• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Wacana - BAB II DHINA DWI FILIANI PBSI'13

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Wacana - BAB II DHINA DWI FILIANI PBSI'13"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Wacana

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1552), wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan utuh seperti novel, buku, artikel, pidato, atau khotbah. Sebagai satuan bahasa terlengkap, maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan) tanpa keraguan apapun (Chaer, 2007: 267). Wacana yaitu semua bentuk paparan lisan maupun tertulis yang berciri merupakan wadah penyampaian informasi ataupun pikiran yang utuh (Marwoto dkk, 1985: 51). Wacana dapat diartikan sebagai satuan bahasa terlengkap dan merupakan satuan tertinggi dalam hierarki gramatikal (Djajasudarma, 2006: 3). Pada pengertian linguistik wacana adalah unit bahasa yang lebih besar dari kalimat (Eriyanto, 2011: 3). Kridalaksana (2008: 259), berpendapat bahwa wacana merupakan satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa wacana merupakan satuan bahasa terlengkap yang berbentuk paparan lisan maupu tulis yang berfungsi sebagai media penyampaian informasi, ide, gagasan, ataupun hasil pemikiran kepada publik.

B. Unsur-Unsur Wacana

(2)

dan unsur eksternal. Unsur internal merupakan unsur pembangun wacana yang berasal dari dalam wacana itu sendiri, unsur internal wacana dibagi menjadi dua. Unsur internal yang pertama yaitu kata dan kalimat.

Secara sederhana kata didefinisikan sebagai bagian dari kalimat yang terbentuk dari gabungan beberapa huruf yang memiliki arti. Kata dapat diartikan sebagai satuan terkecil dari sistem yang memiliki arti (Wachid dan Kurniawan, 2010: 72), sedangkan kalimat yaitu satuan gramatik yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik (Ramlan, 2001: 23). Zainurrahman (2011: 111) menyatakan bahwa kalimat adalah sekumpulan respon terhadap objek dalam bentuk kata, yang terangkai dalam sebuah struktur. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kalimat merupakan satuan gramatik yang memiliki arti, yang terangkai dalam sebuah struktur dan dibatasi oleh intonasi yang menjadi unsur dasar pembentuk wacana.

(3)

Unsur eksternal wacana yaitu unsur pembentuk atau unsur pembangun wacana yang berasal dari luar wacana itu sendiri. Unsur eksternal wacana terbentuk dari lima hal penting yaitu implikatur, presuposisi, referensi, inferensi, konteks. Implikatur memiliki arti sebagai sesuatu yang terlibat atau menjadi bahan pembicaraan (Mulyana, 2005:11). Presuposisi yaitu anggapan dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa yang membuat bentuk bahasa menjadi bermakna bagi pendengar maupun pembaca. Referensi yaitu hubungan antara kata dengan benda (orang, tumbuhan, sesuatu lainnya) yang dirujuknya (Mulyana, 2005: 14-15). Kata inferensi memiliki arti sebagai suatu proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk memahami makna yang secara harifah tidak terdapat pada wacana yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis (Djajasudarma, 2006: 41). Menurut Halliday (1994: 6) konteks merupakan teks yang menyertai teks itu. Pengertian mengenai hal yang menyertai teks itu tidak hanya meliputi yang dilaksanakan atau ditulis saja, melainkan termasuk kejadian-kejadian yang non verbal lainnya.

C. Keutuhan Struktur Wacana

(4)

Koherensi merupakan hubungan pertalian antarproposisi, tetapi perkaitan tersebut tidak secara eksplisit atau nyata dapat dilihat pada kalimat-kalimat yang mengungkapkannya (Alwi dkk, 2003: 428). Menurut Ramlan (1993: 10), koherensi adalah kepaduan dibidang makna. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa koherensi merupakan kepaduan makna yang tidak secara nyata dapat dilihat dari kalimat-kalimat yang membentuk wacana.

D. Tema Wacana

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1429), tema adalah pokok pikiran, dasar cerita (yang dipercakapkan, dipakai sebagai dasar mengarang, menggubah sajak, dan sebagainya. Eriyanto (2011: 229) berpendapat bahwa tema merupakan gambaran umum dari suatu teks, bisa juga disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa tema merupakan gagasan utama yang menjadi dasar dalam suatu pembahasan. Tema memiliki cakupan yang luas, sehingga tema dapat diperinci lagi menjadi topik. Kemudian topik tersebut dapat diperinci lagi menjadi topik-topik kecil yang dapat diangkat menjadi judul sebuah wacana.

(5)

E. Jenis Wacana

Berdasarkan pendapat beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa wacana dapat dibedakan menjadi sembilan jenis yaitu jenis wacana ditinjau berdasarkan bentuk atau pemaparan wacana, berdasarkan media penyampaian atau media komunikasi wacana, berdasarkan jumlah penutur atau jenis pemakaian wacana, berdasarkan isi, berdasarkan gaya dan tujuan, berdasarkan sifat, berdasarkan realitas wacana, berdasarkan pengungkapannya, berdasarkan penempatan.

