan dan sesuai persyaratan.

(51)

FINAL REPORT

X-51 Tabel 10.15 Identifikasi Kebutuhan Penanganan Aspek Sosial

PascaPelaksanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya

No. Sektor

Program/ Kegiatan

Loka si

Tah un

Jumlah Penduduk yang

memanfaatkan

Ket

1. Pengembangan Permukiman

2. Penataan

Bangunan dan Lingkungan

3. Pengembangan Air Minum

4. Penyehatan Lingkungan Permukiman

Gambar

Tabel 10.2  Proses Identifikasi Pemangku Kepentingan dan
Tabel 10.3  Proses Identifikasi Isu Pembangunan
Tabel 10.4 Tabel Identifikasi KRP
Tabel 10.5   Kajian Pengaruh KRP terhadap Kondisi
+7

Referensi

Dokumen terkait

(3) Seksi Angkutan dan Teknis Sarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan pengawasan teknis penye1enggaraan angkutan jalan

Penelitian ini dimulai dengan melakukan analisa sistem berjalan pada bagian kepegawaian untuk mengetahui kebutuhan informasi yang diperlukan, dan melakukan perancangan basis

Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui sistem informasi layanan data keuangan mahasiswa yang berjalan pada STMIK Bina Sarana Global dan Merancang suatu sistem

Metodologi penelitian dalam rancang bangun aplikasi reminder cara bertanam organik ini menggunakan metode Waterfall, sedangkan penjadwalan kegiatan dihitung berdasarkan

Analisis regresi dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas yang meliputi bukti fisik (X1), keandalan (X2), Daya tanggap (X3), Jaminan (X4), empati

• Pola pembinaan Pegawai Negeri Sipil harus menggambarkan alur pengembangan karier yang menunjukan keterkaitan dan keserasian antara jabatan, pangkat, pendidikan

Survey pemberian makanan MP-ASI pada bayi usia 6-12 Bulan didapatkan hasil pemberian makanan yang tidak sesuai paling banyak terdapat pada usia 7-8 bulan yaitu

Adapun bentuk dari desain input yang dirancang pada sistem pengolahan data Administrasi keuangan Panti Asuhan „Aisyiyah Pariaman diantaranya adalah Entry data donatur