1. Berdasarkan Bentuk atau Pemaparan Wacana

Jenis wacana ditinjau berdasarkan bentuk atau pemaparan wacana dapat dibedakan menjadi delapan jenis. Mulyana membedakan menjadi tujuh jenis yaitu wacana naratif, prosedural, ekspositori, hortatori, dramatik, epistoleri, seremonial. Djajasudarma menambahkan satu jenis wacana yang termasuk dalam jenis wacana berdasarkan bentuk yaitu wacana deskriptif.

(6)

Wacana prosedural merupakan wacana yang digunakan untuk memberikan petunjuk atau keterangan bagaimana sesuatu harus dilaksanakan. Oleh karena itu, kalimat-kalimatnya berisi persyaratan atau aturan tertentu agar tujuan kegiatan tertentu itu berhasil dengan baik (Mulyana, 2005: 48). Menurut Djajasudarma (2006: 9), wacana prosedural adalah wacana yang dipaparkan dengan rangkaian tuturan yang melukiskan sesuatu secara berurutan dan secara kronologis. Jadi wacana prosedural merupakan wacana yang berisi petunjuk untuk melakukan sesuatu secara berurutan. Contoh wacana ini yaitu resep pembuatan makanan, petunjuk atau aturan minum obat, petunjuk penggunaan alat, dan sebagainya.

Wacana ekspositori merupakan wacana yang bersifat menjelaskan sesuatu secara informatif (Mulyana, 2005: 49). Menurut Djajasudarma (2006: 10), wacana ekspositori merupakan wacana yang bersifat menjelaskan sesuatu, dan berisi pendapat atau simpulan dari sebuah pandangan. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa wacana ekspositori merupakan wacana yang bersifat menjelaskan sesuatu secara informatif untuk mencapai tingkat pemahaman mengenai sesuatu yang dijelaskan.

(7)

Menurut Mulyana (2005: 50) wacana dramatik merupakan bentuk wacana yang berisi percakapan antar penutur. Wacana dramatik berbentuk dialog, yang diawali dengan adanya prolog dan diakhiri dengan epilog. Contoh wacana dramatik yaitu naskah drama, skenario film, naskah percakapan sandiwara.

Wacana epistoleri merupakan wacana yang biasa digunakan dalam surat-menyurat (Mulyana, 2005: 50). Wacana epistoleri diawali dengan alinea pembuka, alinea isi, dan alinea penutup yang seluruhnya disampaikan secara runtut sesuai dengan sistematikanya.

Wacana seremonial adalah bentuk wacana yang digunakan dalam kesempatan seremonial (upacara) (Mulyana, 2005: 51). Wacana seremonial biasanya dibacakan pada saat tertentu yang dianggap sebagai saat yang penting atau khusus, misalnya ketika upacara pernikahan, upacara peringatan hari besar nasional, peringatan hari besar keagamaan.

Menurut Djajasudarma (2006: 11), wacana deskriptif merupakan wacana yang berupa rangkaian tuturan yang memaparkan sesuatu atau melukiskan sesuatu, baik berdasarkan pengalaman maupun pengetahuan penuturnya. Wacana ini bertujuan mencapai penghayatan yang imajinatif terhadap sesuatu sehingga pendengar atau pembaca seolah-olah merasakan atau mengalami sendiri secara langsung.

2. Berdasarkan Media Penyampaian atau Media Komunikasi Wacana

(8)

merupakan wacana yang disampaikan secara tertulis melalui media tulis. Bahasa yang digunakan dalam wacana tulis adalah bahasa yang bersifat non verbal. Menurut Djajasudarma (2006: 7), wacana tulis dapat berupa sebuah teks yang dibentuk oleh lebih dari satu alinea yang mengungkapkan sesuatu secara beruntun dan utuh, sebuah alinea yang dapat dianggap sebagai satu kesatuan misi korelasi dan situasi yang utuh, sebuah wacana yang dibentuk oleh sebuah kalimat majemuk dengan subordinasi dan koordinasi atau sistem elipsis.

Wacana lisan adalah jenis wacana yang disampaikan secara lisan atau langsung dalam bahasa verbal (Mulyana, 2005:52). Jenis wacana ini sering disebut sebagai tuturan (speech) atau ujaran (utterance). Tarigan (1987: 55), berpendapat bahwa wacana lisan merupakan wacana yang disampaikan secara lisan melalui media lisan. Wacana lisan dapat berupa sebuah percakapan atau dialog yang lengkap dari awal sampai akhir, dan berupa satu penggalan ikatan percakapan (Djajasudarma, 2006: 7).

Wacana lisan yang dituliskan merupakan wacana yang disampaikan secara lisan kemudian wacana tersebut ditulis sehingga menjadi sebuah wacana tulis. wujud wacana lisan yang dituliskan dapat berupa wawancara yang ditulis dalam surat kabar (Suladi dkk, 2000: 12).

3. Berdasarkan Jumlah Penutur atau Jenis Pemakaian Wacana

(9)

Wacana dialog adalah jenis wacana yang dituturkan oleh dua orang atau lebih (Mulyana, 2005: 53). Menurut Djajasudarma (2006:13), wacana dialog merupakan wacana yang berupa percakapan atau pembicaraan antara dua pihak terdapat pada konversasi.

Wacana monolog adalah jenis wacana yang dituturkan oleh satu orang (Mulyana, 2005: 53). Contoh wacana monolog yaitu pidato, ceramah, surat, cerita. Menurut Djajasudarma (2006: 13), wacana monolog merupakan jenis wacana yang tidak melibatkan bentuk tutur percakapan atau pembicaraan antara dua pihak yang berkepentingan. Sedangkan wacana polilog merupakan jenis wacana yang melibatkan partisipan pembicaraan di dalam konversasi yang melibatkan lebih dari dua orang penutur.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang menjadi pembeda jenis wacana tersebut adalah jumlah penuturnya. Wacana monolog dituturkan oleh satu orang, wacana dialog dituturkan oleh dua orang atau lebih, sedangkan wacana polilog melibatkan partisipan dan lebih dari dua orang penutur.

4. Berdasarkan Isi

(10)

5. Berdasarkan Gaya dan Tujuannya

Menurut Keraf dan Marwoto berdasarkan gaya dan tujuannya, wacana dapat dibedakan menjadi wacana narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, persuasi. Menurut Mulyana yang termasuk dalam jenis wacana berdasarkan gaya dan tujuannya yaitu wacana iklan. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa berdasarkan gaya dan tujuannya wacana dapat dibedakan menjadi enam jenis yaitu wacana narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, persuasi, iklan.

Narasi merupakan suatu bentuk wacana yang sasaran utamanya adalah tindak-tanduk yang dijalin dan dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu kesatuan waktu. Narasi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa yang telah terjadi (Keraf, 2007: 136). Karangan narasi sering disebut sebagai cerita yang bersifat menceritakan suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disusun sedemikian rupa sehingga menimbulkan pengertian-pengertian yang merefleksikan interpretasi penulisnya. Pada penulisan karangan narasi, penulis harus memilih dan menyusun bahan-bahannya secara cermat, dan penanda penting wacana narasi yang harus selalu ada yaitu konflik (Marwoto dkk, 1985: 152). Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa wacana naratif merupakan jenis wacana yang bersifat narasi yaitu wacana yang berisi penjabaran suatu peristiwa secara runtut yang didalamnya terdapat penanda yang berupa konflik.

(11)

(Marwoto dkk, 1985: 167). Deskripsi merupakan wacana yang berusaha menyajikan suatu objek atau hal sedemikian rupa, sehingga seolah-olah pembaca melihat sendiri objek yang sedang dibicarakan (Keraf, 1995: 16). Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa wacana deskripsi merupakan wacana yang dibuat dengan tujuan untuk menggambarkan sesuatu misalnya menggambarkan tempat, barang, maupun orang dengan tujuan agar orang yang membaca atau mendengarnya seolah dapat merasakan sesuatu yang dideskripsikan.

Istilah eksposisi berasal dari kata exposition yang berarti membuka atau memulai. Wacana eksposisi adalah paparan yang mengupas, atau memberikan sesuatu demi suatu penyuluhan (penyampaian informasi), dan penyuluhannya tersebut tanpa disertai desakan atau paksaan kepada pembacanya agar menerima sesuatu yang dipaparkan sebagai sesuatu yang benar (Marwoto dkk, 1985: 170). Menurut Keraf (1995: 7) eksposisi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menguraikan suatu objek sehingga memperluas pandangan atau pengetahuan pembaca. Jadi wacana eksposisi merupakan wacana yang bersifat memaparkan suatu topik dengan tujuan agar pembaca atau pendengar menerima informasi atau hal yang dipaparkan, dalam wacana eksposisi semua hal yang dipaparkan disampaikan secara halus tanpa ada paksaan agar pembaca atau pendengar menerima pemaparan tersebut.

(12)

sehingga pihak yang dipersuasi tidak akan percaya pada pembicara maupun penulis (Keraf, 1995: 14).

Wacana argumentasi adalah wacana yang isinya terdiri dari paparan alasan dan penyintesisan pendapat untuk membangun suatu kesimpulan. Pada wacana tersebut argumentasi dibangun untuk meyakinkan kebenaran pendapat, gagasan, ataupun konsepsi sesuatu berdasarkan data dan fenomena-fenomena keilmuan yang dikemukakan (Marwoto dkk, 1985: 174). Argumentasi adalah suatu bentuk retorika yang berusaha untuk mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain, agar mereka itu percaya dan akhirnya bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penulis atau pembicara (Keraf, 2007: 3).Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa wacana argumentasi merupakan jenis wacana yang isinya berusaha mempengaruhi sikap dan pendapat pembaca atau pendengar dengan cara memberikan alasan dan penyintesisan pendapat agar terbentuk suatu kesimpulan yang dapat diyakini kebenarannya oleh pembaca atau pendengar, sehingga mereka bertindak sesuai dengan yang diinginkan oleh pembicara atau penulis.

(13)

6. Berdasarkan Sifat

Menurut Mulyana (2005: 54), berdasrkan sifatnya wacana dibedakan menjadi wacana fiksi dan wacana non fiksi. Nurgiyantoro (1994: 3) berpendapat bahwa fiksi merupakan sebuah cerita, dan karenanya terkandung juga didalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca disamping adanya tujuan estetik. Wacana fiksi adalah wacana yang bentuk dan isinya berorientasi pada imajinasi. Biasanya menganut aliran konotatif, analogis, dan muliinterpretable. Umumnya, penampilan dan rasa bahasanya dikemas secara literer atau estetis (indah). Wacana fiksi dapat dipilah menjadi tiga jenis yaitu wacana puisi, drama, prosa (Mulyana, 2005: 52).

Wacana puisi merupakan jenis wacana yang disampaikan dalam bentuk puisi, dapat disampaikan secara lisan maupun melalui tulisan, bahasa yang digunakan selalu memperhatikan aspek estetikanya (Mulyana, 2005: 64). Wacana drama merupakan wacana yang dapat berbentuk prosa maupun puisi, lebih mementingkan dialog, gerak, dan perbuatan. Drama menyajikan sejumlah kejadian yang memikat dan menarik hati, yang dituangkan dalam bentuk gerak. Drama merupakan seni yang menggarap lakon-lakon mulai sejak penulisannya hingga pementasannya, sehingga sebuah seni drama juga membutuhkan ruang waktu dan audiens (Tarigan, 1984: 72). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1106), prosa artinya karangan bebas (tidak terikat oleh kaidah yang terdapat dalam puisi). Jadi wacana prosa merupakan wacana yang berbentuk karangan bebas yang dapat disajikan baik secara lisan maupun tulisan.

(14)

dibumbui dengan daya imajinasi pengarang agar tercipta sebuah karya yang menarik dan memiliki nilai estetik.

Wacana non fiksi disebut juga sebagai wacana ilmiah. Jenis wacana ini disampaikan dengan pola dan cara-cara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bahasa yang digunakan bersifat denotatif, lugas, dan jelas. Beberapa contoh wacana non fiksi antara lain yaitu laporan penelitian, buku materi perkuliahan, petunjuk mengoperasikan pesawat terbang (Mulyana, 2005: 55).

Menurut Keraf (1995: 5) dalam tulisan ilmiah terdapat alinea atasan yang terdiri dari satu kalimat yang dapat diperinci menjadi beberapa alinea bawahan. Alinea tersebut dapat bersifat deduktif jika pengarang menyampaikan terlebih dahulu gagasan utamanya dalam bentuk satu kalimat, kemudian diperinci lagi menjadi beberapa alinea bawahan. Alinea dapat bersifat induktif jika pengarang menjelaskan beberapa pikiran atau pendapatnya dalam bentuk alinea bawahan, kemudian menyimpulkan pendapatnya dalam bentuk alinea atasan yang terdiri dari satu kalimat.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dismpulkan bahwa wacana non fiksi merupakan wacana yang bersifat aktualitas yaitu apa-apa yang benar terjadi, sedangkan wacana fiksi bersifat realitas yaitu apa-apa yang dapat terjadi (Tarigan, 1984: 122). Wacana non fiksi berisi hal-hal yang ditinjau dari sudut pandang ilmiah, bahasa yang digunakan bersifat lugas dan jelas. Sedangkan wacana fiksi berisi pengalaman dan permasalahan kehidupan yang dibumbui dengan daya imajinasi pengarang.

7. Berdasarkan Realitas Wacana

(15)

rangkaian kebahasaan dengan kelengkapan struktur bahasa. Rangkaian kebahasaan verbal memicu munculnya rangkaian bahasa non verbal, yaitu rangkaian bahasa yang berupa isyarat atau tanda-tanda bermakna.

8. Berdasarkan Pengungkapannya

Menurut Tarigan (1987: 55-56) berdasarkan pengungkapannya, wacana dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu wacana langsung dan wacana tidak langsung. Wacana langsung merupakan kutipan wacana yang sebenarnya, dibatasi oleh intonasi dan pungtuasi. Sedangkan wacana tidak langsung merupakan pengungkapan kembali wacana tanpa mengutip harifah kata-kata yang dipakai oleh pembicara dengan mempergunakan konstruksi gramatikal atau kata-kata tertentu, antara lain dengan kalusa subordinatif, kata bahwa dan sebagainya.

9. Berdasarkan Penempatan

Menurut Tarigan (1987: 56) berdasarkan penempatannya, wacana dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu wacana pembeberan dan wacana penuturan. Wacana pembeberan merupakan wacana yang tidak mementingkan waktu, penutur berorientasi pada pokok pembicaraan, dan bagiannya diikat secara logis. Sedangkan wacana penuturan merupakan wacana yang mementingkan urutan waktu, dituturkan oleh persona pertama dan ketiga dalam waktu tertentu. Berorientasi pada waktu dan seluruh bagiannya diikat oleh kronologi.

F. Wacana Argumentasi

1. Pengertian Wacana Argumentasi

(16)

tersebut argumentasi dibangun untuk meyakinkan kebenaran pendapat, gagasan, ataupun konsepsi sesuatu berdasarkan data dan fenomena-fenomena keilmuan yang dikemukakan (Marwoto dkk, 1985: 174). Argumentasi adalah suatu bentuk retorika yang berusaha untuk mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain, agar mereka itu percaya dan akhirnya bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penulis atau pembicara (Keraf, 2007: 3). Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa wacana argumentasi merupakan jenis wacana yang isinya berusaha mempengaruhi sikap dan pendapat pembaca atau pendengar dengan cara memberikan alasan dan penyintesisan pendapat agar terbentuk suatu kesimpulan yang dapat diyakini kebenarannya oleh pembaca atau pendengar, sehingga mereka bertindak sesuai dengan yang diinginkan oleh pembicara atau penulis.

2. Ciri-Ciri Wacana Argumentasi

Keraf (2007: 120) mengatakan bahwa argumentasi memiliki beberapa ciri khas yaitu argumentasi berusaha membuktikan suatu kebenaran sebagai digariskan dalam proses penalaran pembicara atau penulis, argumentasi adalah suatu proses untuk mencapai suatu kesimpulan. Tarigan (2008: 116) dan Zanurrahman (2011: 51-52), menambahkan ciri-ciri argumentasi sebagai berikut:

a. Perlakuan terhadap suatu masalah dilakukan secara cermat dan teliti. b. Bernada faktual.

c. Pokok permasalahan menjadi hal yang penting.

d. Bertujuan untuk memperjuangkan keadilan, kebenaran, kejujuran.

(17)

f. Sarana untuk berargumen mengenai suatu isu.

g. Berfungsi untuk menjelaskan kepada pembaca alasan-alasan, argumen, ideologi, dan kepercayaan agar pembaca dapat mengadopsi posisi yang diambil oleh penulis.

h. Berusaha untuk membujuk, mengajak, atau mendesak pembaca agar mengubah pola pikir dan asumsi mereka mengenai sebuah isu kontroversial.

3. Proses Penalaran

Penalaran (reasoning, jalan pikiran) adalah suatu proses berpikir yang berusaha menghubung-hubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan (Keraf, 2007: 5). Menurut Tarigan (2008: 116), persuasi logis atau yang biasa disebut sebagai argumentasi berdasar pada penalaran logis. Penalaran logis mencakup dua proses dasar berpikir dan organisasi, yaitu induksi dan deduksi.

(18)

penalaran induksi merupakan corak berpikir ilmiah yang bertujuan untuk menarik kesimpulan dengan didasarkan pada fakta maupun fenomena yang ada.

Deduksi adalah suatu proses penarikan kesimpulan yang didasarkan pada asumsi; Justru merupakan suatu pernyataan yang diterima sebagai suatu kebenaran, dengan menerima suatu premis tertentu kita secara logis dapat sampai pada suatu kesimpulan (Tarigan, 2008: 120). Deduksi merupakan proses berpikir (penalaran) yang bertolak dari suatu proposisi yang sudah ada, menuju kepada proposisi baru yang berbentuk kesimpulan, yang diperlukan dalam penalaran ini adalah proposisi umum dan proposisi yang bersifat mengidentifikasi suatu peristiwa khusus yang bertalian dengan proposisi umum tadi (Keraf, 2007: 57). Penalaran deduktif memiliki beberapa corak berpikir yaitu silogisme kategorial, silogisme hipotesis, silogisme disjungtif atau silogisme alternatif, entimem, rantai deduksi, silogisme kondisional. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penalaran deduksi merupakan suatu proses penarikan kesimpulan yang didasarkan pada asumsi maupun proposisi yang sudah ada menuju kepada suatu asumsi maupun proposisi baru yang berbentuk kesimpulan.

(19)

4. Dasar dan Sasaran Wacana Argumentasi

Menurut Keraf (2007: 101-102) dasar yang harus diperhatikan sebagai titik tolak argumentasi adalah:

a. Pembicara atau pengarang harus mengetahui serba sedikitnya tentang subyek yang akan dikemukakannya, sekurang-kurangnya mengenai prinsip-prinsip ilmiahnya.

b. Pengarang harus bersedia mempertimbangkan pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat yang bertentangan dengan pendapatnya sendiri.

c. Pembicara atau penulis argumentasi harus berusaha untuk mengemukakan pokok persoalan dengan jelas.

d. Pembicara atau penulis harus menyelidiki persyaratan mana yang masih diperlukan bagi tujuan-tujuan lain yang tercakup dalam persoalan yang dibahas itu, dan sampai dimana kebenaran dari pernyataan yang telah dirumuskannya itu. e. Dari semua maksud dan tujuan yang terkandung dalam persoalan itu, maksud

yang mana yang lebih memuaskan pembicara atau penulis untuk menyampaikan masalahnya.

Menurut Keraf (2007: 103-104) untuk membatasi persoalan dan menetapkan titik ketidaksesuaian, maka sasaran yang harus ditetapkan untuk diamankan oleh setiap pengarang argumentasi adalah:

a. Argumentasi itu harus mengandung kebenaran untuk mengubah sikap dan keyakinan orang menganai topik yang akan diargumentasikan.

(20)

c. Pada saat pertama pengarang menggunakan istilah, ia harus membatasi pengertian istilah yang dipergunakan itu, agar dapat dihindarkan kemungkinan timbulnya ketidaksesuaian pendapat karena perbedaan pengertian.

d. Pengarang harus menetapkan secara tepat titik ketidaksepakatan yang akan diargumentasikan, dengan demikian arah dan sasaran tulisan hanya dipusatkan pada titik perbedaan itu.

5. Bagian Wacana Argumentasi

Menurut pendapat Alfiansyah (2009), wacana argumentasi terdiri dari tiga bagian yaitu pendahuluan, isi, dan penutup. Pendapat ini didukung oleh pendapat Keraf, menurutnya dalam sebuah argumentasi terdapat tiga bagian yaitu pendahuluan, tubuh argumen, kesimpulan. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sebuah argumentasi terdiri dari tiga bagian yaitu pendahuluan, tubuh argumen atau isi, dan penutup atau kesimpulan.

Bagian pendahuluan dalam wacana argumentasi disusun dengan tujuan untuk menarik perhatian pembaca, memusatkan perhatian pembaca kepada argumen-argumen yang akan disampaikan, serta menunjukkan dasar-dasar mengapa argumen-argumen itu harus dikemukakan dalam kesempatan tersebut (Keraf, 2007: 104). Menurut Alfiansyah (2009), bagian pendahuluan berisi latar belakang masalah dan permasalahan. Jadi pendahuluan merupakan bagian awal dalam sebuah argumentasi yang berisi latar belakang masalah yang disusun dengan tujuan untuk menarik perhatian pembaca dan memusatkan perhatian pembaca.

(21)

pengarang itu merupakan hal yang benar, sehingga konklusi yang disimpulkan juga merupakan konklusi yang benar. Menurut Keraf (2007: 106) terdapat beberapa kemahiran yang dapat digunakan untuk mengungkap kebenaran dalam jalan pikiran dan konklusi yaitu kecermatan mengadakan seleksi fakta yang benar, penyusunan bahan secara baik dan teratur, kekritisan proses berpikir, penyuguhan fakta, evidensi, kesaksian, premis dengan benar. Menurut Alfiansyah (2009), isi karangan merupakan keseluruhan uraian yang berusaha menjawab permasalahan yang dikemukakan dalam pendahuluan. Uraian isi karangan berupa pernyataan, data, fakta, contoh, atau ilustrasi yang diambil dari pernyataan, pendapat umum, pendapat para ahli, hasil penelitian, kesimpulan yang dapat mengukuhkan bahwa pemecahan permasalahan itu harus demikian.

Bagian yang ketiga yaitu penutup atau kesimpulan. Menurut Alfiansyah (2009), bagian penutup berupa ikhtisar atau penutup. Keraf (2007: 107) berpendapat bahwa pada bagian penutup seorang pengarang harus berusaha menjaga agar konklusi yang disimpulkannya tetap memelihara tujuan, dan menyegarkan kembali ingatan pembaca tentang apa yang telah dicapai, dan mengapa konklusi-konklusi tersebut diterima sebagai sesuatu yang logis.

6. Metode Pengembangan Topik Pada Wacana Argumentasi

(22)

tema yang cakupannya lebih luas jika dibandingkan dengan judul wacana, topik berisi pokok persoalan yang diperbincangkan atau dibahas dalam sebuah wacana.

Wacana argumentasi yang baik harus memiliki topik yang jelas, agar permasalahan yang disajikan dalam wacana tersebut dapat tersusun secara teratur dan terarah. Selain itu, penyajian topik yang jelas juga dapat membantu untuk mempengaruhi pembaca agar tertarik dan sependapat dengan argumen yang diungkapkan oleh penulis. Berdasarkan hal tersebut maka topik dalam sebuah wacana argumentasi harus dikembangkan dengan menggunakan metode.

Menurut Rahayu (2007: 170-171) terdapat tujuh metode pengembangan topik dalam wacana argumentasi, yaitu metode genus dan definisi, sebab dan akibat, keadaan atau sirkumstansi, persamaan, perbandingan, pertentangan, kesaksian dan autoritas. Pendapat tersebut didukung oleh pendapat Keraf (2007: 108), menurutnya terdapat tujuh metode pengembangan topik dalam wacana argumentasi. Ketujuh metode tersebut yaitu genus dan definisi, sebab dan akibat, keadaan atau sirkumstansi, persamaan, perbandingan, pertentangan, kesaksian dan autoritas. Menurut Lesmana (2011) terdapat lima metode pengembangan topik dalam wacana argumentasi yaitu genus, definisi, sebab akibat, persamaan, perbandingan, pertentangan. Sutarto (2012) berpendapat bahwa terdapat tiga metode pengembangan topik dalam wacana argumentasi yaitu metode sebab akibat, akibat sebab, dan generalisasi.

(23)

kesembilan metode ini digunakan untuk mengembangkan topik pada wacana argumentasi, sedangkan perbedaannya terletak pada teknik atau cara yang digunakan untuk mengembangkan topik tersebut.

a. Metode Genus dan Definisi

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 473), genus berarti jenis, definisi berarti batasan arti, dapat pula diartikan sebagai keterangan singkat (2008: 330). Menurut Keraf (2007: 110) genus adalah sesuatu yang lebih luas lingkupnya dari objek yang dibicarakan. Pada metode ini pengarang harus mengajukan argumen-argumen atau fakta-fakta mengenai genus yang diungkapkan. Hal ini bertujuan untuk meyakinkan semua orang bahwa benar kelas itu memiliki ciri tersebut, atau ciri-ciri tersebut merupakan ciri-ciri kelas itu (Keraf, 2007: 108). Namun semakin sempit kelasnya, argumen-argumen yang dikemukakan akan semakin mengandung pertentangan pendapat. Itulah sebabnya argumentasi yang mempergunakan definisi sebagai landasan geraknya, biasanya cenderung untuk mengadakan uraian panjang lebar mengenai obyek dan kelasnya. Definisi itu tidak lain daripada usaha menetapkan genus bagi obyek yang dibicarakan (Keraf, 2007: 109). Tetapi jika timbul kesulitan untuk mencapai kesepakatan, maka penulis biasanya membuat definisi luas dengan berusaha menjelaskan ciri-ciri yang dikenakan pada sebuah genus. Menurut Rahayu (2007: 170), pada metode ini penulis harus berusaha merangsang pembaca untuk mempercayai dan menerima hal yang diungkapkan oleh penulis sebagai ciri dari genus yang disampaikan.

b. Metode Pertentangan

(24)

membawa kerugian atau dampak negatif bagi kita. Begitu pula jika kita memperoleh kerugian karena situasi sekarang ini, maka kemungkinan besar kita akan memperoleh keuntungan dari situasi yang berlawanan (Keraf, 2007: 113), atau dengan kata lain jika kita memperoleh keuntungan dari fakta dan situasi tertentu maka fakta dan situasi yang bertentangan akan memperoleh kelemahan atau sebaliknya (Rahayu, 2007: 171). Menurut Lesmana (2011), metode ini dapat dilakukan dengan cara mengemukakan suatu hal atau pendapat kemudian diberikan hal atau pendapat yang sebaliknya. Hal yang dijadikan dasar perbandingan merupakan ide pokok. Jadi dalam metode ini, topik dikembangkan dengan cara mempertentangkan dua hal atau pendapat yang berbeda untuk memperoleh simpulan fakta dan situasi yang menguntungkan dan yang merugikan.

c. Metode Perbandingan

Menurut Lesmana (2011), metode ini dilakukan dengan mengemukakan persamaan dan perbedaan antara dua hal. Hal yang dijadikan dasar perbandingan merupakan ide pokok. Rahayu (2007: 171) berpendapat bahwa metode perbandingan mencakup pengertian bahwa salah satu hal yang diperbandingkan lebih kuat dari hal lain yang menjadi dasar perbandingan. Pada metode argumentasi ini pengarang menghadapi dua kemungkinan. Kemungkinan kedua memiliki peluang atau kepastian yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kemungkinan yang pertama, sehingga jika pengarang menyetujui kemungkinan yang pertama maka sudah pasti pengarang menyetujui kemungkinan yang kedua (Keraf, 2007: 112).

(25)

dalam metode perbandingan kemungkinan kedua memiliki tingkat kemungkinan yang lebih tinggi.

d. Metode Persamaan atau Analogi

Menurut Lesmana (2011), metode ini dilakukan dengan cara mengemukakan kesamaan antara dua hal. Keraf (2007: 111-112) berpendapat bahwa kekuatan argumentasi dengan mempergunakan metode persamaan terletak pada pernyataan mengenai kesamaan antara dua barang. Bila topik atau isi argumen didasarkan pada metode persamaan, maka premis mayor mengungkapkan prinsip-prinsip persamaan yang tidak dapat disangkal secara logika. Premis minor mengungkapkan fakta-fakta persamaan yang ada antara dua hal atau barang. Sedangkan kesimpulan mengungkapkan tentang kemungkinan persamaan itu lebih lanjut. Kekuatan argumentasi pada metode ini juga tergantung pada hubungan langsung pada kebenaran yang terdapat dalam topik yang diperbandingkan. Oleh karena itu jika persamaan yang diungkapkan lemah maka kekuatan retoriknya pun lemah (Rahayu, 2007: 171).

e. Metode Sebab akibat

Menurut Lesmana (2011), metode ini dilakukan dengan menggunakan proses berpikir kausalitas, suatu sebab akan menimbulkan akibat, sebab menjadi ide pokok dan akibat menjadi ide penjelas. Sutarto (2012) berpendapat bahwa metode sebab akibat ini dilakukan dengan menyampaikan terlebih dahulu sebab-sebabnya dan diakhiri dengan pernyataan sebagai akibat dari sebab tersebut.

(26)

demikian menyatakan bahwa suatu sebab tertentu akan mencakup akibat yang sebanding. Begitu juga sebaliknya, sebuah akibat tertentu akan mencakup sebab yang sebanding. Sehingga jika menghadapi suatu keadaan yang parah, maka harus dicari sebab yang hebat (Keraf, 2007: 110). Menurut Rahayu (2007: 171) kekuatan retorika ini terletak pada persoalan, bagaimana kita menerima kebenaran hubungan sebab akibat yang dinyatakan oleh premis mayor.

f. Metode Akibat Sebab

Hubungan akibat sebab merupakan suatu proses berpikir induktif yang bertolak dari suatu peristiwa yang dianggap sebagai akibat dari sebab-sebab yang ditimbulkan. Menurut Sutarto (2012), selain menggunakan metode sebab akibat, penulis dapat membalik pola pengembangannya menjadi akibat sebab. Pada metode ini penulis menyampaikan terlebih dahulu akibatnya, kemudian dicari sebab-sebabnya.

g. Metode Generalisasi

Menurut Sutarto (2012), pola generalisasi adalah pola pengembangan paragraf yang menarik suatu simpulan umum atas suatu data atau fakta yang bersifat khusus. Hal yang pertama diungkapkan dalam metode ini adalah hal-hal yang bersifat khusus, kemudian dari hal-hal yang bersifat khusus tersebut disimpulkan menjadi sebuah kesimpulan yang bersifat lebih umum.

h. Metode Keadaan atau sirkumstansi

(27)

ada jalan atau cara lain yang dapat dilakukan oleh pengarang. Keadaan tersebut yang dijadikan sebagai argumen dan pembuktian bagi pengarang.

Menurut Keraf (2007: 111) sirkumstansi atau keadaan tergolong dalam relasi kausal. Keadaan dijadikan sebagai argumen sejauh tidak ada alternatif lain. Tetapi tindakan yang dilakukan oleh seseorang tidak dapat dibenarkan secara logis, ia terpaksa melakukan tindakan tersebut karena fakta menunjukkan bahwa tidak ada hal lain yang dapat dia lakukan. Pembuktiannya hanya melalui keadaan tadi. Penulis harus menggambarkan keadaan yang terpaksa, untuk membenarkan tindakannya. Jika keadaan yang digambarkan tidak meyakinkan sebagai keadaan yang terpaksa maka argumentasinya akan ditolak. Rahayu (2007: 171) berpendapat bahwa suasana atau keadaan yang terpaksa tidak boleh menghasilkan alternatif. Sejauh tidak ada alternatif lain, maka keadaan itulah yang dijadikan sebagai argumen.

i. Metode Kesaksian dan Autoritas

Menurut Keraf (2007: 114) kesaksian dan autoritas merupakan topik atau sumber yang berasal dari luar, premis atau proposisi yang digunakan merupakan persepsi orang lain yang siap kita gunakan. Pada metode kesaksian, argumen didasarkan pada pendapat atau ucapan orang yang mengetahui tentang terjadinya suatu peristiwa atau kejadian. Pada metode autoritas, argumen didasarkan pada pendapat atau ucapan dari seorang yang terkenal, atau seorang yang diakui keahliannya.

(28)

G. KERANGKA PIKIR

Referensi

Dokumen terkait

dengan resolusi tinggi. Memungkinkan untuk mendapatkan berbagai signal dari satu lokasi yang sama. Hanya meneliti area yang sangat kecil dari sampel. Perlakuan awal dari sampel

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Evaluasi Masalahan

Menyatakan bahwa skripsi Potensi Probiotik Bakteri Asam Laktat Acar Kubis Putih ( Brassica oleracea ) Sentra Sumowono, Bandungan yang Difermentasi dalam Kadar Garam

Hasil yang didapatkan dari penelitian in adalah daging dengan penambahan angkak memberikan warna merah yang lebih stabil daripada daging yang diberi pengawet nitrit..

bertujuan untuk meningkatkan kreatifitas anak-anak Dusun Salakan. Selama pelaksanaan kegiatan berjalan dengan lancar yang dilaksanakan. pada beberapa waktu yang

Puji Syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan rahmat-Nya yang telah diberikan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti terdapat 1 responden post operasi fraktur dengan penyembuhan luka cepat, tetapi pada penerapan kewaspadaan universal

Sektor-sektor ekonomi yang strategis dan potensial di Kecamatan Bebandem adalah: Pertama , sektor pertambangan dan penggalian, namun mempunyai daya saing yang